Anda di halaman 1dari 160

PENGARUH PENERAPAN SURGICAL SAFETY CHECKLIST DENGAN

KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASI PADA PASIEN SECTIO


CAESAREA DI RSUD TENRIAWARU
KABUPATEN BONE TAHUN 2017

EFFECT OF SURGICAL SAFETY CHECKLIST IMPLEMENTATION ON


SURGICAL INJURY INFECTION OF CAESAREAN SECTION PATIENTS
IN TENRIAWARU HOSPITAL BONE DISTRICT 2017

ANDI ADRIANA AT

P1806213514

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
PENGARUH PENERAPAN SURGICAL SAFETY CHEKLIST
DENGAN KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASI PADA
PASIEN SECTIO CAESAREA DI RSUD TENRIAWARU
KABUPATEN BONE TAHUN 2017

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Kesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

ANDI ADRIANA AT

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
iii
iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Andi Adriana A T


Nomor mahasiswa : P1806213514
Program studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.

Makassar, 28 November 2017


Yang menyatakan,

Andi Adriana A T
v

PRAKATA

Bismillahirahmanirahim

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Penerapan Surgical Safety

Checklist Dengan Kejadian Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Sectio

Caesaree DI RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone TAHUN 2017”.Tesis ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kesehatan pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program

Pasca sarjana Universitas Hasanuddin.

Penyusunan tesis ini dapat penulis selesaikan berkat kesediaan

pembimbing untuk meluangkan waktunya memberikan petunjuk, arahan

dan motivasinya. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada Ibu Dr. Fridawaty Rivai, SKM. MARS dan Bapak Dr.dr.

Khalid Saleh, Sp.PD (K), FINASIM. MARS selaku Pembimbing I dan

Pembimbing II, yang penuh kesabaran memberikan bimbingan, masukan

dalam proses penyusunan tesis ini.

Selain itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Hasanudin dan Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin Makassar.


vi

2. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar dan

Dr.Syahrir A. Pasinringi, MS selaku Ketua Konsentrasi Administrasi

Rumah Sakit.

3. Dr. dr. Noer Bahry Noor, M.Sc., Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH dan

Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.Sc.PH selaku Tim

Penguji yang telah memberikan saran, arahan dan kritikan yang

bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

4. dr. Hj. Nurminah A. Yusuf, MARS selaku direktur RSUD Tenriawaru

Bone serta seluruh pegawai yang terlibat dalam proses penyusunan

tesis ini.

5. Segenap dosen pengajar Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana khususnya Bagian Manajemen Rumah Sakit

atas segala ilmu yang dicurahkan.

6. Teman-teman seperjuangan Bagian Magister Administrasi Rumah

Sakit. Dr. Resti Elvira Sarlim, drg. Mufidah Al’amri, Dian Ekawati,

dr.Sri Sumarti, Sukmasari Dwi, dan semua teman-teman angkatan

2013 Terima kasih kerjasama dan motivasinya.

7. Staff administrasi Bagian Magister Adminitrasi Rumah Sakit, kak Ija

dan Fuad terima kasih atas seluruh kemudahan dan bantuan yang

diberikan.

8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini.


vii

Sembah sujud dan kupersembahkan tesis ini terkhusus kepada

orang tua tercinta Ayahanda Andi Tabrani dan Ibunda Hj. Andi Caya.

Terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, dukungan, semangat,

dan doa restu di setiap langkah ini, kiranya amanah yang diberikan kepada

penulis tidak tersia-siakan. Terima kasih juga penulis berikan kepada

seluruh keluarga atas dukungan dan perhatian yang diberikan kepada

penulis selama menempuh pendidikan di Program Magister Kesehatan

Masyarakat Unhas.Terima kasih yang tak terhingga kepada suami terbaik

sepanjang masa dr.Buyung Sugianto, dengan kasih dan cinta serta

keikhlasannya memberikan ruang dan dukungan kepada saya untuk

menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita. Setia dan sabar

mendampingi baik suka maupun duka.

Akhirnya tiada yang dapat penulis lakukan selain memohon maaf

atas segala kekhilafan dan keterbatasan yang ada, sekaligus semoga Allah

SWT membalas segala budi baik yang telah diberikan dan memberkati kita

semua. Akhir kata semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Makassar, November 2017

Penulis
viii

ABSTRAK

ANDI ADRIANA. Pengaruh Penerapan Surgical Safety Checklist Terhadap


Kejadian Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Sectio Caesaria di RSUD
Tenriawaru Kabupaten Bone (dibimbing oleh Fridawaty Rivai dan Khalid
Saleh).

Tingginya kejadian infeksi luka operasi pada pasien pasca


pemebedahan menjadi salah satu masalah global. WHO membuat program
Safe Surgery Saves Live sebagai upaya untuk keselamatan pasien dengan
cara menggunakan Surgical Safety Checklist. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penerapan Surgical Safety Checklist terhadap
kejadian infeksi luka operasi apda pasien Sectio Caesaria di RSUD
Tenriawaru Bone. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone.
Penelitian bersifat observasional analitik dengan rancangan Kohort
Prospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien Sectio
Caesarea di Ruang IBS dan di ruang rawat inap dengan prosedur
penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu mengambil
responden dengan cara memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan dan
diperoleh total melalui observasi, kuesioner, dan dokumentasi. Analisis
multivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji regresi
logistik.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara penerapan
prosedur surgical safety checklist pada tahap sign-in dengan kejadian
infeksi setelah operasi SC dengan nilai p (0.048) < 0.05. hasil uji analisis
statistik, diperoleh hasil terdapat hubungan antara penerapan prosedur
Surgical Safety Checklist pada tahap time-out dengan kejadian infeksi
setelah operasi SC dengan nilai p (0.027) < (0.05). Hasil uji analisis
statistik, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara penerapan
prosedur Surgical Safety Checklist pada tahap sign-out dengan kejadian
infeksi setelah operasi SC dengan nilai p (0.488) > 0.05

Kata Kunci: Surgical Safety Checklist, Infeksi Luka Operasi, Sectio


Caesarea
ix

ABSTRACT

ANDI ADRIANA. Effect of Surgical Safety Checklist Implementation on


Surgical Wound Infection of Caesarean Section Patients in Tenriawaru
Hospital Bone District (supervised by Fridawaty Rivai dan Khalid Saleh).

The high incidence of surgical wound infections in post-surgical


patients becomes one of the global problems. WHO created Safe Surgery
Saves Live program as an effort to patient safety by using Surgical Safety
Checklist. This study aims to determine the effect of the application of
Surgical Safety Checklist to the incidence of wound infection surgery apda
patients Sectio Caesaria in Tenriawaru Bone Hospital. This research was
conducted in Bone District.
The research is analytic observational with Prospective Cohort
design. The population in this study were all patients of Sectio Caesarea in
the IBS Room and in the inpatient ward with the sampling procedure was
done by purposive sampling that took the respondents by taking into
account the predetermined criteria and obtained the total through
observation, questionnaire, and documentation. Multivariate analysis in this
research was done by using logistic regression test.
The result showed that there was correlation between application of
surgical safety checklist procedure at sign-in stage and incidence of
infection after SC surgery with p value (0.048) <0.05. the result of statistical
analysis test, it can be seen that there is a relationship between the
application of Surgical Safety Checklist procedure in the time-out stage with
the incidence of infection after SC operation with p value (0.027) <(0.05).
The result of statistical analysis test showed that there was no correlation
between the application of Surgical Safety Checklist procedure at the sign-
out stage with the incidence of infection after SC surgery with p value
(0.488)> 0.05.

Keywords: Surgical Safety Checklist, Surgical Wound Infection, Caesarean


Section
x

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………….. iii
PRAKATA ………………………………………………………….. v
ABSTRAK …………………………………………………………….. viii
ABSTRACT …………………………………………………….…….. ix
DAFTAR ISI……………………………………………………….…... x
DAFTAR TABEL ………………………………………………..……. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….….. xiv
DAFTAR ISTILAH ………………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xvi
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………… 1


B. Kajian Masalah ……………………………………………… 8
C. Rumusan Masalah …………………………………………. 14
D. Tujuan Penelitian …………………………………………… 15
E. Manfaat Penelitian …………………………………………. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang SSC……….……............................... 18
B. Tinjauan Tentang Sectio Caesarea…..…………………… 26
C. Tinjauan Tentang Keselamatan Pasien.………………….. 31
D. Tinjauan tentang Rumah Sakit…………………………….. 36
E. Sintesa Penelitian Terdahulu………….…………………… 42
F. Kerangka Teori………………………….…………………… 44
G. Kerangka Konsep……………………………………………. 45
H. Hipotesis……………….……………………………………... 45
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif….……………... 47
xi

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain Penelitian……………….……..……………………. 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian …..…………..……………... 52
C. Populasi dan Sampel...….…………………………………. 52
D. Teknik Penentuan Sampel.………………………………… 52
E. Teknik Pengumpulan Data….……………………………… 54
F. Pengolahan Data…..……..………………………………… 54
G. Analisis Data………..……………………………………….. 55
H. Etika Penelitian……..……………………………………….. 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................ 60
1. Analisis Univariat.......................................................... 61
2. Analisis Bivariat ............................................................ 69
3. Analisis Multivariat ....................................................... 73
B. Pembahasan .................................................................... 75
C. Dampak Manegerial Rumah sakit terhadap Kejadian Infeksi
Luka Operasi Serta Penaggulangannya .......................... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................... 121
B. Saran .............................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 123
xii

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Hal


1 Sintesa Penelitian Terdahulu 42

2 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 47

3 Tabel Perbandingan Proporsi Kelompok 56

4 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik di RSUD 61


Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
5 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Induksi (Sign- 63
In) di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
6 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Sign-In di 64
RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
7 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Incisi Kulit 65
(Time Out) di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
8 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Time-Out 65
di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
9 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum Pasien 66
Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out) di RSUD Tenriawaru
Kab. Bone Tahun 2017
10 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Sign-Out di 67
RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
11 Distribusi Pasien Berdasarkan Pelaksaan Prosedur Surgical 67
Safety Checklist di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
12 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Infeksi Luka Operasi 68
SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
13 Distribusi Pasien Berdasarkan Infeksi Luka Operasi SC di 68
RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
14 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety 69
Checklist tahap Sign-In dengan Kejadian Infeksi Post Operasi
SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
15 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety 70
Checklist tahap Time-Out dengan Kejadian Infeksi Post
Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety 71
16
Checklist tahap Sign-Out dengan Kejadian Infeksi Post
Operasi SC di RSUD Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
xiii

Tabel Judul Hal

17 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan Surgical Safety 72


Checklist dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Kab. Bone Tahun 2017
18 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Faktor yang Mempengaruhi 74
Kejadian Infeksi Setelah Operasi SC Tahun 2017
xiv
xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Kerangka Kajian Masalah 12

2 Kerangka Teori 44

3 Kerangka Konsep 45

4 Rancangan Penelitian Kohort 51


xv
xv

DAFTAR ISTILAH
1. SSC : Surgical Safety Checklist
2. AHA : American Hospital Association
3. ILO : Infeksi Luka Operasi
4. KTD : Kejadian Tidak di Harapkan
5. MDG’s : Millenium Development Goals
6. MENKES : Kementerian Kesehatan
7. NPSA : National Patient Safety Agency
8. RS : Rumah Sakit
9. SDM : Sumber Daya Manusia
10. SPM : Standar Kepuasan Minimal
11. SOP : Standar Operasional Prosedur
12. USA : United State American
13. UK : United Kingdom
14. WHO : World Health Organization
15. SURPASS : Surgical Patient Safety System
16. IBS : Instalasi Bedah Sentral
17. NNIS : National Nosocomial Infection Surveillace
18. SPO : Standar Prosedur Operasional
19. JCI : Joint Commission International
20. VAP : Ventilator Associated Pneumonia
21. ASA : American Society of Anesthesiologists
22. SC : Sectio Caesarea
23. KKP-RS : Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
24. KARS : Komite Akreditasi Rumah Sakit
25. BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
26. RR : Relative Risk
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Uraian Halaman


1 Lembar observasi Penelitian 129
2 Output Analisis Data 135
3 Surat Izin Penelitian 147
4 Dokumentasi 148
5 Curriculum Vitae 151
1
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan anugerah yang paling bermakna sebagai

manusia. Setiap manusia yang sakit pasti akan pergi ke pelayanan

kesehatan seperti rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dengan

terapi konservatif, namun tidak jarang pula klien yang sakit harus

mendapat tindakan pembedahan untuk proses penyembuhan

penyakitnya.

Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting

dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan bertujuan untuk

menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi.Namun

demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat menimbulkan

komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (Haynes, 2009). Oleh

sebab itu diperlukan pelayanan pembedahan yang aman untuk mengatasi

komplikasi pembedahan.

Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah

pembedahan. Data WHO tahun 2009 menunjukkan komplikasi utama

pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan 3-

16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang. Secara global

angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%. Diperkirakan

hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara

berkembang jika standar dasar tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).


2

World Health Organization (WHO) memperkirakan sedikitnya ada

setengah juta kematian akibat pembedahan yang sebenarnya bisa

dicegah . Di Inggris dan Wales, National Patient Safety Agency (NPSA)

melaporkan 127.419 insiden terkait pembedahan pada tahun 2008. Di

negara bagian Amerika Serikat yang hanya berpopulasi kurang dari 2%

dari total populasi Amerika Serikat dilaporkan terjadi 21 operasi pada sisi

yang salah hanya dalam satu tahun (Oktober 2008 s/d Oktober 2009).

Keadaan sesungguhnya kemungkinan lebih banyak lagi karena sebagian

besar insiden tidak dilaporkan (Amirullah Nurul, 2014).

Patient Safety juga merupakan salah satu dimensi mutu yang saat ini

menjadi pusat perhatian para praktisi pelayanan kesehatan dalam skala

nasional maupun global. World Health Organization (WHO)

memperkirakan sedikitnya ada setengah juta kematian akibat

pembedahan yang sebenarnya bisa dicegah. Program Safe Surgery

Saves Lives memperkenalkan dan melakukan uji coba Surgical Safety

Checklist sebagai upaya untuk keselamatan pasien dan mengurangi

jumlah angka kematian di seluruh dunia. Tujuan utama dari SSC untuk

menurunkan Kejadian Tidak diharapkan (KTD) di kamar operasi (Siagian,

2011). WHO (2009), menjelaskan bahwa SSC di kamar bedah digunakan

melalui 3 tahap, masing-masing sesuai dengan alur waktunya yaitu saat

sebelum induksi anestesi (Sign In), sebelum dilakukan insisi kulit (Time

Out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari kamar operasi (Sign Out).

SSC tersebut sudah baku dari WHO yang merupakan alat komunikasi
3

praktis dan sederhana dalam memastikan keselamatan pasien dalam

tahap preoperatif, intraoperatif dan pasca operasi.

SSC adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan

yang aman dan berkualitas pada pasien. Safety & compliance, SSC

merupakan alat komunikasi, mendorong kerja tim untuk keselamatan

pasien yang digunakan oleh tim profesional diruang operasi untuk

meningkatkan kualitas dan menurunkan kematian serta komplikasi akibat

pembedahan, dan memerlukan persamaan persepsi antara ahli bedah,

anestesi dan perawat.

Uji coba telah dilakukan terhadap penggunaan SSC di delapan rumah

sakit di dunia. Kota Toronto (Kanada), New Delhi(India), Amman

(Yordania); Auckland (Selandia Baru), Manila (Filipina), Ifakara

(Tanzania), London (Inggris), dan Seattle, Okt 2007-Sept 2008) yang

mewakili berbagai kondisi ekonomi dan populasi dengan beragam pasien

Hasil penelitian menunjukkan penurunan kematian dan komplikasi akibat

pembedahan. Menurut Howard (2011), komplikasi bedah setelah

penggunaan SSC secara keseluruhan turun dari 19.9% menjadi 11,5%,

dan angka kematian menurun dari 1,9% menjadi 0,2%. Pelaksanaan SSC

telah membuktikan pengurangan dalam angka morbiditas dan mortalitas

dalam perawatan di rumah sakit.

Penelitian Weizer (2008), studi implementasi WHO SSC ujicoba yang

dilakukan di delapan rumah sakit yang sama didapatkan penurunan

komplikasi pada operasi darurat sebesar 63,6%, penurunan angka


4

kematian di rumah sakit akibat operasi dari 3,7% menjadi 1,4% angka

Infeksi Luka Operasi (ILO) turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan kehilangan

darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2%. Penelitian

Latosinsky et al., (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten akan

menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan menurunkan

komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Selain penggunaan

checklist kelompok studi ini juga melakukan intervensi perkenalan diri dan

perannya dalam tim, kondisi pasien sebelum operasi, potensi penyulit

yang mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien dan

lain-lain. Tim operasi bisa jadi bekerja tanpa saling mengetahui nama

masing- masing dikarenakan kurangnya perkenalan diantara tim,

akibatnya akan sulit bagi anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau

memberitahu jika ada masalah yang terjadi.

Penelitian Haynes et al., (2009), dalam penerapan 19 Item SSC

terbukti menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8%, penurunan

komplikasi dari 11% menjadi 7% dan penurunan infeksi nosokomial dari

6,2% menjadi 3,4%.

Penelitian Vries et al., (2009) pada salah satu studi analisis kohort

retrospektif oleh “ a SSC System (SURPASS)” didapatkan bahwa

walaupun waktu pemberian antibiotik profilaksis dengan menerapkan SSC

praoperasi lebih lama dari 23.9 –29.9 menit menjadi 32.9 menit, tetapi

proporsi pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit menurun

sebesar 6%.
5

Berdasarkan survey yang dilakukan di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, didapatkan bahwa SSC sudah

tersedia di Instalasi Bedah Sentral (IBS), sedangkan penggunaannya

checklist sendiri belum rutin. Berdasarkan wawancara dengan koordinator

Patient Safety di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II mengatakan

bahwa pelaksanaan SSC di Instalasi Bedah Sentral (IBS) rumah sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dimulai sejak bulan maret 2013

lalu, SSC yang digunakan mengacu pada SSC buatan WHO. Koordinator

SSC adalah perawat bedah atau anestesi yang mengikuti operasi

tersebut. Selama penerapan SSC di IBS kendala yang sering terjadi jika

ada operasi yang bersamaan penerapan SSC sering terlewat dan juga

belum adanya pelatihan mengenai patient safety di IBS dan penggunaan

SSC itu sendiri.

Ada penelitian lain, satu tim bedah melaporkan penurunan delay

sebesar 82% setelah implementasi briefing. Infeksi dan angka kesakitan

post operasi lainnya juga menjadi perhatian yang serius di seluruh dunia.

Penelitian sebelumnya mengindikasikan pengukuran yang terjamin

seperti antibiotik profilaksis segera sebelum insisi dan konfirmasi sterilitas

alat tidak secara konsisten diikuti. Hal ini sering diakibatkan bukan karena

kurangnya sumber daya atau biaya tetapi karena buruknya sistematisasi.

Sebagai contoh antibiotik yang diberikan perioperatif pada kedua negara

kaya dan miskin, tetapi keduanya sering memberikan terlalu awal, terlalu

terlambat atau tidak teratur (Joint Commision International, 2011).


6

Pada penelitian di negara berkembang meskipun peningkatan

pengetahuan mengenai pembedahan yang aman telah dilakukan, tetapi

sebagian kejadian yang tidak diinginkan tersebut terjadi selama pelayanan

pembedahan. Di negara berkembang terdapat infrastruktur dan peralatan

yang kurang lengkap, kapasitas dan pelatihan personel yang inadekuat,

serta kurangnya biaya memberikan kontribusi yang besar terhadap

kesulitan masalah keselamatan tersebut. Oleh karena itu, SSC dan

pelayanan yang berkualitas muncul sebagai global untuk mempromosikan

pendekatan sebuah sistem yang luas, yang tidak hanya merupakan tugas

seorang operator tetapi oleh sebuah tim pelayanan kesehatan

professional yang bekerja sama dalam mendukung sistem untuk

keselamatan pelayanan pembedahan (WHO, 2009).

RSUD Tenriawaru kabupaten Bone merupakan salah satu rumah sakit

yang melayani pembedahan yang dibagi beberapa jenis, pembedahan

besar, sedang dan kecil. Kamar operasi RSUD Tenriawaru Bone

digunakan untuk bedah umum, THT, mata, kulit, bedah ortopedi dan

obgyn. Tindakan pembedahan di RSUD Tenriawaru dilakukan oleh tim

operasi yang terdiri dari 3 dokter spesialis bedah umum, 1 dokter spesialis

ortopedi, 3 dokter spesialis kandungan, 1 dokter spesialis mata, 2 dokter

spesialis THT, 1 dokter spesialis kulit, 1 dokter spesialis bedah ortopedi, 1

dokter anastesi, 4 perawat Ka tim, 20 perawat pelaksana dan 3 penata

anastesi. Pembedahan dilakukan dengan melibatkan 5-7 petugas operasi

terdiri dari 1 operator bedah, 1 dokter anastesi, 1 asisten (perawat), 1


7

perawat instrument, 1 perawat sirkuler (on loop) dan 1 penata anastesi

(Profil RSUD Tenriawaru, 2017).

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa pelayanan persalinan

Normal di RSUD Tenriawaru tahun 2015 meningkat 31,8 %, Persalinan

Sectio Caesarea mengalami penurunan 33% dibandingkan tahun 2014.

Berdasarkan survey hasil pembedahan pada tahun 2016 untuk

operasi bedah umum sebanyak 276 orang, bedah kandungan sebanyak

754 orang, bedah THT sebanyak 89 orang. Sectio Caesarea merupakan

salah satu operasi kandungan yang berjenis mayor di RSUD Tenriawaru

Bone. Pada tahun 2016 didaptkan tindakan SC sebanyak 643 orang dan

yang mengalami infeksi luka operasi sebanyak 13 kasus.

Jadi pelaksanaan SSC masih belum terlaksana 100%, dengan jumlah

operasi SC pada tahun 2016 yaitu sebanyak 643 tindakan pembedahan,

pelaksanaan SSC baru terlaksana 55% dengan kategori 60 % yang

lengkap dan 35% masih belum lengkap. dan sepanjang tahun 2016 ada 7

kasus kejadian KNC (Kejadian Nyaris Cedera) di kamar operasi serta

kasus infeksi luka yang terdata sebanyak 13 kasus. Data pasien yang

mengalami ILO di RSUD Tenriawaru Bone masih banyak yang belum

terdeteksi karena sistem pelaporan kejadian infeksi masih kurang.

Sesuai dengan peraturan Depkes no.1691 tentang keselamatan

pasien dan Komite Akreditasi Rumah Sakit (Kars) menuntut pelaksanaan

SSC di kamar operasi harus 100% untuk mengeliminasi masalah yang

mengkhwatirkan termasuk kejadian infeksi luka operasi pasca operasi dan


8

kemungkinan kekeliruan diselesaikan dalam tindakan operasi dimana

pelaksanaan SSC dilakukan pada semua item yang telah ditentukan.

Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dalam pemberian

pelayanan dan merupakan komponen sangat penting dalam manajemen

pelayanan kesehatan di rumah sakit (WHO,2009)

Berdasarkan data tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana

pengaruh penerapan SSC dengan kejadian infeksi luka operasi pada

pasien Sectio Caesarea di RSUD Tanriawaru kabupaten Bone.

B. Kajian Masalah

Infeksi luka operasi (ILO) merupakan infeksi yang sering terjadi pada

pasien pasca pembedahan (Pandjaitan, 2013). Survey World Health

Organization (WHO) melaporkan bahwa angka kejadian ILO di dunia

berkisar antara 5% sampai 15% (WHO, 2015). Data WHO menunjukkan

bahwa sekitar 5%-34% dari total infeksi nosokomial adalah ILO (Haryanti

dkk, 2013). National Nosocomial Infection Surveillace (NNIS, 2010) United

States America mengindikasikan bahwa ILO merupakan infeksi ketiga

tersering yang terjadi di rumah sakit sekitar 14-16% dari total pasien di

rumah sakit mengalami ILO. Penelitian di Nigeria tahun 2009 melaporkan

bahwa dari pasien post operasi yang dilakukan pemeriksaan kultur ILO

5%-10% diantaranya berkultur positif mengandung bakteri (Setyarini,

Barus & Dwitari, 2013).


9

Menurut DEPKES RI tahun 2011 angka kejadian ILO pada rumah

sakit pemerintah di Indonesia sebanyak 55,1% (Asyifa, Suarniant & Mato,

2012). Hasil penelitian Aprilia (2011), membuktikan bahwa angka kejadian

ILO di RS Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang sebanyak 56,67%

yang terdiri dari ILO superfisial incision 70,6%, ILO deep incision 23,5%

dan ILO organ 5,9%. ILO ditemukan paling cepat hari ketiga dan yang

terbanyak ditemukan pada hari ke lima dan yang paling lama adalah hari

ketujuh.

Faktor kejadian ILO antara lain dari pasien misalnya diabetes

mellitus, obesitas, malnutrsi berat serta faktor lokasi luka yang meliputi

pencukuran daerah operasi, suplai darah yang buruk ke daerah operasi,

dan lokasi luka yang mudah tercemar sedangkan, faktor operasi misalnya

lama operasi, penggunaan antibiotik profilaksis, ventilasi ruang operasi,

tehnik operasi (Suatmadji, 2015). Faktor kejadian ILO pada pra operasi

meliputi persiapan kulit yaitu tidak membersihkan daerah operasi atau

tidak melakukan pencukuran didaerah bedah dengan rambut yang lebat

(Riyadi & Hatmoko, 2012).

Menurut Asyifa (2012), hari perawatan luka >5 hari akan

meningkatkan terjadinya ILO. Prosedur perawatan luka harus

dilaksanakan sesuai yang ditetapkan bertujuan agar mempercepat proses

penyembuhan dan bebas dari infeksi luka yang ditimbulkan dari infeksi

nosokomial (Pujianti, 2015).


10

Menurut Tirtabayu (2014), mengatakan luka operasi dikatakan

terinfeksi apabila luka tersebut mengeluarkan nanah atau pus dan

kemungkinan terinfeksi apabila luka tersebut mengalami tanda-tanda

inflamasi. Potter dan Perry (2006), yang menyatakan bahwa infeksi luka

operasi merupakan salah satu masalah utama dalam praktek

pembedahan dan infeksi menghambat proses penyembuhan luka

sehingga menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah besar

yang menyebabkan lama hari perawatan. Lama perawatan yang

memanjang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik dan

faktor intrinsik.

Tingginya kejadian ILO pada pasien pasca pembedahan maka

perawat dituntut bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah

sakit, salah satunya mengurangi angka kejadian ILO (Septiari, 2012).

Menurunkan kejadian infeksi terkait dengan pencegahan ILO bisa

dilakukan oleh pelayanan kesehatan pada pasien, petugas kesehatan,

pengunjung serta fasilitas pelayanan kesehatan (Pandjaitan, 2015). Faktor

kejadian ILO pada pasien dari penyakit penyerta yang dialami pasien

seperti diabetes atau pada pasien yang memiliki kelebihan gula darah

yang tidak terkontrol saat operasi diketahui dapat meningkatkan risiko

terhadap ILO (Faridah, Andayani & Inayati, 2012). Pasien dapat

melakukan perbaikan keadaan sebelum operasi meliputi diabetes mellitus,

malnutrisi, infeksi, obesitas sehingga menurunkan angka kejadian ILO

(Septiari, 2012).
11

Berdasarkan data yang diperoleh di bagian IBS (instalasi bedah

sentral) RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone Instalasi Bedah Sentral

mempunyai 4 kamar operasi. Kegiatan operasi yang dilaksanakan bersifat

elektif dan cito (darurat).

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan SSC di

Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Bone

didapatkan kesenjangan bahwa sudah ada Standar Prosedur Operasional

(SPO) pelaksanaan pembedahan, tetapi dalam pelaksanaannya masih

belum sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dari tim bedah.

Peran dan tugas semua tim bedah belum dijalankan sesuai dengan

pedoman yang berlaku. Serta berdasarkan data yang didapatkan dari

Instalasi rekam medis RSUD Tenriawaru Bone didapatkan bahwa pada

tahun 2015 dilaporkan ada 8 pasien post pembedahan mengalami

komplikasi yaitu ILO kemudian pada tahun 2016 periode januari sampai

Agustus didaptkan angka kejadian ILO < 5% , jumlah pasien yang

melakukan operasi Sectio Caesarea (obgyn) tahun 2014 sebanyak 1.597

dan tahun 2015 sebanyak 1.240.


12

Faktor Individu Pasien


1. Usia
2. Nutrisi/gizi
3. Penyakit Kormobid
4. Merokok
5. Alkohol dan obat-obatan
6. Jenis Luka dan keparahan
(connor MFO, Roizen MF 1997)

Penerapan Safety surgery cheklist


Kejadian ILO pada pasien SC
(Sign in, time out, sign out)
2,02 % (standar WHO 1,5%)
(WHO,2009)

Faktor Lingkungan Kerja


1. Kerja sama Tim
2. Peralatan dan Sumber Daya Manusia
(Pendidikan dan Pelatihan)
3. Organisasi / strategi
( National Patient Safety Agency, 2012)

Gambar 1. Kajian Masalah Penelitian Menurut WHO, 2008

Standar SKP.4 Akreditasi RS 2012 / IPSG.4 JCI mensyaratkan

agar rumah sakit memiliki kebijakan dan prosedur pembedahan yang

memastikan benar lokasi, benar prosedur, dan benar pasien. Hal ini

sangat penting, karena kesalahan lokasi, kesalahan prosedur, dan

kesalahan pasien saat operasi masih sering terjadi, dan berakibat

fatal. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menyusun dan menerapkan

kebijakan dan prosedur tersebut. Kebijakan tersebut mencakup


13

definisi pembedahan yang di dalamnya terkandung setidaknya

prosedur yang menyelidiki dan / atau menyembuhkan penyakit dan

gangguan tubuh manusia melalui pemotongan, pengangkatan,

pengubahan atau pemasukan alat diagnostic / terapi. Kebijakan ini

berlaku di semua lokasi di rumah sakit, di mana prosedur itu dilakukan

(bukan hanya di kamar operasi). Untuk memastikan kebijakan dan

prosedur yang kita miliki benar, kita perlu merujuk kepada The (US)

Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site,

Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.

Koordinator SSC adalah perawat bedah atau anestesi yang

mengikuti operasi tersebut. Selama penerapan SSC di IBS kendala

yang sering terjadi jika ada operasi yang bersamaan penerapan SSC

sering terlewat dan juga belum adanya pelatihan mengenai patient

safety di IBS dan penggunaan SSC itu sendiri.

Safety briefing memungkinkan anggota tim saling memperkenalkan

diri dan perannya dalam tim, kondisi pasien, potensi penyulit yang

mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien,dll.

Tanpa perkenalan yang cukup, tim operasi bisa jadi bekerja tanpa

saling mengetahui nama masing -masing. Akibatnya, akan sulit bagi

anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau memberitahu jika ada

masalah yang terjadi. Meskipun masih banyak dokter dan perawat

yang masih menganggap proses ini tidak penting, tetapi pada

kenyataannya briefing berhasil meningkatkan komunikasi dalam tim,


14

mengurangi terjadinya kesalahan dan keterlambatan yang tidak

diharapkan. Selain itu, kerjasama tim yang kurang baik diketahui

berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan kematian.

Keselamatan pasien adalah proses yang dijalankan oleh organisasi

yang bertujuan membuat layanan kepada pasien menjadi lebih aman.

Proses tersebut mencakup pengkajian risiko, identifikasi dan

pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden, dan

kemampuan belajar dari suatu keadaan atau kejadian, menindak

lanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi yang tepat untuk

mengurangi risiko tersebut terjadi kembali ( Asyifa, 2012).

C. Rumusan Masalah

Komplikasi yang terjadi pada operasi Sectio Caesarea adalah

infeksi setelah operasi, dimana infeksi pada operasi bedah

seharusnya tidak lebih dari 1,5% tetapi pada data yang diperoleh

terdapat kejadian infeksi post operasi section caesarea sekitar 2,02%.

WHO merumuskan tools / alat berupa SSC untuk mengurangi

komplikasi akibat pembedahan salah satunya site surgery infection.

Peneliti tertarik untuk meneliti tentang“ Bagaimana pengaruh

penerapan SSC terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien

Sectio Saecarea di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone. Berdasarkan

latar belakang masalah yang sudah dikemukakan, Rumusan masalah

dalam penelitian ini memfokuskan pada sebagai berikut :


15

a) Apakah ada pengaruh penerapan SSC, sign in terhadap

kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio

Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.

b) Apakah ada pengaruh penerapan SSC, time out terhadap

kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio

Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.

c) Apakah ada pengaruh penerapan SSC sign out terhadap

kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien Sectio

Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.

d) Apakah sign in, time out, atau sign out, tahapan yang paling

berpengaruh dalam terjadinya kejadian infeksi luka operasi

(ILO)

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan

SSC terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien Sectio

Saecarea di RSUD Tenriawaru Bone”.

2. Tujuan Khusus Penelitian

a) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC, sign in

terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien

Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.


16

b) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC, time out

terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien

Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.

c) Untuk mengetahui pengaruh penerapan SSC sign out

terhadap kejadian infeksi luka operasi (ILO) pada pasien

Sectio Caesarea di RSUD Tenriawaru Bone.

d) Untuk mengetahui tahapan yang paling berpengaruh dalam

terjadinya kejadian infeksi luka operasi (ILO)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang

perkembangan di bidang mutu khususnya mutu pelayanan

klinis.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat Bagi peneliti

Penelitian ini dapat berguna secara praktis bagi peneliti

sebagai pengaplikasian ilmu atau teori yang telah

didapatkan sebelumnya yaitu tentang pentingnya

penerapan SSC yang baik dalam pelaksanaan operasi di

ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS).


17

b. Manfaat bagi Institusi Rumah Sakit

Dapat memberikan bahan masukan yang positif serta

sebagai evaluasi bagi instansi terkait dalam memberikan

pelayanan kepada pasien, khususnya instalasi rawat

inap dan ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD

Tenriawaru Bone.

c. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

kajian literatur untuk pengembangan ilmu dalam

memberikan pelayanan kesehatan terutama yang

meninjau keselamatan pasien dalam mengurangi infeksi

luka operasi.

d. Manfaat Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

literatur untuk Peneliti selanjutnya dengan kajian

penelitian yang sama yaitu penerapan SSC dalam

mengurangi infeksi luka operasi.


18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Surgical Safety Checklist

1. Definisi dan latar belakang

World Health Organization (WHO) menyusun SSC untuk membantu

tim operasi dalam mengurangi angka kejadian tidak di harapkan (KTD),

dimana sebelumnya telah berkonsultasi dengan para ahli bedah, dokter

anastesi, dan perawat untuk mengidentifikasi hal-hal penting dalam

tindakan keselamatan operasi. Tujuan program ini untuk mengatasi isu-

isu keselamatan pasien termasuk tidak memadainya keselamatan

pasien dalam tindakan anastesi, menghindari infeksi nosokomial,

meningkatkan komunikasi saat operasi diantara anggota tim. Tim

operasi harus berlatih menggunakan checklist, dan

mengintegrasikannya ke dalam alur kerja di ruang operasi.

Studi WHO “Safe Surgery Saves Lives” juga menjelaskan hasil

studi uji coba checklist di delapan rumah sakit di enam negara WHO

dengan 3733 pasien sebelum implementasi dan 3955 pasien setelah

implementasi. Setelah uji coba implementasi checklist, kematian akibat

operasi menurun 47% dan komplikasi berkurang 36%. Penelitian

Latonsky et al, (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten akan

menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan menurunkan

angka komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Tujuan utama dari

SSC untuk menurunkan kejadian tidak diinginkan di kamar operasi


19

(WHO, 2009). Tujuan dari checklist ini dalam prakteknya juga untuk

memperkuat/membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik

diantara tim operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada

di checklist telah dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan

dan menghindari risiko cedera terhadap pasien. Checklist memberikan

panduan dengan cara melakukan interaksi secara lisan (komunikasi)

kepada seluruh tim untuk mengkonfirmasikan apakah standar

pelayanan sudah sesuai untuk setiap pasien yang akan dioperasi.

Williams, et al. (2007), melaporkan kegagalan komunikasi seorang

dokter bedah terhadap tim operasi merupakan penyebab yang sangat

sering dan menyebabkan kejadian tidak diinginkan sebesar 31%.

Kegagalan komunikasi tersebut menyebabkan penundaan perawatan

pasien sebesar 77% dan sebanyak 48% waktu tim operasi terbuang

sia-sia. Masloman (2014), selain komunikasi, kerjasama tim yang

kurang baik diketahui berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan

kematian.

WHO collaborating center for patient safety pada tanggal 2 mei

2008 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solution”

(sembilan solusi life saving keselamatan pasien di rumah sakit).

Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan

pasien dan lebih 100 negara, dengan mengindentifikasi dan

mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Salah satunya


20

adalah pencegahan cedera pada pasien yang akan menjalankan

operasi.

2. Strategi Surgical Safety Checklist

Pentingnya satu orang koordinator untuk memimpin checklist

merupakan suatu keberhasilan dalam melaksanakan setiap tahapan

yang ada di checklist. Dalam pelaksanaan suatu operasi mungkin saja

terjadi suatu kesalahan baik dalam perispan praoperasi, intraoperasi,

atau pascaoperasi. Koordinator checklist di setiap tahapan harus

mengkonfirmasi apakah setiap tahapannya sudah dilaksanakan

sebelum melanjutkan tahapan berikutnya. Semua langkah harus tepat

dilaksanakan oleh anggota tim dan diperiksa secara lisan untuk

memastikan bahwa tindakan-tindakan utama telah dilakukan.

Koordinator checklist sebelum induksi anastesi akan memastikan

secara lisan kepada pasien, dokter anastesi dan ahli bedah mengenai

identitas pasien, informed consent, prosedur operasi yang akan

dilakukan serta sisi yang akan dioperasi. Jika perlu koordinator akan

menandai sisi yang akan dioperasi dan menanyakan kepada dokter

anastesi mengenai risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi

alergi, dan mesin anastesi apakah berfungsi dengan baik atau tidak,

serta ketersediaan dan kelengkapan obat anastesi. Sebaiknya ahli

bedah dalam tahapan ini hadir untuk menjelaskan dan memberikan

masukan kepada tim mengenai kemungkinan kehilangan darah selama


21

operasi, riwayat alergi, ataupun faktor-faktor yang mempersulit jalannya

operasi.

3. Pelaksanaan Surgical Safety Checklist

Pelaksanaan SSC memerlukan seorang koordinator untuk

bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya

seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang

terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi

anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan

(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka

tapi sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada

setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi

bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan

lebih lanjut.

a. Fase Sign In

Fase sign in adalah fase sebelum induksi anestesi, koordinasi

secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah

dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan

dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan,

pulse oxymetry pada pasien berfungsi. Koordinator dengan

professional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien

ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.


22

b. Fase Time Out

Fase time out adalah fase setiap anggota tim operasi

memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi

memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.

Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim

mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan

operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga

mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam

60 menit sebelumnya.

c. Fase sign out

Fase sign out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang

telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons,

penghitungan instrument, pemberian label pada specimen,

kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah

terakhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan

memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta

pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi.

4. Adverse Event Pascaoperasi

Kejadian Tidak diharapkan atau adverse event adalah suatu kejadian

yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil. Kejadian tidak diharapkan diruang operasi bisa

meliputi kejadian operasi salah sisi, kejadian operasi salah orang, kejadian
23

salah tindakan, tertinggalnya kassa, komplikasi anastesi karena over

dosis, dan reaksi anastesi. Menurut National Surgical Quality Improvement

Program (NSQIP) postoperative adverse event suatu kejadian yang timbul

setelah operasi sampai 30 hari setelah operasi.

Postoperative adverse event seperti Infeksi Luka Operasi (ILO),

penggunaan ventilator lebih dari 24 jam, pasien dioperasi ulang tanpa

terencana perdarahan yang memerlukan transfusi 4 unit darah atau lebih

dalam 72 jam setelah operasi, dan kematian.

Jenis-jenis Adverse Event Pascaoperasi :

a. Infeksi Luka Operasi (ILO)

Infeksi Luka Operasi (ILO) Menurut Centers for Disease Control and

Preventions (CDC) didefinisikan sebagai suatu infeksi yang terjadi

pada luka operasi dalam waktu 30 hari setelah pembedahan. CDC

membagi kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO) dalam tiga kategori,

yaitu:

1) Superficial Incisional

Infeksi yang timbul setelah pada saat selesai pembedahan

dilakukan sampai dengan 30 hari setelah pembedahan, infeksi

hanya terjadi meliputi kulit dan jaringan subkutan pada luka insisi

2) Deep Incisional

Infeksi pembedahan yang timbul pada saat setelah pembedahan

sampai 30 hari setelah pembedahan jika tidak terdapat implant atau


24

satu tahun jika terdapat implant. Infeksi yang terjadi melibatkan

jaringan lunak bagian dalam (fascia dan otot) dari insisi.

3) Organ atau Space

Infeksi pembedahan yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca

pembedahan dengan atau tanpa implant atau dalam satu tahun bila

ada implant dan infeksi yang timbul berhubungan dengan tindakan

pembedahan yang dilakukan. Infeksi yang terjadi mengenai bagian

organ atau rongga tubuh yang lain dari tempat insisi yang telah

dibuka maupun dimanipulasi selama operasi berlangsung

b. Pengguna Ventilator lebih dari 48 jam

Penggunaan ventilator lebih dari 48 jam berhubungan dengan

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang

didapat di rumah sakit yang terjadi pada pasien yang menggunakan

ventilasi mekanis melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi selama

kurang dari 48 jam yang menyebabkan tingginya morbiditas dan

mortalitas pasien. Menurut Hendrik (2014), pada pasien bedah

permasalahan pernafasan setelah pembedahan disebabkan oleh

ventilasi yang tidak memadai karena dampak sisa obat anastesi,

obstruksi trakea atau bronkus, usia, keadaan paru seperti penyakit

emfisema dan bronchitis kronik, dan aspirasi.

c. Pasien dioperasi Ulang

Menurut American Collage of Surgeon (ACS) tidak terencananya

pasien kembali ke ruang operasi didefinisikan sebagai pasien setelah


25

operasi (rawat inap atau rawat jalan), kembali ke ruang operasi akibat

komplikasi atau hasil yang tidak diinginkan selama 30 hari terkait

dengan operasi awal. Penyebab tidak terencananya pasien kembali ke

ruang operasi disebabkan oleh perdarahan, infeksi, luka jahitan yang

terlepas.

d. Perdarahan yang Memerlukan Transfusi 4 Unit atau Lebih Darah

dalam 72 jam Setelah Operasi

Perdarahan merupakan penyulit pada pasien yang menjalani operasi.

Pasien yang akan menjalani operasi harus ditentukan terlebih dahulu

apakah ada risiko perdarahan. Hal ini penting untuk mencegah

timbulnya penyulit baik selama operasi maupun sesudah operasi.

Perdarahan setelah pembedahan sering dihubungkan dengan

perdarahan terlambat dan terjadi karena masalah jahitan atau

kauterisasi pembuluh darah. Perdarahan yang tidak disangka

biasanya diketahui dari menurunnya hematokrit atau munculnya

hematoma.

e. Kematian

Kasus kematian setelah pembedahan berhubungan dengan kondisi

penyakit dan keadaan kesehatan sebelum dilakukan tindakan operasi.

Menurut Cahyono (2012), penetapan American Society of

Anesthesiologists (ASA) oleh dokter anastesi sebelum dilakukan

operasi merupakan faktor predisposisi yang kuat terhadap kematian

setelah pembedahan
26

B. Tinjauan Tentang Sectio Caecarea

1. Pengertian

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin

yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut dan

dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat

janin diatas 500 gram (Chandaranita, 2009). Persalinan sectio

caesaria adalah proses melahirkan janin melalui insisi pada dinding

abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi), (Vries 2009).

Istilah Caesar berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya

memotong atau menyayat. Tindakan yang dilakukan tersebut

bertujuan untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan

dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Ezra, 2007).

Sectio Caesarea adalah persalinan buatan yang dilakukan dengan

cara penyayatan atau insisi pada dinding perut dan dinding rahim

dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin diatas

500 gram dengan pertimbangan medis untuk memperkecil timbulnya

risiko pada ibu dan bayinya.

2. Istilah tindakan Sectio Caesarea

a. Sectio caesarea primer (elektif), Tindakan operasi

direncanakan karena janin yang akan dilahirkan tidak bisa

lahir dengan kelahiran normal sehingga dilakukan tindakan

Sectio caesarea, misalnya pada ibu dengan panggul sempit.


27

b. Sectio caesarea sekunder yaitu menunggu kelahiran normal

(partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau

partus percobaan gagal, kemudian dilakukan sectio caesarea.

c. Sectio caesarea ulang Ibu pada kehamilan yang lalu

mengalami sectio caesarea (previous caesarean section) dan

pada kehamilan selanjutnya dilakukan sectio caesarea ulang.

d. Sectio caesarea histerektomy Suatu operasi dimana setelah

janin dilahirkan dengan sectio caesarea, langsung dilakukan

histerektomy oleh karena suatu indikasi.

e. Operasi Porro. Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari

kavum uteri (janin sudah mati) langsung dilakukan

histerektomy, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat

3. Indikasi Sectio Caesarea

Didasarkan atas 3 faktor :

a) Faktor janin.

I. Bayi terlalu besar

Berat bayi 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan

bayi sulit keluar dari jalan lahir. Dengan perkiraan berat

yang sama tetapi pada ibu yang berbeda maka tindakan

persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya untuk ibu

yang mempunyai panggul terlalu sempit, berat janin 3000

gram sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat

melewati jalan lahir. Selain janin yang besar, berat janin


28

kurang dari 2,5 kg, lahir prematur, dan dismatur, atau

pertumbuhan janin terlambat , juga menjadi pertimbangan

dilakukan sectio caesarea.

II. Kelainan letak

- Letak sungsang

Risiko bayi lahir sungsang dengan presentasi bokong pada

persalinan alami diperkirakan 4x lebih besar dibandingkan

keadaan normal. Pada bayi aterm, tahapan moulage kepala

sangat penting agar kepala berhasil lewat jalan lahir. Pada

keadaan ini persalinan pervaginam kurang menguntungkan.

Karena ; pertama, persalinan terlambat beberapa menit,

akibat penurunan kepala menyesuaikan dengan panggul

ibu, padahal hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kedua,

persalinan yang dipacu dapat menyebabkan trauma karena

penekanan, traksi ataupun kedua-duanya. Misalnya trauma

otak, syaraf, tulang belakang, tulang rangka dan visceral

abdomen.

- Letak lintang

Kelainan letak ini dapat disebabkan karena adanya tumor

dijalan lahir, panggul sempit, kelainan dinding rahim,

kelainan bentuk rahim, plesenta previa, cairan ketuban

pecah banyak, kehamilan kembar dan ukuran janin.

Keadaan tersebut menyebabkan keluarnya bayi terhenti


29

dan macet dengan presentasi tubuh janin di dalam rahim.

Bila dibiarkan terlalu lama, mengakibatkan janin

kekurangan oksigen dan meyebabkan kerusakan otak

janin.

- Gawat janin

Diagnosa gawat janin berdasarkan pada keadaan

kekurangan oksigen (hipoksia) yang diketahui dari denyut

jantung janin yang abnormal, dan adanya meconium dalam

air ketuban. Normalnya, air ketuban pada bayi cukup bulan

berwarna putih agak keruh, seperti air cucian beras. Jika

tindakan sectio caesarea tidak dilakukan, dikhawatirkan

akan terjadi kerusakan neurologis akibat keadaan asidosis

yang progresif.

- Janin abnormal

Misalnya pada keadaan hidrosefalus, kelainan kromosom

dan kerusakan genetik.

e) Plasenta

1. Plasenta previa

Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi

sebagian dan atau seluruh jalan lahir. Dalam keadaan ini,

plasenta mungkin lahir lebih dahulu dari janin. Hal ni

menyebabkan janin kekurangan oksigen dan nutrisi yang

biasanya diperoleh lewat plasenta. Bila tidak dilakukan SC,


30

dikhawatirkan terjadi perdarahan pada tempat implantasi

plasenta sehingga serviks menjadi tipis dan mudah robek.

2. Solusio plasenta

Keadaan dimana plasenta lepas lebih cepat dari corpus

uteri sebelum janin lahir. SC dilakukan untuk mencegah

kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban pada janin.

Terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang

banyak, baik pervaginam maupun yang menumpuk di

dalam rahim.

3. Plasenta accreta

Merupakan keadaan menempelnya sisa plasenta di otot

rahim. Jika sisa plasenta yang menempel sedikit, maka

rahim tidak perlu diangkat, jika banyak perlu dilakukan

pengangkatan rahim.

4. Vasa previa

Keadaan dimana adanya pembuluh darah dibawah rahim

yang bila dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan

yang banyak.

f) Faktor Ibu

Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-

pelvik yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran

kepala bayi dengan ukuran panggul ibu (Ezra, 2007). Selain

itu dapat juga disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptur uteri,


31

proses persalianan yang tidak maju yang merupakan

persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara,

dan lebih dari 18 jam pada multipara yang terjadi meskipun

terdapat kontraksi uterus yang kuat, janin tidak dapat turun

karena faktor mekanis (Mochtar Rustam, 2011).

C. Tinjauan Tentang Keselamatan Pasien

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk

rumah sakit. Ada 5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan

(safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety),

keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan

dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan

pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang

berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis”

rumah sakit yang terkait kelangsungan hidup rumah sakit. Namun harus

diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien.

Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk

dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah

sakitan (Depkes RI, 2008).

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/ KKP-RS, mendefinisikan

bahwa keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko

(hazard). Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas dari

cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang
32

potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/ sosial/ psikologis, cacat,

kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/

VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana

rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen

risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko

pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden

dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil.

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk

menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hippocrates kira-

kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere (First, do no harm).

Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi

pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin

kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan-KTD

(Adverse Event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati karena di rumah

sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat

dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi

yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus.

Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola

dengan baik dapat terjadi KTD (Depkes RI, 2008).


33

Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah

setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan

atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien,

terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian

Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang

mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya

disingkat disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai

terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC

adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.

Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang

sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.

Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau

cedera yang serius (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

1. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa

rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib

melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional

Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah

sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana

kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung

jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari


34

manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah

sakit. TKPRS melaksanakan tugas:

I. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit

sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut;

II. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program

keselamatan pasien rumah sakit;

III. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi,

konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi)

tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien

rumah sakit;

IV. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah

sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien

rumah sakit;

V. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta

mengembangkan solusi untuk pembelajaran;

VI. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah

sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien

rumah sakit; dan

VII. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit

2. Sasaran Keselamatan Pasien

Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa

setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran


35

Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi

tercapainya hal-hal sebagai berikut :

a. Ketepatan identifikasi pasien;

b. Peningkatan komunikasi yang efektif;

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;

d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;

e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan

f. Pengurangan risiko pasien jatuh

Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat untuk

diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi

Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada

Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health

Organization (WHO), Patient Safety, yang digunakan juga oleh Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari

Joint Commission International (JCI). Maksud dari Sasaran

Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam

keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang

bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta

solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan

ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah

untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu

tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada

solusi-solusi yang menyeluruh.


36

D. Tinjauan Tentang Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009

tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh

perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu

meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh

masyarakat agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat

darurat.

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan tempat

menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap

kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya

kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif),

yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana

kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan

dasar, kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang.


37

Gambaran Umum RSUD Tenriawaru Bone

RSUD Tenriawaru merupakan rumah sakit milik pemerintah

Kabupaten Bone yang terletak di Jalan DR. Wahidin Sudirohusodo

Watampone, Kelurahan Macanang, Kecamatan Tanete Riattang Barat.

Rumah sakit ini dibangun pada tahun 1985 atas bantuan Bank Dunia dan

mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Juli 1987. RSUD Tenriawaru

diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 18 Oktober 1988

sebagai rumah sakit kelas C. RSUD Tenriawaru didirikan di atas tanah

seluas 40.000 m2. Jangkauanpelayanan RSUD Tenriawaru tidak hanya

meliputi wilayah Kabupaten Bone saja, tetapi hingga wilayah kabupaten

sekitarnya seperti Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten

Soppeng.

Sebagai institusi yang memberikan pelayanan dibidang kesehatan,

RSUD Tenriawaru senantiasa berusaha meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan. Pada tanggal 6 Februari 2008, RSUD Tenriawaru telah

mendapatkan pengakuan dari KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit)

sebagai rumah sakit yang terakreditasi penuh tingkat dasar untuk 5 (lima)

jenis pelayanan. Jenis pelayanan tersebut meliputi pelayanan administrasi

dan manajemen, pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan

keperawatan dan pelayanan rekam medis.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan ini terus dilakukan secara

berkelanjutan yang ditandai dengan terakreditasinya RSUD Tenriawaru

untuk dua belas jenis pelayanan pada tanggal 31 Desember 2010.Dua


38

belas pelayanan yang dimaksud meliputi pelayanan administrasi dan

manajemen, pelayanan rekam medis, pelayanan farmasi, pelayanan

medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan kamar operasi, pelayanan

radiologi, pelayanan laboratorium, pelayanan keperawatan, pelayanan

perinatal risiko tinggi, pengendalian infeksi di RS, keselamatan kerja,

kebakaran dan kewaspadaan bencana. Dan pada tanggal 6 Desember

2016, RSUD Tenriawaru telah mendapatkan pengakuan dari KARS

(Komite Akreditasi Rumah Sakit) versi 2012 dengan akreditasi Paripurna.

Pada tahun 2009, status RSUD Tenriawaru meningkat menjadi

Rumah Sakit Kelas B Non Pendidikan. Peningkatan status ini sesuai

dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1000/MENKES/SK/XI/2009 tanggal 10 November 2009 tentang

Peningkatan Kelas RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone dari Kelas C

menjadi Kelas B Non Pendidikan.

RSUD Tenriawaru resmi berstatus Badan Layanan Umum Daerah

(BLUD) pada tanggal 23 Nopember 2010 sesuai dengan Surat Keputusan

Bupati Bone Nomor 33 Tahun 2010.

Visi dan Misi


RSUD Tenriawaru memiliki Visi menjadi rumah sakit pendidikan yang

berkualitas dan mandiri untuk mewujudkan pelayanan kesehatan

paripurna menuju masyarakat Bone yang sehat. Untuk melaksanakan visi

tersebut di atas, RSUD Tenriawaru mempunyai misi :

a. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana

b. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan tenaga medis profesional


39

c. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan melalui peningkatan

pengaturan dan penegakannya

d. Meningkatkan profesionalisme manajemen keuangan dan

operasional yang efektif dan efisien

e. Meningkatkan fungsi rumah sakit dalam pelayanan promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Tugas dan Fungsi

RSUD Tenriawaru adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna dengan mengutamakan pengobatan dan pemulihan tanpa

mengabaikan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.

Pelayanan kesehatan yang diberikan meliputi penyediaan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat dan tindakan medik.

a. Tugas pokok RSUD Tenriawaru adalah :

1) Menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah di bidang

penyelenggaraan upaya penyembuhan dan pemulihan

kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dan

berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan dan

pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan sesuai

peningkatan kesehatan dan pencegahan serta melaksanakan

upaya rujukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.
40

2) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati

sesuai dengan bidang tugasnya.

b. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut

diatas, RSUD Tenriawaru melaksanakan fungsi sebagai berikut :

1) Pengumpulan, pengelolaan dan pengendalian data berbentuk

database serta analisa data untuk menyusun program kegiatan.

2) Perencanaan strategis bidang pelayanan kesehatan perorangan.

3) Perumusan kebijakan teknis bidang pelayanan kesehatan

perorangan.

4) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan

daerah bidang pelayanan kesehatan perorangan.

5) Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pelayanan kesehatan

perorangan.

6) Penyelenggaraan dan pengawasan standar pelayanan minimal

yang wajib dilaksanakan bidang pelayanan kesehatan.

7) Penyelenggaraan urusan kesekretariatan pada Rumah Sakit

Umum Daerah

8) Pengkoordinasian, integrasi dan sinkronisasi kegiatan bidang

kepegawaian di lingkungan Pemerintah Daerah.

9) Penyelenggaraan administrasi Pegawai Negeri Daerah.

10) Pelayanan medik.

11) Pelayanan penunjang medik dan non medik.

12) Pelayanan dan asuhan keperawatan.


41

13) Pelayanan rujukan.

14) Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan dan bidang lainnya

sesuai kebutuhan rumah sakit.

15) Penelitian dan pengembangan.

16) Pengelolaan sumber daya rumah sakit.

17) Pelayanan fungsi sosial dengan memperhatikan kaidah ekonomi.

18) Perencanaan program, rekam medik, evaluasi dan pelaporan

serta humas dan pemasaran rumah sakit.

19) Pembinaan dan pelaksanaan kerjasama dengan masyarakat,

lembaga pemerintah dan lembaga lainnya.


42

E. Sintesa Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Lokasi Rancangan sampel Hasil Persamaan Perbedaan


(tahun) penelitian Penelitian Penelitian
Haynes,et al. Mengukur RS dari 8 kota Studi intervensi Angka kematian Implementasi Pengamatan
2009 hubungan di dunia: prospektif 3733 menurun dari 1,5% SSC sampai
implementasi Amman, New pre dan pasca dan 3955 menjadi 0,8%. discharge
SSC dengan Delhi,Seatlle, intervensi pasien Komplikasi menurun dari atau 7 hari
penurunan Ifakara, SSC. setelah 11 menjadi 7%. Ada pasca
kematian dan Manila, Pengamatan intervensi hubungan antara pembedahan
komplikasi Toronto, sampai implementasi SSC
pembedahan London, discharge atau dengan penurunan
Auckland (8 30 hari pasca angka kematian dan
RS). pembedahan. Komplikasi pembedahan.

Fridawaty Determinan RSUP Studi 154 orang Ada hubungan antara Implementasi Pengamatan
Rivai, Infeksi obeservasional
luka Dr.Sardjito waktu pemberian SSC sampai
Tjahjono Operasi prospektif
pasca Yogyakarta antibiotik profilaksis discharge
Koentjoro, bedah sesar Pengamatan lama rawat prabedah atau 7 hari
Adi Utarini sampai dan lama rawat pasca pasca
2013 discharge atau bedah dengan kejadian pembedahan
30 hari pasca ILO
Pembedahan
Hendrik Gambaran RS PKU Deskriptif - Hasil kegiatan yang Implementasi Tahapan
Hermawan penerapan SSC Muhammadiya kualitatif dilakukan oleh petugas SSC yang diamati
2014 fase time out h Gombong kategori baik sesuai fase sign in,
pedoman Surgical time out, sign
Patient Safety out

42
43

Penulis Judul Lokasi Rancangan sampel Hasil Persamaan Perbedaan


(tahun) penelitian Penelitian Penelitian
Praktik RSUD X Cross 93 pasien Pelaksanaan SSC Implementasi Studi
Tirtabayu Keselamatan sectional secara konsisten (100%) SSC obeservasion
2014 pasien bedah di survey ditemukan al prospektif
rumah sakit umum pada cek kelengkapan
daerah X anestesi dan fungsi
pulse oximeter
(fase sign in), dan review
sterilitas peralatan
pembedahan (fase time
out). Tidak satupun jenis
ceklis pada fase sign out
yang diterapkan.

43
44

F. Kerangka Teori

Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur,


tepat pasien
(Penerapan Safety surgery cheklist)

(Sign in, time out, sign out) Kejadian Infeksi Luka


(WHO,2009) Operasi

1. Kulit di sekitar luka


jahitan tampak
Faktor Individu pasien kemerahan, meradang
atau bengkak
1. Usia
2. Nutrisi/gizi 2. Terasa sangat gatal.
3. Penyakit Kormobid 3. Keluar cairan putih
4. Merokok kekuningan (nanah)
5. Alkohol dan obat-obatan atau darah disela-sela
6. Jenis Luka dan keparahan jahitan.
(connor MFO, Roizen MF 1997) 4. Terasa panas di
daerah jahitan dan
nyeri bila ditekan
Faktor Lingkungan Kerja 5. Dehisence adalah
terbukanya luka partial
i atau total
1. Kerjasama Tim 6. Eviscerasi adalah
2. Peralatan dan Sumber Daya keluarnya pembuluh
(Pendidikan dan Pelatihan) darah melalui irisan
3. Organisasi / strategi (WHO, 2009)
( National Patient Safety Agency,
2012)

Gambar 2. Kerangka teori pengaruh penerapan SSC dengan kejadian


infeksi luka operasi pada pasien Sectio Caecarea
45

G. Kerangka Konsep

Penerapan
Safety surgery cheklist
(WHO, 2008)

Sign in
Kejadian Infeksi Luka
operasi (ILO) pada
Time Out pasien Sectio Caecarea

( WHO, 2009)
Sign Out

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3. Kerangka Konsep penerapan surgical safety checklist


dengan kejadian infeksi luka operasi pada pasien Sectio
Saecarea

H. Hipotesis penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist, sign

in, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan

Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.

b. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist ,time

out, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan

Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.


46

c. Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety Checklist, sign

out, dengan terjadinya infeksi luka operasi pasca pembedahan

Sectio Caesarea pada pasien di RSUD Tenriawaru Bone.

2. Hipotesis Null (H0)

a. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety

Checklist, sign in, dengan terjadinya infeksi luka operasi

pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD

Tenriawaru Bone.

b. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety

Checklist, time out, dengan terjadinya infeksi luka operasi

pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD

Tenriawaru Bone.

c. Tidak Ada pengaruh antara penerapan Surgical Safety

Checklist, sign out, dengan terjadinya infeksi luka operasi

pasca pembedahan Sectio Caesarea pada pasien di RSUD

Tenriawaru Bone.
47

I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

No Variabel Definisi Teori Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
Operasional
1 Surgical Daftar periksa untuk Hasil 1. Sign In Lembar Nominal Jawaban
Safety memberikan pembedahan observasi 2. Time Out observasi Ya : Jika
Checklist yang aman dan berkualitas peneliti di 3. Sign Out dilkukan
pada pasien. SSC Tidak : Jika
RSUD
merupakan alat komunikasi tidak dilakukan
Tenriawaru
untuk keselamatan pasien tentang
yang digunakan oleh tim kelengkapan
profesional di ruang implementasi
operasi
SSC

2 Sign In Fase sebelum induksi Hasil Sebelum Induksi Lembar Nominal Jawaban
anestesi koordinator observasi anastesi pada Observasi Ya : Jika
secara verbal memeriksa peneliti di pasien dilkukan
Tidak : Jika
apakah identitas pasien RSUD
tidak dilakukan
telah dikonfirmasi, Tenriawaru
prosedur dan sisi operasi tentang fase
sudah benar, sisi yang Sign In.
akan dioperasi telah
ditandai, persetujuan
untuk operasi telah

47
48

No Variabel Definisi Teori Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
Operasional
diberikan, pulse oxymetri
pada pasien berfungsi

3 Time Out Fase setiap anggota tim Hasil Sebelum sayatan di Lembar Nominal Jawaban
operasi memperkenalkan observasi kulit pasien Observasi Ya : Jika
diri dan peran masing- peneliti di dilkukan
Tidak : Jika
masing. Tim operasi RSUD
tidak dilakukan
memastikan bahwa Tenriawaru
semua orang di ruang tentang Time
operasi saling kenal. Out.
Sebelum melakukan
sayatan pertama pada
kulit tim mengkonfirmasi
dengan suara yang keras
mereka melakukan
operasi yang benar, pada
pasien yang benar.

4. Sign Out Fase tim bedah akan Hasil Sebelum pasien Lembar Nominal Jawaban
meninjau operasi yang observasi meninggalkan ruang Observasi Ya : Jika
telah dilakukan. Dilakukan peneliti di operasi dilkukan
Tidak : Jika
pengecekan kelengkapan RSUD
tidak dilakukan
spons, penghitungan Tenriawaru

48
49

No Variabel Definisi Teori Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
Operasional
instrumen, pemberian tentang fase
label pada spesimen, Sign out.
kerusakan alat atau
masalah lain yang perlu
ditangani

5. Kejadian Suatu organisme pada Hasil Dikategorikan Lembar Nominal Jawaban


Infeksi Luka jaringan atau cairan tubuh observasi infeksi luka operasi Observasi Ya : Jika
Operasi yang disertai suatu gejala peneliti di apabila terjadi infeksi
Tidak : Jika
klinis baik local maupun rumah sakit
1. Kulit di sekitar tidak terjadi
sistemik. Infeksi yang Tenriawaru infeksi
luka tampak
muncul selama seseorang tentang kemerahan,
tersebut dirawat di rumah kejadian meradang atau
sakit dan mulai infeksi luka bengkak, serta
menunjukkan suatu gejala operasi gatal
selama seseorang itu 2. Keluar cairan
dirawat atau setelah putih
kekuningan
selesai dirawat
(nanah) atau
darah di sela-
sela jahitan.
3. Perdarahan
dapat
menunjukkan

49
50

No Variabel Definisi Teori Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukur
Operasional
adanya
pelepasan
jahitan, darah
sulit membeku
pada garis
jahitan
4. Dehiscence
adalah
terbukanya luka
partial atau total

50
51

BAB III

Metode Penelitian

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasional analitik dengan desain observasional prospektif.

Penelitian kohort adalah suatu penelitian yang digunakan untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek melalui

pendekatan longitudinal ke depan atau prospektif. Artinya, faktor risiko

yang akan dipelajari diidentifikasi dahulu kemudian diikuti ke depan

secara prospektif timbulnya efek, yaitu penyakit atau salah satu

indikator status kesehatan. Pengumpulan data dilakukan dengan

prospektif. Dengan kata lain, studi kohort bersifat prospektif jika

paparan tidak terjadi sebelum peneliti memulai penelitiannya.

(Notoatmodjo, 2010). Hasil pengamatan juga disusun dalam tabel 2x2,

untuk kemudian ditentukan insiden terjadinya efek pada kelompok

tertentu dan dan dihitung risiko relative atau resioko insiden (RR).

(Tambunan, 1995). Efek (+)

Faktor Risiko (+)


Subjek Penelitian
Efek (-)
- Faktor Risiko
- Efek
Efek (+)
Faktor Risiko (-)

Efek (-)

Gambar 4. Rancangan Penelitian Kohort


52

B. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone.

Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juli 2017.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diamati.

Populasi meruapakan kesatuan sekelompok subjek yang menjadi

sasaran penelitian (notoatmodjo,2010). Populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah semua pasien SC yang ada di RSUD

Tenriawaru kabupaten Bone.

Sampel peneltian adalah sebagian dari jumlah populasi yang akan

diambil sebagai subyek atau obyek penelitian dan dianggap mewakili

populasi. Sampel penelitian ini adalah pasien Sectio Caesarea di

Ruang IBS dan di ruang rawat inap.

D. Teknik Penentuan Sampel

Teknik penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling. Prosedur Penarikan sampel yang dilakukan

secara purposive sampling yaitu mengambil responden dengan cara

memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan. Menggunakan rumus :


53

n = 56.29055

n = 57

Nilai proporsi dalam sampel ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan

oleh haugen, et al (2015) tentang Effect of The WHO Checklist (SSC) on

Patient Outcomes.

Adapun kriteria inklusi responden yang dapat menjadi sampel

penelitian adalah:

a) Pasien sectio caesarea di ruang OK

b) Pasien rawat inap sectio caesarea

c) Bersedia menjadi responden penelitian.

d) Responden dalam kondisi sadar dan dapat melakukan komunikasi

dengan baik.

Kriteria ekslusi adalah kriteria yang memungkinkan sebagian subjek

yang memenuhi kriteria inklusi yang tidak dijadikan responden dalam

penelitian :

a. Pasien sectio caesarea dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM)

b. Pasien sectio caesarea non indikasi medis (atas permintaaan

pasien)
54

c. Pasien dengan persalinan umum di ruang rawat inap

d. Pasien masih dalam keadaan tidak sadar

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

Alat pengumpul data yang terdiri atas beberapa item pertanyaan

dalam bentuk daftar pertanyaan yang akan digunakan sebagai

alat pengumpul data dan untuk mengontrol karakteristik sampel

agar sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

2. Jenis Dan Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh

peneliti dan dibantu oleh beberapa orang tenaga yang dilatih

dengan menggunakan instrument lembar observasi.

b. Data Sekunder

Data yang dikumpulkan dari profil di RSUD Tenriawaru

Kabupaten Bone serta dokumen laporan lainnya.

F. Pengolahan Data

Langkah pengolahan data yakni sebagai berikut :

a. Editing

Setelah semua data diedit ulang, kemudian dilakukan pemeriksaan

kelengkapan data, kesinambungan data keseragaman data.

b. Coding
55

Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawaban diberi

simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban dengan pengkodean.

c. Tabulating

Menyusun data-data kedalam tabel yang sesuai dengan analisis dan

selanjutnya data tersebut dianalisis.

G. Analisis Data

Sebelum dilakukan analisis data, maka dilakukan pengujian

terhadap instrumen yaitu pengujian validitas dan reliabilitas. Analisis Data

sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Analisis data yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran

umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang

digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran

distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat

hubungan dua variabel yaitu antara variabel bebas dan variabel

terikat. Ukuran asosiasi yang digunakan adalah Relative Risk

(RR), yaitu perbandingan proporsi kelompok terpapar dengan

proporsi kelompok tidak terpapar.


56

Vaiabel Kondisi Pasien


Jumlah
Independen Buruk Baik

Positif A b a+b

Negatif C d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

RR = a/(a+b)/c(c+d), interpretasi hasilnya adalah sebagai

berikut :

a. Bila RR = 1, berarti tidak ada asosiasi faktor paparan penelitian

dengan hasil kejadian.

b. Bila RR < 1, berarti asosiasi faktor paparan penelitian dengan hasil

kejadian adalah efek perlindungan (efek proteksi).

c. Bila RR > 1, berarti asosiasi faktor paparan penelitian dengan hasil

kejadian adalah efek penyebab.

3. Analisis Multivariat

Selanjutnya dilakukan analisis multivariat, yaitu untuk melihat

hubungan antara satu variabel dependen dengan seluruh variabel

independen, sehingga dapat diketahui variabel independen yang

paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup dengan

melakukan uji Regresi Logistik.


57

Agar diperoleh model regresi yang dapat menjelaskan

hubungan antara variabel independen dan dependen maka

dilakukan tahapan sebagai berikut:

a. Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisa multivariat

Regresi Logistik, dengan cara memilih variabel independen dengan

nilai p < 0,25. Alasan penggunaan standar nilai p < 0,25 adalah

karena penetapan nilai standar dengan p value < 0,05 seringkali

gagal dalam menjelaskan variabel yang dianggap penting. Dengan

penggunaan nilai p value < 0,25 beberapa variabel yang secara

terselubung sesungguhnya sangat penting dimasukkan di dalam

analisa multivariat(Murti, 2010)

b. Melakukan analisis semua variabel independen yang masuk dalam

pemodelan, dengan cara mengeluarkan variabel independen yang

memiliki nilai p terbesar, sehingga didapatkan model awal dengan

variabel faktor penentu yang memiliki p ≤ 0,05.

c. Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p < 0,05 merupakan

model akhir dari penentu faktor risiko yang mempengaruhi ILO.

H. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini responden dilindungi dengan memperhatikan

aspek-aspek beneficence, self determination, privacy, anonymity, justice,

protection from (Polit and Beck, 2008). Peneliti juga membuat informed
58

consent sebelum penelitian dilakukan. Peneliti akan mengusulkan

rekomendasi ethical clearance untuk proses pengumpulan tersebut.

1. Prinsip Etika

a. Beneficience

Responden dijamin akan terbebas dari risiko yang membahayakan

fisik, psikologikal, sosial dan ekonomi. Penelitian ini juga menjamin

bahwa tidak ada ekploitasi informasi yang diberikan responden.

b. Self determination

Responden diberi kebebasan untuk menentukan pilihan bersedia

atau tidak bersedia untuk mengikuti kegiatan penelitian setelah

semua informasi yang berkaitan dengan penelitian dijelaskan.

c. Privacy

Kerahasian informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tersebut saja yang akan disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpulkan peneliti akan

disimpan dengan baik dan jika sudah tidak diperlukan lagi, data

responden akan dimusnahkan.

d. Anonymity

Selama kegiatan penelitian, seluruh responden diberikan kode

penomoran tanpa mencantumkan nama. Responden sejak awal

diberikan informasi bahwa namanya tidak akan dicantumkan dalam

laporan hasil penelitian ini.


59

e. Justice

Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden

penelitian. Pada penelitian ini responden dipilih berdasarkan kriteria

inklusi dan ekslusi penelitian.

f. Protection from discomfort

Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk

menyampaikan ketidaknyamanan selama penelitian yang dapat

menimbulkan masalah psikologis atau fisik. Peneliti menjalain

hubungan saling percaya dengan responden dengan menjelaskan

lembar informed consent serta bila responden merasa kelelahan

memberitahu peneliti sehingga proses pengumpulan data melalui

angket akan ditunda dan akan dilanjutkan sesuai keinginan

responden.

2. Informed consent

Perlindungan hak-hak responden dijamin dan tercantum dalam

lembar persetujuan. Sebelum responden setuju berpartisipasi dalam

penelitian, responden harus memahami tentang penelitian yang akan

dilakukan.
60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Tenriawaru Bone dari tanggal 22

Mei sampai dengan 22 Juli 2017.Unit sampel (unit observasi)

adalahpasien sectio caesarea. Jumlah sampel yang diobservasi adalah 57

pasien.

Variabel yang dianalisis adalah prosedur pelaksanaan operasi sectio

caesarea (sign in, time out, dan sign out) dan infeksi yang dirasakan pada

post operasi seperti yang tertuang dalam tujuan khusus penelitian.

Penarikan sampel dari populasi penelitian dilakukan dengan cara non

random sampling, yaitu purposive sampling. Besarnya sampel yang ditarik

dari populasi penelitian berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus

sampel adalah 57 pasien sectio caesarea.

Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien dan telah memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan, memenuhi syarat untuk diikutkan dalam

pengolahan dan analisis data. Alat ukur yang digunakan adalah lembar

observasi yang berisi isian Ya dan Tidak, yang disesuaikan dengan tujuan

khusus penelitian yang akan dicapai.

Hasil pengolahan data yang telah dilakukan kemudian disajikan dalam

bentuk tabel deskriptif maupun tabel uji. Hasil analisis pengaruh variabell
61

independen terhadap dependen secara sistematis disajikan sebagai

berikut:

1. Analisis Univariat

a. Karakteristik Pasien

Dengan analisis ini, dimaksudkan untuk menilai beberapa karakteristik

umum atau data umum pasien di lokasi penelitian yang sedang diamati,

yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi pasien Berdasarkan Karakteristik di RSUD


Tenriawaru Tahun 2017
Karakteristik n %
Kelompok Umur
a. 16-25 tahun 27 47.4
b. 26-35 tahun 21 36.8
c. 36-45 tahun 9 15.8
Pekerjaan
a. IRT 42 73.7
b. PNS 15 26.3
Lama Perawatan
a. 4 hari 24 42.1
b. 5 hari 28 49.1
c. 6 hari 5 8.8
Pembayaran
a. BPJS 54 94.8
b. SW 3 5.2
Kelas Perawatan
a. Kelas 1 21 36.8
b. Kelas 2 3 5.3
c. Kelas 3 21 36.8
d. VIP 9 15.8
e. VIP Utama 3 5.3
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer

Dari Tabel 4.1 menunjukan bahwa kelompok umur dengan proporsi

tertinggi adalah 16-25 tahun (47.4%) sedangkan jumlah proporsi terendah


62

adalah kelompok umur 36-55 tahun (15.8%).Berdasarkan jenis pekerjaan,

73.7% pasien berprofesi sebagai IRT dan 26.3% sebagai PNS.

Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa pasien yang terlibat dalam

penelitian ini yang lama perawatan 5 hari sebanyak 28 pasien (49.1%)

sedangkan yang 6 hari sebanyak 5 pasien (8.8%). Dari jenis pembayaran

biaya perawatan, 94.8% pasien menggunakan BPJS dan 5.3% pasien

yang menggunakan uang pribadi. Sedangkan berdasarkan kelas

perawatan sebanyak 21 pasien (36.8%) menggunakan kelas 1 dan 3

pasien (5.3%) yang menggunakan kelas VIP Utama.

b. Variabel Penelitian

Bagian ini memperlihatkan distribusi pada tiap variabel yang sedang

diamati di lokasi penelitian, yang disajikan sebagai berikut :

1) Prosedur Pelaksanaan Operasi SC

Pelaksanaan SSC memerlukan seorang koordinator untuk

bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya

seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang

terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi

anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan

(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tapi

sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada setiap

fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa

tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih

lanjut.
63

a) Sebelum Induksi (Sign-In)

Fase sign in adalah fase sebelum induksi anestesi, koordinasi secara

verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur

dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai,

persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien

berfungsi. Koordinator dengan professional anestesi mengkonfirmasi risiko

pasien apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas,

reaksi alergi.

Tabel 4.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel


Sebelum Induksi (Sign-In) RSUD Tenriawaru,Tahun 2017
Hasil Observasi
Sebelum Induksi
Ya Tidak
(Sign-In)
N % n %
Konfirmasi identitas pasien 57 100.0 0 0.0
Penandaaan area operasi 54 94.7 3 5.3
Pemeriksaan obat dan mesin
57 100.0 0 0.0
anesthesia
Oksimetri nadi/kapnograph
telah dipasang pada pasien 57 100.0 0 0.0
dan bekerja dengan baik
Pasien mempunyai riwayat
4 7.0 53 93.0
alergi
Risiko kesulitan nafas 9 15.8 48 84.2
Risiko kehilangan darah >
4 7.0 53 93.0
500 cc
Sumber : Data Primer

Tabel 4.2 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum

induksi (sign-in). Dari hasil observasi 100.0% melakukan konfirmasi

identitas pasien, pemeriksaan obat dan mesin anestesi, dan kapnograph

yang telah dipasang. Sebanyak 5.3% tidak melakukan penandaan area

operasi. Masing-masing sebanyak 4 pasien (7.0%) yang mempunyai


64

riwayat alergi dan risiko kehilangan darah > 500 cc. Sedangkan risiko

kesulitas nafas sebanyak 9 pasien (15.8%).

Tabel 4.3 Distribusi Pasien Berdasarkan


Pelaksanaan Prosedur Sign-In di
RSUDTenriawaruTahun 2017
Sign-In n %
Ya 38 66.7
Tidak 19 33.3
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.3 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap sign in.

sebanyak 66.7% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 33.3%

dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap sign-in.

b) Sebelum Incisi Kulit (Time-Out)

Fase time out adalah fase setiap anggota tim operasi

memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan

bahwa semua orang diruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan

sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras

mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka

juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60

menit sebelumnya.
65

Tabel 4.4 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum


Incisi Kulit (Time Out) di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Hasil Observasi
Sebelum Incisi Kulit
Ya Tidak
(Time-Out)
N % n %
Pastikan semua anggota tim
33 57.9 24 42.1
telah memperkenalkan diri
Pastikan nama pasien,
54 94.7 3 5.3
prosedur, dan letak incise
Antibiotik profilaksis telah
diberikan dalam 60 menit 57 100.0 0 0.0
terakhir
Antisipasi keadaan kritis
57 100.0 0 0.0
pada dokter anesthesia
Antisipasi keadaan kritis
57 100.0 0 0.0
pada tim perawat
Sumber : Data Primer

Tabel 4.4 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum

incise kulit (time-out). Dari hasil observasi 100.0% melakukan antiobiotik

profilaksis 60 menit sebelum operasi, antisipasi keadaan kritis pada dokter

anestesi, dan antisipasi keadaan kritis pada tim perawat. Sebanyak 42.1%

tidak memperkenalkan anggota tim. Dan sebanyak 5.3% tidak

memastikan nama pasien, prosedur, dan letak incisi.

Tabel 4.5 Distribusi Pasien Berdasarkan


Pelaksanaan Prosedur Time-Out Di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Time-Out n %
Ya 33 57.9
Tidak 24 42.1
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.5 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap time out

sebanyak 57.9% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 42.1%

dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap time-out.


66

c) Sebelum Pasien Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out)

Fase sign out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang

telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan

instrument, pemberian label pada specimen, kerusakan alat atau masalah

lain yang perlu ditangani. Langkah terakhir yang dilakukan tim bedah

adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post

operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar

operasi.

Tabel 4.6 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Sebelum


Pasien Meninggalkan Kamar operasi (Sign-Out) di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Sebelum Pasien Hasil observasi
Meninggalkan Kamar Ya Tidak
(Sign-Out) N % n %
Perawat konfirmasi secara
verbal nama prosedur 29 50.9 28 49.1
tindakan
Kelengkapan jumlah
28 49.1 29 50.9
instrument kassa dan jarum
Penglabelan specimen 11 19.3 46 80.7
Hal penting yang harus
disampaikan sehubungan
dengan pemulihan dan 50 87.7 7 12.3
penanganan pasien oleh
dokter dan perawat
Sumber : Data Primer

Tabel 4.6 menunjukkan prosedur pengisian SSC pada tahap sebelum

pasein meninggalkan kamar (sign-out). Dari hasil observasi 49.1%

perawat tidak melakukan konfirmasi secara verbal nama prosedur

tindakan. 50.9% tidak mengkonfirmasi kelengkapan jumlah instrument

kassa dan jarum. 80.7% tidak melakukan penglabelan specimen. Dan


67

12.3% tidak menyampaikan hal-hal yang dianggap penting baik

penanganan dan pemulihan terhadap pasien.

Tabel 4.7 Distribusi Pasien Berdasarkan


Pelaksanaan Prosedur Sign-Out di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Sign-Out n %
Ya 31 54.4
Tidak 26 45.6
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.7 menunjukkan pelaksanaan prosedur pada tahap sign out.

sebanyak 54.4% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 45.6%

dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap sign-0ut.

Tabel 4.8 Distribusi Pasien Berdasarkan


Pelaksanaan Prosedur SSC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Prosedur SSC n %
Ya 32 56.1
Tidak 25 43.9
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.8 menunjukkan pelaksanaan prosedur SSC sebanyak 56.1%

melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 43.9% dianggap tidak

melakukan prosedur SSC.

2) Infeksi Luka Operasi SC

Postoperative adverse event seperti Infeksi Luka Operasi (ILO),

penggunaan ventilator lebih dari 24 jam, pasien dioperasi ulang tanpa

terencana perdarahan yang memerlukan transfusi 4 unit darah atau lebih

dalam 72 jam setelah operasi, dan kematian.


68

Tabel 4.9 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Infeksi


Luka Operasi SC di RSUD Tenriawaru Tahun 2017
Hasil observasi
Infeksi Luka Operasi SC Ya Tidak
N % n %
Pendarahan 0 0.0 57 100.0
Risiko Ruptur Uteri 0 0.0 57 100.0
Jahitan tampak kemerahan
6 10.5 51 89.5
dan meradang/bengkak
Gatal pada area jahitan 6 10.5 51 89.5
Keluar cairan putih-
kekuningan (nanah) dan 3 5.3 54 94.7
darah disela jahitan
Terasa panas di daerah
0 0.0 57 100.0
jahitan
Terasa nyeri bila ditekan 0 0.0 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.9 menunjukkan infeksi luka setelah operasi SC. Dari hasill

observasi 100.0% pasien tidak mengalami pendarahan, risiko rupture

uteri terasa panas di daerah jahitan, dan terasa nyeri bila ditekan.

Masing-masing 10.5% pasien mengalami jahitan yang tampak

kemerahan dan meradang/bengkak dan gatal pada area jahitan.

Sedangkan 5.3% pasien mengalami keluarnya cairan putih-kekuningan

(nanah) dan darah disela jahitan.

Tabel 4.10 Distribusi Pasien Berdasarkan


Infeksi Luka Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017

Infeksi Luka Operasi SC n %


Ya 9 15.8
Tidak 48 84.2
Jumlah 57 100.0
Sumber : Data Primer
69

Tabel 4.10 menunjukkan infeksi luka setelah operasi SC. Dari hasil

observasi 9 pasien (15.8%) mengalami infeksi setelah operasi SC dan 48

pasien (84.2%) tidak mengalami infeksi.

2. Analisis Bivariat

Berdasarkan kerangka konsep yang diajukan dalam penelitian ini

dapat dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan melalui

analisis bivariat yaitu untuk melihat hubungan antara variable independen

dengan variable dependen. Hasil pengujian disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.11 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Sign-


In dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Pelaksana Infeksi Post Operasi
an SC Jumlah
PR
Prosedur Ya Tidak Nilai p
(95% CI)
Tahap % %
Sign-In n n n %
Tidak 6 31.6 13 68.4 19 100.0
4.813
Ya 3 7.9 35 92.1 38 100.0 0.048
(1.095-21.160)
Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.11 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC

pada tahap sign-in dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas

kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi

infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19

pasien yang tidak menjalani prosedur sign-in secara lengkap diantaranya

6 pasien (31.6%) yang mengalami infeksi dan 13 pasien (68.4%) tidak

mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur


70

sign-in sebanyak 38 pasien, diantaranya 3 pasien (7.9%) yang mengalami

infeksi dan 35 pasien (92.1%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

(0.048) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan

prosedur SSC pada tahap sign-in dengan kejadian infeksi setelah operasi

SC. Nilai PR sebesar 4.0 yang berarti bahwa prosedur yang tidak

diterapkan pada tahap sign-in akan berisiko 4 kali mengalami infeksi post

operasi SC dibandingkan dengan yang melaksanakan prosedur sesuai

aturan.

Tabel 4.12 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Time-


Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Pelaksanaa Infeksi Post
n Prosedur Operasi SC Jumlah PR
Nilai p
Tahap Ya Tidak (95% CI)
Time-Out N % n % n %
Tidak 7 29.2 17 70.8 24 100.0
4.813
Ya 2 6.1 31 93.9 33 100.0 0.027
(1.095-21.160)
Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.12 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC

pada tahap time-out dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika

petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan

terjadi infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari

24 pasien yang tidak menjalani prosedur time-out secara lengkap

diantaranya 7 pasien (29.2%) yang mengalami infeksi dan 17 pasien

(70.8%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang

menjalani prosedur time-out sebanyak 33 pasien, diantaranya 2 pasien


71

(6.1%) yang mengalami infeksi dan 31 pasien (93.9%) tidak mengalami

infeksi post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

(0.027) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan

prosedur SSC pada tahap time-out dengan kejadian infeksi setelah

operasi SC. Nilai PR sebesar 4.813 yang berarti bahwa prosedur yang

tidak diterapkan pada tahap time-out akan berisiko 4.813 kali mengalami

infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang melaksanakan

prosedur sesuai aturan.

Tabel 4.13 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC tahap Sign-


Out dengan Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD
Tenriawaru Tahun 2017
Infeksi Post Operasi
Pelaksanaan SC Jumlah PR
Proseuder Nilai p
Ya Tidak (95% CI)
Tahap Sign-Out
n % n % n %
Tidak 6 23.1 20 76.9 26 100.0
1.677
Ya 3 9.7 28 90.3 31 100.0 0.488
(0.464-6.058)
Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.13 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC

pada tahap sign-out dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika

petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan

terjadi infeksi post operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari

26 pasien yang tidak menjalani prosedur sign-out secara lengkap

diantaranya 6 pasien (23.1%) yang mengalami infeksi dan 20 pasien

(76.9%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang

menjalani prosedur sign-out sebanyak 31 pasien, diantaranya 3 pasien


72

(9.7 %) yang mengalami infeksi dan 28 pasien (90.3%) tidak mengalami

infeksi post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

(0.488) < 0.05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara

penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out dengan kejadian infeksi

setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 1.677 yang berarti bahwa prosedur

yang tidak diterapkan pada tahap sign-out akan berisiko 1.677 kali

mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang

melaksanakan prosedur sesuai aturan.

Tabel 4.14 Hubungan antara Prosedur Pelaksanaan SSC dengan


Kejadian Infeksi Post Operasi SC di RSUD Tenriawaru
Tahun 2017
Infeksi Post Operasi
Pelaksa SC Jumlah PR
naan Nilai p
Ya Tidak (95% CI)
SSC
N % N % n %
Tidak 7 28.0 18 72.0 25 100.0
4.480
Ya 2 6.3 30 93.7 32 100.0 0.034
(1.018-19.716)
Jumlah 9 15.8 48 84.2 57 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 4.14 menunjukkan hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC

dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak

melaksanakan prosedur dengan baik maka akan terjadi infeksi post

operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 pasien yang

tidak menjalani prosedur secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%)

yang mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami infeksi

post operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur sebanyak 32


73

pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami infeksi dan 30

pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

(0.034) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan

pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi setelah operasi SC. Nilai PR

sebesar 4.480 yang berarti bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan

berisiko 4.480 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan

dengan yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk beberapa variabel yang

berpengaruh terhadap kejadian infeksi setelah operasi SC. Dengan

menggunakan uji regresi logistik ganda bertujuan untuk mencari faktor

yang mempengaruhi kejadian infeksi setelah operasi SC. Meskipun

demikian analisis untuk multivariate yang menggunakan uji regresi logistik

oleh sebagian ahli dianggap sebagai penelitian untuk membangun

hipotesis (hypothesis generating research), yang berarti hasil analisis

multivariat dapat digunakan sebagai latar belakang untuk

mengembangkan penelitian baru yang menguji asosiasi antara variabel

independen dan variabel dependen dengan desain penelitian yang lebih

sederhana dan terarah.


74

Tabel 4.16 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Infeksi Setelah Operasi SCTahun 2017
Variabel B Nilai p OR 95% CI
Tahap Time-Out 1.854 0.030 6.382 1.191-34.214

Step Constant 0.887


3 Nagelkerke 16.2
R Square
Sumber : Hasil Penelitian, 2017 (data primer)

Maka didapatkan model akhir persamaan regresi logistik untuk

menentukan faktor yang paling mempengaruhi kejadian infeksi setelah

operasi SC. Hasil dari regresi logistik tidak bisa langsung diinterpretasikan

dari nilai koefisiennya seperti pada regresi linier. Interpretasi dapat

dilakukan dengan melihat nilai dari exp(B) (nilai estimasi odds rasio) atau

nilai eksponen dari koefisien persamaan regresi yang terbentuk.

Secara keseluruhan model ini dapat memprediksi besar/kecilnya,

tinggi/rendahnya pengaruh faktor yang ada dalam pengaruhya terhadap

kejadian infeksi setelah operasi SC sebesar 16.2%. Jadi dari hasil regresi

logistik tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa variabel yang sangat

berpengaruh dalam kejadian infeksi setelah operasi SC adalah prosedur

pelaksanaan SSC pada tahap time out dengan besar pengaruh sebesar

6.382 kali dibandingkan variable yang berpengaruh lainnya.


75

B. Pembahasan

1. Pengaruh Penerapan Surgical Safety Checklist (Sign In, Time

Out, Sign Out) Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi.

Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting

dalam pelayanan kesehatan.Tindakan pembedahan merupakan salah

satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa,

mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan

yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat

membahayakan nyawa (WHO, 2009).

Implementasi SSC memerlukan seorang koordinator untuk

bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya

seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang

terlibat dalam operasi. SSC dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi

anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan

(Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tapi

sebelum mengeluarkan pasien dari operasi kamar (Sign Out). Pada setiap

fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa

tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih

lanjut

Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah

satu pencegahannya dapat dilakukan dengan SSC. SSC adalah sebuah

daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas

pada pasien. SSC merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien


76

yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim profesional

terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus

konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan

mulai dari the briefing phase, the time out phase, the debriefing phase

sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (JCI,

2011).

SSC disusun untuk membantu tim bedah untuk mengurangi angka

kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya kejadian tidak

diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan mengakibatkan WHO

membuat program SSC untuk mengurangi kejadian tidak diinginkan

(KTD). Dalam praktiknya SSC bermanfaat untuk mengurangi angka

kematian dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan angka

kematian dan komplikasi berkurang setelah digunakan SSC. Penelitian

Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5% menjadi 0,8%

dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0% (Haynes, et al.

2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang serupa bahwa jika SSC

dilaksanakan secara konsisten maka angka kematian mengalami

penurunan dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11%

menjadi 7% (Latonsky, et al., 2010).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan antara prosedur

pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi post operasi (ILO) SC di RSUD

Tenriawaru Kabupaten Bone. Jika petugas kesehatan tidak melaksanakan

prosedur dengan baik maka akan terjadi infeksi post operasi SC. Hasil
77

penelitian menunjukkan bahwa dari 25 pasien yang tidak menjalani

prosedur SSC secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%) yang

mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami infeksi post

operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur SSC lengkap sebanyak

32 pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami infeksi dan 30

pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi SC. Angka tersebut

menunjukkan bahwa tingkat infeksi post operasi SC di RSUD Tenriawaru

Bone masih tinggi karena berdasarkan defenisi sectio caesarea

merupakan pembedahan “bersih” dan seharusnya memiliki angka infeksi

tidak lebih dari 2%.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p

(0.034) <0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara penerapan

pelaksanaan SSC dengan kejadian infeksi setelah operasi SC. Nilai PR

sebesar 4.480 yang berarti bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan

berisiko 4.480 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan

dengan yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.

Petugas di instalasi bedah sentral di RSUD Tenriawaru Bone telah

mendokumentasikan semua fase dalam SSC yaitu fase sign in pada saat

pasien masuk ke kamar operasi dan pra anestesi, fase time out dimana

sebelum insisi tim bedah melakukan konfirmasi tentang pasien dan

masalah yang mungkin dihadapi, fase sign out yaitu sebelum dokter

operator menutup dinding perut, petugas instrument menghitung alat dan


78

kasa kemudian memastikan tidak ada yang tertinggal di dalam rongga

perut.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fridawati rivai

dkk (2013), dengan judul determinan infeksi luka operasi post bedah SC,

hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara waktu pemberian

antibiotik profilaksis (OR = 1,16; 95% CI = 1,09 -1,37), lama rawat

prabedah (OR = 1,12; 95%CI = 1,02 -1,24) dan lama rawat postbedah

(OR = 1,21; 95% CI = 1,04-1,39) dengan kejadian ILO. Faktor lainnya

tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian ILO. Hasil

uji regresi logistik ganda menemukan lama rawat post bedah merupakan

faktor yang paling dominan terhadap kejadian ILO.

Hal senada juga di jelaskan oleh penelitian Weiser yang menunjukkan

angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan setelah dilakukan

penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2%

menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari

20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).

Penelitian yang dlakukan oleh Takala, et al, 2011 di Findland

ditemukan bahwa dari 1748 tindakan operasi, khususnya yang

berhubungan dengan kinerja antara dokter bedah, dokter anastesi, dan

perawat sirkuler. Dengan membandingkan hasil sebelum implementasi

dan setelah implementasi SSC. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa

konfirmasi identitas pasien meningkat dari 62,7 % menjadi 84,0 % oleh


79

dokter anastesi, 71,7 % menjadi 85,5 % ole dokter bedah dan 81,6 %

menjadi 94,2 % untuk perawat sirkuler.

Peneliti lainnya yang dilakukan oleh Geraldo, et al, di Brazil yang

dilakukan terhadap 502 dokter bedah orthopedi, didapatkan 40,8 %

memiliki pengalaman tentang kesalahan letak operasi dan 25,6 %

diantaranya diindikasikan karna faktor kurangnya komunikasi sebeagai

penyebab utama. 35,5 % tidak memberikan tanda pada pasien sebelum

pasien masuk ke kamar operasi. 65,3 % operator tidak mengetahui

sebagian atau keseluruhan tentang SSC. Serta 72,1 % dari operator

belum mendapatkan pelatihan tentang penggunaan SSC.

Studi yang dilakukan WHO “Safe Surgery Saves Lives” juga

menjelaskan hasil studi ujicoba checklist di delapan rumah sakit di enam

negara WHO dengan 3733 pasien sebelum implementasi dan 3955

pasien setelah implementasi. Setelah ujicoba implementasi checklist,

kematian akibat operasi menurun 47% dan komplikasi berkurang 36%.

Penelitian latonsky et al (2010) jika SSC dilaksanakan secara konsisten

akan menurunkan angka kematian dari 1,5% menjadi 0,8% dan

menurunkan angka komplikasi yang terjadi dari 11% menjadi 7%. Tujuan

utama dari SSC untuk menurunkan kejadian tidak diinginkan di kamar

operasi (WHO, 2009). Tujuan dari checklist ini dalam prakteknya juga

untuk memperkuat/membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik

diantara tim operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada di

checklist telah dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan dan


80

menghindari risiko cedera terhadap pasien. Checklist memberikan

panduan dengan cara melakukan interaksi secara lisan (komunikasi)

kepada seluruh tim untuk mengkonfirmasikan apakah standar pelayanan

sudah sesuai untuk setiap pasien yang akan dioperasi.

Williams, et al. (2007) melaporkan kegagalan komunikasi seorang

dokter bedah terhadap tim operasi merupakan penyebab yang sangat

sering dan menyebabkan kejadian tidak diinginkan sebesar 31%.

Kegagalan komunikasi tersebut menyebabkan penundaan perawatan

pasien sebesar 77% dan sebanyak 48% waktu tim operasi terbuang sia-

sia. Masloman (2014), selain komunikasi, kerjasama tim yang kurang baik

diketahui berhubungan dengan peningkatan komplikasi dan kematian.

Menurut peneliti teknik perawatan luka juga menentukan terjadinya

infeksi luka operasi. Semakin baik perawatan luka dilakukan maka

kemungkinan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO) semakin kecil, tetapi

sebaliknya semakin buruk perawatan luka dilakukan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO). Perawatan luka yang

baik pun harus sesuai dengan standar operasional yang ditetapkan

masing-masing rumah sakit. Penderita yang telah dioperasi, seharusnya

2–3 hari kemudian diganti balutannya, kecuali apabila sebelumnya sudah

kotor oleh darah, sekret luka atau kontaminasi dari luar seperti air kotor

maupun debu, maka segera diganti. Namun dalam kenyataannya juga

ditemukan 4 pasien dengan perawatan luka baik tetapi mengalami Infeksi

Luka Operasi (ILO), hal ini dimungkinkan disebabkan oleh faktor


81

penyebab yang lain, diantaranya faktor usia, dan faktor-faktor yang tidak

diteliti peneliti seperti nutrisi atau kebersihan luka sewaktu di rumah.

Infeksi luka operasi (ILO) lebih banyak terjadi di Instalasi Rawat Jalan

yaitu terutama Poli kandungan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor

dari luar rumah sakit dan berbagai keadaan ketika pasien berada di rumah

seperti halnya kebersihan luka sewaktu di rumah. Selain itu kejadian

infeksi yang terjadi ketika pasien masih berada di Ruang Perawatan yaitu

faktor eksogen yang meliputi teknik perawatan luka dan endogen yang

meliputi umur dan penyakit komplikasi memiliki korelasi yang signifikan

dengan Infeksi Luka Operasi (ILO) pada pasien post operasi di RSUD

Tenriawaru Bone.

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di

semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit.

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Pasal 8 Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 1691 Tahun 2011 dan Nine Life- Saving Patient Safety

Solutions dari WHO Patient Safety yang digunakan juga oleh Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint

Commission International (JCI).

Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah

sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.

Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak

adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di

dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
82

verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak

adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang

tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah,

permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca

(illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-

faktor kontribusi yang sering terjadi.

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan

tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien. Kesalahan ini adalah akibat

dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak kuat antara anggota tim

bedah, kurang atau tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi

operasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi

operasi. Penandaan lokasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan pada

tanda yang mudah dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten

di rumah sakit. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus

termasuk sisi (laterality), multiple struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau

multivel level (tulang belakang).

Kebijakan verifikasi praoperatif :

1. Verifikasi lokasi, prosedur,dan pasien yang benar

2. Pastikan bahwa semua dokumen, foto, hasil pemeriksaan yang

relevan tersedia, diberi label dan dipampang dengan baik

3. Verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant-implant

yang dibutuhkan

4. Tahap Time Out (Tahap sebelum insisi):


83

1. Memungkinkan semua pertanyaan/kekeliruan diselesaikan

2. Dilakukan ditempat tindakan,tepat sebelum dimulai,

3. Melibatkan seluruh tim operasi

5. Pakai surgical safety check-list (WHO . 2009)

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar

dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk

mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan

merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional

pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk

pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran

darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan

dengan ventilasi mekanis).

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi

risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Rumah sakit mengadopsi

atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan

sudah diterima secara umum dari WHO Patient Safety. Rumah sakit

menerapkan program hand hygiene yang efektif. Kebijakan dan/atau

prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara

berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

(a) Surgical Safety Checklist (Fase Sign In)

Penerapan SSC pada Fase sign in adalah fase sebelum induksi

anestesi, koordinasi secara verbal memeriksa apakah identitas pasien


84

telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang

akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah

diberikan, pulse oxymetry pada pasien berfungsi. Koordinator dengan

professional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien ada

risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap prosedur pengisian SSC

pada tahap sebelum induksi (sign-in). Dari hasil observasi 100.0%

melakukan konfirmasi identitas pasien, pemeriksaan obat dan mesin

anestesi, dan kapnograph yang telah dipasang.Sebanyak 5.3% tidak

melakukan penandaan area operasi. Masing-masing sebanyak 4

pasien (7.0%) yang mempunyai riwayat alergi dan risiko kehilangan

darah > 500 cc. Sedangkan risiko kesulitan nafas sebanyak 9 pasien

(15.8%).

Dari hasil pelaksanaan prosedur pada tahap sign in. sebanyak

66.7% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 33.3% dianggap

tidak melakukan prosedur pada tahap sign-in.

Peneliti lainnya yang dilakukan oleh Geraldo da Rocha Mota Filho

et al, 2013 di Brazil yang dilakukan terhadap 502 dokter bedah

ortopedi, didapatkan 40,8 % memiliki pengalaman tentang kesalahan

letak operasi dan 25,6 % diantaranya diindikasikan karena faktor

miskomunikasi sebagai penyebab utama. 35,5 % tidak memberikan

tanda pada pasien sebelum pasien masuk ke kamar operasi. 65,3 %

operator tidak mengetahui sebagian atau keseluruhan tentang SSC.


85

Serta 72,1 % dari operator belum mendapatkan pelatihan tentang

SSC.

Yuan CT et al , 2008-2009 di 2 RS di Liberia, dengan melakukan

penelitian pada 232 pasien selama 2 bulan pada pasien yang belum

diintervensi oleh penerapan SSC dan 249 pasien selam 2 bulan yang

relah diintervensi oleh penerapan SSC. Seca signifikan terjadi

penurunan komplikasi pada lokasi pembedahan (OR:0,28;95 % Cl:

0,15-0,54) dan penurunan komplikasi (OR:0,45:95 %CI:0,15-0,54) dan

penurunan komplikasi (OR:0,45:95 %CI:0,26-0,78) serta secara

keseluruhan hal ini berhubungan dengan penerapan atau disebabkan

oleh penggunaan SSC (OR:0,35:95 %CI:0,16-0,76)

Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap sign-in

dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak

melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post

operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 pasien yang

tidak menjalani prosedur sign-in secara lengkap diantaranya 6 pasien

(31.6%) yang mengalami infeksi dan 13 pasien (68.4%) tidak

mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani

prosedur sign-in sebanyak 38 pasien, diantaranya 3 pasien (7.9%)

yang mengalami infeksi dan 35 pasien (92.1%) tidak mengalami

infeksi post operasi SC.

Berdasarkan hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square

diperoleh nilai p (0.048) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan
86

antara penerapan prosedur SSC pada tahap sign-in dengan kejadian

infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.0 yang berarti bahwa

prosedur yang tidak diterapkan pada tahap sign-in akan berisiko 4 kali

mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang

melaksanakan prosedur sesuai aturan.

Infeksi pada luka operasi pada fase Sign In menandakan infeksi

yang timbul karena prosedur operasi dimana tindakan tersebut

dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu, pada umumnya kuman

penyebab infeksi ini banyak yang sudah resisten terhadap antibiotik.

Penanganan infeksi tidak harus menunggu hingga hasil kultur keluar.

(b) Surgical Safety Checklist (fase Time Out)

Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi

memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi

memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.

Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi

dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar,

pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa

antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan prosedur pengisian SSC

pada tahap sebelum insisi kulit (time-out). Dari hasil observasi 100.0%

melakukan antiobiotik profilaksis 60 menit sebelum operasi,

pemberian antibiotik profilaksis diberikan di IRD Obgyn, antisipasi

keadaan kritis pada dokter anestesi, dan antisipasi keadaan kritis


87

pada tim perawat. Sebanyak 42.1% tidak memperkenalkan anggota

tim. Dan sebanyak 5.3% tidak memastikan nama pasien, prosedur,

dan letak incise.

Dari hasil pelaksanaan prosedur pada tahap time out.sebanyak

57.9% melaksanakan prosedur tersebut sedangkan 42.1% dianggap

tidak melakukan prosedur pada tahap time-out.

Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap time-out

dengan kejadian infeksi post operasi SC di RSUD Tenriawaru

Kabupaten Bone. Jika petugas kesehatan tidak melaksanakan tahap

ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post operasi SC. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 24 pasien yang tidak menjalani

prosedur time-out secara lengkap diantaranya 7 pasien (29.2%) yang

mengalami infeksi dan 17 pasien (70.8%) tidak mengalami infeksi post

operasi SC. Sedangkan yang menjalani prosedur time-out sebanyak

33 pasien, diantaranya 2 pasien (6.1%) yang mengalami infeksi dan

31 pasien (93.9%) tidak mengalami infeksi post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai

p (0.027) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara

penerapan prosedur SSC pada tahap time-out dengan kejadian infeksi

setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.813 yang berarti bahwa

prosedur yang tidak diterapkan pada tahap time-out akan berisiko

4.813 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan

yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.


88

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan time out di

RSUD Tenriawaru Bone sudah berjalan sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan oleh KARS tahun 2012. Keberadaan sumber daya

manusia yang bertugas dalam pelaksanaan sign out masih sangat

terbatas pada RSUD Tenriawaru Bone .Meskipun pelaksanaan Sign

Out terbatas akan tetapi Koordinator selalu melaksanakan tugasnya

menceklis pasien operasi pada pelaksanaan time out yang terstandar

sesuai dengan aturan KARS.

Pada kegiatan konfirmasi tentang kesiapan ahli bedah, kesiapan

anestesi, kesiapan perawat, konfirmasi identitas pasien, konfirmasi

lokasi operasi dan konfirmasi prosedur operasi dilakukan oleh

koordinator, Selama penelitian di RSUD Tenriawaru Bone belum ada

kasus salah sisi operasi, salah pasien maupun salah prosedur.

Petugas operasi selalu melakukan cross check rekam medis pasien

dan anggota tim saling mengingatkan, sehingga kejadian salah sisi,

salah pasien dan salah prosedur tidak terjadi. Hal-hal diatas penting

dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pasien dalam proses

pembedahan di kamar operasi dan mengurangi terjadinya kesalahan

dalam prosedur pembedahan di RSUD Tenriawaru Bone.

Fase Time Out merupakan langkah kedua yang dilakukan pada

saat pasien sudah berada di ruang operasi, sesudah induksi anestesi

dilakukan dan sebelum ahli bedah melakukan sayatan kulit. Tujuan

dilakukan time out adalah untuk mencegah terjadinya kesalahan


89

pasien , lokasi dan prosedur pembedahan dan meningkatkan

kerjasama diantara anggota tim bedah, komunikasi diantara tim bedah

dan meningkatkan keselamatan pasien di RSUD Tenriawaru Bone

selama pembedahan. Seluruh tim bedah memperkenalkan diri dengan

menyebut nama dan peran masing-masing. Menegaskan lokasi dan

prosedur pembedahan, dan mengantisipasi risiko. Operator di RSUD

Tenriawaru Bone menjelaskan kemungkinan kesulitan yang akan di

hadapi ahli anestesi menjelaskan hal khusus yang perlu diperhatikan.

Tim perawat menjelaskan ketersedian dan kesterilan alat. Memastikan

profilaksis antibiotik sudah diberikan. Memastikan apakah hasil

radiologi yang ada dan diperlukan sudah ditampilkan dan sudah

diverifikasi oleh 2 orang.

(c) Surgical Safety Checklist (fase Sign Out)

Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang

telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons,

penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan

alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang

dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian

pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan

pasien dari kamar operasi (WHO, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan prosedur pengisian SSC

pada tahap sebelum pasein meninggalkan kamar (sign-out). Dari hasil

observasi 49.1% perawat tidak melakukan konfirmasi secara verbal


90

nama prosedur tindakan. 50.9% tidak mengkonfirmasi kelengkapan

jumlah instrument kassa dan jarum. 80.7% tidak melakukan

penglabelan specimen. Dan 12.3% tidak menyampaikan hal-hal yang

dianggap penting baik penanganan dan pemulihan terhadap pasien.

Hal ini cukup penting sebab ada kondisi dimana pasien atau

kelurga pasien membutuhkan keterangan dan penjelasan mengenai

kondisi setelah pembedahan, misalnya kapan pasien boleh minum dan

makan, kapan boleh bergerak kanan kiri, kapan boleh bangun atau

menggerakkan anggota badan. Serta tindakan apa yang dilakukan jika

terjadi muntah jika pasien yang kesadarannya belum pulih sepenuhnya

atau keluar darah dari luka operasi setelah pemulihan. Pada keadaan

ini dokter terkadang harus memberikan informed consent kembali yang

berhubungan dengan pemulihan ataun setelah tindakan pembedaha

untuk mempertegas consent sebelum operasi karena perubahan atau

kondisi lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya saat dilakukan

tindakan pembedahan.

Dari hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan prosedur pada

tahap sign out. sebanyak 54.4% melaksanakan prosedur tersebut

sedangkan 45.6% dianggap tidak melakukan prosedur pada tahap

sign-out.

Hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC pada tahap sign-out

dengan kejadian infeksi post operasi SC. Jika petugas kesehatan tidak

melaksanakan tahap ini dengan baik maka akan terjadi infeksi post
91

operasi SC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 pasien yang

tidak menjalani prosedur sign-out secara lengkap diantaranya 6 pasien

(19.4%) yang mengalami infeksi dan 25 pasien (80.6%) tidak

mengalami infeksi post operasi SC. Sedangkan yang menjalani

prosedur sign-out sebanyak 26 pasien, diantaranya 3 pasien (11.5%)

yang mengalami infeksi dan 23 pasien (88.5%) tidak mengalami infeksi

post operasi SC.

Hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square diperoleh

nilai p (0.488) < 0.05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan

antara penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out dengan kejadian

infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 1.677 yang berarti bahwa

prosedur yang tidak diterapkan pada tahap sign-out akan berisiko

1.677 kali mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan

yang melaksanakan prosedur sesuai aturan.

Fase Sign Out merupakan tahap akhir yang dilakukan saat

penutupan luka operasi atau sesegera mungkin setelah penutupan lua

sebelum pasien dikeluarkan dari kamar operasi. Koordinator

memastikan prosedur sesuai rencana, kesesuaian jumlah alat, kasa,

jarum, dan memastikan pemberian label dengan benar pada bahan-

bahan yang akan dilakukan pemeriksaan patologi.

Pada tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang

operasi. Dokter bedah, anestesi dan perawat harus memperhatikan

rencana pemulihan post operasi. Sebelum pasien dikeluarkan dari


92

ruang operasi anggota tim melakukan pemeriksaan keselamatan,saat

pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah

memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang

bertanggung jawab di ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini adalah

efisiensi dan tepat trasfer informasi penting untuk seluruhtim (Wizer et

al, 2008).

Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem yang

digunakan untuk mengurangi angka kematian pasien pembedahan

maka diperkenalkanlah SSC WHO yang dibagi ke dalam tiga tahap

sesuai dengan waktunya, sebelum dilakukan induksi anestesi (Sign

in), setelah induksi dan sebelum dilakukan sayatan bedah (Time out),

dan periode selama atau segera setelah penutupan luka dan sebelum

mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign out).

Tujuan utama dari SSC untuk menurunkan KTD di kamar operasi

dan dalam prakteknya juga digunakan untuk memperkuat atau

membina kerjasama dan komunikasi yang lebih baik diantara tim

operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada telah

dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan dan menghindari

risiko cedera terhadap pasien.

Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tidak diharapkan (KTD)

dapat merugikan baik pihak rumah sakit, staf yang terlibat terutama

pasien yang menerima layanan. Dampak yang ditimbulkan antara lain

menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan


93

kesehatan (Walshe & Boaden, 2006), rendahnya kualitas atau mutu

asuhan yang diberikan, karena keselamatan pasien adalah bagian

dari mutu (Cahyono, 2008), dan tentunya tuntutan hukum terkait

cedera yang dialami pasien karena rumah sakit wajib mendahulukan

keselamatan nyawa pasien (Undang-Undang Kesehatan Nomor 36

Tahun 2009). Kondisi ini harus mampu diantisipasi oleh

penyelenggara layanan agar keselamatan pasien terjamin, kontinuitas

pelayanan dan organisasi tetap berjalan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya kejadian infeksi

luka operasi diakibatkan karena ketidakpatuhan petugas kesehatan

dalam melaksanakan SSC di Kamar Operasi, ada beberapa faktor

yang menjadi penyebab terjadinya infeksi luka operasi di RSUD

Tenriawaru Bone. Dalam hal pemahaman tentunya hal tersebut tidak

lepas dari tingkat pendidikan. Menurut Cavoukian (2009), pendidikan

dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan

tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara

mandiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi tingkat

keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan.

Menurut Notoatmodjo (2010), salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap tingkat pengetahuan adalah pendidikan, sehingga apabila

sebagian besar pendidikan perawat sudah cukup tinggi maka tingkat

pemahaman dalam kategori baik merupakan suatu kewajaran saja.

menunjukkan bahwa pemahaman dan kesadaran pentingnya


94

penerapan SSC masih kurang dan alasan terbanyak terkait hal

tersebut adalah kurangnya sosialisasi dan SDM yang kurang.

Sosialisasi yang kurang dapat dikaitkan dengan hasil penelitian ini

mungkin disebabkan oleh karena pada masa kerja yang lebih pendek

petugas bisa saja belum mendapatkan sosialisasi terkait penggunaan

SSC sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pemahaman

dan kepatuhan pengisian SSC : Sign In, time out, dan sign out, bisa

juga meskipun petugas tersebut masa kerjanya lama namun

pendidikannya rendah akan menyebabkan kinerjanya juga rendah.

Selain itu mungkin sosialisasi tentang penggunaan SSC belum atau

jarang dilakukan sehingga perawat anestesi baik dengan masa kerja

yang pendek maupun yang telah lama tidak paham terhadap

penggunaan SSC. Tidak patuhnya pengisian SSC tidak terjadi hanya

karena satu atau dua penyebab melainkan banyak penyebab yang

bisa berkontribusi, mulai dari sistem yang menggerakan pelayanan

kesehatan, sarana dan prasarana sampai dengan kinerja

perseorangan yang bersentuhan langsung dengan pasien, yang

kesemuanya berkolaborasi sehingga kepatuhan tidak tercapai.

Demikian pula pada pengendaliannya, suatu variabel yang berisiko

menyebabkan insiden keselamatan pasien harus dikendalikan secara

menyeluruh meliputi sistem dan lingkungan yang melingkupinya. Pada

penelitian ini dilakukan analisis terhadap lima variable yang

berkontribusi terhadap kepatuhan penggunaan SSC, yaitu usia,


95

pendidikan, masa kerja, kompetensi, dan Standar Prosedur

Operasional (SPO).

Agency for Healthcare Research and Quality (2009), mengatakan

bahwa faktor yang dapat menimbulkan kejadian tidak diharapkan

(KTD) adalah: komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat,

masalah SDM, hal-hal yang berhubungan dengan pasien, transfer

pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, kebijakan

dan prosedur yang tidak adekuat.

Penelitian yang dilakukan Aprilia (2011) menyebutkan dua

kelompok besar faktor penyebab terjadinya kejadian tidak diharapkan

(KTD) yaitu kesalahan atau kegagalan yang bersifat aktif (active errors

or active failure) dan kondisi laten (latent condition). Kegagalan aktif

lebih kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan oleh staf yang

memberikan pelayanan langsung kepada pasien atau langsung

bersentuhan dengan sistem (Reason, 2007). Tindakan yang tidak

aman ini dalam variasi yang berbeda dapat berupa: kehilangan

memori atau lupa, di luar perhitungan, kesalahan dan pelanggaran

prosedur. Kondisi laten merupakan bdibuat oleh para penyusun

kebijakan, manajemen puncak. Kondisi laten ini dapat berupa tekanan

waktu, kekurangan tenaga, peralatan yang tidak adekuat, kelelahan

dan kurang pengalaman.


96

(d) Mengetahui pengaruh penerapan Surgical Safety Checklist

dengan kejadian Infeksi Luka Operasi

Haynes, et al, 2008 dalam penelitiannya di 8 rumah sakit di 8

kota, dengan jumlah pasien 3733 pasien sebelum implementasi

SSC dn 3955 pasien setelah implementasi. Hasil penelitiannya

didapatkan rata-rata penrunan komplikasi dari 11,0% menjadi 7,0 %

setelah implementasi SSC. Tingkat kematian rata-rata di Rumah

Sakit sebesar 1,5 % turun menjadi 0,8%. Secara keseluruhan

kasus komplikasi berupa infeksi luka operasi dan membutuhkan

tindakan re operasi turun secara signifikan (P<0,001 dab P=0,047).

Mereka juga menemukan angka penggunaan antibiotik meningkat

dari 56 % menjadi 83 % yang berhubungan dengan menurunnya

angka kejadian infeksi sebesar 33 %. Dalam bidang obstetric

pemeriksaan secara spesifik kadar hemoglobin maternal,

merupakan prioritas utama sebelum suatu tindakan sectio

caesarea.

Weiser, TG et al, 2010 di 8 rumah sakit di Boston. USA,

didapatkan hasil rata-rata komplikasi menurun dari 18,4 % menjadii

11,7 % setelah SSC diperkenalkan. Rata-rata kematian menurun

dari 3,7 % menjadi 1,4 %.

Dalam penelitian ini didapatkan dari 25 pasien yang tidak

menjalani prosedur secara lengkap diantaranya 7 pasien (28.0%)

yang mengalami infeksi dan 18 pasien (72.0%) tidak mengalami


97

infeksi post operasi SC. Infeksi yang didapatkan pada pasien post

operasi SC adalah gatal pada area jahitan, keluar cairan putih-

kekuningan (nanah) dan darah disela jahitan dan jahitan tampak

kemerahan dan meradang/bengkak. Dari hasil observasi, infeksi

yang didapatkan pada pasien yang tidak menjalani prosedur secara

lengkap adalah keluar cairan putih-kekuningan (nanah) dan darah

disela jahitan sebanyak 6 orang dan gatal pada area jahitan

sebanyak 1 orang. Sedangkan infeksi yang didapatkan pada pasien

yang menjalani prosedur secara lengkap adalah jahitan tampak

kemerahan dan meradang/bengkak sebanyak 2 orang.

Pasien yang tidak menjalani prosedur secara lengkap dan

tidak mengalami infeksi luka operasi bisa disebabkan karena usia

yang masih muda pada saat SC atau persalinan pertama

(primipara), proses penyembuhan luka yang baik, dan perawatan

luka yang baik pada saat pasien pulang ke rumah serta nutrisi yang

baik pada pasien tersebut. Sedangkan yang menjalani prosedur

sebanyak 32 pasien, diantaranya 2 pasien (6.3%) yang mengalami

infeksi dan 30 pasien (93.7%) tidak mengalami infeksi post operasi

SC. Pasien yang menjalani prosedur secara lengkap dan

mengalami infeksi luka operasi bisa disebabkan karena perawatan

luka yang kurang baik pada saat pasien pulang ke rumah serta

nutrisi yang kurang baik pada pasien tersebut.


98

Dengan hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi

square diperoleh nilai p (0.034) < 0.05 yang berarti bahwa terdapat

hubungan antara penerapan pelaksanaan SSC dengan kejadian

infeksi setelah operasi SC. Nilai PR sebesar 4.480 yang berarti

bahwa prosedur yang tidak diterapkan akan berisiko 4.480 kali

mengalami infeksi post operasi SC dibandingkan dengan yang

melaksanakan prosedur sesuai aturan.

Penelitian ini merupakan suatu proses implementasi dari

suatu kebijakan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan di

rumah sakit dalam hal peningkatan mutu pelayanan dan

keselamatan pasien.

C. Dampak Manegerial Rumah sakit terhadap Kejadian Infeksi

Luka Operasi Serta Penaggulangannya.

Salah satu contoh masih adanya kejadian tidak diharapkan

(KTD) di RSUD Tenriawaru Bone di mana masih adanya kejadian

Infeksi luka operasi post SC yang diakibatkan berbagai macam

faktor salah satunya ketidakpatuhan dalam pengisian SSC di ruang

operasi. Beradasarkan kejadian tersebut menyebabkan dampak

yang cukup signifikan bagi manajerial Rumah Sakit Umum Daerah

Tenriawaru Bone.

Dari hasil peneltian di atas dapat dilihat betapa besarnya

dampak yang ditimbulkan dari infeksi luka operasi SC. Karena

selama ini penelitian tentang infeksi luka operasi SC belum pernah


99

dilakukan di RSUD Tenriawaru Bone kita ketahui bahwa Infeksi

luka operasi SC sangat merugikan pasien dan rumah sakit itu

sendiri.

Infeksi luka operasi SC merupakan suatu komplikasi post

bedah yang sangat merugikan pasien dan rumah sakit jika tidak

dikendalikan. Komplikasi infeksi luka operasi SC efektif

menyebabkan outcome luka pasien menjadi jelek bahkan bisa

terjadi kematian, bagi rumah sakit dapat menyebabkan pendapatan

rumah sakit menjadi menurun dan reputasi rumah sakit menjadi

jelek. Ruang operasi bisa merupakan salah satu tempat terjadinya

infeksi apabila keadaan ruang operasi tersebut tidak sesuai dengan

prosedurnya.

Angka kejadian infeksi akibat operasi/ nosokomial telah

dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin

operasional suatu rumah sakit dapat dicabut jika tingginya kejadian

infeksi nosokomial/ (KTD). Dan hasil penelitian ini juga dapat

dijadikan acuan untuk mengurangi kejadian ILO dan dapat

digunakan untuk kepentingan akreditasi RSUD Tenriawaru Bone.

Corrad, 2011 menyebutkan beberapa hipotesis yang

berhubungan dengan implementasi perubahan pelayanan

kesehatan yaitu transparanasi, pengawasan dan akuntabilitas,

kepemimpinan, pengorganisasian proses pelayanan, motivasi dan

kompetensi, dengan kata lain perubahan suatu pola pelayanan


100

yang terstruktur dan memiliki standar sbagian besar ditentukan oleh

peran organisasi dan manajemen dalam hal ini Rumah Sakit dan

mulai dari tigkat Direktur sampai jajaran terendah dari manajemen

dalam harus merubah pola pikir atau mind set. Pada hasil penelitian

msih ditemukan 25 checklist yang belum terisi secara lengkap,

artinya dalam pengimplementasian protokol yang belum

dilaksanakan secara penuh.

Dalam proses implementasi SSC di IBS RSUD Tenriawaru

perlu pengawasan yang dilakukan oleh manajemen dengan menata

dan mengevaluasi kembali proses di kamar operasi serta

memotivasi dokter bedah, anastesi dan perawat. Kesadaran

petugas yang terlibat bahwa keberhasilan , operasi bukan hanya

pada keterampilan, pengalaman dan kepandaian seorang operator,

tetapi kepatuhan pada standar dan prosedur termasuk mematuhi

pengisian checklist, sebagai bagian dari peningkatan mutu dan

kualitas hasil pembedahan demi keselamatan pasien.

Implementasi SSC membutuhkan peran Manajemen sebagai

regulator, penggerak dan penentu kebijakan. Peran staf dalam hal

ini melakasanakan tugas pokok dan fungsinya dalam implmentasi,

juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan di lapangan baik

secara individu maupun tim. Pasien dalam hal ini dalan sasaran di

samping memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan bermutu dan

berkualitas juga memilliki kewajiban untuk mematuhi ketentuan


101

sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya rumah sakit untuk

memaksimalkan pelayanan kesehatan dan penyembuhan pada

pasien itu sendiri. Penelitian ini mlibatkan pasien sebagai fokus

pengisian checklist melalui mekanisme komunikasi (informed

consent) dalam menerima tindakan medis. Peran dokter dan

perawat memastikan segala sesuatu sudah dilaksanakan dan

segala aspek yang berhubungan dengan tindakan medis dan

risikonya telah disiapkan dan diantisipasi. Kepastian semua telah

dilaksanakan dan disiapkan dibuktikan dengan checklist ini.

Pada penelitian ini terjadinya infeksi memang bukan sesuatu

yang tidak dapat dihindarkan. 9 infeksi yang terjadi dikaitkan

dengan audit klinis, perlu dievaluasi apakah dari aspek prosedur

uang telah dilaksanakan dengan baik terutama dalam pengelolaan

pasien yang akan atau telah dilakukan pembedahan. Audit klinis

perlu dlkaukan untuk mengevaluasi dimana letak kesalahan atau

kelemahan dalam melakukan standar operasional prosedur pasien

di kamar operasi.

Kejadian infeksi merupakan pembahasan komite medik

(subkomite mutu) dalam upaya mempertahankan mutu profesi dan

pengendalian mutu profesi komite medik. Tindak lanjut untuk

kejadian yang terjadi di IBS RSUD Tenriawaru dengan memantau

kulaitas pelayanan misalnya morning report kasus sulit, kasus

kematian (death case), audit medis.


102

Bagi rumah sakit Tenriawaru Bone perlu adanya

perkembangan perencanaan keperawatan khususnya mengenai

perawatan luka yang disesuaikan dengan teori atau standar yang

telah ditentukan .Serta meningkatkan mutu dan standar operasional

prosedur khususnya untuk perawatan luka sebagai upaya

mengoptimalkan pencegahan terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO).

Bagi perawat ruang di RSUD Tenriawaru Bone diperlukan adanya

peningkatan pelayanan dalam hal perawatan luka dan mengikuti

berdasarkan standar perawatan luka yang ada. Selain itu juga

memandang dan meminimalkan faktor-faktor penyebab infeksi yang

lain untuk lebih meminimalkan kejadian infeksi luka operasi. Dan

diperlukan supervisi yang ketat dari kepala ruangan untuk

mengawasi pelaksanaan teknik perawatan luka. Peningkatan mutu

pelayanan dalam hal perawatan luka. Dalam perawatan luka

sebaiknya sesuai standar yang ditetapkan di rumah sakit, serta

memberi obat pada luka tersebut dan tidak hanya ditutup dengan

kassa steril saja. Bagi Perawat di Poli Bedah dan Poli Kandungan

perlu diberlakukannya peningkatan perawatan luka yang sesuai

dengan standar di RSUD Tenriawaru Bone. Selain itu untuk pasien

infeksi diperlukan kontrol ulang sampai luka benar-benar

membaik.Dalam hal ini tidak hanya memandang dari satu faktor

penyebab infeksi luka operasi, tetapi dari faktor-faktor yang lain


103

supaya infeksi luka operasi (ILO) bisa diminimalkan angka

kejadiannya.

Dampak dari infeksi luka operasi SC efektif menyebabkan

ketidak-berdayaan fungsional, menyebabkan tekanan emosional,

lama hari perawatan bertambah panjang, penderitaan bertambah,

dan kadang-kadang akan menyebabkan kondisi kecacatan

sehingga menurunkan kualitas hidup, serta biaya perawatan dan

pengobatan meningkat. Rumah sakit akan merugi karena

pendapatan rumah sakit menurun dan reputasi rumah sakit

menjadi jelek (Haugen, 2015).

Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun

2009 yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety)

adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan

pelayanan kepada pasien secara aman termasuk didalamnya

pengkajian mengenai risiko, identifikasi, manajemen risiko terhadap

pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar

dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk

mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko.

Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak

seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan

terjadi (penyakit, koma, cedera fisik/ social psikologi, cacat,

kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan ( KKP-RS, 2008 ).

Patient safety ( keselamatan pasien ) rumah sakit adalah suatu


104

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.

Hal ini termasuk : assement risiko, identifikasi dan pengelolaan hal

yang berhubungan dengan risiko pasien, laporan dan analisis

insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.sistem ini

mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan

akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

yang seharusnya diambil ( Depkes,2008).

Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah

sakit harus mendesign (merancang) proses baru atau memperbaiki

proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui

pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak

Diharapkan (KTD), dan melakukan perubahan untuk meningkatkan

kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut

harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan

pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik

bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi

pasien sesuai dengan ” Tujuh Langkah Keselamatan Pasien

Rumah Sakit”

Berkaitan hal tersebut diatas maka perlu ada kejelasan perihal tujuh

langkah keselamatan pasien rumah sakit tersebut :


105

1. Bangun Kesadaran akan Nilai Keselamatan Pasien

Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.Langkah

penerapan:

A.Bagi Rumah Sakit :

a. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang mejabarkan apa

yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden,

bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus

dilakukan dandukungan apa yang harus diberikan kepada staf,

pasien dan keluarga

b. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan

peran dan akuntabilitas individual apabila ada insiden,

tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang

terjadi di rumah sakit.

c. Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian

keselamatan pasien.

B.Bagi Unit/Tim :

a. Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara

mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan apabila

ada insiden

b. Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai

di rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat

secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta

pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.


106

2. Pimpin dan Dukung Staf

Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang

Keselamatan Pasien di rumah sakit anda.Langkah penerapan:

A.Untuk Rumah Sakit :

a. Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung

jawab atas Keselamatan Pasien

b. Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat

diandalkan untuk menjadi ”penggerak” dalam gerakan

Keselamatan Pasien

c. Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat

Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit

d. Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan

staf rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan

diukur efektivitasnya.

B.Untuk Unit/Tim :

a. Nominasikan ”penggerak” dalam tim anda sendiri untuk

memimpin Gerakan Keselamatan Pasien

b. Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta

manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan

Keselamatan Pasien

c. Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.


107

3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko

Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan

identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. Langkah

penerapan:

A. Untuk Rumah Sakit :

a. Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam

manajemen risiko klinis dan non klinis, serta pastikan hal

tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan

Pasien dan Staf

b. Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem

pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh Direksi/Pimpinan

rumah sakit

c. Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari

sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat

secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien.

B.Untuk Unit/Tim :

a. Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan

isu-isu Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik

kepada manajemen yang terkait

b. Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam

proses asesmen risiko rumah sakit


108

c. Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk

menentukan akseptabilitas setiap risiko, dan ambil lah langkah-

langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut

d. Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai

masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah

sakit.

4. Kembangkan Sistem Pelaporan

Pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/

insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS).Langkah penerapan :

A. Untuk Rumah Sakit :

a. Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke

dalam maupun ke luar, yang harusdilaporkan ke KPPRS -

PERSI.

B. Untuk Unit/Tim :

a. Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara

aktif melaporkan setiap insiden yang terjadidan insiden yang

telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung

bahan pelajaran yang penting.

5. Libatkan dan Berkomunikasi dengan Pasien

Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan

pasien.Langkah penerapan :

A.Untuk Rumah Sakit :


109

a. Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas

menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka tentang insiden

dengan para pasien dan keluarganya

b. Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang

benar dan jelas apabila terjadi insiden

c. Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada

staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.

B.Untuk Unit/Tim :

a. Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan

pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden

b. Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga

apabila terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka

informasi yang jelas dan benar secara tepat

c. Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati

kepada pasien dan keluarganya

6. Belajar dan Berbagi Pengalaman tentang Keselamatan Pasien

Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk

belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.Langkah

penerapan:

A.Untuk Rumah Sakit :

a. Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian

insiden secara tepat, yang dapatdigunakan untuk

mengidentifikasi penyebab
110

b. Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria

pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause

Analysis/RCA) atau Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)

atau metoda analisis lain, yang harus mencakup semua insiden

yang telah terjadi dan minimum satu kali per tahun untuk

proses risiko tinggi.

B.Untuk Unit/Tim :

a. Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis

insiden

b. Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak

di masa depan dan bagilahpengalaman tersebut secara lebih

luas.

7. Cegah Cedera melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien

Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk

melakukan perubahan pada sistem pelayanan.Langkah penerapan:

A.Untuk Rumah Sakit :

a. Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari

sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit

serta analisis, untuk menentukan solusi setempat

b. Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem

(struktur dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau

kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang

menjamin keselamatan pasien.


111

c. Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang

direncanakan

d. Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS - PERSI

e. Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang

diambil atas insiden yang dilaporkan

B.Untuk Unit/Tim :

a. Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk

membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.

b. Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda

dan pastikan pelaksanaannya.

c. Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak

lanjut tentang insiden yang dilaporkan.

Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan

panduan yang komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga

tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap

rumahsakit.

Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan

dan tidak harus serentak. Pilih langkah-langkah yang paling strategis dan

paling mudah dilaksanakan di rumah sakit.Bila langkah-langkah ini

berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan.

Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit dapat

menambah penggunaan metoda metoda lainnya.


112

Berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011, tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit, insiden kesalamatan pasien terdiri

dari :

1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan

cedera pada pasien akibat melaksanakan suau tindakan atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan

karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Kejadian

tersebut dapat terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari

diagnosis, pengobatan dan pencegahan (Reason, 1990 dalam

To Err Is Human :Building A Safaer Health System)

2. Kejadian Tidak Cerdera (KTC)

Suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak

mengakibatkan cedera.

3. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)

Terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.

Misalnya suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan,

tetapi, staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat

diberikan kepada pasien.

4. Kejadian Potensial Cedera (KPC)

Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera,

tetapi belum terjadi insisden.Misalnya obat-obatan LASA (Look

Alike Sound Alike) disimpan berdekatan.


113

5. Kejadian Sentinel

Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera

yang serius.Biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak

diharapkan atau tidak dapat diterima seperti operasi pada

bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata sentinel terkait

dengan keseriusan cedera yang terjadi (misalnya amputasi

pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta-fakta terhadap

kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada

kebijakan dan prosedur yang berlaku.

The Institute of Medicine’s (IOM’s), melalui laporannya yang

berjudul To Err is Human : Building a Safer Health System

yaitu:

“Health care is composed of large set of interacting system-

paramedic, and emergency, ambulatory, impatient care, and

home health care; testing imaging laboratories; pharmacies;

and so fort-that are coupled in loosely connected but intricate

network of individuals, teams; procedures, regulations,

communications, equipment, and devices that function with

diffused management in a variable and uncertain environment.

Physicians in community practice may be so tenuously

connected that they do not even view themselves as part of the

system of care”
114

Laporan tersebut menekankan bahwa yang meningkatkan

pencegahan terhadap insisden (adverse event) adalah berupa

factor yang sistemik, artinya, tidak hanya berasal dari kinerja

seorang perawat, dokter, atau tenaga kesehatan lain (Hickam

et al, 2003). Laporan tersebut juga member perhatian pada

factor komunitas manusia yang terlibat pada masalah

pelayanan kesehatan.Insiden keselamatan pasien dihasilkan

dari interaksi atau kecenderungan dari beberapa faktor yang

diperlukan kecuali beberapa faktor yang tidak sesuai.

Kekurangan pada faktor-faktor tersebut terlihat pada sistem,

telah lama ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi

poin penting adalah pada pemahaman bahwa ada kebutuhan

untuk menyadari dan memahami fungsi dari banyaknya sistem

yang masing-masing berkaitan dengan setiap penyedia layanan

kesehatan dan bagaimana kebijakan serta tindakan yang

diambil pada suatu bagian (dalam sistem tersebut) akan

berdampak pada keamanan, kualitas, dan efisiensi pada sistem

bagian lainnya.

Manajemen risiko dalam Pelayanan Kesehatan merupakan

upaya untuk mereduksi KTD yang dalam pelayanan kesehatan

apabila hal ini terjadi akan merupakan beban tersendiri,

terlepas dari KTD tersebut karena risiko yang melekat ataupun

memang setelah dianalisis karena adanya error atau


115

negligence dalam pelayanan. Apabila KTD sudah terjadi, beban

pelayanan tidak hanya pada sisi finansial semata, namun

beban psikologis dan sosial kadang-kadang terasa lebih

berat.Untuk mencegah KTD dan menempatkan risiko KTD

secara prorposional beberapa pendekatan dapat dilakukan

pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada faktor

manusianya (pasien dan tenaga kesehatannya), maupun dari

sisi organisasinya.

Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan yang

berhubungan langsung dengan pasien harus mengutamakan

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi

dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit (Undang-Undang

tentang Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 29b UU

No.44/2009). Pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan

berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya

selama dalam perawatan di rumah sakit (Undang-Undang

tentang Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 32n UU

No.44/2009).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kejadian yang tidak

diharapkan dalam pelayanan kesehatan semakin meningkat.

Kejadian yang tidak diharapkan (KTD) atau dalam literarur

berbahasa Inggris dikenal dengan istilah adverse event adalah


116

kondisi akibat pelayanan yang menimbulkan rasa tidak

nyaman, tidak sembuh, kecacatan bahkan kematian.KTD pada

dasarnya adalah risiko yang melekat dari tindakan pelayanan

kesehatan, hal ini mengingat bahwa dalam pelayanan

kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (inspaning

verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante

verbintennis).Dalam hal ini kejadian tidak diinginknan (KTD)

tidak dapat dikatakan malpraktik medik apabila terbukti nantinya

upaya yang dilakukan sudah benar walaupun kenyataannya

hasil pelayanan tersebut bisa saja menyebabkan kecacatan

bahkan kematian.

Keselamatan pasien saat ini menjadi isu global dan

terangkum dalam lima isu penting yang terkait di rumah sakit

yaitu: keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja

atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan

di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan

pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green

productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan

dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan

kelangsungan hidup rumah sakit. Keselamatan pasien

merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan terkait dengan

isu mutu dan citra perumahsakitan (Depkes, 2008).


117

Keselamatan pasien merupakan langkah kritis pertama

untuk memperbaiki kualitas pelayanan. Tercermin dari laporan

Institute Of Medicine (IOM) tahun 2008 tentang KTD (adverse

event) di rumah sakit kota Utah dan Colorado sebesar 2,9%

dan 6,6% KTD berupa meninggal dunia. Di kota New York KTD

(adverse event) sebesar 3,7% dan 13,6% KTD berupa

meninggal dunia. Angka kematian akibat KTD pada pasien

rawat inap di Amerika adalah 33,6 juta di tahun 1997, di kota

Utah dan Colorado berkisar 44.000, sementara di New York

98.000 per tahun (IOM, 2008). Laporan tersebut mencerminkan

bahwa keselamatan pasien kurang diterapkan, sehingga

banyak KTD yang akhirnya menciptakan pelayanan kesehatan

yang kurang bermutu. Menanggapi hal ini Indonesia telah

mendirikan KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah

Sakit) oleh PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia)

(Depkes, 2008).

Pandjaitan (2015), menyatakan bahwa budaya

keselamatan merupakan faktor dominan dalam upaya

keberhasilan keselamatan dan kunci bagi terwujudnya

pelayanan yang bermutu dan aman. Kedisiplinan, ketaatan

terhadap standar, prosedur dan protokol, bekerja dalam tim,

kejujuran, keterbukaan, saling menghargai adalah nilai dasar

yang harus dijunjung tinggi. Manajemen diperlukan dalam untuk


118

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Seluruh tingkatan

manajer dituntut untuk memiliki kemampuan kepemimpinan dan

menjalankan fungsi manajerial. Pemimpin bertugas

membangun visi, misi, mengkomunikasikan ide perubahan,

menyusun strategi sehingga setiap komponen dalam organisasi

akan bekerja dengan memperhatikan keselamatan (Cahyono,

2012).

Mutu pelayanan sebagai hasil dari sebuah sistem dalam

organisasi pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh komponen

struktur dan proses. Organisasi (struktur dan budaya),

manajemen, sumber daya manusia, teknologi, peralatan,

finansial adalah komponen dari struktur.Proses pelayanan,

prosedur tindakan, sistem informasi, sistem administrasi, sistem

pengendalian, pedoman merupakan komponen proses.

Keselamatan pasien merupakan hasil interaksi antara

komponen struktur dan proses. Mutu pelayanan rumah sakit

dapat dilihat dari segi aspek-aspek sebagai berikut: aspek klinis

(pelayanan dokter, perawat dan terkait teknis medis), aspek

efisiensi dan efektifitas pelayanan, keselamatan pasien dan

kepuasan pasien (Donabedian 1988, dalam Cahyono, 2012).

Hasil penelitian Hasri (2012) dengan judul “Praktik

Keselamatan Pasien: SSC” mengungkapkan bahwa tujuan

utama dari keselamatan pasien adalah mencegah terjadinya


119

cidera yang diakibatkan oleh kesalahan akibat melaksanakan

suatu tindakan atau tidak melaksanakan tindakan yang

seharusnya diambil.Tujuan tersebut dapat ditempuh dengan

upaya peningkatan mutu pelayanan medis di rumah sakit yang

dilakukan secara gotong-royong oleh tenaga medis, staff

kesehatan fungsional dengan melakukan pelayanan medis

yang bermutu. Pelaksanaan audit medis di rumah sakit

merupakan salah satu upaya yang efektif dan efisien untuk

melakukan monitoring peningkatan kualitas pelayanan.

Indikator patient safety goals (IPSG) merupakan ukuran

yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien

selama dirawat di rumah sakit. Indikator patient safety

bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang

dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang

berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi

menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada

IPSG ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya

yangdapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak

diharapkan pada pasien (Asyifa, 2012). Secara umum IPSG

terdiri atas 2 jenis, yaitu IPSG tingkat rumah sakit dan IPS

tingkat area pelayanan.

Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling

umum disebabkan antara lain: Masalah komunikasi, kurangnya


120

informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan

isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi, staffing pola /

alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan

prosedur. Tujuan umum keselamatan pasien antara lain :

Mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan

komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat,

hilangkan salah- tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang

salah, mengurangi risiko infeksi terkait perawatan kesehatan

dan mengurangi risiko bahaya pasien jatuh .


121

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh SSC terhadap kejadian

infeksi luka operasi di RSUD Tenriawaru Bone, menunjukkan adanya

hubungan antara prosedur pelaksanaan SSC dengan kejadian Infeksi

Luka operasi (ILO) SC di RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone. Jika

SSC dilaksanakan secara konsisten akan menurunkan angka kejadian

Infeksi Luka Operasi.

1. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap sign in diperoleh hasil,

penerapan prosedur SSC pada tahap sign-in berpengaruh

terhadap menurunnya kejadian infeksi setelah operasi SC.

2. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap time-out diperoleh hasil,

penerapan prosedur SSC pada tahap time-out berpengaruh

terhadap kejadian infeksi setelah operasi SC.

3. Pelaksanaan prosedur SSC pada tahap sign-out diperoleh hasil,

penerapan prosedur SSC pada tahap sign-out tidak berpengaruh

terhadap menurunnya kejadian infeksi setelah operasi SC.

4. Pelaksanan prosedur SSC pada tahap time out merupakan tahap

yang sangat berpengaruh terhadap menurunnya kejadian infeksi

setelah operasi SC.


122

B. Saran

1. Petugas

a) Perlu adanya kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai

pentingnya keselamatan pasien dan makna implementasi SSC

bagi semua pihak di Instalasi Bedah Sentral RSUD Tenriawaru.

b) Dokter dan perawat yang terlibat dalam tindakan pembedahan

memaksimalkan keselamatan pasien dengan melaksanakan

tindakan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

2. Manajemen Rumah Sakit

a) Perlu peran serta yang lebih besar dari pihak manajemen Rumah

Sakit khususnya dari aspek mutu dalam hal ini keselamatan

pasien melalui upaya penyusunan pedoman, implementasi di

lapangan dan evaluasi melalui komite keselamatan pasien di

RSUD Tenriawaru.

b) Meaksimalkan peran komite mutu dan keselamatan pasien

dengan tugas diantaranya perlunya pengaturan alur mekanisme

pelaporan jika terjadi sentinel event sebagai bagian dari

penerapan keselamatan pasien di RSUD Tenriawaru terutama

dalam upaya melaksanakan standar akreditasi RS dan

dokumentasi kejadian yang berhubungan dengan keselamatan

pasien.
123

DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),2009 AHRQ Quality
Indicators Guide to Patient Safety Indicators., 4.2.
American Society of Anesthesiologist Task Force on Obstetric Anesthesia,
2007. Practice Guidelinesfor Obstetric Anesthesia: An Update
Report by the American Society of Anethesiologists Task Force
on Obstetric Anesthesia.
Aprilia,S., 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam
penerapan internasional patient safety goals (IPSG) pada
akreditasi JCI (Joint Commission Iinternational ) di instalasii
rawat inap RS swasta tahun 2011. Universitas Indonesia.
Andayani & Inayati 2012. Pengaruh Umur dan Penyakit Penyerta terhadap
Risiko ILO pada Pasien Bedah,Gastrointestinal. 2(2).
Asyifa, A.& Mato,S.,2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan ILO
di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.1(2).
Athifah N, Pasinring, S.A. & Kapalawi,I.2014. Gambaran Budaya
Keselamatan Pasien di RSUD Syekh Yusuf Kabupatan Gowa.
Repository Unhas, pp. 1-16
Basri, H.,2007. Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan Bidan
Evaluasi Pelatihan di Kulon Progo. Available at :
http://www.kinerjaklinik-perawatbidan.or.id[Accessed December
20, 2016].
Cahyono, J.S.B., 2012, Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktik Kedokteran, Yogyakarta: Kanisius
Cavoukian, A, 2009, Surgical Safety Checklist, Canada: Council of
Canadian Academies.
Chandranita, I.A., 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.
Jakarta: EGC
DEPKES . 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Dharma,K.K.2011. Metodologi Penelitian Keperawatan ; Trans Info Media,
Jakarta.
124

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan keteknisian Medik Direktorat


Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.2011. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Keperawatan
di Rumah sakit.Jakarta.
Evi, H., 2005.Ciri-Ciri, Iklim Organisasi, dan Kinerja Perawat di Instalasi
Rawat Inap RS Dr.Achmad Moechtar Bukittinggi. Universitas
Gadjah Mada.
Gillies,D.A., 2006. Manajemen Keperawatan (Suatu Pendekatan Sistem).
2nd ed., Philadelphia : WB Saunders Company.
Faridah, I.N. & Andayani, T.M., 2012. Pengaruh Umur dan Penyakit
Penyerta Terhadap Resiko Infeksi Luka Operasi Pada Pasien
Bedah Gastrointestinal. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 2(2),
pp.187-194.
Haryanti, L. dkk ., 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi
Pasca-Bedah. Sari Pediatri. 15 (4), pp. 207-212
Hasri, E.T., 2012. Praktik Keselamatan Pasien: Surgical Safety Checklist.
Repository UGM
Haugen, AS. 2015, Effect of the World Health Organization checklist on
patient outcomes. Annal of Surgery, 261 (5), pp.491-499.
Haynes, A.B, et al., 2009. A Surgical Safety Checlikst to Reduce Morbidity
and Mortality in a Global Population. New England Journal of
Medicinie, 360 (5), pp. 491-499.
Hermawan, I., Saryono & Sntoso, D., 2014. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume 10, No. 3. Jurnal Ilmiah Keperawatan,
10(3), pp. 124-132.
Hendrik, H, 2014. Gambaran Penerapan Surgical Patient Safety Fase
Time Out di RS PKU Muhammadiyah Gombong.
Hickam, et al. 2003. The Effect Of Health Care Conditions On Patient
Safety. Evidence Report/Technology Assessment. AHRQ
Publication 3 (31).
125

Howard, A.W, 2011, Surgical Safety WHO SSC, The New England Journal
of Medicine.
Institute of Medicine, 2008, To Err is Human: Building a Safer Health
System. Washington D.C: The National Academies Press..
Joint Commision International (JCI). 2011 Patient Safety, essentials for
health care. (International Edition).USA.
Karina, 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan
Keselamatan Pasien di Kamar Bedah. Repository UGM.
Kemenkes, 2011. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1691 / MENKES / PER / VIII /2011.
Khofiyah, 2015. Evaluasi pelaksanaan SSC di rumah sakit
muhamdiyah:gombong:Stikes Muhammadiyah.
Khon, L.T., Corrigan,J.M. & Donaldson, M.S., 1999. To Err is Human:
Building a Safer Health System Co. on Q. of H.C. In America,
ed., Washington DC: National Academy Press.
Latosinsky, S., Thirlby, R., Urbach, D. 2010 Use of a SSC to Reduce
Morbidity and Mortality. Canadian Journal of Surgery, 53(1) pp.
64-66.
Masloman, A.P., dkk., 2012.. Analisis Pelaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Kamar Operasi RSUD. Dr. Sam
Ratulangi Tondano., pp.238-249.
Menteri Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.Departemen Kesehatan RI.
Mochtar Rustam. 2011. Sinopsis Obstentri Fisiologi dan Obstentri
Patofisiologi. Edisi 3 Jilid I. Jakarta.EGC.
Mulyati, L. dan Sufyan. A. 2008. Pengembangan Budaya Patient Safety
Dalam Praktik Keperawatan. Yogyakarta.
National Patient Safety Agency. 2012. Manchester Patient Safety
Framwork. Manchester : University of Manchester.
126

National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) System Report, 2010,


Publich Health Service, US Departement of health and Human
Service Atlanta, Georgia.
Notoatmodjo,S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursyahfitri.2011.Pengaruh Budaya Kerja dan Komitmen Karyawan
Terhadap Kinerja Karyawan Pada Karyawan Divisi Produksi
PT. Marumitsu Indonesia. Repository USU.
Pandjaitan, C., 2013. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit harus
diantisipasi. Politik Indonesia
Pandjaitan, C., 2015. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Meningkatkan Mutu Layanan Kesehatan.Continuing Nurse
Education. Yogyakarta.
Permenkes. 2009. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Potter, P. & Perry,A., 2006.Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep,
Proses, dan Praktik. 4th ed. R.Komalasari, Jakarta:EGC.
PPNI. 1999. Panduan Keperawatan dan Praktek Keperawatan,Jakarta,
Indonesia : PPNI.
Profil 2017, Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Kabupaten Bone.
Profil 2016, Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Kabupaten Bone.
Pujianti A., 2015 . Pengaruh Implemantasi SSC Terhadap keselamatan
Pasien di RS Khusus mata Yogyakarta. Aisyiyah Yogyakarta.
Putra, R., & Asrizal. 2012. Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi
Nosokomial luka Pasca Bedah.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
Rivai, F., Koentjoro, T, & Utarini, A., 2013. Determinant of Surgical Site
Infection Post-Section Caesarea. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 8(5),pp.235-240.
127

Riyadi, S., & Hatmoko, 2012. Standar Operating Procedure Dalam Praktik
Klinik Keperawatan Dasar.Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Riyadi S, Kusnanto H. 2006. Motivasi dan Perilaku.Semarang:Dahara
Prize.
Robbins P. S .2006. Perilaku Organisasi Indonesia. Jakarta: PT Indeks.
Kelompok Gramedia.
Rustam, Mochtar. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri
Patologi. Jakarta: EGC.
Setyarini, E.A., Barus, L.S., & Dwitari, A., 2013. Perbedaan Alat Ganti
Verband Antara Dressing Set and Dressing Trolley terhadap
Risiko Infeksi Nosokomial dalam Perawatan Luka Post
Operasi..
Septiari, B..,2012. Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: NuhaMedika
Siagian, E., 2011 Pelaksanaan Surgical Patient Safety Terhadap Adverse
Events Pasca operasi Bedah Digestif di Instalasi Bedah RSUP
DR. Sardjito Yogyakarta. Universitas Gajah Mada.
Sinaga, E. 2007. Karakteristik Ibu Yang Mengalami Persalinan Dengan
Seksio Sesarea Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum
Daerah Sidikalang. Repository USU.
Suatmadji., 2015. Hubungan Motivasi Tim Bedah Terhadap Penerapan
SSC di RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
Suyanto., 2011. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan:
Yogyakarta.
Takala. S., et al. 2011. A Pilot Study of the Implementation of WHO
Surgical Safety Checklist . FInland
Tirtabayu, AE. 2014. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD
X.,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Vries, E.N., Hollmann, M.W., Smorenburg, S.M., Gouma, D.J.,&
Boermeester, M.A. 2009, Depelovement and Validation of the
Surgical Patient Safety System (SURPASS) checklist, QualSaf
Health Care., 18, pp. 121-6.
128

Weiser, T.G., Regenbogen, S.E., Thompson, K.D., Haynes, A.B., Lipsitz,


S.R., Berry, W.R., Et,al. 2008. An estimation of the global
volume of surgery: a modeling strategy based on available
data. Lancet, 372 (9633), pp. 139-44.
Wijaya, Ganda. 2012. Penerapan Manajemen Kinerja Klinik Berbasis Tri
Hita Karana pada Komitmen Kerja, Kepuasan Kerja Locus of
Control terhadap Peningkatan Kinerja Perawat dan Bidan di
RSU Bangli. Program Magister Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat.Program Pascasarjana. Universitas Udayana
Denpasar.
Williams, R.G., et al. 2007, Surgeon Information Transfer and
Communication. Ann Surg, 245(2) February, pp. 159-69.
World Health Organization Collaborating Center for Patient Safety
Solutions. 2008. Patient safety solution spreamble.
World Health Organization, 2009, WHO guidelines for safe surgery
Geneve, Switzerland.
Yuan, T.C, et al. 2012. Incorporating the World Health Organisation
Surgical Safety Checklist into Practice at Two Hospitals in
Liberia.
135

LAMPIRAN 2 OUTPUT ANALISIS DATA

Analisis Univariat
Frequency Table

Kat_Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1.00 27 47.4 47.4 47.4
2.00 21 36.8 36.8 84.2
3.00 9 15.8 15.8 100.0
Total 57 100.0 100.0

Sex
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Perempuan 57 100.0 100.0 100.0

KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid IRT 41 71.9 71.9 71.9
ITR 1 1.8 1.8 73.7
PNS 15 26.3 26.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

LAMA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 4 24 42.1 42.1 42.1
5 28 49.1 49.1 91.2
6 5 8.8 8.8 100.0
Total 57 100.0 100.0
136

BAYAR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid BPJS 53 93.0 93.0 93.0
NPJS 1 1.8 1.8 94.7
SW 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

KELAS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 21 36.8 36.8 36.8

2 3 5.3 5.3 42.1


3 21 36.8 36.8 78.9
VIP 9 15.8 15.8 94.7
VIP UTAMA 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

B01B
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 54 94.7 94.7 94.7
2 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

B01E
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 4 7.0 7.0 7.0
2 53 93.0 93.0 100.0
Total 57 100.0 100.0

B01F
137

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid 1 9 15.8 15.8 15.8
2 48 84.2 84.2 100.0
Total 57 100.0 100.0

B01G
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 4 7.0 7.0 7.0
2 53 93.0 93.0 100.0
Total 57 100.0 100.0

B02A
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 33 57.9 57.9 57.9
2 24 42.1 42.1 100.0
Total 57 100.0 100.0

B02B
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 54 94.7 94.7 94.7
2 3 5.3 5.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

B03A
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 29 50.9 50.9 50.9
2 28 49.1 49.1 100.0
Total 57 100.0 100.0
138

B03B
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 28 49.1 49.1 49.1
2 29 50.9 50.9 100.0
Total 57 100.0 100.0

B03C
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 11 19.3 19.3 19.3
2 46 80.7 80.7 100.0
Total 57 100.0 100.0

B03D
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 50 87.7 87.7 87.7
2 7 12.3 12.3 100.0
Total 57 100.0 100.0

Jahitan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 6 10.5 10.5 10.5
Tidak 51 89.5 89.5 100.0
Total 57 100.0 100.0

Gatal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 6 10.5 10.5 10.5
Tidak 51 89.5 89.5 100.0
Total 57 100.0 100.0
139

Cairan_Putih
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 3 5.3 5.3 5.3
Tidak 54 94.7 94.7 100.0
Total 57 100.0 100.0

Post_Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 9 15.8 15.8 15.8
Tidak 48 84.2 84.2 100.0
Total 57 100.0 100.0

Kat_SignIn
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 19 33.3 33.3 33.3
Ya 38 66.7 66.7 100.0
Total 57 100.0 100.0

Kat_TimeOut
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 24 42.1 42.1 42.1
Ya 33 57.9 57.9 100.0
Total 57 100.0 100.0
Kat_SignOut
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 31 54.4 54.4 54.4
Ya 26 45.6 45.6 100.0
Total 57 100.0 100.0
140

Kat_Prosedur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 25 43.9 43.9 43.9
Ya 32 56.1 56.1 100.0
Total 57 100.0 100.0

AnalisisBivariat

Kat_SignIn * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Ya Tidak Total
Kat_SignIn Tidak Count 6 13 19
% within Kat_SignIn 31.6% 68.4% 100.0%
Ya Count 3 35 38
% within Kat_SignIn 7.9% 92.1% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_SignIn 15.8% 84.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.344a 1 .021
Continuity Correctionb 3.711 1 .054
Likelihood Ratio 5.033 1 .025
Fisher's Exact Test .048 .030
Linear-by-Linear 5.250 1 .022
Association
N of Valid Cases 57
141

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kat_SignIn (Tidak / 5.385 1.172 24.746
Ya)
For cohort Post_Operasi = Ya 4.000 1.121 14.269
For cohort Post_Operasi = Tidak .743 .540 1.022
N of Valid Cases 57
Kat_TimeOut * Post_Operasi

Crosstab
Post_Operasi
Ya Tidak Total
Kat_TimeOut Tidak Count 7 17 24
% within Kat_TimeOut 29.2% 70.8% 100.0%
Ya Count 2 31 33
% within Kat_TimeOut 6.1% 93.9% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_TimeOut 15.8% 84.2% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.579a 1 .018
Continuity Correctionb 3.977 1 .046
Likelihood Ratio 5.658 1 .017
Fisher's Exact Test .027 .023
142

Linear-by-Linear 5.481 1 .019


Association
N of Valid Cases 57

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.79.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kat_TimeOut (Tidak 6.382 1.191 34.214
/ Ya)
For cohort Post_Operasi = Ya 4.813 1.095 21.160
For cohort Post_Operasi = Tidak .754 .575 .989
N of Valid Cases 57
Kat_SignOut * Post_Operasi
Crosstab
Post_Operasi
Ya Tidak Total
Kat_SignOut Tidak Count 6 25 31
% within Kat_SignOut 19.4% 80.6% 100.0%
Ya Count 3 23 26
% within Kat_SignOut 11.5% 88.5% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_SignOut 15.8% 84.2% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square .650a 1 .420
Continuity Correctionb .195 1 .659
Likelihood Ratio .664 1 .415
Fisher's Exact Test .488 .333
Linear-by-Linear .638 1 .424
Association
143

N of Valid Cases 57
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kat_SignOut (Tidak / 1.840 .412 8.223
Ya)
For cohort Post_Operasi = Ya 1.677 .464 6.058
For cohort Post_Operasi = Tidak .912 .731 1.138
N of Valid Cases 57
Kat_Prosedur * Post_Operasi

Crosstab
Post_Operasi
Ya Tidak Total
Kat_Prosedur Tidak Count 7 18 25

% within Kat_Prosedur 28.0% 72.0% 100.0%


Ya Count 2 30 32
% within Kat_Prosedur 6.3% 93.8% 100.0%
Total Count 9 48 57
% within Kat_Prosedur 15.8% 84.2% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 4.993a 1 .025
Continuity Correctionb 3.492 1 .062
Likelihood Ratio 5.112 1 .024
Fisher's Exact Test .034 .031
Linear-by-Linear 4.906 1 .027
Association
N of Valid Cases 57
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.95.
144

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kat_Prosedur (Tidak 5.833 1.091 31.193
/ Ya)
For cohort Post_Operasi = Ya 4.480 1.018 19.716
For cohort Post_Operasi = Tidak .768 .592 .996
N of Valid Cases 57
AnalisisMultivariat
Logistic Regression
Block 0: Beginning Block
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant 1.674 .363 21.238 1 .000 5.333

Variables not in the Equation


Score df Sig.
Step 0 Variables Kat_SignIn(1) 5.344 1 .021
Kat_TimeOut(1) 5.579 1 .018
Kat_SignOut(1) .650 1 .420
Overall Statistics 8.156 3 .043

Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)


Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 8.078 3 .044
Block 8.078 3 .044
Model 8.078 3 .044
Step 2a Step -.188 1 .664
Block 7.889 2 .019
Model 7.889 2 .019
Step 3a Step -2.231 1 .135
Block 5.658 1 .017
145

Model 5.658 1 .017


a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-squares value has
decreased from the previous step.

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 41.645a .132 .227
2 41.833a .129 .222
3 44.064a .094 .162
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates
changed by less than .001.

Classification Tablea
Predicted
Post_Operasi
Observed Ya Tidak Percentage Correct
Step 1 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
Step 2 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
Step 3 Post_Operasi Ya 0 9 .0
Tidak 0 48 100.0
Overall Percentage 84.2
a. The cut value is .500

Variables in the Equation

95% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step 1a Kat_SignIn(1) 1.148 .852 1.816 1 .178 3.152 .594 16.743
146

Kat_TimeOut(1 1.726 1.136 2.310 1 .129 5.617 .607 52.010


)
Kat_SignOut(1) -.448 1.041 .185 1 .667 .639 .083 4.922
Constant .502 .584 .739 1 .390 1.653
Step 2a Kat_SignIn(1) 1.217 .830 2.150 1 .143 3.377 .664 17.183
Kat_TimeOut(1 1.451 .905 2.569 1 .109 4.265 .724 25.135
)
Constant .408 .538 .576 1 .448 1.504
Step 3a Kat_TimeOut(1 1.854 .857 4.681 1 .030 6.382 1.191 34.214
)
Constant .887 .449 3.904 1 .048 2.429
a. Variable(s) entered on step 1: Kat_SignIn, Kat_TimeOut, Kat_SignOut.

Model if Term Removed


Model Log Change in -2 Log
Variable Likelihood Likelihood df Sig. of the Change
Step 1 Kat_SignIn -21.747 1.849 1 .174

Kat_TimeOut -22.189 2.734 1 .098


Kat_SignOut -20.917 .188 1 .664
Step 2 Kat_SignIn -22.032 2.231 1 .135

Kat_TimeOut -22.345 2.856 1 .091


Step 3 Kat_TimeOut -24.861 5.658 1 .017
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 2a Variables Kat_SignOut(1) .186 1 .666
Overall Statistics .186 1 .666
Step 3b Variables Kat_SignIn(1) 2.253 1 .133
Kat_SignOut(1) .569 1 .451
Overall Statistics 2.430 2 .297
a. Variable(s) removed on step 2: Kat_SignOut.
b. Variable(s) removed on step 3: Kat_SignIn.
147
151

CURRICULUM VITAE

Data Pribadi
1. Nama : Andi Adriana AT

2. Tempat/tanggal lahir : Jaling, 26 Juni 1986

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

5. Alamat : Jl. Urip Sumoharjo, Perumahan Graha Taqia A/5

6. E-mail : b.adriana72@yahoo.com

7. Telepon/HP : 081342606686

B. Riwayat Pendidikan

1. Tamat SD Inp 10/73 Otting Tahun 1997

2. Tamat SMP Negeri 2 Watampone Tahun 2000

3. Tamat SMA Negeri 1 Watampone Tahun 2003

4. Tamat S1 Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia Makassar Tahun 2009


151

Anda mungkin juga menyukai