2. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/μm dan tebal 0,3-0,6/μm. Spesies lain dari kuman ini yang
dapat menyebabkan infeksi pada manusia adalah mycobacterium bovis, mycobacterium
kansasii, mycobacterium intracellulare.
4. Fatofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis. dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam
udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari– hari
sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel
pada jalan nafas atau paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5 mikrometer.
Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakea bronkhial
bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru maka ia akan
tumbuh dan berkembang 8 biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk
ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang ghon (fokus). Sarang primer ini
dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila menjalar sampai ke pleura maka terjadi efusi
pleura. Kuman dapat juga masuk ke dalam saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring,
dan kulit. Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru,
otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh
bagian paru dan menjadi TB milier.
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan
diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis regional). Sarang primer limfangitis lokal
serta regional menghasilkan komplek primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu
3–8 minggu. Berikut ini menjelaskan skema tentang perjalanan penyakit TB Paru hingga
terbentuknya tuberkel ghon.
5. Pathway
6. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi pada umumnya akan memperlihatkan adanya :
a. Anemia, terutama bila penyakit berjalan menahun
b. Leukositosis ringan dengan predominasi limfosit
c. Laju Endap Darah (LED) meningkat terutama pada fase akut,
tetapi pada umumnya nilai-nilai tersebut normal pada tahap
penyembuhan
2. Pemeriksaan radiologi
a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
b. Bayangan lesi radiologik yang terletak di lapangan atas paru
c. Bayangan yang berawan atau berbecak
d. Adanya kavitas tunggal atau ganda
e. Adanya kalsifikasi
f. Kelainan bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru
g. Bayangan yang menetap atau relatif setelah beberapa minggu
3. Pemeriksaan bakteriologik (sputum)
Ditemukan kuman mikobakterium tuberkulosis dari dahak penderita,
memastikan diagnosis TB paru pada pemeriksaan dahak.
4. Uji tuberculin
Sangat penting bagi diagnosis tersebut pada anak. Hal positif pada orang
dewasa kurang bernilai.
7. Penatalaksaaan
Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 %
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman
yang sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10
mg/kg berat badan.
Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35
mg/kg berat badan.
Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis
harian 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali
seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti
Tuberculosis (OAT).
Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang
lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis
Kategori 1 (211RZE/4113R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z)
dan Etambutol(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2
bulan (2 HRZE), kemudian teruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk :
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
setiap hari selama 1 bulan
8. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Merupakan dasar utama dari proses keperawatan. Melalui pengkajian ini, semua data
pasien dapat dikumpulkan untuk menentukan masalah–masalah keperawatan yang
mungkin timbul pada setiap kasus penyakit Tuberkulosis Paru. Pengkajian menurut
Doenges (1999) meliputi
a) Identitas Pasien.
Pengkajian ini mencakup nama klien, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama,
suku/bangsa, status perkawinan, alamat, tanggal masuk RS, diagnosa medis, ruang dan
nomor register.
b) Identitas Penanggung Jawab.
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pelajaran, agama, alamat, hubungan
dengan klien.
c) Aktifitas/istirahat.
Gejala : Kelelahan umum dan kelemahan.
Napas pendek karena kerja.
Kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam hari, menggigil dan atau berkeringat.
Tanda : Takikardia, takipnea/dispnea pada kerja.
Kelelahan otot, nyeri, dan sesak (tahap lanjut).
d) Integritas Ego
Gejala : Adanya/faktor stres lama.
Masalah keuangan, rumah.
Perasaan tak berdaya/etnik : madura, dll.
Tanda : Menyangkal (khususnya selama tahap dini).
Ansietas, ketakutan, mudah terangsang.
e) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan.
Tak dapat mencerna.
Penurunan berat badan.
Tanda : Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik.
Kehilangan otot/hilang lemak subkutan.
f) Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda : Berhati–hati pada area yang sakit. perilaku distraksi, gelisah.
g) Pernapasan
Gejala : Batuk, produktif atau tak produktif.
Napas pendek.
Riwayat tuberkulosis/terpajan pada individu terinfeksi.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan.
Pengembangan pernapasan tak simetris.
Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau penebalan pleural).
Karakteristik sputum : Hijau/purulen, mukoid kuning, atau bercak darah.
Deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata, perubahan mental (tahap lanjut)
h) Keamanan
Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, Kanker.
Tes HIV positif.
Tanda : Demam rendah atau panas akut.
i) Interaksi Sosial.
Gejala : Perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular.
Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran.
j) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga Tuberkulosis
Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk
Gagal untuk membaik/kambuhnya tuberkulosis paru dan tidak berpartisipasi dalam terapi.
Rencana pemulangan : memerlukan bantuan dengan/gangguan dalam terapi obat dan
bantuan perawatan diri dan pemeliharaan/perawatan rumah.
9. Diagnosa Keperawatan
a) pola napas tidak efektif
Jakarta : EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2016), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2016), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),