Anda di halaman 1dari 34

PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP VOC DI DAERAH MALUKU,

MAKASSAR, MATARAM, DAN BANTEN

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Indonesia Masa Kolonial
Yang dibina oleh Bapak Deni Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum

Disusun oleh:

ARDIANSYAH NOR HIDAYAH (200731638147)


EDWIN FITRIA SYAH (200731638028)
RETNO WULAN CAHYANINGRUM (200731638007)
SAKAFITRI RIMASARI (200731638015)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
APRIL 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “PERLAWANAN RAKYAT
TERHADAP VOC DI DAERAH MALUKU, MAKASSAR, MATARAM DAN
BANTEN” sebagai tugas kelompok matakuliah Indonesia Masa Kolonial, dapat kami
selesaikan dengan baik. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman pembaca terkait perlawanan-perlawanan daerah terhadap VOC.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini, dosen
pembimbing kami Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M. Hum dan juga kepada teman-teman
seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi
yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di
dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik
dan saran yang membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Malang, 05 April 2022

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 2
1.4 Kajian Pustaka ........................................................................................................... 3
1.4.1 Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Maluku terhadap VOC ............... 3
1.4.2 Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Makasar terhadap VOC .............. 3
1.4.3 Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Mataram terhadap VOC.............. 4
1.4.4 Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Banten terhadap VOC................. 4
1.5 Metodologi ................................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
2.1 Perlawana Maluku terhadap VOC .............................................................................. 6
2.1.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap VOC ............................. 6
2.1.2 Jalannya Pertempuran Maluku Terhadap VOC .................................................. 6
2.2 Perlawana Makasar terhadap VOC ............................................................................ 8
2.2.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap VOC ............................ 8
2.2.2 Jalannya Pertempuran Makassar dengan VOC .................................................. 9
2.2.3 Isi Perjanjian Bongaya .................................................................................... 14
2.2.4 Dampak Perlawanan Rakyat Makassar ............................................................ 15
2.3 Perlawana Mataram terhadap VOC .......................................................................... 15
2.4 Perlawana Banten terhadap VOC ............................................................................. 21
2.4.1 Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa ................................................................ 21
2.4.2 Perlawanan Kiai Tapa & Ratu Bagus Buang ................................................... 26
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 28
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 28
3.2 Saran ...................................................................................................................... 29
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................................ 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan bangsa Eropa datang ke Indonesia


dan selanjutnya melakukan monopoli perdagangan rempah, serta melakukan praktik
imperialisme dan kolonialisme. Faktor-faktor ini dapat ditarik dari kondisi di Eropa
setelah masa renaissance yang mendorong munculnya ideologi merkantilisme, revolusi
industri dan kapitalisme. Selain gerakan pencerahan/renaissance yang mendorong
kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa, jatuhnya Konstantinopel sebagai pusat
komoditas rempah pasar Eropa di tangan Turki Utsmani pada tahun 1453, menyebabkan
blokade perekonomian yang dilakukan Turki Utsmani kepada orang-orang Eropa,
sehingga orang-orang Eropa kehilangan pusat komoditas rempah-rempahnya, rempah-
rempah merupakan barang yang sangat berharga di Eropa pada saat itu dan bernilai
sangat tinggi. Dengan jatuhnya Konstantinopel di tangan Turki, orang-orang Eropa
berbekal ilmu pengetahuan dan alat-alat transportasi melakukan penjelajahan samudra
untuk menemukan rempah-rempah dari sumbernya, didorong juga dengan motivasi
Gold, Glory, Gospel (Aman. 2013).

Bangsa Eropa yang sampai di Indonesia tepatnya di Malaka pada tahun 1511,
kemudian disusul oleh Bangsa Spanyol yang sampai di Maluku pada tahun 1521 namun
kedatangan mereka di Indonesia tidak berlangsung lama, akan tetapi pelayaran kedua
bangsa Indonesia ini memberikan kemajuan besar bagi pelayaran samudera yang
dilakukan oleh bangsa Eropa lainnya, salah satunya Belanda dibawah Cornelis de
Houtman. Cornelis de Houtman merupakan pelopor perusahaan-perusahaan dagang
Belanda yang melakukan pelayaran samudra ke Hindia Timur/Indonesia dan tiba pada
tahun 1596 di Pelabuhan Banten lewat Selat Malaka, kedatangannya ke Hindia Timur ini
mendorong berbagai kongsi-kongsi dagang di Belanda datang ke Hindia Timur. Namun
banyaknya kongsi dagang ini menimbulkan permasalahan yang disebabkan persaingan
antara kongsi-kongsi dagang Belanda tersebut. Sehingga dalam mengatasi permasalahan
ini dibentuklah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602 atas
usulan dari Johan van Oldenbarnevelt merupakan seorang anggota Parlemen Belanda
(Aman. 2013)

1
VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal dan memiliki hak monopoli dan hak
kedaulatan dalam menjalankan tugasnya, selain menjalankan tugasnya dalam melakukan
perdagangan, VOC juga berupaya dalam menjalankan perluasan politik dan ekonominya,
dalam upayanya tersebut VOC menerapkan berbagai strategi. Pertama politik devide et
empire (politik adu domba). Kedua hak ekstirpasi yaitu hak yang dimiliki VOC dalam
menghancurkan tanaman-tanaman rempah agar tidak berproduksi secara berlebihan
sehingga harga rempah akan tetap mahal karena permintaan yang tinggi sedangkan
rempah dalam jumlah yang terbatas. Ketiga pelayaran Hongi, yang terjadi di Maluku
yaitu patroli yang dilakukan oleh VOC dengan menggunakan perahu bercadik dilengkapi
senjata-senjata bertujuan untuk mencegah pribumi menjual rempah ke bangsa lain selain
Belanda. Dengan upaya-upaya dan hak istimewanya VOC berhasil menguasai dan
memonopoli perdagangan rempah-rempah, selama berdirinya VOC sejak 1602-1799
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh VOC sangat merugikan pihak pribumi,
sehingga timbulah perlawanan-perlawanan terhadap VOC di berbagai wilayah di antara
Maluku, Makassar, Mataram dan Banten (Aman.2013).

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC?

1.2.2. Bagaimana perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC?

1.2.3. Bagaimana perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC?

1.2.4. Bagaimana perlawanan rakyat Banten terhadap VOC?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Dapat mengetahui proses terjadinya perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC.

1.3.2. Dapat mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya perlawanan rakyat Makasar


terhadap VOC.

1.3.3. Dapat mengetahui latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Mataram terhadap

VOC.

1.3.4. Dapat mengetahui proses terjadinya perlawanan rakyat Banten terhadap VOC

2
1.4. Kajian Pustaka

Sumber-sumber yang digunakan penulis dalam menjelaskan, mengidentifikasi


dan menganalisis perlawanan rakyat di berbagai daerah terhadap VOC dapat dijabarkan
sebagai berikut:

1.4.1. Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Maluku terhadap VOC

Sumber-sumber yang digunakan penulis dalam menjelaskan,


mengidentifikasi dan menganalisis perlawanan rakyat maluku terhadap VOC
adalah Buku sejarah indonesia, karya Dr. Abdurakhman, S.S., M.Hum.; Arif
Pradono, S.S., M.I.Kom., Friska Indah Kartika, S.Hum. Buku ini membahas
tentang perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, Spanyol, dan VOC; dan
juga membahas tentang perlawanan Kesultanan Aceh terhadap Portugis dan
VOC. Selain itu penulis juga menggunakan Buku Sejarah 2 seri ips karya Drs.
Prawoto, M.PD. yang membahas tentang perlawanan rakyat maluku pada masa
voc dan juga membahas tentang perkembangan kolonialisme dan imperialisme
barat serta pengaruhnya di indonesia. Selain dari buku itu penulis juga
menggunakan sumber sumber lainnya, seperti artikel dan sumber sumber
lainnya, artikel yang digunakan penulis adalah artikel yang membahas tentang
Sistem Pertahanan di Maluku Abad XVII-XIX karya Syahruddin Mansyur.

1.4.2. Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Makasar terhadap VOC

Beberapa sumber yang penulis gunakan untuk menjelaskan sub


pembahasan ini adalah buku Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber lainnya yaitu buku
Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi
Selatan yang ditulis oleh Muhammad Abduh dkk. Kemudian buku Makassar
Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim yang ditulis oleh
Edward L. Poelinggomang, juga buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004

3
karangan M. C. Ricklefs, serta beberapa sumber-sumber lain yang masih
relevan.

1.4.3. Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Mataram terhadap VOC

Sumber yang penulis gunakan dalam menjelaskan sub pembahasan ini


adalah buku Indonesia: Dari Kolonialisme Sampai Kolonialisme karya Dr.
Aman, M.PD didalamnya menjelaskan bagaimana perlawanan rakyat Mataram
terhadap VOC. Sumber yang digunakan penulis selanjutnya Mencari Jejak
Benteng ‘DE VIJFHOEK’ di Kota Lama Semarang Melalui Pendekatan Sejarah
karya Krisprantono diterbitkan tahun 2009 dalam pembahasan awalnya
menyinggung mengapa VOC sangat tertarik untuk menguasai daerah pesisir
utara Jawa dimana daerah tersebut merupakan bagian dari kekuasaan Mataram.
Kemudian sumber lain yaitu skripsi Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC
1628-1629 ditulis oleh Siti Ma’rifah diterbitkan pada tahun 2014
pembahasannya meliputi latar belakang perlawanan terhadap VOC dan
bagaimana proses perlawanan antara kedua belah pihak berlangsung, kemudian
sumber lainnya yaitu artikel ilmiah karya Susilo, Agus dan Yeni Asmara
berjudul Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Eksistensi Kesultanan Mataram
yang menjelaskan Sultan Agung sebagai tokoh yang melakukan perlawanan
terhadap VOC. Sumber lainnya yaitu dalam jurnal candi Volume 20 No. 2
dengan judul artikel Kajian Nilai-Nilai Perjuangan Sultan Agung Sebagai
Penguatan Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah di SMA didalamnya
menjelaskan nilai-nilai yang dapat diambil atas peristiwa perlawanan Mataram
terhadap VOC.

1.4.4. Sumber-sumber sub pembahasan perlawanan Banten terhadap VOC

Guna menjelaskan sub bahasan perlawanan Banten terhadap VOC,


penulis menggunakan berbagai sumber baik dari buku, skripsi, maupun artikel.
Sumber-sumber tersebut diantaranya yakni buku Indonesia dalam Arus
Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan yang ditulis oleh Prof. Dr. A. M. Djuliati
Suroyo, dkk. Selain itu penulis menggunakan buku Sejarah Asia Tenggara

4
karya D. G. E. Hall serta buku karya Claude Guillot yang berjudul Banten:
Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Kemudian penulis juga menggunakan
sumber berupa skripsi dan artikel, diantaranya adalah skripsi mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Intervensi VOC dalam Konflik
Suksesi di Kesultanan Banten 1680-1684. Beberapa artikel ilmiah juga
digunakan untuk menunjang pembahasan diantaranya adalah artikel yang
berjudul Perlawanan Banten Terhadap Belanda oleh Siti Maria Ulfah, artikel
Strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mempertahankan Kesultanan Banten
oleh Herni Indriani dalam jurnal OSF, dan artikel dari Jurnal Salus Cultura
Volume 1 No 2 tahun 2021 yang berjudul Meninjau Kembali Sejarah Banten:
Studi Kasus Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dan Implementasi
Kepemimpinannya.

1.5. Metodologi

Pembahasan ini merupakan hasil dari penelitian sejarah yang menggunakan


studi pustaka sebagai metode dalam mengumpulkan informasi atau data-data yang
diperlukan. Menurut Kuntowijoyo terdapat lima tahap dalam penelitian sejarah yakni
pemilihan topik, heuristik atau pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan
historiografi atau penulisan (Kuntowijoyo, 2018). Topik utama yang diangkat adalah
mengenai perlawanan masyarakat terhadap VOC. Dari topik utama tersebut kemudian
dibahas lebih rinci mengenai perlawanan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
seperti Maluku, Makassar, Mataram, dan Banten. Setelah pemilihan topik tersebut
kemudian dilanjutkan tahap pengumpulan data atau heuristik yang menggunakan metode
studi pustaka. Dalam metode studi pustaka, penulis menggunakan sumber-sumber
pustaka seperti buku, skripsi, dan artikel. Kemudian sumber-sumber yang telah
didapatkan diverifikasi kebenarannya, di interpretasi, dan kemudian dituliskan atau
memasuki tahap historiografi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perlawanan Maluku Terhadap VOC

2.1.1. Latar Belakang Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap VOC

Perlawanan rakyat maluku terhadap VOC dilatarbelakangi oleh adanya


kesengsaraan rakyat maluku karena adanya tindakan yang sewenang-wenang yang
dilakukan oleh VOC terhadap rakyat melaku, Berbagai tindakan tersebut
menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku. Hal- hal tersebut yang
melatarbelakangi perlawanan rakyat maluku diantaranya 1). Penduduk wajib kerja
paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan
membuat garam. 2). Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi. 3).
Banyak Pemerintah, pegawai dan guru-guru diberhentikan dan sekolah hanya
dibuka di kota besar saja. 4). Jumlah pendeta dikurangi sehingga membuat kegiatan
dalam menjalankan ibadah menjadi terhalang. 5). Secara khusus yang menyebabkan
kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat
untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.

2.1.2. Jalannya Pertempuran Maluku Terhadap VOC

A. Perlawanan Rakyat Maluku Pada Abad 17

Perlawan rakyat maluku terhadap VOC Pada tahun 1635-1646 , pada


perlawanan ini, rakyat yang ada di kepulauan Hitu berupaya bangkit melawan VOC,
dibawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi, akan tetapi Kakiali pada saat itu harus
gugur terlebih dahulu dan perlawanan tersebut dapat dipadamkan dengan mudah oleh
VOC, Kemudian berlanjut Pada tahun 1650, Perlawanan rakyat Ambon dibawah
pimpinan Saidi dan ada juga Perlawanan di daerah lain, seperti Seram, Haruku dan
Saparua, Akan tetapi semua perlawanan tersebut berhasil dipadamkan oleh VOC.

B. Perlawanan Pada Masa Sultan Nuku

Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan besar rakyat maluku yang
mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Perlawanan rakyat melawan VOC pada

6
abad ini rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada awalnya VOC berdagang di Tidore
dan kemudian dengan berbagai tipu muslihat VOC, pada akhirnya kerajaan Tidore
memiliki hutang kepada VOC dan harus menyerahkan semua wilayahnya kepada
VOC, dan karena kejadian itu, rakyat Tidore marah dan mengangkat senjata untuk
segera melawan VOC. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di
bawah pimpinan Sultan Nuku, pada saat itu peperangan sangat panas, meskipun pada
akhirnya Pasukan sultan nuku dan rakyat Tidore berhasil mengusir VOC dari Maluku,
Namun setelah Sultan Nuku meninggal pada tahun 1805, Pada saat itu tidak ada lagi
perlawaan yang kuat menentang VOC , Pada saat itu juga merupakan kesempatan
emas bagi VOC untuk mulai memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku.

C. Perlawanan Pada Masa Kapitan Pattimura

Pada tahun 1817 , Perlawanan terhadap VOC dipimpin oleh Thomas Matulesi
atau lebih dikenal dengan nama Pattimura, Pattimura beserta Pemimpin-pemimpin
lainnya diantaranya Anthonie Rhebok, Said Perintah, Lucas Latumahina, Thomas
Pattiwael, Ulupaha dan terdapat seorang putri yang bernama Christina Martha
Tiahahu.

Perlawanan yang di pimpin Pattimura ini memulai awal serangan pada tanggal
15 mei 1817, Rakyat maluku pun beregerak pada saat malam hari, rakyat maluku
yang ada di sana pada saat itu juga lansung memulai penyerangan dengan membakari
kapal-kapal VOC yang ada di pelabuhan Porto tersebut, Kemudian pasukan Pattimura
langsung mengepung Benteng Duurstede, Residen Van den Berg yang ada dalam
Benteng Duurstede ditembak mati, dan Keesokan harinya pada tanggal 6 Mei 1817,
pasukan Pattimura akhirnya berhasil merebut dan menduduki Benteng Duurstede
tersebut.

Perlawanan berawal dari pulau saparua, hingga menjalar ke pulau-pulau lain,


yakni haruku, Seram, Larike, Uring, Asilulu, dan Wakasihu. Pada tanggal 19 Mei
1817, VOC mendatangkan pasukan bantuan dari Ambon ke Haruku. Mereka semua
bermarkas di Benteng Zeelandia, Tetapi Raja Haruku dan raja raja daerah sekitarnya
sudah siap menghadapinya, kemudian rakyat Haruku dan raja-raja di daerah
sekitarnya dikerahkan untuk menyerang benteng Zeelandia. VOC menerobos
pengepungan rakyat dan maju dari Haruku ke Saparua, Maka berkobarlah
pertempuran sengit di Saparua, Pada saat itu sebagian dari orang-orang VOC banyak

7
yang tewas, termasuk diantaranya terdapat beberapa orang perwira, dan pada saat itu
menjadi hari kemenangan Pattimura di Saparua dan dengan kemenangan tersebut
dapat membakar semangat perjuangan di daerah-daerah lain di seluruh Maluku.

Pada awal bulan Juli 1817, VOC Kembali mendatangkan pasukan bantuan ke
Saparua, mereka berusaha merebut Benteng Duurstede kembali, akan tetapi usaha
tersebut tidak berhasil, Kemudian pada saat itu juga VOC mengajak para pemimpin
Maluku untuk berunding dan perundingan tersebut juga tidak membuahkan hasil,
sehingga pertempuran pun berkobar lagi. Pada akhir Juli 1817, VOC melanjutkan
mengirim pasukan bantuan ke Saparua kembali, VOC mengerahkan kapal-kapalnya
dan mulai melepaskan tembakan meriam dengan gencar ke arah Benteng Duurstede,
dimana pada saat itu Benteng tersebut masih diduduki oleh pasukan Pattimura.
Sementara itu, pasukan-pasukan VOC terus menerus didatangkan hingga membanjiri
Saparua.

Akhirnya pada bulan Agustus 1817, Benteng Duurstede berhasil direbut oleh
VOC kembali, akan tetapi perang masih belum berakhir, Pasukan Pattimura
melanjutkan kembali perlawanan dengan perang gerilya. Pemerintah Belanda
mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden kepada siapa saja yang
dapat menangkap Pattimura. Dan untuk menangkap pemimpin-pemimpin Maluku
lainnya, Mereka juga menyediakan 500 gulden tiap seorang pemimpin, Akan tetapi
rakyat Maluku tidak mau untuk mengkhianati perjuangan bangsanya yang telah
berjuang mati matian .

2.2. Perlawanan Makasar Terhadap VOC

2.2.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap VOC


Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC ini dilatarbelakangi oleh
beberapa hal diantaranya: 1) adanya usaha monopoli VOC dalam perdagangan,
baik dengan kekuatan militer maupun dengan jalan damai. Kerajaan Gowa yang
saat itu berkuasa di Makassar memiliki peran penting dalam perdagangan di
Indonesia timur sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Di sekitar tahun
1600, bandar Kerajaan Gowa (Bandar Somba Opu) berperan sebagai bandar transit
yang memperdagangkan rempah-rempah yang digemari orang Eropa. Oleh sebab

8
itu, bandar Sombaopu pada awal abad-17 telah menjadi tempat perdagangan
rempah-rempah dari Maluku. 2) Kepribadian masyarakat dan bangsawan Gowa
yang tidak mau diganggu kebebasannya. Sehubung dengan hal ini, bila ada yang
mengganggunya mereka menganggap dipermalukan, mengurangi harga diri dan
martabatnya. Mereka juga memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik
bersama, siapapun boleh melayarinya. 3) ketaatan dan kecintaan rakyat Gowa
kepada rajanya dengan landasan falsafah “akkanama’ nu mammio (saya bersabda
engkau mengiyakan)”. Dengan ketaatan ini, berarti rakyat ikut merasakan hal-hal
tertentu yang dirasakan raja. Rakyat bersedia melakukan apapun untuk keperluan
raja.

2.2.2 Jalannya Pertempuran Makassar dengan VOC

a. Perlawanan pada masa Sultan Alaudin


Pada tahun 1615, VOC berusaha untuk mengadakan kontak dengan Gowa.
Kapal dagang VOC, Enkhuysen berlabuh di bandar Sombaopu. Kapten kapal
tersebut, Dirck De Vries, menundang warga Gowa untuk beramah-tamah. Namun,
ternyata orang-orang Gowa tersebut dilucuti senjatanya. Orang gowa tidak mau
meyerah begitu saja, sehingga terjadilah perkelahian diantara keduanya. Karena
kekuatan yang tidak seimbang, perlawanan Gowa dapat dipatahkan dan ada di
antaranya yang dibawa ke Jawa sebagai tawanan VOC.

Pada 10 Desember 1616, kapal VOC, De Eendracht kembali berlabuh di


Somba Opu. Beberapa orang Belanda turun. Karena tingkah mereka yang tidak
pantas menurut orang Gowa dan adanya dendam lama, seluruh anak buah kapal
tersebut dibinasakan oleh orang Gowa. Usaha VOC untuk memonopoli
perdagangan di Indonesia timur selalu mendapat tantangan. Pada 1627, armada
Kerajaan Gowa bersama tentara Kerajaan Ternate menyerang VOC di perairan
Maluku. Perlawanan ini berlangsung hingga 1630. Dengan adanya perlawanan
tersebut ternyata mengancam rencana VOC untuk memonopoli perdagangan di
Indonesia timur. Kemudian, pada 1632, Antonio Coen, anggota Dewan Hindia dari
Batavia datang ke Gowa dengan maksud mengadakan perdamaian dengan raja,
tetapi gagal.

9
Pada tahun 1634, armada Gowa kembali dikirim ke Ambon untuk
membantu rakyat Ambon dalam menghadapi VOC. Perlawanan ini dilakukan
karena VOC melakukan pemusnahan pohon cengkeh di Maluku, dengan maksud
agar tidak terjadi kelebihan produksi yang berakibat pada menurunnya harga
cengkeh di pasaran dunia. Pertempuran ini berlangsung hingga 1636. Karena usaha
Belanda menaklukan Gowa dengan militer tidak berhasil, akhirnya pada 1637,
Gubernur Jenderal Antonio Van Diemen dengan dikawal armada yang kuat
menghubungi Sultan Alaudin di Gowa, tujuannya untuk mengadakan perjanjian
damai. Dalam perjanjian ini disyaratkan larangan rakyat Gowa untuk berdagang
dengan musuh Belanda, syarat ini ditolak oleh Gowa. Setelah berunding cukup
lama, perjanjian ini disetujui pada 26 Juni 1637. Isi perjanjian tersebut adalah:
perdamaian kekal, perdagangan bebas, tetapi Belanda tidak boleh mendirikan
tempat tinggal permanen di Somba Opu.

b. Perlawanan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (1639-1653)


Perlawanan terhadap VOC pada masa ini terjadi di luar daerah Gowa, yaitu
di perairan Pulau Timor, Maluku, dan Buton. Latar belakang perlawanannya ialah
karena Belanda sudah tidak mentaati perjanjian pada 1637 dan Kerajaan Gowa
berusaha melindungi kepentingan usaha dagangnya dan untuk membantu pedagang
serta penduduk Maluku. Melihat perlawanan dari Gowa, Belanda berusaha mencari
perdamaian dengan Raja Gowa pada bulan September 1653. Raja Gowa diminta
untuk mengirim utusan dan berangkat ke Batavia, tetapi ditolak oleh raja.

c. Perlawanan pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (1653-1670)


Perlawanan peperangan yang dilakukan pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin, merupakan usaha penentu berhasil tidaknya monopoli dagang VOC di
daerah Gowa dan Indonesia timur. Pada bulan April 1655, armada Gowa di bawah
pimpinan Sultan Hasanuddin menyerang orang Belanda yang telah menduduki
Buton. Dengan adanya peristiwa buatan tersebut, Belanda mengubah siasatnya
dengan usaha perdamaian. Pada tahun 1655 Johann Maetsyucker, gubernur
jenderal VOC mengutus William Van der Beeck ke Somba Opu untuk mengadakan
perjanjian dengan Sultan Hasanuddin. Perjanjian tersebut terlaksana pada 27
Februari 1956. Perjanjian ini berisi: Gowa boleh menagih piutangnya di Ambon,
melepaskan tawanan masing-masing, musuh bukan musuh raja Gowa, VOC tidak

10
akan turut campur dalam perselisihan internal orang Makassar, VOC tidak akan
menangkap orang Makassar yang ada di Maluku, dan raja akan mendapat ganti
rugi atas permintaan barang-barangnya.

Bagi VOC perjanjian ini tidak menguntungkan. Karena itu VOC mencari-
cari alasan untuk menyerang Gowa. VOC mengirim ultimatum kepada raja Gowa
yang dibalas dengan ultimatum pula. Hubungan kedua pihak pun bertambah degan
hingga berujung pada beberapa peperangan. Pada 1669 terjadi peperangan antara
VOC dengan Kerajaan Gowa. Peperangan ini bermula sejak ekspedisi Belanda
yang terdiri dari 31 buah kapal dan 2600 awak yang dikirim ke Sulawesi. Perang
mulai berkobar ketika Armada Belanda tiba di depan sombaopu dan mengalihkan
serangan ke benteng Panakkukang. Benteng Panakkukang ini dapat ditaklukan oleh
Belanda pada tanggal 12 Juni 1660. Dalam perang ini walaupun pasukan Gowa
tidak menyerah, namun kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata
dan perdamaian. Sultan Hasanuddin mengirim beberapa orang di bawah pimpinan
karaeng Popo ke Batavia untuk membicarakan perdamaian dengan gubernur
jenderal VOC.

Selama gencatan senjata ini raja Gowa tetap waspada. Raja Gowa giat
mendirikan benteng pertahanan antara lain di Mariso (sebelah utara Somba Opu),
membuat tembok dan parit sepanjang 2 setengah mil mulai dari Binanga Beru
(sungai Beru) ke Ujung Tanah. Untuk pembuatan parit ini didatangkan tenaga dari
Bone sebanyak 10000 orang. Pekerjaan ini terlalu berat sehingga timbul
ketidaksenangan orang Bone terhadap Sultan. Di bawah pimpinan Tobala, secara
diam-diam mereka kembali ke Bone. Hal ini merupakan salah satu sebab
ketidaksenangan Bone terhadap Gowa.

Pemberontakan Bone terjadi pada bulan Oktober 1660 yang dipimpin oleh
Tobala, dibantu oleh Aru palaka dan La Tenribali Datu Soppeng. Cobalah tewas
pada 11 Oktober 1660. Ketika pemberontakan Bone berlangsung, Karaeng Popo
dari Batavia tiba di Sombaopu pada tanggal 4 November 1660. Hasil perjanjian
perundingan yang dibawanya banyak merugikan Gowa, sehingga Sultan belum
menerimanya. Namun, karena Belanda menahan beberapa pembesar dan
bangsawan Gowa rombongan Karaeng Popo dan masih menduduki benteng

11
Panakkukang, maka akhirnya sultan menandatangani perjanjian tersebut pada 1
Desember 1660. Setelah Tobala tewas, pemberontakan Bone dapat dipadamkan,
namun Aru Palakka malah berpihak kepada VOC.

Kapal Belanda yang kembali memasuki perairan Makassar pada tahun


1662, dikejar oleh Armada Gowa dan kandas di wilayah dekat Makassar. Armada
Gowa menyita 16 pucuk meriam Belanda. Pada tanggal 24 Desember 1944
Armada Gowa berhasil mengejar kapal Belanda De Leeuwin yang memasuki
perairan Gowa. Kapal tersebut kandas di pulau Dayang-dayangnya di sebelah kapal
benteng Panakkukang. Banyak kapal-kapal Belanda yang tewas dan menjadi
tawanan kerajaan Gowa. Peristiwa ini mendorong VOC untuk kembali berunding,
akan tetapi tuntutan Belanda selalu sepihak dan merugikan Gowa. Sultan tidak
menyetujui tuntutan tersebut.

Pada tahun 1666, Sultan Hasanudin mengalahkan Armada besar yang terdiri
dari 700 kapal perang dan 20 ribu tentara di bawah pimpinan Laksamana kerajaan
Gowa, Karaeng Bontomarannu, dibantu oleh Datu Luwu Settiaraja, Sultan
Alimuddin, dan Sultan Bima menyerang Buton. Pada bulan Oktober 1666, VOC
mengambil keputusan untuk mengerahkan kekuatan senjatanya guna
menghancurkan kerajaan Gowa. Armada Belanda ini dipimpin oleh Laksamana
Cornelis Janszoon Speelman. Pasukan Spelman tiba di pelabuhan Sombaopu pada
tanggal 19 Desember 1666 dengan kekuatan armada 21 kapal, 600 tentara Belanda,
400 tentara Bugis dan Ambon di bawah pimpinan Aru Palaka dan Kapten Jonker
dari Manipa.

Perlawanan pasukan pasukan Gowa di bawah pimpinan Karaeng


Bontomarannu dapat dipadamkan oleh armada VOC. Banyak pasukan Gowa
menjadi tawanan VOC termasuk Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima, Raja
Luwu, putera dan saudara dari Karaeng Bontomarannu. Walaupun kerajaan Gowa
telah mengalami beberapa kekalahan baik di pesisir barat Sulawesi Selatan,
maupun di daerah Buton, dan Maluku, namun jiwa patriot dan semangat
kepahlawanan untuk menentang monopoli Belanda tidak pernah luntur. Karena itu,
daerah dan benteng pertahanan Gowa yang telah rusak dibangun kembali oleh
rakyat Gowa dipimpin oleh petinggi-petinggi Kerajaan Gowa.

12
Sementara usaha persiapan pertahanan dan konsolidasi pasukan Gowa
dilakukan oleh Sultan Hasanuddin, Aru Palaka yang dibantu Belanda berusaha pula
membebaskan Bone. Pada bulan Mei 1667, Aru Palaka mengirim kurang lebih
2000 pasukan di bawah pimpinan Datu Soppeng dan Arung Kaju ke daerah di
sekitar Bone, untuk bersama pasukan VOC untuk menyerang Gowa dari selatan.

Setelah Melalui Berbagai Peperangan, Speelman Menilai Bahwa Kekuatan


Pasukan Gowa Tidak Dapat Dianggap Remeh. Bila Terjadi Pertempuran Terus-
Menerus Kedua Pihak Akan Menelan Korban Dan Biaya Yang Sangat Besar. Oleh
Sebab Itu, Speelman Mencoba Mengajukan Usul Perdamaian Kepada Sultan
Hasanuddin. Pada Awalnya Sultan Menolak Tetapi Speelman Selalu Mendesak
Sultan Hingga Akhirnya Tercapailah Perjanjian Perdamaian Yang Disebut
Perjanjian Bongaya Yang Ditandatangani Pada 18 November 1667.

d. Perlawanan setelah perjanjian Bongaya


Meskipun Perjanjian Bongaya telah ditandatangani, namun belum
merupakan jaminan terpeliharanya perdamaian yang abadi. Bahkan, masih ada
pembesar kerajaan gowa yang tidak setuju dengan perjanjian perdamaian ini.
Sehingga, mereka melakukan beberapa perlawanan terhadap voc. Pada 12 april
1668 beberapa orang pimpinan kerajaan gowa keluar dari benteng somba opu dan
menempatkan pasukannya di sebelah selatan benteng ujung pandang (fort
rotterdam) yang telah diduduki voc. Serangan gowa ini cukup dahsyat, sehingga
banyak korban di pihak belanda. Kemudian pada tanggal 5 agustus 1668, pasukan
gowa dari benteng somba opu menyerang kembali pasukan belanda dan sekutunya.
Pada pertempuran ini arupalaka nyaris saja tewas. Perlawanan pasukan gua
menimbulkan kesulitan bagi pihak belanda. Sebaliknya pasukan gua mendapat
bantuan pasukan dari wajo kurang lebih 3000 orang.

Pada tanggal 12 dan 13 mei 1669 pasukan gowa menyerang belanda, tetapi
dapat dipukul mundur. Akhirnya pasukan belanda semakin mendekat ke benteng
somba opu. Pada 24 juni 1699 benteng sombaopu jatuh ke tangan belanda. Lebih
dari 272 pucuk meriam besar dan kecil jatuh ke tangan belanda, sejak saat itu
lumpuhlah kekuatan gowa. Pada waktu Sultan Abdul Jalil (1677-1709)

13
memerintah, beliau menggugat perjanjian bongaya. Beliau mengajukan beberapa
tuntutan terhadap VOC, diantaranya: 1) menuntut dikembalikannya benteng Ujung
pandang dengan alasan bahwa selama ini banyak tersebut hanya dipinjam oleh
VOC, 2) penguatan bea oleh Gowa, 3) menuntut penghapusan utang (kerugian
perang) sesuai perjanjian Bungaya. Dari ketiga tuntutan tersebut, hanya tuntutan
ketiga yang dikabulkan VOC, sisanya ditolak. Walaupun tidak melakukan
perlawanan terhadap VOC, namun tuntutan tersebut membawa dampak positif,
sehingga ia disenangi rakyat Gowa.

Beberapa Sultan Gowa sesudah Sultan Abdul Jalil tidak memperlihatkan


usaha perlawanan terhadap Belanda, kecuali Karaeng Bonto Langkasa, seorang
bangsawan Gowa-Tallo. Awal mula perlawanan karaeng Bontolangkasa adalah
karena keinginan untuk menjadi Raja Gowa. Dia merasa lebih berhak dari Sultan
Sirajuddin yang diangkat oleh Bate Salapan atas persetujuan Belanda pada tahun
1712. Karena merasa terisolasi di kerajaan Gowa, karaeng Bontolangkasa merantau
ke Sumbawa dan menikah dengan Putri Sultan Sumbawa. Kemudian pada tahun
1726 ia kembali ke Gowa.
Sesampainya ke Gowa, Karaeng Bontolangkasa melakukan persekutuan
dengan Aru Kaju dari Bone, La Maddukelleng Aru Sengkang (Wajo) untuk
mengusir Belanda dari Makassar. Setelah terjadi pertempuran beberapa hari
lamanya, pada tanggal 17 Juli 1739 pasukan karaeng Bontolangkasa dapat dipukul
mundur oleh Belanda. Karaeng Bontolangkasa mundur ke pedalaman dan wafat
pada tanggal 8 September 1739.

2.2.3 Isi Perjanjian Bongaya


Berikut dibawah ini isi dari perjanjian bongaya, yaitu sebagai berikut:
1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara
2. Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu,
Wajo, dan Bone
3. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
4. Makassar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya
5. Kerajaan Makasar diperkecil, hanya meliputi Gowa
6. Semua Bangsa Asing diusir dari Makasar, kecuali VOC

14
7. Makasar harus membayar biaya perang
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan rakyat Makasar
terhadap Belanda tetap diteruskan oleh putra Sultan Hasanudin yaitu Mapasomba.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran dan pada akhirnya Belanda berhasil
menghancurkan Makassar dan menguasai wilayah kerajaan tersebut sepenuhnya.

2.2.4 Dampak Perlawanan Rakyat Makassar


Dengan adanya Perjanjian Bongaya dan jatuhnya benteng serta istana
Sombaopu ke tangan Belanda menimbulkan beberapa akibat, diantaranya: 1)
Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan Gowa pada 29 Juni 1669
dan digantikan oleh putranya Amir Hamzah yang baru berusia 13 tahun. Beliau
wafat pada 12 Juni 1670, ini berarti kerajaan Gowa kehilangan seorang pemimpin
yang konsekuen yang membela kepentingan bangsanya dari kekuasaan asing. 2)
keagungan dan kebesaran kerajaan Gowa yang diakui oleh bangsa-bangsa lain
sejak beberapa waktu yang lampau, berangsur-angsur pudar. 3) kebesaran
pelayaran niaga Gowa yang telah digantikan oleh kekuasaan monopoli VOC. 4)
kehidupan rakyat Gowa mulai mendapat pengaruh barat (Belanda). 5) pembesar-
pembesar dan rakyat Gowa yang tidak mau tunduk pada kekuasaan VOC tetap
melanjutkan perjuangannya baik di dalam maupun di luar daerah Sulawesi Selatan.
Pejuang-pejuang tua yang melanjutkan perlawanan nya antara lain karaeng
karunrung dan karaeng galesong.

2.3. Perlawanan Mataram Terhadap VOC

Keinginan VOC dalam memonopoli perdagangan di sepanjang pantai utara


Jawa membawa pada perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Agung dan pengikutnya
terhadap VOC. Sebelum kedatangan bangsa barat ke Indonesia, pesisir utara Jawa
dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram, seperti
kadipaten Demak, kadipaten Tuban, kadipaten Gresik, kadipaten Jepara, kadipaten
Surabaya. Daerah-daerah tersebut merupakan posisi yang strategis bagi perdagangan
karena adanya pelabuhan-pelabuhan, jalan dan sungai yang menghubungkan pedalaman
dengan daerah pesisir. Posisi yang strategis tersebut dapat dimanfaatkan untuk distribusi
ekonomi melalui pelabuhan seperti pemasaran hasil laut, hasil bumi dan komoditas lain

15
yang diperdagangkan di Pulau Jawa maupun luar pulau. Selain faktor tersebut jalur
perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang akan diperdagangkan ke Asia utara
melewati daerah-daerah strategis tersebut (Krisprantono, 2009).

Dalam upayanya menguasai pesisir utara Jawa, VOC mendirikan pelabuhan


perdagangan di Gresik pada abad ke 16 bertepatan dengan Gresik jatuh ke kekuasaan
Mataram, sehingga VOC harus meninggalkan pelabuhan Gresik. Kemudian pada tahun
1613 VOC berupaya mendirikan pelabuhan di Jepara dimana wilayah Jepara juga
merupakan bagian kekuasaan dari Kesultanan Mataram sehingga VOC harus
menghadapi penyerangan dari Kesultanan Mataram pada 1618-1619 dan berakhir pada
kekalahan pasukan dari Kesultanan Mataram. VOC berhasil menduduki Jepara dengan
menjadikan benteng bekas Portugis menjadi pelabuhan, namun bukan berarti
keberhasilan VOC ini membawa kelancaran bagi monopoli perdagangan nya,
masyarakat Jepara menaruh curiga yang tinggi kepada VOC dan mengucilkan mereka
(Krispantono, 2009).

Kerajaan Mataram bermula ketika Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang


memberikan tanah perdikan kepada Ki Pemanahan sebagai balas jasa atas bantuan Ki
Pemanahan kepada Sultan Adiwijaya dalam menghadapi serangan Arya Penangsang dari
Jipang. Alas mentaok merupakan tanah perdikan yang diberikan kepada Ki
Pemanahanan, kurang lebih selama tujuh tahun Ki Pemanahan membuka alas mentaok
menjadi wilayah pemukiman dan membangun pusat kekuasaan yang diberi nama Kota
Gede, dan memberikan gelar kepada dirinya sebagai Ki Ageng Mataram. Kerajaan
Mataram kemudian berkembang menjadi kerajaan besar bahkan melebihi Kesultanan
Pajang pada masa Panembahan Senapati. Masa kejayaan Kerajaan Mataram berada
dibawah pimpinan Sultan Agung, nama aslinya Raden Mas Jatmika atau dikenal dengan
Raden Mas Rangsang putra dari Prabu Hanyokrowati (Raden Mas Jolang atau raja kedua
Kerajaan Mataram) dan istrinya Ratu Mas Adi Dyah Banowati (putri pangeran Benawa,
raja Pajang) (Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020)

Sultan Agung Hanyokrokusumo lahir pada Jumat, 14 November 1592 M,


dinobatkan menjadi raja ketika berusia 20 tahun menggantikan Raden Mas Wuryah
(Adipati Martapura) yang pernah menjadi raja dalam sehari disebabkan memiliki cacat
grahita. Kejayaan Mataram pada masa Sultan Agung didorong kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkannya seperti membangun angkatan perang, kebijakan yang dikeluarkan Sultan

16
Agung mendorong perkembangan yang pesat di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan
(Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020)

Dalam naik tahtanya seorang raja di Kerajaan Mataram, pemantasan diri


menjadi tantangan dalam legitimasi kekuasaan nya terhadap rakyat. Kerajaan Mataram
merupakan kerajaan yang berasal dari keturunan petani dimana pada masa itu petani
merupakan golongan rendah, sehingga dalam upayanya meyakinkan rakyatnya Sultan
Agung melakukan ekspansi atau perluasan wilayah ke seluruh Pulau Jawa, Sultan Agung
sendiri memiliki misi untuk menundukkan Pulau Jawa dalam kekuasaan Mataram.
Ekspansi pertama dilakukan di Jawa Timur dan mengalami keberhasilan, setelah
keberhasilan tersebut Sultan Agung merencanakan ekspansi ke wilayah Jawa Barat,
diantaranya Sumedang, Cirebon, Sunda, Batavia dan terlebih khusus Banten karena
letaknya yang strategis( Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020). Adanya kekuasaan VOC
di Jawa mengusik Sultan Agung dan menganggap kehadiran VOC membahayakan
kekuasaan Kerajaan Mataram, begitupun sebaliknya ekspansi Sultan Agung ke berbagai
wilayah di Jawa juga mengusik VOC, hal ini ditunjukkan dengan penyerangan VOC
terhadap Jepara dalam usaha untuk menduduki Jepara pada tanggal 8 November 1618
yang diperintahkan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen di bawah pimpinan
Van der Markt (Aman, 2013).

Selain adanya keinginan di antara kedua pihak menjadi yang paling unggul,
perlawanan Mataram terhadap VOC juga disebabkan penolakan permintaan tawaran
Sultan Agung kepada VOC. Di tahun 1621 pegawai VOC yang ditawan dipulangkan ke
Batavia serta pengiriman beras, dan bermaksud meminta bantuan angkatan laut VOC
untuk menaklukan Surabaya, Banten dan Banjarmasin namun ditolak oleh VOC
sehingga tidak ada alasan lain bagi Sultan Agung untuk mengizinkan VOC tinggal di
Pulau Jawa (Ma’rifah Siti. 2014).

VOC sebagai kongsi dagang Belanda selain bertujuan untuk memonopoli


perdagangan di Nusantara, sistem monopoli yang dianut oleh VOC ini tidak sesuai
dengan sistem tradisional yang telah digunakan masyarakat pribumi dalam kurun waktu
yang lama, tidak hanya itu monopoli perdagangan VOC tidak jarang disertai dengan
adanya kekerasan, dalam hal ini Sultan Agung melihat bahwa adanya VOC memberikan
kesengsaraan bagi rakyat. VOC memiliki misi keagamaan untuk menyebarkan agama
protestan yang banyak dianut oleh orang-orang Belanda. Walaupun VOC didirikan

17
sebagai kongsi dagang, mereka memiliki hak istimewa untuk menyatakan perang atau
damai dengan kerajaan-kerajaan islam pada masa itu, VOC menjadi media bagi
imperialisme barat untuk mematahkan kekuasaan ekonomi islam dimana kekuasaan
ekonomi islam pada saat itu adalah perdagangan, sebenarnya motivasi untuk
mematahkan perekonomian islam dapat dilihat dari latar belakang bangsa barat
melakukan penjelajahan samudera kemudian melakukan praktik kolonialisme dan
imperialisme terhadap negara jajahan mereka disebabkan kejatuhan Konstatinopel ke
tangan Turki Utsmani (Ma’rifah Siti. 2014).

Sebenarnya hubungan antara VOC dan Sultan Agung telah memburuk, pada
1614 duta dari Belanda diutus ke Mataram untuk menyampaikan ucapan selamat atas
penobatan dirinya yang telah menjadi raja Mataram, namun Sultan Agung membalas
ucapan selamat tersebut dengan menyatakan bahwa VOC dan Kesultanan Mataram tidak
akan menjadi sekutu jika VOC memiliki keinginan untuk merebut tanah Jawa. Bahkan
karena buruknya hubungan VOC dan Sultan Agung, orang-orang VOC menyamakan
Sultan Agung dengan seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara dan sebaliknya
rumor berkembang di Kesultanan Mataram yang menyatakan bahwa kapal-kapal Jawa
dirampok oleh VOC. Memburuknya hubungan VOC dan Kesultanan Mataram ini juga
disebabkan karena kemarahan Sultan Agung terhadap VOC yang merasa pihak mereka
tidak pernah menepati janji-janjinya dan hanya menginginkan mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari apa yang dijanjikan Sultan Agung terhadap VOC seperti
pembebasan bea cukai, bahan-bahan bangunan dan tanah untuk perkebunan secara
cuma-cuma (Ma’rifah Siti. 2014).

Penyerangan VOC ke Jepara ini mengakibatkan Sultan Agung berambisi


untuk mengusir VOC dari Pulau Jawa, didukung dengan keinginan dalam menguasai
Batavia dan Banten perlawanan terhadap VOC akhirnya dilakukan. Pada 27 Agustus
1628 M Sultan Agung mengirimkan pasukan Mataram pertama dibawah komando
Tumenggung Bahurekso dibantu oleh pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul dan kedua
bersaudara Kiai Dipati Mandurojo dan Upa Santa, namun penyerangan pertama ini
mengalami kegagalan sehingga pada 3 Desember 1628 pasukan Mataram ditarik
mundur, sebanyak 1.000 prajurit gugur dalam pertempuran tersebut. Kemudian pasukan
Mataram kedua pada bulan Oktober 1628 M dibawah komando Pangeran Mandureja,
Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, K.A. Purbaya dengan persiapan yang lebih matang.
Persiapan dilakukan dengan mengisi gudang-gudang dan lumbung persediaan makanan

18
di berbagai tempat, serangan kedua ini dilakukan pada 1 Agustus dan berakhir pada 1
Oktober 1629, sayangnya serangan kedua ini juga mengalami kegagalan disebabkan
kekalahan pada faktor pertama dan lumbung persediaan makanan yang dihancurkan
Belanda. Diperkirakan jumlah pasukan yang dikirim Sultan Agung jika ditotal kurang
lebih sejumlah 10.000 pasukan (Aman. 2013) .

Tanda-tanda perlawanan pertama Mataram dengan ditutupnya hampir seluruh


pantai Jawa atas perintah Tumenggung Baureksa dan Kendal, berita penyerangan
Mataram ke Batavia mulai tersebar di VOC dengan jumlah pasukan 48.000-100.000.
Pada 13 April 1628 Kia Rangga tiba di Batavia dengan 14 kapal bermuatan beras dan
meminta bantuan kepada VOC untuk menyerang Banten, namun ditolak. Kemudian pada
22 Agustus 1628 Tumenggung Baurekso tiba di pelabuhan Batavia dengan 50 kapal
dilengkapi berbagai perbekalan yang memuat 150 ekor ternak, 120 last beras, 10.600
ikat padi, 26.000 kelapa, 5.900 ikat batang gula dan sebagainya serta dilengkapi kurang
lebih 900 awak kapal. Kemudian pada 24 Agustus, 7 kapal menyusul sampai di
pelabuhan Batavia VOC mencoba memisah kapal-kapal tersebut agar tidak dapat
memberikan persenjataan satu sama lain namun gagal. Pagi harinya 20 perahu
menyerang pasar dan benteng, penyerbuan ini dilakukan hingga fajar. Pada 26 Agustus
1628 datang kembali pasukan dibawah pimpinan Tumenggung Bahurekso dalam jumlah
yang besar. Dalam upayanya melawan Mataram, VOC mengorbankan daerah sekitar
Benteng, kampung di sekitarnya dibakar sehingga saat pasukan Mataram mendekati
benteng mereka tidak memiliki tempat persembunyian, kemudian pasukan Mataram
menggali parit untuk mencapai benteng VOC namun dapat digagalkan sebanyak 30-40
orang tewas dalam pertempuran ini (Ma’rifah Siti, 2014).

Kemudian pada 21 September pasukan Mataram menyerang Benteng


Hollandia namun tetap mengalami kegagalan. Ketika mengetahui bahwa tujuan utama
pasukan Mataram adalah benteng Hollandia, VOC mulai melancarkan serangan besar
dengan 300 serdadu dan 100 orang sipil untuk menyerang perkemahan pasukan mataram
diperkirakan 1.200-1.300 orang gugur dalam penyerbuan ini dan kurang lebih 3.000
pasukan ditawan oleh pihak VOC. Terdapat kabar bahwa masih banyak pasukan
Mataram yang berkeliaran di hutan mencari makan sekitar tiga sampai empat ribu orang,
sehingga pada 21 Oktober serangan umum VOC dilancarkan dibawah pimpinan Jacques
Lefebre, mengerahkan pasukan sebanyak 2.866 orang, dalam pertempuran ini
Tumenggung Baurekso gugur (Ma’rifah Siti. 2014).

19
Perlawanan tidak berhenti disitu, Mataram mengirimkan panglima pasukan
baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul, taktik yang digunakan dalam menaklukan
VOC dengan membendung Sungai Ciliwung agar kota Batavia kekurangan air, namun
pada saat yang sama waktu itu merupakan musim hujan sehingga pembendungan sungai
ini gagal dan datangnya musim penghujan membuat banyak pasukan mataram terserang
penyakit serta kondisi dalam perang yang serba kekurangan. Sehingga kembali lagi pada
taktik awal yaitu menyerang benteng Holandia dilakukan pada 27 November malam
hari, dikerahkan 100 pasukan kemudian menyusul 300 pasukan namun sebagian besar
tertembak gugur dalam peperangan dan banyak lainnya yang melarikan diri. Kegagalan
ini membuat Tumenggung Sura Agul-Agul atas perintah Sultan menghukum mati
Mandurareja dan Upa Santa bersama anak buahnya (Ma’rifah, Siti. 2014).

Setelah kegagalan besar dalam serangan pertama, Mataram tidak menyerah


sehingga persiapan untuk serangan kedua terhadap VOC dilakukan, dalam serangan
kedua ini difokuskan pada persiapan logistik atau perbekalan, unsur terpenting logistik
dalam serangan kedua ini adalah beras. Pasukan Mataram membangun tempat
persediaan beras seperti di Tegal dan Cirebon. Berita serangan kedua ini sampai di VOC
sumber informasi mereka dapatkan dari Raja Cirebon secara rahasia. Sebelum serangan
dimulai, Mataram mengirimkan utusan bernama Warga yang menawarkan perdamaian
kepada VOC namun karena telah mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya
utusan tersebut dihukum mati. Pasukan Sultan Agung datang dengan dua gelombang
yang pertama terdiri dari artileri dan amunisi yang berangkat pada Mei 1629. Kemudian
pada 20 Juni 1629 pasukan infanteri menyusul, pasukan tersebut dipimpin oleh Kyai
Adipati Juminah, K.A. Purbaya, dan K.A. Puger dibantu Tumenggung Singaranu, Raden
Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan K.A. Sumenep (Ma’rifah, Siti. 2014).

VOC mulai menghancurkan 200 kapal, 400 rumah dan satu gunungan padi
pada 4 Juli, kemudian gunungan padi kedua di Cirebon dimusnahkan. Atas penyerangan
tersebut timbul ketakutan dari pasukan Mataram sehingga tidak ada bentuk penyerangan
dari Mataram dalam kurun waktu yang cukup lama. Penghancuran pasokan padi ini
membuat bencana kelaparan di Mataram sehingga serangan pengepungan di benteng
Holandia hanya bertahan satu bulan. Pada tanggal 14 dan 15 September Mataram
mengirim gerobak-gerobak yang berisikan meriam yang ditarik dengan menggunakan
12-18 ekor kerbau, balasan dari pihak VOC dengan melancarkan serangan pada tanggal

20
17 September di bawah pimpinan Antonio van Diemen sasarannya adalah pasokan
logistik dibakar, namun pada saat itu turun hujan (Ma’rifah, Siti. 2014).

Pada 21 September Mataram kembali menyerang Batavia, namun kekuatan


pasukan Mataram semakin melemah karena menderita kelaparan dan penyakit menular,
sehingga pada 27 September VOC memutuskan menghentikan serangan umum dan 1
Oktober VOC menarik pasukannya. Pada akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh
Sultan Agung terhadap VOC mengalami kekalahan, yang berdampak pada beberapa
wilayah-wilayah bawahan Kerajaan Mataram mulai melepaskan diri dan melakukan
pemberontakan. Sultan Agung wafat pada tahun 1646 penggantinya adalah Pangeran
Purbaya (Amangkurat I). Berbeda dari ayahnya Amangkurat I lebih berpihak kepada
VOC dan terkesan anti ulama (Ma’rifah, Siti. 2014). Walaupun perlawanan yang
dilakukan Sultan Agung dan rakyat Mataram dalam menghadapi VOC mengalami
kekalahan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil dari kegigihan Sultan Agung dalam
menghadapi VOC diantaranya yaitu nilai-nilai perjuangan, semangat kebangsaan, cinta
tanah air,dan kerja keras (Rhohana Siti, dkk. 2020).

2.4. Perlawanan Banten Terhadap VOC

Banten merupakan daerah yang strategis dalam rute jalur perdagangan


rempah. Terlebih setelah Selat Malaka diduduki oleh VOC, banyak pedagang yang
kemudian beralih ke Banten sehingga Banten menjadi pusat perdagangan internasional.
Selain itu, daerah Banten juga terkenal sebagai daerah penghasil rempah khususnya lada
terbesar di barat Pulau Jawa (Manoor, 2021:112) . Hal tersebut yang menjadikan VOC
ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di Banten. Pada paruh pertama
berdirinya, tahun 1619 VOC di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon
Coen merebut wilayah Jayakarta yang termasuk wilayah Kesultanan Banten. Wilayah
Jayakarta tersebut kemudian dijadikan basis kekuatan VOC dan berganti nama menjadi
Batavia. Pengaruh dan intervensi VOC mulai masuk ketika Sultan Ageng Tirtayasa
berkuasa. Dengan dikuasainya Batavia, VOC mendirikan Benteng di sana dan terjadilah
persaingan perdagangan dengan para pedagang di Banten.

2.4.1. Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa

21
Sejak awal, hubungan antara VOC dan Kesultanan Banten tidaklah baik
karena VOC yang menginginkan hak monopoli perdagangan di pelabuhan banten.
Terlebih pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menentang
segala bentuk intervensi asing VOC di daerah kekuasaanya. VOC pun melakukan
blokade ekonomi dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di
Pelabuhan Banten. Pasukan Kesultanan Banten melawan aksi blokade ekonomi
VOC dengan melakukan perusakan instalasi milik VOC di wilayah Kesultanan
Banten, menjadikan daerah Tangerang dan Angke sebagai basis pertahanan, serta
penyerangan pasukan Banten ke Batavia pada tahun 1652. Tidak berhenti disitu,
dalam upaya melawan VOC Sultan Ageng Tirtayasa menjalin kerjasama dengan
kesultanan lain dan daerah-daerah di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Dari
sana pasukan Banten semakin kuat sedangkan VOC yang pada masa tersebut juga
sedang berperang melawan Makassar mengalami kekurangan pasukan. Untuk
mengatasi kekurangan pasukan tersebut, VOC menyewa pasukan dari daerah lain
di nusantara seperti dari Ternate, Bugis, dan Bandan untuk melawan pasukan
Banten. Pertempuran antara VOC dan Banten tersebut cukup merugikan VOC
hingga pada 29 April 1658 VOC mengutus seorang utusan kepada Sultan Ageng
Tirtayasa untuk melakukan perjanjian dan gencatan senjata. Namun upaya tersebut
tidak membuahkan hasil karena perbedaan pendapat antara VOC dan Sultan Ageng
Tirtayasa yang menyebabkan pertempuran berlangsung kembali (Manoor,
2021:113).

Sultan Ageng Tirtayasa semakin gencar melakukan perlawanan dengan


mengumumkan perang Sabil pada 11 Mei 1658. Perang pun berlangsung dalam
waktu yang lama mulai dari bulan Mei 1658 hingga tanggal 10 Juli 1659. Perang
tersebut berdampak besar hingga membuat kedudukan VOC di Batavia semakin
terdesak. Perang akhirnya berhenti ketika VOC melakukan perjanjian gencatan
senjata pada 10 Juli 1659 atas bantuan Kesultanan Jambi. Pada masa gencatan
senjata tersebut, dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi memperkuat pertahanan
dengan membangun saluran air dari Sungai Untung Jawa hingga Pontang yang
mulai digali pada 1660. Saluran air tersebut ditujukan untuk kepentingan irigasi
pertanian guna menunjang kebutuhan logistik dan transportasi apabila terjadi
perang (Suroyo, dkk, 2012:249). Selain melakukan persiapan dari dalam, Sultan
Ageng Tirtayasa juga melakukan kerjasama atau konsolidasi dengan daerah lain

22
seperti Lampung, Cirebon, dan Bengkulu serta dengan negara-negara Islam seperti
Turki, Arab, Persia, India, dan Aceh. Untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti
persenjataan Sultan Ageng Tirtayasa melakukan hubungan dengan Inggris,
Portugis, dan Spanyol (Asrul, 2015:23).

Sayangnya, perlawanan oleh Sultan Ageng Tirtayasa harus menghadapi


konflik internal kesultanan yang melibatkan putra mahkota Kesultanan Banten
yakni Abdul Nasar Abdul Kahar atau Sultan Haji. Konflik bermula ketika Sultan
Haji diangkat oleh ayahnya menjadi pembantu urusan dalam negeri dan saudaranya
Pangeran Arya Purbaya bersama Sultan Ageng mengurusi urusan luar negeri.
Pemisahan kekuasaan tersebut menjadi celah masuknya intervensi VOC yang
mengadu domba Sultan Haji dengan saudaranya sehingga kedudukan ayah dan
saudaranya Pangeran Arya Purbaya menjadi ancaman Sultan Haji. Sultan Haji
khawatir jika tahta akan diserahkan ayahnya kepada saudaranya yang lain yakni
Pangeran Arya Purbaya. Karena pertentangan tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa
pindah dan membuat keraton di Tirtayasa. Ditengah hasutan VOC, pada tahun
1680 Sultan Haji mulai mengambil alih urusan istana secara sepihak termasuk
mengirim utusan dan mengadakan perjanjian dengan VOC. Melihat itu, pada bulan
Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa mengepung Kraton Surosawan untuk
menurunkan Sultan Haji namun upaya tersebut gagal karena Sultan Haji
mendapatkan bantuan pasukan dari VOC. Untuk mengurai kegelisahan dalam diri
Sultan Haji, Sultan Haji melakukan perjanjian dengan VOC. Sultan Haji ingin
VOC membantunya untuk merebut tahta dan melindunginya, sebagai imbalannya
Sultan Haji harus mau menuruti keinginan VOC. Perang terbuka antara Sultan
Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji masih berlanjut hingga akhir tahun
1682. Pada tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa terpaksa menyerah
karena wilayah Angke hingga Sajira telah jatuh dan Pangeran Kulon sebagai
panglima gugur. Sultan Ageng Tirtayasa dibujuk oleh Sultan Haji di Istana
Surosowan namun ternyata ditangkap dan dipenjara hingga akhir hidupnya pada
1692.

Meskipun akhirnya tertangkap, perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa


dilanjutkan oleh Pasukan Banten yang dipimpin oleh Syeikh al Maqassari,
Pangeran Kidul, dan Pangeran Purbaya bersama pasukan sejumlah 5000 orang.
Ketiganya melakukan gerilya namun pada September tahun 1683 pasukan

23
Pangeran Kidul menyerah karena pimpinannya telah gugur. Pasukan Syekh Yusuf
al-Maqassari terus melanjutkan perlawanan namun akhirnya menyerah pada 14
Desember 1683 karena taktik kotor VOC yang menawan putrinya. Sedangkan
Pangeran Purbaya kemudian bergerak ke daerah Cianjur dan bergabung dengan
pasukan Untung Suropati yang juga melakukan perlawanan. Namun Pangeran
Purbaya beserta pasukannya yang berjumlah 800 orang akhirnya menyerah pada 6
Februari tahun 1684. Syekh Yusuf al Maqassari diasingkan ke Tanjung Harapan
dan Pangeran Purbaya dipenjara di Batavia bersama ayahnya (Asrul, 2015:37-39).

Dengan dikalahkannya Sultan Ageng beserta pimpinan pasukan yang


lain, Sultan Haji dikukuhkan menjadi Sultan Banten dengan 10 pasal perjanjian
yang merupakan syarat dari VOC. Berikut adalah 10 perjanjian tersebut ditulis pada
17 April 1684 antara Kesultanan Banten dengan VOC (dalam Suroyo, dkk, 2012:
251-252) yang berisi:

1. Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian


10 Juli 1659 mendapat pembaruan, dan pasal yang masih
dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan
dipelihara baik-baik tanpa pembaruan.
2. Orang Banten dilarang mendatangi daerah yang termasuk
Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak
sungainya. Sebaliknya juga bagi orang Jakarta tidak boleh
mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang
termasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat
masing-masing diperbolehkan memasuki daerah tersebut
tetapi dengan surat izin jalan yang sah, dan kalau tidak maka
akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau
dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
3. Daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane)
atau Tangerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh
aliran sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian
menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di
lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai
Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau
ditempati kompeni.
4. setiap kapal kompeni atau kepunyaan warganya, begitu pula
kepunyaan sultan Banten dan warganya, jika terdampar atau
mendapat kecelakaan di Laut Jawa dan Sumatera, harus
mendapat pertolongan baik penumpangnya ataupun barang-
barangnya.
5. Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian
tahun 1659 yang diakibatkan oleh sultan dan Kesultanan
Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680
oleh utusan Banten dan demikian pula akibat pembunuhan dan

24
perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji kompeni
sehingga ada pembunuhan kepala kompeni Jan van Assendelt,
dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh sultan
dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni
6. Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua
belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh, atau
pelanggar hukum kompeni, atau juga orang partikelir yang
bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari
sini atau dari tempat lainnya di daerah kompeni, jika datang
ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah
hukum kompeni akan segera ditahan dan kemudian
diserahkan kembali kepada perwakilan kompeni.
7. Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa
terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan
raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang
bersekutu di bawah perlindungan kompeni yang juga di dalam
ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh
kedua belah pihak
8. Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal
empat yang telah menyatakan bahwa kompeni tidak perlu
memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka
menyimpang dari hal itu kompeni akan menentukan
pembayaran kembali dengan cara debet
9. Akhirnya sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan
datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau
perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena
bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10. Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus
hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar beserta keturunannya harus menerima
seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap
suci, dipercayai, dan benar-benar akan dilaksanakan, dan
kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan
sebagaimana pula dari pihak kompeni yang diwakili oleh
komandan dan Presiden Komisi François Tack, Kapten
Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der
Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dan atas
nama gubernur jenderal kompeni dan Dewan Hindia juga atas
nama Dewan Jenderal Kompeni Belanda.
Perjanjian tersebut tentunya merugikan pihak Kesultanan Banten karena
dengan perjanjian tersebut Banten tidak lagi memiliki kekuasaan. Kekuasaan berada
ditangan VOC dengan Sultan Haji sebagai raja bonekanya. Masyarakat Banten
semakin tersiksa karena VOC yang memaksa rakyat menjual rempah-rempah hanya
kepada VOC. Kerap terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil masyarakat
dengan melakukan kerusuhan, pembakaran, perampokan yang ditujukan pada para
kompeni. Selain itu, posisi Sultan Haji juga tertekan atas syarat-syarat dan

25
keinginan VOC yang harus dituruti. Sultan Haji akhirnya meninggal pada tahun
1687.

2.4.2. Perlawanan Kiai Tapa & Ratu Bagus Buang

Sepeninggal Sultan Haji, kekuasaan Banten beralih kepada putranya


Pangeran Ratu yang bergelar Sultan Abu al-Fadhl Muhammad Yahya. Pangeran
Ratu sebenarnya sangat membenci Belanda dan berusaha untuk membenahi
kerajaannya yang telah dihancurkan secara tidak langsung oleh ayahnya sendiri.
Namun masa pemerintahannya berlangsung sangat singkat hanya berjalan selama
tiga tahun kemudian Pangeran Ratu meninggal. Karena tidak memiliki keturunan,
tahta diserahkan kepada adiknya yakni Pangeran Syarif dan permaisurinya
Syarifah Fatimah. Namun, penyerahan tahta tersebut menuai konflik dimana
rakyat tidak setuju karena Pangeran Syarif tidak memiliki hubungan darah dengan
Maulana Hasanuddin sang pendiri Kesultanan Banten. Selain itu, Pangeran Syarif
sangat patuh dan bekerjasama penuh dengan VOC. Hal tersebut memicu
kemarahan rakyat Banten yang menimbulkan perlawanan yang salah satunya
dipimpin oleh Kyai Tapa.

Pada tahun 1750 rakyat Banten melakukan perlawanan dibawah


kepemimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Perlawanan dimulai oleh Ratu
Bagus Buang yang melakukan penyerangan-penyerangan sporadis namun tidak
berhasil. Kemudian Ratu Bagus Buang bekerjasama dengan pamannya Kyai Tapa
untuk bersama sama melawan penguasa Banten dan VOC tersebut. Ratu Bagus
Buang berperan dalam melakukan konsolidasi dengan para bangsawan sedangkan
Kyai Tapa melakukan mobilisasi massa melalui para santri dan pesantren-
pesantren yang didirikannya. Hingga akhirnya pada bulan Oktober tahun 1750
pasukan di bawah Ratu Bagus dan Kiai Tapa melakukan penyerangan ke Keraton
Surosowan. Penyerangan tersebut hampir mengalami kemenangan namun
akhirnya terpaksa mundur karena desakan pasukan VOC dalam jumlah besar.
Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa beralih menuju Batavia untuk melakukan
penyerangan. Dalam perjalanannya pasukan Kyai Tapa berhasil menguasai
benteng de Kwaal di Tangerang, Drechterland di Leuwiliang, Westergo di
Ciampea, dan kedudukan serdadu VOC di sepanjang Sungai Ciliwung. Tentunya

26
perlawanan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang tidak bisa dianggap remeh hingga
Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang memimpin VOC melakukan gencatan
senjata dengan mengasingkan Ratu Syarifah untuk memadamkan pemberontakan
Kyai Tapa. Namun, hal tersebut tidak menghentikan perlawanan pasukan Kyai
Tapa melawan VOC. Pada Juli 1751, pasukan Kyai Tapa berhasil menghancurkan
daerah-daerah di sekitar Batavia. Perlawanan Kyai Tapa terus berlangsung dengan
rencananya membuat seluruh tanah Jawa mengangkat senjata. Namun, karena
kekurangan persenjataan pasukan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang dipukul
mundur hingga ke pedalaman Banten (Suroyo dkk, 2012:254).

Dari sini dapat dilihat bahwasanya perlawanan tidak hanya berasal dari
para bangsawan saja namun juga rakyat Banten dibawah kepemimpinan lokal
seperti para ulama. Meskipun pada akhirnya mengalami kekalahan namun,
perlawanan-perlawanan rakyat Banten tersebut tidak bisa dianggap remeh dan
sudah sepatutnya diteladani dan dilanjutkan.

27
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perlawanan rakyat maluku terhadap VOC dilatarbelakangi oleh adanya


kesengsaraan rakyat maluku karena adanya tindakan yang sewenang-wenang yang
dilakukan oleh VOC terhadap rakyat melaku. Perlawanan rakyat Maluku terbagi dalam
beberapa periode yakni Perlawan rakyat maluku terhadap VOC Pada tahun 1635-1646 ,
pada perlawanan ini, rakyat yang ada di kepulauan Hitu berupaya bangkit melawan
VOC, dibawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi, akan tetapi Kakiali pada saat itu harus
gugur terlebih dahulu dan perlawanan tersebut dapat dipadamkan dengan mudah oleh
VOC, Kemudian berlanjut Pada tahun 1650, Perlawanan rakyat Ambon dibawah
pimpinan Saidi dan ada juga Perlawanan di daerah lain, seperti Seram, Haruku dan
Saparua, Akan tetapi semua perlawanan tersebut berhasil dipadamkan oleh VOC.
Perlawanan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Sultan Nuku dan Kapiten Pattimura.

Hampir sama dengan perlawanan rakyat Maluku, perlawanan rakyat Makassar


juga dilatarbelakangi oleh kesengsaraan rakyat. Perlawanan rakyat berjalan dibawah
kepemimpinan Sultan Alaudin, Sultan Muhammad Said, dan Sultan Hasanuddin.
Sayangnya perlawanan hebat tersebut berujung pada Perjanjian Bongaya yang berisi
VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,
Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu, Wajo, dan
Bone, Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone, Makassar harus menyerahkan seluruh
benteng-bentengnya, Kerajaan Makasar diperkecil, hanya meliputi Gowa, Semua Bangsa
Asing diusir dari Makasar, kecuali VOC, dan Makasar harus membayar biaya perang.
Tentunya perjanjian tersebut merugikan rakyat Maluku namun perjuangan rakyat
Maluku tidak bisa dianggap sepele.

Perlawanan rakyat mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung didasari karena
adanya ketidak inginan Pulau Jawa dikuasai oleh VOC, praktik monopoli perdagangan
VOC menimbulkan berbagai reaksi yang negatif disebabkan praktik perdagangan ini
memang tidak sesuai dengan perdagangan tradisional di Indonesia, selain hal tersebut
hubungan yang buruk antara Sultan dan VOC juga mendorong terjadinya perlawanan
Mataram terhadap VOC. Perlawanan pertama dilakukan pada tahun 1628 namun

28
mengalami kekalahan dan panglima Tumenggung Bahurekso gugur ditempat, tidak
berhenti disitu walaupun perlawanan pertama Mataram mengalami kekalahan semangat
dalam melawan VOC tetap berkobar dan melakukan perlawanan kedua pada tahun 1629,
namun tetap mengalami kekalahan. Meskipun demikian ada nilai-nilai yang dapat
diambil dari kegigihan Sultan Agung melawan VOC yaitu nilai perjuangan, cinta tanah
air dan kerja keras.

Sedari awal, Kesultanan Banten memang telah menolak intervensi dan keinginan
VOC untuk memonopoli perdagangan di Pelabuhan Banten. Hal tersebut dikarenakan
Kesultanan Banten menganut ekonomi bebas dimana pedagang dari mana saja berhak
untuk berdagang di pelabuhan Banten yang semakin ramai terlebih ketika Selat Malaka
diduduki oleh VOC. Puncak perlawanan Kesultanan Banten berada di bawah
kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun karena gempuran konflik internal
kerajaan yang melibatkan Sultan Haji dan Pangeran Purabaya menyebabkan perpecahan
dan VOC berhasil masuk dan menguasai Kesultanan Banten. Namun meskipun para
petinggi yang memimpin perlawanan akhirnya dapat dikalahkan oleh VOC, gejolak
perlawanan tidak berhenti diantaranya terlihat dari perlawanan Kyai Tapa dan Ratu
Bagus Buang beserta pasukannya.

3.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak


terdapat kekurangan dalam penulisan ini, saran yang diberikan kepada pembaca sangat
berarti bagi penulis untuk memperbaiki kemampuan dan mengembangakan penulisan di
masa mendatang.

29
DAFTAR RUJUKAN

Abbas. 2005. Sistem Pertahanan di Batavia Abad VII-XVIII, Dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi VII. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, 1998-1999.
Abduh, M., dkk. (1985). Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Sulawesi Selatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Aman. 2013. Indonesia: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Yogyakarta: Pujangga
Press.
Alwi, D. 2005. Sejarah Maluku. Jakarta: Dian Rakyat.
Asrul. 2015. Intervensi VOC dalam Konflik Suksesi di Kesultanan Banten 1680-1684.
Skripsi Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Guillot, C. 2008. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia
Hall, D. G. E. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Hanna, W.A, 1983. Kepulauan Banda Kolonialisasi dan Akibatnya di Kepulauan Pala,
Jakarta: PT. Gramedia.
Indriani, Herni. Strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mempertahankan Kesultanan
Banten. Jurnal OSF (online) pada https://osf.io/preprints/gndc6/
Kartodirdjo, S. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Krispantono. 2019. Mencari Jejak Benteng ‘De Vijfhoek’ di Kota Lama Semarang
melalui Pendekatan Sejarah. AMERTA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi 27 (1).
Manor, Usman. 2021. Meninjau Kembali Sejarah Banten: Studi Kasus Pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa dan Implementasi Kepemimpinannya. Jurnal Salus
Cultura 1(2).
Ma’rifah, Siti. 2014. Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC 1628-1629. SKRIPSI.
Unoveristas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.
Poelinggomang, E. L. (2016). Makassar abad XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Poesponegoro M. D. & Nugroho N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia VI Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

30
Rhohana, Siti dkk. 2020. Kajian Nilai-Nilai Perjuangan Sultan Agung Sebagai Penguatan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia di SMA. Jurnal
Candi. 20 (2)
Ricklefs M. C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terjemahan oleh Satrio
Wahoho, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Siregar, P. 2017. Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi tentang K.H.
Wasyid. Jurnal Al-Turas 23(1)
Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020. Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Eksistensi
Kesultanan Mataram. Jurnal Diakronika 20 (2).
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Ulfah, S. M. Perlawanan Banten Terhadap Belanda. Jurnal OSF (online) pada
https://osf.io/preprints/ux9b7/

31

Anda mungkin juga menyukai