Anda di halaman 1dari 32

Komplikasi yang

sering terjadi di ICU


Kelompok 2
2A 2019
Kelompok 2
1. Siti Masitah (1911311041)
2. Elma Sovia Zaidir (1911311044)
3. Suci Ajeng Safitri (1911311047)
4. Ferawati (1911311050)
5. Lutfiana Fajri (1911312002)
6. Regita Anjelina Putri. M (1911312005)
7. Aisyah Purnama Sari (1911312008)
8. Moedis Chintia Ridani (1911312011)
9. Sukma Dwi Rahmatullah (1911312014)
10.Rahmi Eka Fajri (1911312017)
11.Regina Fatikahhemas (1911312020)
12.Vita Delfi Yanti (1911312023)
Pembahasan

01 02 03
Central Line- Surgical Site Stress Ulcer
associated Infection (SSI)
Bloodstream
Infection
(CLABSI)
01
Central Line-associated
Bloodstream Infection (CLABSI)
Central Line-associated
Bloodstream Infection
(CLABSI)

Insiden :
CLABSI menurut CDC us National
Healthcare (NHSN ) merupakan istilah yang
dipakai untuk surveilans pada populasi
berisiko yaitu pasien dengan akses sentral .
CLABSI merupakan infeksi aliran darah
primer, dimana tidak ditemukan sumber
infeksi lainnya dan terjadi setelah 48 jam
pemasangan kateter sentral
Penyebab CLABSI
Secara garis besar infeksi dapat terjadi ekstraluminal dan
intraluminal. Pada proses ekstraluminal terjadi kontaminasi pada
akses kateter, oleh karena teknik insersi kateter yang tidak tepat
ataupun kebersihan lokasi insersi yang buruk dapat
menyebabkan infeksi. Bakteri akan bermigrasi sepanjang akses
kateter dan melekat pada lapisan protein yang terbentuk. Pada
proses intraluminal, kontaminasi terjadi akibat menggunakan
ujung akses yang terkontaminasi tanpa desinfeksi yang tepat ,
sehingga bakteri terdorong masuk ke aliran darah melalui kateter
vena dan menyebabkan CLABSI.
Faktor Resiko CLABSI

Faktor Host Faktor Agent Faktor


(usia gestasi dan berat (kepatuhan sop Environment
badan lahir) pemasangan jalur sentral) (kepatuhan cuci tangan
petugas kesehatan)
Diagnosis CLABSI
Dokter akan menanyakan keluhan yang dirasakan pasien dan riwayat kesehatannya. Selanjutnya,
dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa tanda-tanda vital, seperti suhu,
tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan denyut nadi. Infeksi aliran darah akan dipastikan melalui
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memeriksa keberadaan
bakteri atau mikroorganisme di dalam aliran darah. Beberapa jenis pemeriksaan laboratorium yang
akan dilakukan adalah:
Kultur darah, untuk menilai jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi aliran darah Tes
darah, untuk memeriksa ada tidaknya infeksi di dalam darah. Selain itu, jika dicurigai mengalami
infeksi aliran darah sekunder akibat penyebaran infeksi di bagian tubuh lain, dokter akan melakukan
beberapa tes lain, seperti tes urine, Rontgen, USG, CT scan, atau MRI.
Manajemen dan Strategi Pencegahan
CLABSI
Salah satu untuk mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit dengan
menerapkan metode Six Sigma yang terdiri dari tahap Define, Measure, Analyze,
Improve, dan Control (DMAIC). (Wahyo dkk, 2020).

Penerapan metode six sigma untuk menurunkan angka kejadian CLABSI meliputi
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Define
Pada tahap ini mengidentifikasi pasien dengan central venous catheters (CVC) yang
beresiko terkena CLABSI, mengidentifikasi pelanggan termasuk perawat, apoteker,
dokter, spesialis perawat klinis spesialis trauma, dan staf pencegahan infeksi
memberikan perawatan kepada pasien tersebut.
2. Measure
Bertujuan untuk membantu mengidentifikasi masalah dan mengenali kesenjangan
antara kinerja dan harapan pelanggan saat ini.
3. Analyze
Dilakukan untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah, sehingga dapat menemukan
sumber masalah dan apa saja yang mungkin berkontribusi terhadap masalah itu
4. Improve
Pada tahap ini strategi untuk perbaikan dalam penyediaan perawatan CVC dengan
melibatkan pasien, lingkungan perawatan, dan staf multi-profesional.
5. Control
Pada tahap ini merupakan perbuatan proses baru yang sesuai standar praktek. Hal ini
dilakukan dengan memodifikasi yang sudah ada, memantau hasil kinerja secara berkala
untuk memastikan hasil yang berkelanjutan.
02
Surgical Site
Infection (SSI)
Insiden SSI
Bedah ginekologi menunjukkan insidensi ILO Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)
yang lebih tinggi dibandingkan bedah sendiri angka kejadian ILO dari Laporan
obstetri. Pada rute abdominal hysterectomy, Kasus Infeksi Rumah Sakit Hasan Sadikin
tingkat kejadian ILO lebih tinggi Bandung pada tahun 2015 tercatat kejadian
dibandingkan rute vaginal hysterectomy. ILO sebanyak 1,43% dari seluruh operasi
Hasil tersebut serupa dengan penelitian yang yang dilakukan. Namun angka kejadian ILO
dilakukan oleh Lake dkk (2013) di Amerika pada pasien pasca laparotomi akibat peritonitis
Serikat bahwa rute vaginal hysterectomy angka kejadian ILO berkisar 16-28 %.
lebih direkomendasikan karena tingkat Tingginya angka kejadian ILO pada pasien
kejadian ILO superfisial dalam 30 hari post pasca laparotomi akibat peritonitis perforasi
operasi lebih rendah dibandingkan rute diduga akibat adanya kontaminasi bakteri
laparotomy salurancerna pada luka operasi.
Penyebab SSI
Penyebab terjadinya infeksi pada tempat operasi
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi jenis
pembedahan, lama operasi, teknik operasi, komorbiditas
dan derajat kontaminasi pada tempat operasi.

Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor


● Faktor intrinsik misalnya kerentanan terhadap infeksi
akibat supresi imun
● Faktor ekstrinsik seperti intervensi yang invasif yang
beresiko tinggi, faktor pekerja pelayanan kesehatan
atau institusi kesehatan.
Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (faktor risiko) terjadinya SSI antara lain sifat
operasi (derajat kontaminasi operasi), nilai ASA (American Society of Anesthesiologists),
komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah lekosit dan lama operasi.
Tahun 1964 National Research Council memperkenalkan empat kategori derajat
kontaminasi tempat operasi yang kemudian dipopulerkan oleh American College of
Surgeon, salah satunya menyebutkan bahwa makin tinggi derajat kontaminasi maka angka
kejadian Surgical Site Infection makin tinggi. Mekanisme utama yang mendasari terjadinya
SSI adalah kandungan oksigen yang rendah pada jaringan yang mati pada luka
pascabedah merupakan alasan yang baik untuk kolonisasi kuman yang merupakan kunci
dari patofisiologi SSI. Pada penyakit-penyakit kronis angka Surgical Site Infection akan
meningkat. (yuwono, 2013).
Lanjutan

Leong dkk, melakukan penelitian tentang T times pada operasi berpengaruh


terhadap angka kejadian ILO (infeksi luka operasi), dengan kesimpulan pasien
yang dioperasi lebih lama dari T times nya memiliki risiko yang besar
terjadinya ILO pada hampir semua kategori operasi. Berdasarkan Guidline World
Health Organization (WHO) tentang ILO, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
angka kejadian adalah factor operator dimana berpengaruh dalan hal teknik
operasi dan tissue handling, meskipun factor risiko ini masih tergolong kecil di
bandingkan dengan factor risiko lain yang menyebabkan ILO (infeksi luka operasi)
(Golden, 2020).
Lanjutan

Suhu sangat berpengaruh terhadap terjadinya SSI. Hipotermia dapat merusak fungsi
immun (oxidative killing by neutrophils) dan terjadi vasokonstriksi kulit dan mengurangi
aliran darah ke tempat operasi, dan selanjutnya meningkatkan resiko Surgical Site
Infection (SSI). Bobie Thene (2008) pada penelitian SSI pada kasus bedah di Instalasi
Gawat Darurat RSCM untuk laparotomi angka SSI didapatkan 48,5%, dan faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan Surgical Site Infection secara statistik adalah waktu
penundaan operasi, nilai ASA, komorbid DM, sifat operasi, durasi operasi, cedera
vaskuler (Alsen & Sihombing, 2014).
Diagnosis SSI
SSI dibedakan atas SSI insisional dan SSI spasial atau
organ untuk tujuan klasifikasi surveilens.
SSI insisional kemudian dibedakan atas SSI insisional
superfisialis, yang hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutis dan SSI insisional dalam yang mencapai jaringan
lunak dalam (misalnya fasia dan otot). SSI spatial/organ
melibatkan bagian anatomis (organ atau spatium) selain
dari insisi yang terbuka atau dimanipulasi selama operasi.
Surgical Site Infection (SSI) insisional superfisialis adalah infeksi yang terjadi pada tempat
insisi dalam 30 hari pasca operasi yang mengenai kulit dan subkutis tempat operasi dan
dijumpai satu diantara kriteria berikut ini :
A. Adanya drainase purulen dari insisi superfisialis
B. Organisme yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan dari insisi
superfisialis yang diambil secara asepsis.
C. Setidaknya dijumpai satu dari tanda dan gejala infeksi berikut ini : nyeri,
edema lokal, eritema, atau rabaan hangat dan insisi supefisialis dibuka dengan
sengaja oleh ahli bedah, kecuali hasil kulturnya negatif.
D. Diagnosa SSI insisional superfisialis ditegakkan oleh dokter bedah atau
dokter yang memeriksa.
SSI insisional dalam adalah infeksi yang terjadi pada jaringan lunak tempat operasi dan terjadi dalam 30
hari setelah operasi bila tanpa pemasangan implant prosthesis atau terjadi dalam satu tahun bila
disertai pemasangan implant, dan infeksi diakibatkan oleh prosedur operasi atau infeksi melibatkan
jaringan lunak dalam (misalnya fasia dan otot) tempat insisi dan memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
A. Drainase purulen dari insisi dalam tetapi bukan dari komponen organ/spatium tempat
operasi.
B. Suatu insisi dalam yang mengalami dehisen secara spontan atau dibuka dengan
sengaja oleh ahli bedah ketika pasien mengalami setidaknya satu dari gejala dan tanda
berikut ini: demam (>38oC), nyeri lokal, nyeri tekan, kecuali bila hasil kultur hasilnya negatif.
C.Suatu abses atau infeksi lainnya yang melibatkan insisi dalam ditemukan pada
pemeriksaan langsung, selama operasi, atau oleh pemeriksa histopatologi atau radiologi.
D. Diagnosa SSI insisional dalam ditentukan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa.
SSI organ / spasial melibatkan bagian anatomis, selain luka insisi, yang dibuka atau dimanipulasi selama oprasi.
Ada tempat-tempat spesifik yang digunakan untuk identifikasi SSI organ/spasial ditempat tertentu. Contohnya
appendektomi dengan abses subdiafragmatika, harus dilaporkan sebagai SSI organ intraabdominal site
SSI organ/spasial harus memenuhi satu dari kriteria berikut ini:

A. Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca-operasi tanpa insersi implant atau dalam satu tahun bila disertai insersi
implant dan infeksi disebabkan oleh tindakan operasi dan infeksi melibatkan bagian anatomi manapun selain
tempat yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi, dan setidaknya ditemukan satu dari hal berikut ini:
B. Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk melalui organ/spasium. (tanpa infeksi pada
tempat tusukan)
C. Kuman yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan organ/spasium yang diambil secara aseptik.
D. Suatu abses atau infeksi yang melibatkan organ/spasium pada pemeriksaan langsung, selama oprasi, atau
melalui pemeriksaan histopatologi atau radiologi.
E. Diagnosa SSI organ/spasial ditegakkan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa.
Manajemen dan Strategi Pencegahan SSI
A. Langkah-langkah pencegahan pra-operasi

1. Mandi Sebelum Operasi

2. Mechanical Bowel Preparation (MBP) dan antibiotik oral untuk pembedahan kolorektal elektif
pada Pasien Dewasa

3. Pencukuran Rambut

4. Persiapan Tangan/lengan tim bedah

5. Antiseptik kulit (penggunaan antisepsis sesuai lokasi operasi)

6. Meningkatkan Nutrisi

7. Pengontrolan Kadar Gula Darah

8. Lalu Lintas (Traffic) Ruang OK


B.Langkah-langkah pencegahan intra-operasi
1. Normothermia
Paparan permukaan kulit yang luas terhadap suhu yang dingin di ruang
operasi dapat memicu hipotermia. Hipotermia dapat menyebabkan
pasien tersadar dalam kondisi kedinginan dan menggigil, serta dapat
meningkatkan risiko komplikasi lainnya seperti SSI. Untuk itu
pertahankan normothermia perioperasi dengan menggunakan alat
penghangat.
2. Melakukan Irigasi Luka
3. Menggunakan Benang Dengan Kandungan Antimikroba
C.Manajemen Luka Paska-operasi
1. Menjaga luka agar tetap kering
2. Ganti Perban Penutup Luka Operasi secara Berkala
3. Jaga luka agar tetap tertutup
4. Menerapkan pola hidup sehat
03
Stress Ulcer
Insiden Stress
Ulcer
Stress ulcer merupakan ulser pada
lambung dan atau duodenum yang
biasanya muncul dalam konteks trauma
atau penyakit sistemik atau SSP yang
hebat. Ulcer secara histologi
didefinisikan sebagai hilangnya mukosa
saluran cerna yang meluas ke lapisan
muskularis mukosa hingga submukosa
atau lebih dalam.
Stress ulcer ini banyak dijumpai pada pasien Intensive Care Unit, di Inggris dilaporkan bahwa
dalam waktu 24 jam saat masuk rumah sakit, 75% - 100% pasien tanpa pemberian profilaksis
mengalami ulserasi. Sekitar 2% - 6% pasien mengalami pendarahan GI dan sekitar 50% - 77%
pasien yang mengalami pendarahan dapat mengalami kematian. (Galindo dan Pfeffer, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian injury centre di Skotlandia diketahui bahwa 19 dari 360 pasien
mengalami stress ulcer setelah terjadi cedera pada tubuhnya yaitu: 63% pada pasien cedera
tulang belakang, 21% pada pasien patah tulang lumbar dan 16% pada pasien patah tulang dada
(Anwar et al., 2013). Sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007,
prevalensi cedera adalah 7,5% dengan 3 penyebab terbanyak adalah jatuh (58,0%), kecelakaan
transportasi darat (25,9%) dan terluka benda tajam (20,6%). Kasus cedera ini dalam
penanganannya membutuhkan suatu tindakan operasi dan operasi orthopedi ini beresiko
menyebabkan stress ulcer.
Penyebab Stress Ulcer

A B
Faktor agresif yang utama adalah Faktor defensif adalah faktor
asam lambung yang bersifat korosif yang mempertahankan keutuhan
dan pepsin yang bersifat proteolitik. mukosa seperti mukus,
Faktor agresif lain seperti asam bikarbonat, regenerasi sel, retensi
empedu, merokok, alkohol, bakteri,
mukosa, aliran darah mukosa
obat-obatan NSAID, histamin, dll.
(mikro-sirkulasi), dan hormonal
Faktor Resiko Stress Ulcer

Ulkus stres adalah lesi superfisial yang biasanya melibatkan lapisan mukosa lambung
yang muncul setelah stres seperti trauma, pembedahan, luka bakar, sepsis, atau
kegagalan organ.
Faktor risiko untuk pengembangan ulkus stres meliputi: koagulopati, pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik untuk lebih dari 48 jam, pasien dengan riwayat ulserasi
GI atau perdarahan dalam satu tahun terakhir, sepsis, ICU tinggal lebih lama dari 1
minggu, perdarahan samar yang berlangsung lebih dari 6 hari, dan penggunaan steroid
dosis tinggi (>0,250 mg hidrokortison) atau setara.
Diagnosis Stress Ulcer

A B C
Anamnesis Pemeriksaan Diagnosis
Fisik Banding

D E F
Dyspesia Gastroesophaeal Gastroenteritis
Fungsional & Sindrom
Reflux Disease
Koroner Akut
dan Gastritis
Manajemen dan Pencegahan Stress Ulcer

● Terapi ● Terapi Kuratif

Terapi stress ulcer menjadi terarah ○ Koreksi dari peninggian tekanan


setelah patofisiologi strees ulcer untuk intrakranialnya bila memungkinkan
masing-masing stresor sudah diketahui
○ Cuci lambung dan pendinginan
dengan lengkap. Kepentingan terapi
lambung
stress ulcer terutama ditujukan untuk
○ Pemberian dietetik, pada setiap
mencegah dan mengobati perdarahan.
perdarahan MBA selama perdarahan
masih aktif, penderita dipuasakan

○ Terapi operasi
Terapi profilaksis
Diindikasikan untuk pasien-pasien yang diperkirakan berada dalam resiko tinggi untuk
timbulnya stress ulcer. Pada dasarnya terapi profilaksis diberikan untuk :
1. Mengurangi/menghambat produksi asam lambung, sebab asam lambung memainkan
peranan yang sangat penting dalam perkembangan lesi-lesi mukosa akut.
Pengurangan asam lambung juga dapat mencegah lesi-lesi mukosa yang dini agar
tidak berkembang menjadi perdarahan yang nyata secara klinis Targetnya adalah
menekan produksi asam lambung dan mempertabankan PH 3,5-7.
2. Menjaga integritas mukosa lambung secara menyeluruh termasuk: Mencegah
terjadinya iskemik mukosa lambung (menjaga aliran darah mukosa lambung)
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai