NIM : 205010100111123
No. Absen : 16
Kelas :H
2. Prestasi adalah segala hal yang dapat dilakukan debitur untuk memenuhi apa yang
telah diperjanjikan. Sementara wanprestasi adalah keadaan di mana debitur tidak
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Keadaan memaksa atau overmacht
terjadi ketika debitur tidak dapat memenuhi prestasi karena suatu peristiwa di luar
kesalahan debitur dan peristiwa tersebut tidak dapat diduga sebelumnya. Apabila
terjadi overmacht, debitur dibebaskan dari ganti rugi dan pemenuhan prestasi.
Hubungan antara prestasi, wanprestasi, overmacht, dan ganti rugi dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
A memiliki smartphone yang tidak digunakan sehingga A akan menjual
smartphone tersebut dengan harga 1 juta. B yang membutuhkan smartphone
baru akhirnya memutuskan untuk membeli smartphone A. Pembayaran
dilakukan melalui transfer bank dan smartphone akan dikirimkan oleh A
kepada B keesokan harinya. Namun, terjadi pencurian di rumah A sehingga
barang berharga A hilang dicuri termasuk smartphone yang telah dijualnya.
Dalam hal di atas, A merupakan kreditur yang berhak atas pembayaran smartphone
yang dijualnya. B adalah debitur yang berkewajiban memenuhi prestasi berupa
pembayaran smartphone sebesar Rp1.000.000. Setelah dilakukan pembayaran, A
berubah menjadi debitur dengan kewajiban menyerahkan smartphone-nya dan B
berubah menjadi kreditur yang berhak atas smartphone yang telah dibelinya. Namun,
karena smartphone tersebut hilang dicuri, A tidak dapat melakukan prestasinya
berupa penyerahan smartphone tersebut kepada B. Dengan tidak dapatnya A
melakukan prestasi, maka A dikatakan telah melakukan wanprestasi. Meskipun
demikian, B tidak dapat menuntut ganti rugi karena wanprestasi yang dilakukan A
memenuhi kriteria keadaan memaksa atau overmacht – sehingga membebaskan
adanya ganti rugi, yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi, hilangnya smartphone karena dicuri membuat A
tidak bisa menyerahkan smartphone-nya dan tak ada jalan lain untuk
memenuhi prestasi tersebut.
2) Ada sebab di luar kesalahan debitur, yakni pencurian di rumah A yang
menyebabkan hilangnya smartphone.
3) Penyebab tidak dapat diduga sebelumnya sehingga tak dapat dipertanggung
jawabkan kepada A sebagai debitur.
3. a. Dasar hukum syarat sah perjanjian terdapat dalam pasal 1320 BW sebagai berikut
1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
1) Mengenai kesepakatan, jika dalam tercapainya kata sepakat ternyata
ditemukan unsur kekhilafan, pemaksaan (psikis), penipuan, maka ada dua
pilihan. Pertama, selama tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian
tersebut mengikat dan berlaku seolah-olah tidak ada cacat. Kedua, daluarsa
untuk penuntutan/pengajuan pembatalan perjanjian adalah 5 tahun (pasal
1454 BW).
2) Mengenai kecakapan, semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian
kecuali oleh Undang-Undang tidak dinyatakan cakap menurut pasal 1330
BW, yaitu orang yang belum dewasa (di bawah kekuasaan orang tua atau
wali), orang di bawah pengampuan (pemabuk, pemboros, dan lain-lain), dan
orang perempuan (aturan sudah tidak berlaku).
3) Mengenai suatu hal tertentu atau objek tertentu dalam perjanjian – yang
termasuk objek perjanjian hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
(pasal 1332 BW) dan barang yang ada dikemudian hari kecuali atas warisan
yang belum terbuka (pasal 1334 BW).
4) Mengenai suatu sebab (causa) yang halal, suatu persetujuan tanpa sebab,
atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan (pasal 1335 BW). Suatu sebab dikatakan
terlarang jika sebab itu dilarang oleh Undang-Undang, bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Keempat syarat sah perjanjian yang diatur dalam pasal tersebut kemudian
dikategorikan ke dalam dua hal sebagai berikut.
1) Syarat subjektif – syarat ini meliputi syarat sepakat dan cakap. Syarat
subjektif menyangkut subjek hukum (para pihak pembuat perjanjian).
Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat subjektif: perjanjian tetap
mengikat tetapi perjanjian tersebut tidaklah sempurna sehingga
memungkinkan terjadinya upaya pembatalan perjanjian.
2) Syarat objektif – syarat ini meliputi objek (suatu hal tertentu) dan causa
(sebab). Akibat hukum jika syarat objektif tidak dipenuhi adalah seolah-
olah tidak ada perjanjian (berlaku surut bagi para pihak).
5. a. Exceptio non adimpleti contractus adalah salah satu tangkisan debitur atas
tuntutan wanprestasi. Hal ini dikemukakan debitur dalam hal tuntutan kreditur
mengenai pembatalan perjanjian ditambah dengan ganti rugi, biaya, dan bunga
berdasarkan wanprestasi debitur di muka pengadilan. Debitur melakukan
wanprestasi karena pihak lawan sendiri belum melakukan prestasinya. Contoh dalam
jual beli, exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan debitur (di muka
pengadilan) bahwa kreditur sendiri tidak melaksanakan kewajibannya dalam jual beli
secara tunai. Penjual tidak wajib menyerahkan barangnya kepada pembeli jika
pembeli tidak membayar harganya. Exceptio non adimpleti contractus terdapat
dalam pasal 1478 BW.
b. Asas Pacta Sunt Servanda: asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang.
c. Asas Kebebasan Berkontrak: asas ini ada pada pasal 1338 ayat (1) BW yang
berbunyi: “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, siapapun boleh melakukan perjanjian
dalam bentuk, syarat, dan isi apapun meski tidak diatur dalam undang-undang asal
syarat sahnya perjanjian dipenuhi.