Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KELOMPOK

MK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT EKTENSI JKT 14 SEMESER 3

Disusun Oleh Kelompok 5:


1. Hanif An Nisa NPM 08200100070
2. Roni Saputra NPM 08200100080
3. Siti Nurjanah NPM 08200100085
4. NURHAYATI NPM 08200100090
5. Sondang F Siompul NPM 08200100092
6. Noviany Utami NPM 08200100096
7. Susy Ariyanti NPM 08200100098

PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
(STIKIM)
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................2

BAB I...................................................................................................................4

UNIT PERAWATAN INTENSIF.........................................................................4

A. Konsep Intensive Care Unit ( ICU)......................................................4

B. Pembagian ICU Berdasarkan Kelengkapan........................................6

C. Sistem Pelayanan Ruang ICU..............................................................7

D. Syarat ICU..........................................................................................8

E. Indikasi Pasien Masuk & Keluar ICU.................................................9

F. Perawat ICU.....................................................................................10

BAB II................................................................................................................11

PRINSIP-PRINSIP PENATALAKSANAAN VENILASI MEKANIK................11

A. Definisi Ventilasi Mekanik dan Ventilator.........................................11

B. Indikasi Ventilasi Mekanik................................................................11

C. Tujuan Ventilasi Mekanik.................................................................11

D. Jenis-jenis Ventilasi Mekanik............................................................12

E. Mode-mode Ventilasi Mekanik..........................................................13

F. Pengaturan Pernafasan pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik...16

G. Komplikasi Ventilasi Mekanik..........................................................16

H. Penyapihan Ventilasi Mekanik..........................................................18

BAB III..............................................................................................................20

INDIKASI PENGGUNAAN VENTILATOR MEKANIK...................................20

A. Indikasi Penggunaan Ventilator Mekanik.........................................20

B. Efek Samping Penggunaan Ventilator Mekanik................................20

2
BAB IV..............................................................................................................21

PERAWATAN PASIEN DENGAN CENTRAL VENOUS PRESURE................21

A. Pengertian Central Venous Pressure (CVP)......................................21

B. Lokasi Pemantauan...........................................................................21

C. Indikasi Pemasangan CVP................................................................21

D. Komplikasi Pemasangan CVP...........................................................22

E. Pengkajian........................................................................................22

F. Diagnosa Keperawatan Pemasangan CVP.........................................22

G. Tujuan Keperawatan:.......................................................................22

H. Rencana Keperawatan......................................................................23

I. Pantau Tanda-tanda dan Gejala Embolisme Pulmonal.....................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

BAB I

3
UNIT PERAWATAN INTENSIF

A. Konsep Intensive Care Unit ( ICU)

ICU adalah ruang di rumah sakit yang di lengkapi staf dan peralatan khusus untuk
merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan/disfungsi satu organ atau
ganda yang masih reversible. (Musliha, 2010)
Ruang perawatan intensif (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat
pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan
tenaga, kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus. (DepKes, 2006).
Unit rawat intensif merupakan area khusus pada sebuah rumah sakit dimana pasien yang
mengalami sakit kritis atau cidera memperoleh pelayanan medis, dan keperawatan secara
khusus (Pande, Kolekar, dan Vidyapeeth, 2013). Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 1778/ Menkes/ SK/XII/ 2010 mendefinisikan Intensive Care Unit ( ICU) adalah
suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus pula yang ditujukan untuk obervasi, perawatan, dan terapi pasien- pasien yang
menderita penyakit, cidera atau penyulit- penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa. Unit perawatan ini melibatkan berbagai tenaga professional yang terdiri
dari multidisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari Rumah Sakit yang mandiri
(instalasi di bawah direktur pelayanan) dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus dengan tujuan untuk terapi pasien - pasien yang menderita penyakit, cedera atau
penyulit - penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis buruk.
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan
staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi
yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun
mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan
kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena
memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat
dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-
organ tubuh lainnya (Rab,2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah
sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur
pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang di tujukan untuk
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia.
Ruang lingkup pelayanan ruang Intensive Care Unit (ICU) menurut Kemenkes (2011)
meliputi hal- hal sebagai berikut:

4
1. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat
menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
2. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
penatalaksanaan spesifik problema dasar.
3. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit.
4. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung oleh
alat atau mesin dan orang lain.

Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan
pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat
prioritas pasien masuk berdasarkan beratnya penyakit dan prognosis. Krietria prioritas pasien
masuk yaitu:

1. Pasien prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan
tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat penunjang fungsi organ, infus, obat
vasoaktif/inotropik obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah kardiotoraksis,
sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
2. Pasien prioritas 2
Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat
beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif
menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien yang mengalami penyakit
dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah mengalami
pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas
karena kondisi mediknya senantiasa berubah.
3. Golongan pasien priorotas 3
Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya,
yang disebabkan penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya, secara sendirian
atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini
sangat kecil. Sebagai contoh antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai
penyulit infeksi, pericardial tamponande, sumbatan jalan nafas, atau pesien penyakit
jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.
Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja,
dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi. atau resusitasi jantung paru.
4. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala Instalasi Rawat Intensif,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan dengan catatan bahwa
pasien golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas
terbatas dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang
memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya
demi perawataan yang aman saja, pasien dengan perintah “Do Not Resuscitate”, pasien
dalam keadaan vegetatif permanen, pasien yang dipastikan mati batang otak namun

5
hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat dirawat di ICU demi
menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan organ untuk donasi.

Pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang rawat biasa, karena mereka
mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat, dokter, maupun
ketergantungan terhadap alat seperti ventilator. Reaksi pasien yang akan dirawat di ruang
ICU berbeda-beda yang diantaranya adalah muncul kecemasan. Perasaan cemas ini muncul
ketika seseorang terlalu mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan yang
terjadi di masa depan yang tidak bisa dikendalikan, dan jika itu terjadi akan dinilai menjadi
sesuatu yang mengerikan (Silvatar, 2007 dalam Saragih dan Yulia Suparmi, 2017). Pasien
dan keluarga seringkali menganggap perawatan di ICU adalah suatu tanda penyakit yang
kritis dan suatu tanda kematian akan terjadi. Pemahaman terhadap makna perawatan kritis
dapat membantu perawat dalam merawat mereka.

B. Pembagian ICU Berdasarkan Kelengkapan

Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi atas tiga


tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah sakit kecil yang dilengkapi
dengan perawat, ruangan observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka pendek yang
tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU
tingkat II yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat dilakukan
ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap, alat diagnosa yang lebih
lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi. Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan
ICU yang terdapat di rumah sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain
hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial. ICU ini
dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan konsultan dengan
berbagai latar belakang keahlian ( Rab, 2007).
Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu : kategori pertama, pasien
yang di rawat oleh karena penyakit kritis meliputi penyakit jantung koroner, respirasi akut,
kegagalan ginjal, infeksi, koma non traumatik dan kegagalan multi organ. Kategori kedua,
pasien yang di rawat yang memerlukan propilaksi monitoring oleh karena perubahan
patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi mayor.
Apapun kategori dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda klinis penyakit kritis biasanya
serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan gangguan pada fungsi pernafasan,
kardiovaskular, dan neurologi (Nolan et al. 2005). Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah
takipnea, takikardia, hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi / bingung,
agitasi atau penurunan tingkat kesadaran) (Jevons dan Ewens, 2009).

C. Sistem Pelayanan Ruang ICU

Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman pada Keputusan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di rumah sakit

6
meliputi beberapa hal, yang pertama etika kedokteran dimana etika pelayanan di ruang ICU
harus berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan
berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Kedua,
indikasi yang benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan
intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yangmemerlukan pengelolaan fungsi
sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan
pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan
pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi
fisiologis. Ketiga, kerjasama multidisipliner dalam masalah medis kompleks dimana dasar
pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari beberapa
disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan
bekerja sama di dalam tim yang di pimpin oleh seorang dokter intensivis sebagai ketua tim.
Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dimana kebutuhan pasien ICU adalah
tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway
(fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain
(fungsi otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Kelima,
peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana setiap tim multidisiplin harus
bekerja dengan melihat kondisi pasien misalnya sebelum masuk ICU, dokter yang merawat
pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan
terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan,
memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan
anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan mempertimbangkan
usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang
dimasukkan ke ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena
keterbatasan jumlah tempat tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk.
Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya koordinasi dan
peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang memerlukan tim kendali mutu yang
anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan
bekerja sama dengan staf struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU.
Kedelapan, kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU di samping
multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medik, profesi perawat dan profesi lain. Agar
dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM (Sumber Daya Manusia) secara
berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua profesi. Kesembilan, efektifitas,
keselamatan dan ekonomis dimana unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan
teknologi yang tinggi, multi disiplin dan multi profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas,
keselamatan dan ekonomis. Kesepuluh, kontuinitas pelayanan yang ditujukan untuk
efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU
Unit perawatan kritis atau unit perawatan intensif (ICU) merupakan unit rumah sakit
di mana klien menerima perawatan medis intensif dan mendapat monitoring yang ketat. ICU
memilki teknologi yang canggih seperti monitor jantung terkomputerisasi dan ventilator
mekanis. Walaupun peralatan tersebut juga tersedia pada unit perawatan biasa, klien pada
ICU dimonitor dan dipertahankan dengan menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf
keperawatan dan medis pada ICU memiliki pengetahuan khusus tentang prinsip dan teknik
perawatan kritis. ICU merupakan tempat pelayanan medis yang paling mahal karena setiap

7
perawat hanya melayani satu atau dua orang klien dalam satu waktu dan dikarenakan
banyaknya terapi dan prosedur yang dibutuhkan seorang klien dalam ICU ( Potter & Perry,
2009).
Pada permulaannya perawatan di ICU diperuntukkan untuk pasien post operatif. Akan
tetapi setelah ditemukannya berbagai alat perekam (monitor) dan penggunaan ventilator
untuk mengatasi pernafasan maka ICU dilengkap pula dengan monitor dan ventilator.
Disamping itu dengan metoda dialisa pemisahan racun pada serum termasuk kadar ureum
yang tinggi maka ICU dilengkapi pula dengan hemodialisa.
Pada prinsipnya alat dalam perawatan intensif dapat di bagi atas dua yaitu alat-alat
pemantau dan alat-alat pembantu termasuk alat ventilator, hemodialisa dan berbagai alat
lainnya termasuk defebrilator. Alat-alat monitor meliputi bedside dan monitor sentral, ECG,
monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output, oksimeter nadi,
monitor faal paru, analiser karbondioksida, fungsi serebral/monitor EEG, monitor temperatur,
analisa kimia darah, analisa gas dan elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray
machine, Image intensifier), alat-alat respirasi (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat
intubasi (airway control equipment), resusitator otomatik, fiberoptik bronkoskop, dan mesin
anastesi (Rab, 2007).
Peralatan unit kerja di ICU/ICCU yang begitu beragam dan kompleks serta
ketergantungan pasien yang tinggi terhadap perawat dan dokter karena setiap perubahan yang
terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat untuk mendapat tindakan yang cepat dan
tepat membuat adanya keterbatasan ruang gerak pelayanan dan kunjungan keluarga.
Kunjungan keluarga biasanya dibatasi dalam hal waktu kunjungan (biasanya dua kali sehari),
lama kunjungan (berbeda-beda pada setiap rumah sakit) dan jumlah pengunjung (biasanya
dua orang secara bergantian).
Selain itu ICU juga merupakan tempat yang sering memberikan respon kekhawatiran
dan kecemasan pasien dan keluarga mereka karena kritisasi kondisi yang belum stabil.
Diharapkan bahwa dengan memperhatikan kebutuhan baik pasien maupun keluarga, rumah
sakit dapat menciptakan lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga
sebagai bagian integral dari perawatan pasien dan pemulihan pasien secara utuh. (Kvale,
2011).

D. Syarat ICU

Menurut (Musliha, 2010):


1. Letaknya di sentral RS dan dekat dengan kamar bedah serta kamar pulih sadar
(recovery room)
2. Suhu ruangan diusahakan 22-25⁰C, nyaman, energi tidak banyak keluar.
3. Ruangan tertutup dan tidak terkontaminasi dari luar.
4. Tempat tidur harus yang beroda dan dapat diubah dengan segala posisi
5. Petugas maupun pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki ruangan
isolasi.
6. Tempat dokter dan perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah untuk
mengobservasi pasien.
7. Harus bebas dari elektromagnetik dan tahan terhadap getaran.

8
8. Perlu disiapkan titik graunding untuk peralatan elektrostaktik
9. Tersedia aliran gas medis (O2, udara bertekanan dan suction)
10. Pintu kedap asap dan tidak mudah terbakar,terdapat penyedot asap bila terjadi
kebakaran.
11. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas ramp apabila letak instalasi
ICU tidak pada lantai dasar.
12. Transportasi di antara tempat ini harus baik dan lancar baik untuk alat maupun
tempat tidur.Jumlah bed ICU di rumah sakit berkisar antara 1- 4 % dari
kapasitas bed rumah sakit.

E. Indikasi Pasien Masuk & Keluar ICU

1. Indikasi pasien masuk ICU


Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya
sewaktu-waktu karena kegagalan atau disfungsi satu/ multipel organ atau
sistem masih ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan,
pemantauan, dan pengobatan intesif.
Dari disfungsi atau kegagalan organ atau sistem ini dapat diuraikan berbagai
jenis penyakit yang nantinya perlu masuk ICU.
Indikasi sosial yang masuknya pasien ke ICU di luar indikasi medik yaitu :
pasien tidak ada kegawatan mengancam jiwa atau pasien yang sudah jelas
ireversibel penyakitnya (misalnya mati batang otak, penyakit kanker yang
sudah metastase jauh).
2. Indikasi pasien keluar dari ICU :

a. Pasien tidak memerlukan lagi terapi intensif karena keadaan membaik atau
terapi telah gagal dan prognosis dalam waktu dekat akan memburuk serta
manfaat terapi intensif sangat kecil. Dalam hal yang kedua perlu
persetujuan dokter yang mengirim.
b. Bila pada pemantauan intensif ternyata hasilnya tidak memerlukan
tindakan atau terapi intensif lebih lama.
c. Terapi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu diteruskan lagi
pada:
d. Pasien usia lanjut dengan gagal 3 organ atau lebih yang tidak memberikan
respon terhadap terapi intensif selama 72 jam.
e. Pasien mati otak atau koma (bukan karena trauma) yang menimbulkan
keadaan vegetative dan sangat kecil kemungkinan untuk pulih.
f. Pasien dengan bermacam-macam diagnosis seperti PPOM, jantung
mterminal, karsinoma yang menyebar.

F. Perawat ICU

Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama yaitu, life
support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat pengobatan dan mencegah

9
komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu diperlukan satu perawat untuk setiap
pasien dengan pipa endotrakeal baik dengan menggunakan ventilator maupun yang tidak. Di
Australia diklasifikasikan empat kriteria perawat ICU yaitu, perawat ICU yang telah
mendapat pelatihan lebih dari duabelas bulan ditambah dengan pengalaman, perawat yang
telah mendapat latihan sampai duabelas bulan, perawat yang telah mendapat sertifikat
pengobatan kritis (critical care certificate), dan perawat sebagai pelatih (trainer) (Rab, 2007).
Di Indonesia, ketenagaan perawat di ruang ICU di atur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit yaitu, untuk ICU level I maka perawatnya
adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan hidup dasar dan bantuan lanjut, untuk ICU
level II diperlukan minimal 50% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat
terlatih dan bersertifikat ICU, dan untuk ICU level III diperlukan minimal 75% dari jumlah
seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU.
Karakteristik Perawat yang bekerja di lingkungan keperawatan intensif (DepKes, 2006)
meliputi :
1. Mengelola pasien mengacu pada standar keperawatan intensif dengan konsisten
2. Menghormati sesama sejawat dan tim lainnya
3. Mengintegrasikan kemampuan ilmiah dan keterampilan khusus serta diikuti oleh nilai
etika dan legal dalam memberikan asuhan keperawatan
4. Berespon secara terus menerus dengan perubahan lingkungan
5. Menerapkan keterampilan komunikasi secara efektif
6. Mendemonstrasikan kemampuan keterampilan klinis yang tinggi
7. Menginterpretasikan analisa situasi yang komplek
8. Mengembangkan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga
9. Berfikir kritis
10. Mampu menghadapai tantangan
11. Mengembangkan pengetahuan dan penelitian
12. Berfikir ke depan
13. Inovatif

10
BAB II

A. Definisi Ventilasi Mekanik dan Ventilator

Ventilasi mekanik adalah proses penggunaan suatu peralatan untuk memfasilitasi


transpor oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk tujuan meningkatkan
pertukaran gas paru-paru (Urden, Stacy, Lough, 2010). Ventilator merupakan alat pernafasan
bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen
untuk periode waktu yang lama (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).

B. Indikasi Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik diindikasikan untuk alasan fisiologis dan klinis (Urden, Stacy, Lough,
2010). Ventilasi mekanik diindikasikan ketika modalitas manajemen noninvasif gagal untuk
memberikan bantuan oksigenasi dan/atau ventilasi yang adekuat. Keputusan untuk memulai
ventilasi mekanik berdasarkan pada kemampuan pasien memenuhi kebutuhan oksigenasi
dan/atau ventilasinya. Ketidakmampuan pasien untuk secara klinis mempertahankan CO2 dan
status asam-basa pada tingkat yang dapat diterima yang menunjukkan terjadinya kegagalan
pernafasan dan hal tersebut merupakan indikasi yang umum untuk intervensi ventilasi mekanik
(Chulay & Burns, 2006).

C. Tujuan Ventilasi Mekanik

Tujuan ventilasi mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar yang tepat
untuk kebutuhan metabolik pasien dan untuk memperbaiki hipoksemia dan memaksimalkan
transpor oksigen (Hudak & Gallo, 2010). Bila fungsi paru untuk melaksanakan pembebasan CO 2
atau pengambilan O2 dari atmosfir tidak cukup, maka dapat dipertimbangkan pemakaian
ventilator (Rab, 2007). Tujuan fisiologis meliputi membantu pertukaran gas kardio-pulmonal
(ventilasi alveolar dan oksigenasi arteri), meningkatkan volume paru-paru (inflasi paru akhir
ekspirasi dan kapasitas residu fungsional), dan mengurangi kerja pernafasan. Tujuan klinis
meliputi mengatasi hipoksemia dan asidosis respiratori akut, mengurangi distress pernafasan,
mencegah atau mengatasi atelektasis dan kelelahan otot pernafasan, memberikan sedasi dan
blokade neuromuskular, menurunkan konsumsi oksigen, mengurangi tekanan intrakranial, dan
menstabilkan dinding dada (Urden, Stacy, Lough, 2010).

D. Jenis-jenis Ventilasi Mekanik

11
1. Ventilator tekanan negatif
Ventilator tekanan negatif pada awalnya diketahui sebagai “paru-paru besi”. Tubuh pasien
diambil alih oleh silinder besi dan tekanan negatif didapat untuk memperbesar rongga toraks.
Saat ini, ventilasi tekanan negatif jangka-pendek intermiten (VTNI) telah digunakan pada
penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) untuk memperbaiki gagal nafas hiperkapnik berat
dengan memperbaiki fungsi diafragma (Hudak & Gallo, 2010). Ventilator ini kebanyakan
digunakan pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi neuromuskular seperti
poliomielitis, muscular dystrophy, amyotrophic lateral sclerosis, dan miastenia gravis
(Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Ventilator tekanan negatif menggunakan tekanan negatif pada dada luar. Penurunan tekanan
intrathorak selama inspirasi menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru. Secara
fisiologis, tipe assisted ventilator ini sama dengan ventilasi spontan. Ventilator tekanan negatif
mudah digunakan dan tidak memerlukan intubasi jalan nafas (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008). Ventilator ini dapat digerakkan dan dipasang seperti rumah kura-kura, bentuk kubah
diatas dada dengan menghubungkan kubah ke generator tekanan negatif. Rongga toraks secara
harfiah “menghisap” untuk mengawali inspirasi yang disusun secara manual dengan “trigger”.
Ventilator tekanan negatif menguntungkan karena ia bekerja seperti pernafasan normal. Namun,
alat ini digunakan terbatas karena keterbatasannya pada posisi dan gerakan seperti juga rumah
kura-kura (Hudak & Gallo, 2010).

2. Ventilator tekanan positif

a. Pressure-Cycled.

Ventilator pressure-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila tekanan praset
dicapai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010; Ignatavicius & Workman, 2006;
Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Pada titik tekanan ini, katup inspirasi
tertutup dan ekshalasi terjadi dengan pasif. Ini berarti bahwa bila komplain atau
tahanan paru pasien terhadap perubahan aliran, volume udara yang diberikan
berubah (Hudak & Gallo, 2010).
Secara klinis saat paru pasien menjadi lebih kaku (kurang komplain) volume udara
yang diberikan ke pasien menurun-kadang secara drastis (Hudak & Gallo, 2010).
Volume udara atau oksigen bisa bervariasi karena dipengaruhi resistansi jalan nafas
dan perubahan komplain paru, sehingga volume tidal yang dihantarkan tidak
konsisten (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Perawat harus sering memonitor
tekanan inspirasi, kecepatan, dan volume tidal (VT) ekshalasi untuk meyakinkan
ventilasi menit yang adekuat dan untuk mendeteksi berbagai perubahan pada
komplain dan tahanan paru. Pada pasien yang status parunya tak stabil, penggunaan
ventilator tekanan tidak dianjurkan. Namun pada pasien komplain parunya sangat
stabil, ventilator tekanan adekuat dan dapat digunakan sebagai alat penyapihan pada

12
pasien terpilih (Hudak & Gallo, 2010).

b. Time-Cycled

Ventilator time-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila pada waktu praset
selesai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008). Waktu ekspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah nafas
per menit). Normal rasio I:E (inspirasi:ekspirasi) 1:2 (Hudak & Gallo, 2010).
Kebanyakan ventilator memiliki suatu kontrol kecepatan yang menentukan
kecepatan respirasi, tetapi siklus waktu yang murni jarang digunakan pada pasien
dewasa. Ventilator tersebut digunakan pada bayi baru lahir dan infant (Smeltzer,
Bare, Hinkle, Cheever, 2008).

c. Volume-Cycled.

Ventilator volume yang paling sering digunakan pada unit kritis saat ini (Hudak &
Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Prinsip dasar ventilator ini
adalah bila volume udara yang ditujukan diberikan pada pasien, inspirasi diakhiri.
Ini mendorong volume sebelum penetapan (VT) ke paru pasien pada kecepatan
pengesetan. Keuntungan ventilator volume adalah perubahan pada komplain paru
pasien, memberikan VT konsisten (Hudak & Gallo, 2010). Volume udara yang
dihantarkan oleh ventilator dari satu pernafasan ke pernafasan berikutnya relatif
konstan, sehingga pernafasan adekuat walaupun tekanan jalan nafas bervariasi
(Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).

E. Mode-mode Ventilasi Mekanik

1. Control mode ventilation

Ventilasi mode control menjamin bahwa pasien menerima suatu antisipasi jumlah
dan volume pernafasan setiap menit (Chulay & Burns, 2006). Pada mode control,
ventilator mengontrol pasien. Pernafasan diberikan ke pasien pada frekuensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien
untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar atau paralise, mode ini dapat
menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan (Hudak & Gallo, 2010).
Biasanya pasien tersedasi berat dan/atau mengalami paralisis dengan blocking agent
neuromuskuler untuk mencapai tujuan (Chulay & Burns, 2006). Indikasi untuk
pemakaian ventilator meliputi pasien dengan apnea, intoksikasi obat-obatan, trauma
medula spinalis, disfungsi susunan saraf pusat, frail chest, paralisa karena obat-

13
obatan, penyakit neuromuskular (Rab, 2007).

2. Assist Mode

Pada mode assist, hanya picuan pernafasan oleh pasien diberikan pada VT yang
telah diatur. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila
pasien tidak mampu untuk memicu pernafasan, udara tak diberikan (Hudak &
Gallo, 2010). Kesulitannya buruknya faktor pendukung “lack of back-up” bila
pasien menjadi apnea model ini kemudian dirubah menjadi assit/control, A/C (Rab,
2007).

3. Model ACV (Assist Control Ventilation)

Assist control ventilation merupakan gabungan assist dan control mode yang dapat
mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila pasien gagal untuk inspirasi
maka ventilator akan secara otomatik mengambil alih (control mode) dan
mempreset kepada volume tidal (Rab, 2007). Ini menjamin bahwa pasien tidak
pernah berhenti bernafas selama terpasang ventilator. Pada mode assist control,
semua pernafasan-apakah dipicu oleh pasien atau diberikan pada frekuensi yang
ditentukan-pada VT yang sama (Hudak & Gallo, 2010).
Assist control ventilation sering digunakan saat awal pasien diintubasi (karena
menit ventilasi yang diperlukan bisa ditentukan oleh pasien), untuk dukungan
ventilasi jangka pendek misalnya setelah anastesi, dan sebagai dukungan ventilasi
ketika dukungan ventilasi tingkat tinggi diperlukan (Chulay & Burns, 2006).
Secaraklinis banyak digunakan pada sindroma Guillain Barre, postcardiac, edema
pulmonari, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan ansietas (Rab, 2007).

4. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)

IMV dirancang untuk menyediakan bantuan ventilator tapi hanya sebagian,


merupakan kombinasi periode assist control dengan periode ketika pasien bernafas
spontan (Marino, 2007). Mode IMV memungkinkan ventilasi mandatori intermiten.
Seperti pada mode kontrol frekuensi dan VT praset. Bila pasien mengharapkan
untuk bernafas diatas frekuensi ini, pasien dapat melakukannya. Namun tidak
seperti pada mode assist control, berapapun pernafasan dapat diambil melalui
sirkuit ventilator (Hudak & Gallo, 2010).

5. Pressure-Controlled Ventilation (PCV)

14
PCV menggunakan suatu tekanan konstan untuk mengembangkan paru-paru. Mode
ventilator ini kurang disukai karena volume inflasi bisa bervariasi. Akan tetapi, ada
ketertarikan kepada PCV karena risiko injuri paru-paru yang disebabkan oleh
pemasangan ventilasi mekanik lebih rendah (Marino, 2006).

6. Pressure-Support Ventilation (PSV)

Pernafasan yang membantu tekanan yang memberikan kesempatan kepada pasien


untuk menentukan volume inflasi dan durasi siklus respirasi dinamakan PSV. PSV
bisa digunakan untuk menambah volume inflasi selama pernafasan spontan atau
untuk mengatasi resistensi pernafasan melalui sirkuit ventilator. Belakangan ini
PSV digunakan untuk membatasi kerja pernafasan selama penyapihan dari ventilasi
mekanik (Marino, 2007).

7. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)

Kolaps pada jalan nafas bagian distal pada akhir ekspirasi sering terjadi pada pasien
dengan ventilasi mekanik dan menimbulkan ateletaksis ganguan pertukaran gas dan
menambah berat kegagalan pernafasan. Suatu tekanan posistif diberikan pada jalan
nafas di akhir ekspirasi untuk mengimbangi kecenderungan kolaps alveolar pada
akhir ekspirasi (Marino, 2007).
PEEP digunakan untuk mempertahankan alveolus tetap terbuka. PEEP
meningkatkan kapasitas residu fungsional dengan cara melakukan reinflasi alveolus
yang kolaps, mempertahankan alveolus pada posisi terbuka, dan memperbaiki
komplain paru (Morton & Fontaine, 2009).

8. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

Pernafasan spontan dimana tekanan positif dipertahankan sepanjang siklus respirasi


dinamakan CPAP (Marino, 2007). CPAP merupakan mode pernafasan spontan
digunakan pada pasien untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional dan
memperbaiki oksigenasi dengan cara membuka alveolus yang kolaps pada akhir
ekspirasi. Mode ini juga digunakan untuk penyapihan ventilasi mekanik (Urden,
Stacy, Lough, 2010)

15
F. Pengaturan Pernafasan pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik

Jumlah dan tekanan udara yang diberian kepada klien diatur oleh ventilator (Smith-Temple &
Johnson, 2011):
1. Volume tidal (VT): jumlah udara dalam mililiter dalam satu kali nafas, yang diberikan
selama inspirasi. Pengaturan awal adalah 7-10 ml/kg; dapat ditingkatkan sampai15 ml/kg
2. Frekuensi: jumlah nafas yang diberikan per menit. Pengaturan awal biasanya10 kali dalam
1 menit tetapi akan bervariasi sesuai dengan kondisi klien.
3. Fraksi oksigen terinspirasi oksigen (fraction of inspired oxygen, FiO2): persentase oksigen
dalam udara yang diberikan. Udara kamar memiliki FiO 2 21%. Pengaturan awal
berdasarkan pada kondisi klien dan biasanya dalam rentang 50% sampai 65%. Dapat
diberikan sampai 100%, tetapi FiO2 lebih dari 50% dihubungkan dengan toksisitas
oksigen.
4. PEEP: tekanan positif yang konstan dalam alveolus yang membantu alveoli tetap terbuka
dan mencegahnya menguncup dan atelektasis. Pengaturan PEEP awal biasanya adalah 5
cmH2O. Tetapi dapat juga mencapai hingga 40 cmH2O untuk kondisi seperti sindrom
gawat nafas pada orang dewasa (ARDS). Setiap perubahan yang dilakukan pada
pengaturan ventilator harus dievaluasi setelah 20 sampai 30 menit melalui analisis gas
darah arteri, hasil pengukuran SaO2, atau hasil pembacaan karbon dioksida tidal-akhir
untuk melihat keefektivitasan ventilator

G. Komplikasi Ventilasi Mekanik

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik antara lain:

1. Komplikasi jalan nafas

Jalur mekanisme pertahanan normal, sering terhenti ketika terpasang ventilator,


penurunan mobilitas dan juga gangguan reflek batuk dapat menyebabkan infeksi pada
paru-paru (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Aspirasi dapat terjadi sebelum,
selama, atau setelah intubasi. Risiko aspirasi setelah intubasi dapat diminimalkan dengan
mengamankan selang, mempertahankan manset mengembang, dan melakukan suksion
oral dan selang kontinyu secara adekuat (Hudak & Gallo, 2010).
2. Masalah selang endotrakeal

Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat dapat terjadi. Kapanpun
pasien mengeluh nyeri sinus atau telinga atau terjadi demam dengan etiologi yang tak
diketahui, sinus dan telinga harus diperiksa untuk kemungkinan sumber infeksi (Hudak
& Gallo, 2010).
Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh intubasi lama. Stenosis trakeal dan

16
malasia dapat diminimalkan bila tekanan manset diminimalkan. Sirkulasi arteri dihambat
oleh tekanan manset 30 mmHg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman kehidupan
pascaekstubasi dapat terjadi (Hudak & Gallo, 2010).

3. Masalah mekanis

Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2 sampai 4 jam ventilator
diperiksa oleh staf keperawatan atau pernafasan. VT tidak adekuat disebabkan oleh
kebocoran dalam sirkuit atau manset, selang, atau ventilator terlepas, atau obstruksi
aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang, tahanan sekresi, bronkospasme
berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang endotrakeal (Hudak & Gallo, 2010).

4. Barotrauma

Ventilasi mekanik melibatkan „pemompaan” udara ke dalam dada, menciptakan tekanan


posistif selama inspirasi. Bila PEEP ditambahkan, tekanan ditingkatkan dan dilanjutkan
melalui ekspirasi. Tekanan positif ini dapat menyebabkan robekan alveolus atau
emfisema. Udara kemudian masuk ke area pleural, menimbulkan tekanan pneumothorak-
situasi darurat. Pasien dapat mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan keluhan nyeri
pada daerah yang sakit (Hudak & Gallo, 2010).

5. Penurunan curah jantung

Penurunan curah ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien pertama kali dihubungkan ke
ventilator ditandai adanya kekurangan tonus simpatis dan menurunnya aliran balik vena.
Selain hipotensi, tanda dan gejala lain meliputi gelisah yang dapat dijelaskan, penurunan
tingkat kesadaran, penurunan halauan urin, nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat,
pucat, lemah dan nyeri dada (Hudak & Gallo, 2010).

6. Keseimbangan cairan positif

Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh regangan reseptor vagal pada
atrium kanan. Manfaat hipovolemia ini merangsang pengeluaran hormon antidiuretik dari
hipofisis posterior. Penurunan curah jantung menimbulkan penurunan haluaran urin
melengkapi masalah dengan merangsang respon aldosteron renin-angiotensin. Pasien
yang bernafas secara mekanis, hemodinamik tidak stabil, dan yang memellukan resusitasi
cairan dalam jumlah besar dapat mengalami edema luas, meliputi edema sakral dan fasial
(Hudak & Gallo, 2010).

17
7. Peningkatan IAP

Peningkatan PEEP bisa membatasi pengembangan rongga abdomen ke atas. Perubahan


tekanan pada kedua sisi diafragma bisa menimbulkan gangguan dalam hubungan antara
intraabdomen atas dan bawah, tekanan intrathorak dan intravaskuler intraabdomen
(Valenza et al., 2007 dalam Jakob, Knuesel, Tenhunen, Pradl, Takala, 2010). Hasil
penelitian Morejon & Barbeito (2012), didapatkan bahwa ventilasi mekanik diidentifikasi
sebagai faktor predisposisi independen untuk terjadinya IAH. Pasien-pasien dengan
penyakit kritis, yang terpasang ventilasi mekanik, menunjukkan nilai IAP yang tinggi
ketika dirawat dan harus dimonitor terus-menerus khususnya jika pasien mendapatkan
PEEP walaupun mereka tidak memiliki faktor risiko lain yang jelas untuk terjadinya
IAH.
Setting optimal ventilasi mekanik dan pengaruhnya terhadap fungsi respirasi dan
hemodinamik pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
berhubungan dengan IAH masih sangat jarang dikaji. Manajement ventilator yang
optimal pada pasien dengan ARDS dan IAH meliputi: monitor IAP, tekanan esofagus,
dan hemodinamik; setting ventilasi dengan tidal volume yang protektif, dan PEEP diatur
berdasarkan komplain yang terbaik dari sistem respirasi atau paru-paru; sedasi dalam
dengan atau tanpa paralisis neuromuskular pada ARDS berat; melakukan open abdomen
secara selektif pada pasien dengan ACS berat (Pelosi & Vargas, 2012).

H. Penyapihan Ventilasi Mekanik

Melepaskan ventilator ke pernafasan spontan (penyapihan) sering menimbulkan


kesulitan pada ICU yang disebabkan oleh karena faktor fisiologis dan psikologis. Hal ini
memerlukan kerja sama dari pasien, perawat, ahli respirasi, dan dokter (Rab, 2007). Penyapihan
merupakan pengurangan secara bertahap penggunaan ventilasi mekanik dan mengembalikan ke
nafas spontan. Penyapihan dimulai hanya setelah proses-proses dasar yang dibantu oleh
ventilator sudah terkoreksi dan kestabilan kondisi pasien sudah tercapai (Smeltzer, Bare,
Hinkle, Cheever, 2008).
Menyapih pasien dari ketergantungan pada ventilator terjadi dalam tiga tahapan. Pasien
disapih secara bertahap dari (1) ventilator, (2) selang, dan (3) oksigen. Penyapihan dari ventilasi
mekanik dilakukan pada waktu sedini mungkin, konsisten dengan keselamatan pasien. Penting
artinya bahwa keputusan dibuat atas dasar fisiologi ketimbang sudut pandang mekanis.
Pemahaman yang menyeluruh tentang status klinis pasien diperlukan dalam membuat
keputusan ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Management pasien yang menggunakan ventilasi mekanik memerlukan kewaspadaan
konstan terhadap tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa bantuan ventilator sudah tidak
diperlukan. Ketika pasien mulai menunjukkan bukti perbaikan

18
klinis, bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang akan dilakukan pelepasan bantuan
ventilator. Secara umum, oksigenasi harus adekuat ketika bernafas dengan jumlah oksigen yang
dihirup berada pada tingkat non-toksik, dan pasien harus memiliki hemodinamik yang stabil
dengan dukungan vasopressor yang minimal atau tanpa dukungan vasopressor. Pasien harus
sadar terhadap lingkungan sekitarnya ketika tidak tersedasi dan harus bebas dari beberapa
keadaan yang reversibel (misal: sepsis atau elektrolit yang abnormal) (Marino, 2007).

19
BAB III
INDIKASI PENGGUNAAN VENTILATOR MEKANIK

A. Indikasi Penggunaan Ventilator Mekanik

Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik dibagi menjadi 2 kategori (Mackenzie, 2008)
yaitu:
1. Pasien yang memiliki risiko gagal napas yang disebabkan kegagalan pompa ventilasi atau
gangguan mekanisme pertukaran gas intra pulmonary. Kegagalan pompa ventilasi
dikarenakan 12 gangguan mekanisme perpindahan udara masuk dan keluar paruparu yang
disebabkan hipoventilasi alveolus
2. Pasien yang membutuhkan bantuan bukan karena berhubungan dengan langsung dengan
sistem pernapasan, yaitu :
a. Pasien yang akan melakukan pembedahan berhubungan dengan ketidakstabilan
sirkulasi, asidosis metabolik dan hipotermia;
b. Pasien yang membutuhkan kontrol tekanan intracranial seperti traumatic brain injury
atau hepatic enphalopathy;
c. Pasien yang membutuhkan perlindungan jalan napas seperti : aspirasi yang
berhubungan dengan kesadaran dan pemberian obat sedasi dan obstruksi atau
gangguan pada area pernapasan atas (facial trauma, acute epiglotis, tumor laring dan
bakteri akut faring);
d. Pasien yang membutuhkan pemantauan akibat imobilisasi dengan diagnostik kritis
seperti unstable spine fracture

B. Efek Samping Penggunaan Ventilator Mekanik

Efek samping dari Pemasangan Ventilasi Mekanik berikut ini menurut Bersten dan Soni (2009):
1. Efek samping / Komplikasi akibat peralatan. Terkait malfungsi atau pemutusan alat,
kesalahan tempat dan kontaminasi
2. Efek samping / Komplikasi terkait dengan paru-paru, seperti intubasi Airway misalnya
kerusakan gigi, pita suara dan trakea, VentilatorAcquired Pneumonia (VAP), gangguan
terkait cedera paru-paru misalnya difusi cedera paru-paru, barotrauma misalnya
pneumothorax dan keracunan O2
3. Efek samping /Komplikasi yang terkait dengan kardiovaskuler, seperti penurunan preload
ventrikel kanan yang menyebabkan penurunan curah jantung, peningkatan afterload
ventrikel kanan, retensi cairan karena penurunan jantung yang mengakibatkan penurunan
aliran darah di ginjal

20
4. Efek samping / Komplikasi lainnya seperti : luka atau perdarahan pada jaringan mukosa,
kelemahan oto-otot pernapasan dan peripheral, gangguan tidur, kecemasan, ketakutan
akibat lamanya waktu setelah masa penyembuhan, distensi akibat menelan, imobilisasai
dan masalah pencernaan

BAB IV
PERAWATAN PASIEN DENGAN CENTRAL VENOUS PRESURE

A. Pengertian Central Venous Pressure (CVP)

Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di atrium kanan atau vena
kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah, keefektifan jantung
sebagai pompa, dan tonus vaskular.

B. Lokasi Pemantauan

1. Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
2. Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
3. Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
4. Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas vena
kava superior

21
C. Indikasi Pemasangan CVP

1. Pasien dengan trauma berat disertai dengan perdarahan yang banyak yang dapat
menimbulkan syok.
2. Pasien dengan tindakan pembedahan yang besar seperti open heart, trepanasi.
3. Pasien dengan kelainan ginjal (ARF, oliguria).
4. Pasien dengan gagal jantung.
5. Pasien terpasang nutrisi parenteral (dextrosa 20% aminofusin).
6. Pasien yang diberikan tranfusi darah dalam jumlah yang besar (transfusi masif).

D. Komplikasi Pemasangan CVP

Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain :


1. Perdarahan.
2. Tromboplebitis (emboli thrombus,emboli udara, sepsis).
3. Pneumothorak, hematothorak, hidrothorak.
4. Pericardial effusion.
5. Perubahan posisi jalur
6. Infeksi
7. Aritmia

E. Pengkajian

Yang perlu dikaji pada pasien yang terpasang CVP adalah tanda-tanda komplikasi yang
ditimbulkan oleh pemasangan alat.
1. Keluhan nyeri, napas sesak, rasa tidak nyaman
2. Frekuensi napas, suara napas
3. Tanda kemerahan / pus pada lokasi punksi
4. Adanya gumpalan darah / gelembung udara pada cateter
5. Kesesuaian posisi jalur infus set
6. Tanda-tanda vital, perfusi
7. Tekanan CVP
8. Intake dan out put
9. ECG Monitor

22
F. Diagnosa Keperawatan Pemasangan CVP

Resiko tinggi emboli darah berhubungan dengan efek pemasangan kateter vena central

G. Tujuan Keperawatan: 

Perawatan akan menangani atau mengurangi komplikasi dari emboli darah

H. Rencana Keperawatan

Konsultasikan dengan dokter untuk pemberian obat heparin dosis rendah bagi klien yang
beresiko tinggi sampai ia ambulasi.(terapi heparin dosis rendah akan mengakibatkan
viskositas darah dan daya ikat trombosis menurun dan memungkinkan resiko terjadinya
embolisme).

I. Pantau Tanda-tanda dan Gejala Embolisme Pulmonal

1. Nyeri dada akut dan jelas


2. Dispnea, kelelahan, sianosis
3. Penurunan saturasi oksigen
4. Takikardia
5. Distensi vena jugularis
6. Hipotensi
7. Dilatasi venrikel kanan akut tanpa penyakit parenkim(pada ronsen dada)
8. Kekacauan mental
9. Disritmia jantung (oklusi arteri pulmonal mengganggu aliran darah ke paru-paru
bagian distal mengakibatkan hipoksia)
Jika manifestasi ini terjadi, lakukan protokol pada syok :
a. Pertahankan kateter IV (untuk pemberian cairan dan obat-obatan)
b. Berikan pengobatan pemberian cairan sesuai dengan protokol
c. Pasang kateter indwelling (foley) (untuk memantau volume sirkulasi melalui
haluaran urine)
d. Lakukan pemantauan EKG dan pemantauan invasif hemodinamik (untuk
mendeteksi disritmia dan pedoman pengobatan)
e. Berikan vasopressor untuk meningkatkan ketahanan perifer dan meningkatkan
tekanan darah
f. Berikan natrium bikarbonat sesuai indikasi (untuk mengoreksi asidosis metabolik)

23
g. Berikan obat-obat digitalis, diuretik IV dan agen aritmia sesuai indikasi
h. Berikan morfin dosis rendah secara IV (menurunkan ansietas dan menurunkan
kebutuhan metabolisme )
i. Siapkan klien untuk prosedur angiografi dan/ atau skaning perfusi paru-paru
( untuk memastikan diagnosis dan mendeteksi luasnya atelektasis). Karena
kematian akibat embolisme pulmonal masif terjadi dalam 2 jam pertama setelah
awitan, intervensi segera adalah sangat penting.
j. Berikan terapi oksigen melalui kateter nasal dan pantau saturasi oksigen. (dengan
tindakan ini akan meningkatan sirkulasi oksigen secara cepat)
k. Pantau nilai elektrolit, GDA, BUN, DL. Pemeriksaan laboratorium ini membantu
menentukan status perfusi dan volume
l. Lakukan pengobatan trombolisis, mis : urokinase, streptokinase sesuai dengan
program dokter. Trombolisis dapat menyebabkan lisisnya emboli dan
meningkatkan perfusi kapiler pulmonal
m. .Setelah pemberian infus trombolisis, lakukan pemberian pengobatan dengan
heparin. Intra Venous secara terus menerus atau intermitten. Heparin dapat
menghambat atau memperlambat proses terbentuknya trombus dan membantu
mencegah pembentukan dan berulangnya pembekuan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anna Owen, 1997. Pemantauan Perawatan Kritis. EGC. Jakarta


Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa Keperawatan .EGC. Jakarta.
Chulay, M. and S. M. Burns (2006). Essensial Of Critical Care Nursing. United States of
America, The McGraw-Hill Companies.
Cortes, G.A., Dries, D.J., Marini, J.J. (2012). Annual Update in Intensive Care and
Emergency Medicine: Position and the Compromised Respiratory System. New
York, Springer.
Departemen Kesehatan RI, (2006). Standar Pelayanan Keperawatan di ICU..

Fink, M. P., Abraham, E., Vincent, J., Kochanek, P.M. (2005). Textbook of Critical Care.
Philadelphia, Elsevier Saunder.
Grap, M. J. (2009). Not-So-Trivial Pursuit: Mechanical Ventilation Risk Reduction.
American Journal of Critical Care, 18, 299-309. doi: 10.4037/ajcc2009724.
Grossbach, I., Chlan, L., Tracy, M.F. (2011). Overview of Mechanical Ventilatory
Support and Management of Patient and Ventilator-Related Responses. Critical
Care Nurse, 31, 30-44. doi: 10.4037/ccn2011595.
Hudak C.M. & Gallo B.M. (2010). Critical Care Nursing: A Holistic Approach.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006) Medical Surgical Nursing: Critical
Thinking for Collaborative Care. Philadelphia, Elsevier.
Kementerian Kesehatan RI, (2011). Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah
Sakit.
LeMone, P. & Burke, K. (2008). Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in Client
Care. United Stated, Pearson Prentice Hall.
Malbrain, M.L.N.G., Laet, D., Cheatham, M. (2007). Consensus Conference Definitions

25
and Recommendations on Intra-Abdominal Hypertension (IAH) and The
Abdominal Compartment Syndrome (ACS) -The Long Road to the Final
Publications, How Did We Get There? Acta Clinica Belgica, 62, Supplement 1, 44-
59.

26
Marino, P.L. (2007). The ICU Book. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. (2013). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Morton, P.G. & Fontaine, D.K. (2009). Critical Care Nursing: A Holistic Approach.
Philadelphia, Lippincott William & Wilkin. Volume 1.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta. Nuha Medika


Pilbeam, S.P. (1998). Mechanical Ventilation: Physiological and Clinical Application.
Philadelphia, Mosby, Inc.
Schumacher and Chernecky (2010). Critical Care & Emergency Nursing. US,
Elsevier.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins.
Sole, M.L., Klein, D.G., Moseley, M.J. (2013). Introduction to Critical Care Nursing.
Missouri, Elsevier Saunder.

Urden, L. D., Stacy, K.M., Lough, M.E. et al. (2010). Critical Care Nursing. USA,
Mosby Elsevier.
Wauters, J. & Wilmer, A. (2007). Noosa, 2 Years Later… A Critical Analysis of
Recent Literature. Acta Clinica Belgica, 62, Supplement 1, 33-43.

Anda mungkin juga menyukai