Anda di halaman 1dari 73

PERILAKU PENYELAM PADA KEJADIAN DEKOMPRESI

(STUDI KASUS PADA PENYELAM SUKU BUGIS)

Proposal

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat

Pada Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

UIN Alauddin Makassar

Oleh

AINUN NUR INAYAH DARWIS

NIM : 70200116016

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL

Naskah Proposal yang disusun oleh Ainun Nur Inayah Darwis NIM

70200116016 ini telah kami setujui untuk diajukan pada Seminar Proposal

Fakultaas Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas

Islam Negeri Alauddin Makassar dalam rangka penyempurnaan penulisan.

Samata-Gowa, Februari 2020

Tim Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Fatmawaty Mallampiang, SKM., M.Kes Sukfitrianty Syahrir, SKM., M.Kes

Mengetahui :

Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat

Abdul Majid HR. Lagu, SKM.,M.Kes

NIP 19880826 201503 1 004


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

LEMBAR PEMGESAHAN..............................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................1

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus.........................................6

C. Rumusan Masalah........................................................................7

D. Tinjauan Pustaka..........................................................................8

E. Tujuan Penelitian.......................................................................16

F. Manfaat Penelitian.....................................................................16
BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Tentang Penyelam .....................................................18

1. Definisi Penyelam ................................................................18

2. Jenis – jenis Penyelaman ......................................................18

3. Prosedur Penyelaman ...........................................................22

4. Peralatan Selam ....................................................................24

5. Tindakan Pencegahan Bahaya Penyelaman .........................26

B. Tinjauan Tentang Dekompresi...................................................28

1. Definisi Penyakit Dekompresi .............................................28

2. Patofisiologi Penyakit Dekompresi ......................................29

3. Tipe –tipe Penyakit Dekompresi ..........................................30

4. Faktor Resiko Penyakit Dekompresi ....................................31


5. Pengobatan Penyakit Dekompresi ........................................35

C. Tinjauan Tentang Pengetahuan..................................................36

D. Tinjauan Tentang Kepercayaan.................................................38

1. Suku Bugis ...........................................................................40

2. Pengobatan ..........................................................................44

E. Tinjauan Tentang Keterampilan Yang Berkaitan Dengan

Pencegahan Penyakit...............................................................46

F. Tinjauan Tentang Keluarga.......................................................49

1. Definisi Dukungan Keluarga ...............................................49

2. Bentuk – bentuk Dukungan Keluarga .................................50

G. Kerangka Teori..........................................................................53

H. Kerangka Konseptual.................................................................54
BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian.......................................55

B. Waktu Penelitian........................................................................55

C. Pendekatan Penelitian................................................................55

D. Informan Penelitian....................................................................56

E. Sumber Data..............................................................................56

F. Metode Pengumpulan Data........................................................57

G. Instrumen Penelitian..................................................................57

H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.......................................58

I. Penarik Kesimpulan...................................................................59
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................61

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lautan yang terhampar luas, bahkan lebih luas dari

keseluruhan daratan di bumi memberi isyarat agar manusia memberi

perhatian terhadap laut sebagai wujud syukur atas nikmat Allah SWT.

Manusia dapat mengkap ikan dan sejenisnya untuk dijadikan sumber

rezeki berupa makanan atau komiditi perniagaan. Hasil laut yang

melimpah serta bernilai ekonomi tinggi, menunjukkan bahwa bidang

sumber daya laut merupakan salah satu sumber rezeki yang melimpah

bagi manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al- Jasiyah

ayat 12 :
‫هّٰللَا‬
ْ َ‫ي ا ْلفُ ْل ُك فِ ْي ِه بِا َ ْم ِر ٖه َولِتَ ْبتَ ُغ ْوا ِمنْ ف‬
‫ضلِ ٖه َولَ َعلَّ ُك ْم‬ َ ‫س َّخ َر لَ ُك ُم ا ْلبَ ْح َر لِت َْج ِر‬
َ ‫ي‬ ْ ‫ُ الَّ ِذ‬
ۚ َ‫ش ُك ُر ْون‬ ْ َ‫ت‬
Terjemahannya:

“Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal kapal dapat

berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat

mencari sebagian karunia-Nya dan agar kamu bersyukur”.

Manusia dalam mencari rezeki harus menjaga kesehatan karena

merupakan hal yang sangat penting. Tanpa kesehatan yang baik, maka

setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut organisasi

kesehatan dunia (WHO) yang paling baru yaitu bahwa kesehatan


merupakan keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan

tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat.


Data di Eropa, diperkirakan terdapat 10 sampai 100 orang

penyelam pertahun yang mengalami cedera dan membutuhkan

penanganan rekompresi akibat penyakit dekompresi yang dialami

(Linggayani, 2017). Di Amerika Serikat kasus kecelakaan akibat

penyelaman diperkirakan 3 sampai 4 kasus setiap 10.000 penyelam,

rata-rata setiap tahunnya adalah 1.000 kasus, sedangkan di regional

Asia-Pasifik berkisar antara 500-600 kasus tidak termasuk Jepang

(Duke et al., 2017).

Data di Indonesia, penyakit dekompresi sering dialami oleh

nelayan penyelam untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya.

Berdasarkan dari data Sub Direktur Jenderal Surveilans Epidemiologi,

Imunisasi dan Kesehatan Matra hingga tahun 2008, sebanyak 1026

nelayan penyelam di Indonesia ditemukan ada 93,9% penyelam yang

pernah menderita gejala awal akibat penyelaman diantaranya 39,5%

yang mengalami gangguan pendengaran, 29,8% yang menderita nyeri

sendi, dan 10,3% yang menderita kelumpuhan (Prasetyo et al., 2012).

Indonesia adalah negara kepulauan memiliki sekitar 17.508

pulau yang mempunyai iklim tropis. Posisi Indonesia terletak pada

koordinat 6°LU - 11°LS dan dari 97° - 141° . Luas perairan laut

Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai

terpanjang di dunia sebesar 81.000 km. Provinsi Sulawesi Selatan


terletak antara 0˚ 12’ sampai dengan 8˚ Lintang Selatan dan 116˚48’

sampai dengan 122˚36’ Bujur Timur. (Saranani and Hartono, 2019).

Pemanfaatan kekayaan laut di Indonesia dilakukan dalam beberapa

kegiatan antara lain: penangkapan ikan, lobster, teripang, abalone dan

mutiara. Kegiatan tersebut dilakuakan dengan melakukan penyelaman

sampai dengan beberapa puluh meter di bawah laut, karena biota laut

tersebut banyak terdapat di dasar laut. Penyelaman ini banyak dilakukan

oleh masyarakat pesisir karena ikan jenis tertentu, lobster, teripang dan

mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi (Nura, 2017).

Perilaku manusia sangat berpengaruh besar di kehidupan sehari-

hari, begitu pula dengan perilaku seorang penyelam yang tidak tepat.

Penyelam tradisional umumya melakukan pekerjaan secara turun-

temurun, tanpa dibekali ilmu kesehatan dan keselamatan penyelaman

yang memadai. Keterampilan menyelam diperoleh secara alami, yaitu

dengan meniru cara menyelam peselam yang lebih tua atau yang lebih

senior(Arsin and Naiem, 2016).

Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan

khususnya penyelam adalah karena rendahnya pengetahuan. Pekerjaan

penyelam mempunyai tingkat risiko yang sangat tinggi terhadap

kesehatan maupun keselamatan kerja sehingga diperlukan

pengetahuan dan keterampilan penyelaman yang benar. Kecerobohan

dalam penyelaman dapat mengakibatkan terjadinya dekompresi

(kelumpuhan) ((Hadisaputro and Adi, 2017).


Hasil penelitian Kementerian Kesehatan menunjukkan beberapa

penyakit dan kecelakaan yang terjadi pada nelayan dan penyelam

tradisional, menyebutkan sejumlah nelayan di pulau Bungin, Nusa

Tenggara Barat menderita nyeri persendian (57,5%) dan gangguan

pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%), sedangkan nelayan di

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengalami kasus barotrauma (41,37%)

dan penyakit dekompresi yang biasa menyerang penyelam (6,91%).

Data dari Kementerian Kesehatan, menurut survei 251 responden

penyelam di 9 provinsi di Indonesia, teknik menyelam yang digunakan

56,6% penyelam tahan nafas, 33,9% penyelam kompresor dan 9,6%

penyelam dengan SCUBA (Duke et al., 2017).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Saranani, dkk pada

tahun 2019 menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan teknik sikap

kedalaman menyelam dengan decompression sickness dengan nilai p =

0,001, ada hubungan signifikan dengan sikap lama meyelam dengan

decompression sickness dengan nilaip = 0,001 (Saranani and Hartono,

2019).

Studi yang dilakukan Henberg, menyatakan kelebihan berat badan

berisiko 3 kali lebih besar untuk terjadi dekompresi (OR=3,2) dan

konsumsi alkohol berisiko 2 kali lebih besar terjadi dekompresi

(OR=1,56) (Duke et al., 2017). Data yang dikumpulkan Dit Sepim

Kesma Depkes sampai dengan tahun 2008, dari 1.026 penyelam

ditemukan 93,9% penyelam pernah menderita gejala awal penyakit

penyelaman, yaitu sebanyak 29,8% menderita nyeri sendi 39,5%


menderita gangguan pendengaran dan 10,3% menderita kelumpuhan,

yang sebagian besar diantaranya adalah penyelam tradisional.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya yaitu jenis

penelitian kualitatif yang mencoba menggali perilaku kejadian penyakit

dekompresi pada suku bugis dengan melihat 7 variabel perilaku antara

lain pengetahun yang dikelompokkan menjadi 3 yaitu sebelum

menyelam, saat menyelam dan setelah menyelam, kemudian sikap yang

juga dikelompokkan menjadi 3 yaitu sikap sebelum menyelam, sikap

saat menyelam dan sikap setelah menyelam, serta 5 variabel lainnya

yaitu kepercayaan, keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan

penyakit, ketersediaan SDM kesehatan, keterjangkauan sarana

kesehatan dan dukungan keluarga.

Sebagai wilayah kepulauan maka sektor perikanan di Pulau

Sembilan terkhususnya di Pulau Harapan sebagai ibu kota kecamatan

yang memiliki sektor perikanan dengan potensi yang sangat besar

untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Hal itu dapat dilihat

dari kegiatan penangkapan gurita dan teripang yang sebagian besar

masih dalam bentuk skala kecil dan masih menggunakan teknologi

sederhana serta bertujuan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-

hari para nelayan setempat (Tang and Asmidar, 2019)

Tempat ini dipilih menjadi lokasi penelitian karena Pulau

Harapan merupakan salah satu daerah pesisir dengan etnis bugis yang

mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan. Jumlah


penduduk di Pulau Harapan berdasarkan mata pencaharian perikanan

sebanyak 1.604 orang (Badan Pusat Statistik, 2019).

Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan, dengan

mewawancarai salah seorang punggawa di Pulau Harapan diperolah

bahwa, ada sebanyak 60 orang yang bekerja sebagai penyelam dan

didapatkan sebanyak 13 orang atau 6,5% penyelam yang menderita

Dekompresi. Tingginya penghasilan yang diperoleh nelayan dari hasil

penjualan teripang dan gurita diindikasi menjadi alasan utama nelayan

di pulau Harapan melakukan penyelaman yang berisiko. Untuk

mendapatkan beberapa jenis teripang dan gurita nelayan harus

menyelam dengan kedalaman yang mencapai 30 meter dengan hanya

menggunakan bantuan kompresor (pemompa 8 udara) yang terhubung

dengan selang panjang sebagai alat bantu pernapasan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Peneliti tertarik untuk meneliti

tentang bagaimana perilaku penyelam suku Bugis pada kejadian

dekompresi di Pulau Harapan Kecamatan Pulau Sembilan.

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

Demi menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda

diantara pembaca, maka perlu diberikan batasan pengertian pada

beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian.

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

informasi yang diketahui oleh penyelam Suku Bugis mengenai

penyakit dekompresi, sebelum menyelam,saat menyelam, setelah


menyelam dan alat pelindung diri (APD) yang digunakan dalam

menjaga Kesehatan dan Keselamatan kerja (K3) penyelaman agar

selamat dan sehat.

2. Sikap

Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pikiran,

respon dan kecenderungan karakter penyelam Suku Bugis dalam

memilih risiko saat melakukan pekerjaan baik sebelum menyelam,

saat menyelam dan setelah menyelam sehingga mengakibatkan

terjadinya penyakit dekompresi

3. Keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan penyakit

Keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan penyakit

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan pencegahan

yang dilakukan oleh penyelam Suku Bugis baik sebelum dan saat

terkena penyakit dekompresi

4. Kepercayaan

Kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

tradisi-tradisi yang dianut oleh penyelam Suku Bugis baik sebelum,

saat dan setelah menyelam serta pencarian pengobatan dekompresi

sehingga mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja

5. Ketersediaan SDM kesehatan

Ketersediaan SDM kesehatan yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah peran pemerintah setempat dalam memberikan

penyuluhan mengenai penyakit dekompresi terhadap kesehatan dan


keselamatan kerja (K3) pada penyelam Suku Bugis agar sehat dan

selamat

6. Keterjangkauan sarana kesehatan

Keterjangakauan sarana kesehatan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah peran pemerintah setempat dalam menyediakan

sarana kesehatan, jarak tempat tinggal, waktu tempuh ke sarana

kesehatan dan pelayanan yang diberikan puskesmas pada penyelam

Suku Bugis.

7. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

dukungan keluarga yang diberikan terhadap penyelam Suku Bugis,

yang bersifat instrumental (tindakan nyata) dan emosioal (motivasi).

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dikaji dalam

penelitian ini adalah bagaimana perilaku penyelam pada kejadian

dekompresi (Studi kasus pada penyelam suku bugis)


D. Kajian Pustaka

Nama Peneliti / Judul Metode Penelitian / Variabel


No. Hasil Penelitian Saran Peneliti
/ Nama Jurnal Penelitian

1. Risno bara pratama, Penelitian kuantitatif dengan Dari enam variabel yang diteliti, Untuk mencegah

ridwan amiruddin, pendekatan studi cross sectional / 5 variabel memiliki a korelasi kecelakaan kerja pada

syafruddin gaus / Variabel dependen risiko signifikan terhadap risiko penyelam tradisional, perlu

Determinants of work kecelakaan kerja sedangkan kecelakaan kerja di penyelam untuk memberikan

accidents in trade- variabel idependen pengetahuan, tradisional, yaitu pengetahuan, coaching clinic atau

tional divers in the riwayat medis, ketersediaan riwayat medis, ketersediaan penyebaran informasi

wakatobi tourism area peralatan,frekuensi peralatan, frekuensi menyelam, tentang faktor-faktor

of southeast Sulawesi / menyelam,kedalaman menyelam dan kedalaman menyelam. penentu kecelakaan kerja,

International Journal of dan durasi menyelam Hanya yang variabel durasi serta pelatihan penyelaman

Science and Healthcare menyelam yang tidak yang tepat dan aman bagi

Research / Vol. 4, menunjukkan korelasi yang nelayan tradisional bekerja

ISSN: 2455-7587, signifikan dengan risiko sama dengan lembaga atau

(2019) kecelakaan kerja pada penyelam organisasi yang ahli dalam


tradisional di Bali kawasan bidang menyelam.

pariisata Wakatobi, Sulawesi Diperlukan pemeriksaan

Tenggara. kesehatan berkala bagi

nelayan untuk memeriksa

gejala jangka panjang yang

mereka miliki selama

menjalani profesi sebagai

nelayan tradisional untuk

meningkatkan kesehatan

para nelayan.

2. Sri Rahayu Widyastuti, Jenis penelitian mix methode Berbagai faktor yang terbukti Perlunya di adakan

Soeharyo Hadisaputro, desain studi kasus kontrol dengan berpengaruh terhadap kualitas penyuluhan mengenai

Munasik / Faktor- pendekatan teknik purposive hidup penyelam tradisional bahaya dari menyelam serta

faktor yang sampling / Variabel dependen penderita penyakit dekompresi melakukan pemeriksaan

berpengaruh terhadap kualitas hidup penyelam adalah riwayat penyakit kesehatan kepada para

kualitas hidup tradisional penderita penyakit komorbid hipertensi, kedalaman penyelam tradisional.

penyelam tradisional dekompresi sedangkan variabel menyelam ≥ 30 meter, ada


penderita penyakit independen usia,obesitas, riwayat hilang kesadaran

dekompresi / Jurnal kebiasaan merokok, anemia, selama menyelam, lama

Epidemiologi kebiasaan konsumsi alkohol, menyelam ≥ 2 jam, menderita

Kesehatan Komunitas / riwayat hilang kesadaran selama anemia, frekuensi riwayat

Vol.4 No.1 (2019) menyelam, frekuensi riwayat penyakit dekompresi > 1

penyakit dekompresi, riwayat Berbagai faktor yang terbukti

penyakit komorbid hipertensi, kali. Bila seseorang mempunyai

riwayat penyakit komorbid karakteristik tersebut,

diabetes mellitus, riwayat probabilitas untuk terjadi

penyakit komorbid jantung, kualitas hidup buruk adalah

riwayat penyakit komorbid sesak 99,99%. Berbagai faktor yang

nafas, kedalaman menyelam, tidak terbukti berpengaruh

kama menyelam,menyelam adalah usia > 40 tahun, obesitas,

berulang dalam hari yang sama. kebiasaan merokok, kebiasaan

konsumsi alkohol, menyelam

berulang dalam hari yang sama.

3. Muhaimin Saranani Jenis penelitian kuanttatif dengan Hasil penelitian menunjukkan Pemerintah setempat untuk
Rudi Hartono pendekatan ada hubungan signifikan teknik memperhatikan penyelam

Aluddin / Faktor yang cross sectional study / Variabel kedalaman menyelam dengan agar menggunakan alat

berhubungan dengan dependen kejadian penyakit decompression sickness dengan standar dalam melakukan

kejadian dekompresi sickness sedangkan nilai p = 0,001, ada hubungan penyelaman.

decompression variabel independen kedalaman signifikan lama meyelam

sickness pada aktivitas menyelam dan lama menyelam dengan decompression sickness

penyelaman . dengan nilaip = 0,001. Hasil

menggunakan penelitian ini diharapkan

compressor / Jurnal menjadi rujukan bagi

keperawatan / Vol.3 masyarakat untuk menggunakan

No.2, P-ISSN:2407- alat standar dalam melakukan

4810 E-ISSN:2686- penyelaman

2093, (2019)

4. MeylanW. Penelitian deskriptif dengan Kesimpulan dalam penelitian Kepada Pemerintah Daerah

Takalelumang, metode survey / Variabel yakni sebagian responden untuk menyelenggarakan

meistvin walembuntu, dependen keluhan penderita mengalami gangguan akibat pelatihan standar

iswanto gobel / dekompresi pada penyelam penyelaman, hal tersebut penyelaman kepada para
Gambaran keluhan tradisional variabel independen diakibatkan karena penyelam Nelayan agar sehat dan

penyakit dekompresi kebiasaan menyelam, keluhan tidak mengikuti aturan serta selamat saat bekerja

pada penyelam akibat penyelaman, penyakit yang standar penyelaman yang baik

tradisional di kampung diderita oleh penyelam dan menurut para nelayan

simueng kabupaten mereka belum pernah

kepulauan sangihe mendapatkan

tahun 2018 / Jurnal materi/penyuluhan tentang

P3M politeknik negeri standar penyelaman oleh karena

nusa utara / Vol.2 itu penulis menyarankan kepada

No.2, (2018) pemerintah daerah untuk

menyelenggarakan pelatihan

standar penyelaman kepada

para nelayan tersebut

5. Dian rezki wijaya, andi Jenis penelitian observasional Masa kerja merupakan variabel Saran bagi nelayan perlu

zulkifli abdullah, sukri analitik dengan menggunakan yang paling berisiko terhadap untuk mengurangi durasi

palutturi / Faktor risiko rancangan case control study / kejadian penyakit dekompresi dan kedalaman menyelam.

masa kerja dan waktu Variabel dependen kejadian pada nelayan penyelam di pulau Selain itu, perlu bagi
istirahat terhadap penyakit dekompresi, sedangkan barrang lompo kota makassar nelayan penyelam untuk

kejadian penyakit variabel independen masa kerja, sehingga nelayan perlu untuk menyusun rencana

dekompresi pada cara naik ke permukaan dan mengurangi durasi dan penyelaman sebelumnya

nelayan penyelam di waktu istirahat kedalaman menyelam. Selain terkait faktor risiko penyakit

pulau barrang lompo / itu, perlu bagi nelayan dekompresi untuk

Jurnal JKMM / Vol.2 penyelam untuk menyusun mengurangi risiko untuk

No.1, ISSN 2599- rencana penyelaman mengalami penyakit

1167, (2018) sebelumnya terkait faktor risiko dekompresi

penyakit dekompresi untuk

mengurangi risiko untuk

mengalami penyakit

dekompresi

6. Halena isrumanti duke, Penelitian ini merupakan Faktor yang terbukti Perlunya di adakan

suharyo hadisaputro, penelitian mix method yaitu berpengaruh terhadap kejadian penyuluhan atau

sofa chasani, anies, penggabungan penelitian secara dekompresi adalah kedalaman penyebarluasan informasi

munasik / Beberapa observasional analitik dengan menyelam, lama menyelam, dan tentang faktor risiko dan

faktor yang metode penelitian kasus kontrol anemia. Hasil indepth interview pelatihan penyelaman yang
berpengaruh terhadap (case control) ditunjang dengan responden memberikan benar dan aman bagi

kejadian penyakit penelitian kualitatif / Variabel keterangan bahwa, responden penyelam serta melakukan

dekompresi pada dependen kejadian dekompresi menyelam dalam untuk pemeriksaan kesehatan

penyelam tradisional dan variabel independen mendapatkan ikan. Responden berkala pada penyelam

(studi kasus di kedalaman penyelam, lama merasakan badan terasa sakit

karimunjawa) / J. penyelam, dan anemia. bahkan seperti lumpuh setelah

Kesehat. Masy. lama menyelam. Responden

Indones / Vol.12 No.2, rata-rata menyelam selama 3

ISSN 1693-3443, jam dalam sehari untuk

(2016) mendapatkan ikan

7. Jusmawati, A. Arsunan Jenis penelitian observasional Hasil penelitian menunjukkan Pemerintah setempat agar

Arsin, Furqaan Naiem / analitik dengan rancangan kasus kejadian DCS lebih banyak memberikan penyuluhan

Faktor risiko kejadian kontrol yang bersifat holistik- pada usia <16 tahun atau >35 kesehatan terkait

decompression integratif / Variabel dependen tahun (59,8%), frekuensi dekompresi kepada

sickness pada kejadian dekompresi sedangkan menyelam >2 kali (62,1%), masyarakat nelayan

masyarakat nelayan variabel independen usia, kedalaman menyelam >10 m peselam tradisional pulau
peselam tradisional frekuensi menyelam, lama (88,5%), lama menyelam >60 saponda.

pulau saponda / Jurnal menyelam, kedalaman menyelam, menit (69,0%), dan mempunyai

MKMI / Vol. 12 No. 2, riwayat penyakit riwayat penyakit (78,2%).

(2016) Penelitian menyimpulkan usia,

frekuensi menyelam, kedalaman

menyelam, lama menyelam dan

riwayat penyakit merupakan

faktor risiko kejadian DCS.

Variabel yang paling berisiko

terhadap DCS adalah

kedalaman menyelam.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa telah ada penelitian sebelumnya yang

berhubungan dengan perilaku menyelam pada kejadian penyakit dekompresi. Namun

dalam penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang perilaku menyelam pada

kejadian dekompresi (Studi Kasus pada penyelam Suku Bugis).

Disamping itu, penelitian ini juga terdiri atas variabel dependen yaitu kejadian

dekompresi pada penyelam, sedangkan variabel independen yaitu pengetahuan, sikap,

keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan penyakit,kepercayaan, ketersediaan

SDM kesehatan, keterjangkauan sarana kesehatan dan dukungan keluarga.

Adapun jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan metode

penelitian Studi Kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara

intensif, terinci dan mendalam tentang suatu peristiwa dan aktivitas yang dilakukan

untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut dan

menindaklanjuti penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan agar

nelayan mengetahui bahwa ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan dan

sebaiknya dikurangi karena dapat merugikan dirinya sendiri, yang dimana ini

bertujuan supaya nelayan tidak mengulangi kembali hal yang sama seperti yang

dilakukannya sebelum terkena penyakit dekompresi. Dan juga pada masyarakat yang

berprofesi sama yaitu penyelam yang belum terkena penyakit dekompresi agar

kiranya tahu dan paham sehingga penderita penyakit dekompresi suku Bugis di Pulau

Harapan Kecamatan Pulau Sembilan dapat berkurang bahkan tidak ada sama sekali.
E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana perilaku penyelam

pada kejadian dekompresi (Studi kasus pada penyelam suku Bugis)

2. Tujuan Khusus

Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini yaitu :

a. Untuk mengkaji tingkat pengetahuan tentang perilaku kesehatan dan

keselamatan kerja terhadap perilaku penyelam suku Bugis

b. Untuk mengkaji sikap tentang perilaku kesehatan dan keselamatan kerja

terhadap perilaku penyelam suku Bugis

c. Untuk mengkaji keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan

penyakit dekompresi tentang perilaku kesehatan dan keselamatan kerja

terhadap perilaku penyelam suku Bugis

d. Untuk mengkaji kepercayaan dan tradisi yang dilakukan penyelam suku

Bugis baik sebelum, saat dan setelah menyelam sehingga mempengaruhi

keselamatan saat melaut, termasuk pencarian pengobatan penyakit

dekompresi

e. Untuk mengkaji keterjangkauan sarana kesehatan bagi penyelam suku

Bugis

f. Untuk mengkaji ketersediaan SDM kesehatan guna meningkatkan derajat

kesehatan bagi penyelam suku bugis

g. Untuk mengkaji dukungan keluarga yang bersifat instrumental dan

emosianal yang diberikan pada penyelam suku Bugis


F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi peneliti

Sebagai sarana dalam pengaplikasian teori yang didapatkan selama

perkuliahan serta menambah wawasan, memberikan pengalaman, dan

mempertajam analitik peneliti.

2. Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi

bagi masyarakat terkait faktor risiko kejadian penyakit dekompresi pada

penyelam sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan terkait

penyakit tersebut.

3. Manfaat bagi institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi

bagi instansi setempat (Dinas Kesehatan dan Puskesmas Pulau Sembilan)

dan menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pencegahan

terkait penyakit dekompresi pada penyelam suku Bugis. Selain itu, penelitian

ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menambah pustaka bagi

mahasiswa.

4. Manfaat bagi peneliti lain

Dapat menjadi sebagai salah satu bahan informasi atau referensi dalam

pengembangan penelitian selanjutnya mengenai penyakit dekompresi pada

penyelam.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Tentang Penyelam

1. Definisi Penyelam

Penyelaman adalah kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan air

dengan atau tanpa menggunakan peralatan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Penyelaman dilakukan di lingkungan bertekanan tinggi yang lebih

dari 1 atmosfer yang dikenal sebagai lingkungan hiperbarik Dalam dunia

penyelaman dikenal sebagai penyelaman basah untuk kegiatan penyelaman

di dalam air dan sebutan penyelaman kering bagi kegiatan penyelaman yang

dilakukan di dalam ruangan bertekanan tinggi (RUBT = Ruang Udara

Bertekanan Tinggi). Penyelaman basah maupun kering sama-sama

mempunyai resiko akibat menghisap gas-gas pernapasan tekanan tinggi

dengan segala akibatnya (Wijaya, 2018).

2. Jenis-jenis Penyelaman

Kegiatan menyelam dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

tergantung kedalaman, tujuan penyelaman dan jenis peralatan yang

digunakan (Wijaya, 2018). Adapun jenis-jenis penyelaman antara lain:

a. Menurut kedalaman, penyelaman dapat dibedakan menjadi sebagai

berikut:

1) Penyelaman dangkal, yaitu penyelaman dengan kedalaman maksimum

10 m
2) Penyelaman sedang, yaitu penyelaman dengan kedalaman < 10 m s/d

30 m

3) Penyelaman dalam, yaitu Penyelaman dengan kedalaman > 30 m

b. Menurut tujuannya, dikenal beberapa golongan penyelaman antara lain:

1) Penyelaman militer

Penyelaman yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan dan

keamanan negara. Penyelaman ini biasa dilaksanakan oleh para

penyelam Angkatan Bersenjata, misalnya: Tactical,Submarine Rescue,

Search & Rescue, Inspection & Repair, Ship Salvage, Underwater

Demolition, Underwater Combat.

2) Penyelaman komersial

Penyelaman komersial adalah penyelaman yang dilakukan oleh

penyelam professional antara lain untuk mencari benda-benda

berharga yang terpendam di dasar laut (Underwater Treasure

Hunting), konstruksi dibawah permukaan air, penambangan lepas

pantai, salvage, dll.

3) Penyelaman Ilmiah

Penyelaman ilmiah adalah penyelaman yang dilakukan untuk

kepentngan ilmu pengetahuan yang ada di bawah air seperti penelitian

biologi laut, geologi dan ilmu-ilmu kelautan lainnya. Penyelaman

ilmiah berbeda dengan penyelaman komersial yang mana penyelaman

ilmiah hanya bertanggung jawab terhadap penelitian dan pengumpulan

data bukan terhadap perbaikan konstruksi bawah laut.


4) Penyelaman olahraga

Penyelaman yang dilakukan untuk kepentingan

mempertahankan atau meningkatkan kondisi kesehatan dan kebugaran

jiwa dan raga guna mengejar prestasi yang dipertandingkan.

5) Penyelaman tradisional

Penyelaman yang biasa dilakukan oleh nelayan dan pekerja di

laut dengan tujuan mengambil biota laut untuk memenuhi keperluan

pribadi (dijual atau untuk memenuhi kehidupan sehari-hari). Nelayan

penyelam tradisional adalah nelayan penyelam yang melakukan

penyelaman menggunakan peralatan selam berupa masker yang

dihubungkan dengan selang udara ke kompresor. Penyelaman biasanya

dilakukan sampai kedalam 20 m atau lebih dengan selang udara dari

kompresor dan penyelam dapat bertahan sampai 2 jam di bawah air.

c. Menurut peralatan atau teknologi yang digunakan, dikenal bebrapa

golongan penyelaman antara lain, ( Wabula, 2019) :

1) Penyelaman tahan nafas (breath hold diving) adalah pernapasan

tanpa alat bantu pernapasan, penyelam hanya mengandalkan

kemampuannya dalam menyelam. Ada dua macam penyelaman

tahan nafas yaitu :

a) Goggling adalah penyelaman tahan napas dengan menggunakan

kaca mata renang. Biasanya, banyak dilakukan oieh penyelam

alam dan para nelayan untuk mencari mutiara, teripang,

menembak ikan, memasang dan mengambil bubu dll. Dengan

goggling ini penyelam sulit untuk melakukan ekualisasi, akibatnya


mudah terkena squeeze mata dan baro-trauma teiinga yang dapat

menyebabkan kesulitan bagi penyelam.

b) Snorkelling adalah penyelaman tahan napas dengan menggunakan

masker kaca (face mask) yang menutupi mata dan hidung, serta

pipa napas (Snorkell). Cara dan kegunaannya untuk menyelam

sama dengan goggling, namun sedikit lebih menguntungkan

karena penyelam mudah melakukan ekualisasi dan dapat berenang

di permukaan tanpa mengangkat kepala apabila hendak

bernapas.

2) Penyelaman SCUBA atau SCUBA Diving dilakukan pada kedalaman

18 - 39 m atau kurang dari itu tergantung pada kebutuhannya.

Dalam keadaan normal penyelaman SCUBA dilakukan pada

kedalaman 18 m selama 60 menit, sedangkan maksimalnya dilakukan

pada kedalaman 39 m selama 10 menit. Penyelaman SCUBA sering

dilakukan untuk melakukan pemeriksaan, pencarian benda-

benda,penelitian,pengamatan pertumbuhan biota laut, perbaikan atau

perawatan ringan pada kapal

3) Penyelaman dengan kapal selam, robot berawak/tidak berawak, adalah

penyelaman yang bisa mencapai kedalaman sampai 1000 meter.

4) Penyelaman Kompresor. Teknologi penyelaman yang digunakan oleh

nelayan dengan menggunakan suplai udara dari kompresor ban yang

telah dimodifikasi. Satu kompresor bisa terpasang sampai 4 buah selang.

Selang-selang tersebut selanjutnya diikatkan ke tubuh penyelam

biasanya di bagian pinggang. Tujuannya adalah agar tidak terbawa arus


yang dapat melepaskan regulator dari mulut penyelam. Akibat ikatan

yang erat pada tubuh penyelam, aliran udara akan terhambat sehingga

udara yang dihirup oleh penyelam sebagian besar berasal dari

gelembung-gelembung air yang keluar dari selang yang terhambat

(muzaky Luthfi, 2015).

3. Prosedur Penyelaman

Penyelaman pada daerah yang bertekanan tinggi dan dalam waktu

yang lama akan meningkatkan gas nitrogen dalam jaringan tubuh, sehingga

diperlukan prosedur tertentu untuk naik ke permukaan agar gas-gas nitrogen

dapat dikeluarkan dari tubuh tanpa membahayakan penyelam. Kecepatan

naik yang disarankan adalah tidak melebihi 1 feet per detik, atau kira-kira 20

meter dalam 1 menit. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada

gas-gas lembam (inert) seperti nitrogen untuk keluar dari pembuluh darah

kapiler. Para penyelam biasanya naik lebih cepat, misalnya dari kedalaman

20 meter, dia bisa naik dalam 3 –5 detik saja. Cara naik yang terlalu cepat ini

dapat mengakibatkanpenyumbatan pembuluh darah kapiler oleh gelembung

udara,sehingga darah tidak dapat mengaliri bagian tubuh tertentu. Ini dapat

menyebabkan kelumpuhan pada bagian-bagian tubuh. Jika penyumbatan

terjadi pada pembuluh darah ke kepala atau otak maka akan menyebabkan

kematian mendadak karena otak tidak mendapatkan suplai darah dan

oksigen.

Prosedur penyelaman yang benar harus menggunakan tabel selam,

penyelam yang melebihi kedalam 20 meter sudah melewati limit waktu

dekompresi. Jika prosedur ini diabaikan, penyelam akan mengalami gejala


dekompresi seperti pegal-pegal pada otot dan persendian, rasa sakit di dada,

sakit belikat dan punggung, pusing-pusing, sakit kepala, mual, rasa

kesemutan/kebal, dan rasa lemas. Jika gejala-gejala ini masih diabaikan juga

maka penyelam tersebut dapat mengalami kelumpuhan pada kaki atau

tangannya, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kematian

(Wabula, 2019 ).

Menurut Depkes RI tahun 2012 Standar Operating Procedure (SOP)

dalam (Wijaya, 2018) antara lain sebagai berikut :

a. Menyusun rencana penyelaman

1) Waktu dan lokasi penyelaman

2) Menentukan kedalaman penyelaman

3) Menentukan lamanya waktu penyelaman (bottom time)

4) Menetapkan pembantu di permukaan (tender)

b. Memeriksa perlengkapan selam

c. Memeriksa dan memastikan keamanan lokasi penyelaman

d. Melaksanakan penyelaman sesuai rencana

1) Turun menyelam dengan melakukan ekualisasi

2) Melakukan perkerjaan di kedalaman sesuai rencana masa penyelam

3) Naik ke permukaan mengikuti prosedur dekompresi

e. Untuk penyelaman berulang secara berurutan sangat berbahaya. Apabila

hal tersebut dilakukan agar memperhatikan interval waktu antara

penyelaman awal dan berikutnya serta lamanya waktu penyelaman.


4. Peralatan Selam

Menurut (Wijaya, 2018) peralatan selam yang digunakan oleh nelayan

penyelam sebagai berikut :

a. Masker, nelayan peselam menggunakan masker ketika masuk ke dalam

air dengan alasan untuk menghindari air masuk ke hidung dan membantu

penglihatan agar lebih baik. Masker yang digunakan merupakan masker

standar.

b. Pakaian, pakaian yang digunakan oleh nelayan peselam adalah berupa

baju biasa, terkadang lengan panjang, celana panjang yang cukup ketat

berbahan kain halus atau biasa disebut dengan istilah stocking.

c. Fin, nelayan peselam menggunakan fin atau istilah kaki katak, dengan

jenis full foot, yaitu jenis yang menutupi seluruh kaki nelayan

d. Pemberat / Weight Belt, weight belt atau pemberat digunakan oleh

nelayan peselam dan biasanya pemberat yang digunakan berkisar antara

0,5 hingga 3 kilogram.

e. Kompresor, sumber udara yang digunakan oleh nelayan peselam adalah

kompresor yang biasa digunakan sebagai kompresor ban bertekanan 10

bar. Kompresor menggunakan oli biasa untuk melumasi mesin.. tipe

kompresor yang digunakan oleh nelayan tidak memiliki filter sehingga

kontaminasi bahan berbahaya dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh

dan membahayakan. Kompresor konvensional yang digunakan nelayan

peselam sebagai alat penghasil udara tekan untuk media pernapasan

dalam air dapat memberikan dampak negatif jika digunakan dalam jangka

waktu yang lama. Dampak paling nyata dari penggunaan kompresor yang
tidak memiliki filter adalah adanya kerusakan paru-paru dan otak oleh

karena material berbahaya yang masuk ke dalam tubuh melalui

pernapasan.

f. Regulator dan Selang, regulator yang digunakan merupakan regulator

demand valve standar yang disambungkan ke selang dan kompresor.

Sedangkan selang yang digunakan untuk mengalirkan udara kepada

peselam merupakan selang plastik PVC maupun selang lainnya yang

dapat mengalirkan udara dari kompresor kepada nelayan peselam.

Panjang selang berkisar antara 50-200 meter.

5. Tindakan Pencegahan Bahaya Penyelaman

Menurut (Wijaya, 2018) tindakan pencegahan yang dapat dilakukan

untuk mengurangi bahaya pekerjaan penyelaman diantaranya sebagai

berikut:

a. Gunakan sepatu karet ketika bekerja di dek kapal dan ketika menyelam

b. Terpasang bendera yang dapat dikenali oleh seluruh kapal yang

menerangkan bahwa terdapat penyelaman di bawah laut. Ketika bendera

tersebut dipasang maka semua kapal yang melintas harus mengurangi

kecepatan atau diusahakan area tersebut steril dari lalu lintas kapal

c. Penyelam harus selalu bekerja berpasangan. Hal ini bertujuan untuk

memudahkan penyelaman dan jika dalam keadaan darurat dapat berbagi

udara ketika selang udara atau masker rusak saat penyelaman

d. Seorang penyelam harus naik ke permukaan tidak lebih cepat dari 18

meter per menitnya dan menghembuskan nafas saat naik atau tidak lebih

cepat dari gelembung yang terpelan.


e. Penyelam harus selalu bernapas secara normal dan tidak boleh menahan

nafas. Ketika turun ke dasar laut atau naik ke 30 permukaan, penyelam

harus menghembuskan nafas secara pelan

f. Penyelaman harus direncanakan sehingga dasar laut yang terdalam

dilakukan pertama dan secara progresif penyelaman dilakukan lebih

dangkal. Dengan melakukan penyelaman terdalam dihari pertama dan

setiap menyelam semakin dangkal, tingkat nitrogen secara perlahan

berkurang dan risiko penyakit dekompresi menurun.

g. Sebelum menyelam, diantara penyelaman dan setelahnya, penyelam

harus minum air dengan jumlah banyak untuk menghindari dehidrasi

yang dapat meningkatkan resiko dekompresi. Dalam satu hari

penyelaman, disarankan untuk minum 3 - 4 liter air.

h. Dengan melakukan safety stop atau pemberhentian aman setiap 5 meter

untuk 3-5 menit, nitrogen di dalam tubuh penyelam memiliki banyak

waktu untuk berubah menjadi gas dan keluar melalui pernapasan.

i. Ketika beristirahat di permukaan, kemungkinan tubuh akan dapat

mengeluarkan nitrogen secara perlahan melalui pernapasan. Semakin

lama penyelam beristirahat diantara penyelaman semakin banyak pula

nitrogen dari tubuh penyelam dapat keluar. Penyelaman yang dilakukan

secara rutin harus istirahat di permukaan setidaknya 1 jam diantara

penyelaman yang dalam.

j. Kapal tradisional yang digunakan dapat dimodifikasi untuk mengurangi

kemungkinan gas karbon monoksida memasuki udara pernapasan. Udara

ambilan kompresor harus dipindahkan secara baik dari gas pengeluaran


mesin kapal. Sesering mungkin mengambil udara 2 meter di atas

kompresor dengan menggunakan pipa yang dilekatkan pada tiang untuk

mengurangi adanya gas buang mesin pada udara pernapasan.

B. Tinjauan Tentang Penyakit Dekompresi

1. Defenisi Penyakit Dekompresi

Menurut Sophia dalam (Aziz, 2010) mengemukakan bahwa penyakit

dekompresi (decompression sickness) adalah suatu penyakit/kelainan yang

disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas

dari fase larut dalam darah/jaringan akibat penurunan tekanan di sekitarnya.

Fenomena ini sering terjadi di daerah kepulauan yang banyak memiliki

sumberdaya manusia sebagai penyelam alam, dimana dengan keterbatasan

pengetahuan sering terjadi kecelakaan penyelaman. Kecelakaan ini sering

tidak teratasi lantaran kurangnya pengetahuan dan tenaga ahli medis dibidang

penyakit dekompresi, sehingga banyak jiwa yang tidak tertolong dan

mengidap penyakit dekompresi yang membawa cacat pada organ tubuh

manusia.

Penyakit dekompresi biasanya diakibatkan oleh pembentukan

gelembung gas, yang dapat menyebar ke seluruh tubuh, yang menyebabkan

berbagai macam gangguan. Beberapa macam gas bersifat lebih mudah larut

dalam lemak. Nitrogen misalnya, 5 kali lebih larut dalam lemak daripada

dalam air. Rata-rata 40-50% cedera akibat dekompresi serius mengenai

susunan saraf pusat. Mungkin wanita mempunyai resiko yang lebih besar

karena memiliki lebih banyak lemak dalam tubuhnya. Selain itu, DCS juga

dapat terjadi di daerah ketinggian, misalnya orang yang menyelam di danau


suatu gunung atau menggabungkan menyelam kemudian melakukan

penerbangan.

2. Patofisiologi Penyakit Dekompresi

Penyakit dekompresi dapat terjadi apabila penyelam naik ke

permukaan secara tiba-tiba sehingga akan mempengaruhi komposisi gas

nitrogen dan oksigen dalam darah dan jaringan. Mekanisme terjadinya

penyakit dekompresi yaitu bila seorang penyelam telah lama berada di

kedalaman tertentu air laut dan sejumlah besar nitrogen telah larut dalam

tubuh melebihi batas normal, kemudian naik ke permukaan air laut secara

tiba-tiba, sejumlah gelembung nitrogen dapat timbul dalam cairan tubuhnya

baik dalam sel maupun diluar sel. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan di

setiap tempat di dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat tergantung

pada jumlah gelembung yang terbentuk. Jaringan tubuh manusia

dikelompokkan menurut kemampuan menyerap dan melepaskan gas

nitrogen. Jaringan-jaringan yang dapat mengimbangi secara cepat disebut

jaringan cepat, seperti darah dan otak. Sedangkan jaringan yang lambat

mengimbangi disebut jaringan lambat seperti tulang rawan (Wijaya, 2018).

Cara menyelam mempengaruhi daerah pembentukan gelembung

nitrogen dan gejala dari penyakit dekompresi. Penyelaman yang singkat dan

dalam, menghasilkan beban nitrogen yang tinggi pada jaringan-jaringan

cepat. Penyelaman yang lama di tempat yang dangkal akan memberikan

nitrogen lebih banyak kepada jaringan-jaringan lambat. Bentuk penyelaman

yang lama dan ditempat dangkal cenderung menimbulkan bends

(membungkuk) pada persendian, karena sendi merupakan jaringan lambat.


Dekompresi asimtomatik menurunkan trombosit (sel darah) yang

bersirkulasi sampai sepertiganya selama periode 24 jam setelah penyelaman.

Fase pertama dari penyakit dekompresi disebabkan oleh kerja mekanik dari

gelembung, tetapi gejala dalam fase kedua disebabkan oleh pengaruh yang

merusak dari radikal oksigen yang berkaitan dengan iskemia (kondisi

kurangnya asupan suplai darah ke sutau organ atau jaringan) dan hipoksia

(kondisi rendahnya kadar oksigen di sel dan jaringan). Ini dapat menjelaskan

mula timbul gejala yang lambat (Wijaya, 2018).

3. Tipe-tipe Penyakit Dekompresi

Ashari dalam (Jusmawati, 2016) mengemukakan bahwa penyakit

Dekompresi terbagi atas 2 tipe, yaitu:

a. Tipe I yang lebih ringan, tidak mengancam nyawa, dan ditandai dengan

rasa nyeri pada persendian dan otot-otot. Gejala yang paling umum dari

CD adalah nyeri persendian yang awalnya ringan kemudian memberat

seiring waktu dan dirasakan terutama bila melakukan gerakan. CD tipe I

ditandai dengan satu atau beberapa dari gejala berikut :

1) Rasa nyeri ringan yang menetap setelah 10 menit onset (serangan)

2) Rasa gatal atau terbakar pada kulit

3) Ruam pada kulit yang biasanya beraneka warna atau menyerupai

marmer atau ruam yang menyerupai plak. Pada kasus tertentu yang

jarang menyerupai kulit jeruk.

b. Tipe II merupakan masalah serius dan dapat menyebabkan kematian.

Manifestasinya bisa berupa gangguan respirasi, sirkulasi, dan biasanya

gangguan susunan saraf pusat. Emboli gas pada arteri (kondisi gumpalan
darah/gelembung gas tersangkut dalam pembuluh darah) adalah

manifestasi DCS tipe II yang paling berbahaya yang terjadi bila ada

kenaikan ketinggian. Emboli terjadi bila gelembung udara terbentuk di

arteri dan mengalir ke otak, jantung, atau paru-paru.

4. faktor Resiko Penyakit Dekompresi

Menurut Kartono dalam (Wijaya, 2018) faktor risiko yang

mempengaruhi terjadinya penyakit dekompresi adalah faktor lingkungan

yaitu temperatur air laut, kedalaman penyelaman, faktor penjamu yaitu usia,

lama penyelaman, frekuensi penyelaman, alat bantu yang digunakan dan

masa kerja sebagai penyelam.

a. Umur

Usia kemungkinan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit

dekompresi. Bertambahnya umur akan meningkatkan risiko terkena

penyakit dekompresi. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya penurunan

kesehatan fisik secara umum dan kemampuan mengganti jaringan serta

sel-sel tubuh yang rusak atau adanya faktor risiko lainnya seperti

meningkatnya lemak tubuh. Penelitiann yang dilakukan oleh Jusmawati

(2016), menunjukkan usia merupakan faktor risiko kejadian DCS. Usia

berisiko berpeluang mengalami DCS sebesar 1,4 kali dibandingkan usia

tidak berisiko. Dengan hasil yang diperoleh nilai p=0,285 (p>0,05).

b. Kedalaman penyelaman

Makin dalam sesorang menyelam, akan mendapatkan tekanan makin

besar, berarti makin besar pengaruhnya pada kesehatan penyelam. Tubuh

manusia yang mendapat tekanan air di kedalaman akan menyesuaikan


dengan tekanan ini. Bila tubuh tidak dapat menyesuaikan dengan tekanan

tersebut maka dapat terjadi squeese/trauma. Squeese/trauma

umumnyadapat terjadi pada penyelaman >7 meter dan dekompresi dapat

terjadipada penyelaman 12,5 meter. Kurang dari kedalaman tersebut

umumnya belum memberikan gejala, hal tersebut biasa disebabkan karena

jumlah nitrogen yang masih sedikit jumlahnya dan dapat terfilter oleh

paru-paru (Aziz, 2010). Penelitian yang dilakukan Duke (2017),

menunjukkan bahwa kedalaman menyelam berpengaruh terhadap

dekompresi dengan besar risiko 4,354 dibandingkan yang menyelam

dengan kedalaman < 30 meter.

c. Lama menyelam

Menurut Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia lama

penyelaman berpengaruh pada proses pelepasan dan penyerapan nitrogen

dalam jaringan cepat dan lambat. Penyelaman yang dalam dan cepat akan

menghasilkan beban nitrogen yang tinggi pada jaringan cepat. Sedangkan

penyelaman yang lama di tempat yang lebih dangkal akan memberikan

beban nitrogen yang besar pada jaringan lambat. Penelitian lain oleh

Duke (2017) menunjukkan bahwa lama menyelam berpengaruh terhadap

dekompresi dengan besarnya risiko 16,92 kali dibandingkan yang

menyelam dengan lama menyelam < 2 jam.

d. Frekuensi penyelaman

Penyelaman yang berulang-ulang merupakan faktor risiko penyakit

dekompresi. Hal ini berkaitan dengan formulasi gas dalam jaringan darah

dan tubuh penyelam. Penyelaman ulang (repetitive dive) adalah


penyelaman yang dilakukan lebih dari satu kali dalam 12 jam, seorang

penyelam dalam sehari melakukan penyelaman sekali, menunjukkan

risiko rendah penyakit dekompresi. Risiko tersebut akan hilang apabila

terdapat interval 5 hari antar penyelaman. Penelitian yang dilakukan

Sukmajaya dan Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa Frekuensi

penyelaman > 2 kali sehari meningkatkan risiko 2 kali lebih tinggi

menderita penyakit dekompresi daripada frekuensi penyelaman <2 kali

sehari.

e. Waktu istirahat

Menurut PKHI dalam waktu istirahat dibutuhkan oleh seorang

penyelam sebelum melakukan penyelaman ulang untuk menetralkan

kandungan nitrogen dalam darahnya. Waktu istirahat yang dibutuhkan

tergantung kedalaman.

f. Masa kerja

Semakin lama seorang menjadi penyelam kemungkinan menderita

penyakit dekompresi semakin besar. Banyak kecelakaan akibat penyakit

dekompresi yang tidak dilaporkan, berakibat dari lama dan seringnya

penyelam terkena paparan penyelaman antara lain, kehilangan

pendengaran dan terjadinya nekrosis tulang. Penelitian yang dilakukan

Alaydrus (2014), menunjukkan bahwa penyelam yang masa kerjanya ≥ 5

tahun memiliki risiko 5,4 kali lebih besar untuk menderita penyakit

dekompresi dibandingkan dengan penyelam yang masa kerjanya < 5

tahun.
g. Alat bantu penyelaman

Penyelaman dengan menggunakan kompresor ban, akan sangat


membahayakan keselamatan nyawa penyelam dimana udara yang dihirup
oleh penyelam tergantung kepada kestabilan mesin kompresor yang diatas
kapal. Penggunaan kompresor tambal ban cukup berbahaya dikarenakan
didalam kompresor tambal ban tidak terdapat filter penyaringan udara
serta menggunakan oli sintetis yang berasal dari minyak bumi sebagai
pelumas kompresornya. Penggunaan kompresor ban untuk menyelam
tidak memberikan batas waktu bagi nelayan ketika menyelam di dalam
air, karena udara di pasok terus dari permukaan air, dan hal tersebut akan
mengakibatkan dekompresi akut bagi nelayan. N2 (Dinitrogen) yang
terlalu banyak terakumulasi ditubuh akan mengganggu pasokan O2 ke
jaringan otak yang akan menyebabkan penyelam seperti orang mabuk dan
berhalunisasi ( Luthfi dkk, 2015).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meylan dkk (2017) menunjukkan
bahwa penyelaman menggunakan kompresor minimal selama 2 jam.
Lama penyelaman menggunakan kompresor ban yang tidak terukur, akan
memperbesar kemungkinan penyelam terkena decompression sickness
yang akan membuat penyelam berhalunisasi dan seperti merasa mabuk
kemudian tahap berikutnya akan membuat tidak sadarkan diri.

Allah SWT berfirman Q.S. Asy-Syura ayat 30:


ۗ‫ص ْيبَ ٍة فَبِ َما َك َسبَ ْت اَ ْي ِد ْي ُك ْم َويَ ْعفُوْ ا ع َْن َكثِي ٍْر‬
ِ ‫صابَ ُك ْم ِّم ْن ُّم‬
َ َ‫َو َمٓا ا‬
Artinya: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan

oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari

kesalahan-kesalahanmu)”
Dalam An-Nafahat Al-Makkiyah/Syaikh Muhammad bin

Shalih asy-Syawi menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala

memberitahukan bahwa tidaklah Dia menimpakan musibah pada badan

mereka, harta mereka, dan anak-anak mereka dan apa saja yang mereka

cintai, dimana mereka sangat mencintainya kecuali disebabkan perbuatan

tangan mereka, yaitu karena mereka melakukan berbagai maksiat, namun

Allah lebih banyak memaafkan, karena Dia tidak menzalimi hamba-

hamba-Nya, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri,

Dia berfirman, “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan

usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi

suatu mahluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan

(penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang

ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan)

hamba-hamba-Nya.”

Merujuk pada ayat diatas bahwa apa yang menimpa manusia di

dunia berupa bencana penyakit dan lain-lainnya adalah akibat perbuatan


mereka sendiri, perbuatan maksiat yang telah dilakukannya dan dosa yang

telah dikerjakannya. Datangnya penyakit atau musibah adalah disebabkan

ulah manusia itu sendiri. Tetapi di sisi lain penyakit atau musibah itu

dapat menghapus dosa mereka. Hal itu tergantung kepada cara manusia

menyikapi, apakah dengan bersabar atau berputus asa.


5. Pengobatan Penyakit Dekompresi

Kemenkes dalam (Wijaya, 2018) pertolongan pertama dapat

dilakukan dengan oksigenisasi dan rekompresi. Tujuan rekompresi adalah


memperkecil gelembung-gelembung gas. Tujuan oksigenisasi adalah

memperbaiki hipoksia jaringan dan mengurangi tekanan nitrogen yang

terlarut dalam darah dan jaringan. Setelah diagnosis ditegakkan pengobatan

harus dilaksanakan secepatnya, paling lambat 6 jam pertama . The Diver

Alert Network di USA memberi batas waktu 24 jam untuk penanganan

kecelakaan-kecelakaan penyelam. Namun dari beberapa penelitian

menyimpulkan bahwa lebih cepat diobati hasilnya akan lebih baik. Untuk

menghindari keterlambatan dalam penanganan penderita maka pengobatan

dapat dimulai dari tempat kejadian. Rekompresi di tempat kejadian yaitu

dengan menurunkan kembali penderita melalui tali ke air dan memakai

oksigen sampai kedalaman 9 meter. Bersama pendamping memakai full face

mask dan bernafas dengan oksigen 100% selama 30 menit untuk kasus

ringan dan 60 menit untuk kasus berat. Jika dalam perjalanan kepermukaan

timbul gejala maka berhenti selama 30 menit. Setelah tiba dipermukaan

penderita harus menghirup oksigen l00% dan udara selama 90 menit, jika

gagal maka penderita harus diangkut ke fasilitas ruang udara bertekanan

tinggi (RUBT/chamber).

C. Tinjauan Tentang Pengetahuan

1. Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan oleh Tunny, dkk (2017) menunjukkan

bahwa ada hubungan pengetahuan penyelam dengan penyakit dekompresi.

Menurut Notoadmojo dalam (Kawuriansari et al., 2010) pengetahuan

merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera manusia, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar

diperoleh melalui mata dan telinga. Dalam sejarah penyelaman tidak

diketahui kapan pertama kali manusia mulai menyelam. Manusia primitif

sudah mulai mencoba melakukan penyelaman walaupun dengan teori yang

paling sederhana. Jadi usaha manusia melakukan penyelaman telah dimulai

sejak zaman purba seumur peradaban manusia sendiri. Tingkat pengetahuan

dapat dibagi dalam 6 tingkat (Wabula, 2019), yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah

ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Contoh: dapat menyebutkan

tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu objek tersebut, tetapi

orang itu harus dapat menginprestasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan

makanan yang bergizi.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksudkan dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain atau kondisi yang sebenarnya.

Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil

penelitian.
d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam sebuah masalah atau objek yang diketahui. Indikasi

bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis

adalah apabila orang itu sudah dapat menggambarkan (membuat bagan),

memisahkan, membedakan, mengelompokkan dan sebagainya. Misalnya

dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki. Umumnya sintesis adalah kemampuan untuk

menghasilkan formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat

sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

penilaian terhadap suatu objek tertentu, yang berdasarkan suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau yang sedang berlaku dalam masyarakat.

Misalnya seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak

menderita malnutrisi atau tidak.


D. Tinjauan Tentang Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya)

(Notoatmodjo dalam Pitra, 2017). Sikap dapat didefinisikan sebagai

perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat

permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Melalui

sikap kita dapat memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan

nyata yang mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosial.

2. Komponen Sikap

Menurut Wawan & Dewi dalam Pitra (2017) menyebutkan 3

komponen sikap yaitu:

a. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh

individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe

yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan

(opini) terutama apabila menyakut masalah isu atau problem yang

kontroversial.

b. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam

sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan

terhadap pengaruh- pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap

seseorang komponen afektif dismakan dengan perasaan yang dimiliki

seseorang terhadap sesuatu.


c. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu

sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Dan berisi tendensi atau

kecenderungan untuk bertindak / beraksi terhadap sesuatu dengan cara-

cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis

untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam

bentuk tendensi perilaku.

3. Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo dalam Pitra (2017) bahwa sikap terdiri dari

berbagai tingkatan yakni :

a. Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau

menerima stimulus yang diberikan (objek).

b. Menanggapi (responding), menanggapi diartikan memberikan jawaban

atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (valuing), menghargai diartikan subjek atau seseorang

memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti

membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi

atau menganjurkan orang lain merespon.

d. Bertanggung jawab (responsible), sikap yang paling tinggi tingkatnya

adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Wawan & Dewi dalam Pitra (2017) bahwa faktor-faktor yang

menpengaruhi sikap antara lain:

a. Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pemebentukan sikap, pengalaman pribadi

haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam

situasi yang melibatkan faktor emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang

konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

c. Pengaruh kebudayaan

Tanpa didasari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap

kita terhadap berbagai masalah

d. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama

sangat menentukan system kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau

pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

E. Tinjauan Tentang Keterampilan yang Berkaitan Dengan Pencegahan

Penyakit

1. Perilaku pencegahan

a. Tingkat pencegahan

Menurut Level dan Clark dalam Widyaloka (2017), bahwa tingkat

pencegahan dalam keperawatan komunitas dapat dilakukan pada tahap

sebelum terjadinya penyakit (Prepathogenesis Phase) dan pada tahap

Pathogenesis Phase.

1) Prepathogenesis Phase
Pada tahap ini dapat dilakukan melalui kegiatan primary

prevention atau pencegahan primer. Pencegahan primer ini dapat

dilaksanakan selama fase prepathogenesis suatu kejadian penyakit atau

masalah kesehatan. Pencegahan dalam arti sebenarnya, terjadi sebelum

sakit atau ketidakfungsian dan diaplikasikan ke populasi sehat pada

umumnya. Pencegahan primer merupakan usaha agar masyrakat yang

berada dalam stage of optimum health tidak jatuh kedalam stage yang

lain yang lebih buruk. Pencegahan primer melibatkan tindakan yang

diambil sebelum terjadinya masalah kesehatan dan mencakup aspek

perlindungan. Aspek perlindungan kesehatan dari pencegahan primer

juga dapat melibatkan mengurangi atau menghilangkan faktor risiko

sebagai cara untuk mencegah penyakit.

Primary prevention dilakukan dengan dua kelompok kegiatan yaitu :

a) Health promotion (Peningkatan kesehatan), yaitu peningkatan status

kesehatan masyarakat, dengan melalui beberapa kegiatan seperti

pendidikan kesehatan atau health education, penyuluhan kesehatan

masyarakat (PKM) dan pengendalian lingkungan

b) General and specific protection (Perlindungan umum dan khusus),

merupakan usaha kesehatan untuk memberikan perlindungan secara

khusus atau umum kepada seseorang atau masyarakat seperti

imunisasi, hygine perseorangan, perlindungan diri dari kecelakaan,

perlindungan diri dari lingkungan kesehatan kerja dan perlindungan

diri dari carsinogen, toxic dan allergen.

2) Pathogenesis phase
Pada tahap pathogenesis dapat dilakukan dua kegiatan

pencegahan yaitu :

a) Sekodary prevention (pencegahan sekunder), yaitu pencegahan

terhadap masyarakat yang masih sedang sakit, dengan dua

kelompok kegiatan :

i. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan

pengobatan segera), antara lain melalui pemeriksaan kasus dini

( early case finding).

ii. Disability limitation (pembatasan kecacatan), penyempurnaan

dan intesifikasi terapi lanjutan, pencegahan kompilasi, perbaikan

fasilitas kesehatan, penurunan beban social penderita dan lain-

lain.

Pada pencegahan level ini menekankan pada upaya penemuan kasus

secara dini dan pengobatan tepat atau “early diagnosis and prompt

treatment”. Pencegahan sekunder dilakukan melalui saat fase

pathogenesis (masa inkubasi) yang dimulai saat bibit penyakit masuk

kedalam tubuh manusia sampai saat timbulnya gejala penyakit atau

gangguan kesehatan. Diagnosis dini dan intervensi yang tepat untuk

menghambat prosepatologik (proses perjalanan penyakit) sehingga dapat

memperpendek waktu sakit dan tingkat keparahan atau keseriusan

penyakit.

b) Tertiary prevention (pencegahan tersier), yaitu usaha pencegahan

terhadap masyarakat yang setelah sembuh dari sakit serta

mengalami kecacatan yaitu pendidikan kesehatan lanjutan, terapi


kerja (work therapy), perkampungan rehabilitasi sosial, penyadaran

masyarakat dan lembaga rehabilitasi dan partisipasi masyarakat.

Upaya pencegahan tersier dimulai pada saat cacat atau

ketidakmampuan terjadi sampai stabil/ menetap atau tidak dapat

diperbaiki (irreversaible). Dalam pencegahan ini dapat dilaksanakan

melalui program rehabilitas untuk mengurangi ketidakmampuan dan

meningkatkan efesiensi hidup penderita. Pencegan tersier dilaksanakan

pada fase lanjut proses patogenese suatu penyakit atau gangguan

kesehatan. Penerapannya pada upaya pelayanan kesehatan masyarakat

melalui program PHN (Public Health Nursing) yaitu merawat penderita

penyakit kronis diluar pusat-pusat pelayanan kesehatan (di rumahnya

sendiri).

F. Tinjauan Tentang Kepercayaan

Menurut Mustaqim (2016) kepercayaan adalah bayangan manusia

terhadap berbagai perwujudan yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran

manusia. Wujud-wujud tersebut tidak terjangkau oleh kemampuan akal dan

pikiran sehingga perwujudan tersebut harus dipercaya dan diterima sebagai

dogma, yang berpangkal kepada keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan juga

berkaitan dengan tradisi atau budaya, pencegahan suatu penyakit sampai

dengan pengobatan yang dimana hal tersebut telah dilakukan dari nenek

moyang sampai turun temurun sehingga menjadi suatu kepercayaan pada

masyarakat masa sekarang.

Kebudayaan dirumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta

masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan


kebendaan atau kebendaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh

manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat

diabadikan untuk keperluan masyarkat. Berkaitan dengan kebudayaan. Bangsa

Indonesia pada hakikatnya mempunyai kekayaan budaya yang sangat

heterogen, karena corak masyarakat yang multi etnis, agama, kepercayaan, dan

lain sebagainya. Tradisi yang dilahirkan oleh manusia merupakan adat istiadat,

yakni kebiasaan namun lebih ditekankan kepada kebiasaan yang bersifat

suprantural yang meliputi dengan nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan

aturan yang berkaitan. Dan juga tradisi yang ada dalam suatu komunitas

merupakan hasil turun temurun dari leluhur atau dari nenek moyang (Darwis,

2018).

Sifat masyarakat desa yang homogen juga terlihat pada sistem

kepercayaannya. Sistem kepercayaan masyarakat tersebut sebagian besar

menganut sistem kepercayaan yang bersifat hukum alam, yaitu mempercayai

hal-hal yang berhubungan dengan mistik dan ghaib, sehingga masyarakat desa

masih mempercayai adanya kekuatan mistik yang berasal dari alam (Hakim et

al., 2016).

Terdapat keragaman adat istiadat, budaya dan tradisi setiap wilayah

oleh masyarakat baik dalam persiapan penangkapan ikan, acara syukuran atas

hasil yang diperoleh, dan lain-lain. Kebiasaan tradisi-tradisi tersebut menjadi

turun-temurun dari nenek moyang. Kebiasaan merupakan segala ilmu

pengetahuan yang telah dimiliki untuk diwariskan dari satu generasi ke generasi

lain yang menjadikan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik

terhadap mitos maupun adat istiadat (Asruddin et al., 2018).


Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis

dilaksanakan dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-

bentuk sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di

hutan atau dilaut, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di

tempat-tempat suci atau umum.

1. Suku Bugis

Bugis adalah salah satu suku yang bertempat tinggal di Sulawesi

Selatan yang kini telah menyebar luas keseluruh nusantara. Pola hidup orang

Bugis adalah merantau dan sekarang sudah tersebar di berbagai daerah di

Indonesia. Merantau bagi orang Bugis merupakan bagian dari kebudayaan

dan peradaban suku Bugis, merantau dipandang sebagai bagian dari falsafah

hidup. Mengarungi laut untuk sekedar berlayar adalah hal lumrah bagi

mereka. Orang Bugis yang merantau tidak bisa jauh dari laut dan bahkan

setiap perkampungan orang Bugis tidak pernah jauh dari laut atau pesisir.

Menurut Supratman dalam Kumalasari (2017) mengemukakan bahwa

“Manusia Bugis sejak dulu dikenal dengan suku bangsa yang suka merantau

dan pelaut ulung. Kebiasaan merantau sudah mewarnai kehidupan manusia

Bugis sejak awal mula peradabannya. Sehingga merantau bagi manusia

Bugis tidak sekadar pola hidup yang dilakoni tetapi telah menjadi semacam

sebuah filsafat, spirit dan sumber inspirasi bagi pengembangan budaya,

sastra, ekonomi, politik dan intelektual.

Pola hidup merantau  masyarakat Bugis sudah dicontohkan oleh tokoh

legendaris yaitu Sawerigading sejak awal mula peradabannya. Tradisi

tersebut terus berlangsung hingga sekarang yang tidak hanya dibuktikan


lewat sejarah tetapi juga lewat keahlian membuat perahu pinisi yang bisa

melintas samudera. Perahu Pinisi merupakan perahu canggih yang dibuat

masyarakat Bugis. Perahu Pinisi telah memberikan efek luar biasa bagi

masyarakat Indonesia. Perahu ini dianggap telah membesarkan nama

Indonesia di panggung dunia, sebuah simbol dari sebuah kemajuan teknik

luar biasa. Perahu ini dicipta berdasarkan nilai - nilai seni tinggi dan budaya

tradisional.Perahu Pinisi tidak hanya digunakan sebagai sarana angkutan,

melainkan juga sebagai sarana ekspor .

Upacara Mappanretasi yang telah menjadi tradisi keagamaan yang

merupakan salah satu bagian dari tradisi kecil (little tradition) yang hidup

dan terpelihara bagi masyarakat Bugis. Pandangan ini didasarkan pada

penggunaan sistem religi atau kepercayan tertentu dalam kaitannya dengan

aktivitas melaut (mencari ikan di laut), dan sistem religi tersebut dijadikan

sebagai etos kerja kebaharian yang di dalamnya mengandung unsur

ekspektasi bagi kelancaran melaut dan keselamatan jiwanya yang nantinya

membawa hasil ikan yang melimpah dari laut. Upacara Mappanretasi ini

dilaksanakan masyarakat Bugis setelah mendapatkan hasil tangkapan serta

ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena selamat setelah dari melaut

(Kumalasari, 2017).

1. Pengobatan

Sehat merupakan kondisi optimal fisik, mental dan sosial seseorang

sehingga dapat memiliki produktivitas, bukan hanya terbebas dari bibit

penyakit. Kondisi sehat dapat dilihat dari dimensi produksi dan dimensi

konsumsi. Dimensi produksi memandang keadaan sehat sebagai salah satu


modal produksi atau prakondisi yang dibutuhkan seseorang sehingga dapat

beraktivitas yang produktif (Putri, 2017).

Secara umum, Kalangie membagi sistem medis ke dalam dua

golongan besar, yaitu sistem medis ilmiah yang merupakan hasil

perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan sistem

non medis (tradisional) yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia.

Pengobatan kedokteran berbasis pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan

tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan

masyarakat, termasuk di antaranya pengobatan dukun, yang dalam

mengobati penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural.

Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan

campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan

rasio dan batin, Ida Rahmadewi dalam Wahyu (2018).

Menurut Rahayu dalam (Togobu, 2018) pengobatan di Indonesia

mengenal dua sistem pengobatan yaitu pengobatan medis dan pengobatan

tradisional. Pengobatan tradisional adalah pengobatan yang dilakukan secara

tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat,

kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun

pengetahuan tradisional. Pengobatan medis sering menggunakan obat,

dilakukan oleh tenaga yang mendapat pendidikan formal kesehatan dengan

menggunakan cara, alat atau bahan yang sudah mendapat standar

medis/kedokter.

Pada masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang ahli mengobati

penyakit secara tradisional dipanggil sandro, yang juga berarti dukun. Bruce
Kapferer dalam (Syuhudi et al., 2013) mengatakan, kepercayaan kepada

dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs yang tertanam dalam

kebudayaan suatu masyarakat. Salah satu ciri pengobatan dukun adalah

penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih yang diisi rapalan doa-

doa, dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan.

Hakim dalam (Togobu, 2018) mengemukakan pengobatan

tradisional yang dimaksud berupa upaya penyembuhan terhadap penyakit

yang dilakukan secara tradisional karena berasal dari nenek moyang atau

berdasarkan kepercayaan turun-temurun dengan menggunakan bahan dari

alam maupun melalui jasa seseorang yang dipercaya memiliki kekuatan

tertentu untuk mengobati orang sakit.

G. Tinjauan Tentang Ketersediaan SDM Kesehatan

SDM kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya

perencanaan, pendidikan, dan pelatihan serta pendayagunaan tenaga kesehatan

secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kesehatan lingkungan yang

merupakan bagian dari pada kesehatan masyarakat pada umumnya,

mempunyai tujuan membina dan meningkatkan derajat kesehatan dari

kehidupan sehari-hari, baik fisik, mental, maupun sosial dengan cara

pencegahan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan. Masalah kesehatan

merupakan salah satu bentuk pemasalahan yang harus ditangani baik oleh

pemerintah maupun masyarakat itu sendiri (Wiris dkk, 2016).

Pemerintah sangat perlu untuk memperhatikan SDM kesehatan karena

SDM adalah komponen kunci untuk menggerakkan pembangunan kesehatan.


SDM Kesehatan berperan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan

hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.

H. Tinjauan Tentang Keterjangkauan Sarana Kesehatan

Kesehatan merupakan hak asasi setiap orang. Setiap orang mempunyai

hak yang sama untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu dan terjangkau (UU Kesehatan No.36/2009). Sarana adalah segala

sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.

Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan

upaya kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan posyandu.

Menurut Adisasmito dalam Lumban (2019), upaya kesehatan

merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya kesehatan masyarakat

dan upaya kesehatan perorangan secara terpadu dan saling mendukung guna

menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab

pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai ketentuan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa

pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan

bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa Pemerintah

Daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta

pemberian izin beroperasi di daerahnya dengan mempertimbangkan luas

wilayah, kebutuhan kesehatan, jumlah dan persebaran penduduk, pola

penyakit, pemanfaatannya, fungsi sosial, dan kemampuan dalam

memanfaatkan teknologi.
Menurut Winardi dalam Lumban dkk (2019) mutu pelayanan kesehatan

mempunyai berbagai dimensi salah satunya adalah akses. Pelayanan

kesehatan merupakan kemudahan program jaminan atau menjangkau

pelayanan yang disediakan baik secara geografis, dimana akses berhubungan

dengan transportasi, jarak dan lama perjalanan. Dengan demikian letak

pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh masyarakat yang membutuhkannya.

Pelayanan kesehatan yang menyediakan bentuk pelayanan yang

sifatnya lebih luas daripada bidang klinik, bersifat preventif, promitif, dan

rehabilitatif. Penyediaan sarana kesehatan merupakan hal yang harus dipenuhi

dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan menjadi salah

satu perhatian utama dibidang kesehatan yang bertujuan agar semua lapisan

masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan (Budiarto, 2015).

I. Tinjauan Tentang Dukungan Keluarga

1. Pengertian

Friedman dalam (Wijianti, 2018) menyatakan dukungan keluarga adalah

sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota

keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan

keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat

mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan.

2. Bentuk – bentuk dukungan

a. Dukungan Instrumental

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti

pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata


(instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda atau

jasa akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya

bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan

uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan,

menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit ataupun

mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah.

Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh individu dan

mengurangi depresi individu. Pada dukungan nyata keluarga sebagai

sumber untuk mencapai tujuan praktis dan tujuan nyata.

b. Dukungan Informasional

Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung

jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah,

memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa

yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi

dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan

tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stresor. Individu yang

mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan

masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed

back. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai penghimpun

informasi dan pemberi informasi.

c. Dukungan Emosional

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara

emosional, sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Jika depresi

mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai.


Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa

dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati,

rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa

berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat

istirahat dan memberikan semangat.

Dalam penelitian ini dukungan keluarga yang dikaji adalah

dukungan yang bersifat penilaian (non material) seperti memberikan

support, dukungan yang bersifat instrumental (material) seperti bantuan

pelayanan, bantuan finansial dan bantuan nyata yang diberikan kepada

individu yang sedang membutuhkan.

Hadist dari Ibnu Abbas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda:

‫ﺳﻘَ ِﻤ َﻚ َﻭ ِﻏﻨَﺎﻙَ ﻗَ ْﺒ َﻞ ﻓَ ْﻘ ِﺮ َﻙ َﻭ‬


َ ‫ﺻ َّﺤﺘَ َﻚ ﻗَ ْﺒ َﻞ‬
ِ ‫ﺷﺒَﺎﺑَﻚَ ﻗَ ْﺒ َﻞ ﻫ ََﺮ ِﻣﻚَ َﻭ‬ َ :‫ﺲ‬ ً ‫ﺍِ ْﻏﺘَﻨِ ْﻢ َﺧ ْﻤ‬
ٍ ‫ﺴﺎ ﻗَ ْﺒ َﻞ َﺧ ْﻤ‬
َ‫ﺷ ْﻐﻠِﻚَ َﻭ َﺣﻴَﺎﺗَ َﻚ ﻗَ ْﺒ َﻞ َﻣ ْﻮﺗِﻚ‬َ ‫ﻓَ َﺮﺍ َﻏﻚَ ﻗَ ْﺒ َﻞ‬
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara”:
1. Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

2. Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

3. Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

4. Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

5. Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al

Mustadroknya).

Maksud dari hadist tersebut yaitu:


1. Pertama masa muda sebelum tua. Masa muda merupakan masa

paling produktif bagi setiap orang. Sehingga kita harus membiasakan

diri melakukan amal saleh sedari muda sebab kebiasaan saat muda

akan terbawa hingga tua.

2. Kedua sehat sebelum sakit. Kesehatan merupakan karunia dan nikmat

yang sering kali terlupakan. Nabi pernah mengatakan dalam

kesempatan lain bahwa sehat dan waktu adalah dua nikmat yang

banyak manusia tertipu. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah

sesuatu yang sewajarnya, padahal itu nikmat terbaik yang diberikan

Allah pada setiap hamba-Nya.

3. Ketiga luang sebelum sibuk. Waktu luang seorang mukmin adalah

waktu malam sebab di siang hari ia akan sibuk mencari rejeki yang

dijanjikan Allah. Hal ini mengacu pada sabda Nabi bahwa “Malam

itu panjang maka jangan membuatnya pendek (menyianyiakannya)

dengan tidurmu dan siang itu terang jangan kau gelapkan dengan

dosa-dosamu”
4. Keempat kaya sebelum miskin. Jika Allah memberikan karunia

berlebih ingatlah itu hanya amanah yang dititipkan kepadamu.

Berbagilah karena dalam harta yang kau miliki terdapat hak orang

lain yang membutuhkannya demikianlah cara kita bersyukur dengan

karunia berlebih yang diberikan-Nya.

5. Kelima hidup sebelum mati. Setiap yang hidup pasti akan mati,

manusia tidak akan mengetahui  kapan ajal akan menjemputnya dan

bagaimana caranya. Maka beramallah selagi hidup sebelum datang


kematianmu sebab penyesalan setelah ruh tercabut dari tubuh

hanyalah sia-sia.
J. Kerangka Teori

Predisnpossing Factors
Pengetahuan
Keyakinan
Nilai
Sikap
Kepercayaan

Enabling Factors
Ketersediaan SDM kesehatan
Keterjangkauan sarana
kesehatan
Perilaku Menyelam
Komitmen masyarakat
terhadap kesehatan
Keterampilan yang berkaitan
dengan pencegahan penyakit

Reinforcing Factors
Keluarga
Teman kerja
Atasan
Petugas kesehatan
Sumber: Teori Lawrence Green (2002)
K. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu

variabel dependen dan independen. Variabel dependen adalah kejadian

dekompresi sedangkan variabel independen adalah perilaku penyelam yang

meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan yang berkaitan dengan pencegahan

penyakit, kepercayaan, ketersediaan SDM kesehatan, keterjangkauan sarana

kesehatan dan dukungan keluarga.


Pengetahuan
Sebelum menyelam
saat menyelam
setelah menyelam

Sikap
Sebelum menyelam
saat menyelam
setelah menyelam

Keterampilan yang
berkaitan dengan
penecagahan penyakit Kejadian
Dekompresi
Penyelam Suku
Kepercayaan Bugis

Ketersediaan SDM

Keterjangkauan sarana
kesehatan

Dukungan Keluarga
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif yaitu menggambarkan atau menjelaskan permasalahan yang ada

dengan memberikan jawaban atas permasalahan.

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya dan

bertujuan mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui

pengumpulan data darilatar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai

instrument kunci (Sugiarto, 2015).

Alasan penulis menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus untuk

penelitan ini adalah karena penulis ingin mendapatkan gambaran utuh,

mendatail dan dalam dari sebuah perilaku penyelam tardisional, selain itu

juga penelitian kualitatif benar-benar mengacu pada keunikan tiap individu

sehingga akan banyak data atau informasi yang didapat.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Pulau Harapan Kecamatan Pulau Sembilan

B. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2020

C. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini yaitu studi kasus atau Case Study. Studi

kasus sendiri merupakan salah satu tipe dalam penelitian ini yang bertujuan
untuk mencari atau mendalami suatu cerita atau pengalaman dari subjek terkait

suatu hal yang ingin diketahui dan ditentukan sebelumnya melalui metode

wawancara dan/observasi.

Peristiwa yang dipilih yang selanjutnya disebut kasus adalah hal yang

aktual (real life events), yang sedang berlangsung, bukan sesuatu yang sudah

lewat. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari

kasus yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua pihak yang

mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data

dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam

kasus yang akan diteliti tersebut.

D. Informan Peneliti

Informan bersifat snowball sampling, informan tersebut diantaranya

informan kunci, yaitu penyelam penderita dekompresi dan penyelam yang tidak

menderita dekompresi sedangkan informan biasa meliputi petugas kesehatan

dan tokoh masyarakat setempat di Pulau Harapan Kecamatan Pulau Sembilan.

E. Sumber Data

Terdapat berbagai sumber data dalam penelitian ini yang membantu

dalam pengumpulan informasi mengenai diantaranya adalah:

1. Data Primer

Data primer merupakan data diperoleh dari hasil wawancara

mendalam secara langsung kepada informan

2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data-data yang di peroleh dari internet dengan

melakukan studi pustaka dengan membaca, mencatat, dan mempelajari buku

pelengkap atau referensi seperti, jurnal, website, skripsi, karya tulis ilmiah.

F. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara Mendalam

Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara mendalam kepada

informan yang berada di Pulau Harapan Kecamatan Pulau Sembilan sesuai

dengan informan penelitian. Peneliti mengajukan pertanyaan berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Informan memberikan jawaban atas

pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti.

2. Dokumentasi

Teknik pengumpulan dokumentasi merupakan mencari informasi

melalui catatan peristiwa yang sudah terjadi, dapat berupa tulisan, gambar,

atau dokumen yang berbentuk karya dari seseorang.

3. Dalam Masa Covid-19

Penelitian ini dilakukan pada saat terjadinya wabah covid-19,

dikarenakan hal tersebut maka peneliti melakukan pengambilan data dengan

wawancara mendalam melalui via telepon. Metode wawancara via telepon

tersebut dilakukan dengan memasang seorang guide. Seorang guide tersebut

berfungsi untuk mengantarkan telepon genggam dari informan satu ke

informan lainya untuk melakukan wawancara mendalam. Dalam

menetapkan seorang guide terdapat kriteria yang harus dipenuhi seperti

guide tersebut harus dikenal oleh masyarakat setempat dan memiliki sikap

sopan santun.
G. Instrument Penelitian

Pedoman wawancara dan peneliti itu sendiri merupakan instrumen utama

dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga menggunakan alat perekam yang

berfungsi untuk mengumpulkan hasil wawancara dan sebagai bukti penelitian,

buku kecil, alat tulis, dan kamera sebagai pelengkap penelitian dalam

kelancaran penelitian yang dilakukan.

H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah mengumpulkan,

mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan memilah-milah data untuk

mendapatkan data yang penting menjadi sebuah informasi. Teknik analisis data

mempunyai tahap yang harus dilakukan setelah proses pengumpulan data untuk

memperoleh informasi yang baik yaitu:

1. Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, mengklasifikasikan

data pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Reduksi data

menyederhanakan data hasil dari wawancara untuk memperoleh data yang

lebih fokus.

2. Penyajian data yaitu berupa teks naratif dalam bentuk uraian, bagan,

hubungan antar variabel dan lain-lain. Dalam penelitian ini akan menyajikan

uraian mengenai Studi penyakit Dekompresi (kelumpuhan) di Pulau Harapan

Kecamatan Pulau Sembilan.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi data yaitu tahap ketiga dalam proses

analisis data dalam penelitiaan ini. Verifikasi data dilakukan dalam

penelitian ini secara berkesinambungan untuk memperoleh kesimpulan

dengan bukti yang kuat dan bersifat kredibel.


I. Pengujian Keabsahan Data

Untuk menjamin derajat kepercayaan data yang dikumpulkan pada

penelitian ini digunakan triangulasi:

1. Triangulasi sumber yaitu dengan cara membandingkan (cross check)

antara informan yang satu dengan yang lain, untuk melihat kolerasi

informan yang didapatkan

2. Triangulasi waktu yaitu data yang dikumpulkan dengan wawancara di

pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, dan

akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel (dapat

dipercaya).

3. Menggunakan bahan referensi yaitu bahan referensi di sini adalah

adanya bahan pendukung untuk membuktikan data yang telah kita

temukan. Sebagai contoh, data hasil wawancara perlu didukung dengan

adanya rekaman/transkrip wawancara, foto-foto atau dokumen autentik

unntuk mendukung kredibilitas data. Selain itu hasil penelitian diperkuat

dengan membandingkan hasil penelitian terdahulu.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya

Adnan, Solihin, 2018. Keyakinan Masyarakat Adat Dan Modernisasi Di Kampung

Adat Masyarakat Cireundeu Kota Cimahi 8.

Afandi, I.N., 2016. (Self Culture) Pemaknaan Self Pada Orang Bugis-Makassar 8.

Agustina, M., Quardona., 2018. Dukungan Emosional Dan Instrumental Dengan

Interaksi Sosial Pada Pasien Isolasi Sosial8.

Arsin, A.A., Naiem, F., 2016. Faktor Risiko Kejadian Decompression Sickness Pada

Masyarakat Nelayan Peselam Tradisional Pulau Saponda 12, 7.

Asruddin., Syariah, N., 2018. Tradisi Melaut Nelayan Muhammadiyah Pesisir

Provinsi Gorontalo pdf, n.d.

Aziz, A., 2010. Studi Kasus Sindroma Caisson Pada Penyelam Kompressor Di Pulau

Barrang Lompo Makassar Tahun 2010 77.

Badan Pusat Statistik, 2019. Kecamatan Pulau Sembilan Dalam Angka 2019 62.

Cavalcante, E.S., Freire, I.L.S., 2015. Original Article Fishermen Victims Of

Decompression Sickness: Study In A Naval Hospital 8.

Darwis, R., 2018. Tradisi Ngaruwat Bumi Dalam Kehidupan Masyarakat (Studi

Deskriptif Kampung Cihideung Girang Desa Sukakerti Kecamatan Cisalak

Kabupaten Subang). Relig. J. Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya 2,

75. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i1.2361

Dier, W.A., 2016. Peranan Camat Dalam Menjamin Kesehatan Di Kecamatan

Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2015


Duke, H.I., Widyastuti, S.R., Hadisaputro, S., Chasani, S., 2017. Pengaruh

Kedalaman Menyelam, Lama Menyelam, Anemia Terhadap Kejadian

Penyakit Dekompresi Pada Penyelam Tradisional 7.

Ekasari, Dewi. 2008. Analisis Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil di

Palabuhanratu. Jurnal. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Embuai, Y., Denny, H., Setyaningsih, Y., 2020. Analisis Faktor Individu, Pekerjaan

dan Perilaku K3 pada Kejadian Penyakit Dekompresi pada Nelayan

Penyelam Tradisional di Ambon11.

Hadisaputro, S., Adi, M.S., 2017. Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap

Barotrauma Membran Timpani Pada Penyelam Tradisional Di Wilayah

Kabupaten Banyuwangi 9.

Hakim, L., Suhartini, E., Mulyono, J., 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi

Masyarakat Dalam Berobat 6.

Handayani, S., Kosasih, C., Priambodo, A. 2016. Hubungan Dukungan Keluarga

Dengan Kekambuhan Pasien Gastritis Di Puskesmas Jatinagor.

Hidayah, A., 2017. Gangguan Faal Paru Pada Nelayan Penyelam Yang

Menggunakan Kompresor Di Dusun Watu Ulo Kecamatan Ambulu

Kabupaten Jember.

Lumban, G.E., Fatimah, E., Sugihartoyo, 2019. Kajian Penyediaan Sarana

Kesehatan di Kabupaten Asmat

Pitra, I.A., 2017. Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Lansia Terhadap

Kesehatan Di Desa Bonto Bangun Kecamatan Rilau Ale Kabupaten

Bulukumba
Kawuriansari, R., Fajarsari, D., Mulidah, S., 2010. Studi Efektivitas Leaflet Terhadap

Skor Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dismenorea Di Smp Kristen 01

Purwokerto Kabupaten Banyumas 1.

Kumalasari, S.T., 2017. Fishing (Study Cultural Values And Etnoteknology Bugis

Tribe On The Coastal Teluk Lampung) 73.

Linggayani, N., Ramadhian, M., 2017. Penyakit Caisson Pada Penyelam pdf, n.d.

Muzaky Luthfi, oktiyas, 2015. Diving Technic Improvment Of Compressor Diver At

Kondang Merak, Malang Using Scuba. J. Innov. Appl. Technol. 1, 164–167.

https://doi.org/10.21776/ub.jiat.2015.001.02.11

Minarni, L., Sudagijono, J., Surabaya., U., 2015. Dukungan Keluarga Terhadap

Perilaku Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia Yang Sedang Rawat Jalan 3.

Nura, F.L., 2017. Identifikasi Tanda Dan Gejala Penyakit Dekompresi Pada

Penyelam Tradisional Di Desa Bokori Kecamatan Soropia Kabupaten

Konawe 94.

Prasetyo, A.T., Soemantri, J.B., Lukmantya, L., 2012. Pengaruh Kedalaman Dan

Lama Menyelam Terhadap Ambang-Dengar Penyelam Tradisional Dengan

Barotrauma Telinga. Oto Rhino Laryngol. Indones. 42.

https://doi.org/10.32637/orli.v42i2.21

Putri, A., 2017. Kesiapan Sumber Daya Manusia Kesehatan Dalam Menghadapi

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). J. Medicoeticolegal Dan Manaj. Rumah

Sakit 1018196jmmr2016 6, 55–60. https://doi.org/10.18196/jmmr.6127

Rahmat, A., 2019. Studi Implementasi Kawasan Tanpa Rokok Di UIN Alauddin

Makassar.
Ryan Suryadi Putra, dkk. 2017. Pengelolaan Keselamatan Kerja Nelayan di PPI

Batukaras Kabupaten Pangandaran. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Saranani, M., Hartono, R., 2019. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Decompression Sickness Pada Aktivitas Penyelaman Menggunakan

Kompressor 03, 31.

Sugiarto, E., 2015. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi Dan Tesis.

Suaka Media, Yogyakarta.

Sulistiyono, 2015. Studi Kualitatif Deskriptif Perilaku Konsumen Rilisan Fisik Vynil

Di Yogyakarta 145.

Syuhudi, M.I., Sani, M.Y., Said, M.B., 2013. Etnografi Dukun: Studi Antropologi

Tentang Praktik Pengobatan Dukun Di Kota Makassar 16.

Tang, B., Asmidar., 2019. Kajian Mina Wisata Sebagai Alternatif Wisata Bahari Di

Kawasan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai (Study Of Mina Tourism As A

Alternative Tourism In Nine Island Area Of Sinjai District) 2, 16.

Togobu, D., 2018. Gambaran Perilaku Masyarakat Adat Karampuang Dalam

Mencari Pengobatan Dukun (Ma’sanro) 1, 17.

Tunny, I., Sely, M., Sabha, F., 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap

Nelayan Dengan Gejala Penyakit Dekompresi Di Dusun Tanah Goyang

Rt06 Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat 7.

Wabula, L., 2019. Perilaku Keselamatan Dan Kesehatan Penyelaman Pada

Penyelam Tradisional Berbasis Health Action Process Approach.

Wahyu, 2018. Ritual Keagamaan Dalam Pengobatan Alternatif Padepokan Banyu

Biru di Kota Surakarta Jawa Tengah


Wijaya, D.R., 2018. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Dekompresi Pada

Nelayan Penyelam Di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar Tahun 2011-

2017 14.

Wijaya, D.R., Abdullah, A.Z., Palutturi, S., 2018. Faktor Risiko Masa Kerja Dan

Waktu Istirahat Terhadap Kejadian Penyakit Dekompresi Pada Nelayan

Penyelam Di Pulau Barrang Lompo 10.

Wijianti, R.P., 2018. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Pengobatan

Pasien Post Stroke Di Poli Syaraf Rsud Kabupaten Sidoarjo 94.

Anda mungkin juga menyukai