Anda di halaman 1dari 25

Jurnal 1

Judul : ANALISIS PSIKOLOGI KEPRIBADIAN HUMANISTIK


TOKOH UTAMA NOVEL ANAK RANTAU KARYA AHMAD FUADI DAN
KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA
Penulis : Deni Cahyo Aji
Latar Belakang : Penelitian ini memilih novel Anak Rantau karya Ahmad
Fuadi karena menarik untuk dikaji. Novel ini mengambil latar budaya Padang,
Sumatera Barat. Selain unsur budaya, Anak rantau menceritakan mengenai kehidupan
keluarga, lingkungan, dan persahabatan yang dilengkapi dengan nilai agama, serta
menghadirkan berbagai macam konflik dengan penyelesaian yang menarik dan kaya
akan nilai moral yang patut diteladani. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1)
mendeskripsikan kepribadian tokoh utama novel Anak Rantau karya Ahmad Fuadi
dikaji dengan teori kepribadian humanistik; dan 2) mendeskripsikan kelayakan novel
Anak Rantau karya Ahmad Fuadi sebagai bahan ajar sastra di SMA.Jenis penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan psikologi kepribadian humanistik Abraham Maslow. Dalam praktiknya
pendekatan psikologi ini mengkaji mengenai kepribadian tokoh utama dalam novel
Anak Rantau karya Ahmad Fuadi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam
kehidupannya serta kelayakan novel tersebut sebagai bahan ajar.
Pembahasan & Diskusi : Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa: (1) Nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Anak Rantau antara lain: Nilai-
nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa
(religius), Nilai-nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
(jujur, tanggung jawab, bekerja keras, disiplin, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu dan
gemar membaca), Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam hubungannya dengan
sesama (menghargai prestasi, demokratis, peduli sosial dan bersahabat/komunikaif),
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Hubungannya dengan Lingkungan (toleransi),
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Hubungannya dengan Kebangsaan (semangat
kebangsaan dan cinta tanah air). (2) Relevansi nilai-nilai pendidikan karakter pada
novel anak rantau dengan pendidikan di Indonesia adalah sangat relevan, karena nilai-
nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Anak Rantau sesuai dengan
Kebijakan Nasional Pembangun Karakter Bangsa tahun 2010-2025.
Kesimpulan : Setelah menganalisis kepribadian Hepi sebagai tokoh utama
dalam novel Anak Rantaukarya Ahmad Fuadi dapat dilihat bahwa kepribadian Hepi
dipengaruhi oleh dorongan atau motivasi dari dalam dirinya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Terdapat berbagai macam kebutuhan hidup yang harus dipenuhi
oleh Hepi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diorganisasikan dalam sebuah
hierarki yang tersusun dari kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan paling
tinggi. Setelah Hepi memenuhi kebutuhan yang paling dasar, Hepi berusaha untuk
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat kebutuhan yang ingin
dipenuhi oleh Hepi, maka semakin besar pula usaha Hepi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Dalam rangka mencapai hierarki kebutuhan, kepribadian yang tampak dalam
diri Hepi dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu kepribadian tidak sehat
(metapologis) dan kebutuhan sehat (metaneeds). Namun, dalam kepribadian Hepi
didominasi oleh tipe kepribadian sehat (metaneeds).
Jurnal 2
Judul : Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan
Penulis: Ratna Syifa’a Rachmahana
Latar Belakang: Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi
kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan
tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri
manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi
sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi
penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga
memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan
pendidikan humanistik (humanistic keseluruhan melalui pembelajaran nyata.
Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier
menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic.
Pembahasan & Diskusi : sistem pengajaran di lembaga pendidikan, termasuk
lembaga pendidikan Islam yang bermasalah, paling tidak ditandai oleh beberapa hal
berikut: (1) pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum
mampu melahirkan creativity. Akar masalah di sini terletak pada satu kenyataan
bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload; (2) morality atau akhlak
di sekolah umum masih menjadi masalah utama, dan (3) punishment atau hukuman
dalam berbagai bentuk lebih tampak dari reward atau penghargaan.Berikut banyak
sekali hal-hal yang merupakan aplikasi dari teori-teori humanistik, walaupun hanya
akan ditampilkan sebagian aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan
keterbatasan ruang dan waktu.
1. Open Education atau Pendidikan Terbuka
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar
mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing.
2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan
berprestasi murid.
3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi
subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri
secara bertanggung jawab.
4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)
Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang
menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas
pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu
mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system
dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang
paling efektif dan diharapkan menjadi life long learner dan memiliki jiwa
entrepreneur.
Kesimpulan : Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan,
karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring
dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu,
humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.
Jurnal 3
Judul : TINJAUAN KEPRIBADIAN HUMANISTIK TOKOH UTAMA
PADA NOVEL LAILA MAJNUN KARYA NIZAMI GANJAVI
Penulis : DYAH SURURIN WAHDATI
Latar Belakang: Judul novel Laila Majnun karya Nizami Ganjavi menunjukkan
objek dalam cerita yang menjadi sentral cerita dan lebih banyak mendapatkan konflik
dibandingkan. dengan tokohtokoh lain. Identitas Majnun dan Laila lebih detail
dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain. Novel Laila Majnun tokoh utama adalah
Majnun dan tokoh bawahan antara lain: Laila, Sayid Amir, dan Naufal. Hubungan
tokoh utama dengan tokoh bawahan menimbulkan peristiwaperistiwa cerita, dan
menimbulkan konflik.
Pembahasan & Diskusi : Tema novel Laila Majnun meliputi tema mayor dan tema
minor. Tema mayor novel Laila Majnun adalah cinta yang berlebihan menimbulkan
penderitaan. Tema mayor didukung oleh tema minor, yaitu : (1) pengekangan orang
tua menyebabkan cinta kasih menjadi penderitaan, (2) orang tua selalu memberi
perhatian kepada anak demi kebahagiaan, (3) perselisihan menyebabkan hancurnya
persahabatan. Tema minor mendukung tema mayor sehingga kesatuan makna dapat
dicapai dan menjadikan novel Laila Majnun karya Nizami Ganjavi sebagai karya
sastra yang bermutu tinggi. Tokoh utama Majnun berwatak kompleks. Majnun
berubah dari seorang Qais anak pemimpin kabilah yang normal, pintar, terhormat
menjadi seorang Majnun, terkucilkan, dan seorang penyair terkenal. Tokoh bawahan
Laila memiliki watak sederhana, mempunyai ciri-ciri lembut, pintar dan pendiam.
Tokoh Sayid Amir merupakan tokoh bawahan yang memilki watak sederhana dengan
ciri-ciri pemberani, dermawan dan bijaksana. Naufal juga merupakan tokoh bawahan
yang memilki watak sederhana dengan ciri-ciri pemberani, setia kawan, pintar, dan
bijaksana. Perubahan watak Majnun ditimbulkan oleh perubahan lingkungan sosial.
Kesimpulan : Melalui tokoh-tokoh novel Laila Majnun , dapat diperoleh nilai
pragmatik sebagai berikut. Hendaknya kita tidak terlalu melebihkan rasa cinta kepada
seseorang yang kita cinta sehingga lupa bahwa kita memiliki Tuhan, orang tua,
temanteman dan orang-orang di sekitar kita yang juga butuh akan kasih sayang dari
kita. Jangan karena mencintai seseorang, kita melupakan mereka dan melupakan
kebutuhan-kebutuhan lain yang juga penting di dalam kehidupan.
Jurnal 4
Judul : Becoming who you are: An integrative review of self-determination
theory and personality systems interactions theory (Menjadi siapa Anda: Tinjauan
integratif tentang penentuan nasib sendiriteori dan teori interaksi sistem kepribadian)
Penulis : Sander L. Koole, Caroline Schlinkert, Tobias Maldei, Nicola Baumann.
Latar Belakang : One of the enduring missions of personality science is to unravel
what it takes to become a fully functioning person. In the present article, the authors
address this matter from the perspectives of self-determination theory (SDT) and
personality systems interactions (PSI) theory. SDT (a) is rooted in humanistic
psychology; (b) has emphasized a first-person perspective on motivation and
personality; (c) posits that the person, supported by the social environment, naturally
moves toward growth through the satisfaction of basic psychological needs for
autonomy, competence, and relatedness. PSI theory (a) is rooted in German volition
psychology; (b) has emphasized a third-person perspective on motivation and
personality; and (c) posits that a fully functioning person can form and enact difficult
intentions and integrate new experiences, and that such competencies are facilitated
by affect regulation. The authors review empirical support for SDT and PSI theory,
their convergences and divergences, and how the theories bear on recent empirical
research on internalization, vitality, and achievement flow. The authors conclude that
SDT and PSI theory offer complementary insights into developing a person’s full
potential.
Salah satu misi abadi ilmu kepribadian adalah mengungkap apa yang diperlukan
untuk menjadi orang yang berfungsi penuh. Dalam artikel ini, penulis membahas
masalah ini dari perspektif teori penentuan nasib sendiri (SDT) dan sistem
kepribadian teori interaksi (PSI). SDT (a) berakar pada psikologi humanistik; (b) telah
menekankan perspektif orang pertama tentang motivasi dan kepribadian; (c)
berpendapat bahwa seseorang, didukung oleh lingkungan sosial, secara alami
bergerak menuju pertumbuhan melalui pemuasan kebutuhan psikologis dasar akan
otonomi, kompetensi, dan keterikatan. Teori PSI (a) berakar pada psikologi kemauan
Jerman; (b) telah menekankan perspektif orang ketiga tentang motivasi dan
kepribadian; dan (c) menyatakan bahwa a sepenuhnya orang yang berfungsi dapat
membentuk dan memberlakukan niat yang sulit dan mengintegrasikan pengalaman
baru, dan kompetensi tersebut difasilitasi oleh regulasi yang mempengaruhi. Para
penulis meninjau dukungan empiris untuk teori SDT dan PSI, konvergensi dan
divergensinya, dan bagaimana teori tersebut mendukung penelitian empiris terbaru
tentang internalisasi,vitalitas, dan aliran pencapaian. Para penulis menyimpulkan
bahwa teori SDT dan PSI menawarkan wawasan pelengkap untuk mengembangkan
potensi penuh seseorang.
Pembahasan & Diskusi : One major lesson that PSI theorists can learn from SDT is
that a first-person perspective remains psychologists’ primary window into motivation
and personality. The first-person perspective is that of the self-as-subject, and thereby
indispensable for understanding the person on the person’s own terms. Furthermore,
SDT’s extensive program of research has established that self-reports, when carefully
constructed, have substantial validity in assessing motivation and personality. As
Sheldon (2014) observed, self-report measures may even detect experiential traces of
aspects of their personality into which people possess little or no self-insight.
Consequently, PSI theorists would do well to improve their use of the insights
afforded by people’s self-reports. For instance, future work by PSI theorists might pay
closer attention to experiential correlates of PSI theory’s personality systems and
develop these into validated questionnaires. On a methodological level, PSI theorists
can learn from SDT researchers’ innovative research on within-person dynamics of
motivation and personality processes, for instance, using diary methods and
ecological momentary assessments (e.g.,Brown & Ryan, 2003; Huta & Ryan, 2010;
Milyavskaya et al., 2015). To date, PSI theorists have mainly focused on
personality processes that unfold between persons. However, there is ample evidence
that personality processes also vary within persons, and that such within-person
variations cannot be reduced to between-person variations (Cervone, 2005). PSI
theory explicitly assumes that the dynamics of personality systems interactions occur
within the person. Thus, the theory seems at least, in principle, applicable to the
analysis of within-person dynamics. Addressing within-person dynamics
should thus provide fertile territory for PSI theorists (see Kuhl, Mitina, & Koole,
2017, for initial evidence in this direction). Finally, when it comes to practical
applications like motivational counseling, PSI theorists would do well to heed the
central message of SDT, which is that need satisfaction forms the bedrock of healthy
personality functioning. To be sure, PSI theory’s idea that need frustration may set the
stage for personal growth could provide great hope to people in need-thwarting
environments. However, even if this idea turns out to be completely correct, it at best
represents a very risky pathway to personal growth. According to PSI theory,
need frustration should only foster personal growth when it does not exceed the
person’s coping potential. When the person’s coping potential is overtaxed by
prolonged need frustration, the person will likely pay a steep price, in terms of
significant reductions in well-being and mental health. Thus, a great deal more
research is needed into need frustration as a potential pathway to personal growth
before this idea can be responsibly put into practice. For the time being, SDT’s
emphasis on need satisfaction provides the most solid scientific basis for motivational
interventions.
Satu pelajaran utama yang dapat dipelajari oleh para ahli teori PSI dari SDT adalah
bahwaperspektif orang pertama tetap menjadi kemenangan utama psikologmenjadi
motivasi dan kepribadian. Sudut pandang orang pertama-tive adalah milik diri sebagai
subjek, dan dengan demikian sangat diperlukan untukmemahami orang itu dengan
istilah orang itu sendiri. Lebih jauh-lebih lanjut, program penelitian ekstensif SDT
telah ditetapkanbahwa laporan diri, ketika dibangun dengan hati-hati,
memilikivaliditas dalam menilai motivasi dan kepribadian. Sebagai Sheldon(2014)
mengamati, langkah-langkah laporan diri bahkan dapat mendeteksi pengalamanjejak-
jejak penting dari aspek-aspek kepribadian mereka di mana orang-orangmemiliki
sedikit atau tidak memiliki wawasan diri. Akibatnya, teori PSIakan melakukannya
dengan baik untuk meningkatkan penggunaan wawasan yang diberikan olehlaporan
diri orang. Misalnya, pekerjaan masa depan oleh teori PSIrists mungkin lebih
memperhatikan korelasi pengalaman darisistem kepribadian teori PSI dan
mengembangkannya menjadi validkuesioner tanggal.Pada tingkat metodologis, ahli
teori PSI dapat belajar dariPenelitian inovatif peneliti SDT tentang dinamika orang
dalamics motivasi dan proses kepribadian, misalnya, menggunakanmetode buku
harian dan penilaian ekologi sesaat (misalnya,Brown & Ryan, 2003; Huta & Ryan,
2010; Milyavskayadkk., 2015). Sampai saat ini, ahli teori PSI terutama berfokus
padaproses kepribadian yang terbentang di antara orang-orang. Namun,ada banyak
bukti bahwa proses kepribadian juga bervariasidalam diri orang-orang, dan bahwa
variasi dalam diri orang tersebut tidak dapatdireduksi menjadi variasi antar-orang
(Cervone, 2005). PSIteori secara eksplisit mengasumsikan bahwa dinamika sistem
kepribadianinteraksi terjadi dalam diri orang tersebut. Jadi, teoritampaknya
setidaknya, pada prinsipnya, berlaku untuk analisisdinamika dalam diri manusia.
Mengatasi dinamika dalam pribadidemikian harus memberikan wilayah subur bagi
teori PSI (lihat Kuhl,Mitina, & Koole, 2017, untuk bukti awal ke arah ini).Akhirnya,
ketika datang ke aplikasi praktis seperti motivasikonseling vational, ahli teori PSI
akan melakukannya dengan baik untuk mengindahkanpesan utama SDT, yaitu
kepuasan kebutuhanmembentuk landasan fungsi kepribadian yang sehat.
Menjaditentu, gagasan teori PSI yang membutuhkan frustrasi dapat mengatur
panggunguntuk pertumbuhan pribadi dapat memberikan harapan besar kepada orang-
orang dilingkungan yang menggagalkan kebutuhan. Namun, bahkan jika ide ini
ternyata sepenuhnya benar, itu paling-paling mewakili sangatjalur berisiko menuju
pertumbuhan pribadi. Menurut teori PSI,membutuhkan frustrasi seharusnya hanya
mendorong pertumbuhan pribadi ketika itutidak melebihi potensi koping orang
tersebut. Ketika per-potensi koping anak dibebani oleh frustrasi kebutuhan yang
berkepanjangantrasi, orang tersebut kemungkinan akan membayar harga yang mahal,
dalam halpenurunan yang signifikan dalam kesejahteraan dan kesehatan mental.
Dengan demikian,banyak penelitian lebih lanjut diperlukan untuk kebutuhan frustrasi
karenajalur potensial menuju pertumbuhan pribadi sebelum ide ini dapatdipraktikkan
secara bertanggung jawab. Untuk saat ini, SDTpenekanan pada kepuasan kebutuhan
memberikan ilmu yang paling soliddasar yang kuat untuk intervensi motivasi.
Kesimpulan : In the present article, we have highlighted the integrative potential
between SDT and PSI theory. In this last section, we reflect on how this integrative
potential may be used to benefit the two theories and personality science at large.
Specifically, we consider what each theory can learn from the other interms of
theoretical insights, methods, and applications.2 Finally, we discuss what SDT and
PSI theory together have to say about what it takes to become a fully functioning
person.
Dalam artikel ini, kami telah menyoroti integratifpotensi antara SDT dan teori PSI. Di
bagian terakhir ini, kitamerefleksikan bagaimana potensi integratif ini dapat
digunakan untuk mendapatkan keuntungandua teori dan ilmu kepribadian pada
umumnya. Secara khusus,kami mempertimbangkan apa yang masing-masing teori
dapat pelajari dari yang lain dalamhal wawasan teoritis, metode, dan aplikasi.
2Akhirnya, kami membahas apa yang harus dimiliki oleh teori SDT dan PSI bersama-
samakatakan tentang apa yang diperlukan untuk menjadi orang yang berfungsi penuh.
Jurnal 5
Judul : KARAKTER TOKOH NARUTO DALAM KOMIK “NARUTO” KARYA
MASASHI KISHIMOTO (ANALISIS TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK
ABRAHAM MASLOW)
Penulis : Muhammad Nur Kamal
Latar Belakang : Menurut Koswara (dalam Hambali dan Jaenuddin, 2013:169) di
dalam psikologi terdapat tiga revolusi yang mempengaruhi pemikiran psikologi
moderen. Revolusi pertama adalah psikoanalisis, yang menghadirkan manusia sebagai
bentuk dari naluri-naluri dan konflik-konflik. Konsepsi manusia yang suram ini,
muncul dari kegiatan terapi dan studi atas individu-individu yang mengalami
gangguan, di mana Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya menekankan bahwa
tingkah laku manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan tak sadar atau irasional.
Revolusi yang ke dua, behaviorisme, yaitu menciptakan manusia menjadi korban
yang fleksibel, pasif, dan penurut pada stimulus lingkungan, atau sebagai bidak dari
ketentuan lingkungan. Sebagaimana yang diikhtiarkan oleh Skiner, behaviorisme
menekannkan pada kesamaan esensial manusia dan hewan, atau menitik beratkan
belajar sebagai ikhtiar utama untuk menerangkan tingkah laku manusia. Kemudian
muncul revolusi yang ketiga, psikologi humanistik. Psikologi humanistik ini adalah
sebuah “gerakan” yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang
berbeda dengan gambaran manusia dari psikoanalisis maupun behaviorisme, yakni
berupa gambaran manusia sebagai makhluk bebas dan bermartabat dan selalu
bergerak kearah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan
memungkinkan. Psikologi humanistik atau teori kebutuhan bertingkat dicetus oleh
Abraham Maslow.
Teori psikologi humanistik mempunyai pandangan yang positif terhadap manusia, hal
itu yang membuatnya berbeda dan istimewa. Terkait dengan penelitian sastra yang
dilakukan oleh beberapa mahasiswa di jurusan bahasa dan seni FKIP Universitas
Mataram, teori ini jarang digunakan sebelumnya dalam menganalisis tokoh dalam
novel, cerpen, ataupun komik. Oleh karena itu, teori psikologi humanistik akan
diterapkan pada kajian psikologi tokoh Naruto dalam komik Naruto karya Masashi
Kishimoto.
Pembahasan & Diskusi : Teori ini menekankan pada proses perkembangan dan
pertumbuhan pribadi ketingkat yang sebaik mungkin, realisasi keunikan setiap
individu, dan pemenuhan potensi diri. Tetapi untuk mendapatkan aktualisasi diri tidak
mudah untuk didapatkan, sehingga dalam mengaktualisasi diri, manusia harus
memenuhi kebutuhannya, dan dalam memenuhi kebutuhan manusia memiliki
berbagai hambatan. Hambatan-hambatan itu datang baik dari dirinya sendiri maupun
dari orang lain. Hambatan dalam dirinya sendiri, yaitu ketika merasa tidak percaya
diri karena kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya sehingga membuatnya
canggung untuk melakukan sesuatu atau mengekspresikan diri. Hambatan yang
kedua, datang dari luar yaitu dari masyarakat di sekelilingnya yang terkadang tidak
mengakui dan tidak menghargai keberadaannya. Oleh karena hambatan-hambatan
tersebut seorang manusia akan menjadi terganggu kejiwaannya.
Begitu pula yang dihadapi oleh tokoh Naruto, berbagai hambatan yang ia alami dari
dalam dirinya dan dari luar dirinya atau dari orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Dengan ketidak adilan perlakuan penduduk desanya terhadap dia, Naruto bertekat
untuk membuktikan dirinya, yang kemungkinan besar didorong oleh hierarki
kebutuhan. Apakah semua kebutuhan Naruto terpenuhi dengan semua hambatan yang
ia alami dilihat dari teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow.
Kesimpulan : Kondisi psikologis tokoh Naruto ditunjukkan melalui perilakunya yang
dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan fisiologis,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cintai, dimiliki dan memiliki,
kebutuhan akan penghargaan, serta aktualisasi diri.
Tokoh Naruto, pada mulanya digambarkan sebagai seseorang yang selalu dikucilkan.
Namun, sebagai manusia yang terus berkembang, tokoh Naruto diceritakan harus
meninggalkan kehidupannya yang dulu dan menghadapi sebuah kehidupan yang baru.
Hal ini membuat tokoh Naruto mengalami proses aktualisasi diri dalam upaya
mencapai kebahagiaan yang diinginkannya, dengan memanfaatkan segala potensi diri
yang dimilikinya.
Setelah mengidentifikasi psikologi tokoh Naruto dengan menggunakan teoti hierarki
kebutuhan Abraham Maslow, penulis menyimpulkan bahwa tokoh Naruto mampu
menjadi pribadi yang humanis (sehat).
1.Tokoh Naruto telah mempu melewati beberapa hierarki kebutuhan di bahwa
pemenuhan kebutuhan kecuali kebutuhan akan seks karena tokoh Naruto dalam
komik Naruto belum menikah.
2.Tokoh Naruto dapat dikatakan sebagai manusia yang telah berhasil menjadi pribadi
yang ideal walaupun tidak sempurna seutuhnya. Ia mempu menjadi figur yang patut
diteladani jika ingin menjadi sukses, kpribaian Naruto yang pantang menyerah
mencari jati diri memberikan pelajaran untuk kita semua.
3.Tokoh Naruto memiliki karakter pantang menyerah, selalu bersemangat, tidak
mudah putus asa, humoris dan memiliki minat sosial yang tinggi
Jurnal 6
Judul : Memanusiakan orang yang serakah Ditinjau dari Perspektif Teori Humanistik
Penulis : Adolpin Saltin Tangdilintin, Heri Kurniawan, Lidia Monika Maimakal,
Yois Logo.
Latar belakang : Dalam menerapkan teori humanistik harus mempunyai
kemampuan untuk menggali dan merasakan apa yang menjadi masalah dan harus
diselesaikan dalam teori humanistik ini.Lewat teori ini pengajar harus memahami
terlebih dahulu apa yang akan dia sampaikan kepada muridnya karena jika seorang
pengajar sendiri tidak memahami apa yang dia sampaikan otomatis itu akan
berpengaruh pada setiap pribadi murid yang diajarnya oleh karena itu dengan
Teori humanistik memberikan sumbangsi kepada seorang pengajar untuk
diterapakan kepada muridnya agar murid tersebut dapat menerapkannya kembali
kepada orang-orang yang ada disekitarnya.Teori humanistik juga memberikan
sebuah pengajaran yang nyata baik secara emosional maupaun secara
rasional untuk memperbaiki hubungan antara seorang pengajar dengan
murid.Tujuan penulisan ini adalah untuk membantu para pengajar agar lebih
mengetahui akan bagaimana memanusiakan murid yang diajarnya baik itu
lewatmateri maupun tindakan lewat lingkungan yang ada disekitarnya. Menurut
penelitian penulis mengatakan bahwa banyak anak yang saat ini kurang
memahami akan materi karena kurangnya kerja sama antara pengajar dan
muridnya, karena kebanyakan para pengajar hanya mengunakan satu metode
dalam mengajar sehingga hal itu mempengaruhi cara berpikir siswa menjadi
lemah padahal yang kita tahu bahwa proses belajar mengajar adalah
memanusiakan orang yang di ajar lewat lingkungan disekitar. Kesimpulannya
adalah memanusiakan orang lewat tindakan dengan menggunakan lingkungan yang
ada di sekitar
Pembahasan & Diskusi : Pendidikan harus ditekankan pada potensi peserta didik
untuk mengembangkan kepribadian, kebebasan untuk memilih dan menentukan
nasib mereka sendiri dan melalui proses pembelajaran, pendidikan sudah
seharusnya dapat membantu pemenuhan kebutuhan individual.1lewat proses latar
belakang dalam pemelihan judul ini adalah dapat dilihat dari bagaimana seorang
menggunakan suatu hak untuk kepentingan pribadinya tanpa memikirkan
orang yang ada disekitarnya. Dan dalam pemilihan judul ini penulis mengambil
kisah anak yanghilang untuk menjadi penghubung untuk diterapkan dalam penulisan
ini karena di lihat dari tindakan yang di lakukan oleh anak sulung dan anak
bungsu ini adalah tindakan yang serakah yang hanya mementingkan satu golongan
atau kepentingan pribadi. Dalam pemilihan judul ini bagaimana kita tahu
bahwa seorang ayah memanusiakan anaknya dengan dengan cara yang berbeda
tetapi ketika si anak tumbuh dewasa dan tahu akan yang baik dan yang buruk, si
anak lebih dominannya kepada lingkungan yang ada di sekitar. Lingkungan adalah
salah satu proses dimana orang bisa belajar segala hal namun ada hal dimana
lingkungan tersebut membawa orang pada kehancuran, itulah yang dialami oleh
anak bungsu meskipun dia diajarkan hal-hal yang baik oleh ayahnya tetapi ketika
dia berada di lingkungan dia berubahmenjadi orang yang sangat egois dan
serakah. Terkadang kita anggap bahwa lingkungan adalah tempat belajar selain di
rumahdan sekolah, namun lingkungan juga Seperti yang Maslow katakan bahwa
manusia itu pada dasarnya adalah baik, atau tepatnya netral dan menurut
perspektif humanistik, kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu
adalah hasil dari lingkungan yang buruk dan bukan merupakan bawaan2.
Maslow bukan hanya berbicara tentang itu tetapi di juga membedakan
bagaimana manusia itu dari sini kita bisa melihat bahwa manusia itu menjadi
rusak,serta egois dan juga serakah adalah pengaruh dari lingkungan yang buruk.
Kesimpulan : Humanistik berfokus kepada tingkat akhir yaitu memanusiakan
manusia.dengan membawa setiap indifidu dengan pengalaman akan lingkungan
sekitardan lewat semua itu ada perubahan yang dhasilkan. Dengan demikian penulis
telah menyelesaikan degan penuh bangga dan harapan dari penulis bahwa kiranya
lewat pengkajian materi yang telah dibahas kiranya senantiasa membantu dan
menolong kita dalam meninjau sesuatu.
Jurnal 7
Judul : THE CONCEPT OF SELF-ACTUALIZATION IN HANIF KUREISHI’S
GABRIEL’S GIFT (KONSEP AKTUALISASI DIRI DALAM HADIAH GABRIEL
HANIF KUREISHI)
Penulis : Ayla OĞUZ
Latar Belakang : To grasp and evaluate the psychology of the individual, humanistic
psychology is one of the methods that can be practised in the analysis of various
characters in literature. As a prominant psychologist Abraham Maslow gives a great
importance to self-actualization in one’s education. He deals about a hierarchy of
needs including the most fundamental ones beginning from food to social security and
acceptance. For him, all is needed in order to constitute a psychological unity in one’s
individuation and education process. Maslow emphasizes the importance of the self-
actualization in the lives of individuals in his theory. He indicates that these
individuals are able to solve the complexities more easily. In this sense, he defines
self-actualizers to be highly creative and psychologically powerful individuals. In
Maslow’s pyramid basic and higher needs are presented in a hierarchy of five steps.
Whereas food, shelter, security and social connections are basic needs, such values
like beauty, goodness, and love are in the group of higher needs. In the deficiency of
these needs, individuals are subject to ‘metapathology’ for Maslow. In this context,
Maslow’s theory is motivational, and both basic needs and higher needs motivate the
behaviours of individuals. One can reach the step of self- actualization if he or she is
satisfied with the before steps. This process can go on if the individual doesn’t have a
failure in the before steps. In this context, Hanif Kureishi’s novel called Gabriel’s
Gift, reflects the traces of self-actualization in the analysis of Gabriel, the teenage
hero of the novel.
Untuk memahami dan mengevaluasi psikologi individu, humanistik psikologi
merupakan salah satu metode yang dapat dipraktikkan dalam menganalisis berbagai
tokoh dalam karya sastra. Sebagai seorang psikolog terkemuka Abraham Maslow
sangat mementingkan aktualisasi diri dalam pendidikan seseorang.Dia membahas
tentang hierarki kebutuhan termasuk yang paling mendasar mulai dari makanan
hingga sosial keamanan dan penerimaan. Baginya, semua diperlukan untuk
membentuk satu kesatuan psikologis dalam diri seseorangproses individuasi dan
pendidikan. Maslow menekankan pentingnya aktualisasi diri dalam kehidupan
individu dalam teorinya. Dia menunjukkan bahwa individu-individu ini lebih mampu
memecahkan kompleksitasdengan mudah. Dalam pengertian ini, ia mendefinisikan
pengaktualisasi diri menjadi sangat kreatif dan kuat secara psikologis individu. Dalam
piramida Maslow kebutuhan dasar dan kebutuhan yang lebih tinggi disajikan dalam
hierarki lima langkah. Sedangkan makanan, tempat tinggal, keamanan, dan hubungan
sosial adalah kebutuhan dasar, nilai-nilai seperti keindahan, kebaikan, dan cinta
termasuk dalam kelompok kebutuhan yang lebih tinggi. Dalam kekurangan kebutuhan
ini, individu tunduk pada 'metapatologi'untuk Maslow. Dalam konteks ini, teori
Maslow bersifat motivasional, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan yang lebih
tinggi memotivasi perilaku individu. Seseorang dapat mencapai tahap aktualisasi diri
jika ia merasa puas dengan langkah-langkah sebelumnya. Proses ini dapat
berlangsung jika individu tersebut tidak mengalami kegagalan pada langkah-langkah
sebelumnya. Di dalam konteks ini, novel Hanif Kureishi berjudul Gabriel's Gift,
mencerminkan jejak-jejak aktualisasi diri dalamanalisis Gabriel, pahlawan remaja dari
novel.
Pembahasan & Diskusi : In the basic step of Maslow’s pyramid of hierarchy of
needs, the importance of psychological needs and safety needs is emphasized. Such
related needs like water, food, warmth, rest and security are provided by Gabriel’s
parents, especialy by her mother. In this point, Christine works and earns money. She
also pays for Hanna to care for Gabriel whenever she is at work or outside although
she is always angry with her son as a strict mother. It is seen that there exist his
psychological needs including belongingness, love needs and estimate needs like
prestige and feeling of accomplishment in the middle step with reference to Maslow’s
theory. His intimate relationship with his father and his friend Zak makes him a
beloved person in Maslowian pyramid. Moreover, he achieves prestige when he is
praised by Lester because of his talent for copying real objects. Thanks to his talent,
he copies Lester’s picture and gifts one of them to her mother and the other one to his
father but he saves the real one for himself. After having these valuable copies their
lives change from bad to good both psychologically and economically. Thus, he
makes his parents happy and satisfied so that it makes himself happy, too. It is for the
reason that he accomplishes his mission in his self actualization step in a great degree
because he has reached his self-fulfillment needs including creative activities as a
natural result of reaching to the top step in Maslow’s pyramid. This is the moment of
transcendence (Vrinte, 1996:246) as an act of surpassing ordinary limits for him in
Maslowian terms. After he has had the opportunity to notice his creative talent he
finds the way how to operate it for the sake of his own self and his parents’ happiness.
In Gabriel’s success the ego-oriented ways of experiencing are replaced progressively
by impersonal cosmic experience and his individual self is disolved into the cosmos
(Vrinte, 1996:105) and causes a great happiness and satisfaction inside his soul. This
situation is the emergence of the levels of self-actualization and self-transcendence in
Maslowian theory. In the appearance of these levels Maslow emphasizes the
importance of integrity. For him, “the whole process of the transcendence is based on
the concept of integration; the higher is built upon, rests upon but includes the lower”
(Vrinte, 1996:105). Gabriel’s success shows his integration to his purpose for healing
himself and his parents and reorganizing his family relations and becoming a family
again. As a result, it becomes evident that Kureishi successfully portrays Gabriels'
innocent hope and artistic aspirations by showing his psychological and behavioral
development step by step according to Maslow’s theory
Dalam langkah dasar piramida hierarki kebutuhan Maslow, pentingnyakebutuhan
psikologis dan kebutuhan keamanan ditekankan. Kebutuhan terkait seperti air,
makanan, kehangatan, istirahat dan keamanan disediakan oleh orang tua Gabriel,
terutama oleh ibunya. Di dalam titik ini, Christine bekerja dan menghasilkan uang.
Dia juga membayar Hanna untuk merawat Gabriel setiap kali dia di tempat kerja atau
di luar meskipun dia selalu marah dengan putranya sebagai orang yang keras ibu.
Terlihat adanya kebutuhan psikologisnya antara lain rasa memiliki, cinta kebutuhan
dan perkiraan kebutuhan seperti prestise dan perasaan pencapaian di tengah
langkahdengan mengacu pada teori Maslow. Hubungan intimnya dengan ayahnya dan
temannya Zak membuatnya menjadi orang yang dicintai di piramida Maslowian.
Selain itu, ia mencapai prestise ketika dia dipuji oleh Lester karena bakatnya
menyalin objek nyata. Terima kasih padanya bakat, dia menyalin gambar Lester dan
memberikan salah satunya kepada ibunya dan yang lainnya untuk ayahnya tetapi dia
menyimpan yang asli untuk dirinya sendiri. Setelah memiliki salinan berharga ini,
mereka kehidupan berubah dari buruk menjadi baik baik secara psikologis maupun
ekonomi. Dengan demikian, dia membuat orang tua senang dan puas sehingga
membuat dirinya bahagia juga. Karena alasan itulah dia menyelesaikan misinya dalam
langkah aktualisasi dirinya dalam tingkat yang besar karena dia telah mencapai
kebutuhan pemenuhan dirinya termasuk kegiatan kreatif sebagai hasil alami dari
mencapai anak tangga teratas dalam piramida Maslow. Ini adalah momen
transendensi(Vrinte, 1996:246) sebagai tindakan melampaui batas biasa baginya
dalam istilah Maslowian. Setelah dia memiliki kesempatan untuk memperhatikan
bakat kreatifnya, dia menemukan cara untuk mengoperasikannya demi dirinya sendiri
dan kebahagiaan orang tuanya. Dalam kesuksesan Gabriel,cara pengalaman yang
berorientasi pada ego digantikan secara progresif oleh kosmis impersonal pengalaman
dan diri individunya dilarutkan ke dalam kosmos (Vrinte, 1996:105) dan
menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan yang besar di dalam jiwanya. Situasi ini
adalah kemunculannya tingkat aktualisasi diri dan transendensi diri dalam teori
Maslowian. Dalam penampilan level ini Maslow menekankan pentingnya integritas.
Untuk dia,“seluruh proses transendensi didasarkan pada konsep integrasi; semakin
tinggidibangun di atas, bersandar tetapi mencakup yang lebih rendah” (Vrinte,
1996:105). Keberhasilan Gabriel menunjukkan integrasinya dengan tujuannya untuk
menyembuhkan dirinya sendiri dan orang tuanya dan mengatur ulang hubungan
keluarganya dan menjadi keluarga lagi. Akibatnya, menjadi jelas bahwa Kureishi
berhasil menggambarkan harapan tak berdosa dan aspirasi artistik Gabriel dengan
menunjukkan perkembangan psikologis dan perilakunya selangkah demi selangkah
menurut teori maslow.
Kesimpulan : In conclusion, the study displays the importance of psychological
approach in the analysis of one’s character, character and behaviour development in
Maslowian perspective in English novel as a study of inter-disciplinary. Additionally,
it also emphasizes Kureishi’s talent and contribution to literature not only for
portraying his characters in a very qualified manner to be analyzed by Maslow’s
psychological method but also for loading them a great psychological insight as a
crucial novelist in English literature. In this sense, this method can be applied to
novels in English literature for the reason that it can clearly illuminate both the
development of behavior and the psychological improvement of the characters in it.
Kesimpulannya, penelitian ini menampilkan pentingnya pendekatan psikologis dalam
analisis perkembangan watak, watak, dan perilaku seseorang dalam Maslowian
perspektif dalam novel bahasa Inggris sebagai studi interdisipliner. Selain itu, juga
menekankan bakat dan kontribusi Kureishi pada sastra tidak hanya untuk
menggambarkan dirinya
karakter dengan cara yang sangat memenuhi syarat untuk dianalisis dengan metode
psikologis Maslow
tetapi juga untuk memuat mereka wawasan psikologis yang hebat sebagai novelis
penting dalam bahasa Inggris
literatur. Dalam pengertian ini, metode ini dapat diterapkan pada novel-novel dalam
sastra Inggris untukalasan bahwa hal itu dapat dengan jelas menerangi perkembangan
perilaku dan peningkatan psikologis karakter di dalamnya.
Jurnal 8
Judul : Self-Actualizing People in the 21st Century: Integration With Contemporary
Theory and Research on Personality and Well-Being (Orang yang
Mengaktualisasikan Diri di abad ke-21:Integrasi Dengan Kontemporer Teori dan
Penelitian tentang Kepribadian dan Kesejahteraan)
Penulis : Scott Barry Kaufman
Latar Belakang : More than 70 years ago, Maslow put forward an integrated theory
of human motivation that still captures the public imagination. Still, integration with
modern theory and research remains elusive. The current study aims to fill this gap in
the psychological literature, linking Maslow’s theory to contemporary theory and
research on personality and well-being. Toward this aim, a new 30-item
“Characteristics of Self-Actualization Scale (CSAS)” was developed. Scale validation
showed that 10 characteristics of self-actualizing people as proposed by Maslow load
on a general factor of self-actualization and demonstrate external validity. Those
reporting more characteristics of self-actualization were more motivated by growth,
exploration, and love of humanity than the fulfillment of deficiencies in basic needs.
The characteristics of self-actualization were also associated with greater well-being
across a number of indicators of well-being, including greater life satisfaction, self-
acceptance, positive relations, environmental mastery, personal growth, autonomy,
purpose in life, and self-transcendent.
Lebih dari 70 tahun yang lalu, Maslow mengajukan teori terintegrasi tentang
motivasi manusia yang masih menangkap imajinasi publik. Namun, integrasi
dengan teori dan penelitian modern tetap sulit dipahami. Studi saat ini bertujuan
untuk mengisi celah ini dalam literatur psikologis, menghubungkan teori Maslow
dengan teori kontemporer dan penelitian tentang kepribadian dan kesejahteraan. Ke
arah tujuan ini, 30 item baru "Karakteristik Skala Aktualisasi Diri"(CSAS)”
dikembangkan. Validasi skala menunjukkan bahwa 10 karakteristik orang yang
mengaktualisasikan diri seperti yang diusulkan oleh Maslow memuat faktor umum
aktualisasi diri dan menunjukkan validitas eksternal. Mereka yang melaporkan
karakteristik aktualisasi diri lebih dimotivasi oleh pertumbuhan, eksplorasi, dan cinta
kemanusiaan daripada pemenuhan kekurangan dalam dasar kebutuhan. Karakteristik
aktualisasi diri juga dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih besar di sejumlah
indikator kesejahteraan, termasuk kepuasan hidup yang lebih besar, penerimaan diri,
hubungan positif, lingkungan penguasaan, pertumbuhan pribadi, otonomi, tujuan
hidup, dan transenden diri.
Pembahasan & Diskusi : The current study has two main aims. The main aim is to
show empirically, using a variety of contemporary measures of personality and well-
being, that the characteristics of self-actualization that Maslow (1950) proposed
almost 70 years ago are indeed significantly related to both the absence of deprivation
as well as the abundance of health, growth, and well-being. The ancillary aim of the
current study, which is required to demonstrate the main aim, is to produce a new
scale to measure the characteristics of selfactualization as proposed by Maslow
(1950). For the purposes of this study, such a scale must include characteristics that
(1) substantially load on the general factor of self-actualization and (2) demonstrate
external validity. While Maslow (1950) proposed about 17 characteristics of self-
actualizing people, it’s an empirical question which of his proposed characteristics
form a reliable subscale, and whether they form a coherent general factor of self-
actualization. In constructing the scale, I initially drew directly from Maslow’s (1950)
list, using his original language, but made the necessary adjustments to the items to
ensure that the final scale presented in this article was psychometrically sound as well
as central to the general factor of self-actualization By creating a reliable and valid
scale that measures the characteristics of self-actualization as put forward by Maslow
(1950), and linking it to contemporary research and theory in the study of personality
and well-being, I hope the current study helps bring Maslow and the concept of self-
actualization so frequently discussed by the founding humanistic psychologists firmly
into the 21st century.
Studi saat ini memiliki dua tujuan utama. Tujuan utamanya adalah untuk
menunjukkan secara empiris, menggunakan berbagai ukuran kontemporer kepribadian
dan kesejahteraan, bahwa karakteristik aktualisasi diri yang diusulkan Maslow (1950)
hampir 70 tahun yang lalu memang terkait secara signifikan dengan tidak
adanyakekurangan serta kelimpahan kesehatan, pertumbuhan, dan kesejahteraan. NS
tujuan tambahan dari penelitian ini, yang diperlukan untuk menunjukkan tujuan
utamanya, adalah untuk menghasilkan skala baru untuk mengukur karakteristik
aktualisasi diri seperti yang dikemukakan oleh Maslow (1950). Untuk keperluan studi
ini, skala tersebut harus mencakup karakteristik yang (1) secara substansial memuat
pada faktor umum aktualisasi diri dan (2) menunjukkan validitas eksternal.Sedangkan
Maslow (1950) mengemukakan tentang 17 karakteristik aktualisasi diri orang, ini
adalah pertanyaan empiris yang mana dari karakteristik yang diusulkannya
membentuk subskala yang andal, dan apakah mereka membentuk faktor umum yang
koheren dari aktualisasi diri. Dalam membangun skala, saya awalnya menggambar
langsung dari daftar Maslow (1950), menggunakan bahasa aslinya, tetapi membuat
yang diperlukan penyesuaian item untuk memastikan bahwa skala akhir yang
disajikan dalam artikel ini adalah psikometris suara serta pusat faktor umum
aktualisasi diri dengan membuat skala yang andal dan valid yang mengukur
karakteristik aktualisasi diri seperti yang dikemukakan oleh Maslow (1950), dan
menghubungkannya dengan penelitian dan teori sementara dalam studi kepribadian
dan kesejahteraan, sayaberharap studi saat ini membantu membawa Maslow dan
konsep aktualisasi diri yang begitu sering dibahas oleh para psikolog humanistik
pendiri dengan kuat memasuki abad ke-21.
Kesimpulan : The findings in this investigation strongly suggest that much of
Maslow’s seminal thinking about human motivation, personality, and the
characteristics of self-actualization has empirical support and can easily be integrated
into contemporary research and theory on personality and well-being. This is quite
remarkable considering that Maslow generated his theory with a paucity of actual
evidence. Of course, Maslow stood on the shoulder of giants, many of whom he had
the honor and pleasure of interacting with during his lifetime (see Hoffman, 1988).
Just as Maslow attempted to integrate their large corpus of work into an integrated
theory of human motivation, hopefully the current study also offers a valuable
integration, further bringing Maslow’s motivational framework and the central
personal characteristics described by the founding humanistic psychologists, into the
21st century.
Temuan dalam penyelidikan ini sangat menyarankan bahwa sebagian besar pendapat
Maslow pemikiran mani tentang motivasi manusia, kepribadian, dan karakteristik
aktualisasi diri memiliki dukungan empiris dan dapat dengan mudah diintegrasikan ke
dalam penelitian kontemporer dan teori tentang kepribadian dan kesejahteraan. Ini
adalah cukup luar biasa mengingat Maslow menghasilkan teorinya dengan bukti nyata
kota pau. Tentu saja, Maslow berdiri di atas bahu raksasa, banyak dari mereka yang
mendapat kehormatan dan kesenangan untuk berinteraksi dengannya selama seumur
hidup (lihat Hoffman, 1988). Sama seperti Maslow berusaha untuk mengintegrasikan
mereka kumpulan besar kerja ke dalam teori motivasi manusia yang terintegrasi,
berharap sepenuhnya studi saat ini juga menawarkan integrasi yang berharga,
membawa lebih lanjut kerangka motivasi Maslow dan karakteristik pribadi utama
dijelaskan oleh psikolog humanistik pendiri, ke abad ke-21.
Jurnal 9
Judul : Leadership for Social Change: John Vasconcellos (D-CA) and the Promise of
Humanistic Psychology in Public Life
Penulis : Jeff Fishel
Latar Belakang : Political and developmental psychologists have long disagreed
about the potential for changing basic patterns of personality once they are established
in childhood and adolescence. The preponderance of evidence from psychobiogra-
phies dealing with political leaders stresses the way in which their personalities and
their political roles facilitate ego-defensive rather than ego-supportive modes of
growth and adaptation. Humanistic psychology and much of the life- cycle, adult
socialization research challenge these pessimistic conclusions, assuming that political
leaders, like ordinary citizens, can and will seek to change what is dysfunctional and
counterproductive in their profiles and development. John Vasconcellos, an
innovative California legislator and leader in the human potential movement for more
than 20 years, provides an unusual case study in leadership development because he
has consciously and publicly utilized human istic psychotherapy as a tool of personal
and political growth. What have been the consequences-psychologically and
politically? What might follow if others made similar choices and did so early enough
in their political careers so that there might be long-term effects on how they function
as leaders? This article explores these issues, using the career of Vasconcellos as a
case study.
Psikolog politik dan perkembangan telah lama tidak setuju tentang potensi penting
untuk mengubah pola dasar kepribadian setelah mereka terbentuk dimasa kecil dan
remaja. Banyaknya bukti dari psikobiografi Hubungan dengan para pemimpin politik
menekankan cara kepribadian mereka dan peran politik mereka memfasilitasi
pertahanan ego daripada mendukung ego cara tumbuh dan adaptasi. Psikologi
humanistik dan sebagian besar kehidupan siklus, penelitian sosialisasi orang dewasa
menantang kesimpulan pesimistis ini, menyimpulkan bahwa para pemimpin politik,
seperti warga negara biasa, dapat dan akan berusaha untuk berubah apa yang
disfungsional dan kontraproduktif dalam profil dan perkembangan mereka. John
Vasconcellos, seorang legislator California yang inovatif dan pemimpin di bidang
kemanusiaan pergerakan potensial selama lebih dari 20 tahun, memberikan studi
kasus yang tidak biasa dipengembangan kepemimpinan karena ia telah secara sadar
dan publik memanfaatkan psikoterapi istik sebagai alat pertumbuhan pribadi dan
politik. Apa yang telah terjadi? konsekuensi-psikologis dan politik? Apa yang
mungkin mengikuti jika yang lain?membuat pilihan serupa dan melakukannya cukup
awal dalam karir politik mereka sehingga mungkin ada efek jangka panjang pada
bagaimana mereka berfungsi sebagai pemimpin? Artikel ini mengeksplorasi isu-isu
ini, menggunakan karir Vasconcellos sebagai studi kasus.
Pembahasan & Diskusi : For Vasconcellos, then and now, the central life issue has
been self-acceptance, a large component in all conceptualizations of self-esteem.
Vasconcellos himself attributes his low self-acceptance during that period to a fami-
ly/religious/cultural environment that was "obsessed" with control: control of his
sexuality, control of his passion, control of his feelings, control of his thinking,
control of his body; and he suggests that he, like many other American children, were
products of what he calls "the destructiveness and repression of the old
vision."Whether his generalizations about the larger culture apply as much to young
people growing up in contemporary America as he believes they do to his own
generation, coming to maturity in the 1950s and 1960s, is a matter of dispute. He
leaves no doubt however, about the "old vision's" (made up of family/culture/religion)
negative effect on his development.
Bagi Vasconcellos, dulu dan sekarang, masalah utama kehidupan adalah penerimaan
diri, komponen besar dalam semua konseptualisasi harga diri. Vasconcellos sendiri
mengaitkan penerimaan dirinya yang rendah selama periode itu dengan
keluarga.lingkungan/agama/budaya yang "terobsesi" dengan kontrol: kontrol
seksualitasnya, kontrol nafsunya, kontrol perasaannya, kontrol pemikirannya, kontrol
tubuhnya; dan dia menyarankan bahwa dia, seperti banyak anak Amerika lainnya,
adalah produk dari apa yang dia sebut "kehancuran dan penindasan visi lama." yang
mereka lakukan terhadap generasinya sendiri, yang menjadi dewasa pada 1950-an dan
1960-an, adalah masalah perselisihan. Namun dia tidak meninggalkan keraguan,
tentang efek negatif "penglihatan lama" (terdiri dari keluarga/budaya/agama) terhadap
perkembangannya.
Kesimpulan : For public leaders whose psychological development is experienced as
less painful and complex than Vasconcellos', the incentives and motivation to select
any type of psychotherapy, despite its availability, are problematic. Are there other
opportunities for personal and political transformation that might parallel some of the
ground traveled by Vasconcellos? One important alternative also was supported by
Maslow: the steady expansion of organizational development/human resources
development (OD/HRD) programs throughout the United States." Leadership and
Management Training Institutes like the National Training Laboratory (NTL Institute)
have long reached subpopulations with many individuals who are seemingly
indifferent and/or antagonistic to humanistic psychology and human growth. While
the goals and techniques of their programs vary enormously, many are consistent,
indeed directly supportive of the change oriented values championed by Vasconcellos
in particular, humanistic psychology in general. And they are embedded in the
"practical' values of managerial effectiveness and organizational productivity that
appeal to individuals in their normal work lives.'2 Other possibilities also exist-of
varying scope and depth and noted in the beginning of my article-but a review would
take me far afield from the main focus of this research. While the journey of
Vasconcellos is not directly replicable in others, it has elements, branches, major
highways that can be followed, independent of the person's specific vehicle.

Bagi para pemimpin publik yang perkembangan psikologisnya dialami sebagai


kurang menyakitkan dan kompleks dari Vasconcellos, insentif dan motivasi untuk
pilih semua jenis psikoterapi, meskipun ketersediaannya, bermasalah. NS ada peluang
lain untuk transformasi pribadi dan politik yang mungkin sejajar beberapa tanah yang
dilalui oleh Vasconcellos? Salah satu alternatif penting juga didukung oleh Maslow:
ekspansi yang stabil dari pengembangan organisasi program pengembangan sumber
daya manusia (OD/HRD) di seluruh Amerika Serikat." Lembaga Pelatihan
Kepemimpinan dan Manajemen seperti National Training Laboratory (NTL Institute)
telah lama mencapai subpopulasi dengan banyak individu yang tampaknya acuh tak
acuh dan/atau bertentangan dengan psikologi humanistik. Psikologi dan pertumbuhan
manusia. Sedangkan tujuan dan teknik programnya sangat bervariasi, banyak yang
konsisten, bahkan secara langsung mendukung perubahan nilai-nilai berorientasi
diperjuangkan oleh Vasconcellos khususnya, psikologi humanistik pada umumnya.
Dan mereka tertanam dalam nilai-nilai "praktis" manajerial efektivitas dan
produktivitas organisasi yang menarik bagi individu dalam kehidupan kerja normal.'2
Kemungkinan lain juga ada-dengan berbagai cakupan dan kedalaman dan dicatat di
awal artikel saya - tetapi ulasan akan membawa saya jauh dari fokus utama penelitian
ini. Sementara perjalanan Vasconcellos tidak langsung direplikasi pada orang lain, ia
memiliki elemen, cabang, jalan raya utama yang dapat diikuti, terlepas dari kendaraan
khusus orang tersebut.
Jurnal 10
Judul : RECLAIMING HUMANISTIC PSYCHOLOGY FROM MODERNITY:
PROBLEMS AND SOLUTIONS
Penulis : JAMES J. DILLON
Latar belakang : This article begins as a lamentation over the historical demise of
humanistic psychology programs in the United States and considers the critiques and
alternatives to the humanistic tradition proposed during such transitions. The article
isolates the core elements of the premodern humanistic tradition, outlines the central
features of the cultural trend referred to as modernity, and shows how modernity has
provided the fuel for most of the major critiques of and alternatives to the humanistic
tradition. The article then shows how modernity has even influenced the way that
humanistic psychology has appropriated its own premodern tradition. The article
concludes with six concrete suggestions for reclaiming humanistic psychology from
modernity hopefully setting it on a sounder, more valid, and potentially more effective
course for the future.
Artikel ini dimulai sebagai ratapan atas kematian historis program psikologi
humanistik di Amerika Serikat dan mempertimbangkan kritik dan alternatif terhadap
tradisi humanistik yang diajukan selama transisi seperti itu. Artikel tersebut
mengisolasi elemen inti dari tradisi humanistik pramodern, menguraikan fitur-fitur
utama dari tren budaya yang disebut modernitas, dan menunjukkan bagaimana
modernitas telah menyediakan bahan bakar untuk sebagian besar kritik utama dan
alternatif untuk tradisi humanistik. Artikel tersebut kemudian menunjukkan
bagaimana modernitas telah bahkan mempengaruhi cara psikologi humanistik telah
menyesuaikan tradisi pramodernnya sendiri. Artikel ini diakhiri dengan enam beton
saran untuk merebut kembali psikologi humanistik dari modernitas mudah-mudahan
mengaturnya pada suara yang lebih baik, lebih valid, dan berpotensi lebih banyak
kursus yang efektif untuk masa depan.
Pembahasan & diskusi : As modern humanistic psychology enters the third
generation since its founding, it is almost inevitable that programs once firmly aligned
to the tradition will examine their continued desire to remain a part of it. Many
departments have decided, and more will decide, to branch out in other directions. I
am saddened by this state of affairs, as much as I understand how it has come to be. I
have presented the core elements of the humanistic tradition and some reasons why
historically humanistic departments should continue to embrace them. The humanistic
tradition is the only one on the intellectual landscape that opens up a real space for
disciplined inquiry into what it means to be a human being. It is the only tradition that
takes human distinctness seriously and struggles to live well with that distinctness
without washing it out into matter, society, or spirit. It is the only tradition with a
coherent concept of human development and a historical commitment to devising
techniques of various kinds to facilitate development in the home, school, therapy
office, and society. Finally, it is the only intellectual tradition that supports life within
a democratic political regime. To quote Woody Allen, “There are two ‘isms’:
humanism and fascism.”.
Saat psikologi humanistik modern memasuki generasi ketiga sejak didirikan, hampir
tidak dapat dihindari bahwa program sekali tegas selaras dengan tradisi akan
memeriksa lanjutan mereka keinginan untuk tetap menjadi bagian darinya. Banyak
departemen telah memutuskan, dan lebih banyak lagi yang akan memutuskan, untuk
bercabang ke arah lain. Saya sedih dengan keadaan ini, sebanyak yang saya mengerti
bagaimana hal itu terjadi datang untuk menjadi. Saya telah menyajikan elemen inti
dari humanistik tradisi dan beberapa alasan mengapa departemen historis humanistik
harus terus merangkul mereka. Tradisi humanistik adalah satu-satunya di lanskap
intelektual yang membuka ruang nyata untuk penyelidikan disiplin tentang apa artinya
menjadi manusia. Ini adalah satu-satunya tradisi yang menganggap serius perbedaan
manusia dan berjuang untuk hidup dengan baik dengan perbedaan itu tanpa
mencucinya menjadi materi, masyarakat, atau roh. Ini adalah satu-satunya tradisi
dengan konsep yang koheren tentang pembangunan manusia dan komitmen historis
untuk merancang berbagai jenis teknik untuk memfasilitasi pengembangan di rumah,
sekolah, kantor terapi, dan masyarakat. Akhirnya, itu adalah satu-satunya tradisi
intelektual yang mendukung kehidupan dalam rezim politik yang demokratis.
Mengutip Woody Allen,"Ada dua 'isme': humanisme dan fasisme."
Kesimpulan : Humanistic psychology may or may not experience an institutional
renaissance at some point in the future. It will begin to do so only if and when schools
focus less on modern trends toward disciplinary boundaries, specialization, and
vocational training and more on the traditional liberal arts. And such a change is
only likely when the cultural forces of modernity are identified and resisted. But it is
not only the schools and the larger culture that have been compromised by modernity;
humanistic psychology is implicated as well. An honest reckoning with modernity
would go a long way toward saving humanistic psychology from some of its own
excesses and placing it on a sounder and potentially more effective foundation for the
future.
Psikologi humanistik mungkin atau mungkin tidak mengalami kebangkitan
institusional di beberapa titik di masa depan. Ini akan mulai dilakukan hanya jika dan
ketika sekolah kurang fokus pada tren modern menuju batas-batas disiplin,
spesialisasi, dan pelatihan kejuruan dan lebih pada seni liberal tradisional. Dan
perubahan seperti itu adalah hanya mungkin ketika kekuatan budaya modernitas
diidentifikasi dan dilawan. Tetapi bukan hanya sekolah dan budaya yang lebih besar
yang telah dikompromikan oleh modernitas; psikologi humanistik juga terlibat.
Perhitungan yang jujur terhadap modernitas akan sangat membantu menyelamatkan
psikologi humanistik dari beberapa eksesnya sendiri dan menempatkannya di atas
fondasi yang lebih kuat dan berpotensi lebih efektif untuk masa depan.

Anda mungkin juga menyukai