Anda di halaman 1dari 7

Nama : Oktaviana Ayu Andani

NIM : 205010100111123

No. Absen : 16

Kelas :H

UAS Hukum Perdata

1. a. Sumber lahirnya suatu perikatan:


1) Perjanjian/persetujuan mengenai asas perjanjian (pasal 1313 BW).
Perikatan yang timbul dari perjanjian adalah karena kehendak dari para
pihak.
2) Undang-Undang (pasal 1352-1380 BW). Pasal 1352 BW menyatakan,
“Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari
undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang”. Dengan demikian, perikatan yang lahir dari undang-undang
terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Melulu karena Undang-Undang; perikatan yang timbul dari undang-
undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III BW,
seperti pasal 104 BW mengenai kewajiban mendidik dan memelihara
anak, pasal 321 BW mengenai kewajiban anak untuk memberi nafkah
orang tuanya, dan pasal 625 mengenai hak dan kewajiban pemilik-
pemilik pekarangan yang berdampingan.
b) Harus ada perbuatan manusia; perikatan yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat perbuatan orang dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
i) Perbuatan yang halal menurut hukum:
 Zaakwaarneming/perwakilan sukarela (pasal 1354
BW); melaksanakan pekerjaan orang lain secara
sukarela tanpa adanya kuasa terlebih dahulu.
 Onverschuldigde beteling (pembayaran yang tidak
diwajibkan), pasal 1359 ayat (1) BW: “Tiap-tiap
pembayaran memeperkirakan adanya suatu utang; apa
yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat
dituntut kembali”.
 Natuurlijk verbintenis – apa yang sudah dibayar
sukarela tidak bisa dituntut kembali, pasal 1359 ayat
(2) BW: “Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang
secara sukarela telah terpenuhi, tak dapat dilakukan
penuntutan kembali”.
ii) Perbuatan melawan hukum – seseorang yang karena
salahnya merugikan orang lain diwajibkan untuk memberi ganti
rugi, pasal 1365 BW: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.

b. Bentuk-bentuk prestasi dan wanprestasi beserta contohnya.


1) Prestasi; pasal 1234: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
a) Prestasi dalam bentuk memberikan sesuatu – menyerahkan kekuasaan
nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur (pasal 1235 ayat (1)
BW). Sebagai contoh perjanjian timbal balik (masing-masing debitur dan
kreditur mempunyai hak dan kewajiban), seperti dalam jual beli, sewa
menyewa, utang piutang dan lain-lain.
b) Prestasi berbuat sesuatu – perjanjian untuk melakukan perbuatan
tertentu. Contohnya dalam perjanjuan perburuhan/kerja, perjanjian
pemborongan.
c) Prestasi tidak berbuat sesuatu – bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu,
debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan
karena pelanggaran itu dan karena itupun saja wajiblah ia akan
penggantian biaya, rugi, dan bunga (pasal 1242 BW). Contoh: perjanjian
tidak mendirikan bangunan, perjanjian tidak menggunakan merk dagang
tertentu, perjanjian tidak membuat perusahaan yang sama, dan
sebagainya.
2) Wanprestasi; prestasi buruk di mana tidak dilaksanakannya yang telah
diperjanjikan debitur. Tiga keadaan wanprestasi:
a) Tidak berprestasi – wanprestasi karena tidak melakukan kewajiban
sesuai perjanjian. Misal dalam perjanjian sewa menyewa sebuah
bangunan, penyewa diwajibkan untuk menyerahkan kembali bangunan
yang disewa kepada pemilik atau yang menyewakan tetapi penyewa tidak
melakukannya.
b) Salah berprestasi – wanprestasi karena keliru atau lalai memenuhi
kewajibannya atau melakukan prestasi tapi tidak sesuai dengan
perjanjian. Misal dalam perjanjian utang piutan seorang debitur diwajibkan
membayar utang kepada kreditur sebesar Rp10.000.000,00 tetapi yang
dibayarkan hanya Rp1.000.000,00.
c) Terlambat berprestasi – wanprestasi karena telat melakukan kewajiban
sesuai perjanjian. Misalnya, ketika debitur diwajibkan uuntuk membayar
sejumlah uang pada tanggal yang telah disepakati tetapi debitur
membayarkannya lewat dari tanggal tersebut.

2. Prestasi adalah segala hal yang dapat dilakukan debitur untuk memenuhi apa yang
telah diperjanjikan. Sementara wanprestasi adalah keadaan di mana debitur tidak
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Keadaan memaksa atau overmacht
terjadi ketika debitur tidak dapat memenuhi prestasi karena suatu peristiwa di luar
kesalahan debitur dan peristiwa tersebut tidak dapat diduga sebelumnya. Apabila
terjadi overmacht, debitur dibebaskan dari ganti rugi dan pemenuhan prestasi.
Hubungan antara prestasi, wanprestasi, overmacht, dan ganti rugi dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
A memiliki smartphone yang tidak digunakan sehingga A akan menjual
smartphone tersebut dengan harga 1 juta. B yang membutuhkan smartphone
baru akhirnya memutuskan untuk membeli smartphone A. Pembayaran
dilakukan melalui transfer bank dan smartphone akan dikirimkan oleh A
kepada B keesokan harinya. Namun, terjadi pencurian di rumah A sehingga
barang berharga A hilang dicuri termasuk smartphone yang telah dijualnya.

Dalam hal di atas, A merupakan kreditur yang berhak atas pembayaran smartphone
yang dijualnya. B adalah debitur yang berkewajiban memenuhi prestasi berupa
pembayaran smartphone sebesar Rp1.000.000. Setelah dilakukan pembayaran, A
berubah menjadi debitur dengan kewajiban menyerahkan smartphone-nya dan B
berubah menjadi kreditur yang berhak atas smartphone yang telah dibelinya. Namun,
karena smartphone tersebut hilang dicuri, A tidak dapat melakukan prestasinya
berupa penyerahan smartphone tersebut kepada B. Dengan tidak dapatnya A
melakukan prestasi, maka A dikatakan telah melakukan wanprestasi. Meskipun
demikian, B tidak dapat menuntut ganti rugi karena wanprestasi yang dilakukan A
memenuhi kriteria keadaan memaksa atau overmacht – sehingga membebaskan
adanya ganti rugi, yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi, hilangnya smartphone karena dicuri membuat A
tidak bisa menyerahkan smartphone-nya dan tak ada jalan lain untuk
memenuhi prestasi tersebut.
2) Ada sebab di luar kesalahan debitur, yakni pencurian di rumah A yang
menyebabkan hilangnya smartphone.
3) Penyebab tidak dapat diduga sebelumnya sehingga tak dapat dipertanggung
jawabkan kepada A sebagai debitur.

3. a. Dasar hukum syarat sah perjanjian terdapat dalam pasal 1320 BW sebagai berikut
1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
1) Mengenai kesepakatan, jika dalam tercapainya kata sepakat ternyata
ditemukan unsur kekhilafan, pemaksaan (psikis), penipuan, maka ada dua
pilihan. Pertama, selama tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian
tersebut mengikat dan berlaku seolah-olah tidak ada cacat. Kedua, daluarsa
untuk penuntutan/pengajuan pembatalan perjanjian adalah 5 tahun (pasal
1454 BW).
2) Mengenai kecakapan, semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian
kecuali oleh Undang-Undang tidak dinyatakan cakap menurut pasal 1330
BW, yaitu orang yang belum dewasa (di bawah kekuasaan orang tua atau
wali), orang di bawah pengampuan (pemabuk, pemboros, dan lain-lain), dan
orang perempuan (aturan sudah tidak berlaku).
3) Mengenai suatu hal tertentu atau objek tertentu dalam perjanjian – yang
termasuk objek perjanjian hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
(pasal 1332 BW) dan barang yang ada dikemudian hari kecuali atas warisan
yang belum terbuka (pasal 1334 BW).
4) Mengenai suatu sebab (causa) yang halal, suatu persetujuan tanpa sebab,
atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan (pasal 1335 BW). Suatu sebab dikatakan
terlarang jika sebab itu dilarang oleh Undang-Undang, bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.

Keempat syarat sah perjanjian yang diatur dalam pasal tersebut kemudian
dikategorikan ke dalam dua hal sebagai berikut.
1) Syarat subjektif – syarat ini meliputi syarat sepakat dan cakap. Syarat
subjektif menyangkut subjek hukum (para pihak pembuat perjanjian).
Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat subjektif: perjanjian tetap
mengikat tetapi perjanjian tersebut tidaklah sempurna sehingga
memungkinkan terjadinya upaya pembatalan perjanjian.
2) Syarat objektif – syarat ini meliputi objek (suatu hal tertentu) dan causa
(sebab). Akibat hukum jika syarat objektif tidak dipenuhi adalah seolah-
olah tidak ada perjanjian (berlaku surut bagi para pihak).

b. Mengukur ketercapaian masing-masing syarat sah perjanjian:


1) Kesepakatan tercapai ketika ada mutual intention atau kesesuaian maksud
dari para pihak dan adanya penerimaan dari apa yang ditawarkan.
2) Kecakapan dalam perjanjian adalah ketika para pihak yang melakukan
perjanjian bisa dimintai pertanggung jawaban atau bisa melakukan perbuatan
hukum.
3) Objek perjanjian membuat suatu perjanjian menjadi sah ketika objek tersebut
jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dari para pihak.
4) Kausa yang halal menjadikan suatu perjanjian menjadi sah ketika
kausa/sebab/tujuan perjanjian tersebut tidak melawan hukum.

4. Sebab berakhirnya perjanjian:


1) Karena pembayaran – artinya telah terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.
Dengan kata lain, debitur telah melaksanakan kewajibannya kepada kreditur
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Contohnya dalam perjanjian sewa
menyewa sebuah bangunan, penyewa berkewajiban menyerahkan kembali
bangunan yang disewa kepada pemilik. Ketika penyewa menyerahkan kembali
bangunan tersebut, berakhirlah perjanjian sewa menyewa tersebut.
2) Karena perjumpaan utang atau kompensasi – di mana kreditur dan debitur saling
berutang sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka
masing-masing. Misal Bima memiliki utang terhadap Sakti sebesar
Rp700.000,00. Sementara Sakti berutang kepada Bima sebesar Rp500.000,00.
Dengan demikian, telah terjadi perjumpaan demi hukum sehingga kewajiban
Bima untuk membayar utang terhadap Sakti menjadi sebesar Rp200.000,00.
3) Karena pembebasan utangnya – kreditur membebaskan kewajiban debitur
melaksanakan kewajiban dalam perjanjian. Hal ini dapat dilakukan secara
sepihak oleh kreditur atau atas persetujuan kreditur dan debitur secara tertulis
maupun lisan. Pembebasan utang mengakibatkan gugurnya kewajiban kreditur
dalam perjanjian sehingga perjanjian terhapus/berakhir. Misal H berpiutang
kepada I, J, dan K sebesar Rp1.500.000,00 secara tanggung renteng. H
kemudian menyatakan dengan sukarela membebaskan I atas utangnya terhadap
H. Hal tersebut berlaku juga terhadap J dan K kecuali A menyatakan sebaliknya.
4) Karena musnahnya barang – perjanjian terhapus ketika barang atau objek
perjanjian hilang atau musnah. Dikatakan suatu objek perjanjian itu musnah jika
musnahnya objek perjanjian itu (1) terjadi di luar perbuatan atau kesalahan
debitur, (2) terjadi sebelum levering, dan (3) barang tetap mesnah di tangan
kreidtur seandainya barang itu diserahkan. Contoh ilustrasi: Putri menyewa
rumah milik Intan untuk 3 tahun. Pada tahun kedua, di rumah tersebut terjadi
kebakaran yang menyebabkan rumah tersebut hancur hingga menjadi abu.
Dengan musnahnya objek perjanjian (rumah), berakhirlah perjanjian sewa
menyewa antara Intan dan Putri meskipun jangka waktu sewanya belum
berakhir.
5) Karena percampuran utang – keadaan bersatunya kedudukan kreditur dan
debitur pada satu orang. Misal seorang bapak meminjamkan sejumlah uang
kepada anaknya. Ketika bapak tersebut meninggal dunia, anak sebagai ahli
warisnya mengganti kedudukan bapaknya sebagai kreditur termasuk utang
piutang dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, perjanjian utang piutang antara
bapak dan anak tersebut telah berakhir menurut hukum.

5. a. Exceptio non adimpleti contractus adalah salah satu tangkisan debitur atas
tuntutan wanprestasi. Hal ini dikemukakan debitur dalam hal tuntutan kreditur
mengenai pembatalan perjanjian ditambah dengan ganti rugi, biaya, dan bunga
berdasarkan wanprestasi debitur di muka pengadilan. Debitur melakukan
wanprestasi karena pihak lawan sendiri belum melakukan prestasinya. Contoh dalam
jual beli, exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan debitur (di muka
pengadilan) bahwa kreditur sendiri tidak melaksanakan kewajibannya dalam jual beli
secara tunai. Penjual tidak wajib menyerahkan barangnya kepada pembeli jika
pembeli tidak membayar harganya. Exceptio non adimpleti contractus terdapat
dalam pasal 1478 BW.

b. Asas Pacta Sunt Servanda: asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang.
c. Asas Kebebasan Berkontrak: asas ini ada pada pasal 1338 ayat (1) BW yang
berbunyi: “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, siapapun boleh melakukan perjanjian
dalam bentuk, syarat, dan isi apapun meski tidak diatur dalam undang-undang asal
syarat sahnya perjanjian dipenuhi.

d. Perjanjian Tanggung Renteng: perjanjian di mana beberapa orang kreditur


berhadapan dengan seorang debitur atau beberapa orang debitur berhadapan
dengan seorang kreditur. Dasar hukumnya ada pada pasal 1278 BW. Kata tanggung
renteng harus disebutkan secara tegas dalam perjanjian (pasal 1282 BW) agar
perikatannya disebut perikatan tanggung renteng. Perjanjian tanggung renteng
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Tanggung Renteng Aktif: beberapa orang kreditur vs 1 debitur. Masing-
masing kreditur berhak menagih utang kepada debitur sehingga ketika
debitur sudah membayar utang maka ia dibebaskan dari kewajiban
pembayaran kepada kreditur lain.
2) Tanggung Renteng Pasif: 1 kreditur vs beberapa debitur. Kreditur dapat
menuntut pembayaran utang kepada setiap debitur. Jika salah seorang
debitur sudah membayar, maka debitur lainnya dibebaskan dari kewajiban
pembayaran.

Anda mungkin juga menyukai