Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)


1. Pengertian
Atrial Septal Defect (ASD) merupakan defek kongenital yang berupa lubang pada
sekat intra septum. Lubang ini mengakibatkan aliran darah intra cardiac tidak normal.
ASD hampir selalu ada pada bayi baru lahir, dan dokter tidak akan melakukan
penanganan segera untuk menutup lubang ini, dikarenakan umumnya akan menutup
dengan sendirinya, seiring perkembangan. Akan tetapi, ASD menjadi masalah ketika:
diameter lubang besar, dan terjadi aliran Left to Right Shunt atau Right to Left Shunt pada
echo, sehingga menimbulkan keluhan seperti kesulitan saat menyusui, perlambatan fase
tumbuh kembang, atau menimbulkan keluhan sianosis.
Defek septum atrial atau Atrial Septal Defect (ASD) adalah gangguan septum atau
sekat antara rongga atrium kanan dan kiri. Septum tersebut tidak menutup secara
sempurna dan membuat aliran darah atrium kiri dan kanan bercampur.
Pada manusia dengan kondisi normal, sisi kiri jantung memiliki tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sisi kanan jantung. Dengan adanya lubang pada sekat atrium,
konsep aliran darah tersebut menjadi berubah. Left to Right Shunt berarti terdapat aliran
dari atrium kiri ke atrium kanan. Hal ini membuat atrium kanan memiliki volume darah
yang lebih banyak, sehingga aliran darah menuju paru-paru juga meningkat, memicu
terjadinya hipertensi pulmonal, stroke dan gagal jantung.
Dikatakan Eisenmenger syndrome jika Right to Left Shunt, sehingga membuat darah
yang teroksigenasi bercampur dengan yang belum teroksigenasi. Darah kemudian masuk
ke aorta dengan konsentrasi oksigen dibawah 100% dan menimbulkan gejala sianosis
secara permanen.
2. Klasifikasi
Berdasarkan anatominya, ASD dibagi menjadi:
a. Secundum atrial septal defect
Defek ini bertempat pada bagian fossa oval atau lebih dorsal dan disebut defek
secundum walaupun faktanya fossa ovale adalah septum primum.

1
b. Superior sinus venosus defect
Defek ini disebabkan karena perkembangan abnormal dari sinus venosus yang
berhubungan dengan vena pulmonal. Defek ini bukanlah defek septum interatrial dan
terhitung sekitar 5-10% hubungan atara atrium yang berlokasi di bawah vena cava
superior.
c. Inferior sinus venosus defect
Defek ini bertempat pada mulut dari vena cava inerior dan biasanya berhubungan
dengan partial anomalous return of the right lower pulmonary vein.
d. Defect of the coronary sinus (unroofed coronary sinus)
Defek ini sangat jarang, defek ini membagi sinus koronari dari atrium kiri.
Biasanya berhubungan dengan persistensi vena cava superior sinistra, yang
mengosongkan ke atrium kiri atau ke sinus koronari.
3. Clinical Pathway

2
4. Gejala dan temuan klinis
a. Gejala
1) Mudah lelah
2) Exertional dyspnea
3) Palpitasi (karena supraventrikular aritmia, atrial fibrilasi/atrial flutter lebih sering
pada usia tua)
4) Nyeri dada atipikal (iskemik ventrikel kanan)
5) Infeksi saluran nafas
6) Tanda-tanda gagal jantung kanan
b. Temuan klinis
1) Pasien biasanya pink, sianosis menandakan hipertensi pulmonal yang parah dengan
aliran balik pada defek pada munculnya defek secundum ASD atau superior sinus
venosus. Sianosis dapat juga sebagai tanda hubungannya dengan stenosis pulmonal,
defek sinus koronari atau defek sinus venosus inferior
2) Pembesaran ventrikel kanan (heave)
3) Murmur sistolik dengan punctum maksimum pada linea sternalis sinistra
(peningkatan aliran darah pada mulut arteri pulmonal, relativ stenosis pulmonal)
terkadang suara “klik” ejeksi pulmonal terdengar
4) Suara terpisah yang lebar dan tetap dari bunyi jantung kedua diatas arteri pulmonal
(terlambatnya penutupan katup pulmonal) suara yang lebih keras menandakan
hipertensi pulmanal yang parah.
5) Murmur diastol pada linea sternalis sinistra inferior (peningkatan aliran darah
melalui trikuspid-relativ stenosis trikuspid)
6) Temuan klinis dan auskultasi dapat sangat terpisah, berbeda dan biasa saja.
7) Murmur pansistolik dapat didengar jika ada mitral regurgitasi pada apex jantung.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Chest X-ray
c. Echocardiography
d. Magnetic resonance imaging (MRI) dan computerized tomgraphic scanning(CT Scan)
e. Kateterisasi

3
6. Penatalaksanaan
Penanganan ASD adalah dengan menutupnya, yaitu dengan membedahnya dengan
dijahit ataupun di tutup atau dengan kateter. Penanganan bedah pada asimptomatik ASD
masih menjadi perdebatan. lindikasi pembedahan dan penutupan defek dengan kateter
jantung pada ASD akan bervariasi pada masa depan, khususnya jika dipastikannya
keuntungan jangka panjang tanpa komplikasi pada penutupan defek dengan
kateter.kemungkinan modern lain adalah penutupan dengan thoracoscopic robotic
surgical.
Penutupan ASD diindikasikan jika:
a. Adanya aliran kiri ke kana yang signifikan pada defek (QP/QS >1.5:1) atau defek
yang besar (>10-15mm) dengan tanda-tanda volume ooverload ventrikel kanan atau
gejala lainnya.
b. Jika adanya riwayat embolus sistemik paradoxical dan aliran defek kiri ke kanan pada
ekokardigrafi sebelumnya, penutupan defek diindikasikan pada kekuatan aliran defek.
Namun hipertensi pulmonal yang parah dan irreversibel merupakan kontraindikasai
penutupan defek.
c. Usia di atas 60 tahun dan ketiadaan gejala tidank menyingkirkan untuk punutupan
defek khususnya jika ada pirau yang signifikan (Qp/Qs >2:1) dan volume overload
ventrikel kanan.
d. Pada atrial flutter atau atrial fibrilasi, penutupan defek dapat disertai dengan ablation,
ablation of cavotricuspid isthmus or atrial surgery (Maze procedure).
1) Penutupan ASD dengan pembedahan.
Semua defek pada atrium dengan atau tanpa anomali lain dapat ditutup dengan
pembedahan.
2) Penutupan secundum ASD dengn kateterisasi
Karena hasail yang baik dan sedikit komplikasinya, kateterisasi menggantikan pada
pembedahan ASD dan menjadi metode pilihan untuk menutup defek [ada secundum
ASD yang tanpa defek tambahan lainnya. penutupan melalui kateter jantung tidak
dapat dilakukan kepada pasien dengan defek sinus venosus, ostium primum ASD,
defek sinus koronari atau adanya anomali yang berhubungan (contoh: anomalous

4
pulmonary venous return). Adanya hipertensi pulmonal harus diadakan penyesuaian
dengan test pada homodinamik pasien terhadap respun penutupan defek.
7. Risiko terkait ASD yang tak ditutup
a. Gagal jantung adalah komplikasi yang sering dijumpai pada pasien (>65 tahun)
dengan defek yang besar. Keadaan ini akan cepat memburuk dengan munculnya
gejala-gejala, khususnya dengan adanya hubungan pada penyakit kardiovaskuler
(hipertensi, regurgitasi mitral, CAD) dan pada kemunculan atrial flutter atau atrial
fibrilasi. Komplikasi ini dapat muncul bahkan ketika pasien belum pernah mengalami
gejala selama hidupnya dan mengalami toleransi yang baik terhadap ASD yang
diderita.
b. Atrial fibrilasi dan atrial flutter sering muncul pada pasian berusia diatas 60 tahun
dengan adanya dilatasi atrium pada ASD yang tak ditutup atau bahkan akan muncul
saat ASD terlambat ditutup,6 dan menimbulkan risiko embolisme sistemik. Terapi
antikoagulan kronik diindikasikan pada atrial fibrilasi kronik.
c. Transvenous pacing membawa isiko embolisme paradoxiacal pada lapisan pembuluh
darah sistemik.
d. Thrombosis vena berhubungan dengan risiko dari paradoxical embolisme pada lapisan
pembuluh darah sistemik. Risiko meningkat selama kehamilan, persalina dan selama
pemasangan kontrasepsi hormon.

B. PULMONAL HYPERTENSION (PH)


1. Definisi
Hipertensi pulmonal (HP) merupakan penyakit vaskular paru yang mengakibatkan
peningkatan resistensi dan tekanan vaskular paru. Secara hemodinamik HP didefinisikan
sebagai tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada kapiler pulmonalis atau
atrium kiri yang normal (kurang dari 15 mmHg).1-3 Defek septum atrium (DSA) adalah
kelainan penyakit jantung bawaan karena terdapat defek pada sekat atrium yang
menyebabkan pirau dari atrium kiri ke kanan.4-5 Defek septum atrium dapat mengalami
penutupan spontan pada 14%-66% bayi DSA berusia kurang dari tiga bulan.6-8 Kejadian
penutupan spontan berbanding terbalik dengan diameter DSA yang diukur dengan
ekokardiografi.4-5 Pada DSA berukuran besar dan tidak menutup spontan akan

5
mengalami hipertensi pulmonal yang merupakan hipertensi pulmonal sekunder karena
meningkatnya aliran darah pulmonal akibat adanya pirau kiri ke kanan yang besar
(hyperkinetic pulmonary hypertension).
Pada hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan darah terjadi akibat perubahan pada sel
yang melapisi arteri pulmonal. Perubahan tersebut dapat menyebabkan dinding arteri
pulmonal menjadi lebih tebal dan kaku, serta terbentuknya jaringan yang berlebih.
Pembuluh darah juga dapat mengalami peradangan. Perubahan yang terjadi pada arteri
pulmonal tersebut dapat menurunkan atau menghambat aliran darah melalui pembuluh
darah. Hal ini dapat mempersulit darah untuk mengalir, yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah pada arteri pulmonal.
2. Klasifikasi Hipertensi Pulmonal
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi pulmonal dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
a. Hipertensi pulmonal dengan penyebab tidak diketahui.
b. Hipertensi pulmonal akibat penyakit jantung kiri.
c. Hipertensi pulmonal akibat penyakit paru-paru.
d. Hipertensi pulmonal akibat bekuan darah kronis.
e. Hipertensi pulmonal akibat kondisi lainnya, seperti kelainan darah, kelainan
metabolik, atau tumor.
3. Faktor Risiko Hipertensi Pulmonal
Beberapa faktor yang dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi
pulmonal meliputi:
a. Usia dewasa muda, karena peningkatan tekanan darah pada arteri pulmonal paling
sering terjadi pada dewasa muda.
b. Berat badan berlebih.
c. Memiliki anggota keluarga dengan riwayat hipertensi pulmonal.
d. Memiliki satu atau lebih kondisi medis yang meningkatkan risiko terjadinya hipertensi
pulmonal.
e. Menggunakan obat-obatan terlarang, seperti kokain.
f. Mengonsumsi obat-obatan penahan nafsu makan.

6
4. Gejala Hipertensi Pulmonal
Gejala hipertensi pulmonal biasanya tidak terlihat hingga kondisi berkembang. Gejala
awal hipertensi pulmonal biasanya sesak napas dengan aktivitas sehari-hari, seperti
menaiki tangga.
Kelelahan, pusing, dan pingsan juga bisa menjadi gejala. Pembengkakan di
pergelangan kaki, perut atau kaki, bibir dan kulit kebiruan, dan nyeri dada dapat terjadi
saat tekanan pada jantung meningkat. Gejala berkisar dalam tingkat keparahan dan pasien
tertentu mungkin tidak memiliki semua gejala.
Pada stadium lanjut, bahkan aktivitas minimal akan menghasilkan beberapa gejala
seperti:
a. Detak jantung tidak teratur (palpitasi atau kuat, sensasi berdenyut).
b. Pingsan atau pusing.
c. Sesak napas progresif selama latihan atau aktivitas.
d. Kesulitan bernapas saat istirahat.
5. Pemeriksaan Penjunjang
a. Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya pembengkakan pada bilik
kanan jantung atau pembuluh darah paru-paru. Sebab, pembengkakan di dua bagian itu
merupakan tanda dari hipertensi pulmonal.
b. Elektrokardiogram (EKG)
Tes ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan mendeteksi
gangguan irama jantung atau aritmia.
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi atau USG jantung adalah tes yang dilakukan untuk menghasilkan
citra jantung. Tes ini juga dapat memperkirakan besarnya tekanan pada arteri paru-
paru serta kerja kedua bagian jantung untuk memompa darah.
d. Tes Fungsi Paru
Tes ini dilakukan untuk mengetahui aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-
paru, menggunakan sebuah alat yang bernama spirometer.

7
e. Kateterisasi Jantung
Prosedur ini biasanya dilakukan setelah pengidap menjalani pemeriksaan
ekokardiografi untuk memastikan diagnosis hipertensi pulmonal sekaligus mengetahui
tingkat keparahan kondisi ini.
Dengan kateterisasi jantung kanan, dokter dapat mengukur tekanan arteri pulmonal
dan ventrikel kanan jantung.
f. CT Scan atau MRI
Pemindaian seperti CT scan atau MRI digunakan untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai ukuran dan fungsi jantung. Selain itu, tes ini juga dapat
mengetahui penggumpalan pada pembuluh darah, dan aliran darah pada pembuluh
darah paru-paru.
g. V/Q Scan
Singkatan dari ventilation-perfusion scan, pemindaian ini bertujuan mendeteksi
adanya gumpalan darah yang menyebabkan hipertensi pulmonal. Dalam prosedurnya,
zat radioaktif khusus akan disuntikkan pada pembuluh vena di lengan guna
memetakan aliran darah dan udara pada paru-paru.
h. Tes Darah
Tes ini dilakukan untuk melihat keberadaan zat seperti metamfetamin, atau
penyakit lain seperti penyakit hati yang dapat memicu hipertensi pulmonal.
i. Polisomnografi
Tes ini digunakan untuk mengamati tekanan darah dan oksigen, denyut jantung, dan
aktivitas otak selama pengidap tertidur. Alat ini juga digunakan untuk mengenali
gangguan tidur, seperti sleep apnea.
j. Biopsi Paru
Prosedurnya dilakukan dengan cara mengambil sampel jaringan paru-paru.
Tujuannya adalah untuk melihat kelainan di paru-paru yang dapat menjadi penyebab
hipertensi pulmonal.
6. Komplikasi 
Hipertensi pulmonal yang dibiarkan tanpa penanganan dapat memicu beberapa
komplikasi, yaitu:
a. Pembesaran jantung sisi kanan dan gagal jantung. 

8
b. Pembekuan darah di arteri kecil di paru-paru.
c. Detak jantung tidak teratur (aritmia).
d. Pendarahan di paru-paru.
e. Komplikasi kehamilan. Hipertensi pulmonal pada ibu hamil dapat mengancam jiwa
janin yang sedang berkembang.

C. GAGAL NAFAS
1. Definisi
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup masuk dari
paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak, membutuhkan darah
yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi
jika paru-paru tidak dapat membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon
dioksida dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (Putu Aksa, 2017). Keadaan ini
disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak adekuat sehingga tidak
dapat mempertahankan pH, pO2, dan pCO2, darah arteri dalam batas normal dan
menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia.
Gagal napas merupakan suatu kondisi gawat darurat pada sistem respirasi berupa kegagalan
sistem respirasi dalam menjalankan fungsinya, yaitu oksigenasi dan eliminasi karbon dioksida
(Putu Aksa, 2017). Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas
darah (AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata
dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran CO2
(hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi tersebut

2. Etiologi Gagal Nafas


Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas dapat
disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau medulla
oblongata. Berbagai penyebab gagal napas dapat dilihat pada di bawah ini. Penyebab
Gagal Napas Berdasarkan Tipe Gagal Napas

9
Gagal Nafas
Gagal Nafas Tipe 2
Tipe 1
Asma akut Kelainan paru Kelainan SSP
ARDS Asma akut berat Koma
Penumonia Obstruksi saluran Peningktan TIK
pernapasan akut
Emboli paru PPOK Cidera Kepala
Fibrosis paru OSA (Obstrukti Sleep Opioid dan obat sedasi
Apnea)
Edema paru Bronkiektasis Kelainan
Neuromuskular
PPOK Kelainan Dinding Lesi medula spinalis
dada (trauma, polio atau tumor)
Emfisema Fail Chest Gangguan nervus perifer
(Sindrom guillan-Barre atau
difteri)
Ruptur diafragma Gangguan neuromuscular
junction (miastemia
gravis, botulisme, pelemas
otot)
Kifoskoliosis Distrofi muscular
Distensi abdomen (asites, hemoperioneum) dan
obesitas

3. Patofisiologi Gagal Nafas


Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal yang sangat penting di
dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat empat dasar mekanisme gangguan
pertukaran gas pada sistem pernafasan yaitu:

10
a. Hipoventilasi
b. Ketidakseimbangan ventilasi atau perfusi
c. Pintasan darah kanan ke kiri
d. Gangguan difusi. Kelainan ektrapulmonel menyebabkan hipoventilasi sedangkan
kelainan intrapulmonel dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.
Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan kedalam 2 bentuk
yaitu: hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau kegagalan oksigenasi.
Gagal nafas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan
retensi CO2, disertai dengan penurunan pH yang abnormal, penurunan PaO2, dengan
nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri (A-a)DO2 meningkat atau normal.
Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ektrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan intrapulmoner
atau terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan aliran udara antara atmosfer
dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru. Dengan demikian akan
didapatkan peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal.
Kegagalan ventilasi pada penderita penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian
alve5oli mengalami penurunan ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian
lagi terjadi peningkatan ventilasi relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan
ventilasi rendah dapat dikompesasi dengan daerah terventilai tinggi sehingga tidak
terjadi peningkatan PaCO2. Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi ini sudah
semakin beratnya maka mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi
kegagalan ventilasi yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan
peningkatan (A-a) DO2 yang bermakna.
Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2
adalah menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan
pulmoner dan ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terjadi akibat
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan
gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta.

11
Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi
bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

12
4. Pathway

Trauma Kelainan neurologis Penyakit paru

Gangguan saraf pernafasan & otot pernafasan

Peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler

Gangguan epithelium alveolar Gangguan Adanya usaha peningkatan


endhotelium pernafasan
kapiler
Penumpukan cairan alveoli
Tampak adanya retraksi
Cairan masuk ke dada, penggunaan otot
Oedema pulmo interstitial bantu pernafsan dan
adanya pernafasan cuping
Penurunan complain paru Peningkatan KETIDAKEFEKTIFAN POLA
tekanan jalan nafas NAFAS
Cairan surfaktan menurun
Kehilangan fungsi silia
saluran pernafasan
Gangguan pengembangan paru
(atelectasis)
KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS
Kolaps alveoli

GANGGUAN PERTUKARAN GAS


Ventilasi dan perfusi tidak seimbang

Hipoksemia, Hiperkapnea
O2 ↓, CO2 ↑ Dyspnea

Tindakan primer
Sianosis perifer, akral hangat,
A,B,C,D, E kulit pucat

Pemasangan Ventilasi mekanik KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN


PERIFER
RESIKO INFEKSI
RESIKO CEDERA

13
5. Klasifikasi
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal napas dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu
gagal napas tipe 1 dan 2.
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai
dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi
pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme
terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat
a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke bagian
paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli
paru, dysplasia bronkupulmonal.
b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya adalah
edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru- paru yang tidak
pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malformasi arterio- vena paru,
malformasi adenomatoid kongenital.
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada umumnya
disebabkan oleh ke gagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan
PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan
PaO2 atau hipoksemia. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi
karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ekstrapulmonal dapat disebabkan karena: penekanan dorongan pernapasan sentral atau
gangguan pada respon ventilasi.
Tanda-tanda gagal nafas yaitu adanya takipnea dan pernapasan dangkal tanpa retraksi
dan tanda dan gejala tambahan berupa gagal napas dapat diamati, tergantung pada tingkat
hipoksemia dan hiperkapnia.
Dikatakan gagal napas jika memenuhi salah satu keriteria yaitu PaO2 arteri <60 mmHg
atau PaCO2>45 mmHg, kecuali peningkatan yang terjadi kompensasi alkalosis metabolik
(Arifputra, 2014). Selain itu jika menurut klasifikasinya gagal napas bisa terbagi menjadi
hipoksemia yaitu bila nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal

14
atau rendah.
Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan,
antara lain:
a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)
b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)
d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
e. Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal jantung dapat
terjadi pada hipoksia berat. Berikutnya adalah gagal napas hiperkapnia, yaitu bila
kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2 alveolus dari arteri
turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan di dinding dada, otot pernapasan,
atau batang otak. Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir,
ARDS berat atau landry guillain barre syndrome.
Gejala hiperkapnia antara lain penurunan kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu,
bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan papil edema.
6. Penatalaksanaan Medik
a. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan AGD
2) Ro thorax
b. Terapi medik
1) Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik. Aspek penting lainnya dalam
perawatan adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas ini bertujuan untuk
memmberikan dukungan ventilasi sampai integritas membrane alveolakapiler
kembali membaik. Dua tujuan tambahan adalah: memelihara ventilasi dan
oksigenisasi yang adekuat selama periode kritis hipoksemia berat dan mengatasi
peneyebab yang mengawali terjadinya distress pernapasan. Positif End Expiratory
Breathing (PEEB) Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui volume
ventilator dengan tekanan aliran yang tinggi, di mana PEEB dapat ditambahkan.
PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus pernapasan untuk mencegah
alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
2) Terapi suportif lainnya yaitu fisioterapi dada yang ditujukan untuk membersihkan

15
jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas
juga untuk tindakan pencegahan. Selain itu juga ada bronkodilator (beta-
adrenergik agonis/simpatomimetik) yang lebih efektif bila diberikan dalam bentuk
inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga
dosis besar dapat diberikan secara inhalasi.

D. VENTILASI MEKANIK
1. Pengertian
Ventilasi mekanik adalah proses penggunaan suatu peralatan untuk memfasilitasi
transpor oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk tujuan
meningkatkan pertukaran gas paru-paru (Urden, Stacy, Lough 2010). Ventilator
merupakan alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan
ventilasi dan pemberian oksigen untuk periode waktu yang lama .
Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau negative
yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan napas pasien sehingga mampu
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Tujuan
pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara
optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolic pasien, memperbaiki hipoksemia,
dan memaksimalkan transport oksigen (Hidayat, et all 2020).
Terdapat beberapa tujuan pemasangan ventilator mekanik, yaitu: mengurangi kerja
pernapasan, meningkatkan tingkat kenyamanan pasien, Pemberian MV yang akurat,
mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan menjamin hantaran O2 ke
jaringan adekuat.
Ventilator mekanik dibedakan atas beberapa klasifikasi. Berdasarkan cara alat tersebut
mendukung ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan
positif. Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada eksternal.
Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir
ke dalam paru-paru sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan
terutama pada gagal nafas kronik yang berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti
poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Saat ini

16
sudah jarang di pergunakan lagi karena tidak bisa melawan resistensi dan complience
paru, di samping itu ventilator tekanan negative ini digunakan pada awal- awal
penggunaan ventilator. Sedangkan Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-
paru dengan mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong
alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi
endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada klien dengan
penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan
bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus.
Kemudian berdasarkan mekanisme kerjanya ventilator mekanik tekanan positif dapat
dibagi menjadi empat jenis yaitu:.
1) Volume Cycled Ventilator.
Volume cycled ventilator merupakan jenis ventilator yang paling sering digunakan
di ruangan unit perawatan kritis. Perinsip dasar ventilator ini adalah siklusnya
berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai
volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada
komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten. Jenis ventilator
ini banyak digunakan bagi pasien dewasa dengan gangguan paru secara umum. Akan
tetapi jenis ini tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan pernapasan yang
diakibatkan penyempitan lapang paru (atelektasis, edema paru). Hal ini dikarenakan
pada volume cycled pemberian tekanan pada paru-paru tidak terkontrol, sehingga
dikhawatirkan jika tekanannya berlebih maka akan terjadi volutrauma. Sedangkan
penggunaan pada bayi tidak dianjurkan, karena alveoli bayi masih sangat rentan
terhadap tekanan, sehingga memiliki risiko tinggi untuk terjadinya volutrauma.

2) Pressure Cycled Ventilator


Prinsip dasar ventilator type ini adalah siklusnya menggunakan tekanan. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah
ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan
pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara
yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil,
penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan, sedangkan pada pasien klien- klien

17
atau dewasa mengalami gangguan pada luas lapang paru (atelektasis, edema paru)
jenis ini sangat dianjurkan.
3) Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah siklusnya berdasarkan waktu ekspirasi
atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan
kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit). Normal ratio I:E (inspirasi:ekspirasi) 1:2.
4) Berbasis aliran (Flow Cycle)
Memberikan napas dan menghantarkan oksigen berdasarkan kecepatan aliran yang
sudah diset.
Secara keseluruhan, mode ventilator terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu mode
bantuan sepenuhnya dan mode bantuan sebagian.
1) Mode bantuan penuh terdiri dari mode volume control (VC) dan pressure control
(PC). Baik VC ataupun PC, masing-masing memenuhi target Tidal Volume (VT)
sesuai kebutuhan pasien (10-12 ml/kgBB/breath)
a) Volume Control (VC)
Pada mode ini, frekwensi nafas (f) dan jumlah tidal volume (TV) yang diberikan
kepada pasien secara total diatur oleh mesin. Mode ini digunakan jika pasien tidak
sanggup lagi memenuhi kebutuhan TV sendiri dengan frekwensi nafas normal.
Karena pada setiap mode control, jumlah nafas dan TV mutlak diatur oleh
ventilator, maka pada pasien-pasien yang sadar atau inkoopratif akan
mengakibatkan benturan nafas (fighting) anatara pasien dengan mesin ventilator
saat insfirasi atau ekspirasi. Sehingga pasien harus diberikan obat-obat sedatif dan
pelumpuh otot pernafasan sampai pola nafas kembali efektif. Pemberian muscle
relaksan harus benar-benar dipertimbangkan terhadap efek merugikan berupa
hipotensive.
b) Pressure Control (PC)
Jika pada mode VC, sasaran mesin adalah memenuhi kebutuhan TV atau MV
melalui pemberian volume, maka pada mode PC target mesin adalah memenuhi
kebutuhan TV atau MV melalui pemberian tekanan. Mode ini efektif digunakan
pada pasien-pasien dengan kasus edema paru akut.
2) Mode bantuan sebagian terdiri dari SIMV (Sincronous Intermitten Minute Volume),

18
Pressure Support (PS), atau gabungan volume dan tekanan SIMV-PS.
a) SIMV (Sincronous Intermitten Minute Volume)
Jika VC adalah bantuan penuh maka SIMV adalah bantuan sebagian dengan
targetnya volume. SIMV memberikan bantuan ketika usaha nafas spontan pasien
mentriger mesin ventilator. Tapi jika usaha nafas tidak sanggup mentriger mesin,
maka ventilator akan memberikan bantuan sesuai dengan jumlah frekwensi yang
sudah diatur. Untuk memudahkan bantuan, maka trigger dibuat mendekati standar
atau dibuat lebih tinggi. Tetapi jika kekuatan untuk mengawali inspirasi belum kuat
dan frekwensi nafas terlalu cepat, pemakaian mode ini akan mengakibatkan
tingginya WOB (Work Of Breathing) yang akan dialami pasien. Mode ini
memberikan keamanan jika terjadi apneu. Pada pasien jatuh apneu maka mesin
tetap akan memberikan frekwensi nafas sesuai dengn jumlah nafas yang di set pada
mesin. Tetapi jika keampuan inspirasi pasien belum cukup kuat, maka bias terjadi
fighting antara mesin dengan pasien. Beberapa pengaturan (setting) yang harus di
buat pada mode SIMV diantaranya: TV, MV, Frekwensi nafas, Trigger, PEEP,
FiO2 dan alarm batas atas dan bawah MV.
b) Pressure Support (PS)
Jika PC merupakan bantuan penuh, maka PS merupakan mode bantuan sebagian
dengan target TV melalui pemberian tekanan. Mode ini tidak perlu mengatur
frekwensi nafas mesin karena jumlah nafas akan dibantu mesin sesuai dengan
jumlah trigger yang dihasilkan dari nafas spontan pasien. Semakin tinggi trigger
yang diberikan akan semakin mudah mesin ventilator memberikan bantuan.
Demikian pula dengan IPL, semakin tinggi IPL yang diberikan akan semakin
mudah TV pasien terpenuhi. Tapi untuk tahap weaning, pemberian trigger yang
tinggi atau IPL yang tinggi akan mengakibatkan ketergantungan pasien terhadap
mesin dan ini akan mengakibatkan kesulitan pasien untuk segera lepas dari mesin
ventilator. Beberapa pengaturan yang harus di buat pada mode VC diantaranya:
IPL, Triger, PEEP, FiO2, alarm batas atas dan bawah MV serta Upper Pressure
Level. Jika pemberian IPL sudah dapat diturunkan mendekati 6 cm H2O, dan TV
atau MV yang dihasilkan sudah terpenuhi, maka pasien dapat segera untuk
diweaning ke mode CPAP (Continuous Positive Air Way Pressure).

19
c) SIMV + PS
Mode ini merupakan gabungan dari mode SIMV dan mode PS. Umumnya
digunakan untuk perpindahan dari mode kontrol. Bantuan yang diberikan berupa
volume dan tekanan. Jika dengan mode ini IPL dibuat 0 cmH2O, maka sama
dengan mode SIMV saja. SIMV + PS memberikan kenyamanan pada pasien
dengan kekuatan inspirasi yang masih lemah. Beberapa pengaturan (setting) yang
harus di buat pada mode VC diantaranya: TV, MV, Frekwensi nafas, Trigger, IPL,
PEEP, FiO2, alarm batas atas dan bawah dari MV serta Upper Pressure Limit.
d) CPAP (Continous Positif Airway Pressure)
Mode ini digunakan pada pasien dengan daya inspirasi sudah cukup kuat atau
jika dengan mode PS dengan IPL rendah sudah cukup menghasilkan TV yang
adekuat. Bantuan yang di berikan melalui mode ini berupa PEEP dan FiO2 saja.
Dengan demikian penggunaan mode ini cocok pada pasien yang siap ekstubasi.
2. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan ventilasi mekanik, yaitu: obstruksi
jalan nafas, hipertensi, tension pneumotoraks, atelektase dan infeksi pulmonal (Dreyfuss
and Saumon 1998).

E. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Awal
a. B1 (Breathing)
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak produktif,
riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau
krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental (Doengoes et.al, 2012).
b. B2 (Blood)
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner,
masalah TD, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk/berdiri.

20
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian
kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan
kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
8) edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
9) Pucat (Doengoes et.al, 2012)
c. B3 (Brain)
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan (Doengoes et.al, 2012).
d. B4 (Bladder)
Kulit berkeringat, penurunan turgor kulit, Produksi urin normal atau menurun
(Doengoes et.al, 2012).
e. B5 (Bowel)
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, terbakar.bersendawa, nyeri ulu hati
Tanda: muntah, dan perubahan berat badan, Bunyi usus normal atau menurun
(Doengoes et.al, 2012).
f. B6 (Bone)
Edema ekstremnitas, tonus otot.

2. Perumusan Diagnosa Keperawatan


a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan nafas (D.0001)
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (D.0003)
c. Gangguan penyapihan ventilator b.d Hambatan upaya nafas (D.0002)
d. Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme (D.0004)
e. Risiko infeksi dibuktikan dengan Penyakit kronis, efek prosedur invasif, Malnutrisi,
Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan, ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer, ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder (D.0142)

21
f. Risiko aspirasi dibuktikan dengan penurunan tingkat keadaran, penurunan reflek
muntah dan batuk,gangguan menelan, disfagia, kerusakan mobilitas fisik, peningkatan
residu lambung, peningkatan tekanan intragasrtik, penurunan motilitas gastrointestinal,
perlambatan pengosongan lambung, terpasang NGT, terpasang trakesotomi/ETT,
Trauma leher/mulut, efek agen farmakologis, ketidakmatangan koordinai menghisap,
menelan dan bernafas (D.0006)

3. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan SIKI & SLKI.

22

Anda mungkin juga menyukai