Anda di halaman 1dari 9

BAB II

HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR KARYA AL-SULAMI

A. Biografi al-Sulami
1. Riwayat Hidup Al-Sulami
Nama lengkapnya adalah Abū Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī.1 Sedangkan menurut Mahjuddin nama lengkap al-
Sulami adalah Abi Abdi al-Rahman Muhammad bin Husayn bin Muhammad bin
Musa al-Sulami al-Azdi, lahir di Khurasan Iran lahir pada 16 April tahun 325 H/937
M dan wafat pada bulan Sya'ban pada 3 november 412 H/1012 M.2
Al-Sulamī termasuk keturunan suku Arab suku Azd bin Ghawts dari garis
ayahnya, dan Sulaym bin Mansur dari garis ibu. Beberapa ulama terkenal yang
termasuk dalam garis keturunan ibunya adalah Ahmad bin Yusuf bin Khalid al-
Naisaburi, seorang ahli hadis; dan Abu Amr Isma'il bin Nujayd (w.360 H/971 M)
yang selain ahli hadis juga seorang tokoh sufi abad ke-4 H.3
Ibn Nujayd inilah yang pertama kali menanamkan pengaruhnya di dalam
perkembangan intelektual al-Sulamī. Memulai periwayatan hadis dari Ibn Nujayd, al-
Sulami dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi sumber bagi Hakim al-
Naisaburi (w.405/1014), al-Qusyairi, Abu Bakr al-Bayhaqi (w.458/1066) dan Abu
Nu'aym al-Isfahani.4
Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadis bahkan kemudian
meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu Bakar
As-Sibhghi dan Imam Abu Nua‟im al-Isbahani, pengarang kitab mengenai tasawuf,
“Hilyatul Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan imam al-Sulami
sebagai rujukan banyak ulama. Oleh karena itu al-Sulami terkenal sebagai seorang

1
Taqiy al-Din Ibn Shalah, Fatawa, Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya,1438 H, h.29
2
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 41.
3
4
Ibid
M. Anwar Syarifuddin. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an” Jurnal Studi AGAMA DAN
MASYARAKAT vol. 1, no.2 Desember 2004, Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.

1
pakar hadis, guru para sufi, dan pakar sejarah. Dia seorang syekh tariqah yang telah
dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. 5
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, mengalami puncak kemajuan ilmu tasawuf .
Tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah Swt., (ma'rifah) yang tadinya hanya
sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf
teoritis.6 Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal
sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu
dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah.7 Selain itu, dia juga terkenal dengan
kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.8 Al-
Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan
perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syekh, serta bersifat pemaaf.

2. Karya-karya al-Sulami
Di antara karyanya yakni: Al-Farq Bayna al-Shari‟ah wa-al Haqiqah, Al-
Hadithu al-Arba‟un, Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra, Amthal
al-Qur‟an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat al-Muamalat,
Darajat As-Shiddiqin, kitab Al-Futuwwa9, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal
Akhwa min al-Sufiyya, al-Istishadat, Juwami, al-Malamatiyya, Manahij al-Arifin,
Maqamat al-Awliya, Masail Waradat min Makkah, Mihan Al-Sufiyya, Al-
Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-Radd „ala ahl al-Kalam, Al-Sama, Al-
Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, al- Mutasawwafah, tarikh al-sufiyyah.10
3.
Corak Pemikiran al-Sulami
Al-Sulamī mengambil beberapa tasawuf dari para syekh yang masyhur,
misalnya Ibn Manazil (W 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, dan ia juga pernah

5
Sara Saviri. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), .23.
6
7
Asmaran, MA. Pengantar Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 258.
Gafna Raizha Wahyudi. Warisan Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 73.
8
A. J. al-Berry. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, (Jakarta: Hikmah, 2000), 94.
9
Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), 64.
10
Muhammad Hisyam Kabbani.Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman (Jakarta: PT Serambi
Ilmu semesta, 2007), 94.

2
belajar ilmu tasawuf pada Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-
Tasawuf) (W. 369 H/979 M), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya.
Oleh karena itu otomatis corak pemikiran tasawuf al-Sulamī sedikit banyak
dipengaruhi oleh tasawuf mereka. Ia termasuk sufi yang yang beraliran sunni, yang
selalu berusaha menyebarkan tasawuf sunni di masa hidupnya.11

B. Gambaran Umum Haqā‟iq al-Tafsīr

1. Sekilas Kitab Haqā’iq al-Tafsīr


Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Sulami
hanya ada satu jilid besar, dan terdapat dua salinan yang ada di perpustakaan al-
Azhar, Mesir. Kitab ini diterbitkan pada tahun 1986 di Beirut, Libanon. Manuskrip
dari Haqā‟iq al-Tafsīr termasuk yang di lindungi di Gazi Hursrev-Borgova
Bibioleteka di Sarajevo, Bosnia. Manuskrip kitab ini masih menunggu publikasi.12

Kira-kira ada 50 manuskrip yang telah di salin pada pertengahan abad ke 6,


sekitar 150 tahun setelah al-Sulami wafat. Pada abad 7 terdapat manuskrip dalam dua
versi, yaitu versi panjang dan pendek. Sedangkan pada abad 9 terdapat juga
manuskrip dalam bentuk tradisional.13

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr mencantumkan anggapan baru dan sumber asli


materi tentang sejarah sufi yang tidak ditemukan dalam kitab manapun. Selain itu
kitab ini adalah sebagai sebuah pendapat, maka al-Sulami banyak menggunakanm
pendapat para ulama sufi diataranya Ja‟far Ibn Muhammad al-Shadiq, Ibnu
Atho‟illah al-Sukandari, Sahal bin Abdillah. Dan pendapat-pendapat yang
digunakan al-Sulami adalah pendapat para ulama adab 2-4.14

11
Jamaluddin Kafi. Tasawuf Kontemporer, (Prenduan: al-Amin, 2003), 10.
12
Hilman Mulyana. “Kematian Perspektif Haqa’iq al-Tafsir” Skripsi Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin 2018, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
Ibid
14
Ibid

3
2. Pendapat Ulama Mengenai Haqā’iq al-Tafsīr

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr merupakan kitab yang secara umum sulit dipahami
oleh publik sebagaimana yang di utarakan oleh penulisnya di dalam muqadimmah.
al-Sulami bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli al-
haqiqa tentang al-Qur'an. Sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya
yang menampilkan ilmu-ilmu yang termasuk dalam dimensi zhahir al-Qur'an seperti
fawa'id, musykilat, ahkam, i'rab, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh mansukh dan
lainnya.15

Hal ini menjadikan Haqā‟iq al-Tafsīr sebagai kitab yang berisi penjelasan
makna ayat-ayat al-Qur'an di luar kategori proses pengambilan makna secara i'tibari
seperti yang berlaku dalam tafsir. Belum lagi, penilaian yang beragam terhadap
figur-figur sufi yang dimuat pandangan-pandangannya di dalam penilaian terhadap
metode penafsiran yang dilakukan oleh para sufi itu, di mana setiap individu
memiliki keunikannya sendiri, tetapi juga menyertakan penilaian terhadap aspek
kepribadian mereka dari yang paling taat dan salih sampai kepada beberapa pribadi
yang dianggap nyeleneh karena pernyataan-pernyataannya yang samar-samar
(syathahiyyat).16

Dalam hal ini selain memuat padangan Ja'far al-Sadiq, Dhu al-Nun al-
Misri, Junayd, Sahl al-Tustari, Ibn Atha al-Baghdadi, Abu Bakr al-Wasiti, Fudhayl
bin Iyadh, serta Shibli, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah ketika al-Sulami
juga memuat pandangan-pandangan Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi martir
yang mati digantung di tiang salib karena pandangan-pandangan wahdat al-syuhud,
dan aktivitas dakwahnya yang mendukung pemberontakan Qaramithah terhadap
kekhalifahan Abbasiah.17

15
Ibid
16
Ibid
17
Ibid

4
Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wahdidi dan
Ibn Shalah ditujukan bukan untuk mengahakimi penafsiran sufi yang telah
dikumpulkan oleh al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman
sejawat yang masih sesama penganut mazhab Syafi'i untuk tidak memasukkan
karyanya sebagai sebuah tafsir, yang nampaknya telah mengalami penyempitan
makna seperti yang diungkap di muka.18

Bahwa metode periwayatan tanpa menyertakan sanad lengkap sebenarnya


baru dianggap sebagai kesalahan prosedur ketika isi matan hadis yang dikandungnya
memang berkaitan dengan aspek ibadah yang mengandung unsur legalitas atau
teologis yang memerlukan argumentasi naqli yang didukung oleh kesahihan
riwayat.19

Sementara pesan-pesan moral yang menyangkut aspek adab atau etika,


seperti juga halnya mau'idhah yang baik, tidak begitu mensyaratkan kesahihan sanad
karena banyak hadis yang berisi mau'idhah hasanah tetap bisa ditrima dan
diamalkan meskipun diriwayatkan melalui sanad yang lemah (dhaif). Oleh
karenanya, sebagaimana Khatib al-Baghdadi dan Subki yang menilai al-Sulami
sebagai perawi yang tsiqat, persoalan penghilangan sanad dalam proses penukilan
pandangan-pandangan yang berkaitan dengan konsepsi etika para sufi dalam
memahami al-Qur'an bukan menjadi problematika utama yang menjadikan
penafisrannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti diwakili oleh al-
Wahidi dan Ibn Shalah.20

Sebagaimana al-Sulami juga tidak meyakini pandangan yang dinukilkannya


sebagai tafsir dalam arti penjelasan tentang makna yang dikehendaki Allah Swt.,
dari ayat-ayat al-Qur'an, Ibn Shalah memberikan jawaban dalam fatwanya, "...Imam
Abu al-Hasan al-Wahidi, seorang mufassir al-Qur'an, menyatakan bahwa Abu Abd

18
Ibid
19
Ibid
20
Ibid

5
al-Rahman al-Sulami telah menyusun Haqā‟iq al-Tafsīr. Jika dia meyakininya
sebagai tafsir, maka dia telah kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan
datang dari orang yang dianggap tsiqat dalam kalangan ahli hadis”.21

Jika ia mengungkapkan penjelasan semacam itu, maka dia semestinya tidak


memasukkannya sebagai tafsir, atau penjelasan apapun yang berkaitan dengan ayat-
ayat al-Qur'an, karena hal itu sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok
Bathiniyyah..."

Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa
yang diungkapkannya di dalam Haqā‟iq sebagai tafsir cukup memberi excuse
baginya dari tuduhan bahwa ia telah bertindak melampui batas keimanan. Tuduhan
kufur baru dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang ditempuh
kelompok Bathiniyyah. Sa'd al-Din al-Taftazani (w.722/1390) memberikan
penjelasan dalam syarh Aqa'id al-Nasafiyah, "Kaum Bathiniyyah dijuluki dengan
sebutan itu karena mereka menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur'an bukan
melalui indikasi yang tertuang dalam makna zhahir, tetapi dengan mengambil makan
batin yang hanya diketahui oleh imam Shi'ah yang digelari dengan julukan para
mu'allim."22

Tindakan yang memalingkan makna zhahir kepada makna batin yang


dilakukan kalangan Bathiniyyah ini, menurut Taftazani, dianggap sebagai tindak
kekufuran karena maksud mereka sebenarnya adalah menolak syariah secara
keseluruhan. Sebuah penjelasan yang sangat gamblang, yang sasaran sebenarnya
berada di luar kelompok sunni, terutama karena kelompok Bathiniyyah memiliki
anutan ideologis yang berbeda untuk menolak syari'ah dengan bersembunyi di balik
penafsiran batin.23

C. Contoh Tafsir Haqa’iq al-Tafsir


21
Ibid
22
Ibid
23
Ibid

6
Agama sudah menjelaskan bahwa manusia mengalami suatu hal yang serupa
dengan kematian, yakni tidur. Salah satu konsentrasi kematian dalam Haqaiq al-
Tafsir adalah mengenai tidur menjadi bagian dari kematian. Tidur dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tidur berarti keadaan berhenti badan dan kesadarannya
(biasanya dengan memejamkan mata). Sedangkan dalam ilmu kesehatan, tidur
merupakan proses fisiologis12 normal yang bersifat aktif, teratur,
berulang,kehilangan tingkah laku yang reversible, dan tidak berespons terhadap
lingkungan. Tidur dibutuhkan otak untuk menunjang proses fisiologis. Tidur adalah
suatu fenomena kehidupan yang berlangsung dalam suatu siklus sirkadian yang
memengaruhi siklus endokrin dan pola sikap (behavior) secara langsung atau tak
langsung.
Adapun ayatnya adalah Q.S. al-Zumar ayat 42, sebagai berikut:

ۖ ‫عهًَ انهَّ ُْ ِم‬ ِ ‫عهًَ انَُّ َه‬


َ ‫از َوَُ َك ّ ِى ُز انَُّ َه‬
َ ‫از‬ ِ ّ ‫ض ِت ْان َح‬
َ ‫ق ۖ َُ َك ّ ِى ُز انهَّ ُْ َم‬ َ ‫خ َو ْاْل َ ْز‬ َّ ‫َخهَقَ ان‬
ِ ‫س ًَ َاوا‬
ُ َّ‫َص ْانغَف‬
‫از‬ ُ ‫س ًًًّ ۗ أ َ ََل ُه َى ْان َع ِص‬
َ ‫س َو ْانقَ ًَ َس ۖ ُك ٌّم ََ ْج ِسٌ ِْل َ َج ٍم ُي‬ َّ ‫س َّخ َس ان‬
َ ًْ ‫ش‬ َ ‫َو‬

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan
matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Sedangkan penafsiran Imam al-Sulami dalam kitabnya Haqaiq al-Tafsir


diuraikan sebagai berikut:

......‫هللا َتىفٍ اَلَفس‬


‫ اٌ هللا اذا تىفٍ اَلَفس اخسج انسح انُىزيٍ نطُف َفس انطثع انكثف‬: ‫قم سهم‬
‫فهري َتىفٍ انُىو انُىزيٍ نطُف َفس انطثع انسح فانُا ئى َتُفس َفس نطُفا وهى‬
‫َفس انسح انرٌ اذا شال نى َكٍ نهعثدحسكح وكاٌ يُتا وقال حُاج انُفس انطثُعٍ ب‬

7
ٍ‫ انسوح تقىو تهطُفح ف‬: ‫ وقال اَضا‬. ‫َىز نطُف و حُاج نطُف َفس انسوح تانركسهللا‬
.................ٍ‫ذاتها تغُس َفس انطثع اَل تسٌ اٌ هللا خا طة انكم ف‬
Mati mempunyai dua makna, yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt-
khafif) dan mati dalam arti yang sebenarnya (al-mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur
digambarkan dalam Q.S. al-Zumar ayat 42.
Maksud dari penafsiran yang digunakan oleh al-Sulami adalah sebagaimana
kutipan dari Imam Sahal bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni tempat atau jasad
seseorang, jadi apabila seseorang mengalami kematian bukan berarti ruh nya yang
mati tetpi ada komponen Jasad yang mempunyai tanda-tanda seperti berhentinya
detak jatung, atau keluar masuknya udara melalui hidung.
Sebagaimana dengan yang dipaparkan Imam al-Sulami, al-Maraghi dalam
kitabnya menyatakan bahwa: sesungguhnya pada anak Adam terdapat jiwa dan ruh
yang dihubungkan antara keduanya oleh semacam cahaya matahari, Jiwa adalah
tempat akal dan pikiran, sedangkan ruh adalah yang menyebabkan adanya nafas dan
gerakan, keduanya diwafatkan saat terjadi kematian, adapun saat tidur hanya jiwa
yang di wafatkan. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menahan (memegang) nafs
(jiwa atau ruh) manusia dari dunia fana ketika telah tiba ajal manusia tersebut, dan
kematian yang seperti ini merupakan kematian jasad-jasad (kematian sebenarnya).
Sedangkan (jiwa atau ruh) yang dimatikan Allah SWT., ketika tidur adalah jiwa yang
berhubungan dengan akal pikiran. Karena sebenarnya manusia itu mempunyai dua
jiwa, yakni jiwa yang berhubungan dengan kehidupan dan akan terpisah ketika
datangnya maut dan akan hilang seiring dengan hilangnya kehidupan manusia
tersebut dari dunia.
Jiwa yang kedua adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran, yang
terpisah ketika tidur dan tidak akan hilang dengan hilangnya jiwa-jiwa (ruh-ruh).
Maka ketika Allah SWT menetapkan kematian seseorang, maka Dia akan menahan
ruh-ruh tersebut untuk tidak kembali kepada jasadnya. Dalam kondisi yang lain Allah
SWT akan melepaskan ruh-ruh tersebut kembali kepada jasadnya, ketika kematian

8
tidak ditetapkan atasnya, hingga datang saat ajal kematiannya. Dikatakan juga bahwa
sesungguhnya manusia itu mempunyai nafs pada jasad. Kemudian, ketika manusia
terbangun dari tidurnya, kembali ruh tersebut ke dalam jasad dengan segera.

Anda mungkin juga menyukai