Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

Pilihan Pembiayaan Infastruktur Baik Secara Hutang atau Ekuitas

Mario Yosafat Tiardo Marpaung


NIM. 216020301011013

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022

i
DAFTAR ISI

Latar Belakang ........................................................................................................................................................................ 1


Tinjuanan Pustaka.................................................................................................................................................................. 4
Kesimpulan ............................................................................................................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA

ii
1. Latar Belakang
Menurut Noerhadi (2020), Indonesia memerlukan terobosan dalam mengundang investasi
asing disebabkan terbatasnya kapasitas pembiayaan pemerintah baik fiskal maupun melalui BUMN
untuk membiayai investasi. Adapun sumber investasi dibutuhkan untuk :

1. Memenuhi tingginya kebutuhan pembiayaan pada tahun – tahun kedepan;


a. Visi Indonesia 2045: “Menjadi 5 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia”
b. Kesenjangan kebutuhan dan kapasitas (gap) pembiayaan infrastruktur dan pembangunan
yang besar dan melebar;
c. Karakteristik pembiayaan khususnya infrastruktur yang padat modal, cost of fund tinggi,
dan tenor panjang.
2. Tingkat foreign direct investment (FDI) Indonesia mengalami stagnasi, Realisasi Investasi
Langsung Indonesia pada tahun 2016 sebesar Rp 397 Triliun, tahun 2017 sebesar Rp 431
Triliun, tahun 2018 sebesar Rp 393 Triliun, dan pada tahun 2019 sebesar Rp 423 Triliun.
3. Selain itu, rasio hutang terhadap PDB meningkat setiap tahun, debt to GDP ratio pada tahun
2016 28,34% dan tahun 2019 sebesar 30,20%.
4. Kapasitas pembiayaan BUMN juga semakin terbatas, rasio tingkat hutang dibanding
pendapatan kotor dan ekuitas BUMN infrastruktur terkait dimana batas wajar antara 3 – 4x.

Debt / EBITDA DER


BUMN
2019 Q2-20 2019 Q2-20
KRAS -5.50 119.26 0.89 6.05
WSKT 70.35 -67.04 3.21 3.42
PPRO 37.21 254.06 2.20 2.90
TINS -20.91 -31.12 2.87 2.82
WIKA 15.38 126.06 2.23 2.70
PTPP 33.75 162.72 2.41 2.81
ADHI 43.24 2337.97 4.34 5.76
GMFO -227.87 -4.36 1.85 4.83
JSMR 24.69 512.23 3.30 3.26

Tabel 1.
Rasio Hutang BUMN Infrastruktur

1
5. Beberapa Sovereign Investors a.l. ADIA tertarik melakukan investasi di Indonesia, tetapi
memerlukan mitra strategis yang kuat secara hukum dan kelembagaan

Beberapa proyek infrastruktur yang termasuk ke dalam Prioritas Strategis RPJMN 2020 – 2024:

Sumber Pembiayaan (dalam Triliun Rupiah)


Proyek Infrastruktur
APBN KPBU Badan Usaha
Ibu Kota Negara Baru 90.4 252.5 12.3
Tol Trans Sumatera 105 203 -
Jalan Trans Papua 105.5 203 -
Proyek SDA (18 Waduk, DAS, & 137.3 53.9 60
Akses Air Minum)
Proyek Pembangkit Listrik, - - 1.121
Transmisi, dan Gardu Induk
Proyek KA Cepat & Sistem 58 42 118
Transportasi Massal 6 Kota
Proyek 1 Juta Rumah 127 265

Tabel 2
Proyek Infrastruktur Prioritas Strategis RPJMN 2020 – 2024

Adapun yang menjadi tantangan pendanaan BUMN karya dalam pengembangan infrastruktur
2020 – 2024 adalah sebagai berikut:

• Proyek infrastruktur bersifat padat modal dengan rata-rata 70% sumber pendanaan berasal
dari pinjaman;
• Leverage dari emiten BUMN Karya semakin tinggi akibat pendanaan proyek infrastruktur,
ditunjukan dengan kenaikan signifikan dari jumlah Utang Berbunga dan Gearing Ratio;
• Kenaikan leverage ini juga membuat BUMN Karya semakin mendekati batas rasio covenant
yang dipersyaratkan oleh Kreditur (perbankan ataupun publik/obligasi);
• Proyek infrastruktur seperti jalan tol akan mengalami defisit arus kas pada periode awal masa
operasional. BUMN harus memenuhi kebutuhan kas akibat defisit tersebut;
• Begitu proyek beroperasi maka beban keuangan yang tidak dapat dikapitalisasi sehingga akan
membebani kinerja perusahaan.

2
Terjadinya pandemi Covid-19 memberikan dampak negatif bagi sektor infrastruktur di
Indonesia, adapun dampak negatif yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:

• Perlambatan pada sektor infrastruktur disebabkan adanya realokasi anggaran infrastruktur


pada APBN untuk penanganan Covid-19;
• Terhambatnya pelaksanaan proyek akibat penerapan PSBB total pada bulan Maret – Juli /
Agustus;
• Tidak tercapainya target pembebasan lahan (khususnya proyek tol) menyebabkan mundurnya
progress konstruksi;
• Tertundanya pembayaran proyek akibat mundurnya progress pekerjaan dan realokasi
anggaran;
• Penurunan signifikan pada lalu lintas harian (LHR) jalan tol akibat penerapan PSBB

Dalam rangka melaksanakan proses pemulihan ekonomi dan pembangunan dalam masa
pandemi Covid-19 telah dilakukan beberapa strategi diantaranya :
• Vaksinasi Covid-19 semakin dekat;
• Anggaran infrastruktur 2021 kembali ke level normal (proyek telah mulai ditenderkan akhir
tahun 2020);
• Pembentukan sovereign wealth fund (SWF) untuk menjawab tantangan pembiayaan
infrastruktur

Untuk memastikan penyelesaian seluruh proyek infrastruktur dan juga menghadapi penurunan
kemampuan keuangan akibat pandemi, BUMN pengembang Infrastruktur membutuhkan dukungan
pada masa pelaksanaan proyek dan juga pada masa operasi.

Adapun dukungan dalam masa konstruksi yaitu:

• Suntikan modal kepada BUMN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN);
• Fasilitas pinjaman modal kerja dengan tenor panjang dan tingkat bunga rendah spesifik untuk
pendanaan infrastruktur;
• Penjaminan dari Pemerintah untuk meningkatkan peringkat (rating) kredit dari Badan Usaha
sehingga dapat memperoleh pendanaan dengan cost yang lebih kompetitif;
• Skema Viability Gap Funding (VGF) melalui APBN untuk proyek dengan tingkat pengembalian
(IRR) yang kurang memadai;
• Insentif atau relaksasi pajak konstruksi bagi badan usaha penyelenggara pengembangan
infrastruktur.

3
Adapun dukungan dalam masa operasional yaitu:

• Standby Investor dalam rangka recycle asset infrastruktur oleh BUMN;


• Kepastian regulasi mengenai tarif dan ketentuan lainnya yang dapat mempengaruhi minat
investor;
• Dukungan likuiditas pendanaan defisit arus kas pada awal periode operasionalisasi proyek;
• Relaksasi covenant oleh kreditur (diperlukan seiring meningkatnya rasio leverage).

Maka berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapatkan sebuah pertanyaan “Pilihan
pembiayaan infastruktur: Utang atau Ekuitas?’. Dalam jurnal ini akan dilakukan studi literasi untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut.

2. Tinjauan Pustaka
Menurut Jimny (2021), Semakin tinggi risiko proyek, semakin tinggi leverage. Hal ini sejalan
dengan hipotesis yang diajukan dan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
negara-negara Asia pada prinsipnya memang mengandalkan utang sebagai sumber utama
pendanaan proyek infrastruktur, karena proyek tersebut berisiko tinggi.
Namun Jimny (2021), juga menyatakan bahwa partisipasi pemerintah berpengaruh signifikan
dan negatif terhadap leverage, artinya semakin tinggi partisipasi pemerintah maka leverage
semakin rendah. Partisipasi pemerintah merupakan salah satu instrumen yang dapat mengurangi
risiko.
Menurut Saona (2019), perusahaan dengan leverage rendah bertahan dari waktu ke waktu,
Perusahaan-perusahaan dengan penilaian ekuitas yang terus menerus berlebihan adalah kandidat
yang baik untuk mempertahankan struktur modal dengan leverage yang rendah.
Menurut Yen (2020), mengevaluasi kesetaraan dalam kaitannya dengan empat skema yang
berbeda menggunakan skema berbasis nilai tanah, skema berbasis rumah tangga, skema berbasis
peningkatan nilai, dan skema gabungan nilai lahan dan berbasis peningkatan nilai. Skema berbasis
nilai tanah menggunakan nilai tanah dari setiap properti untuk menimbang jumlah pajak. Skema
basis permukiman ini didesain agar semua pajak yang dibayarkan sama. Skema peningkatan nilai
mengadopsi pendekatan yang digunakan dalam skema pembiayaan kenaikan pajak dan/atau
penilaian khusus.
Menurut Gemson (2012), proyek di negara berkembang menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam ukuran proyek. Namun, rasio utang proyek dengan Private Equity
(PE) lebih rendah jika dibandingkan dengan proyek yang tidak memiliki PE. Jumlah sponsor lebih
tinggi pada proyek yang memiliki investasi PE jika dibandingkan dengan proyek yang tidak. Hal ini

4
menunjukkan bahwa investasi PE di negara berkembang terlihat pada proyek yang lebih berisiko.
Investor PE telah membantu dalam berbagi risiko proyek di antara kelompok investor yang lebih
besar, sehingga mengurangi risiko yang dihadapi oleh sponsor individu.
Menurut Santandrea (2016), risiko konsentrasi pasar ekuitas muncul sebagai penentu penting
dari IRR proyek. Pengembalian rata-rata tahunan atas proyek-proyek. Semakin banyak investor
memasuki pasar PFI selama bertahun-tahun, meningkatkan persaingan yang lebih besar yang
mengarah pada penurunan pengembalian. Tingkat persaingan yang lebih tinggi jelas
menguntungkan sektor publik dalam hal harga yang harus dibayar untuk proyek yang lebih rendah,
sehingga menunjukkan bahwa kebijakan berbasis pasar sebenarnya dapat menguntungkan sektor
publik.

Menurut Marques (2020), menjelaskan bahwa dengan Asset Securities (AS) digunakan sebagai
mekanisme untuk mengurangi biaya pendanaan dengan mengurangi ketidaksempurnaan pasar dan
mencapai peningkatan kualitas kredit untuk transaksi yang ditutup olehvperusahaan keuangan dan
nonkeuangan. Selain itu, bahwa transaksi Structured Finance (SF)memiliki biaya pinjaman lebih
rendah daripada Corporate Bond (CB) .

Menurut Lukas (2019), nilai ambang batas investasi maupun tingkat investasi menurun seiring
dengan meningkatnya tingkat subsidi. Oleh karena itu, semakin tinggi subsidi, semakin rendah
ambang batas investasi perusahaan, yang menunjukkan percepatan investasi. Pemerintah tidak
perlu mengeluarkan kebijaka subsidi untuk mendorong investasi. Nominal pajak yang lebih tinggi
meningkatkan kecenderungan perusahaan untuk menunda investasi karena pajak yang dibayar
kepada negara meningkat signifikan.

3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa:
a. Pembiayaan melalui hutang memiliki risiko yang cukup besar, dikarenakan pembiayaan
melalui hutang memiliki bunga yang harus dibayarkan sesuai dengan besarannya setiap
bulannya sesesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan;
b. Pembiayaan melalui ekuitas bisa menjadi sumber alternatif, baik itu pendanaan melalui
penerbitan saham hingga penggunaan perusahaan Private Equity (PE), namun hal tersebut
memerlukan studi lebih lanjut;
c. Adanya pengaturan atas mekanisme pajak bisa menjadi salah satu alternatif dalam
mendongkrak pembiayaan yang dilakukan, sehingga menarik investor untuk melakukan
investasi pada sebuah proyek.

5
DAFTAR PUSTAKA

Barbara T.H. Yen, C. M. (2020). Equity in financing public transport infrastructure: Evaluating funding
options. Transport Policy 95 (2020) 68-77.

Charles Jimmy, T. A. (2021). Managing leverage of infrastructure projects: Aggregate and sectoral risk
effect. Journal of Asian Economics 73 (2021) 101284.

Elmar Lukas, S. T. (2019). The interaction of debt financing, cash grants and the optimal investment
policy under uncertainty. European Journal of Operational Research 276 (2019) 284-299.

Hui Sun, S. J. (2018). Optimal equity ratio of BOT highway project under government guarantee and
revenue sharing. Transportmetrica A: Transport Science.

Josephine Gemson, K. G. (2012). Impact of private equity investments in infrastructure projects. Utilities
Policy 21 (2012) 59-65.

Manuel O. Marques, J. M. (2020). A comparative analysis of ex ante credit spreads: Structured finance
versus straight debt finance. Journal of Corporate Finance 62 (2020) 101580.

Martina Santandrea, A. S. (2016). Concentration risk and internal rate of return: Evidence from the
infrastructure equity market. International Journal of Project Management xx (2016) xxx-xxx.

Paolo Saonaa, E. V. (2019). Debt, or not debt, that is the question: A Shakespearean question to a
corporate decision. Journal of Business Research xxx (xxxx) xxx-xxxx.

Peter W. G. Morris, D. S. (1988). Equity in Third World Project Financing with Particular Reference to
Build-Own-Operate Projects. Equity and the LDC Debt Crisis.

Anda mungkin juga menyukai