Anda di halaman 1dari 2

Nama : Dewi Komariyah

NIM : 2601411012
Rombel: 02

Wanita Jawa di Era Informasi


Di Jawa kata wadon,wanita, estri, dan putri digunakan untuk menyebut
perempuan. Wadon berasal dari bahasa Kawi wadu yang artinyakawula atau abdi.
Secara istilah diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi
laki-laki. Wanita kata wanita tebentuk dari dua kata bahasa Jawa (kerata basa)
Wani yang berarti berani dan tata yang berarti teratur.kerata basa ini mengandung
dua pengertian yang berbeda. Pertama, wani ditata yang artinya berani (mau)
diatur dan yang kedua,wani nata yang artinya berani mengatur. Pengertian kedua
ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi untuk
bisa memerankan dengan baik peran ini. Estri berasal dari bahasa Kawi estren
yang berarti panjurung (pendorong). Seperti pepatah yang terkenal, Selalu ada
wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat. Putri dalam peradaban
tradisional Jawa, kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata Putus
tri perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan dalam
kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga
kewajiban tiga kewajiban perempuan (tri perkawis). Baik kedudukannya
sebagaiwadon,wanita, maupun estri ( www. Kompasiana.com).
Di dalam masyarakat Jawa, ada banyak aturan-aturan untuk wanita Jawa
yang merupakan bagian dari pranata masyarakat Jawa itu sendiri. Pranata
masyarakat Jawa sangat bersinggungan dengan etika masyarakat Jawa itu sendiri.
Didalam etika jawa keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat jawa untuk masyarakat Jawa menjalankan kehidupannnya, bagaimana
orang Jawa harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang
seharusnya dikembangkan. Budaya Jawa mengandung banyak nilai-nilai yang
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup.
Kalau dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa,
jawabannya barangkali dapat berbunyi, bahwa ciri khasnya terletak dalam
kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa membiarkan diri dibanjiri oleh
gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir itu
mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan
berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-
masukan cultural dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya
“dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi Jawa hanya semakin
menemukan identitasnya (Franz Magnis-Suseno 1984:1).
Namun, kekhasan itu mulai mengikis sedikit demi sedikit. Seiring dengan
perkembangan zaman, kebudayaan Jawa mulai kehilangan kekhasannya.
Perubahan kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa itu sendiri, juga merubah
pranata yang ada pada masyarakat Jawa. Seperti halnya budaya Jawa yang
melarang wanita keluar rumah dimalam hari, atau bahkan pemingitan wanita Jawa
yang masih perawan sudah mulai tidak digunakan oleh masyarakat Jawa sendiri.
Perubahan ini juga merubah pranata yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Sekarang masyarakat Jawa sudah tidak mempermasalahkan aturan itu, sehingga
wanita Jawa sudah bebas untuk pulang pergi. Akibatnya yang muncul banyak
wanita Jawa yang hamil di luar nikah. Tidak hanya itu, wanita Jawa sebagai
kanca wingking dalam perspektif pranata Jawa sudah tidak ada lagi bekasnya.
Padahal jika dikaji wanita Jawa sebagai kanca wiking sangat besar maknanya,
bukan hanya sekedar memasak, dandan, ataupun beranak. Wanita Jawa sekarang
sudah tidak mau disebut sebagai kanca wiking, mereka berlomba-lomba mencari
kedudukan, bahkan bercita-cita melebihi suaminya dengan dalih emansipasi
wanita. Keluarga sudah tidak menjadi perioritas utama,akibatnya anak-anaknya
berbuat tidak sesuai dengan norma pun dia tidak mengetahui.
Permasalahan di atas disebabkan karena perkembangan alat komunikasi di
era informasi. Teknologi yang semaikn modrn, membuat masyarakat Jawa
khususnya wanita Jawa meninggalkan budaya-budaya yang bernilai luhur.
Mereka tidak dapat menyaring kebudayaan yang datang dari luar. Untuk
memilah-milah kebudayaan mana yang baik dan mana yang buruk yang berasal
dari luar Jawa saja, masyarakat Jawa sudah tidak bisa melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai