MAKALAH
Kelompok 7 (ES D)
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah “Perilaku Individu” dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan semua pihak.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
A. Latar Belakang..........................................................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................5
A. Kesimpulan..............................................................................................16
B. Saran........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
Ada tiga faktor yang perlu kita pahami lebih lanjut mengenai faktor
individu dalam organisasi. Ketiga hal tersebut adalah yang terkait dengan
kontrak psikologis (psychological contract). kesesuaian tenaga kerja yang
dibutuhkan perusahaan (the person-job fit). Dan keragaman individu dalam
organisasi (the individual differences in organization).
1) Kontrak Psikologis
Yang dimaksud dengan kontrak psikologis adalah suatu
kesepakatan tak tertulis yang muncul ketika seseorang bergabung dengan
sebuah organisasi atau ketika tenaga kerja bergabung dalam sebuah
perusahaan. Kesepakatan tidak tertulis tersebut adalah bahwa secara
psikologis tenaga kerja tersebut akan memberikan hal yang terbaik yang
dimilikinya untuk organisasi dimana dia bergabung. Sebaliknya, tenaga
kerja tersebut juga memiliki semacam pengharapan bahwa organisasi akan
memberikan kompensasi yang terbaik atas kontribusi yang diberikan oleh
tenaga kerja. Kesepakatan tidak tertulis ini akan menjadi harapan bagi
individu ketika dia bergabung. Harapan inilah yang kemudian dipahami
sebagai sebuah kontrak psikologis. Harapan dari individu terhadap apa
yang dapat diberikan oleh organisasi adalah apa yang dinamakan sebagai
kompensasi. Sedangkan apa yang dapat diberikan oleh individu terhadap
organisasi dinamakan kontribusi. Dalam proses interaksi individu dengan
organisasi kontribusi dan kompensasi ini akan selalu berjalan seiringan
dan akan terjadi tarik menarik antara satu dengan lainnya.
2) Kesesuaian Tenaga Kerja yang Dibutuhkan Perusahaan
Kesesuaian tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan terkait
dengan faktor individu dari tenaga kerja. Dalam kenyataannya, perusahaan
tidak selalu benar-benar mendapatkan tenaga kerja yang benar-benar
sesuai dengan harapan dan tuntutan dalam pekerjaan. Hal tersebut bisa
dikarenakan individu benar-benar tidak ada yang sempurna. Proses seleksi,
5
sekalipun dilaksanakan begitu ketat. tetap saja mempunyai keterbatasan
dalam mendapatkan orang yang benar-benar tepat, serta terjadinya
perubahan di lingkungan organisasi. Ketika lingkungan organisasi
berubah, tuntutan terhadap kualifikasi tenaga kerja juga ikut berubah.
Akibatnya, tenaga kerja yang pada mulanya telah direkrut dan sesuai bisa
jadi tidak lagi sesuai dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Hal ini pula
yang harus dnpahami ketika perusahaan berupaya untuk memahami
katakteristik individu dari tenaga kerja yang dimilikinya.
3) Keragaman Individu dalam Organisasi
Faktor lain yang harus disadari dan diterima oleh perusahaan
adalah bahwa manusia ditakdirkan tidak sama, baik dari sisi latar belakang
biologisnya. Latar belakang pendidikannya. Hingga berbagai faktor yang
memengaruhi karakteristik setiap individu tenaga kerja. Oleh karenanya,
keragaman dari individu sudah menjadi sebuah keniscayaan, dan tidak bisa
dinafikan keberadaannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu memahami
keragaman ini secara lebih terbuka dan menerimanya sebagai dinamika
yang terdapat dalam organisasi manapun. Hanya saja kembali ke
perusahaan itu sendiri bagaimana akan mengelola keragaman tersebut agar
menjadi potensi positif bagi produktivitas perusahaan, dan bukan sebagai
sumber konflik.1
1
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012), hlm. 218.
6
a. kepribadian merupakan suatu keseluruhan yang terorganisasi;
apabila tidak demikian halnya, maka sang individu tidak akan
mempunyai arti.
b. Kepribadian terlihat terorganisasi dalam pola-pola, yang hingga
tingkat tertentu dapat diobservasi dan dapat diukur.
c. Walaupun kepribadian memiliki suatu landasan biologikal,
pengembangan spesifiknya merupakan sebuah produk dari
lingkungan-lingkungan sosial dan kultural.
d. Kepribadian memiliki aspek-aspek superfisial, seperti misalnya
sikap terhadap kemungkinan menjadi pemimpin tim, dan sebuah
makna yang lebih mendalam seperti misalnya sentimen terhadap
otoritas, atau etika kerja Protestan.
e. Kepribadian mencakup ciri-ciri umum, maupun ciri unik. Setiap
orang berbeda dibandingkan dengan orang lain, dalam hal-hal
tertentu, walaupun mereka serupa dengan orang-orang lain dalam
hal-hal lain.2
2
J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 219
7
yang terdapat dalam setiap individu. Kelima jenis Perilaku tersebut adalah
tingkat persetujuan (agreeableness), tingkat kesadaran dan keseriusan
(conscientiousness), tingkat emosi yang negatif (negative emotion), tingkat
keleluasaan dalam berinteraksi (extraversion), dan tingkat keterbukaan
(openness).
8
individu yang memiliki ketidakstabilan yang rendah (yang berarti
kestabilannya tinggi) memillki perilaku yang cendcerung tenang, sabar,
dan tidak reaktif.
d) Tingkat Keleluasaan dan Kenyamanan (Extraversion)
Perilaku ini merujuk kepada kemampuan individu untuk merasa
nyaman dan leluasa bagi orang lain untuk berinteraksi dengannya. lndividu
yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi (artinya semakin ke kiri)
adalah individu yang akan membawa perilaku positif bagi organisasi
karena kemampuan individu tersebut untuk dapat diterima bagi orang lain.
Sebaiknya individu yang extraversion level-nya rendah cenderung sulit
untuk diterima di antara rekan kerja yang lain.
e) Tingkat Keterbukaan (Openness)
Tingkat keterbukaan merujuk kepada perilaku individu untuk
bersikap terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan ini mencakup kesiapan
untuk menerima ide-ide baru, belajar dari orang lain, dan keterbukaan
untuk menerima kritik dan saran. lndividu yang tingkat keterbukaannva
tinggi akan memberikan dampak positif bagi perusahaan. sebaliknya,
individu yang tingkat keterbukaannya rendah justru akan menghambat
proses interaksi dalam organisasi dikarenakan ketertutupan sering kali
justru menimbulkan persepsi yang keliru atau kesalahpahaman dalam
organisasi.3
1) Locus of Control
3
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012), hlm. 219-221.
9
Perilaku ini merujuk kepada sebuah keyakinan yang dimiliki
individu mengenai hasil yang mereka peroleh merupakan akibat dari apa
yang mereka lakukan. Sebagai contoh, seseorang yang bekerja baik akan
beranggapan bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang baik pula,
sedangkan mereka yang bekerja kurang baik akan memperoleh basil yang
kurang baik pula, dan mungkin disebabkan karena rendahnya motivasi
untuk bekerja. Mereka yang beranggapan bahwa baik buruknya hasil
sangat tergantung kepada prestasi yang ditunjukkan oleh dirinya adalah
mereka yang memiliki internal locus of control. Ada pula individu-
individu yang beranggapan bahwa hasil yang buruk bukan dikarenakan
prestasi yang mereka tunjukkan kurang baik, akan tetapi mereka
beranggapan bahwa nasib mereka kurang baik, atau lebih cenderung
mencari kambing hitam dari apa yang mereka alami. Mereka yang
memiliki anggapan ini adalah mereka yang memiliki external locus of
control. Harus disadari bahwa perusahaan akan berhadapan dengan
berbagai karakteristik individu yang memiliki kemungkinan dari kedua
jenis perilaku ini.
2) Self-Eficacy
Perilaku ini merujuk kepada kepercayaan diri dari individu untuk
dapat melakukan sesuatu. Individu yang memiliki self-eficacy yang tinggi
adalah individu yang memiliki keyakinan untuk mengerjakan berbagai hal,
sebaliknya individu yang self-eficacyinya rendah adalah individu yang
sering kali meragukan kemampuan dirinya untuk melakukan berbagai hal.
Perilaku ini sangat terkait dengan tingkat kepercayaan diri (level of
confidence) yang dimiliki oleh setiap individu.
3) Anthoritarianism
Perilaku ini merujuk kepada keyakinan individu akan peran
tingkatan hierarki dalam sebuah organisasi dan kaitannya dengan
kekuasaan dalam organisasi. Individu yang tinggi tingkat
authoritarianism-nya beranggapan bahwa jika perintah atau keputusan
telah dikeluarkan dari hierarki yang lebih tinggi, maka tidak ada alasan
untuk menolak karena segala sesuatunya itu datang dari hierarki yang
10
lebih tinggi, dan oleh karenanya harus diikuti. Akan tetapi, individu yang
tingat authoritarianism-nya rendah beranggapan bahwa kebenaran tidak
selalu muncul berdasarkan tingkat hierarki dalam sebuah organisasi,
sehingga sekalipun atasan misalnya telah mengeluar'kan sebuah keputusan
atau perintah, tidak serta-merta harus diikuti.
4) Machiavellism
Istilah Machiavellism merujuk kepada tokoh di abad 16 yang
bernama Nicolo Machiavelli yang menganjurkan seseorang terutama
pemimpin untuk bertindak secara rasional. Dan jika suatu tindakan
rasional itu akan membawa kita kepada kekuasaan sekalipun melawan
emosional kita, maka tindakan tersebut dapat diterima sebagai suatu
kebenaran. Perilaku Machiavelism merujuk kepada perilaku untuk
merekayasa perilaku orang lain selama rekayasa perilaku tersebut akan
membantu kita dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu mereka yang
tingkat Machiavellism-nya tinggi adalah seorang yang tinggi
rasionalitasnya, rendah tingkat loyalitas dan persahabatan, serta menyukai
untuk melakukan kontrol terhadap orang lain. Adapun individu yang
rendah tingkat Machiavellism-nya cenderung memiliki tingkat emosional
yang tinggi, rasionalitas yang rendah, menghargai persahabatan dan
loyalitas, dan kurang menyukai untuk mengontrol orang lain.
5) Self-Esteem
Perilaku ini merujuk kepada sebuah keyakinan dari seseorang atau
individu bahwa dirinya layak untuk mendapatkan penghargaan. Individu
yang memiliki tingkat self-esteem yang tinggi cenderung berupaya untuk
mencari posisi yang tinggi dalam sebuah organisasi, adapun individu yang
tingkat self-esteem-nya rendah cenderung. berperilaku sebaliknya.
6) Risk Propensity
Perilaku ini merujuk kepada kecenderungan individu dalam hal
pengambilan risiko dan menjawab tantangan. Individu yang risk
propensity-nya tinggi adalah seorang risk taker atau pengambil risiko.
11
Adapun individu yang risk propensity-nya rendah adalah seorang yang
risk averser atau penghindar risiko.4
12
muncul dilihat dari ketiga komponen sikap tersebut. Misalnya, seorang
manajer mengalami pengalaman yang kurang baik ketika membeli bahan baku
dari PT ABC. Maka manajer akan bersikap dengan menyatakan, “Saya
kecewa dengan kualitas bahan baku dari PT ABC” (komponen afektif).
“Kualitas bahan baku PT ABC jauh di bawah kualitas bahan baku dari PT
DEF” (komponen kognitif). “Saya pikir perusahaan tidak perlu lagi membeli
bahan baku dari PT ABC” (komponen intensi).
13
dalam hal motif yang mendorong setiap individu untuk bekerja dan
memperoleh kepuasan dalam pekerjaan. Pembahasan mengenai motif-motif
tenaga kerja ini akan dibahas dalam bab selanjutnya. Salah satu antisipasi
terhadap sikap puas dan ketidakpuasan adalah isu mengenai komitmen. 7
1) Persepsi Selektif
Yaitu proses penyeleksian informasi mengenai sesuatu di mana
sesuatu tersebut mengalami berbagai kontradiksi dan ketidaksesuaian dari
persepsi awal yang kita yakini. Sebagai contoh, jika kita telah memiliki
persepsi positif terhadap si A misalnya yang dikenal sebagai pekerja yang
baik, ulet, dan bertanggung jawab. Suatu saat ketika kita mendapati dia
tidak bertanggung jawab maka dengan segera kita akan melakukan
justifikasi bahwa apa yang ditunjukkan si A barangkali hanya bersifat
kasuistis dan tidak mengurangi penilaian kita terhadap si A bahwa si A
adalah sosok yang bertanggung jawab, baik dan ulet. Persepsi selektif ini
sangat baik ketika kita mendapati informasi yang minor yang berlawanan
atau bertentangan dari informasi mayor yang selama ini kita yakini. Hanya
saja, menjadi tidak baik sekiranya apa yang kita yakini sesungguhnya juga
terdapat kesalahan.
2) Stereotip
Yaitu proses pelabelan terhadap seseorang berdasarkan suatu
kejadian tertentu yang dialami atau dilakukan oleh seseorang tersebut.
7
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012), hlm. 224.
14
Misalnya, penilaian bahwa wanita itu lemah dan tidak mampu untuk
melakukan banyak hal. Dalam kenyataannya tidak setiap wanita lemah dan
juga tidak setiap lelaki kuat, sehingga pandangan gender mengenai wanita
lemah dan lelaki lebih kuat cenderung merupakan sebuah stereotip.
Tentunya isu gender ini masih diperdebatkan dari dulu hingga sekarang,
akan tetapi ketika wanita dan lelaki memiliki hak yang sama dalam suatu
organisasi, maka stereotip bagi salah satunya tentunya menjadi sesuati
yang kurang tepat untuk dilakukan.
Manajer perlu berhati-hati dalam mempersepsi setiap individu di
dalam organisasinya. Hal ini dikarenakan setiap individu akan
memberikan sikap atas setiap persepsi yang dilakukan manajer. Jika sikap
yang ditunjukkan individu positif maka hal tersebut akan membantu
manajer dalam meningkatkan produktivitas organisasi. Namun, jika sikap
yang ditunjukkan oleh individu negatif, maka hal tersebut akan
memunculkan konflik internal dalam organisasi yang akan menghambat
produktivitas organisasi. 8
8
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012), hlm. 225
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga faktor yang perlu kita pahami lebih lanjut mengenai faktor
individu dalam organisasi. Ketiga hal tersebut adalah yang terkait dengan
kontrak psikologis (psychological contract). kesesuaian tenaga kerja yang
dibutuhkan perusahaan (the person-job fit). Dan keragaman individu dalam
organisasi (the individual differences in organization).
16
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18