Anda di halaman 1dari 14

CRITICAL BOOK REVIEW

Dosen Pengampu : Sitti Rahma S.Pd., M.Si

Oleh :

Nama : Ulfi Clara Septiani Waruwu

NIM : 2213141011

Kelas : B 2021

Mata Kuliah : Teknik Tari Toba

PENDIDIKAN SENI TARI

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat,rahmat dan karunia sehingga saya dapat menyusun tugas
Critical Book Review ini dengan baik dan benar,serta tepat pada waktunya. Di
dalam tugas ini saya membahas mengenai dua buku yang telah saya baca yang
bersangkutan dengan Kebudayaan masyarakat Batak Toba.

Tugas ini dilakukan sebagai pemenuhan tugas Critical Book Review


mata kuliah Teknik Tari Toba yang diberikan oleh Bunda Sitti Rahma S.Pd., M.Si
selaku dosen pengampu. Critical Book Review ini telah saya buat berdasarkan dua
buku yang telah saya baca.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam Critical Book


Review yang saya kerjakan. Saya sangat membutuhkan saran dari para pembaca
agar saya dapat memperbaikinya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih dan
semoga Critical Book Review yang saya buat ini dapat memberikan manfaat dan
pembelajaran dalam mata kuliah Teknik Tari Toba.

Medan, April 2022

Ulfi Clara S. Waruwu

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi pentingnya Critical Book Review............................................................1


B. Tujuan Critical Book Review........................................................................................1
C. Manfaat Critical Book Review......................................................................................1
D. Identitas Buku................................................................................................................2

BAB II ISI BUKU

A. Buku I......................................................................................................................3
B. Buku II.....................................................................................................................5

BAB III KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

A. Kelebihan dan Kekurangan Buku I.........................................................................9


B. Kelebihan dan Kekurangan Buku II........................................................................9

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................10
B. Saran........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Book Review


Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan suatu buku yang membahas
mengenai kebudayaan masyarakat Toba serta dapat menjadi salah satu
referensi ilmu yang bermanfaat untuk menambah wawasan penulis
maupun pembaca dalam mengetahui kelebihan dan kekurangan suatu
buku. Penugasan CBR mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa
mengenai permasalahan yang sedang dibahas karena penarikan
kesimpulan suatu masalah diperoleh dari beberapa referensi sehingga
mampu menambah keakuratan jawaban. Pada kesempatan ini, penulis
mereview dua buku yang membahas mengenai “Kebudayaan Toba” untuk
menjelaskan kelebihan dan kekurangan uraian sebuah buku menurut versi
penulis.

B. Tujuan Critical Book Review (CBR)


1. Sebagai penyelesaian tugas mata kuliah Teknik Tari Toba
2. Meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
Kebudayaan Batak Toba
3. Mengulas isi beberapa buku
4. Mencari dan mengetahui informasi yang ada dalam teks buku
5. Membandingkan isi buku satu dengan yang lainnya

C. Manfaat Critical Book Review


1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Kurikulum Pembelajaran
dan Pengembangan Kurikulum.
3. Membantu pembaca mengetahui gambaran dan penilaian dari
sebuah buku yang direview.

1
D. Identitas Buku

Buku I (Utama)

Judul : Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum

Penulis : Sulistyowati Irianto

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tempat : Jakarta

Tahun : 2003

Halaman : 334

ISBN : 978-602-433-412-3

Buku II ( Pembanding)

Judul : Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba

Penulis : J.C. VARGOUWEN

Penerbit : LKiS Yogyakarta

Tempat : Yogyakarta

Tahun : 2004

Halaman : 642

ISBN : 979-3381-42-6

2
BAB II

RINGKASAN ISI BUKU

BUKU I

Penjelasan Masalah Kedudukan Perempuan dalam Pluralisme Hukum


Waris

Masyarakat pluralistik dengan latar belakang etnik, ras, agama, dan kelas
yang berbeda ditandai oleh adanya berbagai institusi (pranata) hukum yang
saling tumpang-tindih. Oleh karena itu bila terjadi konflik maka terjadi
peluang bagi munculnya konflik institusional. Fenomena tersebut dapat
dicerminkan terutama melalui kasus-kasus sengketa, baik yang diseesaikan
melalui pengadilan negara maupun institusi sosial yang lain yang ada dalam
masyarakat, termasuk lembaga adat. Dengan demikian upaya penyelesaian
sengketa menghadapkan pihak-pihak yang bertikai pada acuan hukum.
Penelitian ini secara garis besar akan menjelaskan bagaimanakah masyarakat
dengan institusi pluralistik, mengadopsi secara rasional institusi-institusi
tetentu untuk memenuhi kepentingan (sub-legal culture) dalam rangka
memenangkan sengketa.

Permasalahan ini akan dijelaskan melalui kasus-kasus sengketa waris yang


terjadi pada masyarakat Batak Toba. Khususnya yang melibatkan perempuan
(janda dan anak perempuan) sebagai salah satu pihak yang bersengketa.
Dalam kasus-kasus sengketa itu akan ditunjukan bagaimanakah para aktor
(pihak-pihak yang bertikai dan hakim) mengadakan pilihan terhadap berbagai
acuan hukum.

Perempuan Batak Toba sebagai salah satu pihak yang bersengketa dalam
perkara waris, mendapat perhatian dalam penelitian ini karena beberapa hal.
Pertama, nilai-nilai dan konsep budaya mengenai perempuan dan laki-laki
pada masyarakat Batak Toba, yang mencerminkan hubungan kekuasaan yang
timpang antara laki-laki dan perempuan, menempatkan perempuan pada posisi
yang lemah, khususnya dalam hal waris. Kedua, ketiadaan faktor teritorial di

3
kota tidak menyebabkan berkurangnya nilai-nilai budaya yang berdampak
pada lemahnya kedudukan perempuan dalam hal waris. Ketiga, migrasi orang
Batak Toba ke kota justru memperkokoh keberadaan aturan-aturan adat waris
dalam segi-segi tertentu. Nilai-nilai mengenai harta pusaka yang tidak boleh
dimiliki oleh anak perempuan di tanah asal, diadopsi sedemikian rupa
sehingga harta perkawinan (matrimonial property) pun dianggap tidak berhak
dimiliki oleh anak perempuan di kalangan masyarakat Batak Toba masa kini.

Dengan demikian seorang Batak yang berhubungan dengan masalah


waris, menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum. Secara normatif hukum
adat Batak Toba tidak memberikan hak waris kepada anak perempuan maupun
janda, baik yang berupa tanah, rumah, maupun benda tidak bergerak lainnya.
Sementara itu dalam berbagai peraturan perundangan nasional telah terumus
berbagai instrumen hukum yang menjamin persamaan hak antara perempuan
dan laki-laki, bahkan telah ada berbagai putusan hakim di berbagai tingkat
pengadilan, yang telah menjadi jurisprudensi yang memberikan hak kepada
perempuan Batak.

Selanjutnya konvensi-konvensi sosial yang muncul di kalangan


masyarakat Batak Toba saat ini adalah, adanya “persetujuan” untuk
memberikan bagian dari harta waris kepada perempuan melalui berbagai
strategi, seperti membuat statemen dan memberikan sebagian dalam harta
waris dalam bentuk lain seperti uang, perhiasan, atau pendidikan (Ihromi et.al.
1995). Namun pemberian harta waris kepada perempuan diatas tetap tidak
dianggap sebagai hak.

Melihat pengaturan pada tingkat normatif yang demikian itu seolah-olah


terdapat jurang antara apa yang terumus dalam hukum adat di satu sisi dan
hukum nasional di sisi yang lain. Namun pengamatan yang kritis harus
diberikan kepada aturan-aturan normatif tersebut. Hukum negara yang
tampaknya bersifat emansipatif itu ternyata hanya sebatas tataran normatif.
Dalam kenyataan sehari-hari selalu saja dapat dijumpai perempuan-perempuan
yang mengalami diskriminasi dalam hal waris, dan tidak mempunyai akses
kepada pengadilan negara.

4
Selain itu sistem hukum negara yang berkaitan dengan masalah perempuan
nampak bersifat ambigu dan kontradiktif. Di satu sisi terdapat berbagai
ketentuan hukum yang bersifat emansipatif, namun di pihak lain juga terdapat
berbagai ketentuan hukum yang berdampak terhadap terjadinya subordinasi
terhadap perempuan.

BUKU II

STRUKTUR SILSILAH: SISTEM KEKERABATAN

A. Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilinear-menurut garis
keturunan ayah. Memang benar, seorang Batak menyebut anggota marga-nya
dengan sebutan dongan-sabutuha-(mereka yang berasal dari rahim yang sama),
tetapi sekarang ini, dari dari sejarah yang dikenal atau dari legenda, kita tidak
mengenal keturunan dari garis matrilinear-(menurut garis krturunan ibu). Garis
keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi punah kalau tidak
aa lagi anak laki-laki yang dilahirkannya.
Sistem kekerabatan patrilinear itulah yang menjadi tulang punggung
masyarakat Batak, yang terdiri dari turunan-turunan, marga, dan kelompok-
kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki
itulah yang membentuk kelompok kekerabatan: perempuan menciptakan
hubungan besan (affinal relationship) karena ia harus kawin dengan laki-laki dari
kelompok patrilinear yang lain.

Sifat dan Cakupan Pengetahuan Orang Batak Tentang Asal Usul


Keturunannya

Pengetahuan orang Batak tentang asal-usulnya merambah jauh sampai ke


masa lampau. Ini berlaku baik bagi orang per orang maupun kelompok. Setiap
orang, yang moyangnya tidak tercerabut dari kelompok kerabatnya (misalnya
karena diculik, diambil sebagai budak karena hutang yang tak dapat dibayarnya,
atau karena lari setelah melakukan pelanggaran), selama kemelut zaman pidari
yang mendahului kedatangan Gubernemen Belanda, dan mengetahui sesuatu
tentang fakta-fakta, ia dapat menuturkan enam, delapan, bahkan sepuluh turunan

5
atau lebih tentang garis keturunan nenek moyangnya. Di dalam kelompok
kekerabatan yang lebih kecil (sasuhu = termasuk ke dalam satu kelompok,
saompu = berasal dari satu leluhur), setiap orang tahu persis bagaimana
hubungannya dengan para anggota. Hubungan yang terjalin di antara marga-
marga pada umumnya diketahui dengan baik oleh semua orang, kecuali
menyangkut hal-hal lain yang sifatnya khusus. Tak seorang pun yang tidak tahu
dimana kedudukan dirinya di dalam marga atau cabang-marga. Setiap anak tahu
persis masuk dalam marga apa, dari marga mana ibunya berasal, dan bahwa
saudara perempuannya akan pergi ke marga lain bila saat perkawinannya tiba.

Marga seorang laki-laki mungkin bermula sejak 15 atau mungkin 20


turunan yang lalu: ini berarti telah berlagsung paling tidak empat abad yang silam.
Titik temu marga seseorang dengan marga orang lain dalam suatu kelompok suku
berada pada beberapa turunan yang lebih awal, dan begitulah seterusnya
hubungan ini berlanjut semakin ke belakang, sampai ke zaman paling tua yang
masih dikenal, dan akhirnya sampai pada legenda.

Namun, pengetahuan menguasai hubungan silsilah antara marga yang satu


dengan yang lain tidak sama di masing-masing tempat, begitu juga dalam hal
pelestariannya. Jika orang-orang hidup memusat di suatu daerah dan selalu hidup
bersama disana sehingga masih terus saling berhubungan yang oleh karenanya
mereka bisa terus saling berkomunikasi, maka biasanya kita akan menemukan
suatu pengetahuan yang terpercaya mengenai tali-temali silsilah, cabang dan
ranting silsilah, sampai pada nenek moyang yang menduduki wilayah itu.
Hubungan yang terjalin antara marga dan garis keturunan diketahui oleh semua
orang, dan meskipun terdapat banyak perbedaan pengetahuan tentang hal itu di
antara masing-masing orang, namun perbedaan yang ada hanya menyangkut hal-
hal kecil, misalnya menyangkut siapa yang lahir lebih dahulu.

Di lingkungan belahan Sumba, secara umum dapat dikatakan bahwa kita


akan menjumpai lebih sedikit perbedaan pendapat, begitu pula penyimpangan
yang terjadi dalam hal fakta garis keturunan jika dibandingkan dengan belahan
Lontung. Belahan ini menduduki daerah yang lebih luas dan lebih banyak
pemencarannya. Di dalam himpunan Tuan Sorbadibanua yang besar itu,

6
penggolongan suku tidak hanya jelas dan kukuh, tetapi detil historisnya juga dapat
kita ketahui. Namun dari semua kelompok yang masuk ke dalamnya,
Silalahisabungan-lah yang paling lemah posisinya jika sampai pasa persoalan
membanggakan fakta kekerabatan di antara cabang dan rantingnya.

Berbeda dengan para saudaranya, cabang atau ranting kelompok


Silalahisabungan ini tidak terkumpul di dalam satu daerah tunggal nenek moyang,
tetapi terpencar ke seluruh Tapanuli Utara. Di zaman dahulu, jika ada kelompok
kecil melepaskan diri dari satu marga, dan pergi jauh untuk memulai hidup baru
dan membentuk garis keturunan baru pengetahuan tentang hubungan
kekeluargaan mereka dengan yang tertinggal di daerah nenek moyang akan
menjadi kabur, dan akhirnya hilang dalam keterasingan selama berabad-abad di
tengah kehidupan berbahaya dan tidak menentu. Dari situlah terbuka kesempatan
untuk lahirnya legenda.

Contoh paling menarik dari pertumbuhan legenda demikian itu dapat


ditemukan di Padang Lawas. Seabad atau dua abad setelah agama Hindu
meninggalkannya, wilayah bagian selatan itu diduduki oleh Hasibuan, sedangkan
wilayah utara diduduki oleh Harahap dan Siregar. Di sana agama Hindu
membangun candi-candi dan sisa-sisanya hingga kini masih dapat ditemukan
disana- sini.

Alur Pokok dari Struktur Silsilah: Penyebaran Umum

Menurut orang Batak, mereka semua berasal dari Si Radja Batak. Menurut
legenda ia merupakan keturunan dewata. Ibu anak itu Si Borudeakparudjar ,
diperintahkan Dewata Tinggi (Debata Muladjadi Nabolon), untuk menciptakan
bumi. Setelah melakukannya ia pergi ke Siandjurmulamula untuk bermukim.
Kampung inilah yang kemudian menjadi tempat tinggal si Radja Batak, terletak di
lerang Gunung Pusuk Buhit. Orang Batak Toba memandangnya sebagai tempat
dimana seluruh bangsa Batak berasal, termasuk Batak Karo.

Cerita yang paling tua berkisah tentang roh hutan, raksasa mata satu,
perjumpaan dengan para puteri Dewata dan pelbagai makhluk adikodrati tentang
kejadian-kejadian kodrati, tentang kejadian-kejadian ajaib, dan juga tentang

7
peristowa dan episode yang bisa terjadi di zaman sekarang ini. Banyak di antara
cerita itu yang mengandung inti kebenaran sejarah, sedang yang lainnya hanyalah
versi lokal dari cerita-cerita Indonesia. Semakin baru cerita itu, semakin besar
pula kebenaran yang dikandungnya.

Di dalam banyak cerita, tidak sedikit peristiwa yang disebabkan oleh atau
berasal dari, individu-individu yang mestinya melewati suatu zaman panjang,
terutama jika cerita itu menyangkut sebuah sejarah purba. Penelusuran kembali
alur marga ‘induk’ dan kelompok-kelompok suku pada satu pribadi pada
umumnya didasarkan pada kecenderungan yang bersahaja, yaitu memberikan
dasar yang konkret bagi apa yang dikisahkan.

Begitulah ceritanya Si Raja Batak mempunyai dua anak lelaki, Guru


Tateabulan dan Raja Isumbaon, yang menjadi leluhur dari kedua belahan atau
cabang yang mencakup seluruh orang Batak. Jadi, suku Batak terbagi dalam
LONTUNG dan SUMBA.

8
BAB III

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

Kelebihan dan Kekurangan Buku I

1. Kelebihan :
 Buku ini merangkum segala informasi tentang pandangan terhadap
perempuan Batak Toba dengan jelas dan ringkas.
 Penyusunan materi dibuat dengan rapi sesuai dengan alur, yaitu
dengan memberikan pengertian, dan contoh kasus yang pernah
dialami perempuan Batak Toba mengenai hak waris.
 Buku ini menyimpulkan isi bab dengan baik. Dalam bab kedua
dituliskan telah ada statemen pemberian harta waris untuk Perempuan
Batak Toba berupa uang, perhiasan atau pendidikan. Namun
disimpulkan lagi bahwa upaya pemberian tersebut tetap tidak dapat
disebut sebagai hak waris.

2. Kekurangan : Dalam buku ini terdapat banyak tanda baca yang tidak
sesuai sehingga membingungkan pembaca

Kelebihan dan Kekurangan Buku II

1) Kelebihan :
 Secara keseluruhan, tata bahasa dalam buku ini mampu dimengerti
oleh pembaca.
 Pemberian tanda baca pada buku kedua ini tidak membingungkan
pembaca.
2) Kekurangan :
 Buku ini menyampaikan penjelasan mengenai “sistem
kekerabatan” dengan susunan yang kurang terkontrol sehingga
pembaca harus membolak-balik halaman
 Buku ini tidak menyimpulkan isi bab dengan baik.

9
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Critical Book Review ini membandingkan dua jenis buku yang membahas segala
hal yang terkait dengan Kebudayaan masyarakat Batak Toba, khususnya mengenai
perempuan dan sistem kekerabatannya. Kedua buku memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang sudah dijelaskan pada bab III. Dalam penyajian
pengertian dan hukum adat telah dikemas dengan baik. Kedua buku sangat
direkomendasikan untuk dibaca dan menjadi acuan dalam mengenal hukum adat
dan kebudayaan masyarakat Batak Toba.

B.Saran

Dalam mengkritik buku, para pembaca harus menganalisis terlebih dahulu isi dari
buku baru kemudian mengetahui kelebihan dan kekurangan buku.

10
DAFTAR PUSTAKA

Irianto, Sulistyowati.2003 Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum.


Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

VARGOUWEN, J.C.2004 Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta:


LKiS Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai