Anda di halaman 1dari 56

PEDOMAN PELAYANAN ICU

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


PIDIE JAYA

TAHUN 2022
1

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………….……………………………………………….……… 2
a. Latar Belakang………….…….…………………………………………… 2
b. Tujuan…………………….………………………………………………… 2
c. Ruang Lingkup……………….…….……………………………………… 3
d. Landasan Hukum……………………….………………………………… 3

BAB II PELAYANAN INTENSIVE CARE UNIT………………………………………... 4


a. Praktik Kedokteran Intensive Care……………………………………... 4
b. Pelayanan Intensive Care……………………………………………….. 4
c. Standar Minimum Pelayanan Intensive Care Unit…………..………... 5
d. Klasifikasi atau Stratifikasi Pelayanan Intensive Care Unit………….. 5
e. Pemberian Informasi Kepada Pasien / Keluarga……………………... 6
f. Kebutuhan Pelayanan kesehatan Pasien……………………………… 7
g. Indikasi yang Benar Memasukkan Pasien ke ICU……….…………… 7
h. Asas Prioritas………………………………………………...…………… 7
i. Kriteria Pasien Masuk Berdasarkan Diagnosis…………..…………… 7
j. Kriteria Pasien Masuk Berdasarkan Parameter Obyektif…….……… 9
k. Kriteria Prioritas Pasien Masuk……………….………………………… 11
l. Kriteria Prioritas Pasien Keluar……………….………………………… 12
m. Kriteria Pasien yang Tidak Memerlukan Perawatan di ICU…….…… 13

BAB III STANDAR KETENAGAAN……………………………………………………… 14


a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia……………………………………… 14
b. Distribusi Ketenagaan……………………………………………………. 14

BAB IV STANDAR FASILITAS…………………………………………………………… 16


a. Denah Ruang……………………………………………………………... 16
b. Standar Fasilitas………………………………………………………….. 16

BAB V TATA LAKSANA PELAYANAN…….……………………………………………. 20


a. Alur Pelayanan……………………………..……………………………... 20
b. Informed Consent…………………………………………………………. 20
c. Aturan Kerjasama Multidisipliner………….……………….……………. 21
d. Sistem Rujukan…………………………………..……………………….. 22

BAB VI KESELAMATAN PASIEN……………………..…………………………………. 24


a. Pengertian………………………………….……………………………… 24
b. Tujuan……………………………………………………………………… 24
c. Tata laksana keselamatan pasien……………….……………………… 24

BAB VII KESELAMATAN KERJA……………………………………………………….… 26

BAB VIII PENGENDALIAN MUTU…………………………………………………………. 53

BAB IX PENUTUP………………………………………………………………………….. 55
2

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari Rumah Sakit yang mandiri
(instalasi di bawah direktur pelayanan) dengan staf yang khusus dan perlengkapan
yang khusus dengan tujuan untuk terapi pasien - pasien yang menderita penyakit,
cedera atau penyulit - penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa dengan prognosis dubia.

Pelayanan ICU, saat ini, tidak terbatas hanya untuk menangani pasien pasca-
bedah saja tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa, anak, yang mengalami
lebih dari satu disfungsi/gagal organ. Kelompok pasien ini dapat berasal dari Unit
Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang Perawatan, ataupun kiriman dari Rumah Sakit
lain.2 Ilmu yang diaplikasikan dalam pelayanan ICU, pada dekade terakhir ini telah
berkembang sedemikian rupa sehingga telah menjadi cabang ilmu kedokteran
tersendiri yaitu “Intensive Care Medicine”. Meskipun pada umumnya ICU hanya terdiri
dari beberapa tempat tidur, tetapi sumber daya tenaga (dokter dan perawat terlatih)
yang dibutuhkan sangat spesifik dan jumlahnya pada saat ini di Indonesia sangat
terbatas.

b. Tujuan

Intesive Care mempunyai 2 fungsi utama: yang pertama adalah untuk melakukan
perawatan pada pasien - pasien hawat darurat dengan potensi “reversible life
threatening organ dysfunction”, yang kedua adalah untuk mendukung organ vital pada
pasien - pasien yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur
intervensi dan resiko tinggi untuk fungsi vital.
3

Beberapa komponen ICU yang spesifik yaitu :


1. Pasien yang dirawat dalam keadaan kritis
2. Desain ruangan dan sarana yang khusus
3. Peralatan berteknologi tinggi dan mahal
4. Pelayanan dilakukan oleh staf yang professional dan berpengalaman dan mampu
mempergunakan peralatan yang canggih dan mahal.
c. Ruang Lingkup
1. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit - penyakit akut yang mengancam
nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa
hari
2. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
penatalaksanaan spesifik problema dasar
3. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenik
4. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung
pada alat/mesin dan orang lain.
5. Standar klasifikasi Pelayanan ICU di Rumah SakitUmum Daerah Pidie Jaya
adalah ICU Sekunder Rumah Sakit Tipe B.
d. Landasan Hukum
Dalam pelayanan ICU di Rumah Sakit Umum Daerah pidie jaya memiliki landasan
hukum sebagai berikut :

1. UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan


2. UU no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
3. UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
4. UU no. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi
5. UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
6. UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
7. PP no. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
8. Keputusan Menteri Kesehatan no.1778 tahun 2010 tentang Pedoman
Penyelenggaran Pelayanan ICU di Rumah Sakit
9. Peraturan Menteri Kesehatan no.269 tahun 2010 tentang Rekam Medis
10. Peraturan Menteri Kesehatan no.290 tahun 2010 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
4

BAB II

PELAYANAN INTENSIVE CARE UNIT

a. Praktik Kedokteran Intesive Care

Pelaksanaan pelayanan kedokteran intensive care adalah berbasis rumah sakit,


diperuntukkan dan ditentukan oleh kebutuhan pasien yang sakit kritis.
Tujuan dari pelayanan intensive care adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan
berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan pasien sakit kritis, meliputi :
1. Pasien - pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat,
perawat napas yang terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga memerlukan perhatian
yang teliti, aagr dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan titrasi terapi.
2. Pasien - pasien yang dalam keadaan bahaya mengalami dekompensasi fisiologis dank
arena itu memerlukan pemantauan yang terus menerus dan kemampuan tim intensive
care untuk melakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang
merugikan.

b. Pelayanan Intensive Care

Pelayanan ICU harus dilakukan oleh intensivist, yang terlatih secara formal dan
mampu memerikan pelayanan tersebut, dan yang terbebas dari tugas - tugas lain yang
membebani, seperti kamar operasi, praktik atau tugas - tugas kantor. Intensivist yang
bekerja harus berpartisipasi dalam suatu system yang menjamin kelangsungan
pelayanan intensive care 24 jam. Hubungan pelayanan ICU yang terorganisir dengan
bagian - bagian pelayanan lain di rumah sakit harus ada dalam organisasi rumah sakit.

Bidang kerja pelayanan intensive care meliputi: pengelolaan pasien, administrasi unit,
pendidikan, dan penelitian. Kebutuhan dari masing - masing bidang akan bergantung dari
tingkat pelayanan tiap unit.

1. Pengelolaan pasien langsung


5

Pengelolaan pasien langsung dilakukan secara primer oleh intesivist dengan


melaksanakan pendekatan pengelolaan total pada pasien sakit kritis, menjadi ketua tim
dari berbagai pendapat konsultan atau dokter yang ikut merawat pasien. Cara kerja
demikian mencegah pengelolaan yang terkotak - kotak dan menghasilkan pendekatan
yang terkoordinasi pada pasien serta keluarganya.

2. Administrasi unit

Pelayanan ICU dimaksud untuk memastikan suatu lingkungan yang menjamin


pelayanan yang aman, tepat waktu dan efektif. Untuk tercapainya tugas ini diperlukan
partisipasi dari intensivist pada aktivitas manajemen.

c. Standar Minimum Pelayanan Intensive Care Unit

Tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan
ini ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan penunjang, jumlah, dan macam pasien
yang dirawat. Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut :

1. Resusitasi jantung paru


2. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan
penggunaan ventilator sederhana
3. Terapi oksigen
4. Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus
5. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
6. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan dengan cepat dan
menyeluruh
7. Pelaksanaan terapi secara titrasi
8. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi
pasien
9. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat - alat portabel
selama transportasi pasien gawat
10. Kemampuan melakukan fisioterapi dada
6

d. Klasifikasi atau Stratifikasi Pelayanan Intensive Care Unit


Pelayanan ICU diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1. Pelayanan ICU primer (standar minimal)
2. Pelayanan ICU sekunder
3. Pelayanan ICU tertinggi (tertier)

Tabel 1. Klasifikasi atau Stratifikasi Kemampuan Pelayanan


Intensive Care Unit

No Primer Sekunder Tersier

1 Resusitasi Jantung Paru Resusitasi Jantung Paru Resusitasi Jantung Paru


Pengelolaan jalan napas, Pengelolaan jalan napas, Pengelolaan jalan
termasuk intubasi termasuk intubasi napas, termasuk
2
intratrakeal dan ventilasi intratrakeal dan ventilasi intubasi intratrakeal dan
mekanik mekanik ventilasi mekanik
3 Terapi oksigen Terapi oksigen Terapi oksigen
Pemasangan kateter vena Pemasangan kateter vena Pemasangan kateter
4 sentral dan arteri vena sentral, arteri,
sentral
Swan Ganz dan ICP
monitor
Pemantauan EKG, Pemantauan EKG, Pemantauan EKG,
pulsoksimetri dan tekanan pulsoksimetri, tekanan pulsoksimetri, tekanan
5 darah non invasive darah non invasive dan darah non invasive dan
invasive invasive, Swan Ganz
dan ICP monitor serta
ECHO monitor
6 Pelaksaan terapi secara Pelaksaan terapi secara Pelaksaan terapi secara
titrasi titrasi titrasi
7 Pemberian nutrisi enteral Pemberian nutrisi enteral Pemberian nutrisi
dan parenteral dan parenteral enteral dan parenteral
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan
8 khusus secara cepat dan khusus secara cepat dan laboratorium khusus
menyeluruh menyeluruh secara cepat dan
menyeluruh
Fungsi vital dengan alat Memberikan tunjangan Memberikan tunjangan
9 alat portable selama fungsi vital dengan alat fungsi vital dengan alat
transportasi gawat pasien alat portable selama alat portable selama
transportasi gawat pasien transportasi gawat

e. Pemberian Informasi Kepada Pasien / Keluarga


7

Sebelum pasien dimasukkan ke ICU, pasien dan/atau keluarganya harus


mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa
pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan kedokteran yang mungkin
akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut diberikan oleh DPJP
(Dokter Penanggung Jawab Pasien) atau asisten DPJP yang bertugas. Atas penjelasan
tersebut pasien dan/atau keluarganya dapat menerima atau menolak untuk dirawat di
ICU. Persetujuan atau penolakan dinyatakan dengan menandatangani formulit informed
consent.

f. Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Pasien

Kebutuhan pelayanan pasien ICU adalah tindakan resusitasi jangka panjang yang
meliputi dukungan hidup untuk fungsi - fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan
fungsi organ lain, disertai dengan diagnosis dan terapi definitive. 8

g. Indikasi yang Benar Memasukkan Pasien ke Intensive Care Unit

Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih
diharapkan reversible (pulih kembali seperti semula) mengingat ICU adalah tempat
perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga (yang
khusus). Indikasi pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive care
2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara terkoordinasi
dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan terus menerus
dan metode terapi titrasi
3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk
mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis

h. Asas Prioritas

Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasiennya bias dirawat di ICU asalkan
sesuai dengan indikasi masuk yang benar. Mengingat keterbatasan ketersediaan
fasilitasi di ICU, maka berlaku asas prioritas dan keputusan akhir merupakan
kewenangan penuh kepala ICU.

i. Kriteria Pasien Masuk Berdasarkan Diagnosis

Kriteria pasien masuk berdasarkan diagnosis menggunakan kondisi atau penyakit


yang spesifik untuk menentukan kelayakan masuk ICU.

1. Sistem Kardiovaskuler
Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang mengindikasikan pasien
untuk masuk ICU adalah sebagai berikut :

a) Infark miokard akut dengan komplikasi


b) Syok kardiogenik
c) Aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring jetat dan intervensi
d) Gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau membutuhkan
support hemodinamik
e) Hipertensi emergensi
8

f) Angina tidak stabil, terutama dengan disritmia, hemodinamik tidak stabil,


atau nyeri dada menetap
g) S/P cardiac arrest
h) Tamponade jantung atau konstriksi dengan hemodinamik tidak stabil
i) Diseksi aneurisma aorta
j) Blokade jantung komplit

2. Sistem Pernafasan

Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem kardiovaskuler yang mengindikasikan pasien
untuk masuk ICU adalah sebagai berikut :

a) Gagal napas akut yang membutuhkan bantuan ventilator


b) Emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil
c) Pasien dalam perawatan Intermediate Care Unit yang mengalami perburukan
fungsi pernapasan
d) Membutuhkan perawat/perawatan pernapasan yang tidak tersedia di unit
perawatan yang lebih rendah tingkatnya misalnya Intermediate Care Unit
e) Hemoptisis massif
f) Gagal napas dengan ancaman intubasi

3. Penyakit Neurologis

Kondisi atau penyakit neurologis yang mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah
sebagai berikut :

a) Stroke akut dengan penurunan kesadaran


b) Koma: metabolik, toksis, atau anoksia
c) Perdarahan intracranial dengan potensi herniasi
d) Perdarahan subarachnoid akut
e) Meningitis dengan penurunan kesadaran atau gangguan pernapasan
f) Penyakit system saraf pusat atau neuromuskuler dengan penurunan fungsi
neurologis atau pernapasan (misalnya: Myastenia Gravis, Syndroma
Guillaine-Barre)
g) Status epileptikus
h) Mati batang otak atau berpotensi mati batang otak yang direncanakan untuk
dirawat secara agresif untuk keperluan donor organ
i) Vasospasme
j) Cedera kepala berat

4. Overdosis obat atau keracunan obat

Kondisi atau penyakit spesifik akibat overdosis obat atau keracunan obat yang
mengindikasikan pasien untuk masuk ICU adalah sebagai berikut :

a) Keracunan obat dengan hemodinamik tidak stabil


b) Keracunan obat dengan penurunan kesadaran signifikan dengan ketidakmampuan
proteksi jalan napas
c) Kejang setelah keracunan obat

5. Penyakit Gastrointestinal
9

Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem gastrointestinal yang mengindikasikan pasien
untuk masuk ICU adalah sebagai berikut :

a) Perdarahan gastrointestinal yang mengancam nyawa termasuk hipotensi, angina,


perdarahan yang masih berlangsung, atau dengan penyakit komorbid
b) Gagal hati fulminant
c) Pankreatitis berat
d) Perforasi esophagus dengan atau tanpa mediastinitis

6. Endokrin

Kondisi atau penyakit spesifik dari sistem endokrin yang mengindikasikan pasien
untuk masuk ICU adalah sebagai berikut :

a) Ketoasidosis diabetikum dengan komplikasi hemodinamik tidak stabil,


penurunan kesadaran, pernapasan tidak adekuat atau asidosis berat
b) Badai tiroid atau koma miksedema dengan hemodinamik tidak stabil
c) Kondisi hiperosmolar dengan koma dan/atau hemodinamik tidak stabil
d) Penyakit endokrin lain seperti krisis adrenal dengan hemodinamik tidak
stabil
e) Hiperkalsemia berat dengan penurunan kesadaran, membutuhkan
monitoring hemodinamik
f) Hipo atau hypernatremia dengan kejang, penurunan kesadaran
g) Hipo atau hipermagnesemia dengan hemodinamik terganggu atau disritmia
h) Hipo atau hyperkalemia dengan disritmia atau kelemahan otot
i) Hipofosfatemia dengan kelemahan otot

7. Bedah

Kondisi khusus yang mengindikasikan pasien bedah untuk masuk ICU adalah
pasien pasca operasi yang membutuhkan monitoring hemodinamik/bantuan ventilator
atau perawatan yang ekstensif

8. Lain-lain

a) Syok sepsis dengan hemodinamik tidak stabil


b) Monitoring ketat hemodinamik
c) Trauma factor lingkungan (petir, tenggelam, hipo / hypernatremia)
d) Terapi baru / dalam percobaan dengan potensi terjadi komplikasi
e) Kondisi klinis lain yang memerlukan perawatan setingkat ICU

j. Kriteria Pasien Masuk Berdasarkan Parameter Objektif

1. Tanda vital

Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk ICU adalah pasien
dengan tanda vital sebagai berikut :

a) Nadi <40 atau >140 kali/menit


b) Tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg di bawah tekanan
darah pasien sehari-hari
10

c) Mean arterial pressure <60 mmHg


d) Tekanan darah diastolic arteri >120 mmHg
e) Frekuensi napas >35 kali/menit

2. Nilai laboratorium

Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk ICU adalah pasien
dengan nilai laboratorium sebagai berikut :

a) Natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L


b) Kalium serum <2,0 mEq/L atau >7,0 mEq/L
c) PaO2 <50 mmHg
d) pH <7,1 atau >7,7
e) Glukosa serum >800 mg/dl
f) Kalsium serum >15 mg/dl
g) Kadar toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan hemodinamik
dan neurologis

3. Radiografi/Ultrasonografi/Tomografi

Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk ICU adalah pasien
dengan gambaran radiografi / tomografi sebagai berikut :

a) Perdarahan vascular otak, kontusio atau perdarahan subarachnoid dengan


penurunan kesadaran atau tanda deficit neurologis fokla
b) Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar, varises esophagus atau uterus
dengan hemodinamik tidak stabil
c) Diseksi aneurisma aorta

4. Elektrokardiogram

Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk ICU adalah pasien dengan
gambaran elektrokardiogram sebagai berikut :

a) Infark miokard dengan aritmia kompleks, hemodinamik tidak stabil atau


gagal jantung kongestif
b) Ventrikel takikardi menetap atau fibrilasi
c) Blokade jantung komplit dengan hemodinamik tidak stabil

5. Pemeriksaan fisik (onset akut)

Dilihat dari parameter objektif, pasien yang layak untuk masuk ICU adalah pasien dengan
hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut :

a) Pupil anisokor pada pasien tidak sadar


b) Luka bakar >10% BSA
c) Anuria
d) Obstruksi jalan napas
e) Koma
f) Kejang berlanjut
11

g) Sianosis
h) Tamponade jantung

k. Kriteria Prioritas Pasien Masuk

Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan
kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk
membuat prioritas. Kepala ICU bertanggungjawab atas kesesuaian indikasi perawatan
pasien ICU. Bila kebutuhan pasien masuk di ICU melebihi tempat tidur yang tersedia,
Kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan
dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijkana ini harus dijelaskan secara rinci
untuk tiap ICU.
Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih
didahulukan disbanding dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif
(prioritas 3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya digunakan
sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan prioritas masuk ke ICU.

1. Pasien prioritas 1

Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan / bantuan ventilasi, alat
penunjang fungsi organ / system yang lain, infus obat - obat vasoaktif / inotropic, obat anti
aritmia, serta pengobatan lain – lainnya secara kontinyu dan tertitrasi. Pasien yang
termasuk prioritas 1 adalah pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa.
Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain seperti derajat
hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada kriteria pasien
prioritas 1 demikian, umumnya tidak mempunyai batas.

2. Pasien prioritas 2

Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab sangat beresiko bila
tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan
pulmonary arterial catheter. Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang
menderita penyakit dasar jantung – paru, gagal ginjal akut dan berat, dan pasien yang
telah mengalami pembedahan mayor.
Pasien yang termasuk prioritas 2, terapinya tidak mempunyai batas, karena kondisi
mediknya senantiasa berubah.

3. Pasien prioritas 3

Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya, atau
penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau
manfaat terapi di ICU pada kriteria ini sangat kecil, sebagai contoh adalah pasien dengan
keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan
napas, dan pasien penyakit jantung dan penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat.
12

Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan
usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.

4. Pasien prioritas 4

`Pasien dalam prioritas ini bukan merupakan indikasi masuk ICU. Pasien yang
termasuk kriteria ini adalah pasien dengan keadaan yang “terlalu baik” ataupun “terlalu
buruk” untuk masuk ICU.
Kriteria pasien keluar dari ICU mempun

l. Kriteria Priorias Pasien Keluar

Mempunyai 3 prioritas yaitu :

1. Pasien prioritas 1

Pasien dipindahkan apabila pasien tersebut tidak membutuhkan lagi perawatan


intensif, atau jika terapi mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk, sedikit
kemungkinan bila perawatan intensif diteruskan, sebagai contoh : pasien dengan tiga
taua lebih gagal system organ yang tidak berespon terhadapt pengelolaan agresif.

2. Pasien prioritas 2

Pasien dipindahkan apabila hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa


perawatan intensif tidak dibutuhkan dan pemantauan intensif selanjutnya tidak diperlukan
lagi.

3. Pasien prioritas 3

Pasien prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak
ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya
atau manfaat dari terapi intensif kontinyu diketahui kemungkinan untuk pulih kembali
sangat kecil, keuntungan dari terapi intensif selanjutnya sangat sedikit. Pasien yang
tergolong dalam prioritas ini adalah pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru kronis,
penyakit jantung atau hepar terminal, karsinoma yang telah menyebar luas dan lain -
lainnya) yang tidak berespon terhadap terapi ICU untuk penyakit akut lainnya.

Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala
ICU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain :

1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerlukan terapi atau pemantauan yang intesif lebih lanjut
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau oemantauan intensif tidak bermanfaat
atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien tidak
menggunakan alat bantu mekanis khusus (seperti ventilasi mekanis).

Kriteria pasien yang demikian, antara lain pasien yang menderita penyakit stadium
akhir (misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga
pasien diberikan penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU.
13

1. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa)
2. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada pasien lain
yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi yang lebih intensif. Pasien
seperti ini hendaknya diusahakan pindah ke ruang yang khusus untuk pemantauan
secara intensif yaitu HCU.

m. Kriteria Pasien yang Tidak Memerlukan Perawatan di ICU

1. Prioritas 1

Pasien dipindahkan apabila pasien tersebut tidak membutuhkan lagi perawatan


intensif, atau jika terapi mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk, sedikit
kemungkinan untuk pulih kembali, dan sedikit keuntungan bila perawatan intensif
diteruskan.

2. Prioritas 2

Pasien dipindahkan apabila hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa


perawatan intensif tidak dibutuhkan, pemantauan intensif selanjutnya tidak diperlukan
lagi.

3. Prioritas 3

Pasien dipindahkan apabila perawatan intensif tidak dibutuhkan lagi, diketahui


kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi intensif selanjutnya
sangat sedikit.
14

BAB III

STANDAR KETENAGAAN

a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


KUALIFIKASI
NAMA KEBUTU
NO PENGALAMAN
JABATAN PENDIDIKAN SERTIFIKASI HAN
KERJA
Intensivist / dr
spesialis anestesi/dr KIC(Konsultan
1. Kepala ICU
spesialis jantung dan Intensive Care)
Minimal 1 tahun 1
pembuluh darah
ALS/ACLS/FCCS
Dr.spesialis/dokter (Fundamental
2. Staf Medis
jaga 24 jam(standby) Critical Care
Minimal 1 tahun 1
Support)
Pelatihan Kardiologi
Dasar da ICU min 3
bulan(min 50% dari
D3/S1 keperawatan
jumlah seluruh Perbandinga
sdh pelatihan Minimal kerja 1
3. Perawat
Kardiologi Dasar dan
perawat merupakan
tahun
n perawat :
perawat terlatih dan pasien = 1:2
ICU
bersertifikat
Kardiologi Dasar dan
ICU)
Tenaga administasi
yang mampu
operasikan
Tenaga Non Minimal kerja 1 Sesuai
4. Kesehatan
Min SMA/sederajat komputer/Tenaga tahun kebutuhan
pekarya/Tenaga
kebersihan

b. Distribusi Ketenagaan

1. Dokter Intensivist/dr spesialis jantung dan pembuluh darah

Harus memenuhi Standar Kompetensi sebagai berikut:


 Terdidik dan bersertifikat KIC(Konsultan Intensive Care)
 Menunjang kualitas pelayanan ICU dan menggunakan sumber daya secara
efisien
 Mendarmabaktikan lebih dari 50% waktu profesinya dalam pelayanan ICU
 Bersedia berpartisipasi dalam satu unit yang memberikan pelayanan 24
jam/7 hari/seminggu
15

 Mampu melakukan prosedur Critical Care yaitu:


a) Sampel darah arteri
b) Mempertahankan jalan napas: intubasi trakheal, trakheostomi,ventilasi
mekanis
c) Resusitasi Jantung Paru
d) Pipa Thorakostomi
 Mampu melakukan dua peran utama:
a) Pengelolaan pasien:
Berperan sebagai pemimpin tim,menggabungkan dan melakukan
layanan pada pasien berpenyakit kompleks atau cedera termasuk
gagal sistem multi organ

b) Manajemen Unit
Berpartisipasi aktif dalam aktivitas:
ii. Triage,alokasi tempat tidur dan rencana pengeluaran pasien
iii. Supervisi terhadap pelaksanaan kebijakan kebijakan unit
iv. Perbaikan kualitas yang berkelanjutan

2. Dokter
 Dokter spesialis yang dapat memberikan pelayanan setiap
diperlukan
 Dokter jaga 24 jam dengan kemampuan ALS/ACLS/FCCS
 Perbandingan dokter : pasien = 4 : 6-8 bed

3. Perawat
Ruang ICU harus memiliki jumlah yang cukup dan lebih dari 50% harus
sudah pelatihan ICU minimal 3 bulan. Jumlah perawat ICU ditentukan
berdasarkan jumlah tempat tidur dan ketersediaan ventilasi mekanik.
Perbandingan perawat : pasien yang menggunakan ventilasi mekanik
adalah 1:1, sedangkan perbandingan perawat : pasien yang tidak
menggunakan ventilasi mekanik adalah 1:2.
16

BAB IV

STANDAR FASILITAS

a. Denah Ruang
b. Standar Fasilitas
Instalasi ICU merupakan instalasi untuk perawatan pasien gangguan
jantung dan pembuluh darah dengan keadaan belum stabil sehingga memerlukan
pemantauan ketat secara intensif dan indakan segera.Instalasi ICU merupakan
unit pelayanan khusus penyakit jantung dan pembuluh darah yang menyediakan
pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan selama 24 jam.

Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan


Fasilitas

No Nama Fungsi Besaran Kebutuhan Fasilitas


. Ruangan Ruang/Luas
an
1. Loker/ Tempat ganti pakaian Sesuai Loker
Ruang dan meletakkan sepatu kebutuhan
Ganti untuk
petugas,disediakan
juga untuk pengunjung
2. Ruang Ruang istirahat perawat Sesuai Sofa,lemari, meja,kursi
Perawat kebutuhan
3. Ruang Ruang kerja dan Sesuai Sofa,lemari, meja,kursi
Kepala istirahat kepala perawat kebutuhan
Perawat
4. R. Dokter Ruang dokter terdiri Sesuai Sofa,lemari,
dari 2 bagian: ruang kebutuhan meja,kursi,wastafel,toilet
kerja dan ruang
istirahat
17

5. Daerah
Rawat
Pasien
ICU: Ruang tempat tidur Min 16m2, Ventilator,troley
berfungsi utk merawat belum emergensi(laringoskop,
pasien lebih dari 24 jam termasuk ETT, sungkup,OPA,
dg pemantauan terus ruang antara spuit,selang
menerus. suction,obat2an
Kamar yang emergensi), syringe
memerlukan pump,infus pump, tensi
kekhususan teknis sbg meter,EKG,Kapnografi,te
ruang ICU dg memiliki rmperatur,kateter vena
pembatas fisik per sentra, monitor,bed
pasien, dinding serta khusus
bukaan pintu dan ICU,defibrilator,O2
jendela denga ruang sentral, suction central,
ICU lainnya dan harus mesin HD,alat drainase
memiliki ruang thorax,mobile X-
antara,karena suasana ray,echocardiografi
di dalam ruangan harus
tenang

6. Central Ruang untuk 4-16 m2 Kursi,meja, lemari


Monitorig melakukan obet,lemari barang habis
/ Nurse perencanaan,pengorga pakai,komputer,printer,E
station nisasian,asuhan dan KG monitoring system
pelayanan
keperawatan selama
24 jam,pengaturan
jadwal,dokumentasi
sampa evaluasi( bisa
menggunakan
pembatas fisik tembus
pandang )
7. Gudang Ruang penyimpanan Sesuai Ventilator,mesin
alat medis alat medis yang setiap kebutuhan HD,Mobile X-Ray dll
saat dibutuhkan Alat yg
tersimpan di sini harus
dalam kondisi siap
pakai dan sdh steril
.
8. Gudang Tempat penyimpanan Seuai Lemari
18

bersih instrumen dan barang kebutuhan


habis pakai yang
diperlukan untuk
kegiatan di ruang ICU
temasuk barang steril
9. Gudang Fasilitas untuk 4-6 m2 Kloset leher angsa,keran
kotor / membuang kotoran air bersih(zinc),ket: bibir
Spoelhoo bekas pelayanan kloset 80-100 cm dari
k terutama berupa permukaan lantai
cairan.
10. Ruang Tempat keluarga atau Sesuai Tempat duduk, televisi
tunggu pengantar pasien men kebutuhan
keluarga unggu
pasien
11. Ruang Ruang untuk 3-5 Meja kerja, lemari berkas
Administr menyelenggarakan m2/petugas arsip,
asi kegiatan administrasi telepom/intercom,komput
khususnya pelayanan er,printer dan ATK
pendaftaran dan rekam lainnya
medis internal pasien di
ICU
12. Janitor/ Ruangan tepat 4-6m2 Lemari/rak
R.Cleanin penyimpanan barang
g Service dan peralatan untuk
kebersihan
ruangan,ada area
basah

13. Toilet KM/WC @ KM/WC Kloset duduk/jongkok


(petugas pria dan
dan wanita luas
pengunju 2-3 m2
ng)
14 R.Penyim Ruang tempat 4-8 m2 Tabung Gas Medis
panan penyimpanan gas
silinder medis cadangan
/gasmedik
15. R.Parkir Tempat parkir brankar 2-6 m2 brankar
brankar selama tidak diperlukan

Persyaratan Khusus

1. Letak bangunan instalasi ICU harus berdekatan dengan instalasi bedak


sentral, Instalasi gawat darurat,laboratorium dan instalasi radiologi
2. Harus bebas dari gelomBang elektromagnetik dan tahan terhadap getaran
3. Gedung harus terletak di daerah yang tenang
4. Temperatur ruangan harus terjaga tetap dingin
19

5. Aliran listrik tidak boleh terputus


6. Harus tersedia pengatur kelembaban udara
7. Sirkulasi udara yang dikondisikan seluaruhanya udara segar
8. Ruang perawat disrankan menggunakan pembatas fisisk transparan utnuk
kurangi kontaminasi terhadap perawat
9. Perli disediakan titik grounding untuk peralatan elektrostatik
10. Tersedia Alirann gas Medis (O2,udara bertekanandan suction)
11. Pintu kedap asap dan tidak mudah terbakar
12. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas ramp apabila letak ICU
tidak di lantai dasar
13. Ruang ICU sebaiknya kedap api
14. Pertemuan dinding lantai tidak boleh berbentuk sudut/harus melengkung
agar pembersihan mudah dan tidak menjadi sarang debu atau kotoran.
20

BAB V

TATA LAKSANA PELAYANAN

a. Alur Pelayanan
Pasien yang memerlukan pelayanan ICU dapat berasal dari :

1. Pasien dari IGD


2. Pasien dari HCU
3. Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain seperti kamar
bersalin, ruang endoskopi, ruang hemodialisa
4. Pasien dari ruang rawat inap

b. Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien dan bertemunya pikiran tentang apa yang
akan dan apa yang tidak akan dilakukan tehadap pasien. Definisi
operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak( yaitu
pasien,keluarga atau walinya) yang isinya berupa ijin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut
diberi informasi. Sebelum masuk ke ICU,pasien dan keluarganya harus
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang dasar pertimbangan mengapa
pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta berbagai macam tindakan
kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU dan
yang penting juga adalah penjelasan tentang prognosa penyakit yang diderita
pasien.Penjelasan tersebut diberikan oleh Kepala ICU atau dokter jaga yang
bertugas. Setelah mendapatkan penjelasan tersebut, pasien dan atau
keluarganya bisa menerima atau tidak menerima.Pernyataan pasien dan atau
keluarganya (baik bisa menerima atau tidak bisa menerima) harus dinyatakan
dalam formulir yang ditandatangani (informed consent).
21

c. Aturan Kerjasama Multidisipliner


Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dari
beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusina sesuai
dengan bidang keahliannya dan bekerjasama dalam tim yang dipimpin oleh
seorang dokter intensivis/dokter spesialis anestesiologi sebagai Penanggung
jawab ICU.

Tim intensive care tersebut minimal terdiri dari:


1. Intensivis/dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang berkompeten
dalam ilmu kedikteran intensive care dengan level ICU
2. Perawat intensive care
3. Dokter ahli mikrobiologi klinik
4. Ahli farmasi klinik
5. Dietesion, Ahli Nutrisi Klinik/Ahli Gizi Klinik
6. Fisioterapis
7. Tenaga lain sesuai klasifikasi ICU

Tim Multidisiplin mempunya 5 (lima) karakteristik :

1. Staf medis dan keperawatan yang purna waktu dengan otoritas dan
tanggung jawab penuh terhadap manajemen ICU
2. Staf medis,keperawatan,farmasi klinik,farmakologi klinik,gizi klinik dan
mikrobiologi klinik berkolaborasi pada pendekatan multidisipliner
3. Mempergunakan standar,protokol atau guideline untuk memastikan
pelayanan yang konsisten baik oleh dokter,perawat mapun staf yang
lain
4. Memiliki dedikasi untuk melakukan koordinasi dan komunikasi bagi
seluruh manajemen ICU
5. Menekankan pada pelayanan yang sudah tersertifikasi, pendidikan,
penelitian, masalah etik dan pengutamaan pasien
22

Sistem kerja tim diatur sebagai berikut:

1. Sebelum masuk ICU , dokter primer yang merawat pasien melakukan


evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau
usulan terapi
2. Ketua tim melakukan evaluasi menyeluruh,mengambil
kesimpulan,memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis
dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya
3. Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan
mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim dan memberikan
perintah baik tertulis dalam status ICU maupun lisan
4. Untuk menghindari kesimpangsiuran/tumpang tindih pelaksanaan
pengelolaan pasien, maka perintah yang dijalankan oleh petugas
hanya yang berasal dari ketua tim saja(single management)
5. Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasiennya bisa dirawat
di ICU dengan syarat sesuai dengan indikasi masuk yang benar.
Mengingat keterbatasan ketersediaan fasilitas di ICU,maka berlaku
asas prioritas dan keputusan akhir merupakan kewenangan penuh
Kepala ICU.

d. Sistem Rujukan
Rujukan adalah penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan
tugas/wewenang dan tanggung jawab secara timbal balik baik horisontal
maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau
permasalahan kesehatan karena adanya keterbatasan dalam memberikan
pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien.
Terdapat 2 jenis rujukan :

1. Rujukan Eksternal:
Rujukan antar fasilitas pelayanan kesehatan:
 Rujukan Vertikal:
Rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tingkatan
berbeda
23

 Rujukan Horisontal:
Rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memiliki
kemampuan lebih tinggi dalam tingkatan yang sama.
2. Rujukan Internal :
Rujukan di dalam fasilitas kesehatan dari tenaga kesehatan ke tenaga
kesehatan.

Ruang lingkup rujukan, terdiri dari :

1. Rujukan kasus penyakit atau masalah penyakit


2. Rujukan masalah permasalahan kesehatan
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban untuk merujuk pasien
memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Rumah
sakit penerima rujukan harus mampu menjamin bahwa pasien yang dirujuk
tersebut mendapatkan penanganan segera.

Rujukan balik ke fasilitas pelayanan kesehatan yang merujuk harus


dilakukan segera setelah alasan rujukan ke RS sudah tertangani.Oleh
karena itu , rujukan merupakan proses timbal balik yang meliputi kerjasama,
koordinasi dan transfer informasi di antara fasilitas kesehatan.

Tujuan dilakukannya rujukan adalah :

1. Membutuhkan pendapat dari ahli lain (second opinion)


2. Memerlukan pemeriksaan yang tidak tersedia di rumah sakit
3. Memerlukan intervensi medis di luar kemampuan rumah sakit
4. Memerlukan penatalaksanaan bersama denga ahli lainnya
5. Memerlukan perawatan dan pemantauan lanjutan
24

BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

a. Pengertian
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi :
assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem
tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan

b. Tujuan
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak
terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

c. Tata Laksana Keselamatan Pasien


Program keselamatan pasien (patient safety) dikelola oleh Panitia KPRS
(Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Sesuai sistematika program yang telah
ditetapkan oleh panitia KPRS, maka tatalaksana bidang Keselamatan Pasien
mengacu pada hal tersebut dengan metode dan uraian sebagai berikut :

1. Tujuh (7) Standar Keselamatan Pasien yaitu :


1. Hak pasien;
2. Mendidik pasien dan keluarga;
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan;
25

4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi


dan program peningkatan keselamatan pasien;
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien;
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

2. Tujuh (7) Langkah menuju Keselamatan Pasien yaitu :


1. Bangun kesadaran akan Nilai Keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung seluruh Karyawan
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan Risisko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

Sedangkan aplikasi program ”Patient Safety” pada pelayanan,meliputi 9


(sembilan) solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit, yaitu :

1. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip ( Look-alike, Sound-alike medication
names);
2. Pastikan identifikasi pasien;
3. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien;
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar;
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat;
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan;
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang;
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai;
9. Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.
26

BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Pengelolaan sistem Keselamatan Kerja di Instalasi ICU Rumah sakit Umum Pidie
Jaya pada buku “Pedoman Umum Keselamatan Kerja, Kebakaran, dan Kewaspadaan
Bencana“ yang disusun oleh K3 (Keselamatan Kerja Karyawan) Rumah sakit Umum
Pidie Jaya, sedangkan uraian hal dimaksud adalah sebagai berikut :

PEDOMAN PELAKSANAAN KESELAMATAN KERJA

Di dalam Pedoman Pelaksanaan Keselamatan Kerja ini dicakup pedoman


pelaksanaan tentang Keselamatan Kerja itu sendiri, Keselamatan Kerja dan Keselamatan
Rumah Sakit.

A. Keselamatan Kerja

Pengendalian Bahaya di Rumah Sakit

Risiko bahaya yang terjadi di rumah sakit adalah akibat faktor-faktor lingkungan
kerja yang bersumber dari bahan-bahan yang dipergunakan dalam suatu proses
produksi, hasil produksi, sisa produksi serta peralatan dan sarana dalam melakukan
pekerjaan serta keadaan cuaca ditempat kerja.

Faktor-faktor lingkungan kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Pidie jaya terdiri dari
faktor fisik, faktor kimia, faktor biologi, faktor psikologi dan faktor ergonomik. Faktor-faktor
lingkungan kerja yang nilainya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), maka
kemungkinan dapat mengakibatkan gangguan kenyamanan kerja, gangguan kesehatan
bahkan dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja.

a. Faktor Fisik di lingkungan Rumah Sakit

Faktor-faktor fisik yang biasanya terjadi di lingkungan kerja rumah sakit adalah ;

1) Iklim kerja
27

Iklim Kerja, adalah keadaan lingkungan kerja yang merupakan perpaduan antara
parameter-parameter suhu udara, kelembaban udara, suhu radiasi, kecepatan
gerakan udara dan panas metabolisme sebagai hasil aktivitas dari seseorang. Bila
melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja Nomor. KEP - 51/MEN/1999 tanggal 16 April 1999 dan Keputusan Dirjen
PPM & PLP No.HK.00.06.64.44, maka akan mengakibatkan berbagai kelainan
fisik dan fisiologis.

Pengendalian bahaya fisik akibat iklim kerja dilakukan sebagai berikut:

a) Terhadap lingkungan kerja

(1) Menyempurnakan sistem ventilasi

(2) Terhadap permukaan yang mempunyai suhu permukaan tinggi


memperkecil panas radiasi

(3) Menyediakan tempat istirahat yang cukup

(4) Memberikan warna yang cerah pada peralatan yang memberikan sumber
panas

(5) Memasang shielding (penyekat) antara sumber panas dan tenaga kerja

b) Terhadap tenaga kerja

(1) Memberikan air minum dekat tempat kerja yang memenuhi syarat artinya
cukup dan mudah dicapai dari lokasi kerja

(2) Pada lingkungan kerja yang mempunyai suhu radiasi rendah dianjurkan
dengan pakaian kerja ringan, sedang untuk radiasi tinggi dianjurkan
dengan pakaian kerja dengan tertutup seluruh permukaan kulit dan
berwarna putih

(3) Dihindari bagi tenaga kerja yang harus bekerja dilingkungan panas apabila
berbadan gemuk sekali dan menderita penyakit cardio-vasculer

c) Terhadap lingkungan kerja yang bersuhu dingin

(1) Disediakan intermediate room dengan perubahan suhu yang tidak terlalu
besar sebelum masuk ke tempat kerja bersuhu dingin

(2) Mencegah pengeluaran panas dari tubuh dengan pakaian pelindung


28

(3) Memperbesar E req dengan menaikan metabolisme melalui pem-berian


makanan tambahan dan dalam hal-hal tertentu meningkatkan aktivitas

2) Kebisingan

Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan bising
mengganggu (annoyance noise), yaitu kebisingan yang tidak menghi-langkan
daya dengar, tetapi mengganggu konsentrasi/ketenangan. Biasanya tingkat
kebisingan rendah dan suaranya tidak keras. Sedangkan bising yang
menyebabkan kehilangan daya dengar, yaitu kebisingan yang menyebabkan
ketulian pada tingkat kebisingan yang tinggi. Nilai Ambang Batas Kebisingan
(NAB) telah diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-51/MEN/1999 dan Keputusan Dirjen PPM & PLP No.HK.00.06.64.44.

Kebisingan dapat menyebabkan berbagai pengaruh terhadap tenaga kerja


seperti :

a) Gangguan Fisiologis
b) Gangguan Tidur
c) Gangguan Komunikasi
d) Gangguan Psikologis
e) Gangguan Pendengaran

Pengendalian bahaya fisik akibat kebisingan


Pengendalian terhadap bahaya kebisingan pada prinsipnya adalah mengu-rangi
tingkat dan atau lamanya pemaparan, secara garis besar usaha-usaha yang dapat
ditempuh dengan cara :

a) Pengendalian secara teknis

(1) Mengurangi kebisingan pada sumbernya, misalnya memasang pere-dam


pada tempat-tempat sumber bising

(2) Merawat mesin-mesin secara teratur

(3) Fondasi mesin harus baik, dijaga agar baut dan sambungan tidak ada
yang goyang
29

b) Pengendalian secara administratif

Pengaturan secara administratif dilakukan dengan mengatur waktu


pemaparan yaitu tidak berada dilingkuan kerja yang mempunyai kebisingan
dengan intensitas melampaui Nilai Ambang Batas (NAB)

c) Pengendalian secara medis


(1) Pemeriksaan sebelum bekerja
(2) Pemeriksaan berkala

d) Penggunaan alat pelindung diri


(1) Ear muff (tutup telinga)
(2) Ear plug (sumbat telinga)

3) Pencahayaan

Intensitas pencahayaan yang cukup dan distribusinya merata serta tidak


menimbulkan kesilauan, dapat terlaksana kalau perencanaan atau design dari
pemasangan lampu ruangan kerja. Intensitas cahaya dinyatakan dalam satuan “Lux”
yaitu satuan penerangan atau pencahayaan per m2 nya jatuh arus cahaya sebesar
satu lumen. Standart intensitas pencahayaan di tempat kerja diatur dalam Peraturan
Menteri Perburuan (PMP No.7 th 1964) tentang syarat-syarat kebersihan di tempat
kerja dan intensitas pencahayaan dan Keputusan Dirjen PPM & PLP
No.HK.00.06.64.44.

Penerangan yang buruk dapat mengakibatkan :

a) Kelelahan mata dengan akibat berkurangnya daya dan efisiensi kerja


b) Keluhan pegal-pegal didaerah mata dan sakit kepala disekitar mata
c) Kerusakan indra mata
d) Meningkatnya terjadinya kecelakaan

Pengendalian bahaya fisik akibat Intensitas cahaya

a) Membersihkan secara rutin instalasi penerangan termasuk lampunya

b) Secepatnya mengganti dan memperbaiki instalasi penerangan dan lampu-lampu


yang rusak
30

c) Jika memakai penerangan alami atau sinar matahari diupayakan agar jendela
tempat jalannya masuk sinar matahari tidak terhalang atau tertutup

d) Penambahan penerangan lokal apabila penerangan umum tidak mencukupi untuk


jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu

4) Getaran

Getaran adalah merupakan salah satu faktor fisik dan biasanya terjadi karena
mesin-mesin atau alat-alat mekanis lainnya yang dijalankan dengan suatu motor
dapat menghasilkan suatu getaran yang akan diteruskan ke tubuh tenaga kerja yang
mengoperasikannya.

Nilai Ambang Batas (NAB) intensitas getaran telah ditetapkan dengan keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-51 /MEN/1999, Keputusan Dirjen PPM & PLP No.
HK.00.06.64.44 dan menurut Internasional Standar Organisation (ISO,1979) batas
aman bagi kesehatan, yaitu getaran paling kecil yang dapat mengganggu kesehatan
adalah 14 mm/detik.

Pengaruh dari getaran adalah:

a) Menggangu kenyamanan kerja

b) Mempercepat terjadinya kelelahan

c) Membahayakan kesehatan

Pengendalian bahaya fisik akibat Getaran

a) Isolasi sumber getaran

b) Bila mungkin pekerjaan dilaksanakan secara remote kontrol

c) Mengurangi waktu pemaparan terhadap getaran, diselingi dengan waktu istirahat


yang cukup

d) Melengkapi peralatan mekanis yang dapat menahan atau menyerap getaran

e) Merawat mesin secara rutin

5) Gelombang Radiasi
31

Radiasi dapat ditimbulkan oleh peralatan-peralatan dengan kemajuan tek-nologi


yang sangat pesat sekarang ini. Radiasi gelombang elektromagnetik terdiri dari
radiasi yang mengion dan radiasi yang tidak mengion, seperti gelom-bang-gelombang
mikro, sinar laser, sinar tampak (termasuk sinar dari layar monitor), sinar infra red,
sinar ultra violet.

Nilai Ambang Batas (NAB) telah diatur menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor KEP-51/MEN/1999 tanggal 16 April 1999 dan . Pengaruh dari pada radiasi
adalah:

a) Menyebabkan kemandulan

b) Menyebabkan mutasi gen

c) Menyebabkan berbagai penyakit mata

d) Menyebabkan iritasi kulit

Pengendalian bahaya fisik akibat Radiasi

a) Isolasi sumber radiasi

b) Bila mungkin pekerjaan dilaksanakan secara remote kontrol

c) Mengurangi waktu pemaparan terhadap radiasi, diselingi waktu istirahat yang


cukup

d) Menggunakan alat pelindung diri

e) Merawat mesin secara rutin dan Pemberian makanan tambahan

b. Faktor Kimia di lingkungan Rumah sakit

Pada dasarnya bahan kimia berpotensi untuk menimbulkan kecelakaan atau


penyakit. Bahan kimia penyebab kecelakaan pada umumnya bersifat mudah terbakar
(flammable); atau mudah meledak (eksplosive); atau cepat bereaksi dengan bahan lain
(reaktif); atau berupa senyawa asam yang kuat dan pekat (korosif) atau senyawa basa
kuat (kaustik); atau bisa juga berupa “gas asphyxiant” yaitu gas yang sangat banyak
memenuhi suatu ruangan membuat kadar oksigen menjadi sangat rendah (kurang dari 9
%) sehingga orang sulit bernapas dan lemas.

Bahan kimia yang dapat menimbulkan penyakit umumnya bersifat irritant terhadap
kulit/mata dan sistem pernapasan; atau menyebabkan radang/ infeksi; atau menimbulkan
efek sistemik yaitu tidak menimbulkan efek lansung pada bagian tubuh yang
32

terpapar(kulit,mata atau saluran pernapasan) melainkan memberi efek pada organ-organ


yang berada di dalam tubuh, seperti system syaraf pusat (SSP), ginjal, alveoli, darah,
janin dll. Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Kimia di udara Lingkungan Kerja telah diatur
dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Nomor : SE – 01 /MEN/1997 tanggal 16 Oktober
1997. Faktor kimia dilingkungan kerja rumah sakit terdapat banyak diruang ruang
seperti :

1) Laboratorium (bahan kimia, gas untuk pemeriksaan)

2) Ruang Operasi (Gas Anastesi,cairan pencuci hama dll)

3) Ruang Intensive Care (Cairan anti septic, Gas dll)

4) Bagian Pemeliharaan Sarana (Cat, Gas untuk mengelas, Cairan pembersih alat)

5) Bagian Farmasi (bahan kimia, obat dll)

6) Ruang Sterilisasi (Gas, Cairan anti septic dll)

7) Ruang Pencucian (Bahan kimia untuk mencuci)

Pengendalian bahaya kimia


1) Mengetahui Material Safety Data Sheets (MSDS) dari setiap material atau bahan.

2) Tempat penyimpanan bahan-bahan kimia harus dikelompokan dan disimpan dengan


baik. Ruang penyimpanan sebaiknya terbuat dari bahan tahan api, mempunyai
ventilasi yang cukup baik untuk mencegah terjadinya akumulasi gas-gas yang
berbahaya. Suhu ruang penyimpanan juga harus disesuaikan, setiap kali harus
diamati apakah kondisi ruang penyimpanan selalu bersih, tidak ada bocoran atau
tumpahan zat kimia.

3) Material Handling yang baik yaitu membawa atau memindahkan bahan kimia dari
suatu tempat ke tempat lain harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat
menimbulkan bahaya bila sampai terjatuh atau tumpah.

4) Ruang tempat kerja harus mempunyai sistem ventilasi yang cukup dimana aliran
udara masuk dan keluar cukup bersih. Penerangan dan suhu ruang kerja juga harus
diperhatikan.

5) Pemantauan secara berkala konsentrasi gas di ruangan yang dapat memapar pekerja
33

6) Sebelum bekerja dengan bahan-bahan kimia, terlebih dahulu para pekerja harus
diberikan pelatihan yang memadai agar dapat bekerja sesuai dengan Standart
Operating Prosedur (SOP) yang berlaku.

7) Penggunaan alat pelindung diri

8) Pemeriksaan pra kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus terhadap


pekerja

c. Faktor-faktor Biologis di lingkungan Rumah sakit

Dalam lingkungan rumah sakit terdapat berbagai macam penyakit yang di sebabkan
oleh agent biologi atau Mikro organisme.

Secara garis besar agent - agent biologi dapat digolongkan sebagai berikut :

1) Kelompok Bakteri , misalnya: Streptococcus, Salmonella, Staphylococcus,Legionella


Pneumophilla

2) Kelompok Virus, misalnya: HIV, HBV

3) Kelompok Jamur, misalnya: Blastomycetes, Actinomycetes

4) Kelompok Parasit, misalnya: Ancylostoma, Ascaris

5) Kelompok Ricketsia dan Chlamydia, misalnya: LGV, Psittacosis

Cara penularan penyakit dari seseorang kepada orang lain dapat terjadi dengan
berbagai cara, misalnya:

1) Melalui saluran pernapasan

2) Melalui kontak kulit

3) Melalui saluran pencernaan

4) Melalui peredaran darah

Bagian-bagian tubuh penderita yang dapat menjadi sumber penularan antara lain
adalah : Urine, Tinja, Keringat, dan Sputum

Pengendalian bahaya biologi

1) Peningkatan pengetahuan dan kepedulian petugas kesehatan terhadap penyakit


infeksi rumah sakit (PIRS),Protap untuk setiap pekerjaan dan tindakan

2) Prosedur pengelolaan spesimen (darah, urine, tinja, sputum, dan lainnya)


34

3) Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi peralatan medis, meja, lantai dan sebagainya

4) Isolasi pasien (penyakit khusus)

5) Sanitasi lingkungan Rumah Sakit

6) Pemeriksaan kesehatan berkala untuk petugas

7) Melaksanakan pengelolaan limbah rumah sakit

8) Pelatihan pengendalian Infeksi Rumah Sakit

9) Penggunaan alat pelindung diri

2. Pedoman Praktis Ergonomik

Jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang terus meningkat
diakibatkan oleh kurangnya perhatian terhadap masalah ergonomi di lingkungan
pekerjaan. Pedoman Praktis Ergonomik dapat digunakan untuk mencari solusi prak-tis
bagi peningkatan kondisi kerja dari sudut pandang ergonomi.

Hal ini bertujuan untuk menyediakan alat yang tepat untuk meningkatkan kondisi
lingkungan kerja, mencapai tingkat efisiensi serta tingkat keselamatan dan kese-hatan
Kerja yang lebih baik.

Pedoman praktis ergonomik mencakup semua masalah aspek utama dari ergonomi
yang diperlukan di tempat kerja yang meliputi :

a. Penyimpanan dan Penanganan Material

b. Pencahayaan di Tempat Kerja

c. Bangunan dan Lingkungannya

d. Bahaya-bahaya Lingkungan Kerja

e. Fasilitas Umum

f. Peralatan Pelindung Diri

Hal-hal tersebut di atas sangat bermanfaat dalam mengatasi masalah ergono-mi


sesuai situasi yang ada di lingkungan kerja setempat.

a. Penyimpanan dan Penanganan Material

1) Jalur pengangkutan harus bebas hambatan dengan rambu-rambu yang jelas


35

2) Gang dan Koridor agar cukup lebar sehingga memungkinkan dilakukannya


transportasi dua arah.

3) Jalur transportasi agar dalam kondisi yang baik, tidak licin dan bebas rintangan.

4) Buatlah “Jembatan” (turunan/tanjakan) dengan sudut kelandaian antara 5 – 8 %


pada batas permukaan lantai yang berbeda pada jalur/jalan di ruang kerja.

5) Sempurnakan tata letak tempat kerja agar mengurangi gerakan material yang
dibutuhkan.

6) Gunakan kereta dorong atau alat lain yang beroda untuk mengangkut material.

7) Gunakan rak beroda untuk mengurangi pekerjaan memuat maupun mem-bongkar.

8) Di tempat kerja, gunakan rak bersekat-sekat yang dapat menampung lebih banyak
barang, agar mengurangi jumlah barang yang harus di pindah-pindahkan.

9) Gunakan alat bantu mekanis untuk mengangkat, menurunkan maupun


memindahkan benda-benda yang berat.

10)Kurangi penanganan barang / material, dengan cara menggunakan alat-alat


bantu.

11)Mengangkat / membawa barang yang berat, bagi barang menjadi beberapa


bagian yang lebih ringan yang ditempatkan dalam kemasan, kotak, nampan dan
lain-lain.

12)Buatkan pegangan khusus pada semua barang dalam kemasan atau kotak, dan
lain-lain yang akan diangkat maupun dibawa, atau tentukan bagian yang dapat
dijadikan pegangan.

13)Bila memindahkan barang secara manual (tanpa alat), usahakan sesedikit


mungkin gerakan meninggikan atau merendahkan dari posisi ketinggian semula

14)Bila memindahkan benda-benda yang berat, lakukan secara mendatar dengan


didorong atau ditarik, jangan diangkat maupun diturunkan

15)Sewaktu mengerjakan benda/barang, membawa, mengangkat dan sebagai-nya


hindari gerakan membungkuk maupun memutar pinggang

16)Benda yang kita bawa agar selalu dirapatkan pada badan kita

17)Lakukan gerakan mengangkat dan menurunkan barang secara perlahan-lahan,


dan hindarkan gerakan memutar pinggang ataupun membungkukkan badan
36

18)Bila kita mengangkat beban/benda panjang, tumpukan sebagian beban berat di


atas bahu (dipikul), agar terjaga keseimbangan tubuh

19)Untuk menghindari kelelahan dan cedera tubuh, bagi mereka yang melaku-kan
pekerjaan mengangkat beban berat, seyogyanya diselingi dengan pekerjaan-
pekerjaan ringan

20)Sediakan dan tempatkan bak sampah pada posisi yang memudahkan penggu-
naannya

21)Jalur-jalur keluar bangunan (untuk keadaan darurat), agar diberi


tanda/ga-ris/tulisan yang jelas, serta harus bersih dari benda-benda yang dapat
menghambat.

b. Pencahayaan di tempat kerja

1) Tingkatkan pemanfaatan cahaya alami di siang hari

2) Jika ruang kerja memerlukan penambahan cahaya, berikan cat berwarna lembut
pada dinding dan plafon

3) Penerangan harus selalu dinyalakan di mana para pekerja berada, misalnya di


gang-gang, tangga dan lain-lain

4) Nyalakan lampu penerangan yang mencukupi bagi para pekerja agar mereka
dapat bakerja lebih efisien dan nyaman setiap saat

5) Sediakan penerangan khusus di tempat kerja untuk maksud pekerjaan


pengawasan dan agar pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya lebih teliti

6) Untuk mengurangi cahaya yang menyilaukan secara langsung, pindahkan sumber


cahaya atau pasang pelindung

7) Hilangkan permukaan-permukaan yang memantulkan cahaya dari sekitar tempat


kerja untuk menghindarkan sinar pantulan yang menyilaukan

8) Pilihlah sistem pencahayaan yang memadai untuk pekerjaan yang memerlukan


pengamatan dari jarak yang dekat serta dilakukan secara berulang-ulang

9) Bersihkan selalu jendela-jendela dan rawat selalu sumber-sumber penerangan

c. Bangunan dan Lingkungannya

1) Lindungi para pekerja dari hawa panas yang berlebihan dalam ruangan
37

2) Lindungi tempat kerja dari hawa panas dan dingin yang berlebihan dari luar
ruangan

3) Pasanglah lapis penyekat atau isolasi pada sumber panas dan sumber dingin

4) Pasanglah sistem pengaturan udara yang memadai sehingga para pekerja dapat
melaksanakan tugasnya dengan aman dan efisien

5) Perbanyak penggunaaan sistem ventilasi alami untuk meningkatkan kenyamanan


udara di dalam ruang kerja

6) Tingkatkan fungsi dan perawatan sistem ventilasi untuk memastikan tersedianya


udara bersih di ruang kerja

d. Pengendalian Bahan-Bahan dan Subtansi yang Berbahaya

1) Pasangkan sekat atau penutup pada bagian-bagian dari mesin-mesin yang


memiliki tingkat kebisingan yang tinggi

2) Untuk mengurangi kebisingan, rawatlah mesin mesin dan peralatannya yang


terkait secara teratur

3) Pastikan bahwa faktor kebisingan ditempat kerja tidak mempengaruhi faktor


komunikasi, keselamatan serta efisiensi kerja

4) Kurangi fakor getaran yang dapat mempengaruhi pekerja dalam usaha


meningkatkan keselamatan, kesehatan dan efisiensi kerja

5) Pilihlah lampu tangan yang sudah terisolasi dengan baik dari bahaya sengatan
listrik maupun panas

6) Pastikan bahwa kabel-kabel yang menghubungkan peralatan dan lampu-lampu


berada dalam kondisi aman

7) Lindungi para pekerja dari bahaya bahan-bahan kimia sedemikian rupa sehingga
mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan aman dan efisien,diberikan label
khusus dan penandaan yang terlihat jelas.

e. Fasilitas Umum

1) Sediakan dan lakukan perawatan yang baik, termasuk mengganti dan mencuci
berbagai fasilitas sanitasi yang ada, agar kerapian maupun kebersihan dan
kesehatan terjaga
38

2) Sediakan fasilitas air minum, ruang makan, dan ruang istirahat dengan kondisi
yang baik dan nyaman untuk para pengguna

3) Tingkatkan fasilitas kesejahteraan dan pelayanan, sejalan dengan usaha


peningkatan kinerja para pekerja

4) Sediakan tempat/ruangan khusus bagi para pekerja untuk mengadakan rapat,


pertemuan, dan program pelatihan

5) Beri tanda-tanda yang jelas pada ruang/area di mana di tempat tersebut


diharuskan menggunakan alat pelindung diri

6) Sediakan alat pelindung diri yang memadai dan mampu melindungi para karyawan
sesuai dengan peruntukannya

7) Jika bahaya di ruang kerja tidak dapat dihilangkan dengan cara lain, maka
gunakan dan pilih alat pelindung diri yang cocok dan mudah perawatannya bagi
pekerja yang menggunakannya

8) Pastikan bahwa pekerja yang perlu menggunakan alat pelindung diri secara
teratur, harus mengikuti petunjuk penggunaaan yang tepat, proses adaptasi serta
pelatihan pemakaian

9) Pastikan bahwa semua orang dapat menggunakan alat pelindung diri bila
diperlukan

10) Pastikan bahwa alat pelindung diri dapat diterima oleh semua pekerja

11) Sediakan bahan-bahan pembersih dan fasilitas perawatan alat pelindung diri, serta
lakukan program perawatan secara teratur

12) Sediakan tempat yang memadai untuk menyimpan alat-alat pelindung diri

13) Berikan tugas dan tanggung jawab kepada petugas untuk melaksanakan
perawatan dan kebersihan secara rutin

3. Keamanan Pasien

Untuk menjamin keamanan pasien selama menjalani pengobatan di Rumah Sakit


Umum Daerah Pasar Minggu perlu dilengkapi dengan adanya perlengkapan keamanan
bagi pasien, antara lain:

a. Pegangan sepanjang tangga dan dinding


39

Perlunya pegangan sepanjang tangga dan dinding dimaksudkan agar pasien,


termasuk keluarga dan karyawan dapat berpegangan saat menaiki atau menuruni
tangga, dan bagi pasien yang dalam kondisi lemah, apabila tidak menggunakan
kursi roda, dapat berjalan dengan berpegangan pada dinding.

b. Toilet dilengkapi pegangan dan bel

Pegangan di toilet pasien untuk membantu pasien yang kondisinya lemah agar
tidak terjatuh saat berada dalam toilet. Bel di toilet ditujukan untuk memudah-kan
pasien meminta pertolongan apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan saat
berada dalam toilet.

c. Pintu dapat dibuka dari luar

Pintu toilet di ruang perawatan hendaknya dapat dibuka dari luar agar apabila
terjadi sesuatu kondisi darurat misalnya pasien terjatuh di depan pintu, petugas
dapat segera memberikan pertolongan tanpa terhalang oleh tubuh pasien.

d. Tempat tidur dilengkapi penahan pada tepinya

Penahan pada tepi tempat tidur pasien dengan jarak terali lebih kecil dari kepala
anak +/- 10 cm, agar pasien tidak mudah terjatuh dari tempat tidur dan mencegah
terjadinya kecelakaan pada anak-anak.

e. Sumber listrik mempunyai penutup/pengaman

Untuk mencegah/mengurangi bahaya yang mungkin timbul dari sumber listrik


terutama diruangan rawat inap.

f. Sumber air panas mempunyai kendali otomatis

Untuk mencegah terjadinya luka bakaroleh air panas, seluruh sumber air panas
perlu memiliki kendali otomatis.

g. Pemasokan oksigen yang cukup pada tempat-tempat penting

Ketersediaan oksigen di semua ruang perawatan, IGD, ICU dan Bedah harus
selalu terjamin. Untuk itu harus dilakukan pengecekan dan pemeliharaan rutin
terhadap perlengkapan ini.

h. Tersedia emergency suction

Disetiap ruang perawatan harus tersedia emergency suction yang selalu siap
pakai dan dapat dipergunakan setiap saat.
40

i. Kamar dilengkapi dengan bel yang mudah dijangkau dan lampu darurat

Setiap kamar perawatan dilengkapi dengan bel yang letaknya mudah dijangkau
serta lampu darurat yang otomatis menyala ketika dibutuhkan.

j. Penandaan/label pada pasien (gelang)dan penandaan gambar dan warna pada


tempat tidur pasien dengan kondisi tertentu

4. Penanggulangan Kecelakaan Kerja

Penanggulangan kecelakaan akibat kerja, merupakan pertolongan pertama yang


harus segera diberikan kepada tenaga kerja yang menderita kecelakaan atau penyakit
mendadak ditempat kerja.

Pertolongan pertama tersebut dimaksudkan untuk memberikan perawatan darurat


pada korban, sebelum pertolongan yang lebih mantap dapat diberikan oleh dokter atau
petugas kesehatan lainnya, dengan tujuan:

(1) Menyelamatkan nyawa korban;

(2) Meringankan penderitaan korban;

(3) Mencegah cedera/penyakit menjadi lebih parah;

(4) Mempertahankan daya tahan korban;

(5) Mencarikan pertolongan lebih lanjut.

a. Hal-hal pokok yang penting dalam penanggulangan Kecelakaan Kerja

Tindakan-tindakan yang penting adalah:

(1) Tidak boleh panik;

(2) Memperhatikan nafas korban;

(3) Bila pernafasan berhenti, segera dilakukan pernafasan buatan (dari mulut ke mulut);

(4) Memperhatikan perdarahan.

(5) Dilakukan dengan menekan tempat pendarahan kuat-kuat dengan tangan, dengan
menggunakan sapu tangan atau kain yang bersih

(6) Memperhatikan tanda-tanda “Shock”.


41

(7) Jangan memindahkan korban secara terburu-buru, harus diatasi dulu keadaan-
keadaan yang membahayakan korban, seperti: perdarahan, patah tulang, nafas
hilang, denyut jantung berhenti, dan lain sebagainya.

b. Pencegahan Kecelakaan Kerja dengan pemakaian Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan, yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari
bahaya di tempat kerja. APD dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara
kerja yang aman (work practice) telah maksimum. Namun pemakaian APD bukanlah
pengganti dari kedua usaha tersebut.

Sebagai usaha terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak
dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap
bahaya.

Kelemahan penggunaan APD

Kemampuan perlindungan yang tidak sempurna karena:

(1) Memakai APD yang tak tepat;

(2) Cara pemakaian APD yang salah;

(3) APD tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan;

Sering APD tak dipakai karena tidak enak/kurang nyaman, karena itu adalah penting
dalam pemeliharaan dan kontrol terhadap APD, sehingga fungsi APD tetap baik,
misalnya ;

(1) APD yang sangat sensitif terhadap perubahan tertentu;

(2) APD yang mempunyai masa kerja tertentu seperti kanister, filter dan cartridge;

(3) APD dapat menularkan penyakit, bila digunakan bergantian;

c. Pencatatan dan Pelaporan Kecelakaan Kerja di lingkungan Rumah Sakit

Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit memuat komitmen dan
tekad dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, dengan kerangka dan
program kerja yang mencakup kegiatan secara menyeluruh yang bersifat umum dan
operasional. Kebijakan tersebut dibuat, disosialisasikan kepada semua pekerja agar
42

prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan secara efektif dan menjadi
bagian dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Keterkaitan dalam upaya pengendalian
keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit selain pengendalian teknis juga perlu
memperhatikan pengendalian administratif, dimana salah satu hal yang perlu mendapat
perhatian adalah sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan kerja, yaitu:Pencatatan
peristiwa kecelakaan kerja

1) Pelaporan peristiwa kecelakaan kerja

2) Penyelidikan peristiwa kecelakaan kerja ; dan

3) Penanggulangan peristiwa kecelakaan kerja

Pengisian formulir tersebut harus berdasarkan fakta yang sebenar-benarnya agar


tidak terjadi kesalahan dalam upaya penyelidikan dan cara penanggulang-annya.

5. Penanganan Limbah dan Bahan Berbahaya

Rumah sakit dengan berbagai kegiatannya yang menggunakan bahan berba-haya


dan menghasilkan limbah yang saat ini mulai disadari dapat menimbulkan gangguan
kesehatan akibat bahan yang terkandung di dalamnya dan menjadi mata rantai
penyebaran penyakit, selain itu juga dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan
udara, air dan tanah.

Sampah rumah sakit dapat digolongkan berdasarkan jenis unit penghasil dan jenis
pengelolaannya, secara garis besar limbah padat rumah sakit digolongkan menjadi
sampah medis dan sampah non medis.

(1) Limbah padat medis biasanya dihasilkan oleh Ruang Pasien, Ruang Tindakan/
Pengobatan, Ruang Bedah, Ruang Perawatan termasuk dressing kotor, verband,
kateter, swab, plaster, dll.

(2) Limbah padat non medis dihasilkan oleh Ruang Administrasi, Ruang Gizi, Ruang
Diklat, dll.

Penggolongan tersebut di atas bertujuan:

(1) Memudahkan bagi penghasil untuk pembuangan sampah (sesuai jenis warna
kantong)

(2) Mencegah terkontaminasinya limbah padat non medis dari limbah padat medis
43

(3) Memudahkan pengelola sampah dalam mengenali sampah didalamnya tergolong


medis atau bukan

(4) Memperkecil biaya operasional pengelolaan limbah padat

a. Limbah Berbahaya dan Sejenisnya

1) Limbah benda tajam

Limbah benda tajam adalah limbah yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau atau menusuk kulit.

Limbah benda tajam mempunyai potensi dan dapat menyebabkan cidera melalui
sobekan atau tusukan. Limbah benda tajam mungkin terkontaminasi oleh darah,
cairan tubuh, bahan mikrobiologi dan beracun, bahan citotoksik atau radioaktif.

Secara umum, jarum disposible tidak dipisahkan dari syringe atau perlengkapan lain
setelah digunakan. Cliping, bending atau breaking jarum-jarum untuk membuatnya
tidak bisa digunakan sangat disarankan karena akan menyebabkan accidental
inoculation. Prosedur tersebut dalam beberapa hal perlu diperhatikan kemungkinan
dihasilkannya aerosol. Menutup jarum dengan kap dalam keadaan tertentu
barangkali bisa diterima, misalnya dalam penggunaan bahan radioaktif dan untuk
pengumpulan gas darah.

Limbah golongan ini ditempatkan dalam kontainer yang tahan tusukan dan diberi
label dengan benar untuk menghindari kemungkinan cidera saat proses
pengumpulan dan pengangkutan limbah tersebut. Dan pada proses akhir
dimusnahkan dengan incinerator.

2) Limbah infeksius

Limbah infeksius memiliki pengertian ;

a) Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular
(perawatan insentif)

b) Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari


poliklinik dan ruang perawatan / isolasi penyakit menular

Limbah golongan ini ditempatkan dalam kantong kuning dan pada proses akhir
dimusnahkan dengan incinerator Rumah Sakit atau oleh pihak ketiga yang sudah
diakui oleh pemerintah.
44

3) Limbah jaringan tubuh

Cairan tubuh, terutama darah dan cairan yang terkontaminasi berat oleh darah, bila
dalam jumlah kecil, dan bila mungkin diencerkan, sehingga dapat dibuang ke dalam
sistem saluran pengolahan air limbah.

4) Limbah citotoksik

Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontami-nasi


dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi
citotoksik.

Untuk menghapus tumpahan yang tidak disengaja, perlu disediakan absorben yang
tepat. Bahan pembersih hendaknya selalu tersedia dalam ruang peracikan terapi
citotoksik, bahan yang cocok untuk itu, antara lain: sawdust, granula absorpsi, atau
pembersih lainnya.

Limbah golongan ini ditempatkan dalam kantong ungu dan pada proses akhir
dimusnahkan dengan incinerator Rumah Sakit atau oleh pihak ketiga yang sudah
diakui oleh pemerintah.

Sedangkan limbah dengan kandungan obat citotoksik rendah, seperti ;tinja , urine
dan muntahan, dapat dibuang secara aman ke dalam saluran air kotor. Namun harus
hati-hati dalam menangani limbah tersebut dan harus diencer-kan dengan benar.

5) Limbah farmasi

Limbah farmasi berasal dari ;

a) Obat-obatan kadaluarsa

b) Obat-obatan yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau
kemasan yang terkontaminasi

c) Obat-obatan yang dikembalikan oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat

d) Obat-obatan yang tidak diperlukan oleh institusi yang bersangkutan

e) Limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan

Metode pembuangan tergantung pada komposisi kimia limbah. Namun, prinsip –


prinsip berikut hendaknya dapat dijadikan pertimbangan.

d) Limbah farmasi hendaknya diwadahi dengan kontainer non reaktif


45

e) Bilamana memungkinkan, cairan yang tidak mudah terbakar (larutan anti-biotik)


hendaknya dierap dengan sawdust dikemas dengan kantong plastik dan dibakar
dengan incenerator

f) Bila proses penguapan dilakukan untuk membuang limbah farmasi hendaknya


dilakukan di tempat terbuka jauh dari api, motor elektrik, atau intake conditioner.
Proses penguapan dapat menimbulkan pencemaran udara karena itu metode ini
hendaknya hanya digunakan untuk limbah farmasi dengan sifat racun rendah.
Bahan ditempatkan dalam wadah non reaktif yang mempunyai bidang permukaan
luas.

g) Umumnya limbah farmasi harus dibuang melalui incenerator. Secara umum, tidak
disarankan untuk membuangnya ke dalam saluran air kotor.

6) Limbah bahan kimia

Limbah dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, vete-rinari,
laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Pembuangan limbah kimia ke dalam saluran
air kotor dapat menimbulkan korosi atau berupa ledakan. Reklamasi dan daur ulang
bahan kimia berbahaya dan beracun (B3) dapat diupayakan bila secar teknis dan
ekonomis memungkinkan. Disarankan untuk berkonsultasi dengan instansi
berwenang untuk mendapat petunjuk lebih lanjut.

Mercuri banyak digunakan dalam penyerapan restorasi amalgam. Limbah mercuri


amalgam tidak boleh dibakar dengan incenerator karena akan menghasilkan emisi
yang beracun. Terlepas dari produksi limbah kimia, prosedur pengamanan adalah
yang terpenting (good housekeeping). Disarankan untuk berkonsultasi dengan
instansi berwenang untuk mendapat petunjuk lebih lanjut.

7) Limbah radioaktif

Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang
berasal dari penggunaan medis atau riset radionucleida. Limbah ini dapat berasal dari
antara lain; tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay & bac-teriologis (baik cair,
padat maupun gas).

Hal-hal yang harus dipenuhi secara umum dalam penanganan dan pembuangan
limbah golongan ini adalah personil harus sesedikit mungkin memperoleh paparan
radiasi. Kepala Pengamanan Radiasi harus bertanggung jawab untuk penanganan
46

yang aman, penyimpanan dan pembuangan limbah radioaktif. Pejabat ini harus
bertanggung jawab untuk semua urusan pengamanan radioaktif dan mencari
petunjuk, bila diperlukan unit yang menghasilkan limbah radioaktif hendaknya
menetapkan area khusus untuk penyimpanan limbah radioaktif , yang harus dikemas
dengan benar. Tempat khusus tersebut hendaknya diamankan dan hanya digunakan
untuk tujuan itu.

8) Limbah plastik

Masalah yang ditimbulkan oleh limbah plastik adalah terutama karena jumlah
penggunaan yang meningkat secara cepat seiring dengan penggunaan barang medis
disposable seperti syringe dan selang. Penggunaan plastik lain seperti pada tempat
makanan, kantong obat, peralatan dll juga memberi kontribusi meningkatnya jumlah
limbah plastik. Terhadap limbah ini barangkali perlu dilakukan tindakan tertentu sesuai
dengan salah satu golongan limbah di atas jika terkontaminasi bahan berbahaya.

Apabila pemisahan dilakukan dengan baik, bahan plastik tidak terkontaminasi dapat
dibuang melalui pelayanan pengangkutan sampah kota/umum.

Dalam pembuangan limbah plastik hendaknya memperhatikan aspek berikut:

a) Pembakaran beberapa jenis plastik akan menghasilkan emisi udara yang


berbahaya. Misalnya pembakaran plastik yang mengandung PVC (Poly Vynil
Chlorida) akan menghasilkan hidrogen chlorida, sementara itu pembakaran plastik
yang mengandung nitrogen seperti plastik formaldehida urea akan menghasilkan
oksida nitrogen.

b) Keseimbangan campuran antara limbah plastik dan non plastik untuk pembakaran
dengan incinerator akan membantu pencapaian pembakaran sempurna dan
mengurangi biaya operasi incenerator

c) Pembakaran terbuka sejumlah besar limbah plastik tidak diperbolehkan karena


akan menghasilkan pemaparan pada operator dan masyarakat umum.

d) Komposisi kimia limbah beracun sesuai dengan kemajuan tehnologi sehingga


produk racun potensial dari pembakaran mungkin juga berubah. Karena itu perlu
dilakukan updating dan peninjauan kembali strategi penanganan limbah plastik ini

e) Tampaknya limbah plastik yang dihasilkan dari unit pelayanan kesehatan akan
meningkat. Volume yang begitu besar memerlukan pertimbangan dalam
47

pemisahan sampah dan untuk sampah plastik setelah aman sebaiknya


diupayakan daur ulang.

b. Prosedur Penanganan dan Penampungan

1) Pemisahan dan Pengurangan

Dalam pengembangan strategi pengelolaan limbah, alur limbah harus di-


identifikasikan dan dipilah-pilah. Reduksi keseluruhan volume limbah, hendak-nya
merupakan proses yang kontinue. Pilah-pilah dan reduksi volume limbah klinis dan
yang sejenis merupakan persyaratan keamanan yang penting untuk petugas
pembuang sampah, petugas emergency dan masyarakat.

Pemilahan dan reduksi volume limbah hendaknya mempertimbangkan hal-hal


sebagai berikut ;

a) Kelancaran penanganan dan penampungan limbah

b) Pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan


pemisahan limbah B3 dan non B3

c) Diusahakan sedapat mungkin menggunakan bahan kimia Non B3

d) Pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk
mengurangi biaya, tenaga kerja dan pembuangan.

Pemisahan limbah berbahaya dari semua limbah pada tempat penghasil adalah
kunci pembuangan yang baik. Dengan limbah berada dalam kantong atau kontainer
yang sama untuk penyimpanan, pengangkutan dan pembuangan akan mengurangi
kemungkinan kesalahan petugas dalam penanganannya.

2) Penampungan

Sarana penampungan harus memadai, letak pada lokasi yang tepat, aman dan
hygienis. Standarisasi kantong pada limbah klinis dapat dilakukan dengan pembedaan
warna maupun dengan label, hal ini diperlukan agar menghindari kesalahan petugas
dalam pengelolaan.
48

Keseragaman standar kantong & kontainer limbah memberikan keuntungan


sebagai berikut:

Mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf yang dimutasikan antar instasni/unit

Meningkatkan keamanan secara umum, baik pada pekerjaan di lingkungan rumah


sakit maupun pada penanganan limbah di luar rumah sakit.

Pengurangan biaya produksi kantong & kontainer

3) Pengangkutan

Dalam strategi pembuangan limbah rumah sakit hendaknya memasukkan prosedur


pengangkutan limbah internal dan eksternal. Pengangkutan internal biasanya berawal
dari titik penampungan ke onsite incinerator Rumah Sakit atau oleh pihak ketiga yang
sudah diakui oleh pemerintah.

Peralatan tersebut harus diberi label dan dibersihkan secara reguler dan hanya
digunakan untuk mengangkut sampah . Setiap petugas hendaknya diberi APD (alat
pelindung diri) khusus.

Pengangkutan sampah klinins dan yang sejenis ke tempat pembuangan di luar


memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus diikuti oleh seluruh petugas
yang terlibat. Prosedur tersebut harus memenuhi peraturan angkutan lokal. Bila limbah
klinis dan yang sejenis diangkut dengan kontainer khusus, kuat dan tidak bocor.
Kontainer harus mudah ditangani dan harus mudah dibersihkan.

4) Pemusnahan

Incinerator digunakan untuk melakukan proses pembakaran yang dilaksana-kan


dalam ruang ganda incinerator yang mempunyai mekanisme pemantauan secara ketat
dan pengendalian parameter pembakaran. Limbah yang combustible dapat dibakar
bila incinerator yang tepat tersedia, bila tidak justru akan merusak dinding ruang
incinerator. Residu dari incinerator/abu bisa dibuang langsung ke landfill, namun tidak
untuk residu yang mengandung logam berat.

5. Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya

Barang berbahaya dan beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
49

Yang termasuk kategori bahan berbahaya dan beracun adalah:

a. Memancarkan radiasi

Bahan yang memancarkan gelombang elektromagnetik atau partikel radioaktif yang


mampu mengionkan secara langsung atau tidak langsung materi bahan yang
dilaluinya, misalnya: Ir192, I131, Tc99, Sa153, sinar X, sinar alfa, sinar beta, sinar gamma,
dll

b. Mudah meledak

Bahan yang mudah membebaskan panas dengan cepat tanpa disertai pengim-
bangan kehilangan panas, sehingga kecepatan reaksi, peningkatan suhu dan tekanan
meningkat pesat dan dapat menimbulkan peledakan. Bahan mudah meledak apabila
terkena panas, gesekan atau bantingan dapat menimbulkan ledakan.

c. Mudah menyala atau terbakar

Bahan yang mudah membebaskan panas dengan cepat disertai dengan pengim-
bangan kehilangan panas, sehingga tercapai kecepatan reaksi yang menimbulkan
nyala. Bahan mudah menyala atau terbakar mempunyai titik nyala (flash ponit) rendah
(210C)

d. Oksidator

Bahan yang mempunyai sifat aktif mengoksidasikan sehingga terjadi reaksi oksidasi,
mengakibatkan reaksi eksothermis (keluar panas)

e. Racun

Bahan yang bersifat beracun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menye-
babkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui
pernapasan kulit atau mulut.

f. Korosif

Bahan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit, menyebabkan proses pengkaratan
pada lempeng baja (SAE 1020) dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun
dengan temperatur uji 550C, mempunyai pH sama atau kurang dari 2 (asam), dan
sama atau lebih dari 12,5 (basa)

g. Karsinogenik

Sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel luar yang dapat merusak jaringan tubuh.
50

h. Iritasi

Bahan yang dapat mengakibatkan peradangan pada kulit dan selaput lendir.

i. Teratogenik

Sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.

j. Mutagenik

Sifat bahan yang dapat mengakibatkan perubahan kromosom yang berarti dapat
merubah genetika.

k. Arus listrik

Faktor yang mendukung timbulnya situasi berbahaya/tingkat bahaya dipengaruhi oleh:

a. Daya racun dinyatakan dengan satuan LD 50 atau LC50, dimana makin kecil nilai LD50
atau LC50 B3 menunjukkan makin tinggi daya racunnya

b. Cara B3 masuk ke dalam tubuh yaitu melalui saluran pernapasan, saluran


pencernaan dan penyerapan melalui kulit. Diantaranya yang sangat berbahaya
adalah yang melalui saluran pernapasan karena tanpa disadari B3 akan masuk ke
dalam tubuh bersama udara yang dihirup yang diperkirakan sekitar 8,3 M 2 selama 8
jam kerja dan sulit dikeluarkan kembali dari dalam tubuh.

c. Konsentrasi dan lama paparan

d. Efek kombinasi bahan kimia, yaitu paparan bermacam-macam B3 dengan sifat dan
daya racun yang berbeda, menyulitkan tindakan-tindakan pertolongan atau
pengobatan

e. Kerentanan calon korban paparan B3, karena masing-masing individu mempunyai


daya tahan yang berbeda terhadap pengaruh bahan kimia.

Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3:

a. Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk mengenal ciri-ciri dan
karakteristiknya. Diperlukan penataan yang rapi dan teratur, dilakukan oleh petugas
yang ditunjuk sebagai penanggung jawab. Hasil identifikasi diberi label atau kode
untuk dapat membedakan satu sama lainnya. Sumber informasi didapatkan dari
lembar data keselamatan bahan (MSDS).
51

b. Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai


sifat dan karekteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi
resiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi.

c. Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang dilakukan


meliputi:

1) Pengendalian operasional, seperti eliminasi, substitusi, ventilasi, penggunaan alat


perlindungan diri, dan menjaga hygiene perorangan.

2) Pengendalian organisasi administrasi, seperti pemasangan label, penyediaan


lembar MSDS, pembuatan prosedur kerja, pengaturan tata ruang, pemantauan
rutin dan pendidikan atau latihan.

3) Inspeksi dan pemeliharaan sarana, prosedur dan proses kerja yang aman

4) Pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang

d. Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya antara lain:

1) Upayakan substitusi, yaitu mengganti penggunaan bahan berbahaya dengan yang


kurang berbahaya

2) Upayakan menggunakan atau menyimpan bahan berbahaya sedikit mungkin


dengan cara memilih proses kontinyu yang menggunakan bahan setiap saat lebih
sedikit. Dalam hal ini bahan dapat dipesan sesuai kebutuhan sehingga resiko
dalam penyimpanan kecil.

3) Upayakan untuk mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang bahan berbahaya


yang menyangkut sifat berbahaya, cara penanganan, cara penyimpanan, cara
pembuangan dan penanganan sisa atau bocoran/ tumpahan, cara pengobatan bila
terjadi kecelakaan dan sebagainya. Informasi tersebut dapat diminta kepada
penyalur atau produsen bahan berbahaya yang bersangkutan.

4) Upayakan proses dilakukan secara tertutup atau mengendalikan kontaminan


bahan berbahaya dengan sistem ventilasi dan dipantau secara berkala agar
kontaminan tidak melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan.

5) Upayakan agar tenaga kerja tidak mengalami paparan yang terlalu lama dengan
mengurangi waktu kerja atau sistem shift kerja serta mengikuti prosedur kerja
yang aman.
52

6) Upayakan agar tenaga kerja memakai alat pelindung diri yang sesuai atau tepat
melalui pengujian, pelatihan dan pengawasan.

7) Upayakan agar penyimpanan bahan-bahan berbahaya sesuai prosedur dan


petunjuk teknis yang ada dan memberikan tanda-tanda peringatan yang sesuai
dan jelas.

8) Upayakan agar sistem izin kerja diterapkan dalam penanganan bahan-bahan


berbahaya

9) Tempat penyimpanan bahan-bahan berbahaya harus dalam keadaan aman,


bersih, dan terpelihara dengan baik

10)Upayakan agar limbah yang dihasilkan sekecil mungkin dengan cara memelihara
instalasi menggunakan teknologi yang tepat dan upaya pemanfaatan kembali atau
daur ulang.
53

BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan, maka


fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam rumah sakit secara bertahap
perlu terus ditingkatkan agar menjadi efektif dan efisien serta memberi kepuasan
terhadap pasien, keluarga maupun masyarakat. Dengan latar belakang diatas, maka
program pengendalian / peningkatan mutu pelayanan merupakan prioritas utama di
semua rumah sakit.

Di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah pidie Jaya, program pengendalian /
peningkatan mutu pelayanan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut :

1. Penetapan alur pelayanan teknis dan alur pelayanan administratif


2. Penetapan sistem pengadaan logistik dan fasilitas penunjang terkait
3. Penetapan Standar Pelayanan Medis dan Penunjang Medis (Penerapan Standar
Pelayanan Minimal, Indikator Mutu, dan penyusunan SPO)
4. Penetapan sistem rekruitmen dan pengembangan ketenagaan
5. Penetapan media monitoring layanan beserta standar layanan, meliputi :
- Morning Report
- Ronde Pelayanan Medis
- Case Presentation
- Rapat Rutin Mingguan
- Rapat Bulanan
6. Pelaksanaan program MONEV (monitoring dan evaluasi) serta perumusan langkah
perbaikan / peningkatan mutu
7. Secara periodik perlu dilakukan studi banding untuk melihat layanan ICU rumah sakit
lain, baik rumah sakit pemerintah / Pemkot maupun swasta.
Kegiatan “Bench Marking” diatas diperlukan untuk memperluas wawasan staf ICU
dalam pengelolaan unit layanan terkait

Dalam sistem ”Pengendalian Mutu” ICU Rumah Sakit Umum Daerah Pidie Jaya
secara sistematis melalui berbagai tahapan sebagai berikut :
54

a. Pembuatan atau penetapan standar, indikator mutu dan SPO (alur kerja) yang relevan
atau terkait
b. Sosialisasi standar mutu
c. Menetapkan sistem Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
d. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan MONEV dirumuskan ACTION PLAN terkait

Sedangkan uraian sistematika program ”Pengendalian Mutu” diatas adalah


sebagai berikut :

A. Pembuatan atau Penetapan Standar Mutu, meliputi :


- Penetapan Standar Pelayanan Medik; khususnya pembuatan pada 10 kasus
penyakit terbanyak dan kasus kegawatdaruratan medik secara umum
- Penetapan Standar Asuhan Keperawatan
- Pembuatan atau penetapan SPO tindakan medis dan tindakan keperawatan
- Pembuatan atau penetapan SPO manajerial dan alur pelayanan
B. Sosialisasi Standar Mutu
Dalam langkah sosialisasi dimaksud menggunakan media, yaitu : surat, rapat rutin,
”morning report”

C. Menetapkan atau melaksanakan sistem Monitoring dan Evaluasi (MONEV)


Kegiatan ini bertujuan untuk memonitor dan mengevaluasi sejauh mana standar mutu
yang telah ditetapkan diatas terlaksana / dilaksanakan oleh petugas di lapangan.
Aplikasi kegiatan MONEV ini meliputi :

- Supervisi rutin; dilaksanakan oleh Kepala Ruang ICU dan supervisi unit terkait
- Morning report (harian)
- Rapat Manajerial Mingguan
- Rapat rutin bulanan

D. Ditetapkan ACTION PLAN terkait tindaklanjut dari kegiatan MONEV.


Penetapan dengan ”ACTION PLAN” ditentukan oleh temuan teknis dalam kegiatan
Monitoring dan Evaluasi. Dalam penerapan “ACTION PLAN” tersebut diharapkan
mampu memfasilitasi percepatan pencapaian standar mutu yang telah ditetapkan.
55

BAB IX

PENUTUP

Buku Pedoman Intensive Care Unit (ICU) disusun dalam rangka memberikan
acuan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di unit pelayanan ICU Rumkit Tk.II dr.
Soepraoen agar dapat menyelenggarakan pelayanan ICU yang bermutu, aman,
efektif dan efisien dengan mengutamakan keselamatan pasien. Apabila di kemudian
hari diperlukan adanya perubahan, maka Buku Pedoman Pelayanan ICU ini akan
disempurnakan.

Anda mungkin juga menyukai