Anda di halaman 1dari 5

Kutampik Suratan

Bulan
“Jangan lupa tuliskan cita-cita kalian di nama dada!” teriak salah seorang
kakak senior yang bertugas sebagai panitia PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru).
Fuiihhh…baru persiapan saja, aroma ospek sudah menjalar membuat
bergidik. Telinga Putri berdenging mendengar teriakan perintah demi perintah yang
bagaikan tihtah para raja. Pikirannya mulai berlari-lari membayangkan betapa
suramnya masa ospek yang akan ia jalani. Dalam hati Putri berdoa semoga
jantungnya kuat, tubuhnya sehat dan pikirannya tetap waras selama masa
penggojlokan nanti.
Saat yang tak dinanti pun tiba. Selepas shalat subuh, Putri diantar ayahnya
ke lokasi yang berjarak aman dari kampus. Ya, berjarak aman! Karena selama
ospek berlangsung, semua mahasiswa baru dilarang diantar oleh orang tua, kerabat,
teman, sahabat apalagi pacar. Itulah peraturan yang telah disepakati secara sepihak
hanya oleh para senior panitia ospek. Karena itulah Putri harus bersekongkol
dengan bodyguard tercinta agar siasatnya tidak terendus oleh para panitia yang
bermata elang siap memangsa. Sungguh peraturan yang merugikan. Alih-alih
beraroma harum di pagi hari, tubuh Putri malah menguarkan aroma asam khas bau
badan. Bagaimana tidak, ia yang sangat mudah sekali berkeringat harus berjalan
kaki dengan langkah tergesa di bawah tekanan waktu.
“Wuidih…beda nih. Coba kamu sebutkan dengan kencang apa cita-citamu!”
perintah seorang senior perempuan saat membaca nama dada berukuran setengah
halaman HVS yang tergantung di leher Putri.
“Siap Kak! Saya bercita-cita menjadi seorang konsultan pendidikan!” ucap
Putri secara lantang dengan tegas dan matap.
“Hhhhmmm... kamu gak mau jadi guru kaya yang lain ya? Emangnya kamu
tahu, konsultan pendidikan itu apa? Apa tugas dan kerjaannya?” selidik sang senior.
“Eeeemmm…bantuin bikin konsep buat orang-orang yang mau mendirikan
sekolah Kak!” jawab Putri dengan nada ragu.
“Bagus!” sahut sang senior. Perempuan yang nampak berwibawa itu pun
menepuk punggung Putri dan berlalu dengan senyuman di bibir.
Putri menjadi sedikit yakin dengan cita-cita yang ia tuliskan. Sebenarnya ia
ingin sekali menjadi seorang psikolog. Namun apa boleh buat, ia malah diterima di
sebuah Perguruan Tinggi Negeri Fakultas Ilmu Pendidikan. Mau tidak mau ia harus
memikirkan cita-cita yang sesuai dengan fakultasnya. Satu hal yang pasti, ia tak
mau menjadi guru, cita-cita yang diinginkan oleh sebagaian besar rekan-rekannya di
satu fakultas. Ironis bukan, kuliah di Fakultas Pendidikan namun menolak menjadi
guru. Konsultan Pendidikan adalah ide yang tiba-tiba saja terbersit ketika ia
diwajibkan menulis cita-cita di nama dada.
Sejak saat itu, Putri bertekad untuk menjadi seorang konsultan pendidikan
yang handal. Semua materi kuliah yang berhubungan dengan analisa pendidikan
dilahap habis olehnya. Ia sangat gemar mengulik kurikulum, sarana dan prasarana
Lembaga Pendidikan serta segala tetek bengek yang berbau pendidikan. Hampir di
setiap mata kuliah ia mendapat nilai memuaskan.
“Put, kamu mau kan mengajar di Sekolah Dasar? Yayasan tempatku bekerja
sedang melebarkan sayap ke jenjang berikutnya nih. Kamu coba melamar ya!” ujar
Tika, rekan kuliahnya yang kebetulan mengajar di sebuah Taman Kanak Kanak.
“Duh, gimana ya… aku nggak bisa. Aku nggak bakat ngajar,” jawab Putri.
“Apaan nggak bisa? Aku kan mengamati cara kamu mengajar saat PPL.
Kamu tuh bisa banget ngajar, Put,” sahut Tika yang memang mengajar di sekolah
tempat PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) Putri dan kelompoknya.
“Pokoknya kamu harus coba melamar! Aku rekomendasikan kamu pada
kepala sekolahnya lho,” ujar Tika meyakinkan Putri.
Akhirnya dengan jantung berdebar-debar bak perempuan yang habis dilamar,
Putri pun mengiyakan tawaran Tika. Bagaimana tidak berdebar, suara hatinya masih
saja tetap menolak menjadi seorang guru meskipun ia mendapat nilai baik dalam
tiap mata kuliah mengajar dan PPL.
Satu hal lagi yang sangat meresahkan hati Putri, yaitu pengetahuan
agamanya yang sangatlah minim. Bagaimana ia bisa mengajar di sekolah yang
berbasis agama jika ia saja baru cukup lancar membaca Al Qur’an saat akan tamat
SLTA. Itu pun karena ancaman sang guru agama yang menegaskan hanya akan
meluluskan siswa yang bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Sebuah pukulan telak
bagi Putri, yang kala itu membaca juz amma saja masih terbata-bata. Bayangan
kegagalan lulus sekolah selalu melintas di pikiran. Sejak saat itu, Putri mengejar
ketinggalannya dengan belajar mengaji dengan terseok-seok. Otaknya yang tak
terbiasa dengan rangkaian huruf-huruf hijaiyah terasa sangat bebal. Teman
sekelasnya yang seorang pecandu saja secara mengagetkan bisa membaca ayat
suci secara lancar dengan suara merdu. Sungguh sebuah fakta yang
meluluhlantahkan eksistensi diri.
Dengan setengah hati, Putri bersama Ria, salah seorang sahabatnya,
mencoba melamar di sekolah tempatnya melaksakan PPL. Benar saja! Putri mati
kutu saat test wawancara pengetahuan agama. Ia keluar ruangan dengan langkah
gontai. Mendung menggelayut di wajahnya. Ia mencium aroma kegagalan yang
sangat menyengat.
“Ibu Putri, silahkan masuk. Kepala Sekolah mau berbicara dengan ibu,”
panggil seorang karyawan Tata Usaha.
Putri sangat terkejut. Otaknya berkecamuk memikirkan apa yang akan
dibicarakan oleh Sang Kepala Sekolah. Apakah kegagalannya harus secepat ini
diungkapkan? Kepanikan melanda, saluran kemihnya mulai mengirimkan isyarat.
Seperti biasa, keinginan buang air kecil atau besar akan tiba-tiba mencuat saat
jantungnya berdegup kencang tak beraturan.
“Silahkan duduk Bu Putri. Jadi, ini kurikulum yang harus ibu analisa. Kita akan
kembangkan kurikulum untuk SD yang sedang kita rintis,” tutur Bu Rohimah, Sang
Kepala Sekolah, mengagetkan Putri.
“Eeehhh… bagaimana, Bu? Analisa kurikulum? Ini gimana maksudnya ya,
Bu?” tanya Putri meminta penjelasan.
“Oh iya, saya sampai lupa. Selamat bergabung dengan kami, Bu. Selama
masa magang, Ibu saya tugaskan menganalisa kurikulum ini dan seminggu dua kali
hadir di kelas untuk persiapan mengajar,” ujar Bu Rohimah memberi penjelasan.
“Tapi Bu, ini yakin saya diterima mengajar di sini?” tanya Putri mencoba
meyakinkan diri.
“Tentu! Oh ya, untuk masalah pengetahuan agama, ibu bisa mempelajarinya
sambil jalan ya. Tidak masalah itu. Saya yakin Ibu mampu,” sahut Bu Rohimah
dengan senyuman manis yang menandakan ia memahami keraguan Putri.
Putri melewati masa magang dengan baik. Ia sangat menikmati tugas berat
yang diamanahkan kepadanya, yaitu menganalisa kurikulum, menyiapkan berbagai
kelengkapan mengajar dan tentunya mempelajari pengetahuan agama yang harus
ia kuasai. Ia merasa pekerjaannya sangat sesuai dengan cita-cita yang telah ia
torehkan di papan nama kala itu, yaitu Konsultan Pendidikan. Ia membantu merintis
berdirinya sekolah baru, melengkapi beragam perangkat pendidikan yang
dibutuhkan agar sekolah layak beroperasi. Ia pun dipercaya menjadi wali kelas alias
guru. Yang satu ini tentu saja bukan cita-citanya.
Seiring berjalannya waktu, Putri yang tak berangan-angan menjadi guru mulai
menikmati perannya. Ia yang dulunya tak menyukai anak-anak, tanpa disadari
merasa nyaman dan bahagia dikelilingi oleh para malaikat kecil. Mentari selalu ia
sapa dengan semangat menyambut tingkah polah anak didiknya. Padahal selama
mengenyam pendidikan di tiap jenjangnya, Putri sangat benci menyongsong sapaan
surya yang menghangatkan bumi. Ya, satu lagi cita-cita terpendamnya, memiliki
pekerjaan yang tak mengharuskannya berkejaran dengan matahari terbit.
Ahahahaha… apa boleh dikata, tugas yang diampu ternyata mewajibkannya
menyapa kehadiran Mentari.
Di suatu pagi yang cerah, Putri mendapati sekuntum mawar merah yang
indah teronggok di meja kerjanya. Dengan rasa berkecamuk, ia menghidu aroma
bunga yang semerbak. Harumnya menenangkan jiwa. Di batang mawar yang
terbungkus kertas kaca, ia menemukan sebuah kertas bertuliskan “I love you bu
Putri”. Dengan mengernyit Putri berusaha menebak siapa pengagum rahasianya
karena tak ada nama pengirim yang tertera. Namun yang ada di sekitarnya hanyalah
para malaikat kecil yang sudah kembali berlari-larian setelah mengucap salam
takzim padanya. Sambil menyiapkan perangkat mengajar, pikiran Putri
melalangbuana menebak siapa gerangan yang telah mencuri hatinya. Tak bisa
dipungkiri, hatinya membuncah dengan perasaan bahagia karena mawar di
hadapannya adalah bunga pertama yang ia terima di sepanjang hidupnya.
Bel sekolah berbunyi, dengan tertib semua siswa melakukan ritual pagi
hari,yaitu mengucap doa, ikrar dan hapalan surat pendek. Kegiatan dilanjutkan
dengan carpet time. Putri duduk di kursi kecil berhadapan dengan para malaikat
ciliknya yang telah berpindah duduk di atas karpet. Ya, setiap pagi Putri mengawali
kegiatan dengan bercerita dan berbincang-bincang sesuai dengan tema apa yang
akan dipelajari. Pembelajaran berlangsung sangat menyenangkan. Baik ia maupun
murid-muridnya belajar dengan senyum tersungging bahkan tak jarang terdengar
gelak tawa.
Dering bel di tengah pelajaran menandakan waktunya mereka untuk rehat.
Clara, salah seorang malaikat cilik yang berambut panjang, berwajah cantik dan
bersenyum manis menghampiri Putri dengan malu-malu. Ia lalu mengambil mawar
merah yang masih tergeletak di meja Putri.
“Aku sayang Bu Putri. Selamat hari guru bu,” haturnya dengan tersipu sambil
menyerahkan bunga mawar pada guru kesayangannya.
Sontak Putri terkejut. Ia langsung memeluk Clara dengan penuh kehangatan.
Hatinya berbunga-bunga. Kini ia tahu, siapa pengagum rahasianya. Dalam sekejap,
para malaikat kecil lain bersusulan menyerbunya dengan pelukan. Semua
mengucapkan selamat hari guru sambil memeluk dan beberapa bahkan mencium
pipi Putri. Aaaahhhhhh… hati putri berteriak gembira. Ternyata seindah itu rasanya
dihujani dengan cinta tulus yang tak mengharap balas.
Kejutan-kejutan lain pun bermunculan, beberapa siswa memberinya beragam
coklat, cemilan kesukaan Putri. Makin membuncahlah kebahagiannya. Terbayang di
kepala, berapa rupiah yang akan terselamatkan karena kini ia memiliki persediaan
cemilan untuk beberapa minggu, ahahahahaaa…
Putri, perempuan lajang yang di hati dan pikirannya tak sekalipun terbersit
ingin menjadi guru, tak menganggap penting Hari Guru. Karena itulah ia tak
menyadari jika hari itu adalah hari istimewa bagi para pendidik. Tapi seketika
pikirannya beralih. Kekuatan cinta tulus dari para siswa membuatnya berpikir bahwa
memang inilah takdirnya. Sebesar apa pun ia menampik suratan yang telah
terpampang nyata, tak ada dayanya untuk menghindar. Ya, kini ia menerima
ketetapanNya untuk mengemban tugas menjadi seorang pendidik, sebuah
pekerjaan yang kelak akan sangat ia rindukan. Melalui pekerjaan ini pun kelak ia
akan menemukan belahan jiwanya.
Bekasi, 21 Januari 2022
Bio narasi
Bulan adalah nama pena dari Lany Putri Damayanthi, seorang ibu rumah
tangga. Saat ini selain mengajar privat, berdagang dan menulis, ia juga tengah
berjibaku untuk menjadi seorang voice over talent.
Ia pun aktif membuat konten di channel youtube N3House. Ia dapat
dihubungi melalui email lanyputridamayanthi@gmail.com, FB
LanyPutriDamayanthi atau Ig n3houselanyputridamayanthi.

Anda mungkin juga menyukai