Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

BERFIKIR KRITIS DALAM KEBIDANAN

OLEH

LENI LISTYOWATI
NPM. 220108123

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM PROFESI KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua
ke jalan kebenaran yang diridhoi Allah SWT.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk dapat lebih
memahami tentang BERFIKIR KRITIS DALAM KEBIDANAN yang
akan sangat berguna terutama untuk mahasiswa. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam
cara penulisan maupun dalam isi.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
penulis yang membuat dan umumnya bagi yang membaca makalah ini.
Amin.

Pringsewu , Agustus 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Berfikir Kritis dalam Kebidanan.........................................................2
B. Penalaran Deduksi dan Induksi...........................................................7
C. Kesalahan / Fallacies dalam penalaran................................................9
D. Wacana...............................................................................................13
E. Moral Reasoning.................................................................................14

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 1

3
BAB I
PENDAHULUAN

Berpikir kritis adalah salah satu kemampuan yang wajib dimiliki oleh semua
orang. Berpikir kritis menjadi salah satu soft skill yang diperlukan dalam
meningkatkan karier dan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Seorang
yang berpikir kritis seringkali memiliki manfaat terhadap kepemimpinannya
yang sukses. Berpikir kritis merupakan berpikir secara logis dan sistematis
dalam membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan yang
ada. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk berpikir dengan rasional
dan tertata yang bertujuan untuk memahami hubungan antara ide dan/atau
fakta.
Pemikiran kritis merupakan sesuatu yang bisa membantu kita dalam
menentukan apa yang kita percayai. Berpikir kritis merupakan kemampuan
berpikir dengan jernih dan rasional mengenai apa yang yang harus
dilakukan atau apa yang harus dipercayai. Proses di mana kita harus
membuat penilaian yang rasional, logis, sistematis, dan dipikirkan secara
matang adalah proses dalam berpikir kritis.

Pilar seorang bidan yang terdapat pada kerangka kerja menurut ICM (2015)
adalah pengetahuan, keahlian dalam melaksanakan pelayanan asuhan
kepada bayi baru lahir, wanita, keluarga sepanjang kehidupannya.
Pengetahuan yang ada bisa menjadi pondasi untuk melakukan suatu
keahlian jika dilakukan sesuai tujuan dan setiap bertindak harus diiringi
dengan berpikir kritis dengan menjawab setiap pertanyaan “mengapa” dan
“kenapa” saat bertindak.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Berfikir Kritis dalam Kebidanan


Berfikir kritis kadang-kadang dapat menjadi proses yang rumit dan
membutuhkan sumber ilmiah yang sistematik dan pemikiran kritis yang
kadang membingungkan. Namun, dalam pelayanan asuhan kebidanan,
proses berfikir kritis merupakan dasar dalam penerapan manajemen
asuhan kebidanan, sehingga sangat penting dikuasai sebagai landasan
dalam pengambilan keputusan klinis.
Scriven, M & Paul, R, dalam Anonim (2019) mendefinisikan berpikir
kritis sebagai suatu proses disiplin intelektual yang secara aktif dan
terampil mengkonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis,
mensintesis, dan / atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari,
atau dihasilkan oleh, pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi, sebagai panduan untuk keyakinan dan tindakan. Dalam
bentuk keteladanannya ini, didasarkan pada nilai-nilai intelektual
universal yang melampaui pembagian materi: kejelasan, akurasi, presisi,
konsistensi, relevansi, bukti yang kuat, alasan yang baik, kedalaman,
luas, dan keadilan.
Sedangkan menurut John (2016), berfikir kritis adalah suatu cara
berpikir tentang subjek, konten, atau masalah yang dilakukan oleh
pemikir secara aktif dan terampil secara konseptual dan memaksakan
standar yang tinggi atas intelektualitas mereka. Untuk dapat menerapkan
berfikir kritis, diperlukan kemampuan kemampuan intelektualitas,
pengalaman, dan sumber referensi/ bukti yang kuat.
Proses berfikir kritis bertujuan untuk:
1. Merumuskan masalah dengan jelas dan tepat.
2. Mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan.
3. Berpikir terbuka dalam sistem pemikiran.
4. Berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari tahu
solusi untuk masalah yang kompleks.

2
Adapun untuk mengembangkan proses berfikir kritis, diperlukan
keterampilan dalam hal: analisis, reasoning, evaluating, desision making,
dan problem solving. Dalam penerapan asuhan kebidanan, penerapan
berfikir kritis ditujukan agar mahasiswa dapat melakukan pemecahan
masalah (problem solving) yang mungkin dijumpai dalam kasus-kasus
kebidanan yang dijumpai di lapangan. Untuk dapat melakukan pemecahan
masalah sesuai dengan prinsip berfikir kritis, maka perhatikan langkah-
langkah berikut:
1. Lakukan identifikasi masalah. Dalam asuhan kebidanan, identifikasi
masalah merupakan diagnosis kasus. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan baik apabila pengumpulan data subjektif dan objektif
dilakukan secara benar dan menyeluruh.
2. Mengeksplorasi informasi dan membangun ide. Eksplorasi informasi
berarti mengumpulkan dasar/bukti ilmiah yang relevan sebagai bahan
rujukan dalam penatalaksanaan kasus. Sedangkan membangun ide
adalah mengambil kemungkinan-kemungkinan keputusan klinik
berdasarkan bukti ilmiah/ referensi terbaik dan berdasarkan standar
prosedur yang berlaku.
3. Memilih ide terbaik. Dalam tahapan ini, kita dapat salah satu
keputusan klinik yang telah kita bangun (berdasarkan kajian ilmiah)
guna mendukung asuhan yang evidence based.
4. Uji coba keputusan klinik. Pada tahapan ini, solusi yang ditawarkan
sebelumnya, kita uji coba pada pasien berdasarkan prinsip-prinsip
etika yang berlaku.
5. Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi hasil. Evaluasi dilakukan
untuk mengetahui keefektifan metode yang digunakan, sehingga
dapat diaplikasikan pada banyak kasus.
Dalam mengimplementasikan berfikir kritis, perlu diperhatikan beberapa
kunci pokok sebagai berikut:
1. Setiap menjumpai masalah klinis, kita berhenti sejenak dari aktivitas
untuk sejenak berfikir tentang keilmiahan kasus tersebut.

3
2. Kemudian kita bangun asumsi-asumsi yang mungkin dari aksus
tersebut, meliputi: kemungkinan penyebab, kemungkinan diagnosis,
kemungkinan asuhan yang dapat diberikan, kemungkinan respon
klien dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul.
3. Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi informasi-informasi yang
telah kita dapatkan sebagai dasar pemecahan masalah.
4. Langkah berikutnya adalah menyusun kesimpulan sebagai bekal pada
langkah terakhir.
5. Terakhir, kita susun rencana tindakan berdasarkan kesimpulan yang
telah kita buat.
Dalam menerapkan berfikir kritis, diperlukan pengetahuan yang cukup akan
kasus yang dihadapai, pengalaman di lapangan (clinical experience), dan
lakukan penilaian akhir dengan menggunakan akal sehat. Adapun langkah-
langkah berfikir kritis yang disarikan dalam Elmansy (2016) adalah sebagai
berikut:
1. Knowledge. Langkah pertama adalah mengelola sumber informasi
yang sesuai sebagai dasar pengetahuan dalam pengambilan keputusan
dalam berfikir kritis. Langkah ini mengidentifikasi argumen atau
masalah yang perlu diselesaikan. Pertanyaan harus diajukan untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masalah tersebut.
Dalam beberapa kasus, tidak ada masalah aktual, sehingga tidak perlu
menggunakan langkah selanjutnya dalam langkah-langkah model
berpikir kritis. Pertanyaan-pertanyaan dalam tahap ini harus terbuka
untuk memungkinkan kesempatan untuk membahas dan
mengeksplorasi alasan utama. Pada tahap ini, dua pertanyaan utama
yang perlu diajukan: Apa masalahnya? Dan mengapa kita harus
menyelesaikannya?
2. Comprehension. Pada langkah ini disampaikan alasan ilmiah yang
terstruktur sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, dengan
memahami apa yang dibaca, didengar atau dilihat secara
komprehensif. Setelah masalah teridentifikasi, langkah selanjutnya
adalah memahami situasi dan fakta-fakta yang sesuai. Data

4
dikumpulkan berdasarkan permasalahannya menggunakan salah satu
metode penelitian yang dapat diadopsi tergantung pada masalah, jenis
data yang tersedia, dan batas waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikannya.
3. Aplication. Mengetahui penerapan yang akan dilaksanakan secara
komprehensif, dengan mempertimbangkan bukti-bukti ilmiah yang
telah didapat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Langkah
ini melanjutkan langkah sebelumnya untuk melengkapi pemahaman
tentang berbagai fakta dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah dengan membangun hubungan antara
informasi dan sumber daya. Peta pikiran dapat digunakan untuk
menganalisis situasi, membangun hubungan antaranya dan masalah
inti, dan menentukan cara terbaik untuk langkah selanjutnya.
4. Analize. Menganalisis masalah dengan membaginya menjadi sub-sub
masalah dan mempelajarinya per bagian. Hal ini dilakukan dengan
mengidentifikasi asumsi-asumsi yang mungkin muncul dari bukti-
bukti ilmiah yang telah didapat untuk dilakukan analisis kritis. Setelah
informasi dikumpulkan dan hubungan dibangun di antara masalah
utama, situasinya dianalisis untuk mengidentifikasi situasi, titik kuat,
titik lemah, dan tantangan yang dihadapi saat memecahkan masalah.
Prioritas ditetapkan untuk penyebab utama dan menentukan
bagaimana hal tersebut dapat diatasi dalam solusi. Salah satu alat
yang umum digunakan yang dapat digunakan untuk menganalisis
masalah dan keadaan di sekitarnya adalah diagram sebab akibat, yang
membagi masalah dari penyebabnya dan bertujuan untuk
mengidentifikasi berbagai penyebab dan mengelompokkannya
berdasarkan jenis dan dampaknya pada masalah.
5. Synthesis. Melakukan sintesis dengan mengkombinasikan analisis-
analisis yang telah dibuat ke dalam bentuk teori baru, dilakukan
dengan mengevaluasi pendapat-pendapat yang tersedia dalam bukti-
bukti ilmiah yang didapat. Pada tahap ini, setelah masalah sepenuhnya
dianalisis dan semua informasi yang berkaitan dengannya

5
dipertimbangkan, keputusan harus dibuat tentang bagaimana
menyelesaikan masalah dan rute awal yang harus diikuti untuk
mengambil keputusan ini menjadi tindakan. Jika ada sejumlah solusi,
mereka harus dievaluasi dan diprioritaskan untuk menemukan solusi
yang paling menguntungkan. Salah satu metode yang dapat digunakan
dalam memilih solusi masalah adalah analisis SWOT yang cenderung
mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
6. Take action. Menyimpulkan beberapa pendapat-pendapat yang telah
dievaluasi (langkah 5) dengan mempertimbangkan beberapa hal
prinsip yang berkaitan dengan masalah yang tengah dibahas dengan
menggunakan kalimat sendiri yang mudah dipahami. Pada langkah
terakhir ini, membangun evaluasi tentang masalah yang dapat
diterapkan. Evaluasi dengan menyimpulkan berdasarkan
pertimbangan beberapa hal prinsip yang berkaitan dengan masalah
yang tengah dibahas dengan menggunakan kalimat sendiri yang
mudah dipahami. Hasil pemikiran kritis harus ditransfer ke dalam
langkah-langkah tindakan. Jika keputusan melibatkan proyek atau tim
tertentu, rencana tindakan dapat diimplementasikan untuk
memastikan bahwa solusi tersebut diadopsi dan dilaksanakan sesuai
rencana.
Metode berpikir kritis dapat diadopsi untuk menggantikan emosi dan
bias teliti ketika mencoba berpikir tentang suatu situasi atau masalah.
Waktu untuk mengadopsi pemikiran kritis bervariasi berdasarkan
masalah, mungkin perlu beberapa menit hingga beberapa hari.
Keuntungan menggunakan metode berfikir kritis adalah memberikan
kontribusi untuk memperluas perspektif kita tentang situasi dan
memperluas kemungkinan pemikiran kita. Namun, langkah-langkah ini
harus diterjemahkan ke dalam rencana tindakan yang memastikan bahwa
resolusi yang diputuskan dicapai dengan baik dan terintegrasi antara
semua cabang ilmu yang terkait dan sistem yang terlibat.

6
B. Penalaran Deduksi dan induksi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penalaran adalah hal


mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan
dengan perasaan atau pengalaman. Sedangkan nalar adalah aktivitas
yang memungkinkan seseorang berpikir logis. Penalaran sendiri
merupakan aktivitas kognitif untuk menilai atau menarik kesimpulan
tertentu berdasarkan suatu informasi yang kita dapatkan, dengan
menggunakan kaidah logika. 

Dikutip dari jurnal Penalaran Arsefa (2014), terdapat beberapa ciri-ciri


kemampuan penalaran, sebagai berikut: 

1. Adanya pola pikir yang disebut logika Dapat dikatakan bahwa


kegiatan penalaran merupakan proses berpikir logis. Artinya
berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu. 

2. Berpikir analitik  Penalaran merupakan kegiatan yang


mengandalkan suatu analitik. Kerangka berpikir dalam analitik
adalah logika penalaran yang bersangkutan. 

Terdapat dua macam penalaran, yaitu deduktif dan induktif.

1. Penalaran deduktif merupakan proses nalar yang menarik


kesimpulan yang bersifat khusus dari hal-hal yang bersifat umum.
Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar
atau salah dan tidak keduannya bersama-sama.  penalaran deduktif
merupakan pengambilan kesimpulan secara logis berdasarkan
premis-premis yang ada. Premis di sini merupakan asumsi,
pemikiran, dan landasan kesimpulan yang dianggap benar.
Umumnya penalaran deduktif mengambil kesimpulan secara logis
berdasarkan premis yang ditemukan.

Beberapa contohnya sebagai berikut: 

Premis 1: Hamdan suka mengonsumsi makanan bergizi.

7
Premis 2: Orang yang suka mengonsumsi makanan bergizi,
tubuhnya sehat.

Kesimpulan: Hamdan mempunyai tubuh yang sehat.

Premis 1: Setiap hewan adalah makhluk hidup.

Premis 2: Jerapah adalah hewan

Kesimpulan: Jerapah adalah makhluk hidup

2. Definisi Penalaran Induktif Penalaran induktif merupakan proses


penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat khusus menjadi hal
yang bersifat umum. Penalaran infuktif biasanya mengambil
kesimpulan dari premis umum seperti pengamatan, data, atau fakta.
Kemudian mengambil kesimpulan dengan spesifik atau hipotesis. 

Contoh dari penalaran indduktif, yakni: 

Premis 1: Hewan membutuhkan makanan

Premis 2: Tumbuhan membutuhkan makanan

Premis 3: Manusia membutuhkan makanan

Kesimpulan: Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan

Premis 1: Sapi mempunyai mata Premis

2: Perkutut mempunyai mata Premis

3: Ular mempunyai mata

Kesimpulan: Setiap hewan mempunyai mata

Secara singkat, bisa dibilang kalo deduktif itu berangkat dari premis
umum ke kesimpulan yang spesifik, sedangkan induktif mulai dari
premis spesifik ke kesimpulan umum (generalisasi). Selain itu,
kesimpulan dari deduktif haruslah valid atau benar. Sedangkan,
kesimpulan dari induktif memiliki kemungkinan benar karena sains bisa
berubah dan terus berkembang.

8
C. Kesalahan / Fallacies dalam penalaran

Logical fallacy adalah kesalahan dalam menyusun logika yang tepat


dalam sebuah argumen. Dalam hal ini, argumen tersebut tidak
mempunyai keterkaitan antara kesimpulan serta premis. Kalaupun
premis yang disampaikan tepat, tetapi kesimpulannya salah, dapat
dianggap sebagai sesat pikir. Dalam bahasa lebih sederhana,
argumentasi yang mereka sampaikan tidak nyambung. 

Kesalahan logika adalah kesalahan penalaran. Ketika seseorang


mengadopsi posisi tertentu atau mencoba membujuk orang lain untuk
mengadopsi posisi tersebut, berdasarkan sepenggal penalaran yang
jelek, maka mereka melakukan kekeliruan.

Ketika orang berbicara tentang kesalahan logika mereka sering merujuk


pada sekumpulan kesalahan penalaran yang dikenal, bukan untuk
kesalahan dalam arti yang lebih luas. Sejumlah kesalahan logika
disebabkan adanya asumsi bahwa semua bagian adalah sama-sama
penting. Dan karena semua bagian tadi adalah penting dan benar maka
mereka harus menjadi penting dan benar pula.

Berikut sejumlah contoh 10 kesalahan logika :

1. Argumentum Ad Hominem

Yaitu menyerang pribadi lawan, bukan argumennya. Atau


menyerang karakter dan reputasi yang melekat di diri seseorang
bukan argumennya. Cara ini kerap dilakukan dengan tujuan untuk
melemahkan argumen dari lawan bicara. 

Contoh:
A : "Kita harus selalu menjaga kerukunan antarwarga."
B : "Lho keluarga kamu sendiri aja berantakan kok. Jangan sok
ngurusin orang lain kalau nggak bisa mengurus keluarga sendiri!"

A: “Kita perlu mendukung gerakan pencegahan Pemanasan

9
Global.”
B: “ Lho, kamu kan cuma buruh pabrik.. apa paham soal pemanasan
global?”
Kesalahannya: Menyerang pribadi atau reputasi seseorang bukan
argumennya.

2. Strawman Fallacy (Manusia Jerami atau citra palsu)

Memposisikan pihak yang berseberangan sebagai pihak yang secara


ekstrem layak diserang (bak manusia jerami) bukan argumennya.
Dalam kesesatan berpikir ini, lawan bicara akan menyederhanakan
argumen. Hal itu dilakukan agar bisa menyerang argumen dengan
lebih mudah. Biasanya, mereka akan menggunakan argumen lain
yang sepenuhnya tidak berkaitan. 

Contoh:
A : "Perusahaan perlu waktu untuk mendukung program emisi nol."
B : "Berarti kalian hanya mementingkan diri sendiri dan layak
dihukum berat karena tidak mendukung program
pencegahan global warming.”
Kesalahan : Langsung memuduh pihak B secara ekstrem atau
menjadikan B sebagai manusia jerami.

3. Bandwagon Fallacy

Mendasarkan kebenaran argumen pada suara mayoritas atau


popularitas semata.

Contoh:
A : " Kita sebaiknya cukup punya anak dua saja agar bisa
membiayai semua kebutuhan mereka dengan baik di masa depan."

B : " Tapi, kata orang dulu banyak anak, banyak rezeki.”


Kesalahan:Argumen B tidak otomatis mematahkan kebenaran
argumen A hanya karena pandangan populer selama ini.

4. Appeal to Emotion or Pity

Menggunakan emosi atau sebagai dasar sebuah argumen.


Contoh:

10
A : "Polisi menangkap pejabat AB karena melakukan tindak
kekerasan kepada pembantunya."

B : "Tidak mungkin, selama ini dia dikenal sangat santun dan


agamis.
Kesalahan: Patokan untuk menilai suatu kebenaran adalah fakta dan
bukti empiris, bukan argumen yang berbasis emosi semata.

5. Appeal to Force

Menggunakan ancaman atau hal yang buruk bakal terjadi pada


lawan bicara jika argumen kita ditolak.

Contoh :
A : “Saya tidak bisa menonton konser musik itu karena ada acara
keluarga. “
B : “Kamu akan menyesal seumur hidup jika tidak menonton
konser musik itu sebab mereka tidak bakal ke sini lagi.”

Kesalahan : Argumen B seolah –olah menutup peluang A untuk


menonton konser musik di lain waktu.

6. Appeal to Authority

Mendasarkan argumen pada pendapat orang yang berpengaruh atau


mempunyai otoritas.

Contoh:
A : "Bagaimana kualitas sekolah A? "

B : " Kata Pak Bupati, kualitas sekolah A sangat buruk. Berarti


benar kan dugaanku!"

Kesalahan: Hanya karena pernyataan Bupati bukan berarti hal itu


otomatis menjadi kebenaran.

7. Appeal to Tradition

Menyakinkan orang lain berdasarkan keyakinan atau kepercayaan


yang sudah lama.

Contoh :

11
A : Mengapa kita harus mengucapkan salam setiap menyeberang
pohon Beringin tua itu?

B : Sudahlah.. itu keyakinan di desa ini secara turun temurun.


Kesalahan : Tradisi secara bertahun-tahun tidak berarti suatu
kebenaran atau tidak bisa diubah.

8. False Dilemma, False Dichotomy

Sering juga disebut argumen “hitam-putih” atau hanya memberikan


dua pilihan kendati sebetulnya masih banyak pilihan.
Contoh:
A : "Perlu perlakuan yang adil kepada siapapun kendati dia sudah
menjadi tersangka korupsi”

B : Anda membela Koruptor...berarti anda Koruptor juga.?

Kesalahan: B menyimpulkan sikap A sebagai satu-satunya opsi,


padahal masih banyak opsi yang lain.

9. Begging the Question

Mengasumsi sesuatu menjadi benar karena sedang Anda buktikan.


Contoh:
A: “Anda Yakin Anda adalah pekerja berprestasi di kantor ini ?”
B: “Ya! Karena beberapa karyawan mengatakan begitu. Bagaimana
membuktikannya? Gampang, Tanya saja mereka semua.”
Kesalahan: Kendati sedang dalam proses pembuktian, B sudah
begitu yakin dengan argumennya.

10. Fallacy of Composition

Menggeneralisasikan sesuatu fenomena atau mengasumsikan bahwa


jika satu bagian benar, maka secara keseluruhan benar.
Contoh:
A : "Si A suka berkeringat"

B : "Karena dia suka berkeringat, berarti seluruh kelurganya suka


berkeringat juga ya."

Kesalahan : Generalisasi tidak selalu benar.

12
D. Wacana

Wacana ialah rentetan kalimat yang saling berangkaian dan berinteraksi


hipotesis yang satu dengan lain dalam kepaduan arti antarbagian di
dalam diri bahasa.

1. Pengertian Menurut Para Ahli dan Fungsi Wacana

Anton Moeliono (1995) Wacana adalah rentetan kalimat yang


berkaitan sehingga terbentuklah makna serasi di antara kalimat itu.
Carlson (1983) Wacana adalah rentangan ujaran yang
berkesinambungan (urutan kalimat-kalimat individual). Wacana
tidak hanya terdiri dari untaian ujaran atau kalimat yang secara
gramatikal tersusun secara rapi. Cook (1989) Wacana adalah suatu
pengunaan bahasa dalam komunikasi, baik secara lisan maupun
tulisan. Deese (1984) Wacana adalah seperangkat proposisi yang
saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau
rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Syamsudin (1992)
Wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur,
sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh
unsure segmental maupun nonsegmental.

2. Fungsi Wacana

a. Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan


penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana
pidato.
b. Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk
memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada
pesta.

13
c. Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada
pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa.
d. Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan
dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu.
e. Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan
atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana
khotbah

3. Ciri-Ciri Wacana
a. Satuan gramatikal
b. Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
c. Untaian kalimat-kalimat
d. Memiliki hubungan proposisi
e. Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
f. Memiliki hubungan koherensi
g. Memiliki hubungan kohesi
h. Rekaman kebahasaan utuh dari peristiwa komunikasi
i. Bisa transaksional juga interaksional
j. Medium bisa lisan maupun tulis
k. Sesuai dengan konteks

4. Macam-Macam Wacana

a. Narasi, ialah sebuah kisah yang bisa diprinsipkan pada susunan


suatu insiden ataupun perkara.
b. Eksposisi, ialah karya tulis yang menguraikan karya tulisnya
dengan secara detail sesuatu, dengan tujuan supaya bisa
menyampaikan sebuah informasi dan bisa mengembangkan ilmu
dan pengetahuan bagi setiap penyimak ataupun pembacanya.
c. Argumentasi, ialah karya tulis mengandung pendapat, perilaku,
dan evaluasi pada keadaan yang disertakan dengan keterangan,
argumen, dan deklarasi yang bisa diterima secara sistematis.

14
d. Deskripsi, ialah karya tulis yang bisa memvisualkan sesuatu
ataupun materi menurut hasil dari observasi, opini, dan
pengetahuan dari penulis.

E. Moral Reasoning

Moral berasal dari bahasa Latin mores berarti adat kebiasaan.


Maksud moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Di Indonesia ada
beberapa makna dan tujuan yang hampir sama dengan moral ialah
akhlaq (Arab) dan etika (Yunani). Susila, kesusilaan, tata susila, budi
pekerti, sopan santun, adab, perangai, tingkah laku, dan kelakuan
(Panuju & Umami, 1999)

Menurut Yusuf (2012) istilah moral berasal dari kata Latin mos
(moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, tatacara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima
dan melakukan peraturan, nilali-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-
nilai moral itu; seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan
memelihara hak orang lain; dan larangan mencuri, berzina, membunuh,
meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai
moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosial

Menurut Kohlberg (1995) moral reasoning ialah penilaian dan


perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral
bukanlah soal perasaan atau “nilai”, melainkan selalu mengandung
suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat
konstruktif kognitif yang aktif terhadap titik pandangan masingmasing
partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil mempertimbangkan
segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi
atau kelompok terhadap yang baik dan yang adil. Sarwono (2007)
menambahkan bahwa moral reasoning yaitu orang yang mendasarkan
tindakannya atas penilaian baik atau buruknya sesuatu, karena sifatnya

15
yang merupakan penalaran.

Teori Moral Reasoning Moral reasoning dapat didefinisikan baik


itu sebagai sebuah penjelasan mengenai bagaimana individu harus
bertingkah laku ataukah sebagai alasan-alasan yang muncul dalam
membenarkan atau mengkritik tingkah laku. Keberadaan moral
reasoning adalah untuk menunjukkan mengapa sebuah tindakan
dianggap salah atau mengapa sebuah keputusan dianggap benar. Jadi,
moral reasoning memberikan alasan-alasan dalam mengikuti atau
melawan keyakinan moral sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa
keyakinan tersebut benar ataukah salah (Gaffikin dan Lindawati,2012
dalam Fox and DeMarco,1990).

Definisi lain moral reasoning adalah sebuah penjelasan yang


tujuannya adalah untuk menjelaskan proses yang dialami seorang
individu dalam mengambil sebuah keputusan etis, atau menggambarkan
sebuah proses pembentukan tingkah laku berdasarkan penilaian moral
individu (cognition-judgment-action process). Jadi, proses moral
reasoning yang terjadi pada seorang individu juga dapat dipahami
dengan menguji bagaimana seorang individu menginternalisasi standar-
standar moral. (Gaffikin dan Lindawati, 2012 dalam Adams et al,
1995).

Berdasar teori dan temuan penelitian yang ada, perkembangan


moral memengaruhi keinginan auditor untuk menyetujui tekanan
pengaruh sosial yang tidak memadai yang dihasilkan dari dalam entitas.
Oleh karenanya, auditor pada level perkembangan moral yang lebih
rendah menjadi lebih rentan atas obedience pressure and conformity
pressure (tekanan ketaatan dan tekanan kesesuaian) dibanding auditor
pada tahap perkembangan moral yang lebih tinggi (Faisal, 2007 dalam
Lord and DeZoort, 2001).

Proses penalaran moral (moral reasoning) juga membentuk bagian


dari keseluruhan kesadaran moral pada sebuah sistem kepercayaan
seseorang yang menghasilkan sebuah keputusan ketika seorang
individu menghadapi sebuah dilema yang sulit (Gaffikin dan Lindawati,

16
2012, dalam Au and Wong, 2000)

BAB III
PENUTUP

Berpikir kritis merupakan penalaran mengenai keyakinan dan tindakan yang


masuk akal dan berfokus pada memutuskan apa yang dipercayai atau yang
dilakukan. berpikir kritis merupakan proses disiplin intelektual untuk secara
aktif dan terampil membuat konsep, menerapkan, menganalisis, mensintesis,
dan/atau mengevaluasi informasi Baik informasi yang dikumpulkan atau
dihasilkan lewat observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan
komunikasi, sebagai panduan untuk meyakini sesuatu dan melakukan
sebuah tindakan. Sederhananya, berpikir kritis adalah kemampuan berpikir
dengan rasional dan melihat permasalahan secara objektif sehingga hasil
yang akan diperoleh tidak bias dan sesuai dengan kenyataan yang ada

17

Anda mungkin juga menyukai