Di Jawa kata wadon,wanita, estri, dan putri digunakan untuk menyebut perempuan. Wadon berasal dari bahasa Kawi wadu yang artinyakawula atau abdi. Secara istilah diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki. Wanita kata wanita tebentuk dari dua kata bahasa Jawa (kerata basa) Wani yang berarti berani dan tata yang berarti teratur.kerata basa ini mengandung dua pengertian yang berbeda. Pertama, wani ditata yang artinya berani (mau) diatur dan yang kedua,wani nata yang artinya berani mengatur. Pengertian kedua ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi untuk bisa memerankan dengan baik peran ini. Estri berasal dari bahasa Kawi estren yang berarti panjurung (pendorong). Seperti pepatah yang terkenal, Selalu ada wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat. Putri dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata Putus tri perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban tiga kewajiban perempuan (tri perkawis). Baik kedudukannya sebagaiwadon,wanita, maupun estri ( www. Kompasiana.com). Di dalam masyarakat Jawa, ada banyak aturan-aturan untuk wanita Jawa yang merupakan bagian dari pranata masyarakat Jawa itu sendiri. Pranata masyarakat Jawa sangat bersinggungan dengan etika masyarakat Jawa itu sendiri. Didalam etika jawa keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat jawa untuk masyarakat Jawa menjalankan kehidupannnya, bagaimana orang Jawa harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang seharusnya dikembangkan. Budaya Jawa mengandung banyak nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Kalau dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya barangkali dapat berbunyi, bahwa ciri khasnya terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan- masukan cultural dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi Jawa hanya semakin menemukan identitasnya (Franz Magnis-Suseno 1984:1). Namun, kekhasan itu mulai mengikis sedikit demi sedikit. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan Jawa mulai kehilangan kekhasannya. Perubahan kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa itu sendiri, juga merubah pranata yang ada pada masyarakat Jawa. Seperti halnya budaya Jawa yang melarang wanita keluar rumah dimalam hari, atau bahkan pemingitan wanita Jawa yang masih perawan sudah mulai tidak digunakan oleh masyarakat Jawa sendiri. Perubahan ini juga merubah pranata yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sekarang masyarakat Jawa sudah tidak mempermasalahkan aturan itu, sehingga wanita Jawa sudah bebas untuk pulang pergi. Akibatnya yang muncul banyak wanita Jawa yang hamil di luar nikah. Tidak hanya itu, wanita Jawa sebagai kanca wingking dalam perspektif pranata Jawa sudah tidak ada lagi bekasnya. Padahal jika dikaji wanita Jawa sebagai kanca wiking sangat besar maknanya, bukan hanya sekedar memasak, dandan, ataupun beranak. Wanita Jawa sekarang sudah tidak mau disebut sebagai kanca wiking, mereka berlomba-lomba mencari kedudukan, bahkan bercita-cita melebihi suaminya dengan dalih emansipasi wanita. Keluarga sudah tidak menjadi perioritas utama,akibatnya anak-anaknya berbuat tidak sesuai dengan norma pun dia tidak mengetahui. Permasalahan di atas disebabkan karena perkembangan alat komunikasi di era informasi. Teknologi yang semaikn modrn, membuat masyarakat Jawa khususnya wanita Jawa meninggalkan budaya-budaya yang bernilai luhur. Mereka tidak dapat menyaring kebudayaan yang datang dari luar. Untuk memilah-milah kebudayaan mana yang baik dan mana yang buruk yang berasal dari luar Jawa saja, masyarakat Jawa sudah tidak bisa melakukannya.