Anda di halaman 1dari 62

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN DAN MENGISI

KEMERDEKAAN INDONESIA

DISUSUN OLEH :
Erma Yulisa (2103020033)
Muhammad Risky (2103020034)
Nurul Azura (2103020035)
Nurizati (2103020036)
Arif (2103020037)
Kurnia Rahmawati (2103020038)
Sanadia (2103020039)
Rara Candraningtyas (2103020040)
Yufi Triadi (2103020041)
Suprianto (2103020042)

Dosen Pengampu :
Dr. Dewi Haryanti, SH.,MH

Universitas Maritim Raja Ali Haji


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Pendidikan Matematika
Tahun Ajaran 2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji dan syukur, kami persembahkan kehadirat Allah SWT pengatur alam
semesta yang karena Rahmat, Rahim-Nya, Taufiq, hidayahnya, nikmat, karunia-Nya, sehingga
dapat menyelesaikan dan menyusun Makalah Perjuangan Mempertahankan dan Mengisi
Kemerdekaan Indonesia yang sangat sederhana ini. Tak lupa pula kita mengucapkan
shalawat beserta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Semoga kita
mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak,

Penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini disajikan dengan
segala kekuranngan. Oleh karena itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan, tanggapan kritikan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan makalah yang
sangat sederhana ini. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dr. Dewi Haryanti,
SH.,MH selaku dosen dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan, mudah-
mudahan ada manfaatnya bagi seluruh pembaca.

Wassalamu’alaikum warahamatullah wabarakatuh

Tanjungpinang, 23 Maret 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI
BAB 1 ( Arif ) ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
3. Tujuan ............................................................................................................................. 2
BAB 2 ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
1. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia .............................................. 3
I. Perjuangan Secara Fisik........................................................................................... 3
A. Pertempuran Surabaya ( Sanadia ) ....................................................................... 3
B. Pertempuran Lima Hari di Semarang ( Sanadia ) ................................................ 7
C. Pertempuran Ambarawa ( Rara Candranigtyas ) ................................................. 9
D. Pertempuran Medan Area ( Rara Candranigtyas ) ............................................. 11
E. Bandung Lautan Api ( Yufi Triadi ) .................................................................. 13
F. Peristiwa Merah Putih di Manado ( Yufi Triadi ) .............................................. 15
G. Puputan Margarana ( Erma Yulisa ) .................................................................. 17
H. Serangan Umum 1 Maret ( Erma Yulisa ) ......................................................... 18
II. Perjuangan Secara Diplomasi ................................................................................ 23
A. Perundingan Linggarjati ( Muhammad Risky ).............................................. 23
B. Perundingan Renville ( Muhammad Risky ) .................................................. 28
C. Perundingan Roem-Royen ( Kurnia Rahmawati ) ......................................... 30
D. Konferensi Meja Bundar ( Kurnia Rahmawati ) ............................................ 36
2. Masa Demokrasi Liberal ( Nurizati ) ........................................................................ 41
3. Masa Orde Lama ( Nurizati ) .................................................................................... 45
4. Masa Orde Baru ( Suprianto ) ................................................................................... 51
5. Masa Reformasi ( Suprianto ) ................................................................................... 55
BAB 3 (Muhammad Risky ) .................................................................................................... 57
PENUTUP................................................................................................................................ 57
1. Kesimpulan ................................................................................................. 57
2. Saran ........................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 58
Mengedit Makalah dan Membuat Power Point ( Nurul Azura )

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Sebelum memperoleh kemedekaan, bangsa Indonesia terlebih dahulu


memproklamasikan kemerdekaannya yang dikenal dengan “Proklamasi
Kemerdekaan”. Proses ini berawal dari terdengarnya berita kekalahan Jepang dari
pihak sekutu, seketika juga kelompok pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Akan tetapi dengan alasan
menunggu janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta
tidak dengan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang
mendorong para pemuda melakukan aksi penculikan terhadap Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok yang akhirnya dikenal dengan “Peristiwa Rengasdengklok”. Atas
nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung
Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Satu langkah maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui
Proklamasi kemerdekaan tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan
kemerdekaan, Indonesia mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak
dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai
sebuah negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-
Undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta
sebagai Wakil Presiden. Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945.

Sebagai Negara yang baru saja terbentuk, tentunya Indonesia masih rentan
dengan penjajahan bangsa asing maupun pemberontakan bangsa sendiri. Kemerdekaan
bangsa Indonesia yang baru sebentar ini mendapatkan gangguan dari Belanda. Awalnya
bangsa Indonesia menyambut baik kedatangan Belanda, namum setelah mengetahui
Belanda diboncengi Sekutu, rakyat Indonesia merasa terganggu. Dari situlah mulai
terjadi perlawanan di berbagai daerah di Indonesia.

Bangsa Indonesia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaan.


Ada dua bentuk perjuangan mempertahakan kemerdekaan, yaitu perjuangan fisik dan
perjuangan diplomasi. Perjuangan fisik dilakukan dengan cara bertempur melawan
musuh. Perjuangan diplomasi dilakukan dengan cara menggalang dukungan dari
negara-negara lain dan lewat perundingan-perundingan.

Kemerdekaan Indonesia tentu merupakan sebuah bencana bagi negara yang


telah menjajah Indonesia. Maka, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi, ia adalah awal
perjuangan baru bangsa ini dalam membangun sebuah tatanan berbangsa dan
bernegara. Sebuah negara berdiri bukan hanya berdasarkan wilayah, namun juga

1
membutuhkan perangkat pemerintahan, dan yang terpenting adalah pengakuan
kedaulatan dari negara lain. Karena pada hakikatnya (seperti halnya manusia sebagai
makhluk sosial), dalam kehidupan bernegara juga membutuhkan negara lain agar
bangsa dan negara ini dapat bergaul dan tidak terkucilkan dalam hubungan
internasional.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan


melalui perlawanan bersenjata ?
2. Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
dengan melalui jalur diplomasi ?
3. Bagaimana perubahan dan perkembangan politik masa awal kemerdekaaan
Indonesia ?

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan


kemerdekaan melalui perlawanan bersenjata.
2. Untuk mengetahui perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan melalui jalur diplomasi.
3. Untuk mengetahui perubahan dan perkembangan politik masa awal kemerdekaan
Indonesia.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


I. Perjuangan Secara Fisik

A. Pertempuran Surabaya

i. Kedatangan Tentara Jepang ke Hindia Belanda


Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa,
dan tujuh hari kemudian pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah
kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Kekaisaran
Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat
tersebut, Pulau Jawa secara resmi diduduki oleh Jepang.

ii. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada
sekutu setelah dijatuhkannya bom atom oleh Amerika
Serikat di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki tanggal 9
Agustus 1945. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 14 Agustus 1945 yang
menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan. Dalam kekosongan
kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

iii. Kedatangan Tentara Inggris dan Belanda


Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia
berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah
pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta,
kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok
Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para
tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang
ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi
pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia
Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut.
Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan
perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan
tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

iv. Insiden Hotel Yamato, Tunjungan Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31


Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1

3
September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut
makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan
pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera
di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di
Jalan Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch.


Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul
21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda
Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap
Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan
kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran
bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato,


Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui
pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen
Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa
lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai
perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman beserta kawan-
kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas,
Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang
perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga
tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan
pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke
luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk
menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang
bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera
Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang
bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27


Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia
melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian
hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban
jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya
Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk
meredakan situasi.

v. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

4
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak
tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan
berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-
bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara
Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan
dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan
Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak
yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh
tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena
ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak
Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan
ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia
menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara
AFNEI dan administrasi NICA.

vi. Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Baku Tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai


Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam
perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa
baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia
menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby
yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan
senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak
dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:

"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah


bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat
telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak
secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari
diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan
keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk
menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah
jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir
Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India
untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan
dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian
pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika
Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi,
perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara
lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar

5
yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati
mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).

vii. Semboyan Merdeka Atau Mati

Ultimatum-ultimatum yang disebarkan melalui pamflet udara


oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah. Nyaris
seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata.
Dalam ingatan Suhario alias Hario Kecik (Wakil Komandan Tentara
Polisi Keamanan Rakyat), di sekitarnya berkumpul ratusan pemuda,
semuanya membawa senjata dan pistol otomatis. Hario Kecik
mengatakan bahwa mereka yang disebut tidak lengkap, membawa
granat. Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya
memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan
Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan
Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan "Merdeka atau Mati" dan
Sumpah Pejuang Surabaya sebagai berikut.
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan
pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-
sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban
dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
— Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46

viii. 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya,


Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang
menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi


para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan
perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia
dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan
negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah
dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan
pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan


serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan
milisi Indonesia. Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh
berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu,

6
beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada
pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para
kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari
hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat
yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi,
makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga
minggu.
B. Pertempuran Lima Hari di Semarang

Pertempuran 5 Hari di Semarang terjadi pada tanggal 15 sampai dengan


19 Oktober 1945. Pertempuran Lima Hari atau yang juga disebut Palagan 5 Dina
ini termasuk dalam rangkaian sejarah kemerdekaan Indonesia seiring kalahnya
Jepang dari Sekutu di Perang Dunia II. Peristiwa Pertempuran Lima Hari di
Semarang melibatkan sisa-sisa pasukan Jepang di Indonesia dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) atau angkatan perang Indonesia saat itu sebelum
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejarah Pertempuran Lima Hari di
Semarang kemudian dikenang dengan dibangunnya sebuah monumen yakni
Tugu Muda di Simpang Lima di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini.

i. Latar Belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada 17
Agustus 1945, masih cukup banyak prajurit Jepang yang belum bisa
pulang ke negaranya. Tidak sedikit serdadu Jepang yang dipekerjakan,
misalnya di pabrik-pabrik atau sektor lain. Seiring dengan itu, pasukan
Sekutu, termasuk Belanda, mulai datang ke Indonesia dengan maksud
melucuti senjata dan memulangkan para mantan tentara Jepang yang
masih tersisa.

Dalam Indonesia Merdeka: 30 Tahun terbitan Sekretariat Negara


RI (1995) disebutkan, pada 14 Oktober 1945 terjadi perlawanan dari 400
mantan tentara Dai Nippon Jepang yang dipekerjakan di pabrik gula
Cepiring yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Semarang. Saat
itu, mereka akan dipindahkan ke Semarang, namun melarikan diri dari
pengawalan. Ratusan bekas serdadu Jepang tersebut melakukan
perlawanan dan kabur ke daerah Jatingaleh. Di sana, mereka bergabung
dengan pasukan batalion Kidobutai yang dipimpin oleh Mayor Kido.
Latar Belakang penyebab terjadinya pertempuran 5 hari di Semarang
adalah karena larinya tentara Jepang dan tewasnya dr. Karyadi. Dokter
Karyadi tewas ditembak oleh tentara Jepang saat akan melaksanakan
tugas untuk memeriksa Reservoir Siranda di Candi Lama, salah satu
sumber mata air di Kota Semarang. Pemeriksanaan tersebut berdasarkan
berita bahwa Jepang menebarkan racun di mata air tersebut. Akibatnya,
rakyat Semarang semakin marah dan melakukan serangan balasan
kepada tentara Jepang.

7
ii. Kronologi

Upaya penentangan dari para mantan prajurit Jepang mulai


terlihat di Semarang. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan
alasan mencari dan menyelamatkan orang-orang Jepang yang ditawan.
Menurut catatan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam buku ajar Ilmu
Pengetahuan Sosial (2015:189), Pertempuran Lima Hari di Semarang
dimulai sejak 15 hingga 20 Oktober 1945. Pada dini hari tanggal 15
Oktober, kurang lebih 2.000 orang dari Kidobutai mendatangi Kota
Semarang.

Kedatangan mereka ternyata disambut oleh angkatan muda


Semarang dengan dukungan TKR. Pertempuran pun terjadi selama lima
hari antara kedua pihak. Ternyata, Kidobutai juga didampingi oleh
pasukan Jepang lain di bawah pimpinan Jenderal Nakamura. Perang ini
terjadi di empat titik di Semarang, yakni daerah Kintelan, Pandanaran,
Jombang, dan di depan Lawang Sewu (Simpang Lima). Lokasi konflik
yang disebut banyak menelan korban dan berdurasi paling lama adalah
di Simpang Lima atau yang kini disebut daerah Tugu Muda.

iii. Akhir dari Pertempuran

Agar pertikaian tidak berlarut-larut, maka digelar perundingan


untuk mengupayakan gencatan senjata. Kasman Singodimedjo dan Mr.
Sartono mewakili Indonesia, sedangkan dari Jepang hadir Letnan
Kolonel Nomura, Komandan Tentara Dai Nippon. Selain itu, ada pula
perwakilan dari pihak Sekutu yakni Brigadir Jenderal Bethel.
Perdamaian antara kedua belah pihak pun terjadi. Pada 20 Oktober 1945,
pihak Sekutu melucuti seluruh persenjataaan para tentara Jepang.
Peristiwa Pertempuran Lima Hari kemudian dikenang dengan
pembangunan Tugu Muda di Simpang Lima, Kota Semarang. Dikutip
dari Monumen Perjuangan: Volume 2 (2008), pembangunan Tugu
Muda dimulai pada 1952 dan diresmikan oleh Presiden Sukarno tanggal
20 Mei 1953.

Tokoh-tokoh Peristiwa Beberapa tokoh dalam peristiwa Pertempuran


Lima Hari di Semarang antara lain sebagai berikut:
a. Dr. Kariadi, dokter sekaligus Kepala Laboratorium Dinas Pusat yang
dikabarkan diracuni oleh tentara Jepang. Nama dr. Kariadi kemudian
diabadikan untuk nama rumah sakit di Semarang.
b. Drg. Soenarti, istri dr. Kariadi. Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa
Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
c. Sukaryo dan Mirza Sidharta, tokoh Indonesia yang ditangkap oleh
Jepang bersama Mr. Wongsonegoro.
d. Mayor Kido, pemimpin Batalion Kidobutai Jepang yang berpusat di
Jatingaleh.
e. Kasman Singodimejo dan Mr. Sunarto, perwakilan perundingan
gencatan senjata dari Indonesia.

8
f. Letnan Kolonel Nomura, perwakilan Jepang dalam perundingan.
Jenderal Nakamura, perwira tinggi Jepang.

iv. Peristiwa Lain Terkait Pertempuran Lima Hari di Semarang


a. Sebelum tanggal 20 Oktober, ada kejadian Gencatan Senjata antara
kedua belah pihak, tetapi kendati demikian kejadian ini tidak
memadamkan situasi, kejadian diperparah dengan pembunuhan
sandera (lihat no. 2)
b. Di Pedurungan, orang-orang Semarang, terutama dari Mranggen dan
Genuk menjadi satu untuk memindahkan tawanan, yang menjadi
sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi maka 75
sandera itu dibunuh, sehingga perang berlanjut.
c. Datangnya pemuda dari luar Kota Semarang untuk membantu
menjadikan Jepang marah
d. Radius 10 km dari Tugu Muda menjadi medan peperangan.

C. Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran yang terjadi antara Tentara


Indonesia dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini terjadi antara 20 Oktober
sampai 15 Desember 1945 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pertempuran Ambarawa dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang
Belanda di Ambarawa dan Magelang. Hal ini kemudian memicu kemarahan
pada penduduk setempat. Hubungan pun semakin runyam saat Sekutu mulai
melucuti senjata anggota Angkatan Darat Indonesia.

i. Latar Belakang

Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi insiden di


Magelang. Pada 20 Oktober 1945, Brigade Artileri dari Divisi India ke-
23 atau militer Inggris mendarat di Semarang yang dipimpin oleh
Brigadir Bethell. Oleh pihak Republik Indonesia, Bethell diperkenankan
untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang. Ia juga diperbolehkan untuk
melakukan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang berada di
Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang. Tetapi, ternyata mereka
diboncengi oleh orang-orang NICA (Netherland Indies Civil
Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Mereka
kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang.

Pada 26 Oktober 1945, insiden ini pecah di Magelang.


Pertempuran pun berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dengan tentara Inggris. Pertempuran sempat berhenti setelah kedatangan
Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di Magelang pada 2 November
1945. Mereka pun mengadakan perundingan untuk melakukan gencatan

9
senjata. Melalui perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan,
antara lain:

1. Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang


untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi
APW.
2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia
dan Inggris.
3. Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan
yang berada di bawah kekuasaannya.

Sayangnya, pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut. Kesempatan


dan kelemahan yang ada dalam pasal tersebut dipergunakan Inggris
untuk menambah jumlah pasukannya yang berada di Magelang.

ii. Puncak Pertempuran

Pada 20 November 1945, di Ambarawa pecah pertempuran


antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Inggris.
Pada 21 November 1945, pasukan Inggris yang berada di Magelang
ditarik ke Ambarawa dan dilindungi oleh pesawat-pesawat udara.
Pertempuran mulai berkobar pada 22 November 1945, saat pasukan
Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar
Ambarawa.

Pasukan TKR bersama pasukan pemuda lain yang berasal dari


Boyolali, Salatiga, dan Kartasura membentuk garis pertahanan
sepanjang rel kereta api dan membelah Kota Ambarawa. Dari arah
Magelang, pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan
Imam Adrongi melakukan serangan fajar. Serangan ini bertujuan untuk
memukul pasukan Inggris yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan
Imam pun berhasil menduduki Pingit. Sementara itu, kekuatan di
Ambarawa semakin bertambah dengan datangnya tiga batalion yang
berasal dari Yogyakarta. Mereka adalah Batalio 10 Divisi X di bawah
pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor
Sardjono, dan Batalion Sugeng. Meskipun tentara Inggris sudah
dikepung, mereka tetap mencoba menghancurkan kepungan tersebut.
Kota Ambarawa dihujani dengan tembakan meriam. Untuk mencegah
jatuhnya korban, TKR diperintahkan untuk mundur ke Bedono oleh
masing-masing komandannya. Bala bantuan dari Resimen 2 dipimpin
M. Sarbini dan Batalion Polisi Istimewa dipimpin Onie Sastoatmodjo
serta Batalion dari Yogyakarta berhasil menahan gerakan musuh di Desa
Jambu. Di Desa Jambu terjadi rapat koordinasi dipimpin oleh Kolonel
Holand Iskandar. Rapat ini menghasilkan terbentuknya suatu komando
yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran bertempat di Magelang.

Pada 26 November 1945, salah satu pimpinan pasukan harus


gugur. Ia adalah Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin pasukan asal
Purwokerto. Posisinya pun digantikan oleh Kolonel Soedirman. Sejak
saat itu, situasi pertempuran berubah semakin menguntungkan pihak

10
TKR. Pada 5 Desember 1945, musuh berhasil terusir dari Desa
Banyubiru.

iii. Akhir Pertempuran

Pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan


perundingan dengan mengumpulkan para komandan sektor.
Berdasarkan dari laporan para komandan sektor, Kolonel Soedirman
menyimpulkan bahwa posisi musuh sudah terjepit. Maka perlu segera
dilancarkan serangan terakhir, yaitu:

1. Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua sektor.


2. Tiap-tiap komandan sektor memimpin serangan.
3. Para pasukan badan-badan perjuangan (laskar) disiapkan sebagai
tenaga cadangan.
4. Serangan akan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30.

Pada 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju target


masing-masing. Dalam kurun waktu 1,5 jam, mereka sudah berhasil
mengepung kedudukan musuh dalam kota. Kota Ambarawa dikepung
selama empat hari empat malam. Pasukan Inggris yang sudah merasa
terdesak berusaha untuk memutus pertempuran. Pada 15 Desember
1945, pasukan Inggris meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke
Semarang.

iv. Tokoh yang Gugur

Tokoh atau pejuang yang gugur dalam Pertempuran Ambarawa


pada 20 November 1945 sebagai upaya untuk mempertahankan
kemerdekaan adalah Letkol Isdiman. Letnan Kolonel Isdiman adalah
perwira Tentara Keamanan Rakyat yang gugur dalam Pertempuran
Ambarawa.

Letkol Isdiman merupakan orang kepercayaan dari Kolonel


Soedirman untuk mengatur siasat pertempuran di Ambarawa. Letkol
Isdiman menjadi pemimpin pasukan yang berasal dari Purwokerto.
Semasa perjuangannya, Isdiman sudah berusaha menunjukkan
keberanian dan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Namun,
sewaktu menjalankan tugas, Isdiman harus gugur. Ia diberondong
tembakan pesawat tempur RAF pada 26 November 1945. Ia pun dibawa
ke Magelang. Namun, Letkol Isdiman gugur dalam perjalanan menuju
ke Magelang.

D. Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi


fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertempuran Medan Area merupakan tragedi rakyat Indonesia yang berada di
Sumatera Utara melawan Sekutu dan Nederlandsch Indische Civiele
Administratie (NICA). Perang Medan Area ini terjadi di Medan, Sumatera

11
Utara (dulu masih bernama Sumatera Timur), beberapa bulan setelah
proklamasi.
Pertempuran berawal saat pendaratan Sekutu di kota Medan pada 9
Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal TED Kelly. Pendaratan
tentara Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang disediakan
untuk mengambil alih pemerintahan. Awalnya, rakyat Medan, Sumatera Utara
menyambut kedatangan dengan baik. Karena, mereka datang ke Indonesia
untuk mengurus tawanan perang yang ditahan oleh Jepang. Sehingga, mereka
diperbolehkan tinggal di beberapa hotel yang ada di Medan. Namun rupanya,
mereka diam-diam mempersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan
Indonesia. Hingga suatu ketika, terjadi keributan di hotel yang ditinggali.
Keributan berawal dari pemuda Indonesia yang memakai lencana merah putih
direbut oleh Sekutu dan NICA. Tidak hanya itu, mereka juga menginjak-injak.
Hal itu, sontak memancing kemarahan pemuda Indonesa, terutama yang berada
di Medan. Insiden inilah yang menjadi penyebab terjadinya Pertempuran Medan
Area. Waktu Terjadinya Pertempuran Medan Area.
Pertempuran Medan Area terjadi pada 13 Oktober 1945 antara pemuda
dan Tentara Keamanan Rakyat bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Pertempuran juga dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung
pemerintahan dari tangan Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum untuk
bangsa Indonesia supaya menyerahkan senjata untuk sekutu. Ultimatum ini
tidak pernah dihiraukan. Karena belum berhasil, pada 1 Desember 1945, Sekutu
memasang papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (batas resmi
wilayah Medan) di beragam pinggiran kota Medan. Perilaku Sekutu makin
menggelorakan perlawanan pemuda Indonesia.
Pada 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan
besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban
di kedua belah pihak. Pertempuran juga dalam upaya merebut dan mengambil
alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang. Inggris mengeluarkan
ultimatum untuk bangsa Indonesia supaya menyerahkan senjata untuk sekutu.
Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan.
Karena belum berhasil, pada 1 Desember 1945, Sekutu memasang
papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (batas resmi wilayah
Medan) di beragam pinggiran kota Medan. Perilaku Sekutu makin
menggelorakan perlawanan pemuda Indonesia. Pada 10 Desember 1945, Sekutu
dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan
ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.
i. Faktor Penyebab

Pada April 1946, Sekutu sukses menguasai kota Medan. Pusat


perjuangan rakyat Medan dipindahkan ke Pematang siantar. Kemudian,
diadakan pertemuan di antara para komandan pasukan yang berjuang di
Medan Area. Hasilnya adalah membentuk satu komando bernama
Komando Resimen Laskar Rakyat untuk memperkuat perlawanan di
kota Medan.

12
Maka pada Agustus 1946, Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area berhasil dibentuk. Komando ini terus menyerang Sekutu di
wilayah Medan. Sampai akhirnya, pemberontakan melawan Sekutu di
Medan terus berlanjut hingga berakhir kekuasaan Belanda di Indonesia
pada 1949.

ii. Dampak
Akibat Pertempuran Medan Area yang terjadi pada 13 Oktober
1945 sampai April 1945 mengakibatkan beberapa korban berjatuhan.
Tercatat 7 pemuda meninggal dunia, 7 orang pihak NICA meninggal
dunia dan 96 orang pihak NICA mengalami luka-luka. Selain itu,
beberapa daerah kota Medan juga hancur karena menjadi area
pertempuran antara pihak Sekutu dan NICA.
iii. Puncak Akhir Pertempuran
Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota Medan
pada April 1946. Pusat perjuangan rakyat Medan pun terpaksa digeser
ke Pematang Siantar. Kendati begitu, masih terjadi perlawanan,
termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebing tinggi.
Para komandan pasukan RI yang berjuang di Medan kemudian
bertemu dan membentuk satuan komando bernama Komando Resimen
Laskar Rakyat Medan Area. Tanggal 19 Agustus 1946, dibentuk Barisan
Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe.
Dikutip dari artikel “Terbentuknya TKR di Tanah Karo” dalam
laman Pemerintah Kabupaten Karo, BPI menjadi salah satu unsur
pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-
bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di
berbagai daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan
terhadap Sekutu dan NICA meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak
hanya di Sumatera Utara, gelora perlawanan juga terjadi di berbagai
daerah lain di Sumatera, seperti Padang, Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.
E. Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu
titik penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan
pengosongan dan pembakaran Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak
dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA (Belanda). Aksi bumi hangus di
Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam situasi saat
itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan
kekuatan Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa

13
paling heroik dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
diabadikan dalam berbagai bentuk karya seni, seperti lagu atau film.

i. Latar Belakang dan Penyebab


Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam Sejarah
Nasional Indonesia VI (2008) menuliskan bahwa peristiwa Bandung
Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan Sekutu/Inggris pada 12
Oktober 1945. Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) datang ke Indonesia usai memenangkan Perang
Dunia II melawan Jepang. Mohamad Ully Purwasatria dalam penelitian
bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di Bandung
Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1948" (2014),
menyampaikan, awalnya kedatangan mereka hanya untuk
membebaskan tentara Sekutu dari tahanan Jepang. Namun, ternyata
Belanda atau NICA membonceng pasukan Sekutu dan ingin menguasai
Indonesia lagi. Bergolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat
Indonesia atas kehadiran Belanda.
ii. Kronologi
Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda. Rakyat
Indonesia diperingatkan agar meletakkan senjata dan menyerahkannya
kepada Sekutu. Pihak Indonesia tidak menggubris ultimatum tersebut.
Angkatan perang RI merespons dengan melakukan penyerangan
terhadap markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk
Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu,
pada malam tanggal 24 November 1945. Pada 27 November 1945,
Kolonel MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk
Djamin, agar rakyat dan tentara segera mengosongkan wilayah Bandung
Utara. Peringatan yang berlaku sampai tanggal 29 November 1945
pukul 12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka Sekutu akan bertindak
keras. Ultimatum kedua itu pun tidak digubris sama sekali. Beberapa
pertempuran terjadi di Bandung Utara. Pos-pos Sekutu di Bandung
menjadi sasaran penyerbuan.
Tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta,
Letnan Jenderal Montagu Stopford, memperingatkan kepada Soetan
Sjahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer Indonesia segera
meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat
kota. Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang
diperbolehkan tinggal. Menindaklanjuti ultimatum tersebut, pada 24
Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah
pimpinan Kolonel A.H. Nasution memutuskan untuk
membumihanguskan Bandung.
Rakyat mulai diungsikan. Sebagian besar bergerak dari selatan
rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer.
Pembumihangusan Bandung pun dimulai. Warga yang hendak

14
meninggalkan rumah membakarnya terlebih dahulu. Pasukan TRI
punya rencana yang lebih besar lagi. TRI merencanakan pembakaran
total pada 24 Maret 1945 pukul 24.00, namun rencana ini tidak berjalan
mulus karena pada pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di
Gedung Indische Restaurant. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan
TRI melanjutkan aksinya dengan meledakkan gedung-gedung dan
membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara. Bumi Bandung mulai
dihanguskan dengan meledakkan Gedung Bank Rakyat. Lalu disusul
dengan pembakaran tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan
Tegalega.
Dengan berat hati dan demi terbebas dari penjajahan, rakyat
beserta pasukan bersenjata akhirnya meninggalkan kota Bandung.
Malam itu, Bandung terbakar dan peristiwa itu kemudian dikenal
dengan sebutan Bandung Lautan Api.
iii. Tokoh-Tokoh yang Terkait
a. Kolonel Abdul Haris Nasution, melalui musyawarah yang
dilakukan pada tanggal 23 Maret 1946 maka memutuskanlah
untuk membumihanguskan Bandung. Pada saat itu sebagai
komandan Divisi III, Kolonel Abdul Haris Nasution
menyampaikan hasil musyawarah dan memerintahkan agar
masyarakat di Kota Bandung harus segera diungsikan ke tempat
yang aman.
b. Muhammad Toha, adalah salah satu komandan pejuang yang
ditugaskan dalam misi untuk menghancurkan gudang senjata
dan amunisi milik pasukan sekutu.
c. Walikota Rukana, adalah tokoh pertempuran Bandung Lautan
Api, seorang komandan Polisi Militer Bandung. Ia adalah orang
yang mencetuskan ide untuk membakar Bandung Selatan
menjadi lautan api.
d. Atje Bastaman, merupakan seorang wartawan muda yang
menulis untuk koran Suara Merdeka. Ia secara langsung melihat
peristiwa terbakarnya Kota Bandung dari Cicadas hingga
Cimindi dari atas bukit Gunung Leutik di Garut. Keesokan
harinya ia langsung menuliskan peristiwa yang ia saksikan
tersebut. Tulisannya tersebut diberi judul “Bandoeng Djadi
Laoetan Api”.
e. Sutan Syahrir, bersama Kolonel Abdul Haris Nasution, ia
memutuskan untuk membumihanguskan Bandung.

F. Peristiwa Merah Putih di Manado

15
Tanggal 14 Februari menjadi hari hangat bagi pasangan di seluruh dunia
yang merayakan hari kasih sayang, hari valentine. Namun, pada tahun 1946 di
tanggal tersebut, rasa sayang terhadap pasangan masih kalah dengan rasa
kecintaan terhadap pada Tanah Air. Pada saat itu di Manado, Sulawesi Utara,
dalam sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa Merah Putih, para pemuda pro-
Republik menyerang pasukan Belanda (NICA) yang berusaha menyumbat
gaung kemerdekaan di tanah Minahasa. Latar belakang peristiwa merah putih
ini terjadi karena provokasi Belanda,dipicu atas kemarahan kepada Belanda
yang memprovokasi dunia luar bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 hanyalah gertakan segelintir orang di pulau Jawa.

i. Kronologi
Kronologi peristiwa merah putih di Manado berawal dari kabar
kemerdekaan Indonesia. Saat itu, masyarakat di Manado baru
mengetahui kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Setelah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, masyarakat
Manado bergegas mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat
termasuk kantor-kantor bekas penjajah Jepang.
Meski sudah merdeka, Belanda masih ingin menguasai Manado. Pada
Oktober 1945, pasukan Belanda atau Netherland Indies Civil
Administration (NICA) datang ke Manado. Saat itu, masyarakat
Manado dengan tegas menolak Belanda. Perlawanan rakyat Manado
pun dimulai. Suasana di Manado dan sejumlah daerah seperti Tomohon
dan Minahasa pun memanas.
Puncaknya terjadi pada 14 Februari 1946. Residen Manado
Bernard Wilhelm Lapian, Letnan Kolonel Charles Choes Taulu dan
Sersan SD Wuisan menggerakkan pasukannya untuk mengambil alih
markas militer yang dikuasai Belanda. Rakyat dari kalangan pribumi
pun ikut dalam penyerbuan itu.
Mereka pun mengibarkan bendera merah putih di atas gedung tangsi
militer Belanda. Rakyat juga tak segan-segan merobek bendera triwarna
Belanda menjadi bendera merah putih. Peristiwa berdarah serta
bersejarah ini semakin menguatkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa
merah putih di Manado ini diberitakan lewat radio. Informasi
penyerbuan itu sampai ke radio Australia, London hingga San-
Francisco, AS.

16
Untuk mengenang seluruh jasa para pahlawan dalam insiden
merah putih di Manado, didirikan sebuah monumen BW Lapian dan Ch
Ch Taulu di Jalan Raya Kawangkoan-Tampaso, Kabupaten Minahasa,
Sulawesi Utara. Monumen ini diresmikan pada 30 November 1987.
G. Puputan Margarana

Dalam bahasa Bali, puputan dapat dimaknai sebagai perang yang


dilakukan hingga mati atau sampai titik darah penghabisan. Sedangkan
Margarana merujuk pada lokasi pertempuran yang kini menjadi kecamatan
bernama Marga di Kabupaten Tabanan, Bali. Selain Puputan Margarana, di
Pulau Dewata sebelumnya juga pernah terjadi perang habis-habisan serupa
dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Tahun 1906 pecah Puputan
Bandung, kemudian Puputan Klungkung terjadi pada 1908. Puputan Margarana
terjadi pada tanggal 20 november 1946 didesa Kelaci, dusun Marga.

Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bukan


berarti Indonesia langsung dapat menjalani kehidupan sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat dalam situasi aman dan damai. Beberapa bulan setelah
proklamasi, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) alias Belanda
datang kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang baru
saja mengalahkan Jepang di Perang Dunia II. Masuknya NICA tidak hanya
terjadi di pulau Jawa dan daerah-daerah lain Indonesia juga menjadi sasaran,
salah satunya adalah Bali. Marwati Djoened Poeponegoro dan kawan-kawan
dalam bukunya Sejarah Nasional Indonesia VI (2008), menjelaskan bahwa
tanggal 2 Maret 1946, dua batalyon pasukan NICA mendarat di Bali. Semula,
kedatangan mereka bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang. Hadirnya
pasukan Belanda di Pulau Dewata tentu saja ditentang oleh kaum pejuang
republik dan rakyat Bali. Mulai terjadilah pertempuran-pertempuran kecil
antara para pejuang Bali dengan Belanda. NICA mengajak berundingan melalui
surat dari Letnan Kolonel JBT Konig kepada I Gusti Ngurah Rai selaku Kepala
Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan
Nusa Tenggara) dan sekitarnya. I Gusti Ngurah Rai dengan tegas menolak
perundingan tersebut. Ia menegaskan, selama Belanda masih menginjakkan
kaki di Bali, perlawanan pejuang dan rakyat akan terus dilakukan. Sudarmanto
dalam bukunya yakni, Jejak-jejak Pahlawan (2007) menyebutkan, I Gusti
Ngurah Rai membentuk Batalyon Ciung Wanara untuk menghadapi Belanda di
Bali. Tak hanya itu, dibentuk pula basis-basis perjuangan di banyak desa di Bali.
Perjuangan pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai mendapatkan
dukungan penuh dari rakyat.

17
Hal tersebut diketahui dari penelitian "Peranan Masyarakat dalam
Perang Kemerdekaan: Studi Kasus Desa Marga dalam Peristiwa Puputan
Margarana 20 November 1946 pada Masa Revolusi di Bali" karya Dewa Made
Alit. Disebutkan, beberapa desa di Bali yang menjadi basis perjuangan antara
lain: Desa Marga, Desa Kelaci, Desa Tegaljadi, Desa Selanbawak, Desa Banjar
Adeng, Desa Banjar Ole, Desa Banjar Bedugul, Desa Banjar Kelaci, dan
lainnya. Tanggal 19 November 1946 malam hari, senjata prajurit NICA yang
sedang berada di Tabanan direbut oleh tentara rakyat pimpinan I Gusti Ngurah
Rai. Aksi ini membuat Belanda murka. Pagi-pagi tanggal 20 November 1946,
Belanda mengerahkan pasukan dan mengepung desa yang menjadi pertahanan
tentara rakyat Bali. Terjadilah aksi tembak-menembak yang membuat Belanda
agak terdesak. Belanda terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan militernya yang
ada di Bali ditambah mendatangkan pesawat pengeboman dari Makassar.
Meskipun dikepung dan kalah jumlah prajurit maupun persenjataan, I Gusti
Ngurah Rai dan pasukannya serta rakyat Bali pantang menyerah. Mereka
bertekad tidak akan mundur sampai tetes darah terakhir. Perang habis-habisan
dilancarkan demi tegaknya kemerdekaan Indonesia sekaligus demi harga diri
rakyat Bali.

Terjadilah pertempuran besar yang sejatinya tidak seimbang. Pasukan


Bali yang berjumlah kurang dari 100 orang seluruhnya gugur di medan laga,
termasuk I Gusti Ngurah Rai. Namun, Belanda juga mengalami kerugian besar.
Sebanyak 400 orang tentaranya tewas. Setelah peristiwa heroik itu, meski I
Gusti Ngurah Rai gugur, pertempuran-pertempuran masih berlanjut di seluruh
Bali. Jadi hal ini bukan merupakan perjuangan terakhir masyarakat Bali
mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang peristiwa heroik itu, di
lokasi Puputan Margarana kini berdiri Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. I
Gusti Ngurah Rai pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah
RI. Selain itu, nama I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan sebagai nama bandara
internasional di Bali dan Kapal Perang Republik Indonesia atau KRI, juga
disematkan untuk profil mata uang pecahan Rp50 ribu pada 2005. Jika dari
pihak Bali terdapat nama I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh utama, dari kubu
Belanda tersebutlah nama Kapten J.B.T König dan Letnan Kolonel F. Mollinger
sebagai pemimpin pasukan NICA.

H. Serangan Umum 1 Maret

Menurut penjelasan yang ada di laman resmi Kementerian Pendidikan,


Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek),
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan respons dari Agresi Militer Belanda
II. Peristiwa ini berawal ketika Belanda melakukan pendudukan terhadap
Yogyakarta, yang berstatus sebagai ibu kota Republik Indonesia. Ibu kota
negara saat itu dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta karena situasi yang tidak
aman setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Menjelang terjadinya
Serangan Umum 1 Maret 1949, kondisi Yogyakarta sebagai ibu kota sangat
tidak kondusif. Hal ini dikarenakan Belanda mengeluarkan propaganda ke dunia
internasional bahwa Republik Indonesia (RI) sudah hancur dan tentara
Indonesia sudah tidak ada. Letkol Wiliater Hutagalung yang menjabat sebagai

18
penasihat Gubernur Militer III kemudian mengemukakan gagasan, yang telah
disetujui oleh Panglima Besar Soedirman dan kemudian dibahas bersama-sama,
yaitu:
1. Melakukan serangan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang
melibatkan Wehrkreise I, II, dan III;
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer
III;
3. Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III;
4. Melakukan koordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar;
5. Serangan yang dilakukan harus diketahui dunia internasional
6. Serangan yang dilakukan harus mendapatkan dukungan dari Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang agar dapat berkoordinasi dengan pemancar radio
milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Koordinator
Pemerintah Pusat, dan Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) Kementerian
Pertahanan.
Setelah dilakukan perundingan, gagasan yang diajukan oleh Hutagalung
akhirnya disetujui, yaitu melakukan “serangan besar” terhadap satu kota besar.
Namun, Kolonel Bambang Sugeng yang berstatus sebagai Panglima Divisi
III/GM III bersikukuh bahwa yang harus diserang adalah Yogyakarta. Beberapa
alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng memilih Yogyakarta
sebagai sasaran utama, yaitu:
1. Yogyakarta adalah ibu kota RI, yang akan berpengaruh besar terhadap
perjuangan Indonesia apabila dapat direbut, meskipun hanya beberapa jam;
2. Banyaknya wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta,
3. Masih adanya anggota delegasi United Nations Commission for Indonesia
(UNCI) dan pengamat militer dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
4. Yogyakarta berada di bawah wilayah Divisi III/GM III, sehingga tidak perlu
persetujuan dari panglima atau gubernur militer lain;
5. Semua pasukan memahami dan menguasai situasi daerah operasi.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang berstatus sebagai Raja Kesultanan
Yogyakarta Hadiningrat kemudian mengirimkan surat kepada Panglima Besar
TNI, Jenderal Soedirman, untuk memberikan izin diadakannya serangan.
Permintaan itu disetujui oleh Jenderal Soedirman. Dia lantas meminta kepada
Hamengkubuwana IX untuk melakukan koordinasi dengan Letkol Soeharto,
yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III agar
melakukan serangan. Serangan yang akan dilaksanakan pada 1 Maret 1949 itu
memiliki tujuan antara lain:
i. Tujuan Politik
Untuk mendukung perjuangan perwakilan RI di Dewan
Keamanan PBB yang dipimpin oleh Lambertus Nico Palar, melawan
kampanye Belanda yang menyatakan bahwa agresi militernya di
Indonesia telah berhasil. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, posisi
TNI dan para gerilyawan saat itu sebenarnya belum hancur.
ii. Tujuan Psikologis
Untuk mengobarkan semangat juang rakyat dan TNI. Serangan
ini dimaksudkan untuk memulihkan, memupuk, dan meningkatkan
kepercayaan rakyat kepada TNI. Hal tersebut dikarenakan TNI masih

19
tetap setia kepada tugasnya dan dengan gigih terus berjuang menghalau
musuh. Serangan umum 1 Maret 1949 diharapkan dapat menjadi
inspirasi bagi perjuang untuk meningkatkan perlawanan.
iii. Tujuan Militer
Untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI
masih tetap utuh dan satuan yang tertib. TNI mampu mengadakan
perlawanan secara terkoordinasi dan terkonsentrasi serta bertekad setia
kepada RI. Selain itu, Serangan Umum 1 Maret 1949 juga membuktikan
bahwa keberadaan Belanda di Kota Yogyakarta tidaklah sah.
Pasukan yang terdiri atas TNI dan berbagai kalangan rakyat menyusun
rencana serangan balik terhadap tentara Belanda. Setelah perencanaan yang
matang, tepat pukul 06.00 WIB tanggal 1 Maret 1949 sirine dibunyikan, tanda
serangan dimulai. Serangan secara besar-besaran serentak dilakukan di seluruh
wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Sasaran utama adalah penyerangan utama
tempat konsentrasi musuh, yaitu Benteng Vredeburg, kantor pos, istana
kepresidenan, Hotel Tugu, stasiun kereta api, dan Kotabaru. Soeharto dalam
penyerangan ini memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas
Malioboro. Sementara itu, Ventje Sumual memimpin sektor timur, Mayor
Sardjono memimpin sektor selatan, Mayor Kusno memimpin sektor utara, serta
Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki di sektor kota. Serangan pasukan
yang mendadak itu membuat Belanda terkepung dan pasukan gerilyawan RI
berhasil menguasai kota dalam beberapa jam. Bantuan musuh pada jam 11.00
WIB baru datang dari Magelang di Yogyakarta, dengan kekuatan satu Batalyon
Infanteri Brigade V, yang terdiri atas pasukan lapis baja, pasukan Netherland
Indies Civil Administration (NICA) atau Sekutu, dan pasukan Gajah Merah
pimpinan Kolonel Van Zaten. Dengan datangnya pasukan bantuan itu,
gerilyawan RI segera menarik pasukan kembali ke luar kota setelah berhasil
menguasai Kota Yogyakarta selama kurang lebih enam jam.
Berita mengenai keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949
disebarluaskan melalui jaringan radio AURI dengan sandi PC-2 di Playen,
Wonosari, Gunungkidul secara beranting menyusuri jaringan radio AURI di
Sumatra. Selanjutnya, kabar tersebut disebarluaskan ke luar negeri melalui
Birma dan diterima oleh pemancar All Indian Radio hingga akhirnya sampai
kepada perwakilan RI di PBB, New York, Amerika Serikat. Peristiwa itu juga
disebarluaskan melalui jaringan radio pemerintahan RI melalui Wonosari dan
Balong sampai ke stasiun radio PDRI di Sumatra. Mengetahui kegagalan
pasukan dalam menghadapi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilancarkan
oleh TNI dan gerilyawan, Jenderal Meyer, Kolonel Van Langen, dan Residen
Stock menghadap sultan agar dia menghentikan bantuannya terhadap para
gerilyawan. Namun, sultan menolaknya.
Akibat dari Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Brigade T
pimpinan Kolonel Van Langen yang menguasai wilayah Yogyakarta
mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan TNI dan para gerilyawan.
Serangan yang pertama dilancarkan pada 10 Maret 1949 terhadap Lapangan
Udara Gading yang berada di Wonosari. Selain manuver, serangan itu
melibatkan tentara payung dan 20 buah pesawat Dakota. Menurut pihak
Belanda, serangan terhadap Wonosari itu merupakan soal hidup dan mati.
Untuk itu, Belanda melibatkan juga redaktur Majalah Pierreboom, tetapi

20
hasilnya nihil karena tidak adanya pemudatan TNI di Wonosari seperti yang
mereka kira. Belanda selanjutnya selalu meningkatkan patrolinya di daerah-
daerah yang dikuasai oleh TNI maupun para gerilyawan, tetapi selalu
mendapatkan perlawanan yang kuat. Salah satu contohnya adalah konvoi
Belanda yang dihadang oleh satuan TP Batalyon 151 Peleton Zahid Husein pada
15 Maret 1949. Konvoi itu melewati Serut, Kelurahan Madurejo, Kecamatan
Prambanan. Pertempuran itu menyebabkan sebuah bren carrier (angkutan
serbaguna lintas medan) milik Belanda meledak.
Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi
Indonesia di mata internasional. Selain membuktikan eksistensi TNI yang masih
kuat, Indonesia memiliki posisi tawar melalui perundingan di Dewan Keamanan
PBB. Perlawanan singkat tersebut turut mempermalukan propaganda Belanda
yang telah mengklaim bahwa kedudukan Indonesia sudah lemah. Tidak
berselang lama setelah peristiwa itu, terjadilah Serangan Umum Surakarta yang
menjadi salah satu keberhasilan pejuang Indonesia. Serangan di Surakarta
membuktikan kepada Belanda bahwa gerilya bukan saja melakukan
penyergapan atau sabotase, tetapi juga melakukan serangan secara frontal. Saat
itu, Kota Surakarta yang dipertahankan dengan pasukan kavaleri, artileri,
infanteri, dan komando yang tangguh. Serangan Umum di Yogyakarta dan
Surakarta inilah yang menyegel nasib Belanda di Indonesia. Serangan umum 1
Maret 1949 mampu membuka mata dunia bahwa propaganda yang dilancarkan
oleh Belanda adalah kebohongan belaka. Atas petunjuk dari Dewan Keamanan
PBB dan UNCI, perundingan antara Belanda dan Indonesia harus dibuka
kembali.
Pada 14 April 1949, diadakanlah perundingan di Hotel des Indes Jakarta
yang dipimpin oleh Merle Cochran selaku wakil PBB. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo, sedangkan
anggotanya terdiri atas Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr.Soepomo, Mr. A.K.
Pringgodigdo, dan Mr. Latuharhary. Belanda di pihak lain diwakili oleh Dr. J.H.
Van Roijen, dengan anggotanya meliputi Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, dan
R.J.J. Van Der Velde. Perjanjian alot itu akhirnya ditandatangani pada 7 Mei
1949. Isi dari perjanjian ini sebenarnya merupakan pernyataan kesediaan antara
kedua belah pihak untuk berdamai. Pihak delegasi Indonesia dalam perjanjian
tersebut menyatakan kesediaannya untuk:
1. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk
menghentikan perang gerilya;
2. Melakukan kerja sama dalam mengembalikan perdamaian, serta menjaga
ketertiban dan keamanan;
3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dengan
maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang serius dan lengkap
kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
Pihak delegasi Belanda dalam perjanjian itu menyatakan kesediaannya untuk:
1. Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta;
2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua
tahanan politik;

21
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah
yang dikuasai oleh RI sebelum tanggal 19 Desember 1949, dan tidak akan
meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik;
4. Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat;
5. Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan
setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta. Kembalinya Para
Pemimpin ke Yogyakarta
Pada akhirnya, TNI akhirnya menguasai kembali Kota Yogyakarta.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pada 20 Juni 1949 dan 1
Juli 1949, sepanjang jalan dari Tugu hingga Pasar Beringharjo dijaga ketat dan
ditutup untuk umum. Setelah tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada
19 Juni 1949, tugas pengamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari
Komandan Sub Wehrkreise III Letkol Soeharto. Sesuai dengan situasi baru
itulah, Soeharto tidak hanya bertanggung jawab kepada Gubernur Militer
III/Divisi III, tetapi juga kepada Koordinator Keamanan Republik Indonesia,
yaitu Hamengkubuwana IX. Dengan keamanan yang semakin terjaga itu,
persiapan untuk menerima kedatangan para pemimpin Republik Indonesia
semakin sempurna. Pada 6 Juli 1949, Soekarno, Mohammad Hatta, dan
rombongan tiba di Yogyakarta dari pengasingannya di Pulau Bangka.
Kembalinya para tokoh-tokoh tersebut membuat Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta kembali berjalan dengan lancar, serta siap
menghadapi momentum penting kehidupan bangsa. Sejak kembalinya para
pemimpin ke Yogyakarta, perundingan dengan Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO) yang telah dirintis di Bangka kembali dibuka. Pembahasannya
adalah pembentukan pemerintahan peralihan sebelum terbentuknya Negara
Indonesia Serikat. Pada 19–22 Juli 1949, diadakanlah perundingan antara kedua
belah pihak yang disebut Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta. Konferensi
itu memperlihatkan jika politik adu domba Belanda untuk memisahkan daerah-
daerah di luar republik akhirnya mengalami kegagalan. Perundingan tersebut
menghasilkan persetujuan mengenai bentuk dan hal-hal yang berkaitan dengan
ketatanegaraan Negara Indonesia Serikat, antara lain:
1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat
(RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme;
2. Republik Indonesia Serikat dikepalai oleh seorang presiden konstitusional
dan dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR);
3. Pembentukan dua badan perwakilan, yaitu sebuah dewan perwakilan rakyat
dan sebuah dewan perwakilan negara bagian senat. Pertama kali akan
dibentuk dengan perwakilan rakyat sementara;
4. Pemerintahan federal sementara akan menerima kedaulatan tidak hanya dari
pihak Belanda saja, tetapi dari pihak Republik Indonesia juga pada saat yang
sama.
Adapun di bidang militer tercapai persetujuan, antara lain:
1. Angkatan perang Republik Indonesia Serikat adalah angkatan perang
nasional, sedangkan presidennya adalah panglima tertinggi angkatan perang
Republik Indonesia Serikat;

22
2. Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintahan Republik
Indonesia Serikat, sedangkan negara-negara bagian tidak akan memiliki
angkatan perang tersendiri;
3. Pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah
semata-mata soal bangsa Indonesia. APRIS akan dibentuk oleh TNI,
bersama dengan Indonesia yang ada dalam Koninklijk Nederlandsch-
Indische Leger (KNIL) dan Teritorial Batalyon.
4. Pada masa permulaan Republik Indonesia Serikat, Menteri Pertahanan
dapat merangkap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat.
Peristiwa penting selanjutnya adalah penyerahan kembali mandat
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) kepada Presiden Republik
Indonesia, yang diwakili oleh Wakil Presiden dan Perdana Menteri Mohammad
Hatta pada 31 Juli 1949. Pada malam harinya, kemudian dilanjutkan dengan
keputusan untuk mengangkat Hamengkubuwana IX sebagai Menteri
Pertahanan dan Koordinator Keamanan Republik Indonesia.

II. Perjuangan Secara Diplomasi


Perjuangan diplomasi adalah kebalikan dari perjuangan fisik.
Perjuangan diplomasi merupakan perjuangan yang lebih mengutamakan
perundingan, menarik simpati dunia internasional, serta menghasilkan
kesepakatan. Perjuangan diplomasi sama sekali tidak menggunakan senjata
sehingga tidak ada korban jiwa yang ditimbulkan . Perjuangan secara diplomasi
juga dilakukan dari perundingan satu ke perundingan yang lain.

A. Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati adalah salah satu perjanjian bersejarah antara
Republik Indonesia dan Belanda yang berlangsung di Jawa Barat, tepatnya di
Desa Linggarjati, Kecamatan Cillimus, Kabupaten Kuningan, di dekat dengan
Gunung Ceremai. Kesepakatan perjanjian linggarjati ditandatangani pada
tanggal 15 November 1946 di Jakarta dan selanjutnya secara sah oleh kedua
pihak pada 25 Maret 1947.

i. Latar Belakang
Perjanjian Linggarjati terpaksa harus dilakukan oleh pihak
Indonesia demi penyelesaian berbagai permasalahan yang muncul
akibat kedatangan pasukan AFNEI (Allign Forces Nederlands East
Indies) ke Indonesia melalui NICA (Nederland Indie Civil
Administratie). Selain itu, diadakannya perjanjian linggarjati
bertujuan agar supaya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia
yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
NICA adalah pemerintahan sipil Hindia Belanda.
Kedatangan pasukan tersebut menimbulkan ketegangan antara
Belanda dan Republik Indonesia, salah satu contoh peristiwa
peristiwa besar yang terjadi yaitu pertempuran 10 November di
Surabaya .

23
Awalnya, baik pihak RI dan Belanda tidak segan
mengadakan perundingan, tetapi setelah adanya mediasi dari
pemerintah Inggris (Britania Raya) yang saat itu adalah penanggung
jawab atas konflik di wilayah Asia, akhirnya dua negara bersedia
duduk bersama dalam meja perundingan.
Sebelum berlangsungnya Perjanjian Linggarjati, pernah
dilakukan pertemuan antara kedua negara dalam usaha penyelesaian
masalah atas usulan dari Sir A.C. Kerr (utusan Inggris). Pada
kesempatan ini Indonesia mengusulkan wilayah yang harus diakui
Belanda, yaitu meliputi Madura, Sumatera dan Jawa, tetapi Belanda
hanya bersedia mengakui Pulau Jawa dan Madura saja. Akhirnya
perundingan gagal.
Tidak menyerah begitu saja, pihak Inggris mengirim utusan
lain bernama Lord Killern pada akhir bulan Agustus 1946. Ia
kemudian berhasil membujuk kedua negara untuk melakukan
perundingan kembali. Perundingan dilakukan di Konsulat Jendral
Inggris, Jakarta. Hasilnya, kedua negara sepakat melakukan
gencatan senjata pada tanggal 14 Oktober 1946.
Perjanjian dilanjutkan kembali pada tanggal 11 November
1946 di Linggarjati. Perundingan kesepakatan inilah yang sekarang
kita kenal dengan nama Perjanjian Linggarjati.

ii. Isi Perjanjian Linggarjati

a. Pasal 1 : Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de


facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan
Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Sekutu atau
Belanda secara berangsur-angsur dan dengan kerjasama kedua
pihak akan dimasukkan ke dalam daerah RI.
b. Pasal 2, 3, dan 5 ayat 2 : Pemerintah Belanda dan RI akan
bekerjasama untuk membentuk NIS yang meliputi seluruh
wilayah Hindia Belanda sebagai negara berdaulat, dengan
mengingat cara-cara yang demokratis dan hak menentukan nasib
sendiri.
c. Pasal 6 dan 8 : Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni
Indonesia Belanda. Adapun negara Belanda dalam pengertian ini
meliputi juga Suriname dan Curacao, sedangkan yang dimaksud
dengan Indonesia adalah NIS. Uni dipimpin oleh raja Belanda
dan bertujuan untuk mengurus penyelenggaraan kepentingan
bersama.
d. Pasal 12 : Pemerintah Belanda dan pemerintah RI akan
mengusahakan agar pembentukan NIS dan Uni bisa diselesaikan
sebelum tanggal 1 Januari 1949.
e. Pasal 14 : Pemerintah Republik Indonesia mengakui,
memulihkan dan melindungi hak milik orang asing.

24
f. Pasal 16 : Pemerintah Belanda dan RI setuju untuk mengadakan
pengurangan tentara dan kerjasama dalam hal ketentaraan.
g. Pasal 17 : Jika terjadi perselisihan antara pemerintah RI dan
Belanda perihal pelaksanaan persetujuan ini, maka kedua pihak
akan menyerahkan persoalannya kepada sebuah komisi arbitrase
untuk memecahkannya.

Hasil perundingan linggarjati berisi 17 pasal ketentuan yang


telah disepakati bersama. Dari 17 pasal tersebut , terdapat 6 poin penting
dari Isi Perjanjian Perundingan Linggarjati. Adapun 6 poin penting sisi
perjanjian linggarjati adalah sebagai berikut.

1. Belanda mengakui Republik Indonesia secara nyata (de facto) atas


Sumatera, Jawa dan Madura.
2. Dibentuk Uni dari kedua negara, dipimpin atau diketuai Ratu
Belanda.
3. Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia sepakat mengurangi
jumlah pasukan tentara.
4. Pembentukan negara federal yakni bernama RIS atau Republik
Indonesia Serikat.
5. Sebelum tanggal 1 Januari 1949 sudah harus dibentuk RIS dan juga
Uni Indonesia Belanda.
6. Pemerintah Republik Indonesia akan mengakui dan memulihkan
serta melindungi hak asing.

iii. Analisis Perjanjian Linggarjati


Dari enam poin penting diatas, kita dapat menganalisis bahwa isi
Perjanjian Linggarjati sangat merugikan pemerintah
Indonesia. Pertama, hanya sebagian pulau saja wilayah RI yang diakui
oleh Belanda, yakni Sumatera, Jawa dan Madura. Padahal luas wilayah
Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke.

Kerugian kedua adalah masih terjadinya pertempuran di


beberapa daerah, padahal sudah ada kesepakatan gencatan senjata.
Akibatnya banyak korban berjatuhan akibat permasalahan ini, terutama
dari militer maupun penduduk sipil. Namun ada nilai positifnya, yaitu
Belanda mengakui Republik Indonesia secara De Facto.

iv. Tokoh Perjanjian Linggarjati (Pihak Indonesia)


Dipimpin oleh Sutan Syahrir. Ia merupakan seorang intelektual
pada masa revolusioner kemerdekaan Indonesia. Lahir pada tanggal 5
Maret 1909 di Padang Panjang Sumatera Barat. Jabatan penting pernah
ia pegang, seperti sebagai Perdana Menteri Pertama Indonesia dari 14
November 1945 hingga 20 Juni 1947. Meninggal sebagai tawanan
politik di pengasingan di Swiss pada 6 April 1966. Ia juga pendiri partai
besar PSI Partai Sosialis

25
Tokoh Perjanjian Linggarjati lainnya yaitu Mr. Susanto
Tirtoprojo (pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman pada 6
kabinet), Dr Adnan Kapau Gani (politisi sekaligus Dokter, pernah
menjadi Wakil PM saat Kabinet Amir Syarifudin I, II), Mohammad
Roem (seorang diplomat, pernah menjadi Mendragi, Menlu dan Wakil
PM).

v. Tokoh Perjanjian Linggarjati (Pihak Belanda)


Dipimpin oleh Wim Schermerhorn. Ia merupakan politikus
sekaligus Perdana Menteri Belanda pada tahun 1945-1946. Lahir pada
tanggal 17 Desember 1894 di Akersloot, Castricum, Belanda. Beliau
adalah pendiri International Traning Center fotogrametri di Delft
(lembaga penelitian). kemudian anggota lainnya : De Boer dan Van
Pool.

vi. Tokoh Meditator (Pihak Penengah)


Lord Killearn (Inggris) atau Miles Wedderburn Lampson
Kullern. Lahir di Killern, Skotlandia, pada tanggal 24 Agustus 1880. Ia
merupakan menteri luar negeri Inggris tahun 1903.
vii. Pro dan Kontra Perjanjian Linggarjati
Pro dan kontra merebak di kalangan masyarakat, sebagai contoh
beberapa organisasi partai di Indonesia seperti Partai Nasional
Indonesia, Masyumi, PRI dan PRJ (partai rakyat jelata) menilai bahwa
perjanjian linggarjati menunjukan bahwa pemerintah Republik
Indonesia begitu lemah dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan
terjadi perlawanan yang kemudian dikenal dengan DI/TII.
Mengatasi isu-isu tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpres
Nomor 6 tahun 1946. Peraturan presiden ini dibuat untuk mendukung
berlangsungnya perjanjian linggarjati. Kemudian pada tanggal 25
Februari 1947, pihak KNIP secara resmi mengesahkan dan
menandatangani hasil perjanjian yang dilangsungkan tersebut.
viii. Perjanjian dan Penyelewangan Perjanjian Linggarjati
Pelaksanaan Perjanjian Linggarjati tak berjalan lancar. Karena
setelah beberapa bulan Belanda mengingkari janjinya. Pemerintah
Belanda melalui Gubernur Jenderal Van Mook pada tanggal 20 Juli
1947 menyatakan tidak terkait lagi dengan hasil perjanjian.
Hal ini dibuktikan dengan serangan terhadap Indonesia pada
tanggal 21 Juli 1947. Serangan tersebut terkenal dengan nama Agresi
Militer Belanda 1. Serangan terjadi akibat adanya perbedaan penafsiran
dari pihak Belanda dan Republik Indonesia.
ix. Dampak Bagi Indonesia dan Belanda

26
Dampak perjanjian linggarjati dianggap sangat merugikan bagi
Indonesia. Banyak tokoh-tokoh maupun partai politik menganggap
perundingan ini bukti lemahnya pemerintah Indonesia yang dipimpin
oleh Soekarno pada saat itu. Bentuk negara diubah menjadi "RIS"
merupakan salah satu dampak perjanjian linggarjati bagi Indonesia disisi
negatif. Namun disisi lain, terdapat dampak positifnya, yaitu RI diakui
secara de facto oleh Belanda.
Selain Indonesia, dampak perjanjian linggarjati juga dirasakan
oleh Belanda. Namun lebih pada sisi positifnya. Salah satu dampak
positif bagi Belanda adalah mereka berhasil menduduki wilayah
Indonesia yang tidak diakui secara de facto. Seperti yang kita ketahui,
dalam isi perjanjian disepakati bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI
atas wilayah Jawa, Sumatera dan Madura, sementara daerah lainnya
tidak.
x. Dampak Positif Bagi Indonesia
a. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 secara resmi diakui secara de facto oleh pemerintah
Belanda.
b. Kedua negara sepakat untuk melakukan gencatan senjata
(sementara), namun beberapa waktu kemudian Belanda
mengingkarinya.
c. Pasukan Belanda meninggalkan wilayah RI sekurang-kurangnya
tanggal 1 Januari 1949.
d. Beberapa negara asing kemudian mengakui kedaulatan RI.

xi. Dampak Negatif Bagi Indonesia

a. Wilayah yang diakui oleh Belanda hanya Pulau Jawa, Sumatera dan
Madura. Padahal wilayah Indonesia saat itu sangat luas.
b. Bentuk negara Indonesia diubah menjadi RIS (Republik Indonesia
Serikat). Artinya Indonesia menjadi negara federal yang terdiri dari
beberapa negara-negara bagian.
c. Belanda melanggar perjanjian, akhirnya terjadi pertempuran
kembali. Contohnya Agresi Militer Belanda 1.
d. Akibat serangan tersebut, banyak korban meninggal baik dari
kalangan militer (TNI) maupun masyarakat bisa.
e. Kerugian ekonomi akibat adanya perang. Dana yang semula untuk
kepentingan membangun negara digunakan untuk perang.
Akibatnya krisis ekonomi terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

xii. Dampak Bagi Belanda


Beberapa dampak bagi Belanda meliputi, berhasil menduduki
kembali wilayah-wilayah yang tidak disepakati dalam perjanjian,
berhasil membujuk/mempengaruhi Indonesia untuk membentuk negara
RIS. Selain itu, pihak Belanda juga sewenang-wenang mengenai
kesepakatan yang telah dibuat. Tepat pada tanggal 20 Juli 1949, pihak
Belanda melalui Gubernur Jenderal H.J. van Mook mengeluarkan

27
pernyataan bahwa pihak Belanda tidak lagi terikat dengan perjanjian
Linggarjati.

Pernyataan ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran


antara Belanda dan Indonesia. Akhirnya, tepat pada tanggal 21 Juli 1947
(sehari setelah pernyataan), Belanda melakukan serangan terhadap
Republik Indonesia. Serangan ini disebut dengan Agresi Militer Belanda
1.

Serangan dari pihak Belanda tentu saja membuat tentara


Indonesia panik, hal ini karena dilakukan secara mendadak.
Dampaknya, banyak korban jiwa dari kalangan tentara nasional
Indonesia. Serangan Belanda ini kemudian di kecam oleh pihak
Internasional. Dewan PBB kemudian membentuk komisi tiga negara
(KTN) untuk mempertemukan kedua negara dalam meja perundingan.

B. Perundingan Renville
Perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan kesepakatan
yang dilakukan antara pemerintah Belanda dan Republik Indonesia, terjadi
setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948.

Pelaksanaan perjanjian Renville dilangsungkan pada tanggal 8


Desember 1947, kesepakatan perundingan kemudian menemui titik terang,
selanjutnya ditandatangani setelah lebih dari 1 bulan, tepatnya pada tanggal 17
Januari 1948.

i. Latar Belakang

Penyebabnya karena pihak Belanda masih terus menerus


melakukan serangan terhadap Republik Indonesia pada 27 Juli 1947.
Serbuan inilah yang kemudian kita kenal dengan nama "Agresi
Militer Belanda I". Apa penyebab serangan? dimana saja daerah
yang diserang? latar belakang serangan ditengarai karena penolakan
pembentukan "Negara Federal".Perjanjian Renville adalah lanjutan
dari perundingan Linggarjati, isinya terkait dengan persetujuan
gencatan senjata, tetapi dilanggar.

Agresi Militer Belanda I mendapat perhatian cukup besar


dunia Internasional. Pada tanggal 1 Agustus Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara kedua negara.
Kemudian Gubernur Van Mook memerintahkan dilakukannya
gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus 1947 dan berakhirlah
Agresi Militer Belanda I.

Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi


pada tanggal 25 Agustus 1947 yang sebelumnya diusulkan oleh
Amerika serikat. Resolusi tersebut berisi tentang upaya PBB untuk

28
menyelesaikan konflik antara Belanda dan Republik Indonesia
secara damai. Untuk mencapai tujuan itu, kemudian dibentuk
Komisi 3 Negara terdiri dari Australia pilihan Indonesia, Belgia
pilihan Belanda dan AS dipilih oleh kedua negara.

Kemudian secara sepihak, pada tanggal 29 Agustus 1947


Belanda mengeluarkan batas wilayah antara Belanda dan Republik
Indonesia. Batas wilayah diumumkan oleh Van Mook, wilayah
Republik Indonesia hanya terdiri dari 1/3 Pulau Jawa dan beberapa
pulau di Sumatra. Dari hal ini lah kemudian muncul sebuah
perundingan untuk memecahkan masalah melalui Perjanjian
Renville.

ii. Tokoh yang Terlibat


a. Delegasi Indonesia
 Ketua : Amir Syarifudin
 Anggota lain : Haji Agus Salim, Dr. Coatik Len, Dr.
Leimena, Nasrun dan Ali Sastroamijoyo
b. Delegasi Belanda
 Ketua : R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo
 Anggota lain : Dr.P.J. Koest, Mr. Dr. Chr. Soumokil, dan Mr
Van vredenburg.
c. Penengah (mediator)
 Ketua : Frank Graham
 Anggota lain : Richard Kirby dan P. Van Zeeland.

iii. Isi Perjanjian

Ada 7 poin penting isi perjanjian Renville yang harus kita


ketahui, berikut penjelasan lengkapnya secara singkat :
a. Wilayah Republik Indonesia diakui Belanda antara lain : Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Sumatera.
b. Disetujuinya batas wilayah antara Republik Indonesia dan Belanda.
c. Pasukan TNI harus ditarik mundur dari wilayah-wilayah yang tidak
diakui.
d. Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia
Serikat.
e. RIS memiliki kedudukan sejajar dengan Uni Indonesia Belanda.
f. Akan diadakan pemilihan umum dalam kurun waktu 6 sampai 1
tahun mendatang.
g. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya
ke pemerintah federal.
Dari isi perjanjian Renville diatas, dimulai pada bulan Februari
tahun 1948 pihak RI harus mengosongkan beberapa wilayah yang
sebelumnya telah dikuasai oleh pejuang kemerdekaan Indonesia. Salah
satunya yaitu dari Divisi Siliwangi Yogyakarta berpindah ke Jawa
Tengah. Pengosongan wilayah yang disepakati pada ternyata tidak

29
seluruhnya dilakukan oleh pejuang Republik. Contohnya Laskar
Hisbullah dan Barisan Bambu Runcing masih melakukan perlawanan
terhadap Belanda.

iv. Dampak

Salah satunya adalah pihak Indonesia harus segera


mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI tetapi bukan daerah
hasil kesepakatan dalam perjanjian tersebut. Tidak semua pejuang
Republik mau meninggalkan daerah-daerah kekuasaannya, mereka
bahkan masih melakukan perlawanan-perlawanan kepada pasukan
Belanda. Dampak perjanjian sangat merugikan bagi Indonesia. Berikut
ini beberapa dampaknya.

a. Indonesia harus menarik mundur pasukannya di luar wilayah


kekuasaan yang disepakati.
b. Wilayah Republik Indonesia semakin sedikit, hanya tinggal Jawa
Tengah, Sumatera dan Yogyakarta.
c. Belanda melakukan Blokkade ekonomi Indonesia.
d. Lengsernya kabinet Amir Syarifudin karena dianggap menjual
negara kepada pihak Belanda.
e. Belanda membentuk Negara boneka, bertujuan memecah Republik
Indonesia. Negara-negara ini meliputi : Negara Jawa Timur, Negara
Madura, Negara Borneo Barat, Negara Sumatera Timur.

C. Perundingan Roem-Royen

i. Pengertian
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van
Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari
kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen.
Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah
mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di
Den Haag pada tahun yang sama.
Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap
Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan
Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek
Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia). Keberhasilan
membawa permasalahan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda ke
meja perundingan merupakan inisiatif komisi PBB untuk Indonesia.
Perundingan Roem Royen, pihak Republik Indonesia memiliki
pendirian mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke
Yogyakarta merupakan kunci sebuah perundingan selanjutnya.

30
ii. Latar Belakang
Diadakannya perjanjian Roem Royen karena adanya serangan
tentara Belanda ke Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI,
serta mendapatkan kecaman dari dunia Internasional. Dalam Agresi
militer II, Belanda memproganda TNI telah hancur, disini Belanda
mendapat kecaman di dunia Internasional terutama Amerika Serikat.
Perjanjian Roem Royen diselenggarakan mulai dari 14 April
hingga 7 mei 1948 pihak Indonesia di wakili oleh Moh. Roem beberapa
anggota seperti Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena. Ir. Juanda, Prof.
Supomo dan Latuharhary. Dan untuk pihak Belanda di wakili oleh
Dr.J.H Van Royen dengan anggotanya seperti Blom, Jacob, dr. Van, dr
Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan dan Dr. Gieben.
Dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan
Belanda mendapat kecaman dan reaksi dari Amerika Serikat dan
Inggris, serta Dewan PBB. Melihat reaksi militer Belanda sehingga PBB
membuat kewenangan KTN.Yang sejak itu KTN berubah menjadi
UNCI “United Nations Commission For Indonesia”, UNCI sendiri
dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan juga dibantu
Critchley Australia dan juga Harrenmans dari Belgia.
Pada tanggal 23 Maret 1949 pihak DK-PBB perintahkan UNCI
agar membantu perundingan antara pihak Republik Indonesia dengan
Belanda. Pada tanggal 17 April 1949 perundingan Roem Royen dimulai
dan bertempat di Jakarta, UNCI sebagai penengah dan diketuai oleh
Merle Cochran dari Amerika Serikat wakil UNCI. Perundingan
berikutnya Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs Moh Hatta dan
juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perjanjian
Roem Royen mulai ditandatangani dan nama perjanjian ini dimabil dari
kedua pemimpian delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Royen.
Perjanjian yang sangat alot sehingga perlunya diperkuat oleh Drs Moh
Hatta yang datang dari pengasingan di Bangka, serta Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Kedatangan Sri Sultan HB IX
untuk mempertegas pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.
iii. Proses Pelaksanaan
Atas desakan amerika serikat, akhirnya pada tanggal 14 april
1949. Perundingan dapat dibuka kembali, delegasi indonesia dipimpin
oleh muhammad Roem, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh van
roijen, yang merupakan Perundingan pendahuluan sebelum diadakan
perundingan puncak, perundingan Tersebut diketuai oleh cochran. Yang
kemudian menyampaikan pidato tentang Tujuan perundingan dan tugas-
tugas yang harus dilaksanakan dalam perundingan ini.

31
Selanjutnya ketua delegasi belanda van roijen menyampaikan
pidato, dalam pidatonya antara lain dikatakan bahwa:
a. Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi
persiapan ini tanpa syarat.
b. Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya
pemerintah RI ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan
dengan syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan
mengikat seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok
acara, yakni soal penghentian permusuhan dan pemulihan ketertiban
dan ketentraman, serta syarat-syarat dan tanggal untuk mengadakan
Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
c. Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat,
Van Roijen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata
dan lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tak akan menjadi super
state melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antara
negara-negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar
persamaan dan kesukarelaan sepenuhnya (Agung, 1983).
Selanjutnya ketua delegasi Indonesia Mohammad Roem
menyampaikan pidato tentang pandangannya sebagai berikut:
a. Pemerintah RI dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi
militer Belanda yang kedua telah menggoyahkan kepercayaan pada
itikad baik pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat
di dalam RI seperti ternyata telah diletakkan jabatan oleh pemerintah
Indonesia Timur dan pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-
badan yang menyalahkan tindak tanduk militer itu, dan resolusi dari
luar negeri, yakni konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-
negara Asia Selatan dan Tenggara.
b. Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang
disebut instruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-
pokok untuk dibicarakan konferensi ini, merupakan satu kesatuan
utuh. Harus dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya
pemerintahan Republik ke Yogyakarta setelah tercapai kata sepakat
tentang hal ini, maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok
hal yang lain unruk suatu pemecahan menyeluruh. Keputusan-
keputusan hakiki kemudian akan diambil oleh pemerintah Republik
di Yogya. Sepakat tentang persoalan kembalinya pemerintah
Republik. Jalan akan terbuka untuk mengadakan
perundinganperundingan mendasar dan kepercayaan yang tergoyah
akan dipulihkan (Ide Anak Gede Agung, 1983:270)
Pada tanggal 16 April, dimulailah pembicaraan antara kedua
delegasi yang berlangsung hingga 7 Mei 1949.Perundingan tersebut
berhasil mencapai persetujuan yang kemudian dikenal dengan
perjanjian Roem-Roijen.Perjanjian Roem-Roijen bukan merupakan
suatu perjanjian yang sifatnya satu, akan tetapi merupakan suatu

32
perjanjian yang terdiri dari dua keterangan yang berbeda. Pernyataan ini
masing-masing disampaikan oleh kedua delegasi Indonesia dan
Belanda.
Mohammad Roem, sebagai ketua delegasi Indonesia kemudian
mengemukakan peryataan yang berbunyi sebagai berikut: Sebagai ketua
delegasi RI saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan wakil Presiden
Moh.Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi sesuai
dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan
petunjuk-petunjuknya tanggal 23 Maret1949 untuk memudahkan
tercapainya:
a. Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata
untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga
ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan
maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh
dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tiada bersyarat
(Roem, 1989)
Sementara itu, ketua delegasi Belanda, Van Roijen
menyampaikan pendapat sebagai berikut:
a. Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke
Yogyakarta, dan dibawah pengawasan UNCI akan menghentikan
perang gerilya disamping bersedia menjaga perdamaian dan
ketertiban serta keamanan.
b. Pemerintah RI bebas menjalankan tugasnya dalam residensi
Yogyakarta.
c. Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan akan
melepaskan semua tahanan politik sejak 17 Desember 1948Belanda
tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di daerah RI sebelum
19 Desember 1948.
d. Belanda akan menyokong RI masuk Indonesia Serikat dan
mempunyai sepertiga anggota dari segenap anggota Dewan
Perwakilan Federal.
e. Belanda menyetujui, bahwa semua areal diluar residensi Yogya,
dimana pegawai-pegawai Republik masih bertugas tetapi
menjalankan tugasnya (Marwati Djonaedi, 1984:170)
Kedua pernyataan tersebut diatas merupakan pokok-pokok
perjanjian Roem-Roijen, yang sekaligus merupakan dasar menuju
KMB, dan peristiwa yang sangat menentukan bagi RI. Karena dengan
dicapainya persetujuan tersebut maka pemerintah RI akan dikembalikan
dan dipulihkan ke Yogyakarta. Pernyataan Roem-Roijen juga

33
merupakan suatu kemajuan yang akan membawa kedalam perundingan-
perundingan selanjutnya.
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen
maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra
memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak
TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu.Namun,
Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando
di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan
agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata
untuk kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya
kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan,
karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22
Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antaraRepublik Indonesia,
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah
pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan
itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut:
a. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta
akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
b. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah
pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada
tanggal 1 Juli 1949.
c. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Perjanjian Roem-Roijen yang ditandatangani tanggal 7 Mei
1949, mulai dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1949, yang ditandai
dengan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Yaitu bersamaan
dengan kembalinya Presiden Soekarno dan Moh.Hatta pada hari
tersebut. Yang kemudian disusul dengan pengembalian mandat dari Mr.
Syafruddin Prawiranegara kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13
Juli 1949, maka dengan demikian akan semakin dekat menuju
pengakuan kedaulatan.
iv. Isi Perjanjian
Isi perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di Jakarta, antara
lain yaitu sebagai berikut.
a. Tentara beresenjata Republik Indonesia harus menghentikan
aktivitas gerilya.
b. Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja
Bundar “KMB”.
c. Kembalinya pemerin tah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

34
d. Tentara bersenjata Belanda harus menghentikan operasi militer dan
pembebasan semua tahanan politik.
e. Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.
f. Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari
Negara Indonesia Serikat.
g. Belanda memberikan hak, kekuasaan dan kewajiban kepada pihak
Indonesia.
Dampak perjanjian Roem Royen yaitu setelah perjanjian
tersebut kembalinya Sukarno dan Hatta ke Yogyakarta setelah
diasingkan, Yogyakarta sebagai ibukota sementara dari Republik
Indonesia, penyerahan mandat Syafruddin Prawiranegara sebagai
Presiden PDRI “pemerintah darurat republic Indonesia” kepada Ir.
Soekarno, terjadinya gencatan sejata Belanda dan Indonesia serta
diadakannya Konferensi Meja Bundar “KMB”.
v. Pasca Perjanjian
Setelah tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1
Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke
Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin
Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal
Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.Setelah
pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal
13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam siding tersebut
Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil
presiden Moh Hatta. Dalam siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan
merangkap koordinator keamanan.
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke
Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli,
kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali
mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan
PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia


dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi
Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam
agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

vi. Dampak
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen
maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra

35
memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak
TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu.Namun,
Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando
di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan
agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata
untuk kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya
kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan,
karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22
Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia,
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah
pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley.
Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai
berikut.
a. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta
akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
b. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah
pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada
tanggal 1 Juli 1949.
c. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.

D. Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah
Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari
23 Agustus hingga 2 November 1949.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan
berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa
pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat
perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan
Konferensi Meja Bundar.Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan
tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Linggarjati 1947 Renville
Perjanjian tahun 1948, dan Roem Royen-1949. Konferensi ini berakhir dengan
kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat.
Upaya Belanda yang berniat tidak baik terhadap Indonesia untuk
meruntuhkan kemerdekaan Indonesia yang telah diraih dengan susah payahItu
berakhir dengan kegagalan, serta mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. PBB tidak hanya diam atas masalah kedua negara ini. Banyak

36
perundingan yang diadakan untuk mendamaikan hubungan Indonesia dengan
Belanda.
Konferensi Meja Bundar atau yang biasa disebut KMB adalah titik
terang bagi Indonesia agar mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda,
juga menyelesaikan masalah antara Indonesia – Belanda dan Indonesia bisa
menjadi negara yang merdeka dari para penjajah. Mungkin jika Konferensi
Meja Bundar ini tidak diadakan, Indonesia akan masih ada dalam genggaman
para penjajah.Maka dari itu, kemerdekaan yang sudah kita raih pertahankan
selama ini harus tetap kita jaga selalu. Dengan selalu berusaha unruk selalu
mengharumkan dan membanggakan Indonesia, perjuangan meraih
kemerdekaan dulu akan menjadi semakin berarti.
i. Latar Belakang
Upaya untuk mengekang kemerdekaan Indonesia dengan cara
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda di bawah kritik keras
dari masyarakat internasional. Belanda dan Indonesia dan kemudian
mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini
diplomasi. Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan resolusi mengutuk serangan militer
Belanda melawan tentara Republik Indonesia dan menuntut pemulihan
pemerintah Republik. Juga menyerukan kelanjutan perundingan untuk
menemukan penyelesaian damai antara kedua belah pihak.Setelah Roem
Royen-pada 6 Juli, yang efektif ditentukan oleh resolusi Dewan
Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia,
yang para pemimpinnya masih diasingkan di Pasifik, bersedia untuk
berpartisipasi dalam konferensi meja bundar untuk mempercepat
transfer kedaulatan. Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan
selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada
tanggal 6 Juli 1949.
Dalam rangka untuk memastikan kesetaraan perundingan posisi
antara delegasi Republik dan federal, pada paruh kedua Juli 1949 dan
dari 31 Juli – 2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia yang
diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari
Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para peserta sepakat
pada prinsip-prinsip dan kerangka kerja untuk konstitusi. Setelah diskusi
awal yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta,
ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan diadakan di Den Haag.
ii. Tujuan
a. Untuk mengakhiri perselisihan Indonesia — Belanda dengan
jalan melaksanakan perjanjian-perjanjian yang telah diadakan
antara Republik Indonesia dengan Belanda, terutama mengenai
pembentukan Negara Serikat.
b. Dengan tercapainya kesepakatan Meja Bundar, maka kedudukan
Indonesia telah diakui sebagai Negara yang berdaulat penuh
walaupun Irian Barat masih belum termasuk di dalamnya.

37
iii. Tokoh yang Terlibat
Pada tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, yang
disengelarakan di Den Hag. Yang diwakili oleh Drs Moh. Hatta (sebagai
ketua), Mr.Moh Roem, Prof. Dr Soepomo, Dr J Leimena, Mr. Ali
Sastroamidjoyo, Ir Juanda, Kolonel TB Simatupang, Mr Suyono
Hadinoto, Dr Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim
Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg) ialah
sultan Pontianak Hamid Algadri (Halim, dan Yayah, 1986 : 236 ).
Deligasi dari Belanda diketuai Mr. Van Maarseveen, sedangkan UNCI
oleh Chritcjley.
iv. Proses Pelaksanaan
Sesampainya pada deligasi itu ke Belanda, sambutan dari
Belanda cukup baik dengan menjukan keramahan dalam melayani para
delegasi. Para deligasi di tempatkan di hotel mewah Kurhaus
Schevenigen dan mobil – mobil mengkilap yang bika di gunakan
sewaktu – waktu di butuhkan. Setiap hari angota deligasi di beri uang
saku F1. 25, yang waktu itu sebanding dengan US $10, dan berdaya beli
tinggi saat itu.
Delegasi di bagi menjadi beberapa komisi-komisi militer
dipimpin oleh Dr. J. Leimena, dan angotanya Kolonel TB Simatupang
(mewakili Angkatan Darat), komandor S. Suryadarma (Angkatan
Udara, yang menyusul belakangan), Laksamana Subiyakto (Angkatan
Laut) dan Letnan Kolonel Daan Yahya dan letnan Kolonel M.T
Haryono. Dari pihak komisi mileter Belanda Moorman (kepala staf
Angkatan Laut Nedrland) dan Fokkema Andre. Masalah yang sulit di
pecahkan dalam konferensi itu sebagai berikut :
a. Uni Indonesia – Belanda. Indonesia menginginkan agar sifatnya
hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen,
sedangkan Belanda menginginkan kerja sama yang luas dengan
organisasi permanen yang luas pula.
b. Soal hutang. Indonesia hanya mengakui hutang – hutang Hindia
Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sebaliknya,
Belanda berpendapat bahwa Indonesia harus mengambil alih semua
kekayaan maupun hutang Hindia Belanda saampai saat itu, termasuk
biaya perang kolonial terhadap Indonesia.
Akhirnya setelah memalui perundingan yang berlarut – larut
pada tanggal 2 November 1949 tercapailah persetujuan KMB.
v. Hasil dari Konferensi Meja Bundar

a. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada


Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia

38
ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah
Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat
negara terpisah karena perbedaan etnis.
b. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan
monarch Belanda sebagai kepala negaraPengambil alihan hutang
Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

vi. Hasil atau Isi Keputusan

a. Indonesia menjadi negara Serikat dengan nama : Republik Indonesia


Serikat.
b. RIS dan Kerajaan Belanda merupakan UNI, UNI Indonesia-
Belanda itu dikepalai oleh Ratu Kerajaan Belanda.
c. Penyerahan kedaulatan oleh, Belanda kepada Indonesia akan
diIakukan selambat-Iambatnya pada akhir tahun 1949 (Yang benar
pengakuan kedaulatan bukan penyerahan kedaulatan.)
d. Semua hutang bekas Hindia-Belanda akan dipikul RIS.
e. TNI menjadi inti tentera RIS dan berangsur-angsur akan mengambil-
alih penjagaan keamanan di seluruh wilayah RIS.
f. Kedudukan Irian Barat akan ditentukan selama-lamanya 1 tahun
sesudah penyerahan kedaulatan.
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda
pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik
Indonesia Serikat pada 27 December 1949. Isi perjanjian konferensi
adalah sebagai berikut:
a. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang
sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak
bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.
b. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar
ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja, rantjangan konstitusi telah
dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
c. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30
Desember 1949.
Rencana Belanda untuk mengekang kemerdekaan Indonesia
dengan cara kekerasan berakhir dengan kegagalan dan Belanda juga
mendapat kritik keras dari masyarakat nasional. PBB tentu tidak tinggal
diam melihat masalah Indonesia – Belanda ini. PBB mengadakan
sejumlah perundingan dan pertemuan untuk menyelesaikan masalah
Indonesia – Belanda. Konferensi Meja Bundar adalah contoh pertemuan
untuk membahas masalah antara kedua negara yang bermasalah ini.
Konferensi Meja Bundar diadakan pada tanggal 23 Agustus 1949
sampai 2 November 1949 di Den Haag.

39
Indonesia diwakili oleh Drs Moh. Hatta (sebagai ketua), Mr.Moh
Roem, Prof. Dr Soepomo, Dr J Leimena, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir
Juanda, Kolonel TB Simatupang, Mr Suyono Hadinoto, Dr Sumitro
Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringodigdo. Sementara dari BFO
(Bijeenkomst Federaal Overleg) ialah sultan Pontianak Hamid
Algadri.Setelah itu pada tanggal 2 November 1949 tercapailah
persetujuan KMB, yaitu serah terima kedaulatan dari pemerintah
kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua
bagian barat, dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia,
dengan monarch Belanda sebagai kepala negara dan mengambil alih
hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Banyak dampak yang dapat dirasakan setelah Konferensi Meja
Bundar diadakan seperti, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia,
konflik Indonesia dengan Belanda dapat diakhiri danbentuk Negara
Serikat tidak sesuai dengan Proklamasi. Selain itu, ada beberapa dampak
negatif yang dirasakan Indonesia yaitu, belum diakuinya Irian Barat
sebagai bagian dari Indonesia membuat Indonesia masih berusaha untuk
memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari
NKRI.

vii. Dampak Bagi Indonesia


Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup
menggembirakan bagibangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil
dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia,sehingga dampak positif pun
diperoleh Indonesia. Berikut merupakan dampak dari Konferensi Meja
Bundar bagi Indonesia:
a. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
b. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera
dapat dimulai.
c. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia
Serikat.
d. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Setelah itu penyerahan kedaulatan yang dilakukan di negeri
Belanda bertempat di ruang takhta Amsterdam, Ratu Juliana, Perdana
Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan A.M.J.A. Sasseu,
dan Drs. Moh. Hatta melakukan penandatanganan akta penyerahan
kedaulatan. Pada saat yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.S. Lovink dalam
suatu upacara di Istana Merdeka menandatangani naskah penyerahan
kedaulatan.Dengan penyerahan kedaulatan itu, secara formal Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kekuasaan negara

40
Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat
yang akan diserahkan setahun kemudian.
viii. Negosiasi Konferensi Meja Bundar
Pembicaraan menghasilkan sejumlah dokumen, termasuk
Piagam Kedaulatan, Unity Statuta, perjanjian dan kesepakatan urusan
sosial dan militer terkait ekonomi. Mereka juga menyepakati penarikan
pasukan Belanda “dalam waktu sesingkat mungkin”, serta Indonesia
Repbulik Serikat menyediakan paling disukai status negara ke
Belanda.Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara
dan perusahaan Belanda, dan Republik bersedia untuk mengambil alih
perjanjian perdagangan sebelumnya dinegosiasikan oleh Hindia
Belanda. Namun, ada perdebatan dalam utang pemerintah kolonial
Belanda dan status Papua Barat.
Negosiasi mengenai utang luar negeri pemerintah berlangsung
lama kolonial Hindia Belanda, dengan masing-masing pihak
menyerahkan perhitungan mereka dan berdebat tentang apakah
Indonesia Serikat harus menanggung utang yang dibuat oleh Belanda
setelah mereka menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Delegasi
Indonesia adalah terutama merasa marah karena harus membayar biaya
yang mereka digunakan oleh Belanda dalam aksi militer terhadap
Indonesia. Pada akhirnya, berkat campur tangan anggota AS di Komisi
PBB untuk Indonesia, Indonesia menyadari bahwa kesediaan untuk
membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar
untuk mendapatkan kedaulatan. Pada tanggal 24 Oktober, delegasi
Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang
pemerintah Belanda.
Masalah Papua Barat juga nyaris membuahkan pembicaraan
menjadi jalan buntu. Delegasi Indonesia percaya bahwa Indonesia harus
mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda. Di sisi lain, Belanda ditolak
karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki hubungan etnik
dengan daerah lain di Indonesia.Meskipun opini publik Belanda yang
mendukung pengiriman Papua Barat ke Indonesia, kabinet Belanda
khawatir tidak akan mampu untuk meratifikasi Roundtable jika titik-titik
ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 kesepakatan
diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui negosiasi antara
Republik Indonesia Serikat dan Belanda dalam waktu satu tahun setelah
penyerahan kedaulatan.
2. Masa Demokrasi Liberal
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi
Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem
kabinet parlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950
(Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950). Sistem
pemerintahan ini menetapkan bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung
jawab kepada parlemen. Sistem cabinet parlementer juga menerapkan sistem

41
pemungutan suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan umum (Pemilu), mosi,
dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam mengekspresikan hak untuk ikut serta
dalam berpolitik. Selain itu, adanya sistem multipartai pada masa ini menyebabkan
terciptanya golongan mayoritas dan minoritas dalam masyarakat, serta adanya sikap
mementingkan kepentingan golongan partai politik masingmasing dari pada
kepentingan bersama. Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada
masa demokrasi Liberal adalah sistem kabinet presidensial. Sistem cabinet presidensial
berlandaskan pada UUD 1945 (Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan
tertinggi negara ditempati oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini
menganut paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip
NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan
kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer,
sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesame anggota partai politik.
I. Kehidupan Politik pada Masa Demokrasi Liberal
A. Pergantian Kabinet yang Cepat
Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal menimbulkan
persaingan antar golongan. Masing-masing partai hanya mau mencari
kemenangan dan popularitas partai dan pendukungnnya, sehingga
mengakibatkan ketidakstabilan politik Indonesia. Ketidakstabilan politik juga
diwarnai jatuh bangunnya kabinet karena antara masing-masing partai tidak ada
sikap saling percaya. Sebagai bukti dapat dilihat pergantian kabinet dalam
waktu yang relatif singkat berikut ini.
a. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951).
b. Kabinet Sukiman (April 1951 - Februari 1952).
c. Kabinet Wilopo (April 1952 - Juni 1953).
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953 – Agustus 1955).
e. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 - Maret 1956)
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 - Maret 1957).
g. Kabinet Juanda (Maret 1957 - Juli 1959).

B. Hubungan Pusat dan Daerah


Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat
menyebabkan ketidakpuasan pemerintahan daerah. Karena pemerintahan pusat
sibuk dengan pergantian kabinet, daerah kurang mendapat perhatian. Tuntutan-
tuntutan dari daerah ke pusat sering tidak didengarkan. Situasi ini menyebabkan
munculnya gejala provinsialisme atau sifat kedaerahan. Gejala provinsialisme
akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha memisahkan diri dari pusat.
Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam pemberontakan, APRA,
pemberontakan Andi Azis, RMS, PRRI, dan Permesta.

C. Pemilu I Tahun 1995


Pemilihan Umum (Pemilu) sudah direncanakan oleh pemerintah, tetapi
program ini tidak segera terwujud. Karena usia kabinet pada waktu itu relatif
singkat, persiapan-persiapan secara intensif untuk program tersebut tidak dapat
dilaksanakan. Pemilu merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi. Pemilu

42
I di Indonesia akhirnya dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu I yang diselenggarakan pada tahun 1955 dilaksanakan dua kali, yaitu:
a. Tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat atau Parlemen.
b. Tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante
(Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar).
Secara serentak dan tertib seluruh warga negara yang mempunyai hak
memilih mendatangi tempat pemungutan suara untuk menentukan pilihannya.
Pemilu berjalan lancar dan tertib dan melahirkan Empat partai yang muncul
sebagai pemenang dalam Pemilu 1955 secara berurut: Partai Nasional Indonesia
(PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Partai-partai peserta pemilu I pada tahun 1955.

D. Kemacetan Konstituante
Pemilihan umum tahap II pada tanggal 15 Desember 1955 mengantar
terbentuknya Dewan Konstituante yang bertugas menyusun Undang Undang
Dasar. Namun, antara kurun waktu 1956-1959, Dewan Konstituante belum
berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar tersebut. Ketidak berhasilan
Konstituante menyusun UUD baru dan kehidupan politik yang tidak stabil
menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Indonesia.

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan


sidang Konstituante yang menganjurkan agar Konstituante menetapkan UUD
1945 menjadi UUD Republik Indonesia. Konstituante kemudian mengadakan
sidang untuk membahas usulan tersebut dan diadakan pemungutan suara untuk

43
menyelesaikan masalah tersebut. Pemungutan suara tidak memenuhi kuorum.
Banyak anggota Dewan Konstituante yang tidak hadir. Kemudian diadakan
pemungutan suara yang kedua pada tanggal 2 Juni 1959. Pemungutan suara
kedua juga tidak memenuhi kuorum. Dengan demikian, terjadi lagi kemacetan
dalam Konstituante. Pada tanggal 3 Juni 1959 para anggota dewan mengadakan
reses atau istirahat bersidang. Ternyata reses ini tidak hanya sementara waktu
tetapi untuk selamanya. Artinya, Dewan Konstituante membubarkan diri.

E. Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Untuk menanggulangi hal-hal yang dapat membahayakan negara, Letjen
A. H Nasution, selaku Kepala Staf Angkatan Darat, mengeluarkan larangan
bagi semua kegiatan politik terhitung sejak tanggal 3 Juni 1959. Kehidupan
politik semakin buruk dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Di
daerah-daerah terjadi pemberontakan merebut kekuasaan. Partai-partai yang
mempunyai kekuasaan tidak mampu menyelesaikan persoalan. Soekarno dan
TNI tampil untuk mengatasi krisis yang sedang melanda Indonesia dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Pertimbangan
dikeluarkannya dekrit Presiden adalah sebagai berikut:
a. Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante.
b. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian
besar anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
c. Kemelut dalam Konstituante membahayakan persatuan, mengancam
keselamatan negara, dan merintangi pembangunan nasional.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959


mengeluarkan keputusan (dekrit). Keputusan itu dikenal dengan nama Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah sebagai berikut:
a. Pembubaran Konstituante.
b. Berlakunya UUD 1945.
c. Akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat.

II. Kehidupan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal


Masa ini perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab
klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama
pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesiayang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :


a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat

44
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan
pengusaha nonpribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember
1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr
Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan Kerjasama antara pengusaha cina
dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan
latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit
dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan
baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum
bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

III. Akhir dari Demokrasi Liberal


Berakhirnya demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Kegagalan Kontituante menetapkan UUD membawa
Indonesia ketepi jurang kehancuran. Keadaan Negara yang telah merongrong
sejumlah pemberontakan menjadi bertambah gawat. Atas dasar pertimbangan
menyelamatkan Negara dari bahaya, Presiden Soekarno terpaksa melakukan
tindakan inkontitusional. Tindakan presiden tersebut berupa pengeluaran dekrit
yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tindakan itu didukung oleh
militer karena mereka sudah direpotkan oleh sejumlah pemberontakan akibat
krisis politik.

Lebih lanjut dekrit presiden 5 Juli dikeluarkan dengan berbagai pertimbangan


diantaranya:
a. Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh keputusan dari
Konstituante.
b. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian besar
anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
c. Kemelut dalam Kontituante membahayakan persatuan, mengancam
keselamatan negara, dan merinangi pembangunan nasional.

Sedangkan yang menjadi keputusan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959


adalah sebagai berikut.
a. Konstituante dibubarkan
b. UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia
c. Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.

3. Masa Orde Lama


Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah
organisasi politik yang disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk
mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Namun, aktivitas politik subversif ini
menyebabkan penangkapan dan juga pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial
Belanda yang represif di tahun 1929. Bagi orang-orang Indonesia pada saat itu,
pembuangan Soekarno itu malah memperkuat saja citranya sebagai pahlawan nasional

45
dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya, Soekarno berada dalam konflik
yang terus berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial selama tahun 1930an,
menyebabkan Soekarno berkali-kali dipenjara.
Waktu Jepang menginvasi Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, Soekarno
menganggap kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih
kemerdekaan secara sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif.

I. Kelahiran Bangsa Indonesia

Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama Mohammad


Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di
Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
bersama dengan publikasi konstitusi yang pendek dan sementara (UUD 1945),
tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir. Nyatanya akan
membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang - setelah
dibebaskan dari Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni
mereka.
Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia
Tenggara yang sangat menguntungkan namun kemudian harus menghadapi
kenyataan juga. Di bawah tekanan internasional, Belanda akhirnya mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali untuk wilayah barat pulau
Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan 'Republik Indonesia
Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak
dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi
dasar hukum sistem pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan
individu dan mengharuskan tentara untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi
presiden, secara garis besar, hanya memiliki fungsi seremonial dalam sistem ini.
Perdebatan antara beberapa pihak yang berpengaruh mengenai dasar
ideologis Indonesia dan hubungan organisasional antara sejumlah badan negara
telah dimulai sebelum proklamasi tahun 1945. Pihak-pihak ini adalah: (1)
tentara, (2) kaum Islam, (3) para komunis, dan (4) para nasionalis.
Pertama, tentara Indonesia, para pahlawan Revolusi, selalu memiliki
aspirasi politik sendiri. Namun, UUDS 1950, tidak menyediakan peran politik
bagi para militer ini. Ini merupakan sebuah kekecewaan untuk mereka dan
sumber kecurigaan terhadap pihak-pihak lain yang mendapatkan kekuatan
melalui UUDS 1950
Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-
pembicaraan konstitusi - meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili
kelompok yang homogen - ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam yang
diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-kelompok lain menganggap
bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan persatuan Indonesia
dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme karena
terdapat jutaan orang non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik
di Indonesia.

46
Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak perwakilan partai-
partai Islam maupun militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia
(PKI). Setelah dilarang oleh pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena
mengorganisir pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra
Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menjadi salah
satu partai paling populer dalam skala nasional maka merupakan kekuatan
politik dan terakhir, ada juga para nasionalis yang menekankan kebutuhan akan
jaminan hak-hak individu versus negara. Para nasionalis berjuang dalam PNI
(versi partai politik dari gerakan PNI yang telah disebutkan sebelumnya, yang
didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 dan yang bertujuan meraih
kemerdekaan). PNI meraih banyak dukungan di Indonesia.
Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut
pandang yang berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno
menyampaikan pandangannya mengenai kebangsaan Indonesia dengan
memproklamasikan filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah lima prinsip yang
akan menjadi dasar Negara Indonesia:

1. Ketuhanan yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia

Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi penghalang


persatuan masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis melalui Pancasila yaitu
adalah tuntutan pendirian negara Islam oleh partai-partai Islam. Pada awalnya,
Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari sembilan tokoh kemerdekaan yang
merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk menambahkan tambahan
pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik,
tambahan pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai
"Piagam Jakarta") dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa
menimbulkan kemarahan dari kelompok non-Muslim atau para Muslim yang
tidak terlalu religius. Penghapusannya kemudian menyebabkan
ketidakpercayaan yang dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh komunitas
Muslim yang lebih ortodoks.

II. Kehidupan Politik pada Masa Orde Lama


I. Demokrasi Parlementer
Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950-an ditandai oleh
ketidakstabilan. Alasan utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai

47
dasar ideologis negara. Situasi ini terlihat dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi pada tahun 1955 dan dianggap
jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun sebelum
Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua partai
Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul
Ulama telah memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan
masing-masing 20,9% dan 18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara
PKI meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada mayoritas satu partai yang bisa
menguasai pemerintahan sehingga kabinet di masa parlementer dibentuk
dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai aliran ideologi. Dari 1950
sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat, dan
setiap kabinet gagal membuat perubahan yang signifikan untuk negara.

Pemilu Indonesia 1955:

Suara
Partai Politik Ideologi
(%)
Masyumi 20.9 Islam
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 20.3 Nationalis
Nahdlatul Ulama (NU) 18.4 Islam
Partai Komunis Indonesia (PKI) 16.4 Komunis

Sumber: M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200

Selain perselisihan dalam elit politik Jakarta, ada masalah-masalah lain


yang membahayakan persatuan Indonesia pada era tahun 1950an. Gerakan
militan Darul Islam, yang bertujuan mendirikan negara Islam dan menggunakan
teknik perang gerilya untuk mencapai tujuannya, telah memenangkan wilayah-
wilayah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini telah dimulai
selama periode kolonial namun cepat merubah arahnya melawan pemerintahan
di bawah Soekarno hingga penyerahannya pada tahun 1962.

Gerakan subversif lain yang berdampak adalah Piagam Perjuangan


Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Keduanya dimulai pada akhir
tahun 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan tuntutan-tuntutan
reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin para
perwira militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central
Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap
popularitas PKI sebagai sebuah ancaman besar.

Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil


menghancurkan gerakan-gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan
anggota militer bentukan Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memproklamasikan Republik
Maluku Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil dikalahkan oleh kekuatan

48
militer Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata berlanjut hingga
tahun 1963.

B. Demokrasi Terpimpin Soekarno


Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat
perkembangan Indonesia karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam
kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah "Demokrasi Terpimpin"
yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem
kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki
lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak
militer, yang tidak senang dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik
hingga saat itu, mendukung perubahan orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno
telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah 'kelompok fungsional' yang
berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode
Demokrasi Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar.

Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia


membubarkan parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang
setengah dari anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno. Soekarno juga sadar
akan bahayanya bagi kedudukannya bila militer menjadi terlalu kuat. Karena
itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk mengimbangi kekuatan
militer. Baik militer maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya yang
disebut 'Nasakom', sebuah akronim yang mencampurkan tiga buah ideologi
yang paling penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1950an dan awal
1960an yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini
hanya memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap komponen bermasalah dengan
komponen lainnya. Semuanya tergantung pada kemampuan politik, kharisma
dan status Soekarno untuk tetap menjaga kesatuan ketiga komponen ini.

Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah


tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-
usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah
sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini ke Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada
tahun selanjutnya.

Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi


melawan Malaysia. Ia menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk
Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris
(Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan
melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’
Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari
PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun
1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat
dengan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund
(IMF) dan Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan
berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk situasi ekonomi
Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.

C. Kudeta Misterius Gerakan 30 September

49
Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30
September 1965, menjadi jelas betapa berbahayanya campuran politis yang
telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu, enam jenderal dan satu letnan
diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang menamakan diri
Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer
yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun,
tidak ada bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.

Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk
mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian mengambil alih kekuasaan
militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan atasannya,
dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan orang-
orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah, Jawa
Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara
400.000 sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan
pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang
mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi pemuda militan dari
NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966.
Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-
komunis selanjutnya tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar
tidak akan diketahui kebenarannya. Setelah Orde Baru Suharto berakhir pada
tahun 1998, masyarakat Indonesia mulai meragukan penjelasan resmi dari
Pemerintah yang menyalahkan komunis namun bab sejarah ini tidak menerima
perhatian besar dalam diskusi publik, kecuali sebuah laporan dari Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012 yang
menyatakan pembantaian ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.

Kudeta ini dan peristiwa-peristiwa selanjutnya menyebabkan


konsekuensi-konsekuensi politis dramatis untuk Soekarno. Indonesia berada di
bawah hukum darurat militer yang membuat kekuasaan nyata berada di tangan
Jenderal Suharto. Selama dua tahun selanjutnya, Suharto dengan pelan namun
pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke pinggir. Hal ini
menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah
tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga
kematiannya pada tahun tahun 1970.

III. Kehidupan Ekonomi pada Masa Orde Lama


Perkembangan sistem perekonomian Indonesia bermula pada fase
pertama yakni di era Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno.
Mas’oed dalam artikelnya menjelaskan bahwa pada masa era Orde Lama ini
pembangunan ekonomi hanya berorientasi kepada struktur-struktur ekononomi-
sosial secara radikal dan mengabaikan peranan yang ada pad modal-modal
asing. Mas’oed menjelaskan bahwa pembangunan perekonomian pada masa ini
lebih berorientasi dan berfokus kepada negeri sendiri dan menutup diri dari
negara lain. Selain itu, pada masa era Orde Lama ini juga lebih menggali
berbagai sumber daya alam serta sumber daya manusia yang ada di Indonesia.
Pada masa ini terdapat suatu slogan “Berdikari” yang memiliki arti Berdiri di
Atas Kaki Sendiri. Pada masa era Orde Lama ini, pemerintah dan preside
Soekaro lebih berfokus pada pembangunan-pembangunan ekonomi ke dalam

50
negeri agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi dengan baik. Menambahi apa
yang telah dikatakan Mas’oed, Van der Kroef (1956) beranggapan bahwa
terdapat tiga aspek yang mendasari struktur perekonomian Indonesia pada masa
era Orde Lama. Pertama yaitu rendahnya produktivitas pekerja, kedua adalah
adanya parasit yang berasal dari pengusaha dalam negeri, ketiga yakni adanya
control pemerintah yang terlalu berlebihan terhadap kegiatan pembangunan
ekonomi.
Mas’oed (1989) dalam artikelnya menjelaskan bahwa perkembangan
perekonomian yang ada di Indonesia di Indonesia berlanjut ke perkembangan
pada masa era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada era Orde
Baru ini terdapat suatu slogan atau kata yakni “Politik sebagai Panglima”
berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Mas’oed beranggapan bahwa
slogan tersebut tercipta karena pada masa era Orde Baru pemerintah hanya
berfokus kepada pembangunan ekonomi saja dan pemerintah lebih sering
membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi tentang pembangunan
yang bersangkutan dengan sistem perekonomian yang ada di Indonesia.
Mas’oed beranggapan bahwa sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang
ada pada masa era Orde Baru ini merupakan kebalikan dari masa era Orde Lama
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Hal ini bisa dilihat dari masa era Orde
Lama yang mana kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan
Presiden Soekarno lebih berfokus dan cenderung untuk menutup diri dari
negara-negara barat.
Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa orde lama amat buruk, yang
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali.
b. Di tahun 1958 diberlakukannya UU No. 78/1958 tentang investasi asing,
jadi memperburuk perekonomian, ditahun 1965 mendirikan Bank
Berjuang, perbankan berfungsi sebagai pemasok dana proyek
pemerintah.

Penurunan angkatan kerja (pengangguran) sebanyak 1,8 juta dari 34,5


juta. Disektor pertanian 72%, sektor jasa 9,5%, perdagangan dan keuangan
6,7%, industri 5,7%. Tahun 1953 di jakarta pekerja menerima upah Rp 5-6 per
hari. Dan di anggaran pemerintah pada tahun 1955-1965 mengalami defisit
sebesar 137% dari pendapatan sehingga negara melakukan pinjaman luar
negeri.

4. Masa Orde Baru

Pengertian Orde Baru adalah rezim yang pernah berkuasa di Indonesia


dengan waktu lama, yaitu 32 tahun. Orde baru dimulai pada tahun 1966 hingga
1998 dan dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Istilah “Orde Baru” diciptakan untuk
membedakan periode ini dengan periode Indonesia sebelumnya yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno.
Masa pemerintahan ini berlangsung sejak diterimanya Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966 oleh Jenderal Soeharto dan
berakhir ketika reformasi terjadi pada tahun 1998. Namun, kebenaran mengenai

51
penyerahan pemerintahan kepada Soeharto melalui Supersemar sendiri hingga saat
ini masih menuai perdebatan,

I. Latar Belakang

Setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S) ditumpas,


berdasarkan berbagai bukti yang serta berhasil dikumpulkan, Partai
Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalangnya. Hal ini memicu
kemarahan rakyat. Bentrokan fisik antara masyarakat yang setia pada
Pancasila dan UUD 1945 dengan massa PKI terjadi di Jakarta serta berbagai
daerah di seluruh Indonesia.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan
Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, Panglima Kostrad/Pangkopkamtib
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Bersamaan
dengan itu dimulai tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur
PKI dan ormasnya.

Aksi masih terjadi di kalangan masyarakat luas. Berbagai partai


politik, organisasi massa, pemuda, kaum wanita, dan masih banyak lagi
secara serentak membentuk Front Pancasila untuk menghancurkan
pendukung G30S/PKI. Mereka meminta penyelesaian politis terhadap pihak
yang terlibat dalam G30S/PKI.

Kesatuan aksi saat itu meliputi KAMI (Kesatuan Aksi


Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia), KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia), dan lain-lain. Kesatuan aksi yang tergabung dalam Front
Pancasila kemudian dikenal dengan sebutan Angkatan 66.

II. Kondisi Perekonomian

Di sisi lain, kondisi perekonomian semakin bertambah buruk.


Barang keperluan sehari-hari semakin sulit didapat dan harganya pun mahal
sehingga terjadi inflasi. Pemerintah sempat membuat keputusan
pemotongan nilai mata uang rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1. Akan tetapi,
harga barang bukan semakin menurun malah kian tinggi. Pelajar yang
tergabung dalam Front Pancasila bahkan menyatakan kebijakan ekonomi
pemerintah saat itu tidak dapat dibenarkan.

III. Tuntutan Tritura

Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang


tergabung dalam Front Pancasila mendatangi gedung DPR-GR untuk
mengajukan Tri Tuntutan Rakyat atau Tri Tuntutan Nurani Rakyat. Isi
tuntutan Tritura tersebut, yaitu:
a. Pembubaran PKI dan ormasnya.
b. Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c. Penurunan harga-harga barang.

52
Akhirnya, pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno
mengumumkan perubahan 53abinet. Namun, perubahan tersebut tidak
memuaskan hati rakyat Indonesia karena masih banyak tokoh diduga terlibat
dalam G30S/PKI ada di dalam 53abinet baru, yang dikenal sebagai Kabinet
Seratus Menteri.

Pada saat pelantikan anggota kabinet baru tanggal 24 Februari


1966, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan menuju Istana
Merdeka. Aksi itu kemudian dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa, hingga
akhirnya terjadi bentrokan antara Pasukan Cakrabirawa dan demonstran.
Peristiwa ini mengakibatkan seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI),
Arif Rahman Hakim gugur. Gugurnya Arif Rahman Hakim ini semakin
memberikan semangat juang demonstran untuk menuntut perubahan dan
perbaikan taraf hidup bagi bangsa Indonesia.

IV. Supersemar

Melihat situasi semakin tak terkendali, Presiden Soekarno akhirnya


menyusun Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk Jenderal Soeharto.
Isi Supersemar adalah untuk mengendalikan kondisi negara dan mengamankan
wibawa pemerintah. Soeharto akhirnya mengatasi keadaan serba tidak menentu
dan sulit terkendali, sehingga orde baru pun dimulai. Surat perintah ini
digunakan oleh Soeharto untuk memenuhi tuntutan Tritura, seperti
membubarkan PKI, menangkap menteri yang diduga terlibat G30S, membentuk
kabinet baru, dan menjalankan pemerintahan.

V. Ciri-Ciri Pemerintahan Orde Baru

A. Dwifungsi ABRI
Banyak prajurit militer dari berbagai pangkat, jabatan, dan angkatan ikut
bekerja dalam pemerintahan, seperti menjabat posisi lurah atau kepala desa. Hal
ini dianggap sebagai tanda menguatnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
dalam rezim Orde Baru.

B. Terbatasnya Pilihan Politik


Pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga partai politik yakni PDI, PPP,
dan Golongan Karya. Penyederhanaan ini dilakukan untuk membatasi
banyaknya ideologi yang berkembang. Pembagian tersebut diharapkan dapat
menciptakan kestabilan politik. Sayangnya, menyederhanakan pilihan politik
justru menguatkan Golongan Karya. Kejadian ini dapat dimungkinkan karena
Soeharto membuat kebijakan yang mendukung kemenangan Golongan Karya,
seperti peraturan monoloyalitas PNS.

C. Pembangunan yang Masif


Pemerintahan Orde Baru mempunyai tekad untuk menempatkan
pembangunan infrastruktur fisik dan nonfisik sebagai prioritas. Hal ini sebagai
respon atas kekacauan ekonomi yang terjadi pasca 1965. Selain itu, pemerintah
juga membuka penanaman modal asing dan dalam negeri untuk masuk serta
membuka usaha di Indonesia.

53
Melalui modal tersebut, pembangunan dapat berlangsung lancar dan
perekonomian kembali normal. Meski demikian, kebijakan penanaman modal
ini disebut hanya menguntungkan keluarga cendana karena sebagian besar
bisnis di Indonesia saat itu dikelola oleh anggota keluarga Soeharto.

D. Pemerintahan Sentralistik
Sistem pemerintahan sentralistik menguatkan kekuasaan pusat terhadap
daerah. Hal ini disebabkan ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah
atau keputusan pemerintah pusat. Pada masa Orde Baru, kebijakan
pemerintahan sentralistik ini berupa kebijakan ekonomi dan pembangunan,
sekaligus penerapan kebijakan politik.

VI. Perkembangan Ekonomi dan Politik pada Masa Orde Baru

Ekonomi Indonesia pada sejarah Orde Baru membaik dalam waktu


singkat. Hal ini terjadi karena bantuan aliran modal yang dibuka lebar melalui
konsorsium IGGI. Rezim Orde Baru dapat membuat kestabilan ekonomi bahkan
sebelum tahun 1970. Pembangunan ekonomi nasional Orde Baru dilakukan
melalui Repelita. Program Repelita ini didasarkan atas pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.
Sementara pada perkembangan politik, masa Orde Baru selama 32 tahun
memiliki proses politik sangat dinamis. Pemerintah berhasil menyelenggarakan
6 kali pemilu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1998. Namun,
semua proses demokrasi tersebut dimenangkan oleh Golongan Karya dan
Presiden Soeharto untuk menjabat kembali. Hal ini dinilai sebagai cara
pemerintah mempertahankan kekuasaannya.

VII. Runtuhnya Orde Baru

Berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia ditandai dengan adanya krisis


ekonomi yang melanda sejak tahun 1997. Krisis tersebut membuat nilai tukar
rupiah jatuh. Badai krisis moneter berlarut-larut akhirnya memancing kelompok
kritis di masyarakat. Kelompok kritis menilai permasalahan ekonomi ini
bertumpu pada kesalahan urus pemerintah Orde Baru. Situasi yang awalnya
hanya berupa krisis ekonomi berkembang menjadi krisis kepercayaan.

Kepercayaan terhadap pemerintah menurun sehingga memicu


kerusuhan, demonstrasi besar, bahkan penjarahan terutama di Jakarta.
Kemarahan masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa semakin menjadi
setelah Soeharto dicalonkan kembali sebagai Presiden Republik Indonesia pada
pemilu ke-6. Para mahasiswa akhirnya menuntut adanya reformasi pada tahun
1998. Reformasi ini memiliki beberapa tuntutan penting, seperti:
a. Penghapusan Dwifungsi ABRI.
b. Penurunan maupun pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya.
c. Penghapusan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
d. Penegakan supremasi hukum.
e. Amandemen UUD 1945.
f. Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.

54
Melihat tuntutan reformasi semakin besar, Presiden Soeharto akhirnya
menyampaikan pengunduran diri pada tanggal 21 Mei 1998. Berakhirnya masa
jabatan Soeharto inilah yang menjadi tanda runtuhnya Orde Baru dan berganti
menjadi era Reformasi.

5. Masa Reformasi
Reformasi di Indonesia diawali dengan adanya protes dan demonstrasi
besar pada 1998 (Dok. Freepik). Pada dasarnya, kalau melihat sejarah politik di
Indonesia, maka bisa membaginya menjadi lima masa. Pertama, masa
Kemerdekaan dari tahun 1946-1949. Kedua, masa Parlementer dari tahun 1949-
1959. Ketiga, masa Demokrasi terpimpin dari tahun 1959-1965. Keempat, masa
Orde Baru dari tahun 1965-1998. Terakhir, yakni era Reformasi yang berlangsung
dari tahun 1998 hingga sekarang. Nah, era Reformasi adalah masa peralihan dari
Orde Baru ke pemerintahan selanjutnya yang dimulai sejak turunnya Presiden
Soeharto di tahun 1998.

I. Latar Belakang
Latar belakang lahirnya pemerintah Reformasi disebabkan oleh
beberapa hal. Salah satunya dipicu oleh adanya dampak krisis finansial Asia
1997. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi di Indonesia melemah sehingga
menyebabkan banyak ketidakpuasan masyarakat. Namun, sebenarnya
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah juga disebabkan oleh faktor
lainnya. Di antaranya karena terjadinya penyelewengan Pancasila dan
kekuasaan serta adanya KKN. KKN di sini merujuk pada tindakan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Selain itu, era pemerintahan Soeharto juga dianggap
cukup jawasentris. Pada masa Orde Baru kebebasan pers juga sangat dibatasi
dan dikontrol oleh pemerintah. Selain itu, terdapat juga krisis sosial di mana
masyarakat terbagi menjadi dua kelas yaitu kaum elit dan rakyat biasa. Bahkan,
hubungan antar umat beragama sempat terganggu hingga timbul serangkaian
kerusuhan bernuansa SARA.

Seperti aksi membakar 9 gereja Kristen yang dilakukan oleh umat Islam
pada bulan Oktober 1996 silam. Sangat disayangkan, akibat aksi ini sebanyak
lima orang telah tewas. Kejadian serupa pun terjadi di berbagai wilayah lainnya
seperti di Tasikmalaya dan Kalimantan Barat. Pada saat itu, keadaan sosial
budaya di Indonesia menjadi sangat kacau. Ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintah juga mendorong munculnya perilaku negatif di
masyarakat. Selain itu, masyarakat pun menjadi mudah dihasut untuk
melakukan tindak anarkis.
Berbagai penyimpangan yang telah dilakukan oleh masa pemerintahan
presiden Soeharto membuat rakyat kecewa. Ditambah lagi, banyak aksi-aksi
mahasiswa yang menuntut presiden Soeharto untuk turun dari posisinya.
Hingga akhirnya terjadilah demo aksi mahasiswa pada tanggal 12 Mei 1998
yang disebut juga sebagai Tragedi Trisakti 1998. Aksi demo ini juga memanas
karena menewaskan empat mahasiswa.

55
Karena memanas, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
memutuskan untuk turun dari jabatannya dan menunjuk wakilnya yaitu B.J.
Habibie sebagai pengganti. Sejak saat itu, pemerintahan yang tadinya otoriter,
nepotisme, dan korupsi mulai diubah menjadi pemerintahan yang lebih terbuka.

56
BAB 3

PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari makalah di atas dapat kita simpulkan bahwa bangsa indonesia bertekad untuk
mempertahankan kemerdekaan dengan berjuang mengusir bangsa asing yang ingin
kembali menjajah Indonesia . Proklamasi kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan
kemerdekaan tapi proklamasi harus di jadikan tonggak awal dalam menjaga dan
memertahankan kemerdekaan.

Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan banyak terjadi pertempuran fisik , seperti


pertempuran Surabaya , pertempuran lima hari di semarang, pertempuran ambarawa,
pertempuran medan area, bandung lautan api, peristiwa merah putih di manado , puputan
margarana, dan serangan umum 1 maret . Tidak hanya perjuangan dalam bentuk fisik yang
di lakukan rakyat Indonesia , para pahlawan Indonesia juga melakukan perjuangan dalam
bentuk lain yakni perjuangan melalui diplomasi.Indonesia telah beberapa kali mengadakan
perundingan dengan belanda. Namun , perjanjian itu selalu di langgar oleh Belanda pada
masa itu. Selanjutnya komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI ( United Nations Comission
For Indonesia ) mempertemukan kembali Belanda dengan Indonesia di meja perundingan.
Perundingan yang di tempuh antara lain perundingan linggarjati , perundingan renvile,
perundingan room-royen , dan konferensi meja bundar.

Dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia , telah muncul beberapa


masa kehidupan atau sistem Demokrasi dalam sejarah Indonesia diantaranya masa
demokrasi liberal, masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi.

Kemerdekaan yang telah di pertahankan hendaknya kita manfaatkan dengan hal-hal


positif yang membawa dampak baik bagi bangsa kita dan seluruh warga negara Indonesia.

2. Saran

Dengan selesainya materi dari makalah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa betapa
bangsa Indonesia benar-benar suatu bangsa yang tidak mau terjual harga dirinya. Walaupun
mungkin Indonesia bisa maju jika diperintah oleh bangsa-bangsa asing. Tapi kita memilih
ingin berdikari apapun jadinya , lebih baik mati dari pada di jajah. Saran dari materi
makalah ini , kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus meneruskan cita-cita para
pahlawan untuk memertahankan kemerdekaan Indonesia.

57
DAFTAR PUSTAKA
Dari K. pertempuran antara pasukan Britania dan pejuang Indonesia selama Revolusi Nasional
Indonesia. Wikipedia.org. Published November 11, 2006. Accessed March 21, 2022.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Surabaya

Yuda Prinada, Raditya IN, Yuda Prinada, Yulaika Ramadhani. Sejarah Pertempuran 5 Hari di
Semarang: Kronologi Terjadi Tanggal? tirto.id. Published December 2021. Accessed March
21, 2022. https://tirto.id/sejarah-pertempuran-5-hari-di-semarang-kronologi-terjadi-tanggal-
ga6i

Nibras Nada Nailufar. Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir.
KOMPAS.com. Published May 22, 2021. Accessed March 21, 2022.
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir

Dini Daniswari. Pertempuran Medan Area: Sejarah, Penyebab, Waktu Terjadi, Tokoh, dan
Akhir Pertempuran - Kompas.com. KOMPAS.com. Published January 25, 2022. Accessed
March 21, 2022. https://amp.kompas.com/medan/read/2022/01/25/190019578/pertempuran-
medan-area-sejarah-penyebab-waktu-terjadi-tokoh-dan-akhir

Yuda Prinada, Raditya IN, Yuda Prinada, Yulaika Ramadhani. Pertempuran Medan Area:
Sejarah, Kronologi, dan Akhir Perang. tirto.id. Published December 3, 2021. Accessed March
21, 2022. https://tirto.id/pertempuran-medan-area-sejarah-kronologi-dan-akhir-perang-gbnU

Fahri Zulfikar. Peristiwa Bandung Lautan Api Terjadi Pada Tanggal Berapa? Ini Sejarahnya.
detikedu. Published September 2, 2021. Accessed March 21, 2022.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5706378/peristiwa-bandung-lautan-api-terjadi-pada-
tanggal-berapa-ini-sejarahnya

Zenius Blog. Zenius Blog - Tempatmu Menjelajahi Dunia Ilmu Pengetahuan. Published
January 20, 2022. Accessed March 21, 2022. https://www.zenius.net/blog/kronologi-bandung-
lautan-api

Content P. 14 Februari 1946: Peristiwa merah putih di bumi Minahasa. Elshinta.com. Published
February 14, 2022. Accessed March 21, 2022.
https://elshinta.com/news/259335/2022/02/14/14-februari-1946-peristiwa-merah-putih-di-
bumi-minahasa

https://www.facebook.com/kelaspintarid. Sejarah Peristiwa Merah Putih di Manado - Kelas


Pintar. Kelas Pintar. Published January 20, 2021. Accessed March 21, 2022.
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/sejarah-peristiwa-merah-putih-di-manado-9419/

Alhidayath Parinduri, Raditya IN, Alhidayath Parinduri. Sejarah Puputan Margarana: Latar
Belakang, Jalannya Perang, Tokoh. tirto.id. Published March 23, 2021. Accessed March 21,
2022. https://tirto.id/sejarah-puputan-margarana-latar-belakang-jalannya-perang-tokoh-gbgq

Drs. G. Moedjianto, M.A. 1988. Indonesia Abad ke-20 II : Dari Perang Kemerdekaan Pertama
Sampai PELITA III. Yogyakarta : Kanisius.

58
Buku karya Machdi Suhadi, A. Kardiyat Wiharyanto dan Sutarjo Adisusilo berjudul "Ilmu
Pengetahuan Sosial Sejarah untuk SMP dan MTs kelas IX. Tahun 2006, penerbit Erlangga.

Pustekkom Kemdikbud. Demokrasi Liberal. Kemdikbud.go.id. Published 2019. Accessed


March 21, 2022.
https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Demokrasi%20Liberal%20Reform
at/topik2.html

dari K. Sistem Politik Menganut Kebebasan Individu. Wikipedia.org. Published August 9,


2009. Accessed March 21, 2022. https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_liberal

Indonesia Investments. Indonesia Informasi Keuangan - Kontak Berguna | Indonesia


Investments. Indonesia-investments.com. Published March 14, 2022. Accessed March 21,
2022. https://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/kontak/item17

Mochamad Arya Seta. Mochamad Arya Seta. Unair.ac.id. Published 2015. Accessed March
21, 2022. http://mochamad-arya-seta-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-138844-
Studi%20Strategis%20Indonesia%201:%20Negara%20Bangsa%20&%20Struktur%20Dasar-
Perkembangan%20Pekonomian%20di%20Indonesia.html

uswatun khasanah. Perekonomian Indonesia di Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
Halaman 1 - Kompasiana.com. KOMPASIANA. Published November 6, 2020. Accessed
March 21, 2022.
https://www.kompasiana.com/uswatunkhasanah3190/5fa4fd574b9a4734580265f2/perekono
mian-indonesia-di-era-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi

Materi Sejarah Kelas 12: Masa Orde Baru di Indonesia - Pahamify. Pahamify | Semua Bisa
Semua Paham. Published May 28, 2021. Accessed March 21, 2022.
https://pahamify.com/blog/materi-sejarah-kelas-12-orde-baru

59

Anda mungkin juga menyukai