Anda di halaman 1dari 3

TUGAS UTS PENGALAMAN PKL

Ilman Mahbubillah – 18150044 (Repoetase dan Publishing)

‫ب بِه مَجَااًل‬ ‫س‬ ‫ك‬


َ ‫اًل‬‫ا‬ ‫م‬ ِ
‫م‬ ‫ل‬
ْ ِ‫من مَل ي ِف ْد بِالْع‬
َ َ َ َْ َْ
Barangsiapa yang dengan ilmunya tidak mendapatkan manfaat berupa harta, maka
.dengan ilmunya itu, ia akan mendapatkan keindahan

Cerita ini aku mulai dengan satu maqolah yang secara kebetulan terdengar ketika seorang
guru menutup pembelajaran di kelas. Peristiwa itu menjadi kesan pertamaku atau zaman
sekarang biasa disebut dengan first impression ketika juga untuk kali pertama aku datang ke
madrasah, yang membuatku penasaran bukan hanya siapa penuturnya, melainkan juga
bagaimana rasanya benar-benar mengabdikan diri untuk turut ikut serta menyebarluaskan ilmu
pengetahuan. Kemudian salah seorang rekan PKL-ku bertanya “Bagaimana? Sudah siap untuk
berkhidmat?” Aku hanya menjawabnya dengan senyum dan membulatkan tekad dalam hati,
yang menjadi pertanda awal untuk kesiapanku dalam khidmat.
Membahas tentang khidmat, selalu terhubung otomatis dengan masa-masa PKL dulu.
Yang mana kita ditugaskan untuk berkhidmat atau mengabdi di sebuah pondok pesantren yang
ada di Blitar. Mambaus Sholihin namanya.  Di sana sebenarnya kami hanya bertugas untuk
mengajar di sekolah SMP/SMA, mata pelajaran Bahasa Arab saja. Akan tetapi tinggal di sebuah
pesantren membuat kita menjadi seperti mondok lagi. Tidak hanya sekedar mengajar di kelas
yang sudah ditentukan, tapi juga mengikuti dan turut membantu kegiatan yang ada di pesantren.
Kami juga dimintai untuk mengisi kelas bahasa setiap ba’da sholat shubuh dan ba’da ashar.
Selain itu juga mengajar di kelas Diniyah sore hari. Semua itu sebenarnya di luar tugas kami
sebagai mahasiswa PKL. Kesibukan macam itu seringkali membuat kami jenuh dan mengeluh
lelah. Bagaimana tidak? Di sekolah pun kita tidak hanya mengajar sesuai kelas saja, tapi
seringkali jika ada guru mata pelajaran lain yang tidak bisa hadir, mereka meminta kami untuk
mengisi kelas kosong tersebut. Jadi tak jarang pula, aku mengajar mata pelajaran sains,
matematika dan mapel-mapel lainnya.
Bagiku, meskipun itu cukup melelahkan awal-awalnya akan tetapi juga cukup
menyenangkan lama-lama. Dengan begitu, aku jauh mempunyai waktu yang lebih intens untuk
bertemu dengan mereka. Adik-adikku yang menggemaskan. Wajah mereka yang lugu, lucu, usil,
tengil dan ulah mereka yang ga bisa diam penuh celoteh jail, justru mampu mengubah rasa
lelahku menjadi lillah. Setiap hari aku dibuatnya merindu untuk berjumpa kembali.
Jadwalku yang sebelumnya hanya 2x pertemuan selama seminggu, berubah menjadi
hampir setiap hari. But, its oke. Semakin sering aku bertemu mereka, semakin dekat hubungan
kita. Tidak hanya sekedar mengajar tapi lebih dari itu. Mereka sudah membuat aku jatuh
cinta. “Janganlah menjadi guru yang dihormati sebab ditakuti, tapi jadilah guru yang dihormati
sebab  dicintai”. Yah, dari mereka aku banyak belajar tentang bagaimana menjadi sosok guru
yang dihormati sebab cinta, bukan karena hanya takut semata. Takut nilainya jelek, takut
dihukum atau semacamnya. Karena suatu ketika mereka pun pernah curhat, bahwa ada guru
yang memang galak, suka menghukum. Ya mungkin karena mereka juga nakal atau bandel.
Wajar sih! Padahal menurutku, pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang baik. Mereka
cukup dijinakkan dengan cinta dan kasih sayang dari gurunya.
Waktu pun bergulir begitu cepat tanpa terasa. Hari demi hari aku lalui dengan berbagai
pegalaman. Berjumpa dengan mereka membuat hati ini bahagia. Justru hari-hariku kian menjadi
berwarna. Ah cintaaa… aku mencintai kalian semua. Hingga tiba waktu perpisahan.  Sedih? Iya.
Pertemuan terakhir kita, aku mengisinya dengan game bahasa dan sudah kusiapkan reward untuk
mereka semua. Ah, suasana kelas begitu seru dan ramai teriakan-teriakan kompak mereka. Hati
ini merasa teramat bahagia mendengar tawa mereka saling bersautan. Seusai game, aku pun
berpamitan pada mereka bahwasanya ini adalah pertemuan terakhir kita di kelas. Berbagai
respon celoteh mereka menanggapi. Lantas, aku meminta mereka untuk menuliskan surat berisi
kesan dan pesan mereka selama belajar bersamaku. Memang aku akan membaca itu ketika sudah
pulang dari kelas. Yah sesuai permintaan mereka juga. Tetapi berbagai kata yang mereka
katakan bahwa tak ingin adanya perpisahan membuat aku cukup terharu. Mereka anak yang baik,
cerdas, bukan anak nakal. Mereka adalah “GANAS” Generasi anak sholeh. Itulah nama kelas
mereka. Airmataku tak terbendung bangga. Kami berfoto bersama, bergantian yang memotret.
Hehe... Dan ketika aku yang memotret mereka, serempak mereka membentuk jari tangan mereka
menyerupai lambang love. Argh, sungguh aku merasa terkesima dan terharu dibuatnya. Terima
kasih kalian sudah memberikan warna cinta baru dalam kehidupan kak Rifa.  Kak Rifa mencintai
kalian...
َ ‫ َم ْن لَ ْم يَفِ ْد بِ ْال ِع ْل ِم َمااًل َك َس‬  dari situlah, kutemukan manfaat ilmu yang bukan berupa harta, akan
‫ب بِه َج َمااًل‬
tetapi keindahan. yah keindahan cinta dan ketulusan dari mereka.
“Mengajar itu bukan hanya melibatkan pikiran saja, tapi juga melibatkan perasaan
(Hati)”
Terakhir, dan sebagai penutup dari cerita pengalaman berkhidmat, saya tuliskan
pengetahuan umum sekaligus penguat dari narasi ini. Di dunia ini semuanya bersifat relative,
kecuali tentang ketuhanan. Begitu juga mengenai makna kata “Khidmat”. Dalam kamus KBBI,
khidmat memiliki makna hormat, takdzim. Sedangkan secara istilah kata khidmat merupakan
gambaran dari hati yang merasakan kedamaian. Lalu sekarang, apakah kalian sudah menemukan
arti khidmat-mu sendiri? Jika belum, yuk! Kita mulai belajar berkhidmat mulai dari hal-hal kecil
yang ada di sekitar kita. Jika kalian sudah menemukan khidmat versi kalian sendiri, yuk!
Tuliskan cerita khidmatmu agar bisa menginspirasi juga.

Anda mungkin juga menyukai