Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

1. Pengertian K3

Kesehatan kerja (Health) adalah suatu keadaan seorang pekerja yang

terbebas dari gangguan fisik dan mental sebagai akibat pengaruh interaksi

pekerjaan dan lingkungannya (Kuswana, 2014). Kesehatan kerja adalah

spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar

pekerja/masyarakat memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik

fisik, atau mental maupun sosial dengan usaha- usaha preventif dan kuratif

terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor

pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum

(Sucipto, 2014).

Keselamatan kerja (Safety) suatu keadaan yang aman dan selamat dari

penderitaan dan kerusakan serta kerugian di tempat kerja, baik pada saat

memakai alat, bahan, mesin-mesin dalam proses pengolahan, teknik

pengepakan, penyimpanan, maupun menjaga dan mengamankan tempat serta

lingkungan kerja (Kuswana, 2014).

Kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk

menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya

baik fisik, mental maupun emosi terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat

dan lingkungan, serta menyangkut berbagai unsur dan pihak (Sucipto, 2014).

9
2. Konsep K3

Keselamatan kerja dapat diartikan sebagai keadaan terhindar dari

bahaya selama melakukan pekerjaan. Dengan kata lain keselamatan kerja

merupakan salah satu faktor yang harus dilakukan selama bekerja. Tidak ada

seorangpun di dunia ini yang menginginkan terjadinya kecelakaan.

Keselamatan kerja sangat bergantung pada jenis, bentuk dan lingkungan

dimana pekerjaan itu dilaksanakan.

Kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja adalah upaya perlindungan

bagi tenaga kerja/pekerja agar selalu dalam keadaan sehat dan selamat selama

bekerja di tempat kerja. Tempat kerja adalah ruang tertutup atau terbuka,

bergerak atau tetap, atau sering digunakan/dimasuki oleh tenaga kerja/pekerja

yang di dalamnya terdapat 3 unsur, yaitu: adanya suatu usaha; adanya sumber

bahaya; adanya tenaga kerja/pekerja yang bekerja di dalamnya, baik secara

terus menerus maupun hanya sewaktu-waktu (Triwibowo & Pusphandani,

2013).

3. Ruang Lingkup K3

Ruang lingkup K3 sangat luas, di dalamnya termasuk perlindungan

teknis yaitu perlindungan terhadap tenaga kerja/pekerja agar selamat dari

bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan,

dan sebagai usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan

penyakit akibat kerja. K3 harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat

kerja (Triwibowo & Pusphandani, 2013).

10
4. Tujuan K3

Tujuan K3 pada intinya adalah untuk melindungi pekerja dari

kecelakaan akibat kerja. (Triwibowo & Pusphandani, 2013) mengemukakan

bahwa tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah untuk tercapainya

kesehatan dan keselamatan seseorang saat bekerja dan setelah bekerja

(Gayatri, 2014).

Budaya K3 yang baik akan terbentuk setelah usaha-usaha penerapan

program K3 dan pencegahan kecelakaan secara konsisten dan bersifat jangka

panjang. K3 merupakan kendaraan untuk melakukan sesuatu secara benar

pada waktu yang tepat. Dapat disimpulkan bahwa pencegahan kecelakaan

merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Tiga alasan yang

menyebabkan aspek K3 harus diperhatikan yaitu: faktor kemanusiaan; faktor

pemenuhan peraturan dan perundang-undangan; dan faktor biaya. (Cecep,

2014).

5. Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan yang membuat orang

mengalami kesakitan atau cedera mulai dari cedera ringan seperti (luka ringan

dan memar) sampai dengan cedera yang fatal yang membuat seseorang

kehilangan nyawanya yang disebabkan oleh tindakan tidak aman seseorang

saat bekerja (unsafe action) dan kondisi tidak aman seseorang saat bekerja

(unsafe condition) sehingga kecelakaan kerja ini akan berdampak juga pada

lingkungan. Kecelakaan kerja juga banyak terjadi karena mesin atau peralatan

kerja lainnya seperti bejana tekan atau pesawat uap, karena di setiap tempat

11
kerja mempunyai karakteristik mesin yang berbeda-beda sehingga tidak

menyebabkan dampak buruk mulai dari luka ringan sampai dengan kematian

(Cecep, 2014).

Menurut Bird & German dalam teorinya yaitu tentang ILCI Loss

Causation Model yang menjelaskan bahwa kecelakaan kerja bisa terjadi

karena 5 faktor, dimana kecelakaan ini diakibatkan dari faktor-faktor yang

saling berurutan satu sama lain dan pada akhirnya berdampak atau berakibat

pada kecelakaan dan kerugian. Teori ini menjelaskan bahwa kecelakaan itu

dapat terjadi karena adanya risiko bahaya yang mana risiko ini dapat terjadi

karena adanya peluang atau kemungkinan (likelihood) seperti unsafe action

(tindakan tidak aman), unsafe condition (kondisi tidak aman), job factor

(faktor pekerjaan), personal factor (faktor individu) sehingga dapat berakibat

atau menyebabkan consequence dari kecelakaan itu sendiri kepada manusia,

lingkungan dan keuangan (finance) (Ardan, 2015).

B. Boot

1. Pengertian

Boot adalah jenis kapal taksi tercepat. Sfiberglass, bisa mengangkut

penggerak berupa mesin tempel berkapasitas 40 PK. memiliki kesan mewah, atau

bisa dikatakan sebagai angkutan kelas satu sebab selain cepat, barang bawaan

terbatas juga tarif penumpang lebih mahal dari angkutan lain.

Long Boat adalah perahu lebih banyak namun kalah cepat dengan speed boat

mengangkut penumpang 10 hingga 15 orang. Tenaga penggeraknya sama seperti

speed boat. Speed Boat adalah jenis kapal taksi tercepat. Speed B, bisa

12
mengangkut maksimal penumpang 8 penggerak berupa mesin tempel berkapasitas

40 PK. memiliki kesan mewah, atau bisa dikatakan sebagai angkutan kelas satu

sebab selain cepat, barang bawaan terbatas juga tarif penumpang lebih mahal dari

angkutan lain.

Boot adalah perahu bentuk lebih panjang dan memua lebih banyak namun

kalah cepat dengan speed boat. Long Boat mengangkut penumpang 10 hingga 15

orang. Tenaga penggeraknya sama speed boat dengan mesin tempel berkapasitas

40 PK.

2. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang alat pelindung diri dinyatakan

bahwa alat pelindung diri yang selanjutnya disingkat APD merupakan suatu alat

yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya

mengisolasi sebagai atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Sesuai

dengan peraturan ini, maka pengusaha wajib menyediakan ADP bagi pekerja atau

buruh di tempat kerja. APD tersebut harus sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku serta wajib diberikan oleh pengusaha

secara Cuma-Cuma. Selain itu, pengusaha/pengurus wajib mengumumkan Secara

tertulis dan memasang rambu-rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di

tempat kerja (Tofan AEP dan Yudi A ,2016).

Alat pelindung diri adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja

sesuai kebutuhan untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di

13
sekelilingnya (Kusuma dan Darmastuti, 2016) . Pada umumnya alat alat tersebut

terdiri dari:

a.Topi keselamatan (Safety Helmet)

Berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai kepala

secara langsung. Safety Helmet diciptakan guna melindungi kepala terhadap

special resisting penetration semisal terbentur dengan pipa ataupun atap serta

menghindari kepala dari terjatuhnya benda berat dari atas. Penggunaan Safety

helmet dengan benar serta tepat bisa memberikan perlindungan yang maksimal

terhadap kepala.

b. Tali Keselamatan (Safety Belt)

Berfungsi sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat transportasi ataupun

peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain)

c.Tali Pengaman (Safety Harness)

Berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian

d. Sepatu Karet (Sepatu Boot)

Berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat yang becek maupun

berlumpur

e.Kacamata keselamatan (safety glasses/goggles)

Berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja, Kacamata pengaman

digunakan untuk melindungi mata dari debu kayu, batu, serpihan besi yang

beterbangan ditiup angina, mengingat partikel-partikel debu berukuran sangat

kecil yang terkadang tidak terlihat/kasat oleh mata.

f. Masker (Respirator)

14
Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat dengan

kualitas udara yang buruk (misal berdebu, beracun, berasap, dan sebagainya).

g. Sarung Tangan

Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerjadi tempat atau situasi

yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Tujuan utama penggunaan sarung

tangan adalah melindungi tangan dari benda-benda keras dan tajam selama

menjalankan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang memerlukan sarung tangan adalah

pekerjaan pembesian, pekerjaan kayu dan pekerjaan-pekerjaan yang

memerlukan pegangan yang keras.

h. Sepatu Pelindung (Safety Shoes)

Berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki karena tertimpa

benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dan sebagainya.

i. Wearpack

Fungsi dari wearpack pada umumnya adalah untuk melindungi tubuh dari hal

yang dapat membahayakan atau mengakibatkan keceakaan saat bekerja. Sebagai

alat pelindung diri warepack juga sebagai identitas yang bertujuan untuk

menyeragamkan pekerja dan menunjukan identitas jabatan.

j. Rompi

Digunakan untuk melindungi badan. Selain itu, garis yang ada di rompi schotlite

juga merupakan tanda supaya pekerja terlihat di malam hari. Kepatuhan

penggunaan APD memiliki pengaruh terhadap keselamatan pekerja. (Perwitasari

dan Anwar, 2006 dalam Praseya dan Yudi, 2016) menyebutkan bahwa

ketidakpatuhan pekerja dalam penggunaan APD mempengaruhi risiko

15
kecelakaan yang diderita pekerja. APD telah disediakan oleh perusahaan untuk

pekerja, hanya saja terdapat beberapa pekerja yang tidak mengikuti kebijakan

perusahaan sehingga meningkatkan risiko kecelakaan

C. Metode Analisis Bahaya

Menganalisis bahaya yang dapat terjadi ditempat kerja dapat dilakukan dengan

beberapa metode seperti berikut:

1. Check List

Merupakan suatu metode untuk menganalisa menggunakan daftar tertulis yang

terstruktur untuk menganalisa suatu sistem. Metode Check List ini seringkali

disebut Experience base Analysis. Penggunaan daftar yang tertulis sangat

ditekankan sebisa mungkin untuk mendetail di setiap unit kegiatan di dalam

sistem tersebut. Maka dari itu analisis ini sering digunakan untuk menganalisa

suatu sistem dengan standar, misalnya SOP, UU, dan lain-lain. Karakter metode

analisis ini adalah mudah digunakan oleh “Less Experience Engineer”. Analisis

ini harus terus di audit dan di upgrade annually. Tujuan dari pelaksanaan analisis

ini adalah untuk memastikan dan menjamin bahwa perusahaan telah memenuhi

standar yang telah ditentukan. Prosedur pelaksanaannya adalah:

Memilih/membuat daftar pertanyaan yang terstruktur, pelaksanaan dan survey,

dokumentasi hasil dan analisa (Sihombing, Walangitan and Prastasis, 2014).

2. Hazard and Operability (HAZOP)

Hazop (Hazard and Operability) merupakan suatu teknik untuk mengidentifikasi

bahaya yang sangat terstruktur dan komprehensif dimana metode ini digunakan

untuk mengidentifikasi suatu proses atau unit operasi pada tahap perancangan

16
bangunan, konstruksi, operasi maupun modifikasi. Prinsip dasar metode

HAZOP ini adalah memeriksa bagaimana suatu risiko dapat terjadi pada sistem

yang disebabkan adanya penyimpanan proses dari desain yang telah ditetapkan

dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. HAZOP secara sistematis mengidentifikasi

setiap kemungkinan penyimpangan dari kondisi operasi yang telah ditetapkan,

mencari berbagai faktor penyebab yang mungkin dapat muncul dari kondisi

abnormal tersebut selanjutnya menentukan konsekuensi yang dapat merugikan

sebagai akibat terjadinya penyimpangan serta memberikan atau melakukan

rekomendasi yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengurangi dampak dari

potensi risiko yang telah dilakukan identifikasi.

Beberapa kelebihan dari metode analisa HAZOP adalah :

a. Mudah dipelajari

b. Memacu kreatifitas dan membangkitkan ide-ide

c. Sistematis

d. Diterima secara luas sebagai salah satu metode identifikasi bahaya

e. Tidak hanya fokus pada safety, karena juga mengidentifikasi hazard

(mencegah kecelakaan) dan operability (berjalan lancarnya suatu

proses sehingga meningkatkan plant performance).

Sedangkan kelemahan penerapan metode HAZOP adalah:

a. Sangat bergantung kepada kemampuan anggota lain

b. Memerlukan waktu yang panjang dan menentukan

c. Perlu komitmen tim dan manajemen

17
3. Metode Failure Mode And Effects Analysis (FMEA)

Metode (J., H. and W.I., 2017) Failure Mode And Effects Analysis (FMEA)

merupakan teknik analisis risiko secara sirkulatif yang digunakan untuk

mengidentifikasi bagaimana suatu peralatan, fasilitas/sistem dapat gagal serta

akibat yang dapat ditimbulkannya. Hasil FMEA berupa rekomendasi untuk

meningkatkan kehandalan tingkat keselamatan fasilitas, peralatan/sistem. Dalam

konteks Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kegagalan yang dimaksudkan

dalam definisi ini merupakan suatu bahaya yang muncul dari suatu proses.

Pencegahan terjadinya kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan cara

mengontrol terjadinya kecelakaan kerja yang mempunyai risiko tinggi baik

dalam hal akibatnya kemungkinan terjadinya dan kemudahan pendeteksiannya.

Berdasarkan hal itu FMEA merupakan metode yang tepat untuk dilakukan

karena metode FMEA mengukur tingkat risiko kecelakaan kerja secara

konvensional berdasarkan tiga parameter yaitu keparahan/Severity (S),

kejadian/Occurrence (O) dan deteksi/Detection (D). Disamping keunggulan dan

kemudahan metode FMEA, terdapat beberapa kelemahan yang tidak dapat

dihindarkan.

4. Metode Fault Tree Analysis (FTA)

Menurut (Sinaga, N and Adi, 2014) Fault Tree Analysis (FTA) suatu model

diagram yang terdiri dari beberapa kombinasi kesehatan (fault) secara paralel

dan secara berurutan yang mungkin menyebabkan awal dari failure event yang

sudah ditetapkan. Secara sederhana FTA dapat diuraikan sebagai suatu teknis

analitis dimana suatu status yang tidak diinginkan menyangkut kesehatan suatu

18
sistem yang dianalisa dalam konteks operasi dan lingkungannya untuk

menemukan semua cara yang dapat dipercaya dalam peristiwa yang tidak

diinginkan dapat terjadi. FTA bersifat top-down, artinya analisa yang dilakukan

dimulai dari kejadian umum (kerusakan secara umum) selanjutnya penyebabnya

(khusus) dapat ditelusuri ke bawahnya

Sebuah fault tree mengilustrasikan keadaan dari komponen-komponen sistem

(basis event) dan hubungan antara basic event dan top event. Simbol diagram

yang dipakai untuk menyatakan hubungan tersebut disebut gerbang logika (logic

gate). Output dari sebuah gerbang logika ditentukan oleh event yang masuk ke

gerbang tersebut.

D. HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment And Risk Control)

1. Tujuan HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment And Risk

Control)

Menurut Salmawati dan teman-teman dalam penelitian mereka bahwa tujuan

dari HIRARC adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengidentifikasi semua faktor yang dapat menyebabkan kerugian

bagi pekerja dan orang lain yang ada di tempat kerja.

b. Untuk mempertimbangkan apa saja kemungkinan dari kerugian tersebut

benar-benar terjadi pada kasus tertentu dan kemungkinan

b. tingkat keparahan yang mungkin timbul dari bahaya tersebut atau risiko

dari bahaya yang akan terjadi.

19
a. Untuk memungkinkan pemimpin ataupun manajer merencanakan,

memperkenalkan, melakukan dan memantau tindakan pencegahan untuk

memastikan bahwa risiko tersebut dikendalikan secara benar setiap saat.

2. Langkah-langkah HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment

And Risk Control)

Melakukan identifikasi menggunakan HIRARC menurut Purnama dalam

penelitiannya maka membutuhkan beberapa langkah-langkah dalam

melakukan identifikasi menggunakan HIRARC ada 4 yaitu :

a. Klasifikasi aktivitas pekerjaan

b. Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis agar diketahui adanya

bahaya dalam aktivitas organisasi. Identifikasi bahaya merupakan

langkah awal dari manajemen risiko. Tanpa identifikasi bahaya tidak

mungkin pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan baik.

Identifikasi potensi bahaya merupakan suatu cara untuk menemukan

yang mana sumber energi yang digunakan di tempat kerja tanpa adanya

pengendalian yang memadai. Pada kebanyakan kasus bahwa kecelakaan

dan kerusakan terjadi karena adanya kontak dengan sumber energi yang

melampaui nilai ambang batas tubuh atau struktur bahan. Sumber-

sumber energi sebagai bahaya yang ada, sangat tergantung dari jenis dan

kondisi tempat kerjanya, dan semuanya mempunyai potensi untuk

menyebabkan gangguan sekecil apapun risikonya. (Nurwati., 2015)

20
Kesadaran akan adanya potensi bahaya di suatu tempat kerja merupakan

langkah pertama dan utama di dalam upaya pencegahan kecelakaan

secara efektif dan efisien. Data yang diperoleh dari hasil identifikasi

akan sangat bermanfaat dalam merencanakan dan melaksanakan suatu

upaya pencegahan kecelakaan selanjutnya (Sihombing, Walangitan and

Prastasis, 2014). Identifikasi bahaya antara lain meliputi :

1) Pengenalan jenis pekerjaan yang mengandung terjadinya

kecelakaan

2) Pengenalan komponen peralatan dan bahan-bahan berbahaya yang

digunakan dalam proses kerja

3) Lokasi pelaksanaan pekerjaan

4) Sifat dan kondisi tenaga kerja yang menangani

5) Perhatian manajemen terhadap kecelakaan

6) Sarana dan peralatan pencegahan dan pengendalian yang tersedia,

dll.

Identifikasi bahaya meliputi faktor-faktor bahaya di tempat kerja antara lain () :

a) Bahaya Biologi

b) Jamur, virus, bakteri, mikroorganisme, tanaman, binatang.

c) Bahaya Kimia

Bahan/material/gas/uap/debu/cairan beracun, berbahaya, mudah

meledak/menyala/terbakar, korosif, iritan, bertekanan, reaktif, radioaktif,

oksidator, penyebab kanker, bahaya pernafasan, membahayakan

lingkungan, dsb.

21
d) Bahaya Fisik

Infrastruktur, mesin/perlengkapan/kendaraan/alat berat, ketinggian,

tekanan, suhu, ruang terbatas/terkurung, cahaya, listrik, radiasi,

kebisingan, getaran dan ventilasi.

e) Bahaya Ergonomi

Postur/posisi kerja, pengangkutan manual, gerakan berulang serta

ergonomi tempat kerja/alat/mesin.

f) Bahaya Psikologi

Berlebihnya beban kerja, komunikasi, pengendalian manajemen,

lingkungan sosial tempat kerja, kekerasan dan intimidasi.

g) Identifikasi bahaya adalah salah satu tahapan dari manajemen risiko K3

yang bertujuan untuk mengetahui semua potensi bahaya yang ada pada

suatu kegiatan kerja/ proses kerja tertentu.

Identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat antara lain (Zhang et

al., 2013):

1) Mengurangi peluang kecelakaan karena dengan melakukan

identifikasi dapat diketahui faktor penyebab terjadinya

kecelakaan.

2) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai

potensi bahaya yang ada dari setiap aktivitas perusahaan, sehingga

dapat meningkatkan pengetahuan karyawan untuk meningkatkan

kewaspadaan dan kesadaran akan safety saat bekerja.

22
3) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi

pencegahan dan penanganan yang tepat, selain itu perusahaan

dapat memprioritaskan tindakan pengendalian berdasarkan potensi

bahaya tertinggi.

4) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber

bahaya dalam perusahaan.

Cara melakukan identifikasi bahaya adalah:

a. Tentukan pekerjaan yang akan diidentifikasi

b. Urutkan langkah kerja mulai dari tahapan awal sampai pada tahap akhir

pekerjaan.

c. Kemudian tentukan jenis bahaya apa saja yang terkandung pada setiap

tahapan tersebut, dilihat dari bahaya fisik, kimia, mekanik, biologi,

ergonomi, psikologi, listrik dan kebakaran.

d. Setelah potensi bahaya diketahui, maka tentukan dampak/kerugian yang

dapat ditimbulkan dari potensi bahaya tersebut.

e. Kemudian catat dalam tabel, semua keterangan yang didapat. Salah satu

metode yang dapat digunakan dalam melakukan identifikasi risiko.

f. Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan membuat suatu daftar

periksa tempat kerja (check list). Melalui daftar periksa dapat dilakukan

pemeriksaan terhadap seluruh kondisi lingkungan kerja seperti mesin,

penerangan, kebersihan, penyimpanan material dan lainnya. Daftar

periksa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, kondisi, sifat kegiatan

dan jenis bahaya yang dominan.

23
D. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Penilaian risiko adalah proses keseluruhan identifikasi risiko, analisis risiko, dan

evaluasi risiko. Risiko dapat dianalisis pada tingkat organisasi, tingkat

departemen, untuk proyek, aktivitas individual dan risiko spesifik. Sehingga

dapat dikatakan bahwa penilaian risiko ini dapat diaplikasikan baik untuk

pekerjaan rutin maupun pekerjaan non rutin. Pekerjaan rutin adalah pekerjaan

yang biasa dilakukan dalam suatu proses bisnis atau proses produksi dalam

menghasilkan suatu produk atau jasa layanan, misalnya: pekerjaan di line

produksi, pekerjaan operasional yang bersifat administratif dan lainnya. Semen

pekerjaan non rutin adalah pekerjaan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu

dan bukan merupakan pekerjaan inti yang selalu harus dilalui dalam upaya

menghasilkan produk ataupun jasa layanan, misalnya: pekerjaan di ketinggian,

pekerjaan di ruang terbatas, pekerjaan panas, dan lain sebagainya. Walaupun

untuk sektor- sektor pekerjaan tertentu pekerjaan non rutin ini bisa menjadi

pekerjaan rutin pada institusi tertentu (Mallapiang, Raodhah and Hamda, 2016) .

Dalam penilaian risiko terdiri dari beberapa langkah kerja sebagaimana

didetilkan pada uraian dibawah ini :

1. Identifikasi risiko

Mengidentifikasi sumber risiko berupa bahan, mesin yang digunakan,

alat yang ada, prosedur yang harus dilakukan serta tipikal manusia yang

terlibat didalamnya (Romadhoni et al., 2017). Dalam identifikasi risiko

harus melakukan :

a. Mencakup pemeriksaan dari konsekuensi tertentu.

24
b. Menyusun dan menerapkan alat-alat atau instrumen identifikasi

risiko dan metode yang sesuai dengan tujuan serta kemampuan

organisasi dalam menghadapi besar kecilnya risiko.

c. Orang dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat untuk

mengidentifikasi risiko sesuai dengan jenis risiko.

2. Analisis risiko

Analisis risiko yaitu konsekuensi dan kemungkinan/ keseringan yang

ditentukan untuk mengetahui tingkat resiko yang telah diidentifikasi,

sehingga kita mampu mengetahui instrumen dan metode/teknik penilaian

risiko yang akan digunakan. Analisa risiko merupakan suatu tahapan

proses untuk menentukan besarnya suatu risiko yang merupakan

kombinasi antara kemungkinan terjadinya (likelihood) dan keparahan

bila risiko tersebut terjadi (consequence) (Romadhoni et al., 2017).

Analisis risiko dapat dilakukan untuk berbagai tingkat tergantung pada

risiko, tujuan analisis dan informasi, data dan sumber daya yang tersedia.

Teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis risiko, yaitu

teknik semi kuantitatif, yang dalam analisa risiko lebih baik dalam

mengungkapkan tingkat risiko dibandingkan dengan teknik kualitatif.

Teknik ini juga dapat menggambarkan tingkat risiko yang lebih konkret

dibandingkan dengan teknik kualitatif (Ramli, 2010).

3. Evaluasi risiko

Tujuan dari evaluasi risiko adalah untuk membantu dalam pembuatan

keputusan. Evaluasi risiko dilakukan dengan membandingkan tingkat

25
risiko yang ditemukan selama proses analisis dengan kriteria risiko yang

ditetapkan dalam menentukan konteks. Dallam membuat keputusan

harus mempertibangkan konteks yang lebih luas dari risiko yang ada,

tidak hanya organisasi tertentu namun juga pihak lain yang terkait.

Keputusan harus dibuat sesuai dengan hukuman, peraturan dan

persyaratan lain. (Widowati, 2017) Evaluasi risiko merupakan suatu

tahapan proses untuk menilai apakah risiko tersebut dapat diterima atau

tidak, dengan membandingkan terhadap standar yang berlaku atau

kemampuan organisasi (perusahaan) dalam menghadapi risiko tersebut

(Ramli, 2010).

Risiko dapat disajikan dengan berbagai cara untuk menjelaskan hasil

analisis sehingga dapat diambil keputusan mengenai pengendalian risiko

yang tepat dan sesuai. Untuk analisis risiko yang menggunakan

kemungkinan dan tingkat keparahan dengan metode kualitatif,

menyajikan hasil analisis tersebut dalam matriks risiko merupakan cara

yang sangat efektif untuk dijelaskan dan dikomunikasikan tentang risiko

di seluruh area tempat kerja (FEBRIYANTO, 2017). Dalam melakukan

penilaian risiko dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

L x S = Risiko Relatif

L : Kemungkinan dari bahaya yang akan terjadi

S : Tingkat keparahan dari bahaya yang terjadi

Tabel 2.3 Skala “Risk Matrix” pada standard (AS/NZS 4360)

26
Tabel 2.3 Skala “Risk Matrix” pada standard (AS/NZS 4360)

Likelihood (L)1 2 3 4 5

5 5 10 15 20 25
4 4 8 12 16 20
3 3 6 9 12 15
2 2 4 6 8 10
1 1 2 3 4 5
High Medium Low

Untuk menggunakan matriks ini, pertama temukan kolom tingkat keparahan

(Consequence) yang paling menggambarkan hasil dari risiko. Kemudian ikuti

baris kemungkinan dari kejadian yang akan terjadi untuk menemukan keparahan

yang akan terjadi. Tingkat risiko diberikan nilai pada kotak tempat baris dan

kolom yang telah ditentukan. Nilai risiko relatif dapat digunakan untuk

memprioritaskan tindakan pengendalian yang diperlukan dilakukan untuk

mengelola bahaya di tempat kerja secara efektif. Tabel 2.6.3 menentukan

prioritas berdasarkan rentang berikut

27
Tabel 2.4 Standard (AS/NZS 4360)

RISK DESCRIPTION ACTION


Risiko TINGGI memerlukan tindakan segera
untuk mengendalikan bahaya secara terperinci
dalam hierarki kontrol. Tindakan yang dilakukan
15-25 HIGH
harus didokumentasikan pada formulir penilaian
risiko termasuk tanggal penyelesaian

Risiko MEDIUM memerlukan pendekatan


terencana untuk mengendalikan bahaya dan
menerapkan tindakan sementara jika diperlukan.
Tindakan yang dilakukan harus
5-12 MEDIUM
didokumentasikan pada formulir penilaian risiko
termasuk tanggal penyelesaian.
Risiko yang diidentifikasi sebagai RENDAH
dianggap dapat diterima dan pengurangan lebih
lanjut mungkin tidak diperlukan. Namun, jika
1-4 LOW risikonya bisa diselesaikan dengan cepat dan
efisien, tindakan pengendalian harus
dilaksanakan dan dicatat.

Bahaya dinilai, sebagai “Risiko Tinggi” harus segera dilakukan, untuk

mengatasi risiko keselamatan jiwa atau nyawa pekerja dan lingkungan tempat

kerja. Individu yang bertanggung jawab atas tindakan yang diperlukan,

termasuk tindak lanjut harus diidentifikasi dengan jelas.

E. Pengendalian Risiko (Risk Control)

Pengendalian Risiko adalah suatu cara untuk menghapus, meminimalisir atau

meniadakan bahaya dengan cara sedemikian rupa sehingga bahaya tersebut

28
tidak menimbulkan risiko bagi pekerja yang harus memasuki area atau

mengerjakan peralatan selama pekerjaan berjalan atau berlangsung. Bahaya

harus dikendalikan pada sumbernya (dimana masalah diciptakan). Semakin

dekat pengendalian terhadapa sumber bahaya maka akan semakin baik. Metode

ini sering disebut dengan menerapkan teknik kontrol. Jika ini tidak berhasil,

bahaya sering dapat dikendalikan di sepanjang jalan menuju pekerja, antara

sumber dan pekerja. Metode ini dapat disebut sebagai penerapan kontrol

administratif. Jika hal ini tidak memungkinkan, bahaya harus dikendalikan

dengan cara terakhir pada tingkat pekerja yaitu melalui penggunaan alat

pelindung diri (APD), walaupun ini adalah kontrol yang paling lemah dan

paling tidak diinginkan (Soputan, Sompie and Mandagi, 2014). Upaya dalam

pengendalian risiko yaitu untuk menghilangkan atau meminimalisir bahaya

serendah mungkin agar tidak adanya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja

dan kerugian pada suatu instansi atau perusahaan. Dalam melakukan

pengendalian risiko dapat dilakukan secara sistematis atau berurutan sesuai

dengan OHSAS 18001 yaitu standar persyaratan untuk hirarki pengendalian

(Afandi, Anggraeni and Mariawati, 2015).

29
F. Kerangka Teori

Klasifikasi Kegiatan

Identifikasi Bahaya

Analisis Risiko

Penilaian Bahaya Penilaian Pajanan

Karakteristik Risiko

Review
Akibat/
Peluang/
(Consequence)
Kemungkinan

Penilaian Risiko

Menyediakan Tindakan
Rencana Pengendalian Risiko

Pelaksanaan

30

Anda mungkin juga menyukai