Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL

DETERMINAN SISTEM MANAJEMEN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS KODEOHA TAHUN 2022

DETERMINANTS OF THE EPIDEMIOLOGICAL SURVEILANCE

MANAGEMENT SYSTEM FOR ARI DISEASE AT THE KODEOHA PUBLIC

HEALTH CENTER IN 2022

Awwalia Tunnisa

1934142014

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Kajian Pustaka 7
B. Kerangka Pikir 17
C. Hipotesis 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 19
A. Jenis Penelitian 19
B. Waktu dan Tempat Penelitian 19
C. Desain Penelitian 19
D. Populasi dan Sampel 20
E. Definisi Operasional Variabel 20
F. Instrumen Penelitian 21
G. Teknik Pengumpulan Data 22
H. Teknik Analisis Data 23
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis

dan berkesinambungan terhadap penyakit dan kondisi yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran penyakit atau gangguan kesehatan. Ketepatan

dan kelengkapan penyampaian laporan surveilans epidemiologi merupakan

faktor penting terkait dengan keakuratan data.

Surveilans epidemiologi dilaksanakan dengan dua cara yaitu aktif dan

pasif. Surveilans pasif berupa pengumpulan keterangan tentang kejadian

penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus

dilaporkan yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara

surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans yang telah

ditugaskan yang berasal dari Institusi kesehatan (Puskesmas atau Dinas

Kesehatan) untuk pengumpulan data kunjungan berkala ke lapangan, desa-

desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas,

klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit

atau kematian.

Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa pihak yang diajak

bekerja sama untuk program P2 ISPA di Puskesmas Kodeoha adalah kader

kesehatan. Peran kader dibutuhkan untuk membantu petugas Puskesmas yang


tidak bisa selalu langsung terjun di masyarakat. Selain kader, seharusnya

Puskesmas juga melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat (TOMA) dan

tokoh agama (TOGA).

program P2 ISPA dapat berjalan secara komprehensif. Kerjasama

dengan TOGA dan TOMA bertujuan untuk mensosialisasikan ciri-ciri

penyakit pneumonia dan cara pencegahannya. Dengan adanya mitos-mitos di

masyarakat maka masyarakat akan cenderung menganggap remeh gejala-

gejala penyakit yang ditunjukkan anak dan tidak membawanya ke pelayanan

kesehatan. Di sinilah peran TOGA dan TOMA akan dibutuhkan untuk

memberikan pengertian kepada masyarakat,

Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang

kesehatan dinyatakan dalam, "setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh derajat kesehatan yang optimal". Misi tersebut di atur sebagai

pedoman bahwa masyarakat di Indonesia berhak mendapatkan kesempatan

untuk kesehatan seluas-luasnya yang tanpa membedakan status sosial. Dalam

hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keadaan sehat banyak hal yang

perlu dilakukan, yaitu mempunyai peran yang cukup penting untuk

menyelennggarakan pelayanan kesehatan.disebut penemuan kasus (case

finding), dan konfirmasi laporan kasus indek. Kelebihan surveilans aktif yaitu

lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang

memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab.


Surveilans merupakan salah satu strategi yang memiliki peranan

penting dalam memantau penyakit ISPA. Surveilans atau sistem pencatatan

dan pelaporan pemantauan penyakit memiliki peranan penting dalam upaya

penurunan kasus penyakit ISPA karena penyebaran penyakit terus

berkembang, Manajemen Kesehatan pencatatan dan pelaporan guna keperluan

perencanaan, pencegahan dan pembarantasan penyakit ISPA harus didukung

oleh sistem yang handal, yakni suatu sistem yang dapat menyediakan data dan

informasi yang akurat, valid dan up to date. (Agung Sutriyawan, 2021)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang

meninggal setiap tahun. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak

dan orang lanjut usia, terutama di negara dengan pendapatan perkapita rendah

dan menengah. ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat jalan dan

rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan

anak (WHO, 2019).

Dalam masyarakat agar lebih aktif dalam segala hal kegiatan demi

memenuhi segala kebutuhannya untuk menunjang produktivitas, yang

tentunya harus di dukung dengan fisik dan fikiran sehat. Dengan terciptanya

keadaan sehat merupakan keinginan dalam semua pihak kesehatan yang

dibutuhkan untuk mewujudkan kondisi ideal manusia dalam menjalani

aktifitasnya agar mendapatkan hidup yang sehat dan lebih produktif. (lestari,

2022).
Dalam kegiatan pengendalian ISPA, pelatihan bagi petugas kesehatan

merupakan bagian terpenting dari program P2 ISPA dalam meningkatkan

kemampuan SDM khususnya dalam penatalaksanaan kasus dan manajemen

program (Ditjen P2PL, 2011).

Perilaku hidup bersih dan sehat penduduk merupakan salah satu upaya

mencegah terjadinya ISPA dengan memperhatikan rumah dan lingkungannya

yang sehat. Beberapa perilaku penduduk yang dapat menimbulkan terjadinya

ISPA antara lain meludah sembarangan, membakar sampah, kebiasaan

merokok, kebiasaan membuka jendela, kebiasaan tidur. Faktor risiko

penyebab ISPA dapat diketahui melalui kegiatan surveilans. Data yang

diperoleh dari kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang

kejadian penyakit ISPA dan digunakan untuk rencana tindak lanjut dalam

menekan kejadian kesakitan, penyebaran dan penularan ISPA.

Faktor risiko yang dominan menyebabkan kejadian ISPA pada balita di

Argodadi dan Argorejo yaitu adanya anggota keluarga yang merokok (58,3%),

tidak membuka jendela (62,5%), ibu memasak di dapur sambil mengasuh

anak (54,2%), membuang ludah sembarangan (100%), memasak

menggunakan bahan bakar kayu (62,5%), sedangkan kebiasaan membuka

jendela pada pagi hari dan menutup mulut waktu batuk begitu mempengaruhi.

(Anna Tri Hardati, 2014)

Hasil analisis pasial penyakit ISPA di Provinsi Sulawesi Tenggara ditemukan bahwa
penderita penyakit ISPA lebih tinggi pada kelompok perempuan dari pada laki-laki.
Puncak Kejadian terjadi pada bulan Juli (216). Sebaran Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) di kabupaten Konawe, terdapat delapan kabupaten dalam kategori
tinggi, terdiri dari: Abuki(,Uepai, Lambuya, Meluhu, Wawotobi, Konawe,
Amonggedo, dan Soropia. (Ramadhan Tosepu, 2019)
Berdasarkan hasil survey nasional kesehatan diperoleh Prevalensi ARI

Di Indonesia sebesar 4.2 % (Indonesia, 2019). Prevalensi of ARI in Southeast

Sulawesi province in Tahun 2013 di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat

(6,67%) penderita ISPA . Dan pada tahun 2014 di Provinsi Sulawesi

Tenggara, terdapat (4,49%) penderita ISPA dan pada tahun 2016 terdapat

(2,22%) penderita ISPA (Tenggara, 2017).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Kendari (2018) jumlah

penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebanyak (47,34%) orang

pada tahun 2016, pada tahun 2017 terdapat (53,15%), pada tahun 2018

sebanyak (70,57%), sedangkan pada tahun 2019 Bulan Januari sampai dengan

Bulan Juli penderita ISPA sebanyak (66,18%).

Kota Kendari merupakan daerah yang memiliki kasus Penyakit ISPA

yang cukup tinggi. Jumlah kasus Penyakit ISPA cenderung mengalami

kenaikan dan penurunan setiap tahun (fluktuatif). Kasus ISPA mengalami

kenaikan pada tahun 2010 hingga 2015 sebanyak 112.882 kasus. Kemudian

pada tahun 2016 sebanyak 23.839 kasus, kemudian mengalami penurunan

sebanyak 18.257 kasus pada tahun 2017 kemudian mengalami kenaikan

sebanyak 20.370 kasus pada tahun 2018 kembali mengalami penurunan.

Tahun 2019 yaitu 12.563 kasus ISPA di Kota kendari menjadi 403.181

penderita ISPA dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun tahun terakhir. Ada
beberapa kemungkinan yang menyebabkan kenaikan dan penurunan kasus

ISPA terjadi, salah satunya kondisi lingkungan fisik rumah, sanitasi

lingkungan dan hubungan antarapolusi udara. (Lila Ramadanti, 2020)

Puskesmas kodeoha merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Judul penelitian ini yakni

Determinan Sistem Manajemen Surveilans Epidemologi Penyakit ISPA di

Puskesmas Kodeoha. Penelitian menunjukkan pencatatan dan pelaporan

surveilans epidemiologis potensi wabah penyakit dilakukan setiap hari, setiap

minggu dan setiap bulan dilaporkan oleh Petugas Surveilans bidan desa

Puskesmas dilaporkan ke DKK Kodeoha kemudian selanjutnya dilaporkan ke

Dinas Kesehatan Provinsi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat disusun rumusan

masalah yaitu Bagaimana determinan manajemen Pelayanan surveilans

epidemologi penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kodeoha

Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka utara

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui sistem manajemen Pelayanan surveilans

epidemologi tentang penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas

Kodeoha Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka Utara

b. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui tingkat pelayanan surveilans epidemologi penyakit

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kodeoha Kecamatan Kodeoha

Kabupaten Kolaka Utara.

-Untuk mengetahui Pengetahuan tentang pelayanan surveilans epidemologi

penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kodeoha, Kecamatan Kodeoha,

Kabupaten Kolaka Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi puskesmas kabupaten kolaka utara

Sebagai bahan pertimbangan dalam kebijakan tentang pengambilan

keputusan peningkatan mutu manajemen di puskesmas kodeoha

kabupaten kolaka utara.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijdikan sumber pembelajaran dan bahan referensi untuk

pembelajaran ilmu manajemen informasi kesehatan.

3. Bagi Mahasiswa

Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu atau pengetahuan yang telah di

dapat, sehingga dapat menambah wawasan dan pemikiran serta

pengalaman penulis tentang Surveilans Epidemiologi Penyakit ISPA

di Puskesmas Kodeoha Kabupaten Kolaka Utara.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka


A. Tinjauan Umum Sueveilans

1. Pengertian surveilans epidemologi

Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan

terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi

yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau

masalah-masalah kesehatan, agar dapat melakukan penanggulangan secara

efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan

penyebaran informasi epidemologi kepada penyelenggara program kesehatan.

Surveilans merupkan hal yang fundamental pada bidang kesehatan

masyarakat. Surveilans digunakan untuk memantau perubahan frekuensi

penyakit serta level faktor resiko dengan kata lain kegiatan surveilans

dilakukan untuk menginformasikan tindakan pencegahan dan pengendalian

penyakit. Oleh sebab itu surveilans dianggap sebagai salah satu alat terbaik

untuk mencegah epidemi.

Istilah surveilans atau surveillance berasal dari bahasa Prancis yakni

sur dan vieller yang di definisikan sebagai pengamatan dari dekat dan terus

menerus pada satu orang atau lebih untuk pengarahan, pengawasan,

pengontrolan, atau pengendalian. Perkembangan definisi surveilans serta


istilah penamaannya terjadi sejak tahun 1662 sampai dengan tahun 2021.

(novi wulan sari.s.st., 2021)

Surveilans kesehatan masyarakat bertujuan untuk menyediakan dan

menafsirkan data untuk memfasilitasi pencegahan dan pengendalian penyakit.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka surveilans penyakit atau masalah

kesehatan lainnya harus memiliki tujuan yang jelas. Tujuan ni harus

mencakup deskripsi yang jelas tentang bagaimana data yang di kumpulkan,

dikonsolidasikan, dan dianalisis untuk surveilans akan digunakan untuk

mencegah dan mengendalikan penyakit. (Dr.dr.jeini ester nelwan, 2020)

Melaksanakan surveilans epidemologi di setiap wilayah puskesmas

tidak berfungsi dengan baik ada aturan nyata. Informasi dari data

epidemiologi ideal dan dikumpulkan untuk di proses sebagai bahan dasar

pertimbangan perencanaan kebijakan regimen perawatan kesehatan yang

efektif belum di tetapkan. Meskipun secara teoritis pemantauan memiliki

memiliki mekanisme standar yang dapat bekerja. Deteksi dini sebagai

pencegahan ledakan dan wabah, tapi kenyataannya pemantauan saat ini

sedang dilaksanakan oleh petugas kesehatan langsung yang mengarah pada

pengumpukan data. membuat fungsi dan mafaat menjadi lemah bahkan tidak

masuk akal dalam pencegahan pengendalian penyakit hanya sebatas

pengetahuan tentang jumlah kasus yang terjadi setiap tahun tanpa ada

kebijakan.
Observasi di puskesmas setiap informan memiliki pemahaman yang

sama bahwa petugas kesehatan puskesmas meyakini bahwa melaksanakan

surveilans epidemologi berfungsi dengan baik sesuai dengan format. Namun,

jumlah kejadian kasus penyakit selalu meningkat setiap tahunnya. Ini karena

sumber daya yang tidak mencukupi sumber daya manusia yang tersedia,

kurangnya pelatihan yang dapat mendukung keterampilan petugas kesehatan

dengan pemerataan pemanfaatan teknologi layanan internet di setiap

puskesmas

Kegiatan surveilans epidemologi mempunyai peran yang sangat

penting dalam pemberantasan penyakit di puskesmas dan masih tingginya

kasus penyakit menular dan tidak menular sehingga kegiatan surveilans harus

dilakukan secara sistematis dan terus menerus agar dapat diketahui

peningkatan penurunan kasus setiap bulan atau setiap tahunnya. Serta

populasi penyakit yang dilakukan secara terus menerus yang

berkesinambungan untuk mnejelaskan pola penyakit, riwayat penyakit dan

memberikan dasar pengendalian dan penanggulangan penyakit tersebut.

2. Jenis-jenis surveilans

Peraturan menteri kesehatan RI.No 45 tahun 2014 tentang

penyelenggaraan suveilans kesehatan menjelaskan bahwa berdasarkan sasaran

penyelenggaraan surveilans kesehatan terdiri dari:

a. surveilans penyakit menular

b. surveilans penyakit tidak menular


c. surveilans kesehatan lingkungan

d. surveilans kesehatan matra

e. surveilans masalah kesehatan lainnya.

Beberapa jenis surveilans epidemiologi yang saat ini banyak

digunakan diantarnya sebagai berikut:

1. surveilans individu

pada tahun 1963 istilah surveilans digunakan pertama kali dalam

bidang kesehatan masyarakat untuk menggambarkan pemantauan yang ketat

terhadap orang-orang yang terpapar penyakit yang menular yang beresiko

menyebar secara luas dan mematikan. Orang-orang tersebut di pantau jika

apabila menunjukkan gejala penyakit dapat segera dilakukan intervensi

dengan karantina untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.

2. Surveilans penyakit

Surveilans penyakit adalah kegiatan monitoring kejadian penyakit

populasi. Monitoring ini termasuk kegiatan pelacakan penyakit secara rutin

dari waktu ke waktu. Monitoring ini bertujuan untuk mendeteksi apabila

terjadi KLB dan memantau besarnya beban penyakit di populasi.

3. surveilans individu

pada tahun 1963 istilah surveilans digunakan pertama kali dalam

bidang kesehatan masyarakat untuk menggambarkan pemantauan yang ketat

terhadap orang-orang yang terpapar penyakit yang menular yang beresiko

menyebar secara luas dan mematikan. Orang-orang tersebut di pantau jika


apabila menunjukkan gejala penyakit dapat segera dilakukan intervensi

dengan karantina untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.

4. Surveilans penyakit

Surveilans penyakit adalah kegiatan monitoring kejadian penyakit

populasi. Monitoring ini termasuk kegiatan pelacakan penyakit secara rutin

dari waktu ke waktu. Monitoring ini bertujuan untuk mendeteksi apabila

terjadi KLB dan memantau besarnya beban penyakit di populasi.

5. Surveilans sindromik

Suveilans sindromik adalah bentuk surveilans yang menghasilkan

informasi untuk tindakan kesehatan masyarakat dengan cara mengumpulkan,

data yang dimaksud adalah data gejala dan data klinis. menganalisis dan

menginterpretasikan data rutin terkait kesehatan.

6. Surveilans berbasis laboratorium

Pemantauan dan analisis dilakukan secara terus menerus dan sitematis

baik pada penyakit menular dan penyakit tidak menular, ataupun factor-faktor

risiko dengan berbasis kepada data-data yang didapatkan melalui pemeriksaan

di laboratorium. Pemeriksaan laboratorium ini sebagai upaya untuk

mendeteksi dan memonitor penyakit.

3. Komponen kegiatan surveilans

1. Pengumpulan atau pencatatan kejadian yang dapat di percaya

2. Pengolahan data untuk dapat memberikan keterangan yang berarti

3. Analisis dan inter pretasi data untuk keperluan kegiatan


4. Penyebarluasan data termasuk umpan balik

5. Evaluasi atau penelitian hasil kegiatan Pengumpulan atau

pencatatan kejadian yang dapat di percaya

6. Pengolahan data untuk dapat memberikan keterangan yang berarti

7. Analisis dan inter pretasi data untuk keperluan kegiatan

8. Penyebarluasan data termasuk umpan balik

9. Evaluasi atau penelitian hasil kegiatan

Sumber data sistem surveilans yang dirancang oleh WHO terdiri dari 10

elemen utama yang meliputi :

1. Pencatatan kematian

2. Laporan penyakit, data yang diperlukan yaitu nama, penderita,

umur, kelamin, alamat, diagnosis serta tanggal mula sakit jiika

diketahui Pencatatan kematian

3. Laporan penyakit, data yang diperlukan yaitu nama, penderita,

umur, kelamin, alamat, diagnosis serta tanggal mula sakit jiika

diketahui

4. Laporan kejadian luar biasa atau wabah

5. Hasil pemeriksaan laboratorium

6. Penyelidikan peristiwa penyakit

7. Penyelidikan kejadian luar bisa(KLB)

8. Survey

9. Penyelidikan tentang distribusi vector


10. Data penggunaan obat atau vaksin

11. Data penduduk atau kondisi lingkungan.

Metode epidemiologi adalah cara pencarian faktor penyebab serta

akibat terjadinya peristiwa tertentu pada kelompok penduduk tertentu secara

ilmiah. Epidemiologi merupakan suatu cabang ilmu kesehatan yang

digunakan untuk menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah

kesehatan dalam suatu penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya

masalah dan gangguan kesehatan untuk pencegahan dan penanggulangan.

Metode ini tidak terbatas pada bidang kesehatan, tetapi juga pada bidang

lainnya. Bentuk kegiatan epidemiologi dasar adalah bentuk epidemiologi

deskriptif, yaitu bentuk kegiatan epidemiologi yang memberikan gambaran

atau keterangan tentang keadaan serta sifat penyebaran status kesehatan dan

gangguan kesehatan maupun penyakit pada suatu kelompok penduduk

tertentu (menurut sifat karakteristik orang, waktu dan tempat). Bentuk

kegiatan dari epidemiologi deskriptif adalah menilai derajat kesehatan dan

besar kecilnya masalah kesehatan yang ada dalam suatu masyarakat. (Ridho

Muktiadi1, 2019)

4. Tujuan dan manfaat pelaksanaan surveilans epidemologi

Dalam memantau distribusi dan perubahan frekuensi insiden penyakit dan

faktor resiko dampaknya pada surveilans epidemiologi adalah dasar-dasar

ilmu kesehatan masyarakat. Informasi morbiditas dan mortalitas akibat


penyakit, sistematis. Surveilans epidemologi yang sering terjadi terhadap

penyakit menular, tetapi penggunaannya saat ini juga penting untuk memantau

perubahan status penyakit PTM, keracunan makanan, cedera yang tidak

disengaja dan penyakit yang disebabkan oleh bencana alam seperti : banjir,

tanah longsor, gempa bumi, dll. Selain itu pemantauan untuk memantau

kelengkapan cakupan vaksinasi. Adapun tujuan dari kegiatan surveilans

epidemologi adalah sebagai berikut :

1. Memonitoring kesehatan populasi, kecenderungan tren penyakit,

dan factor resiko yang mempengaruhi

2. Memperkirakan besar beban penyakit pada suatu populasi

3. Mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa

(KLB) atau wabah beserta dampaknya

4. Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB wabah

untuk meminimalisir jumlah kesakitan atau kematian

5. Meramalkan peristiwa yang akan datang

6. Memonitor dan mengevaluasi efektivitas program kesehatan untuk

pencegahan dan pengendalian penyakit.

5. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemilogi Kesehatan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/

Menkes/SK/VIII/2003 Tentang.
a. Surveilans epidemiologi kesehatan meliputi surveilans epidemiologi

penyakit menular, kesehatan lingkungan dan perilaku, masalah

kesehatan, dan kesehatan matra.

b. Tujuan surveilans epidemiologi adalah tersedianya data dan informasi

epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan.

c. Mekanisme kerja surveilans epidemiologi kesehatan meliputi

identifikasi kasus, perekaman, pelaporan dan pengolahan data, analisis

dan interpretasi data, syudi epide,iologi, penyebaran informasi,

membuat rekomendasi dan alternative tindakmlanjut, umpan balik.

6. Pengertian Epidemiologi

Dalam buku Foundations of Epidemiology (1994) karya David E

Lilienfeld, definisi epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat,

penyebab, pengendalian, dan faktor yang memengaruhi frekuensi dan

distribusi penyakit, kecacatan dan kematian dalam poppulasi manusia.

1.Tujuan epidemiologi

Terdapat tiga tujuan umum studi epidemiologi, yaitu: Menjelaskan

etiologi Etiologi adalaj studi tentang penyebab penyakit. Dengan epidemiologi

bisa menjelaskan etiologi satu penyakit atau sekelompok penyakit. Bagaimana

kondisi, gangguan, efek, ketidakmampuan, atau kematian melalui analisis

terhadap data medis dan epidemiologi dengan menggunakan manajemen

informasi yang berasal dari setiap bidang.


Menentukan data Apakah data epidemiologi yang ada, konsisten dengan

hipotesis yang diajukan dan dengan ilmu pengetahuan, ilmu perilaku, dan

ilmu biomedis yang terbaru. Menentukan pengendalian

Untuk memberikan dasar bagi pengembangan langkah pengendalian

dan prosedur pencegahan bagi kelompok yang beresiko

Manfaat epidemiologi Bidang kesehatan mayarakat membuktikan bahwa

epidemiologi sangat membantu dalam melindungi kesehatan populasi maupun

kelompok masyarakat. 2.Berikut manfaat epidemiologi:

a. Mempelajari riwayat penyakit. Epidemiologi mepelajari tren

penyakit untuk memprediksi tren penyakit yang mungkin akan

terjadi.

b. Hasil penelitiannya dapat digunakan dalam perencanaan pelayanan

kesehatan masyarakat.

c. Diagnosis penyakit, gangguan, cedera dan lainnya, yang

menyebabkan kesakitan, masalah kesehatan, atau kematian dalam

suatu wilayah.

d. Epidemiologi dibutuhkan untuk mengkaji risiko yang ada pada

setiap individu karena mereka dapat memengaruhi kelompok

maupun populasi.

e. Pengkajian, evaluasi, dan penelitian ketersediaan layanan

kesehatan.
f. Menentukan penyebab dan sumber penyakit dari temuan

epidemiologi, sehingga bisa dilakukan pengendalian, pencegahan,

dan pemusnahan.

B. Tinjauan Umum Penyakit ISPA

7. Pengertian Penyakit ISPA

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di

ngara berkembang 0,29 episode per anak/tahun dan di negara maju 0.05

episode per anak/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode

baru di dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di negara

berkembang. (Nova Firnanda, 2017)

ISPA adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya kuman atau

mikroorganisme kedalam saluran pernapasan atas atau bawah, dapat menular

dan dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari

penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan

mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan

faktor pejamu (Yuditya dan Mulyono, 2019).

Menurut (WHO, 2016), di negara berkembang kejadian ISPA cukup

tinggi, di New York jumlah penderita ISPA sebesar 48.325 balita dan

memperkirakan di negara berkembang sebesar 30-70 kali lebih tinggi

dibandingkan negara maju dan diduga 20% dari bayi yang lahir di Negara

berkembang gagal usia lima tahun dan 26-30% dari kematian balita disebabkan

oleh ISPA.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah sebagai penyakit saluran

pernafasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari

manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam

atau beberapa hari. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit

infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari aluran

pernafasan mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (sauran bawah)

termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga, telinga tengah dan pleura.

ISPA suatu penyakit saluran pernafasan akut yang berlangsung selama 14 hari

yang dapat ditularkan melalui air liur, darah, bersin, maupun udara yang

terhirup

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan radang akut saluran

pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau

bakteri ,virus ,maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru.

Terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dipengaruhi oleh tiga hal

yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia),

keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan

(rumah yang kurang ventilasi , lembab, basah, dan kepadatan penghuni.

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyakit saluran pernafasan

pada bagian atas maupun bawah, dimulai dari hidung sampai ke alveoli, dapat

menular, dan juga bisa menyebabkan spektrum penyakit dimulai dari tidak ada

gejala maupun infeksi yang ringan hingga infeksi berat yang menimbulkan

penyakit parah maupun kematian, bergantung pada patogen penyebab, faktor


lingkungan, dan juga faktor pendukung lainnya. 1,2 Infeksi saluran pernapasan

yang akut merupakan satu diantara penyakit yang tinggi terjadi di Indonesia.

(Muhammad Yunus1, 2020)

Risiko infeksi saluran pernapasan akut tergolong tinggi terutama oleh

pekerja di bidang industri yang terdapat risiko dan bahaya yang bersumber dari

manusia, alat kerja, mesin dan material-material lainnya.4 Data International

Labour Organization (ILO) (2013) menjelaskan satu diantara penyebab

kematian yang ada hubungannya dengan pekerjaan di antaranya seperti kanker

dengan kasus 34%, kecelakaan 25%, peyakit pada saluran pernapasan 21%,

penyakit kardiovaskular 15%, dan beberapa faktor lainnya 5%.5 Pekerja yang

terpapar oleh debu mempunyai risiko terkait masalah kesehatan maupun

penyakit infeksi, dan non infeksi. (Muhammad Yunus1, 2020)

Mayoritas ISPA menyerang balita usia 1-2 tahun. Infeksi saluran

pernafasan akaut (ISPA) didefefnisikan sebagai penyakit saluran pernapasan

akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia.

Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam atau

beberapa hari. ISPA adalah penyakit saluran pernafasan akut yang berlangsung

selama 14 hari yang dapat ditularkan melalui air liur, darah, bersin, maupun

udara yang terhirup (DepKes RI, 2018).

Pemberian imunisasi dapat mencegah berbagai jenis penyakit infeksi

termasuk ISPA.Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,

diupayakan imunisasi lengkap terutama DPT dan Campak. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat. (Budiman, 2018)

ISPA menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit

infeksi di seluruh dunia (WHO, 2014). Angka kejadian sebesar 18,8 milar kasus

dengan jumlah kematian sebesar 4 juta orang/tahun (WHO, 2015). Penyakit ini

terjadi diseluruh wilayah mulai dari negara miskin, negara berkembang, sampai

dengan negara maju seperti; di wilayah Afrika, China dan Australia dimana

penyebab kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan karena terserang

penyakit ISPA (Jary, et. all, 2015).

Karakteristik kejadian ISPA tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun

yaitu 25,8% (Riskesdas, 2013). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah

penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih saluran nafas

hidung alveoli termasuk adneksanya/sinus rongga telinga tengah pleura

Berbagai upaya telah dilakukan untuk penanggulangan ISPA. Program

pembangunan kesehatan yang ditujuan untuk meningkatkan kualitas hidup

manusia, sehingga setiap individu menjadi produktif, berdaya saing dan

bermanfaat bagi pembangunan nasional.

Faktor risiko terjadinya ISPA antara lain; kurangnya pemberian ASI

eklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan, BBLR, kepadatan penduduk serta

tidak lengkapnya imunisasi dasar salah satunya imunisasi campak.

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan

keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit


mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh

dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam

kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit,

meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang

ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong

dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan. Tanda-tanda bahaya

dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris :

Beberapa tanda klinis ISPA sebagai antara lain :

 Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi

dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,

grunting expiratoir dan wheezing.

 Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi

dan cardiac arrest.

 Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala,

bingung, papil bendung, kejang dan coma.

 Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

8. Klasifikasi ISPA
a. Klasifikasi ISPA berdasarkan anatomis Secara anatomis ISPA dibagi

menjadi 2 bagian yaitu

1) ISPA Atas (Acute Upper Respiratory Infections)


Ispa atas yang perlu diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan

atau pharingitis dan radang telinga tengah atau otitis. Pharingitisyang

disebabkan kuman tertentu (Streptococcus Hemolyticus) dapat berkomplikasi

dengan penyakit jantung (endokarditis).Sedangkan radang telinga tengah yang

tidak diobati berakibat terjadinya ketulian. ISPA berdasarkan golongan umur

kurang 2 bulan yaitu:

a) Pneumonnia Berat Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di

dinding pada bagian bawah atau napas cepat.

b) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian

bawah atau napas cepat.”Tanda Bahaya” untuk golongan umur kurang

2 bulan, yaitu: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun

sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminum), kejang,

kesadaran menurun, stridor, wheezing, 2) ISPA Bawah (Acute Lower

Respiratory Infections)

ISPA bagian bawah adalah infeksi yang terutama mengenai struktur-

struktur saluran nafas bagian bawah mulai dari laring sampai alveoli.

Penyakit-penyakit yang tergolong infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

bagian bawah: Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronik,

Bronco Pneumonia atau Pneumonia (suatu peradangan tidak saja pada

jaringan paru tapi juga pada Bronchioli. ISPA berdasarkan golongan umur 2

bulan sampai 5 tahun:


a) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak

harus dalam keadaan tenang,tidak menangis atau meronta).

b) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat untuk usia lebih dari bulan

sampai 12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih, untu usia 1-4 tahun

adalah 40 kali per menit atau lebih.

c) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. “Tanda Bahaya” untuk golongan umur 2 bulan -5 tahun yaitu:

tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, gizi buruk.

9. Faktor yang berhubungan kejadian ISPA

a. Hubungan Riwayat BBLR dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan riwayat BBLR

dengan kejadian ISPA pada balita maka didapatkan hasil uji chi suare

diperoleh ρ value 0,6 7(ρ-value>0,05) maka H0 diterima H1 ditolak

berarti tidak ada hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada

balita di Puskesmas. Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai r

hitung = 0,101 yang dikategorikan sangat rendah (0,00 – 0,199) yang

artinya keeratan hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Batua Makassar adalah sangat rendah. (Ramli, 2022)


Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ada 5 faktor yang

mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita, yang pertama adalah

faktor BBLR. Pada penelitian ini sebagian besar respoden (77,8%)

sejumlah 70 balita tidak mengalami BBLR. Tetapi masih ada

responden (22,2%) sejumlah 20 balita yang mengalami riwayat BBLR.

Balita yang mengalami BBLR lebih besar resikonya untuk terdiagnosa

ISPA. Di karenakan pada balita BBLR organ-organ pernafasannya

belum matang yang menyebabkan pengembangan paru kurang

adekuat, otot-otot pernafasan masih lemah dan pusat pernafasan belum

berkembang. Kurangnya zat surfaktan dapat mengurangi tegangan

pada permukaan paru. Anatomi dari organ pernafasan yang belum

matang menyebabkan ritme dari pernafasan tidak teratur sering kali

ditemukan apneu dan sianosis.

b. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita maka didapatkan hasil Berdasarkan uji

chi square diperoleh ρ value 0,046 (ρ-value0,05) maka H0 diterima H1

ditolak berarti tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian

ISPA pada balita di Kelurahan Batua Puskesmas Batua Makassar.

Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai r hitung = 0,208 yang

dikategorikan rendah (0,20 – 0,399) yang artinya keeratan hubungan status


imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas kodeoha adalah

rendah. (Ramli, 2022)

Untuk faktor yang kedua adalah faktor status gizi pada balita, pada

penelitian ini terdapat sebanyak (60,0%) sejumlah 54 balita dengan gizi

baik, (40,0%) sejumlah 36 balita mengalami gizi kurang. Gizi baik adalah

keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi sehingga

berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap

penyakit, sedangkan gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang

kekurangan nutrisi atau nutrisi dibawah standar rata-rata.

c. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan status Imunisasi

dengan kejadian ISPA pada balita maka didapatkan hasil berdasarkan hasil

uji chi square diperoleh nilai ρ value 0,0 3 (ρ- value>0,05) maka H0

diterima H1 ditolak berarti tidak ada hubungan antara status imunisasi

dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan kodeoha Puskesmas

Kodeoha. Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai r hitung = 0,208 yang

dikategorikan rendah (0,20 – 0,399) yang artinya keeratan hubungan status

imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kodeoha adalah

rendah. (Ramli, 2022)

Faktor status imunisasi pada balita, pada penelitian ini terdapat

sebanyak (14,4%) sejumlah 13 balita dengan imunisasi tidak lengkap,

(85,6 %) sejumlah 77 balita dengan imunisasi lengkap pemberian


imunisasi dapat mencegah berbagai jenis penyakit infeksi termasuk

ISPA.Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,

diupayakan imunisasi lengkap terutama DPT dan Campak. Bayi dan balita

yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat

diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat.

d. Hubungan usia dengan kejadian ISPA

Usia adalah perhitungan umur dari masa dilahirkan sampai akan

berulang tahun. Makin cukup usia seseorang, maka seseorang akan lebih

matang pada saat berpikir dan bekerja bekerja.14 Usia merupakan salah

satu faktor predisposisi pembentuk sikap dan perilaku seseorang.15 Pada

penelitian ini diperoleh nilai P=0,001 berarti terdapat hubungan signifikan

antara usia dan kejadian ISPA. Penelitian Sebates 16 menunjukkan umur

seseorang mempengaruhi pola pikir dan daya tangkap orang tersebut.

Semakin usia bertambah maka akan semakin berkembang pula pola pikir

dan daya tangkapnya, maka pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ibnu17 bahwa

didapatkan hubungan antara usia dengan kejadian ISPA pada pekerja yang

terpapar debu kayu. Prasetyo18 menunjukkan bahwa kapasitas difusi paru,

ventilasi paru, ambilan oksigen kapasitas vital dan semua parameter faal

paru lain akan menurun sesuai pertambahan umur sehingga makin lanjut

usia akan makin rentan terkena ISPA.


e. Hubungan Status Kepadatan Tempat Tinggal dengan Kejadian ISPA

pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan status Imunisasi

dengan kejadian ISPA pada balita maka didapatkan hasil Berdasarkan

hasil uji chi squarediperoleh nilai ρ value 0,038 (ρ- value<0,05). 05 maka

H0 ditolak H1 diterima berarti ada hubungan antara kepadatan tempat

tinggal dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Batua Puskesmas

Batua Makassar. Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai r hitung =

0,260 yang dikategorikan rendah (0,20 – 0,399) yang artinya keeratan

hubungan kepadatan tempat tinggal dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Batua Makassar adalah rendah

Faktor kepadatan tempat tinggal, hasil dari penelitian kepadatan

tempat tinggal kelurahan Batua di dapatkan dengan prosentase (42,2%)

sejumlah 38 rumah mempunya kepadatan tempat tinggal yang padat, dan

(57,8%) sejumlah 52 rumah yang memiliki penghuni tidak padat. Hal ini

sesuai keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK.VII.1999

tentang persyaratan kesehatan rumah satu orang minimal menempati luas

rumah 8m. Dengan kriteia tersebut diharapkan dapat mencegah penularan

penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat

menngkatkan faktor populasi dalam rumah yang telah ada.

f. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA


Jenis kelamin adalah identitas gender seseorang. Jenis kelamin

merupakan salah satu faktor predisposisi pembentuk sikap dan perilaku.15

Pada penelitian yang dilakukan diperoleh nilai P=1,000 maka tidak

terdapat pengaruh antara jenis kelamin dan kejadian ISPA. Menurut

penelitian Hidayat19 kejadian ISPA lebih banyak terjadi pada laki-laki dan

jarang pada perempuan dikarenakan laki-laki cenderung lebih aktif

dibanding perempuan. Raina 20 juga mendapatkan ISPA juga lebih sering

pada laki-laki dengan alasan yang sama. Berdasarkan teori memang

demikian, akan tetapi hasil tersebut beda dengan penelitian yang

dilakukan ini dikarenakan sampel/responden penelitian ini kebanyakan

perempuan, sehingga tidak didapatkan hubungan yang relevan.

g. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan dapat menjadi tahu apabila

seseorang telah melakukan penginderaan pada suatu objek tertentu;

perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada

tindakan yang tidak berdasarkan pengetahuan. 21 Pengetahuan menjadi

satu diantara beberapa faktor pembentuh sikap maupun prilaku dari

seseorang. 15 Pada hasil penelitian diperoleh nilai P=0,004 bahwa

didapatkan hubungan tingkatan pengetahuan dengan kejadian ISPA.

Mengetahui bahwa diri sendiri berisiko terkena ISPA akan meningkatkan

kesadaran responden untuk mencegah ISPA. Risiko ISPA responden

melalui lingkungan pekerjaan berasal dari debu halus kayu


h. Hubungan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan kejadian ISPA

Berdasarkan teori Green15 yang menyatakan bahwa fasilitas

kesehatan merupakan satu diantara faktor pemungkin terbentuknya sikap

dan perilaku seseorang. Menurut Kusnanto23, penderita ISPA lebih

cenderung tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia.

Ketersediaan fasilitas kesehatan yang lengkap diharapkan akan

meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, akan meningkatkan

kemauan dan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas

kesehatan. Penelitian ini didapatkan dengan P=0,535 bahwa tidak

didapatkan hubungan yang signifikan antara fasilitas kesehatan dan

kejadian ISPA

10. Kerangka Pikir

Surveilans epidemiologi
penyakit menular dan tidak
menular

Kajian dan
-karakteristik diseminasi informasi
balita Kejadian ISPA pada kesehatan
-sumber polutan balita lingkungan,
-kondisi kesehatan ,matra, dan
lungkungan rumah pengendalian
penyakit
11. Hipotesis Penelitian

1. Penemuan dan tatalaksana kasus secara pasif di puskesmas kodeoha

2. Pencatatan dan pelaporan setiap minggu oleh pemegang program manajemen

surveilans

3. Upaya pencegahan dan peningkatan pemahaman masyarakat kodeoha

4. Kunjungan rumah petugas kesehatan lingkungan dan surveilans serta

penderita yang tidak melakukan kunjungan ulang agar diberi pemahaman

untuk perawatan dirumah.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis dan rancangan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif

dengan metode deskriptif untuk mengetahui manajemen surveilans

epidemiologi penyakit ISPA di puskesmas Kodeoha Kecamatan Kodeoha

Kabupaten Kolaka Utara.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di puskesmas Kodeoha Sulawesi Tenggara

pada bulan Agustus-Oktober 2022. Dengan penelitian yang berjudul

“Determinan Sistem Manajemen Surveilans Epidemologi Penyakit ISPA di

Puskesmas Kodeoha Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka Utara”.

3.3 Desain Penelitian

Silaen (2018: 23) Menurut Silaen desain penelitian adalah desain

mengenai `keseluruhan proses yang diperlukan dalam perencanaan dan

pelaksanaan penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode

deskriptif untuk mengetahui manajemen surveilans untuk menghasilkan

kesimpulan yang dapat digeneralisasikan terlepas dari konteks waktu, tempat,

dam situasi yang ada di puskesmas Kodeoha. dari objek yang diteliti.

3.4 Populasi dan Sampel


1.Populasi

Menurut Sugiyono (2019:126) populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas: objek / subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya.

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami

masalah penyakit ISPA di kodeoha.

2.Sampel

Menurut Sugiyono (2019:127) sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Prosedur pengambilan

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probabilitay dengan

teknik purposive sampling.

Jumlah sampel dalam penelitian kuantitatif adalah semua data yang

berhubungan dengan sistem surveilans, baik input: data SDM, data sarana

dan prasarana.

3.5 Definisi Operasional Variabel

Pengertian variabel independen (bebas) yaitu variabel yang akan

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel bebas (independent), variable bebas dalam penelitian ini yaitu

manajemen surveilans.
Variabel terikat (dependen) merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas, variable terikat dalam

penelitian ini yaitu penyakit ISPA.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman

dokumentasi.

a. Pedoman observasi

Observasi merupakan pengumpulan data melalui pengamatan

secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Pedoman observasi

dibuat dan di isi oleh peneliti aspek yang dilihat adalah menganalisis

sistem pelayanan penyakit ISPA di puskesmas yang memiliki

pernyataan tentang jenis-jenis dan kompenen penelitian

b. Pedoman wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan oleh dua pihak (interviewer dan interview) untuk

mengumpulkan suatu informasi data. Pada penelitian ini teknik

wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur yaitu

wawancara sebelumnya telah menyusun daftar pertanyaan. Dengan

demikian, peneliti telah menyiapkan kendali wawancara untuk

menyusun instrument penelitian berupa wawancara. Teknik


wawancara ini di gunakan untuk menggali informasi tentang

manajemen surveilans epidemologi penyakit ISPA di puskesmas.

c. Pedoman dokumentasi

Dokumen merupakan peristiwa yang sudah berlalu yang

berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang. Hasil

penelitian ini dari observasi dan wawancara akan lebih kredibel kalau

di dukung oleh dokumen-dokumen yang mendukung. Lembar

dokumen yang diteliti sebagai instrument penelitian mengandung

uraian mengenai dokumen manajemen surveilans epidemologi

penyakit ISPA di puskesmas.

3.7 Teknik Pengumpulan data

Data surveilans didapatkan oleh petugas bidan desa maupun petugas

surveilans di puskesmas secara periode baik harian, mingguan, maupun

bulanan.

Pengumpulan data dilakukan dengan turun langsung di lapangan yang

meliputi:

a. Data primer

Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan

utama dan informan triangulasi.

b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas yang

berupa data KLB, SOP, dan data lain yang mendukung penelitian.

kegiatan pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan yang

utama. Data yang dikumpulkan ialah data epidemiologi yang jelas, tepat,

dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan.

Beberapa tujuan spesifik dari pengumpulan data adalah:

1. Untuk menentukan kelompok/golongan populasi yang mempunyai

resiko terbesar untuk terserang penyakit (umur, jenis kelamin, bangsa,

dan pekerjaan),

2. Untuk menentukan jenis agent (penyebab) penyakit dan

karakteristiknya,

3. Untuk memastikan keadaan-keadaan bagaimana yang menyebabkan

berlangsungnya transmisi penyakit, dan

4. Untuk mencatat kejadian penyakit secara keseluruhan.

3.8 Teknik Analisis Data

1. Uji Reliabilitas

Di gunakan untuk memperoleh informasi yang digunakan dapat di

percaya sebagai alat pengumpulan data dan mampu mengungkap

informasi yang sebenarnya di puskesmas.

2. Uji Validitas

Uji validitas di gunakan untuk mengukur sah, atau valid

tidaknya suatu kuestioner. Suatu kuisioner di katakan valid jika


pertanyaan pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu

yang akan di ukur oleh kuesioner tersebut

3. Uji Nomalitas

Uji normalitas untuk mengetahui apakah data empiric yang di

dapatkan dari puskesmas itu sesuai dengan distribusi teritik tertentu

4. Uji Homogenitas

Uji homogenitas untuk mengetahui bahwa ada dua atau lebih

kelompok data sampel berasal dari populasi.

DAFTAR PUSTAKA
budiono, a. r. (2021). jurnal administrasi kesehatan. analisis kualitas pelayanan rawat

inap pada puskesmas kabupaten pasuruan, 201-212.

delfi mardiana, n. u. (2021). jurnal respon publik. evaluasi program JKN dalam

memberikan pelayanan administrasi pasien rawat inap, 41-47.

lestari, U. (2022). journal of public administration musi raya. implementasi sistem

pelayanan pasien rawat inap, 38-47.

Sistem Pendukung Keputusan2019Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Jenis

Tindakan Preventif untuk Daerah dengan Kejadian 45-52

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SUATU PENGANTAR2020INSAN

CENDEKIA MANDIRI

jurnal administrasi kesehatan2021analisis kualitas pelayanan rawat inap pada

puskesmas kabupaten pasuruan201-212

Jurnal Kesehatan 102021INVESTIGASI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI

KOTA 194-203

Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo2021Analisis Sistem

Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD):137-150

jurnal respon publik2021evaluasi program JKN dalam memberikan pelayanan

administrasi pasien rawat inap41-47

teori dan aplikasi epidemiologi kesehatan2021YOGYAKARTAerit

rovendra,amd.,FT.,S.KM.,MKM.

journal of public administration musi raya2022implementasi sistem pelayanan pasien

rawat inap38-47
2019badan pembinaan hukum nasional dapartemen kehakiman dan hak asasi

manusia RI

Sistem Pendukung Keputusan2019Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Jenis

Tindakan Preventif untuk Daerah dengan Kejadian 45-52

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SUATU PENGANTAR2020INSAN

CENDEKIA MANDIRI

jurnal administrasi kesehatan2021analisis kualitas pelayanan rawat inap pada

puskesmas kabupaten pasuruan201-212

Jurnal Kesehatan 102021INVESTIGASI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI

KOTA 194-203

Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo2021Analisis Sistem

Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD):137-150

jurnal respon publik2021evaluasi program JKN dalam memberikan pelayanan

administrasi pasien rawat inap41-47

teori dan aplikasi epidemiologi kesehatan2021YOGYAKARTAerit

rovendra,amd.,FT.,S.KM.,MKM.

journal of public administration musi raya2022implementasi sistem pelayanan pasien

rawat inap38-47

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PROGRAM PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS

CIPAGERAN2018Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani

Cimahi213-216
2019badan pembinaan hukum nasional dapartemen kehakiman dan hak asasi

manusia RI

Sistem Pendukung Keputusan2019Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Jenis

Tindakan Preventif untuk Daerah dengan Kejadian 45-52

SPASIAL DAN PERENCANAAN PENYAKIT ISPA PADA ANAK2019Jurnal

Perencanaan Wilayah1-5

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) pada pekerja PT.X2020Jurnal Cerebellum21-30

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SUATU PENGANTAR2020INSAN

CENDEKIA MANDIRI

jurnal administrasi kesehatan2021analisis kualitas pelayanan rawat inap pada

puskesmas kabupaten pasuruan201-212

Jurnal Kesehatan 102021INVESTIGASI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI

KOTA 194-203

Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo2021Analisis Sistem

Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD):137-150

jurnal respon publik2021evaluasi program JKN dalam memberikan pelayanan

administrasi pasien rawat inap41-47

teori dan aplikasi epidemiologi kesehatan2021YOGYAKARTAerit

rovendra,amd.,FT.,S.KM.,MKM.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA2022JURNAL JURRIKES38-48


journal of public administration musi raya2022implementasi sistem pelayanan pasien

rawat inap38-47

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH2014Jurnal Kesehatan Masyarakat161-166

ANALISIS SPASIAL KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN

PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI2017JURNAL ILMIAH

MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT1-7

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PROGRAM PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS

CIPAGERAN2018Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani

Cimahi213-216

2019badan pembinaan hukum nasional dapartemen kehakiman dan hak asasi

manusia RI

Sistem Pendukung Keputusan2019Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Jenis

Tindakan Preventif untuk Daerah dengan Kejadian 45-52

SPASIAL DAN PERENCANAAN PENYAKIT ISPA PADA ANAK2019Jurnal

Perencanaan Wilayah1-5

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) pada pekerja PT.X2020Jurnal Cerebellum21-30

Prediksi Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Menggunakan

Arima Model di kota Kendari2020JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT

CELEBES14-22
SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SUATU PENGANTAR2020INSAN

CENDEKIA MANDIRI

jurnal administrasi kesehatan2021analisis kualitas pelayanan rawat inap pada

puskesmas kabupaten pasuruan201-212

Jurnal Kesehatan 102021INVESTIGASI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI

KOTA 194-203

Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo2021Analisis Sistem

Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD):137-150

jurnal respon publik2021evaluasi program JKN dalam memberikan pelayanan

administrasi pasien rawat inap41-47

teori dan aplikasi epidemiologi kesehatan2021YOGYAKARTAerit

rovendra,amd.,FT.,S.KM.,MKM.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA2022JURNAL JURRIKES38-48

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA YANG BERKUNJUNG DI PUSKESMAS BATUA

MAKASSAR2022Jurnal Riset Rumpun Ilmu Kesehatan 38-48

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI

WILAYAH KERJA YANG BERKUNJUNG DI PUSKESMAS BATUA

MAKASSAR2022JURNAL JURRIKES38-48

journal of public administration musi raya2022implementasi sistem pelayanan pasien

rawat inap38-47

Anda mungkin juga menyukai