Metodologi Penelitian
Disusun oleh
Kelas : IB-PUPR
Dalam situasi di mana seorang manajer secara proaktif mencari peluang keputusan
atau area untuk perbaikan, kami dapat merumuskan masalah manajemen sebagai
berikut:
1. Situasi yang ada; Untuk tumbuh, kami mempertimbangkan untuk memasuki pasar
baru. Namun, tidak jelas seberapa menarik pasar ini dalam jangka Panjang.
2. Mengapa situasi ini bermasalah (motif perubahan atau motif melakukan penelitian);
Ini menjadi masalah karena kami ingin membuat keputusan masuk pasar.
3. Situasi yang diinginkan (tujuan manajemen). Memperoleh wawasan tentang daya
tarik pasar jangka panjang.
Dari masalah manajemen ini, peneliti harus dapat mendefinisikan masalah penelitian
(tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian). Dalam bab ini, kami fokus pada situasi
yang memerlukan penelitian, situasi di mana sebuah organisasi berada dalam masalah
dan manajer perlu menemukan solusi.
Tugas penting seorang manajer adalah memastikan bahwa tujuan organisasi tercapai
dan organisasi berfungsi secara efisien. Jika tujuan organisasi tidak tercapai atau jika
organisasi tidak beroperasi dengan cara terbaik, itu adalah tugas manajer untuk
memecahkan masalah. Proses pemecahan masalah sering dimulai jika seorang manajer
menemukan bahwa situasi yang ada tidak diinginkan atau situasinya tidak memenuhi
norma atau standar tertentu.
Ketika seorang manajer menemukan bahwa kesenjangan antara situasi yang ada
dengan yang diinginkan terlalu besar dan melihat atau meramalkan konsekuensi negatif
yang besar akibat dari kesenjangan tersebut, manajer akan memulai tindakan yang
bertujuan untuk menemukan jalan keluar dari situasi yang ada. Proses penelitian dimulai
ketika manajer menugaskan seorang peneliti untuk membantu memecahkan masalah
organisasi. Eksplorasi dan diagnosis akan membantu peneliti untuk (pada akhirnya)
mendefinisikan masalah manajemen.
Jika peneliti dan organisasi klien memutuskan untuk melanjutkan proyek, menjadi
penting untuk memikirkan bagaimana cara seseorang ingin mendekat dalam tahap
diagnosis: Siapa yang perlu terlibat dan dalam peran apa (peserta, informan atau ahli)?
Berapa banyak dan jenis sumber daya apa yang dibutuhkan? Apakah kita memiliki akses
ke informasi yang relevan? Seringkali berguna untuk menyelesaikan masalah seperti itu
dengan organisasi klien sebelum peneliti memasuki tahap diagnosis.
Diagnosis dapat terjadi pada tingkat yang berbeda dalam suatu organisasi. Misalnya,
proses diagnosis dapat terjadi di tingkat organisasi, departemen atau unit bisnis strategis
(SBU) atau di tingkat individu, seperti karyawan atau klien. Diagnosis dapat ditujukan
pada semua level ini tetapi juga pada salah satu level ini.
Ada banyak instrumen dan alat berharga yang dapat membantu Anda mendiagnosis,
dan sebagian besar instrumen ini bersifat analitis (mereka membantu Anda memisahkan
masalah menjadi bagian atau elemen penyusunnya). Instrumen ini dapat membantu
Anda untuk menyusun aktivitas Anda dan mengatur pengumpulan informasi dalam tahap
diagnosis. Instrumen yang mungkin berguna adalah Kerangka McKinsey 7S atau Tichy
matrix, yang dikerjakan ulang oleh Peter Camp. Beberapa instrumen, seperti fishbone
diagram atau root cause analysis (juga dikenal sebagai '5 time why'), menekankan sebab
dan akibat. Tak perlu dikatakan, instrumen yang digunakan seseorang harus sesuai
dengan tingkat di mana diagnosis berlangsung dan seluk-beluk situasi yang dihadapi.
Usulan penelitian yang disusun oleh peneliti merupakan hasil usaha yang terencana,
terorganisir dan cermat, dan pada dasarnya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Judul kerja;
2. Latar belakang penelitian;
3. Masalah manajemen: Jika masalah manajemen adalah masalah tindakan: kendala
atau prasyarat yang harus dipenuhi oleh solusi;
4. Masalah penelitian:
a. Tujuan studi
b. pertanyaan penelitian.
5. Ruang lingkup penelitian;
6. Relevansi penelitian;
7. Desain penelitian, menawarkan rincian tentang:
a. Jenis studi -eksploratif dan deskriptif;
b. Metode pengumpulan data;
c. Desain pengambilan sampel;
d. Analisis data.
8. Kerangka waktu penelitian, termasuk informasi kapan laporan tertulis akan
diserahkan kepada sponsor;
9. Anggaran, merinci biaya dengan mengacu pada item pengeluaran tertentu;
10. Daftar Pustaka yang dipilih.
1. Upaya penelitian diposisikan relatif terhadap pengetahuan yang ada dan dibangun di
atas pengetahuan tersebut.
2. Risiko “menemukan kembali” yaitu memboroskan usaha dengan mencoba
menemukan kembali sesuatu yang sudah diketahui tidak dialami oleh peneliti.
3. Peneliti memungkinkan untuk memberikan argument terhadap keterkaitan antara
variabel – variabel pada konsep model
4. Sifat dapat diuji dan dapat ditiru dari temuan penelitian saat ini meningkat.
Boughy, Roger dan Sekaran, Uma. (2020). Research Method for Business (8th ed.).
John Wiley & Son Inc.
ANALISIS PERMASALAHAN PADA IMPLEMENTASI
POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
BLU merupakan instansi pemerintah yang diberikan mandat oleh Kementerian/Lembaga
untuk menyelenggarakan layanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan
kawasan dan pengelolaan dana. Menurut Thynne (2003) dalam Egeberg dan Trondal (2010)
pemberian mandat tersebut dimaksudkan untuk membedakan fungsi
pemerintah sebagai regulator, sekaligus sebagai upaya mengembangkan aktivitas
pengagenan (agencification). Pelayanan publik tidak harus diselenggarakan oleh lembaga
birokrasi murni, tetapi diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (bussiness like)
dengan menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan, dan manajemen sektor swasta (Box, 1999).
Dalam pelaksanaannya, upaya peningkatan layanan kepada masyarakat saat ini masih
belum maksimal dan terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan administrasi
pengelolaan keuangan BLU. Sebagai upaya meminimalisir permasalahan yang terjadi, pada tahun
2013 Kementerian Keuangan memberlakukan moratorium penetapan BLU baru. Dalam periode
tersebut, tidak ada satuan kerja instansi pemerintah yang ditetapkan untuk menerapkan PPK BLU.
Kementerian Keuangan melakukan beberapa perbaikan kebijakan yang terkait PPK BLU, antara
lain penataan regulasi, monitoring dan evaluasi terhadap satker BLU, dan penyusunan road map
bagi satker BLU.
Suatu satker pemerintah dapat menerapkan pengelolaan keuangan BLU, terlebih dahulu
harus memenuhi tiga kelompok persyaratan. Pertama, persyaratan substantif bahwa Instansi
pemerintah tersebut menyelenggarakan layanan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa,
pengelola dana khusus, atau pengelola kawasan atau wilayah. Kedua, persyaratan teknis bahwa
kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah tersebut layak dikelola
dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU. Penilaian ini dilakukan oleh
menteri teknis; dan Kinerja keuangan instansi pemerintah tersebut harus sehat. Ketiga, persyaratan
administratif. Apabila persyaratan pertama dan kedua telah dipenuhi, maka menteri teknis
mengusulkan instansi/satker berkenaan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan penilaian
melalui dokumen persyaratan administratif yaitu: (1) Pernyataan kesanggupan untuk
meningkatkan kinerja; (2) Pola Tata Kelola; (3) Rencana Strategis Bisnis; (4) Laporan Keuangan
Pokok; (5) Standar Pelayanan Minimum (SPM); dan (6) Laporan audit terakhir atau pernyataan
bersedia untuk diaudit. Berdasarkan hasil penilaian atas dokumen administratif tersebut, Menteri
Keuangan menerbitkan ketetapan suatu instansi pemerintah layak atau tidak layak ditetapkan
sebagai satker BLU.
BLU merupakan format baru dalam pengelolaan keuangan negara, sekaligus sebagai
wadah baru bagi modernisasi manajemen keuangan sektor publik. Perubahan tersebut juga telah
mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat
(Hughes, 1998 dalam Prakoso,2014). Sebagaimana diamanatkan dalamUndang-Undang
Perbendaharaan Negara, BLU memiliki tugas yang sangat mulia, yakni turut berperan dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas dan fungsi BLU adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan
menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel, menonjolkan produktivitas, efisiensi dan
efektivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk lebih memberikan keleluasaan kepada
satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanan untuk mengelola sumber daya yang ada
sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BLU diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa
pengecualian atas asas universalitas dan fleksibilitas lainnya, yaitu:
1. Pendapatan dapat digunakan langsung, tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Kas
Negara;
2. Belanja menggunakan pola anggaran fleksibel dengan ambang batas tertentu;
3. Dapat mengelola kas BLU untuk memanfaatkan idle cash BLU yang
hasilnya menjadi pendapatan BLU;
4. Dapat memberikan piutang usaha maupun menghapus piutang sampai batas
tertentu;
5. Dapat melakukan utang sesuai jenjang dengan tanggung jawab pelunasan berada
pada BLU;
6. Dapat melakukan investasi jangka Panjang dengan seijin Menteri Keuangan;
7. Dapat dikecualikan dari aturan umum pengadaan barang/jasa dan dapat mengalihkan
barang inventaris;
8. Dapat diberikan remunerasi sesuai tingkat tanggung jawab dan profesionalisme;
9. Surplus dapat digunakan untuk tahun berikutnya dan defisit dapat dimintakan dari
APBN untuk Public Service Obligation (PSO);
10. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan profesional non PNS;
11. Pengaturan organisasi dan nomenklatur diserahkan kepada Kementerian/Lembaga
dan BLU yang bersangkutan dengan seijin Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(Direktorat PPK BLU, 2014).
Pemberian fleksibilitas tersebut dimaksudkan untuk mendorong satker BLU agar dapat
menerapkan praktik bisnis yang sehat. Penerapan praktik bisnis yang sehat merupakan suatu upaya
untuk mengadopsi prinsip dan kaidah manajemen yang baik dalam pengelolaan keuangan
negara. Fungsi- fungsi manajemen diadaptasi dengan tujuan agar tercipta tata kelola organisasi
yang baik, akuntabel dan transparan.
Konsep manajerial yang diterapkan dalam pengelolaan BLU yaitu “let the managers
manage and make the managers manage”. Konsep “let the managers manage” mengandung makna
memberi kesempatan kepada manager (pimpinan satuan kerja) mengelola layanan pemerintah
seperti pendidikan dan kesehatan dengan menggunakan anggaran secara efisien dan efektif.
Sedangkan konsep “make the managers manage” bermakna memastikan bahwa pimpinan satuan
kerja tersebut telah melakukan pengelolaan dengan efisien dan efektif sehingga menghasilkan
output yang optimal (Waluyo, 2011).
Konsep BLU sebenarnya muncul dari reformasi sektor publik di Inggris pada tahun 1980-
an semasa Perdana Menteri Margareth Thatcher. Institusi publik dikelola secara lebih otonom
dengan tata kelola seperti swasta (private-like manner). Institusi publik yang semi otonom dan
dikelola dengan mekanisme layaknya entitas bisnis itu disebut dengan “ the next step agencies”.
Negara-negara lain juga melakukan hal yang sama seperti Agentschappen di Belanda, Special
Operating Units (SOAs) di Kanada, dan Independent Administrative Institutions (IAIs) di Jepang.
(Direktorat PPK BLU, 2014).
Menurut Lane, Stiglitz, dan Walsh, pada teori principal-agent, agent berusaha memenuhi
keinginan dari principal, karena principal pada dasarnya adalah merupakan representasi
kepentingan publik. Dengan kata lain, principal disini dapat juga berperan sebagai “controller”
agent. Hal ini dikarenakan dalam kondisi politik yang demokratis, pemegang kekuasaan tertinggi
adalah warga masyarakat (citizen) atau konsumen dari pelayanan publik (Batley, 2004 dalam
Prakoso, 2014). Pendekatan principal-agent ini menjadi dasar untuk menempatkan birokrat
sebagai pelayan masyarakat yang sebenarnya. Penerapan pendekatan ini diharapkan mampu
menyadarkan birokrat sebagai agent yang bertanggung jawab kepada masyarakat (principal)
dan bukan sebaliknya. (Prakoso, 2014).
Dalam konteks BLU, implementasi konsep principal-agent diwujudkan dengan posisi
pemerintah sebagai principal melalui menteri atau pimpinan lembaga dan yang menjadi agen
adalah BLU. Menteri/pimpinan lembaga sebagai policy maker dan BLU sebagai pelaksananya.
BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta kepada menteri sebagai
principal. Dalam melaksanakan misi pelayanan publik, BLU memiliki tantangan yang cukup besar
mengingat pemerintah sebagai principal, meminta kepada BLU sebagai agent untuk menjalankan
misi tersebut dengan berpedoman kepada prinsip bisnis. Prinsip ini menekankan efisiensi dan
produktivitas sebagaimana layaknya diterapkan pada dunia usaha, namun dengan tetap
mengutamakan pada peningkatan kualitas pelayanan. BLU harus memiliki banyak inovasi agar
bisa melakukan kegiatan yang kreatif dalam menciptakan metode pelayanan terbaik dan juga
cara terbaik dalam menjalankan prinsip- prinsip bisnis.