MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Indonesia Masa Kolonial
Yang dibina oleh Bapak Deni Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum
Disusun oleh:
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “PERLAWANAN RAKYAT
TERHADAP VOC DI DAERAH MALUKU, MAKASSAR, MATARAM DAN
BANTEN” sebagai tugas kelompok matakuliah Indonesia Masa Kolonial, dapat kami
selesaikan dengan baik. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman pembaca terkait perlawanan-perlawanan daerah terhadap VOC.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini, dosen
pembimbing kami Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M. Hum dan juga kepada teman-teman
seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi
yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di
dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik
dan saran yang membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Eropa yang sampai di Indonesia tepatnya di Malaka pada tahun 1511,
kemudian disusul oleh Bangsa Spanyol yang sampai di Maluku pada tahun 1521 namun
kedatangan mereka di Indonesia tidak berlangsung lama, akan tetapi pelayaran kedua
bangsa Indonesia ini memberikan kemajuan besar bagi pelayaran samudera yang
dilakukan oleh bangsa Eropa lainnya, salah satunya Belanda dibawah Cornelis de
Houtman. Cornelis de Houtman merupakan pelopor perusahaan-perusahaan dagang
Belanda yang melakukan pelayaran samudra ke Hindia Timur/Indonesia dan tiba pada
tahun 1596 di Pelabuhan Banten lewat Selat Malaka, kedatangannya ke Hindia Timur ini
mendorong berbagai kongsi-kongsi dagang di Belanda datang ke Hindia Timur. Namun
banyaknya kongsi dagang ini menimbulkan permasalahan yang disebabkan persaingan
antara kongsi-kongsi dagang Belanda tersebut. Sehingga dalam mengatasi permasalahan
ini dibentuklah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602 atas
usulan dari Johan van Oldenbarnevelt merupakan seorang anggota Parlemen Belanda
(Aman. 2013)
1
VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal dan memiliki hak monopoli dan hak
kedaulatan dalam menjalankan tugasnya, selain menjalankan tugasnya dalam melakukan
perdagangan, VOC juga berupaya dalam menjalankan perluasan politik dan ekonominya,
dalam upayanya tersebut VOC menerapkan berbagai strategi. Pertama politik devide et
empire (politik adu domba). Kedua hak ekstirpasi yaitu hak yang dimiliki VOC dalam
menghancurkan tanaman-tanaman rempah agar tidak berproduksi secara berlebihan
sehingga harga rempah akan tetap mahal karena permintaan yang tinggi sedangkan
rempah dalam jumlah yang terbatas. Ketiga pelayaran Hongi, yang terjadi di Maluku
yaitu patroli yang dilakukan oleh VOC dengan menggunakan perahu bercadik dilengkapi
senjata-senjata bertujuan untuk mencegah pribumi menjual rempah ke bangsa lain selain
Belanda. Dengan upaya-upaya dan hak istimewanya VOC berhasil menguasai dan
memonopoli perdagangan rempah-rempah, selama berdirinya VOC sejak 1602-1799
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh VOC sangat merugikan pihak pribumi,
sehingga timbulah perlawanan-perlawanan terhadap VOC di berbagai wilayah di antara
Maluku, Makassar, Mataram dan Banten (Aman.2013).
1.3.1. Dapat mengetahui proses terjadinya perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC.
1.3.3. Dapat mengetahui latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Mataram terhadap
VOC.
1.3.4. Dapat mengetahui proses terjadinya perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
2
1.4. Kajian Pustaka
3
karangan M. C. Ricklefs, serta beberapa sumber-sumber lain yang masih
relevan.
4
karya D. G. E. Hall serta buku karya Claude Guillot yang berjudul Banten:
Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Kemudian penulis juga menggunakan
sumber berupa skripsi dan artikel, diantaranya adalah skripsi mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Intervensi VOC dalam Konflik
Suksesi di Kesultanan Banten 1680-1684. Beberapa artikel ilmiah juga
digunakan untuk menunjang pembahasan diantaranya adalah artikel yang
berjudul Perlawanan Banten Terhadap Belanda oleh Siti Maria Ulfah, artikel
Strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mempertahankan Kesultanan Banten
oleh Herni Indriani dalam jurnal OSF, dan artikel dari Jurnal Salus Cultura
Volume 1 No 2 tahun 2021 yang berjudul Meninjau Kembali Sejarah Banten:
Studi Kasus Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dan Implementasi
Kepemimpinannya.
1.5. Metodologi
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan besar rakyat maluku yang
mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Perlawanan rakyat melawan VOC pada
6
abad ini rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada awalnya VOC berdagang di Tidore
dan kemudian dengan berbagai tipu muslihat VOC, pada akhirnya kerajaan Tidore
memiliki hutang kepada VOC dan harus menyerahkan semua wilayahnya kepada
VOC, dan karena kejadian itu, rakyat Tidore marah dan mengangkat senjata untuk
segera melawan VOC. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di
bawah pimpinan Sultan Nuku, pada saat itu peperangan sangat panas, meskipun pada
akhirnya Pasukan sultan nuku dan rakyat Tidore berhasil mengusir VOC dari Maluku,
Namun setelah Sultan Nuku meninggal pada tahun 1805, Pada saat itu tidak ada lagi
perlawaan yang kuat menentang VOC , Pada saat itu juga merupakan kesempatan
emas bagi VOC untuk mulai memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku.
Pada tahun 1817 , Perlawanan terhadap VOC dipimpin oleh Thomas Matulesi
atau lebih dikenal dengan nama Pattimura, Pattimura beserta Pemimpin-pemimpin
lainnya diantaranya Anthonie Rhebok, Said Perintah, Lucas Latumahina, Thomas
Pattiwael, Ulupaha dan terdapat seorang putri yang bernama Christina Martha
Tiahahu.
Perlawanan yang di pimpin Pattimura ini memulai awal serangan pada tanggal
15 mei 1817, Rakyat maluku pun beregerak pada saat malam hari, rakyat maluku
yang ada di sana pada saat itu juga lansung memulai penyerangan dengan membakari
kapal-kapal VOC yang ada di pelabuhan Porto tersebut, Kemudian pasukan Pattimura
langsung mengepung Benteng Duurstede, Residen Van den Berg yang ada dalam
Benteng Duurstede ditembak mati, dan Keesokan harinya pada tanggal 6 Mei 1817,
pasukan Pattimura akhirnya berhasil merebut dan menduduki Benteng Duurstede
tersebut.
7
yang tewas, termasuk diantaranya terdapat beberapa orang perwira, dan pada saat itu
menjadi hari kemenangan Pattimura di Saparua dan dengan kemenangan tersebut
dapat membakar semangat perjuangan di daerah-daerah lain di seluruh Maluku.
Pada awal bulan Juli 1817, VOC Kembali mendatangkan pasukan bantuan ke
Saparua, mereka berusaha merebut Benteng Duurstede kembali, akan tetapi usaha
tersebut tidak berhasil, Kemudian pada saat itu juga VOC mengajak para pemimpin
Maluku untuk berunding dan perundingan tersebut juga tidak membuahkan hasil,
sehingga pertempuran pun berkobar lagi. Pada akhir Juli 1817, VOC melanjutkan
mengirim pasukan bantuan ke Saparua kembali, VOC mengerahkan kapal-kapalnya
dan mulai melepaskan tembakan meriam dengan gencar ke arah Benteng Duurstede,
dimana pada saat itu Benteng tersebut masih diduduki oleh pasukan Pattimura.
Sementara itu, pasukan-pasukan VOC terus menerus didatangkan hingga membanjiri
Saparua.
Akhirnya pada bulan Agustus 1817, Benteng Duurstede berhasil direbut oleh
VOC kembali, akan tetapi perang masih belum berakhir, Pasukan Pattimura
melanjutkan kembali perlawanan dengan perang gerilya. Pemerintah Belanda
mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden kepada siapa saja yang
dapat menangkap Pattimura. Dan untuk menangkap pemimpin-pemimpin Maluku
lainnya, Mereka juga menyediakan 500 gulden tiap seorang pemimpin, Akan tetapi
rakyat Maluku tidak mau untuk mengkhianati perjuangan bangsanya yang telah
berjuang mati matian .
8
itu, bandar Sombaopu pada awal abad-17 telah menjadi tempat perdagangan
rempah-rempah dari Maluku. 2) Kepribadian masyarakat dan bangsawan Gowa
yang tidak mau diganggu kebebasannya. Sehubung dengan hal ini, bila ada yang
mengganggunya mereka menganggap dipermalukan, mengurangi harga diri dan
martabatnya. Mereka juga memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik
bersama, siapapun boleh melayarinya. 3) ketaatan dan kecintaan rakyat Gowa
kepada rajanya dengan landasan falsafah “akkanama’ nu mammio (saya bersabda
engkau mengiyakan)”. Dengan ketaatan ini, berarti rakyat ikut merasakan hal-hal
tertentu yang dirasakan raja. Rakyat bersedia melakukan apapun untuk keperluan
raja.
9
Pada tahun 1634, armada Gowa kembali dikirim ke Ambon untuk
membantu rakyat Ambon dalam menghadapi VOC. Perlawanan ini dilakukan
karena VOC melakukan pemusnahan pohon cengkeh di Maluku, dengan maksud
agar tidak terjadi kelebihan produksi yang berakibat pada menurunnya harga
cengkeh di pasaran dunia. Pertempuran ini berlangsung hingga 1636. Karena usaha
Belanda menaklukan Gowa dengan militer tidak berhasil, akhirnya pada 1637,
Gubernur Jenderal Antonio Van Diemen dengan dikawal armada yang kuat
menghubungi Sultan Alaudin di Gowa, tujuannya untuk mengadakan perjanjian
damai. Dalam perjanjian ini disyaratkan larangan rakyat Gowa untuk berdagang
dengan musuh Belanda, syarat ini ditolak oleh Gowa. Setelah berunding cukup
lama, perjanjian ini disetujui pada 26 Juni 1637. Isi perjanjian tersebut adalah:
perdamaian kekal, perdagangan bebas, tetapi Belanda tidak boleh mendirikan
tempat tinggal permanen di Somba Opu.
10
akan turut campur dalam perselisihan internal orang Makassar, VOC tidak akan
menangkap orang Makassar yang ada di Maluku, dan raja akan mendapat ganti
rugi atas permintaan barang-barangnya.
Bagi VOC perjanjian ini tidak menguntungkan. Karena itu VOC mencari-
cari alasan untuk menyerang Gowa. VOC mengirim ultimatum kepada raja Gowa
yang dibalas dengan ultimatum pula. Hubungan kedua pihak pun bertambah degan
hingga berujung pada beberapa peperangan. Pada 1669 terjadi peperangan antara
VOC dengan Kerajaan Gowa. Peperangan ini bermula sejak ekspedisi Belanda
yang terdiri dari 31 buah kapal dan 2600 awak yang dikirim ke Sulawesi. Perang
mulai berkobar ketika Armada Belanda tiba di depan sombaopu dan mengalihkan
serangan ke benteng Panakkukang. Benteng Panakkukang ini dapat ditaklukan oleh
Belanda pada tanggal 12 Juni 1660. Dalam perang ini walaupun pasukan Gowa
tidak menyerah, namun kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata
dan perdamaian. Sultan Hasanuddin mengirim beberapa orang di bawah pimpinan
karaeng Popo ke Batavia untuk membicarakan perdamaian dengan gubernur
jenderal VOC.
Selama gencatan senjata ini raja Gowa tetap waspada. Raja Gowa giat
mendirikan benteng pertahanan antara lain di Mariso (sebelah utara Somba Opu),
membuat tembok dan parit sepanjang 2 setengah mil mulai dari Binanga Beru
(sungai Beru) ke Ujung Tanah. Untuk pembuatan parit ini didatangkan tenaga dari
Bone sebanyak 10000 orang. Pekerjaan ini terlalu berat sehingga timbul
ketidaksenangan orang Bone terhadap Sultan. Di bawah pimpinan Tobala, secara
diam-diam mereka kembali ke Bone. Hal ini merupakan salah satu sebab
ketidaksenangan Bone terhadap Gowa.
Pemberontakan Bone terjadi pada bulan Oktober 1660 yang dipimpin oleh
Tobala, dibantu oleh Aru palaka dan La Tenribali Datu Soppeng. Cobalah tewas
pada 11 Oktober 1660. Ketika pemberontakan Bone berlangsung, Karaeng Popo
dari Batavia tiba di Sombaopu pada tanggal 4 November 1660. Hasil perjanjian
perundingan yang dibawanya banyak merugikan Gowa, sehingga Sultan belum
menerimanya. Namun, karena Belanda menahan beberapa pembesar dan
bangsawan Gowa rombongan Karaeng Popo dan masih menduduki benteng
11
Panakkukang, maka akhirnya sultan menandatangani perjanjian tersebut pada 1
Desember 1660. Setelah Tobala tewas, pemberontakan Bone dapat dipadamkan,
namun Aru Palakka malah berpihak kepada VOC.
Pada tahun 1666, Sultan Hasanudin mengalahkan Armada besar yang terdiri
dari 700 kapal perang dan 20 ribu tentara di bawah pimpinan Laksamana kerajaan
Gowa, Karaeng Bontomarannu, dibantu oleh Datu Luwu Settiaraja, Sultan
Alimuddin, dan Sultan Bima menyerang Buton. Pada bulan Oktober 1666, VOC
mengambil keputusan untuk mengerahkan kekuatan senjatanya guna
menghancurkan kerajaan Gowa. Armada Belanda ini dipimpin oleh Laksamana
Cornelis Janszoon Speelman. Pasukan Spelman tiba di pelabuhan Sombaopu pada
tanggal 19 Desember 1666 dengan kekuatan armada 21 kapal, 600 tentara Belanda,
400 tentara Bugis dan Ambon di bawah pimpinan Aru Palaka dan Kapten Jonker
dari Manipa.
12
Sementara usaha persiapan pertahanan dan konsolidasi pasukan Gowa
dilakukan oleh Sultan Hasanuddin, Aru Palaka yang dibantu Belanda berusaha pula
membebaskan Bone. Pada bulan Mei 1667, Aru Palaka mengirim kurang lebih
2000 pasukan di bawah pimpinan Datu Soppeng dan Arung Kaju ke daerah di
sekitar Bone, untuk bersama pasukan VOC untuk menyerang Gowa dari selatan.
Pada tanggal 12 dan 13 mei 1669 pasukan gowa menyerang belanda, tetapi
dapat dipukul mundur. Akhirnya pasukan belanda semakin mendekat ke benteng
somba opu. Pada 24 juni 1699 benteng sombaopu jatuh ke tangan belanda. Lebih
dari 272 pucuk meriam besar dan kecil jatuh ke tangan belanda, sejak saat itu
lumpuhlah kekuatan gowa. Pada waktu Sultan Abdul Jalil (1677-1709)
13
memerintah, beliau menggugat perjanjian bongaya. Beliau mengajukan beberapa
tuntutan terhadap VOC, diantaranya: 1) menuntut dikembalikannya benteng Ujung
pandang dengan alasan bahwa selama ini banyak tersebut hanya dipinjam oleh
VOC, 2) penguatan bea oleh Gowa, 3) menuntut penghapusan utang (kerugian
perang) sesuai perjanjian Bungaya. Dari ketiga tuntutan tersebut, hanya tuntutan
ketiga yang dikabulkan VOC, sisanya ditolak. Walaupun tidak melakukan
perlawanan terhadap VOC, namun tuntutan tersebut membawa dampak positif,
sehingga ia disenangi rakyat Gowa.
14
7. Makasar harus membayar biaya perang
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan rakyat Makasar
terhadap Belanda tetap diteruskan oleh putra Sultan Hasanudin yaitu Mapasomba.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran dan pada akhirnya Belanda berhasil
menghancurkan Makassar dan menguasai wilayah kerajaan tersebut sepenuhnya.
15
yang diperdagangkan di Pulau Jawa maupun luar pulau. Selain faktor tersebut jalur
perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang akan diperdagangkan ke Asia utara
melewati daerah-daerah strategis tersebut (Krisprantono, 2009).
16
Agung mendorong perkembangan yang pesat di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan
(Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020)
Selain adanya keinginan di antara kedua pihak menjadi yang paling unggul,
perlawanan Mataram terhadap VOC juga disebabkan penolakan permintaan tawaran
Sultan Agung kepada VOC. Di tahun 1621 pegawai VOC yang ditawan dipulangkan ke
Batavia serta pengiriman beras, dan bermaksud meminta bantuan angkatan laut VOC
untuk menaklukan Surabaya, Banten dan Banjarmasin namun ditolak oleh VOC
sehingga tidak ada alasan lain bagi Sultan Agung untuk mengizinkan VOC tinggal di
Pulau Jawa (Ma’rifah Siti. 2014).
17
sebagai kongsi dagang, mereka memiliki hak istimewa untuk menyatakan perang atau
damai dengan kerajaan-kerajaan islam pada masa itu, VOC menjadi media bagi
imperialisme barat untuk mematahkan kekuasaan ekonomi islam dimana kekuasaan
ekonomi islam pada saat itu adalah perdagangan, sebenarnya motivasi untuk
mematahkan perekonomian islam dapat dilihat dari latar belakang bangsa barat
melakukan penjelajahan samudera kemudian melakukan praktik kolonialisme dan
imperialisme terhadap negara jajahan mereka disebabkan kejatuhan Konstatinopel ke
tangan Turki Utsmani (Ma’rifah Siti. 2014).
Sebenarnya hubungan antara VOC dan Sultan Agung telah memburuk, pada
1614 duta dari Belanda diutus ke Mataram untuk menyampaikan ucapan selamat atas
penobatan dirinya yang telah menjadi raja Mataram, namun Sultan Agung membalas
ucapan selamat tersebut dengan menyatakan bahwa VOC dan Kesultanan Mataram tidak
akan menjadi sekutu jika VOC memiliki keinginan untuk merebut tanah Jawa. Bahkan
karena buruknya hubungan VOC dan Sultan Agung, orang-orang VOC menyamakan
Sultan Agung dengan seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara dan sebaliknya
rumor berkembang di Kesultanan Mataram yang menyatakan bahwa kapal-kapal Jawa
dirampok oleh VOC. Memburuknya hubungan VOC dan Kesultanan Mataram ini juga
disebabkan karena kemarahan Sultan Agung terhadap VOC yang merasa pihak mereka
tidak pernah menepati janji-janjinya dan hanya menginginkan mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari apa yang dijanjikan Sultan Agung terhadap VOC seperti
pembebasan bea cukai, bahan-bahan bangunan dan tanah untuk perkebunan secara
cuma-cuma (Ma’rifah Siti. 2014).
18
di berbagai tempat, serangan kedua ini dilakukan pada 1 Agustus dan berakhir pada 1
Oktober 1629, sayangnya serangan kedua ini juga mengalami kegagalan disebabkan
kekalahan pada faktor pertama dan lumbung persediaan makanan yang dihancurkan
Belanda. Diperkirakan jumlah pasukan yang dikirim Sultan Agung jika ditotal kurang
lebih sejumlah 10.000 pasukan (Aman. 2013) .
19
Perlawanan tidak berhenti disitu, Mataram mengirimkan panglima pasukan
baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul, taktik yang digunakan dalam menaklukan
VOC dengan membendung Sungai Ciliwung agar kota Batavia kekurangan air, namun
pada saat yang sama waktu itu merupakan musim hujan sehingga pembendungan sungai
ini gagal dan datangnya musim penghujan membuat banyak pasukan mataram terserang
penyakit serta kondisi dalam perang yang serba kekurangan. Sehingga kembali lagi pada
taktik awal yaitu menyerang benteng Holandia dilakukan pada 27 November malam
hari, dikerahkan 100 pasukan kemudian menyusul 300 pasukan namun sebagian besar
tertembak gugur dalam peperangan dan banyak lainnya yang melarikan diri. Kegagalan
ini membuat Tumenggung Sura Agul-Agul atas perintah Sultan menghukum mati
Mandurareja dan Upa Santa bersama anak buahnya (Ma’rifah, Siti. 2014).
VOC mulai menghancurkan 200 kapal, 400 rumah dan satu gunungan padi
pada 4 Juli, kemudian gunungan padi kedua di Cirebon dimusnahkan. Atas penyerangan
tersebut timbul ketakutan dari pasukan Mataram sehingga tidak ada bentuk penyerangan
dari Mataram dalam kurun waktu yang cukup lama. Penghancuran pasokan padi ini
membuat bencana kelaparan di Mataram sehingga serangan pengepungan di benteng
Holandia hanya bertahan satu bulan. Pada tanggal 14 dan 15 September Mataram
mengirim gerobak-gerobak yang berisikan meriam yang ditarik dengan menggunakan
12-18 ekor kerbau, balasan dari pihak VOC dengan melancarkan serangan pada tanggal
20
17 September di bawah pimpinan Antonio van Diemen sasarannya adalah pasokan
logistik dibakar, namun pada saat itu turun hujan (Ma’rifah, Siti. 2014).
21
Sejak awal, hubungan antara VOC dan Kesultanan Banten tidaklah baik
karena VOC yang menginginkan hak monopoli perdagangan di pelabuhan banten.
Terlebih pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menentang
segala bentuk intervensi asing VOC di daerah kekuasaanya. VOC pun melakukan
blokade ekonomi dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di
Pelabuhan Banten. Pasukan Kesultanan Banten melawan aksi blokade ekonomi
VOC dengan melakukan perusakan instalasi milik VOC di wilayah Kesultanan
Banten, menjadikan daerah Tangerang dan Angke sebagai basis pertahanan, serta
penyerangan pasukan Banten ke Batavia pada tahun 1652. Tidak berhenti disitu,
dalam upaya melawan VOC Sultan Ageng Tirtayasa menjalin kerjasama dengan
kesultanan lain dan daerah-daerah di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Dari
sana pasukan Banten semakin kuat sedangkan VOC yang pada masa tersebut juga
sedang berperang melawan Makassar mengalami kekurangan pasukan. Untuk
mengatasi kekurangan pasukan tersebut, VOC menyewa pasukan dari daerah lain
di nusantara seperti dari Ternate, Bugis, dan Bandan untuk melawan pasukan
Banten. Pertempuran antara VOC dan Banten tersebut cukup merugikan VOC
hingga pada 29 April 1658 VOC mengutus seorang utusan kepada Sultan Ageng
Tirtayasa untuk melakukan perjanjian dan gencatan senjata. Namun upaya tersebut
tidak membuahkan hasil karena perbedaan pendapat antara VOC dan Sultan Ageng
Tirtayasa yang menyebabkan pertempuran berlangsung kembali (Manoor,
2021:113).
22
seperti Lampung, Cirebon, dan Bengkulu serta dengan negara-negara Islam seperti
Turki, Arab, Persia, India, dan Aceh. Untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti
persenjataan Sultan Ageng Tirtayasa melakukan hubungan dengan Inggris,
Portugis, dan Spanyol (Asrul, 2015:23).
23
Pangeran Kidul menyerah karena pimpinannya telah gugur. Pasukan Syekh Yusuf
al-Maqassari terus melanjutkan perlawanan namun akhirnya menyerah pada 14
Desember 1683 karena taktik kotor VOC yang menawan putrinya. Sedangkan
Pangeran Purbaya kemudian bergerak ke daerah Cianjur dan bergabung dengan
pasukan Untung Suropati yang juga melakukan perlawanan. Namun Pangeran
Purbaya beserta pasukannya yang berjumlah 800 orang akhirnya menyerah pada 6
Februari tahun 1684. Syekh Yusuf al Maqassari diasingkan ke Tanjung Harapan
dan Pangeran Purbaya dipenjara di Batavia bersama ayahnya (Asrul, 2015:37-39).
24
perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji kompeni
sehingga ada pembunuhan kepala kompeni Jan van Assendelt,
dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh sultan
dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada kompeni
6. Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua
belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh, atau
pelanggar hukum kompeni, atau juga orang partikelir yang
bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari
sini atau dari tempat lainnya di daerah kompeni, jika datang
ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah
hukum kompeni akan segera ditahan dan kemudian
diserahkan kembali kepada perwakilan kompeni.
7. Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa
terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan
raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang
bersekutu di bawah perlindungan kompeni yang juga di dalam
ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh
kedua belah pihak
8. Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal
empat yang telah menyatakan bahwa kompeni tidak perlu
memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka
menyimpang dari hal itu kompeni akan menentukan
pembayaran kembali dengan cara debet
9. Akhirnya sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan
datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau
perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena
bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10. Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus
hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar beserta keturunannya harus menerima
seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap
suci, dipercayai, dan benar-benar akan dilaksanakan, dan
kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan
sebagaimana pula dari pihak kompeni yang diwakili oleh
komandan dan Presiden Komisi François Tack, Kapten
Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der
Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dan atas
nama gubernur jenderal kompeni dan Dewan Hindia juga atas
nama Dewan Jenderal Kompeni Belanda.
Perjanjian tersebut tentunya merugikan pihak Kesultanan Banten karena
dengan perjanjian tersebut Banten tidak lagi memiliki kekuasaan. Kekuasaan berada
ditangan VOC dengan Sultan Haji sebagai raja bonekanya. Masyarakat Banten
semakin tersiksa karena VOC yang memaksa rakyat menjual rempah-rempah hanya
kepada VOC. Kerap terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil masyarakat
dengan melakukan kerusuhan, pembakaran, perampokan yang ditujukan pada para
kompeni. Selain itu, posisi Sultan Haji juga tertekan atas syarat-syarat dan
25
keinginan VOC yang harus dituruti. Sultan Haji akhirnya meninggal pada tahun
1687.
26
perlawanan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang tidak bisa dianggap remeh hingga
Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang memimpin VOC melakukan gencatan
senjata dengan mengasingkan Ratu Syarifah untuk memadamkan pemberontakan
Kyai Tapa. Namun, hal tersebut tidak menghentikan perlawanan pasukan Kyai
Tapa melawan VOC. Pada Juli 1751, pasukan Kyai Tapa berhasil menghancurkan
daerah-daerah di sekitar Batavia. Perlawanan Kyai Tapa terus berlangsung dengan
rencananya membuat seluruh tanah Jawa mengangkat senjata. Namun, karena
kekurangan persenjataan pasukan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang dipukul
mundur hingga ke pedalaman Banten (Suroyo dkk, 2012:254).
Dari sini dapat dilihat bahwasanya perlawanan tidak hanya berasal dari
para bangsawan saja namun juga rakyat Banten dibawah kepemimpinan lokal
seperti para ulama. Meskipun pada akhirnya mengalami kekalahan namun,
perlawanan-perlawanan rakyat Banten tersebut tidak bisa dianggap remeh dan
sudah sepatutnya diteladani dan dilanjutkan.
27
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perlawanan rakyat mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung didasari karena
adanya ketidak inginan Pulau Jawa dikuasai oleh VOC, praktik monopoli perdagangan
VOC menimbulkan berbagai reaksi yang negatif disebabkan praktik perdagangan ini
memang tidak sesuai dengan perdagangan tradisional di Indonesia, selain hal tersebut
hubungan yang buruk antara Sultan dan VOC juga mendorong terjadinya perlawanan
Mataram terhadap VOC. Perlawanan pertama dilakukan pada tahun 1628 namun
28
mengalami kekalahan dan panglima Tumenggung Bahurekso gugur ditempat, tidak
berhenti disitu walaupun perlawanan pertama Mataram mengalami kekalahan semangat
dalam melawan VOC tetap berkobar dan melakukan perlawanan kedua pada tahun 1629,
namun tetap mengalami kekalahan. Meskipun demikian ada nilai-nilai yang dapat
diambil dari kegigihan Sultan Agung melawan VOC yaitu nilai perjuangan, cinta tanah
air dan kerja keras.
Sedari awal, Kesultanan Banten memang telah menolak intervensi dan keinginan
VOC untuk memonopoli perdagangan di Pelabuhan Banten. Hal tersebut dikarenakan
Kesultanan Banten menganut ekonomi bebas dimana pedagang dari mana saja berhak
untuk berdagang di pelabuhan Banten yang semakin ramai terlebih ketika Selat Malaka
diduduki oleh VOC. Puncak perlawanan Kesultanan Banten berada di bawah
kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun karena gempuran konflik internal
kerajaan yang melibatkan Sultan Haji dan Pangeran Purabaya menyebabkan perpecahan
dan VOC berhasil masuk dan menguasai Kesultanan Banten. Namun meskipun para
petinggi yang memimpin perlawanan akhirnya dapat dikalahkan oleh VOC, gejolak
perlawanan tidak berhenti diantaranya terlihat dari perlawanan Kyai Tapa dan Ratu
Bagus Buang beserta pasukannya.
3.2. Saran
29
DAFTAR RUJUKAN
Abbas. 2005. Sistem Pertahanan di Batavia Abad VII-XVIII, Dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi VII. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, 1998-1999.
Abduh, M., dkk. (1985). Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Sulawesi Selatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Aman. 2013. Indonesia: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Yogyakarta: Pujangga
Press.
Alwi, D. 2005. Sejarah Maluku. Jakarta: Dian Rakyat.
Asrul. 2015. Intervensi VOC dalam Konflik Suksesi di Kesultanan Banten 1680-1684.
Skripsi Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Guillot, C. 2008. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia
Hall, D. G. E. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Hanna, W.A, 1983. Kepulauan Banda Kolonialisasi dan Akibatnya di Kepulauan Pala,
Jakarta: PT. Gramedia.
Indriani, Herni. Strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mempertahankan Kesultanan
Banten. Jurnal OSF (online) pada https://osf.io/preprints/gndc6/
Kartodirdjo, S. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Krispantono. 2019. Mencari Jejak Benteng ‘De Vijfhoek’ di Kota Lama Semarang
melalui Pendekatan Sejarah. AMERTA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi 27 (1).
Manor, Usman. 2021. Meninjau Kembali Sejarah Banten: Studi Kasus Pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa dan Implementasi Kepemimpinannya. Jurnal Salus
Cultura 1(2).
Ma’rifah, Siti. 2014. Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC 1628-1629. SKRIPSI.
Unoveristas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.
Poelinggomang, E. L. (2016). Makassar abad XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Poesponegoro M. D. & Nugroho N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia VI Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
30
Rhohana, Siti dkk. 2020. Kajian Nilai-Nilai Perjuangan Sultan Agung Sebagai Penguatan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Indonesia di SMA. Jurnal
Candi. 20 (2)
Ricklefs M. C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terjemahan oleh Satrio
Wahoho, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Siregar, P. 2017. Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi tentang K.H.
Wasyid. Jurnal Al-Turas 23(1)
Susilo, Agus dan Yeni Asmara. 2020. Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Eksistensi
Kesultanan Mataram. Jurnal Diakronika 20 (2).
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Ulfah, S. M. Perlawanan Banten Terhadap Belanda. Jurnal OSF (online) pada
https://osf.io/preprints/ux9b7/
31