Kegiatan Belajar 3
1. Sistem Pemerintahan Era Reformasi
Munculnya Era Reformasi ini menyusul
jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun
1998. Prinsip reformasi Indonesia adalah
Negara Indonesia adalah negara Hukum,
Sistem Konstitusional pada era reformasi
(sesudah amandemen UUD 1945), Sistem
ini tetap dalam frame sistem
pemerintahan presidensial, Kekuasaan
negara tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Krisis finansial
Asia yang menyebabkan ekonomi
Indonesia melemah dan
semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap
pemerintahan
pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan
terjadinya demonstrasi besar-besaran
yang dilakukan berbagai organ aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
2. Pemerintahan BJ Habibie (1998-1999)
Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998
diikuti dengan pelantikan B.J. Habibie
menjadi Presiden Republik Indonesia.
Segera setelah itu, melalui siaran pers
Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI
menyatakan dukungan terhadap
suksesi kepemimpinan ini. Dalam bidang
penataan kenegaraan, pemerintah
berhasil menyelenggarakan Sidang
Istimewa MPR pada 10-13 November
1998. Sidang ini bertujuan menghasilkan
keputusan untuk memantapkan langkah
pemerintah dalam melaksanakan
reformasi di segala bidang. Sebagai tindak
lanjutnya terdapat tiga program utama
penataan masalah politik, yakni (1)
kebijakan pembebasan pendirian partai
politik, (2) kebijakan penetralan birokrasi
sipil dan militer dalam pemilu, dan (3)
kebijakan penguatan lembaga
penyelenggara pemilu
3. Pemerintahan Abdurrahman Wahid
(1999-2001)
Abdurrahman Wahid atau yang kerap
disapa Gus Dur (Lahir di Jombang 4
Agustus 1940) merupakan salah satu
tokoh penting yang mengawal proses
reformasi. Ia dikenal sebagai tokoh
oposisi Islam pada masa Orde Baru.
Sebagai
ketua umum Nahdlatul Ulama, ia
memiliki basis pendukung yang loyal dari
kalangan Islam tradisional.
Hal yang kontroversial yang dilakukan
Gusdur adalah membubarkan dua
departemen sempat menuai kontroversi.
Hal ini kemudian memicu reaksi dari DPR
yang menganggap pemerintahan Gus Dur
justru lebih banyak diwarnai dengan
intrik pergantian kabinet. Dari sini, DPR
kemudian menggunakan hak
interpelasinya untuk meminta keterangan
dari presiden pada 18 November 1999.
Pada acara ini, presiden tetap bersikukuh
dengan kebijakannya dan menyatakan
DPR seperti Taman Kanak-Kanak. Inilah
yang lantas menyebabkan hubungan
antara DPR dan Presiden memanas.
4. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
(2001-2004)
Megawati Soekarnoputri adalah presiden
wanita pertama Indonesia. Lahir pada
27 Desember 1949, Megawati adalah
putri presiden pertama Indonesia. Setelah
Gus Dur dimakzulkan melalui sidang
istimewa MPR, sebagai wakil presiden ia
segera dilantik untuk mengisi
kekosongan jabatan presiden. Pergantian
presiden di masa sulit memberikan
pekerjaan rumah yang besar bagi
Megawati. Korupsi makin merajalela
bahkan lebih buruk daripada periode
sebelumnya. Untuk itulah pada 16
Desember 2003 didirikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
amanat dari Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001. P
5. Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (2004-2014)
Konsep Trias Politika (Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif) pada masa
pemerintahan SBY mengalami perubahan
progresif, dimana konsep tersebut
berusaha menempatkan posisinya
berdasarkan prinsip structural Sistem
PolitikIndonesia, yakini berdasarkan
kedaulatan rakyat. Pada masa
pemerintahan SBY, hal tersebut benar-
benar terimplementasikan, dimana rakyat
bisa memilih secara langsung calon wakil
rakyat melalui Pemilu untuk memilih
anggota dewan legislaif, dan Pilpres
untuk pemilihan elit eksekutif, sekalipun
untuk elit yudikatif, pemilihanya masih
dilakukan oleh DPR dengan
pertimbangan presiden. Politik pencitraan
merupakan salah satu senjata ampuh
yang digunakan para pemimpin negara
untuk mengambil hati rakyatnya. Pola
politik pencitraan tentu digunakan oleh
hampir semua pemimpin negara di dunia,
termasuk Presiden SBY. Selaku pemimpin
negara, ia tentu harus membentuk citra
dirinya sebaik mungkin demi menjaga
imej baiknya di mata masyarakat
Indonesia.
6. Masalah Pertahanan dan Keamanan serta
Ancaman Disintegrasi
Reformasi memberi pekerjaan rumah
yang sangat besar dalam bidang
pertahanan dan keamanan dalam negeri.
Tindak kekerasan yang berhasil
ditekan melalui kekuatan represi pada
masa Orde Baru menjadi tidak dapat
dikendalikan. Sebagian besar
dilatarbelakangi oleh konflik etnis dan
agama.
Kegiatan Belajar 4
1. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37
tahun 2009 tentang Hubungan Luar
Negeri, pelaksanaan kegiatan hubungan
luar negeri baik regional maupun
internasional, melalui forum bilateral
atau multilateral diabdikan pada
kepentingan nasional berdasarkan
prinsip politik luar negeri yang bebas
aktif. Yang dimaksud dengan "bebas
aktif" adalah politik luar negeri yang pada
hakikatnya bukan merupakan politik
netral, melainkan politik luar negeri yang
bebas menentukan sikap dan
kebijaksanaan terhadap permasalahan
intemasional dan tidak mengikatkan diri
secara apriori pada satu kekuatan dunia
serta secara aktif memberikan
sumbangan, baik dalam bentuk
pemikiran maupun partisipasi aktif
dalam menyelesaikan konflik, sengketa
dan permasalahan dunia lainnya, demi
terwujudnya ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial
2. Konferensi Asia Afrika
Di akhir perang Dunia II, ada keinginan
yang besar di kalangan dunia untuk
memperoleh kemerdekaan, terutama di
kawasan Asia dan Afrika. Di satu sisi,
kecemasan dunia semakin meningkat
akibat persingan senjata antara Blok
Barat
dan Blok Timur. Untuk itulah, pada 18-
25 April 1955 di Bandung
diselenggarakan Konferensi Asia Afrika
(KAA). Konferensi ini menghasilkan
berbagai keputusan penting yang
dituangkan dalam suatu komunike
bersama. Di samping itu, telah disetujui
pula prinsip-prinsip hubungan
internasional dalam rangka memelihara
dan memajukan perdamaian dunia yang
dikenal dengan Dasasila Bandung
3. Gerakan Non Blok
Ada Blok Barat yang mengusung
liberalisme dan Blok Timur yang
membawa sosialismekomunisme. Sentral
gerakan blok barat adalah Amerika
Serikat, sementara itu
Blok Timur digawangi oleh Uni Soviet.
Melihat permasalahan itu, sejak lama
Indonesia telah menyatakan diri
menganut netralisme
Netralisme Indonesia dalam politik luar
negeri diwujudkan dalam penerapan
prinsip bebas aktif. Penerapan bebas aktif
pada masa revolusi dimaknai sebagai
pendirian dan sikap dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan
mengejar cita-cita menentukan sikap
sendiri, tidak mengikat diri pada blok
Amerika atau Rusia. Politik Indonesia
harus ditentukan oleh kepentingannya
sendiri dan dijalankan menurut keadaan
dan kenyataan yang dihadapinya. Politik
Indonesia tidak dapat ditentukan oleh
haluan politik negara-negara lain.
4. Deklarasi Djuanda
Pengumuman pemerintah dikenal dengan
istilah Deklarasi Djuanda. Dalam
pengumuman tersebut, ditetapkan batas
perairan nasional menggunakan prinsip-
prinsip yang dikenal sebagai “archipelago
principle” atau Wawasan NusSetelah
kemerdekaan, wilayah Indonesia masih
terpisah satu sama lain. Hal ini
karena lautan yang di antara pulau
masih belum secara otomatis masuk
menjadi kawasan teritorial Indonesia.
5. Misi Garuda
Semenjak Perang Dunia II, Timur Tengah
selalu bergolak sebagai akibat
didirikannya negara Israel di Palestina.
Pada 26 Juli 1956 masalah Timur
Tengah menjadi lebih panas setelah
Terusan Suez dinasionalisasi oleh Mesir.
6. Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
Dibentuk setelah para pemimpin
sejumlah negara Islam mengadakan
Konferensi di Rabat, Maroko, pada
tanggal 22 - 25 September 1969, dan
menyepakati Deklarasi Rabat yang
menegaskan keyakinan atas agama Islam,
penghormatan pada Piagam PBB dan hak
asasi manusia. Pembentukan OKI semula
didorong oleh keprihatinan negara-negara
Islam atas berbagai masalah yang
diahadapi umat Islam, khususnya setelah
unsur Zionis membakar bagian dari
Masjid Suci Al-Aqsa pada tanggal 21
Agustus 1969.
ASEAN
7. Pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok,
Thailand, diadakan pertemuan antara
perwakilan lima negara: Menteri Luar
Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil
Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan dan Menteri Pembangunan
Nasional Malaysia (Tun Abdul Razak),
Menteri Luar Negeri Filipina (Narciso
Ramos), Menteri Luar Negeri Singapura
(S. Rajaratnam), dan Menteri Luar Negeri
Thailand (Thanat Khoman). Pertemuan
tersebut membahas Deklarasi Bersama
dengan melakukan pertemuan dan
penandatanganan Deklarasi ASEAN (The
ASEAN Declaration) atau Deklarasi
Bangkok (Bangkok Declaration).
8. Jakarta Informal Meeting
Asia Tenggara merupakan salah satu
arena pertarungan kepentingan
internasional. Berbagai konflik akibat
perang dingin mengemuka di kawasan
ini.
Salah satunya adalah permasalahan yang
terjadi di Vietnam dan Kamboja.
Setelah kemenangan komunis di Vietnam
Utara pada 1975, ASEAN berinisiatif
untuk menyatukan padangan tentang
bagaimana menghadapi perkembangan
baru di kawasan Indocina.
9. Peran Indonesia di PBB
Indonesia di tengah usaha mencari
pengakuan tersebut harus mengalami
masa revolusi fisik dengan tentara sekutu
terutama Inggris dan Belanda yang
datang dengan kepentingan dalam
peralihan kekuasaan atas wilayah jajahan
perang. PBB yang dalam beberapa
tujuannya sebagai pusat harmonisasi
antar negara dan bekerja sama dalam
menyelesaikan permasalahan
internasional mengambil peran sebagai
pihak yang menengahi permasalahan di
antara kedua pihak. Keterlibatan PBB
bermula ketika agresi militer Belanda
terjadi ketika Indonesia dan Australia
segera mengusulkan permasalahan itu
untuk didiskusikan dalam Sidang Umum
PBB. Sebagai bentuk respon dari usulan
tersebut, Dewan Keamanan (DK) PBB
membentuk Committee of Good Offices
for Indonesia atau lebih dikenal dengan
Komisi Tiga Negara (KTN) yang berisikan
Australia yang dipilih oleh Indonesia,
Belgia yang ditunjuk oleh Belanda, dan
Amerika Serikat yang ditunjuk oleh
keduanya.
Indonesia menjadi anggota Majelis Umum
PBB semenjak tahun 1951. Indonesia
pernah sekali ditunjuk sebagai Presiden
Majelis Umum PBB pada tahun 1971,
yang pada saat itu diwakili oleh Adam
Malik yang memimpin sesi ke 26 sidang
Majelis Umum PBB
2 Daftar materi yang sulit 1. Karakteristik Orde Baru
dipahami di modul ini 2. Masalah Pertahanan dan Keamanan
serta Ancaman Disintegrasi
3. Kebijakan-kebijakan ekonomi di masa
Orde Baru