Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI 2021

Disusun oleh :

MUTIA NADILA ANDARINY


185050101111022
M
M3

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
MATERI 1

Pengiriman dan Penyimpanan Spesimen


BAB I
PEMBAHASAN

Pengiriman tinja atau feses dapat dikirim dalam keadaan segar apabila tidak
memerlukan waktu yang lama, maka dapat disimpan dalam pendingin dengan termos berisi
es. Ada dua macam pendinginan yang dapat digunakan, yaitu :
- Dengan es : (sekitar 40C) bahan dapat dimasukkan dalam kontainer, kemudian
dikelilingi dengan es yang diletakkan pada kontainer yang sedikit lebih besar.
- Dengan es kering atau dry ice: (- 20-300 C )bahan yang dikirim, dibungkus rapi atau
dalam kontainer yang dilapisi dengan bahan yang memisahkan antara dry ice dengan
bahan.
Hal ini sebanding dengan pernyataan Kalma dan Adrika (2018) yang menyatakan bahwa
jika karena suatu hal sehingga spesimen dahak tidak dapat segera diperiksa, maka biasanya
spesimen disimpan di tempat dingin dengan harapan tidak mengalami perubahan dan
menghindarkan dari serangga misalnya di dalam lemari pendingin. Tidak dianjurkan
membiarkan spesimen dahak pada suhu ruangan.

Penyimpanan tinja atau feses perlu diperhatikan dengan baik, karena apabila
penyimpanannya tidak diperhatikan akan terjadi kontaminasi sampel, adapun penyimpanan
dapat dilakukan menggunakan termos berisi es. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartini dan
Suryani (2016) yang menyatakan bahwa untuk penyimpanan, suhu sangat dapat
mempengaruhi kualitas dari spesimen sehingga perlu dilakukan alat penyimpan yang dapat
dikontrol suhunya. Contoh alat yang sering digunakan yaitu lemari es (refrigerator).

Identifikasi spesimen adalah tata cara identifikasi spesimen sebelum dilakukan


pemeriksaan laboratorium untuk memastikan bahwa spesimen yang diambil petugas sesuai
dengan data identitas dan jenis pemeriksaan yang dimaksud, identifikasi penting dilakukan
agar tidak terjadi kesalahan spesimen dan mempermudah langkah-langkah selanjutnya. Hal
ini sebanding dengan pernyataan Damayanthi, dkk (2013) menyatakan bahwa identifikasi
awal yang benar akan mempermudah upaya penyusunan strategi pengendaliannya, khususnya
pendekatan ekologinya.

Pelabelan penting dilakukan pada tahap akhir dikarenakan label memberikan


informasi berupa nama spesimen, tanggal dan lain-lain, hal ini dapat memberi informasi dan
mencegah supaya spesimen yang satu tertukar dengan spesimen yang lainnya. Hal ini
sebanding dengan pernyataan Darmawan, dkk (2013) menyatakan bahwa proses akhir setelah
semua spesies teridentifikasi adalah pemberian label yang sesuai dengan label distribusi yang
ada di setiap spesimen. Selain itu pemberian label juga mencakup tanggal pembuatan
preparat maupun nomor label yang tertera sesuai pendataan setiap spesies.
BAB II
PENUTUP

2.1 Kesimpulan

1. Pengiriman tinja atau feses dapat dikirim dalam keadaan segar apabila tidak
memerlukan waktu yang lama, maka dapat disimpan dalam pendingin dengan termos
berisi es.

2. Suhu sangat dapat mempengaruhi kualitas dari spesimen sehingga perlu dilakukan alat
penyimpan yang dapat dikontrol suhunya.

3. Identifikasi awal yang benar akan mempermudah upaya penyusunan strategi


pengendaliannya, khususnya pendekatan ekologinya.

4. Pelabelan penting dilakukan pada tahap akhir dikarenakan label memberikan


informasi berupa nama spesimen, tanggal dan lain-lain, hal ini dapat memberi
informasi dan mencegah supaya spesimen yang satu tertukar dengan spesimen yang
lainnya.

2.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Damayanthi, A., Karindah, S., Sutrisno, S., & Himawan, T. (2014). Identifikasi ngengat
Genus Lymantria (Lepidoptera: Erebidae) di Indonesia berdasarkan karakter morfologi
dan genitalia. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, 1(4). 37-41

Darmawan, E. W. B., Himawan, T., Tarno, H., & Sutrisno, H. (2014). Identifikasi Beberapa
Jenis Ngengat Jantan Genus Arctornis Lepidoptera: Noctuoidea) di Indonesia
Berdasarkan Karakter Morfologi dan Genitalia. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan,
1(4). 42-50

Hartini, S., & Suryani, M. E. (2017). Uji Kualitas Serum Simpanan Terhadap Kadar
Kolesterol dalam Darah Di Poltekkes Kemenkes Kaltim. Jurnal Ilmiah Manuntung,
2(1), 65-69.

Kalma, A. (2018). Perbandingan Hasil Pemeriksaan Basil Tahan Asam antara Spesimen
Dahak Langsung Diperiksa dengan Ditunda 24 jam . Jurnal Media Analis Kesehatan,
9(2). 130-135
MATERI 2

Pengamatan Endoparasit pada Feses

( Ascaridia galli )
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alat dan Bahan


1. Feses sapi
2. Air bersih
3. Object glass
4. Cover glass
5. Mikroskop
6. Pipet tetes

1.2 Prosedur
1. Diambil feses secukupnya, letakkan di atas objek glass
2. Diteteskan sedikit air, tutup dengan cover glass
3. Jika feses terlalu tebal, tekan cover glass dan tambahkan air
4. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
5. Dokumentasikan 12ndoparasite yang ditemukan
BAB II
PEMBAHASAN

Cacing Ascaridia galli merupakan endoparasit yang biasanya terdapat di feses atau
tinja ternak, hal ini dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Cacing Ascaridia galli
biasanya dapat menular melalui tinja yang mengandung telur atau cacing tersebut. Hal ini
sebanding dengan pernyataan Pradana, dkk (2015) yang menyatakan bahwa jenis endoparasit
yang paling sering menyerang ayam petelur adalah telur cacing Ascaridia galli, dengan
frekuensi kehadiran 60%. Tingginya frekuensi kehadiran tersebut karena cacing ini dapat
bertahan di tempat yang lembap. Cacing Ascaridia galli tidak membutuhkan hospes
perantara, penularan cacing ini melalui pakan, air minum ataupun feses yang mengandung
telur.

Morfologi cacing Ascaridia galli dapat diidentifikasi setelah diamati melalui


mukroskop, panjang cacing jantan antara 30-80 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm. Sedangkan
panjang cacing betina antara 60-120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm. Hal ini sebanding
dengan pernyataan Mubarokah, dkk (2019) yang menyatakan bahwa Panjang cacing jantan
antara 30-80 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm. Sedangkan panjang cacing betina antara 60-
120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm. Panjang cacing A. Galli yang didapat dari ayam
kampung adalah jantan 4,2-7,2 cm betina 3,3-11 cm. Setiap telur A. Galli berbentuk oval atau
hampir polihedral dengan ukuran kurang lebih 80 x 50 µm.

Pencegahan infeksi cacing Ascaridia galli dapat dilakukan dengan cara perbaikan tata
laksana peternakan dan dapat melakukan pengaturan kepadatan kandang dan struktur flok,
higiene kandang dan pemberian antelmintika untuk menekan jumlah cacing di dalam tubuh.
Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dari
dalam tubuh manusia atau hewan. Hal ini sebanding dengan pernyataan Zalizar dan Satrija
(2009) yang menyatakan bahwa Selama ini pengendalian infeksi cacing parasit saluran
pencernaan dapat dilakukan dengan perbaikan tata laksana peternakan dan pemberian
antelmintika. Perbaikan tata laksana peternakan dimaksudkan untuk mengurangi peluang
terjadinya infeksi atau terjadinya kontak antara inang dan parasit. Sedangkan pemberian
antelmintika dimaksudkan untuk menekan jumlah cacing yang terdapat pada tubuh ternak ke
tingkat yang tidak membahayakan. Pengendalian kecacingan pada unggas dapat dilakukan
antara lain dengan pengaturan kepadatan kandang dan struktur flok, higiene kandang dan
pemberian antelmintika.

Pengobatan ternak yang terinfeksi endoparasit berupa cacing Ascaridia galli dapat
dilakukan dengan pemberian obat tradisional yaitu sari kunyit ke dalam air minum ternak,
pemberian obat tradisional ini dapat mengurangi efek samping pada ternak, lebih mudah
ditemukan dan lebih hemat. Hal ini sebanding dengan pernyataan Herawati dan Winarso
(2016) yang menyatakan bahwa pemberian sari kunyit dalam air minum mempunyai
pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
Sari kunyit dapat menurunkan jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Cacing Ascaridia galli merupakan endoparasit yang biasanya terdapat di feses atau
tinja ternak. Cacing Ascaridia galli biasanya dapat menular melalui tinja yang
mengandung telur atau cacing tersebut.
2. Panjang cacing jantan antara 30-80 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm. Sedangkan
panjang cacing betina antara 60-120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm.
3. Pencegahan infeksi cacing Ascaridia galli dapat dilakukan dengan cara perbaikan tata
laksana peternakan dan dapat melakukan pengaturan kepadatan kandang dan struktur
flok, higiene kandang dan pemberian antelmintika untuk menekan jumlah cacing di
dalam tubuh.
4. Pengobatan ternak yang terinfeksi endoparasit berupa cacing Ascaridia galli dapat
dilakukan dengan pemberian obat tradisional yaitu sari kunyit ke dalam air minum
ternak

3.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Herawati, H., & Winarso, D. (2016). Pengaruh pemberian sari kunyit (Curcuma domestica
val.) dalam air minum terhadap jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
Jurnal Riset Agribisnis dan Peternakan, 1(2), 13-24.

Mubarokah, W. W., Daryatmo, J., Widiarso, B. P., & Sambodo, P. (2019). Morfologi Telur
dan Larva 2 Ascaridia Galli pada Ayam Kampung. Jurnal Ilmu Peternakan dan
Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science), 9(2), 50-54.

Pradana, D. P. (2015). Identifikasi cacing endoparasit pada feses ayam pedaging dan ayam
petelur. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi, 4(2). 119-123

Zalizar, L., & Satrija, F. (2009). Effect of different Dosage Infection Ascaridia galli and
Piperazine Treatment on Total Worm and Layers’ Body Weight. Animal Production,
11(3). 176-182
MATERI 3

Pengamatan Endoparasit pada Mukosa Usus

( Eimeria maxima )
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alat dan Bahan


1. Usus ayam
2. Cover glass
3. Object glass
4. Microskop
5. Scalpel
6. Gunting
7. Pinset

1.2. Prosedur
1. Dibuka bagian usus dengan bantuan gunting dan pinset
2. Dibuang isi usus. Kerok bagian mukosa dengan scalpel
3. Diletakan di atas objek dan beri air secukupnya lalu tutup dengan cover glass
4. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
BAB II
PEMBAHASAN

Eimeria sp adalah jenis endoparasit yang dapat menginfeksi saluran pencernaan pada
ayam, terutama pada usus. Hal ini sebanding dengan pernyataan Pradana, dkk (2015) yang
menyatakan bahwa Endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan pada ayam pedaging
berdasarkan pemeriksaan feses adalah protozoa Eimeria sp (36%)

Ookista Eimeria sp. Berbentuk oval, berukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri
dari satu atau dua lapis bersifat transparan. Hal ini sebanding dengan pernyataan Ekawasti
dan Martindah (2019) yang menyatakan bahwa Morfologi Eimeria sp. dibagi menjadi dua,
yaitu stadium ookista dan sporokista/sporozoit. Bentuk umum ookista Eimeria sp. adalah
oval, dengan ukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri satu atau dua lapis yang bersifat
transparan. Ookista belum bersporulasi berisi satu sporoblast. Ookista matang berisi empat
sporokista yang masing-masing berisi dua sporozoit

Faktor pendukung terjadinya penyebaran Eimiria, sp yaitu lingkungan dan


karakteristik manajemen peternakan. Penularan Eimiria, sp dapat dipengaruhi oleh
kebersihan kandang dengan membiarkan feses menumpuk berhari-hari. Hal ini sebanding
dengan pernyataan Diaz, dkk (2016) yang menyatakan bahwa Pada peternakan rakyat ini
terdapat tumbuhan semak dan saluran air di sekitar kandang, factor lainnya yang
mempengaruhi penyebaran protozoa jenis Eimeria sp yaitu cara pemeliharaan yang kurang
higienis seperti kandang yang sempit sehingga memudahkan penularan Eimeria sp dari satu
sapi ke sapi lainnya selain itu factor kebersihan kandang dengan membiarkan feses
menumpuk berhari-hari juga mempengaruhi penyebaran Eimeria sp dan faktor pemberian
hijauan yang diambil dekat semak-semak atau saluran pembuangan air. faktor-faktor yang
mendukung penyebaran Eimeria sp yaitu lingkungan dan karakteristik manajemen
peternakan.

Pengobatan Eimeria dapat menggunakan sambiloto (Andrographis paniculata Nees)


yang mengandung andrographolid, neoandrographolid, dehidroandrographolid, dan
flavonoid. Hal ini sebanding dengan pernyataan Cahyaningsih, dkk (2012) yang menyatakan
bahwa Salah satu tanaman obat yang digunakan adalah sambiloto (Andrographis paniculata
Nees) yang mengandung andrographolid, neoandrographolid, dehidroandrographolid, dan
flavonoid. Flavonoid yang terdapat dalam A. paniculata berfungsi sebagai antiradang dengan
cara menghambat enzim cyclooxygenase dan lipoxygenase. Penggunaan A.paniculata untuk
pengobatan koksidiosis dipilih karena Eimeria penyebab koksidiosis mempunyai filum yang
sama dengan malaria yaitu Apicomplexa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Eimeria sp adalah jenis endoparasit yang dapat menginfeksi saluran pencernaan pada
ayam, terutama pada usus.
2. Ookista Eimeria sp. Berbentuk oval, berukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri
dari satu atau dua lapis bersifat transparan.
3. Faktor pendukung terjadinya penyebaran Eimiria, sp yaitu lingkungan dan
karakteristik manajemen peternakan.
4. Pengobatan Eimeria dapat menggunakan sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
yang mengandung andrographolid, neoandrographolid, dehidroandrographolid, dan
flavonoid.

3.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningsih, U., Riandci, R., & Iswantini, D. (2012). Ekstrak Sambiloto (Andrographis
paniculata) Menurunkan Jumlah Skizon, Mikrogamet, Makrogamet, dan Oosista
Eimeria tenella. Jurnal Veteriner, 13(3), 322-329.

Ekawasti, F., & Martindah, E. (2019). Control of Coccidiosis in Chickens Through Herbal
Medicine. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences,
29(1), 1-12.

Diaz, R. CGSS (2017). Identifikasi Protozoa pada Digester Tipe Batch Berbahan Baku Feses
Sapi Potong dan Batubara. Students e-Journal, 6(1). 1-10

Pradana, D. P. (2015). Identifikasi cacing endoparasit pada feses ayam pedaging dan ayam
petelur. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi, 4(2). 119-123
Lampiran : Keterangan jenis jurnal, volume dan tahun
MATERI 4

Pengamatan Ektoparasit pada Scabiosis

( Haematopinus tuberculatus )
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alat dan Bahan


1. KOH 10%
2. Kerokan kulit terinfeksi scabiosis
3. Gelas arloji
4. Object glass
5. Cover glass
6. Pipet tetes
7. Mikroskop

1.2. Prosedur
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Diambil kerokan kulit yang terserang scabiosis
3. Ditambahkan KOH 10% yang berfungsi untuk membuka jaringan kulit
4. Diaduk dan didiamkan 5 – 10 menit
5. Buat preparat pada objek glass, tutup dengan cover glass
6. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
BAB II
PEMBAHASAN

Haematopinus tuberculatus merupakan ektoparasit berupa kutu yang dapat


menginfeksi ternak, dan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman karena menempel pada
permukaan kulit, dan dapat mengisap darah ternak tersebut. Hal ini sebanding dengan
pernyataan Awaludin, dkk (2020) yang menyatakan bahwa Kutu merupakan parasit pada sapi
yang bisa menyebabkan rasa gatal, penurunan berat badan, iritasi, rasa tidak nyaman, dan
penurunan produksi air susu serta penurunan kualitas produk asal sapi. beberapa jenis kutu
penghisap pada sapi diantaranya, yaitu Haematopinus quadripertusus, Haematopinus
eurysternus, Haematopinus tuberculatus, Linognathus vituli, dan Solenopotes capillatus.
Jenis-jenis kutu tersebut berparasit pada sapi dan mampu menyebabkan iritasi serta anemia
sehingga produktivitas sapi akan menurun. Haematopinus merupakan salah satu jenis parasit
dari keluarga kutu yang banyak menginfeksi hewan domestik.

Bentuk tubuh Haematopinus tuberculatus dapat diidentifikasi setelah dilakukan


pengamatan di bawah mikroskop, panjang tubuh nimfa betina berkisar antara 1,4 – 1,7 mm
lebar 0,4 – 0,5 mm dan nimfa jantan memiliki panjang 2 – 2,4 mm dan lebar 0,5 –1 mm. Hal
ini sebanding dengan pernyataan Irsya,dkk (2017) yang menyatakan bahwa Hasil pengukuran
menunjukkan panjang tubuh nimfa betina berkisar antara 1,4 – 1,7 mm dan lebar 0,4 – 0,5
mm. Nimfa jantan yang didapatkan memiliki panjang 2 – 2,4 mm dan lebar 0,5 –1 mm.
Sedangkan H. Tuberculatus betina dewasa yang dikoleksi memiliki ukuran panjang 3,5 – 4,1
mm dan lebar 1,2 – 1,4 mm. M dan lebar hingga 2 mm. H. Tuberculatus yang dikoleksi
ditandai dengan warna tubuh coklat kehitaman. Tubuh kutu terdiri atas tiga bagian, yaitu
kepala, thoraks, dan abdomen yang jelas terpisah. Kepala dilengkapi dengan 3-5 ruas antena
berbentuk filiform yang menonjol keluar. Bagian kaudal H. Tuberculatus betina berbentuk
seperti penjepit atau berbelah dan kaudal pada H. Tuberculatus jantan berbentuk lancip.

Pengobatan kutu ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian minyak mimba yang
dilarutkan dalam air, hal ini dapat mempengaruhi siklus hidupnya dan mengontrol kutu. Hal
ini sebanding dengan pernyataan Reyes and Calderon (2002) yang menyatakan bahwa
Memperbaiki drainase dapat mengontrol jumlah kutu, seperti halnya menjaga kesuburan dan
padang rumput dipangkas melalui topping. Satu studi melaporkan bahwa penggunaan minyak
mimba yang diencerkan dalam air dengan konsentrasi sebesar 1,0% memiliki insektisida
nabati dalam bentuk yang cukup azadirachtin untuk mempengaruhi siklus hidup dan untuk
mengontrol kutu ternak.

Penyebaran ektoparasit dapat terjadi ketika caplak betina dapat menghasilkan telur
sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Kemudian setelah telur menetas larva akan merayap ke
ujung rumput untuk menempel di tubuh ternak yang melewatinya. Hal ini sebanding dengan
pernyataan Sulistyaningsih (2016) yang menyatakan bahwa Caplak betina setelah kenyang
mengisap darah jatuh ke tanah dan kemudian bertelur. Caplak betina dapat betelur sebanyak
74 - 3.402 butir pada suhu 22°C - 32°C dan kelembapan 84% - 92%, caplak betina dapat
menghasilkan telur sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Telur menetas menjadi larva lalu
merayap ke ujung-ujung rumput untuk menempel pada hewan yang melewatinya. Caplak
betina bertelur di tempat yang tersembunyi seperti di bawah batu, di bawah gumpalan tanah,
celah tembok dan celah lantai. Larva yang baru menetas mencari inangnya dengan
pertolongan benda-benda di sekitarnya serta bantuan olfaktoriusnya yaitu organ Haller.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Haematopinus tuberculatus merupakan ektoparasit berupa kutu yang dapat


menginfeksi ternak, dan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan mengisap darah
ternak tersebut.
2. Panjang tubuh nimfa betina berkisar antara 1,4 – 1,7 mm lebar 0,4 – 0,5 mm dan nimfa
jantan memiliki panjang 2 – 2,4 mm dan lebar 0,5 –1 mm.
3. Pengobatan kutu ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian minyak mimba yang
dilarutkan dalam air, hal ini dapat mempengaruhi siklus hidupnya dan mengontrol
kutu.
4. Penyebaran ektoparasit dapat terjadi ketika caplak betina dapat menghasilkan telur
sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Kemudian setelah telur menetas larva akan merayap
ke ujung rumput untuk menempel di tubuh ternak yang melewatinya.

3.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Awaludin, A., Nugraheni, Y. R., Andriani, M., Hasanah, N., & Prayitno, A. H. (2020).
Filogenetik Kutu Penghisap Darah (Haematopinus sp.) pada Beberapa Jenis Sapi
berdasarkan Gen 18S rRNA. Jurnal Ilmu Peternakan Terapan, 3(2), 31-37.

Irsya, R. P., Mairawita, M., & Herwina, H. JENIS-JENIS PARASIT PADA SAPI PERAH
DI KOTA PADANG PANJANG SUMATERA BARAT. Metamorfosa: Journal of
Biological Sciences, 4(2), 189-195.

Reyes, L.A., & Correa-Calderon, A. (2002). Parasites, External: Tick Infestations. Diseases
of Dairy Animals. vol 4. 253-257

Sulistyaningsih, S. (2016). Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi
Potong di Kota Banjarbaru. In Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian. Banjarbaru (Vol. 1324). 1320-1327
MATERI 5

Pengamatan Susu CMT dan Mastitis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alat dan Bahan

1. Paddle
2. Pipet tetes
3. Beaker glass
4. CMT-Test
5. Susu mastitis

1.2. Prosedur

1. Tuangkan susu dari masing-masing puting ke dalam 4 paddle yang berbeda


2. Campurkan susu dengan reagen CMT (rasio pemberian 1:1)
3. Digoyang-goyangkan selama 10 detik
4. Amati dan simpulkan perubahan yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN

Mekanisme timbulnya mastitis ditandai dengan timbulnya peradangan pada ambing


ternak. Hal ini sebanding dengan pernyataan Surjowardojo (2011) menyatakan bahwa
Mastitis dapat timbul karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap suatu infeksi yang
terjadi pada kelenjar susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada
ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan
kuman yang masuk kedalam kelenjar susu agar dapat berfungsi normal

Infeksi mastitis subklinis adalah infeksi yang sangat tinggi jumlahnya yang
menyerang sapi perah di Indonesia, pengobatan antibiotik dapat digunakan untuk mengobati
penyakit infeksi mastitis subklinis. Hal ini sebanding dengan pernyataan Poeloengan (2019)
yang menyatakan bahwa Insiden mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (85%)
dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat subklinis. Pengobatan dengan antibiotik
merupakan pilihan utama dalam mengatasi kasus mastitis. Uji sensitivitas kuman terhadap
beberapa antibiotik telah dilakukan untuk menentukan antibiotik yang tepat untuk digunakan.
Antibiotik yang telah terbukti berguna untuk pengobatan mastitis atau radang ambing
meliputi penisilin (kloksasilin, ampisilin), sefalosporin, eritromisin, neomisin, novobiosin,
tetrasiklin dan streptomisin.

Streptococcus dan E-coli merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi
penyakit mastitis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwatiningsih, dkk (2014) yang
menyatakan bahwa bakteri patogen penyebab mastitis adalah Streptococcus agalactie,
Mycoplasma bovis dan Staphylococcus aureus. Mastitis juga dapat disebabkan oleh bakteri
yang berada di sekitar lingkungan, seperti Escherichia coli dan Klesbsilla sp. 38,5% mastitis
klinis disebabkan oleh Staphylococcus aureus, 12% disebabkan oleh Streptococcus agalactie,
6,6% oleh Streptococcus dysgalactie, 3,4% oleh Streptococcus uberis, 2,6% oleh Coliform
spp dan 0,6% oleh Pseudomonas spp.

Pencegahan mastitis penting dilakukan disetiap peternakan sapi perah dikarenakan


infeksi penyakit mastitis cukup merugikan para peternak, berbagai cara dapat dilakukan
seperti memperhatikan kebersihan kandang, ternak, pemerah, alat perah dan lainnya. Hal ini
sebanding dengan pernyataan Suryowardojo (2012) yang menyatakan bahwa pencegahan
mastitis dapat dilakukan melalui penerapan kebersihan kandang, badan sapi, peralatan,
tukang perah dan penggunaan bahan-bahan antiseptik sebagai pencuci ambing pada saat
sebelum maupun setelah pemerahan, pemerahan dilakukan secara tuntas, mengisolasi sapi
yang terjangkit mastitis untuk segera dilakukan pengobatan. Selain itu perlu dilakukan
pencelupan puting susu setelah pemerahan kedalam antiseptik selama kurang lebih 1 menit.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Mekanisme timbulnya mastitis ditandai dengan timbulnya peradangan pada ambing


ternak.
2. Pengobatan antibiotik dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi mastitis
subklinis.
3. Streptococcus dan E-coli merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi
penyakit mastitis.
4. Pencegahan mastitis penting dilakukan disetiap peternakan sapi perah dikarenakan
infeksi penyakit mastitis cukup merugikan para peternak, berbagai cara dapat
dilakukan seperti memperhatikan kebersihan kandang, ternak, pemerah, alat perah dan
lainnya

3.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Poeloengan, M. (2009). Pengaruh Minyak Atsiri Serai(Andropogon citratus DC.) Terhadap


Bakteri yang Diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis. Berita Biologi, 9(6), 715-719.
Purwantiningsih, T. I., & Suranindyah, Y. Y. (2014). Aktivitas senyawa fenol dalam buah
mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai antibakteri alami untuk penghambatan bakteri
penyebab mastitis. Buletin Peternakan, 38(1), 59-64.
Surjowardojo, P. (2011). Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan produksi susu
sapi perah friesien holstein. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal
Production, 12(1), 46-55.
Suryowardojo, P. (2012). Penampilan kandungan protein dan kadar lemak susu pada sapi
perah mastitis Friesian Holstein. The Journal of Experimental Life Science, 2(1), 42-48.
MATERI 6

Pemeriksaan Residu Antibiotik dengan Uji Yoghurt


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alat dan Bahan

1. Susu
2. Starter yoghurt
3. Bromocresol green
4. Antibiotik penicillin 0,5 IU/ML
5. Tabung reaksi 4 buah
6. Pipet
7. Rak tabung reaksi
8. Beaker glass
9. Inkubator

1.2 Prosedur

1. Disiapkan alat dan bahan


2. Siapkan 4 tabung, diberi label A, B, C, D
3. Tabung A diisi susu sebagai perlakuan control, tabung B diisi susu mastitis, tabung
C dan D diisi susu dengan antibiotik Penicillin 0,5 IU/ml
4. Dipanaskan tabung A, B, C pada suhu 80 – 85oC (pasteurisasi)selama 10 menit
5. Didinginkan sampai suhu 40 – 45oC
6. Tambahkan 2-3% starter yoghurt aktif pada semua tabung
7. Tambahkan indikator warna Bromocresol green sebanyak 2 tetes
8. Inkubasi tabung pada suhu 43 derajat Celcius selama 3 – 4 jam
9. Diamati perubahan yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN

Pada pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yoghurt, hasil negatif ditandai dengan
konsistensi susu menjadi kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi sampel susu
dibalik tidak tumpah. Hal ini sebanding dengan pernyataan Detha (2014) yang menyatakan
bahwa hasil pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yogurt pada keseluruhan sampel yang
digunakan memberikan hasil negatif. Hasil negatif ditandai dengan konsistensi susu menjadi
kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi sampel susu dibalik tidak tumpah.
Hasil ini mengindikasikan bahwa sampel susu yang diuji tidak mengandung residu antibiotik
sehingga tidak menghambat pertumbuhan starter kombinasi dari Streptococcus termophillus,
dan Lactobacillus bulgaris sehingga dapat membentuk yogurt pada sampel susu.

Pemeriksaan residu antibiotika dapat dilakukan dengan beberapa cara, salahsatunya


mikrobiologi dari kundrat yang merupakan cara yang dianggap baik, cepat, dan sensitif. Hal
ini sebanding dengan pernyataan Meutia, dkk (2016) yang menyatakan bahwa Residu
antibiotika dapat diukur dengan beberapa cara, salah satunya dengan cara microbiological
assay dari Kundrat. Metode mikrobiologi dari kundrat adalah cara yang dianggap baik, cepat
dan sensitif. Prinsip kerja dari metode ini adalah dengan melihat daerah hambatan (zona
hambatan = zona inhibition) yang dihasilkan oleh antibiotika terhadap kuman penguji. Salah
satu kuman penguji yang biasa digunakan untuk jaringan dan air susu ialah Bacillus
stearothermophillus

Metode pemeriksaan Yoghurt test dan agar test dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan residu antibiotika. Hal ini sebanding dengan pernyataan Aisyah (2011) yang
menyatakan bahwa Keberadaan residu antibiotika pada ternak cukup mudah dideteksi oleh
laboratorium baik dengan Yoghurt test ataupun dengan maupun Agar Test sehinggga tidak
semua susu segar yang disetor KUD dapat diterima industri pengolahan susu.

Fase adaptasi ialah dimana mikroba beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pada
fase ini terdapat residu antibiotika penicillin. Hal ini sebanding dengan pernyataan Yulistiani
(2009) yang menyatakan bahwa Pada fase adaptasi, mikroba melakukan penyesuaian diri
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya dimana pada fase ini terdapat residu antibiotika
Penicillin yang efektif terhadap Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus
(merupakan bakteri gram positif), sehingga berpengaruh terhadap total bakteri asam laktat
yang dihasilkan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pada pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yoghurt, hasil negatif ditandai dengan
konsistensi susu menjadi kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi
sampel susu dibalik tidak tumpah.
2. Pemeriksaan residu antibiotika dapat dilakukan dengan beberapa cara, salahsatunya
mikrobiologi dari kundrat yang merupakan cara yang dianggap baik, cepat, dan
sensitif.
3. Metode pemeriksaan Yoghurt test dan agar test dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan residu antibiotika.
4. Fase adaptasi ialah dimana mikroba beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pada
fase ini terdapat residu antibiotika penicillin.

3.2 Saran

Sebaiknya setelah kuliah offline dilaksanakan, laporan praktikum epidemiologi tetap


menggunakan microsoft word, dikarenakan sangat memudahkan para praktikan untuk
menyelesaikan laporan, lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. (2013). Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe
barbadensis miller. Jurnal Gamma, 7(1). 50-60
Detha, A. I. R. (2014). Pengujian residu antibiotik pada susu. Jurnal Kajian Veteriner, 2(2),
203-208.
Meutia, N., T. Rizalsyah, S. Ridha, M.K.Sari. (2016). Residu antibiotika dalam air susu segar
yang berasal dari peternakan di wilayah Aceh Besar. Jurnal Ilmu Ternak Universitas
Padjadjaran, 16(1). 1-5
Yulistiani, R. 2009. Produksi Starter Yoghurt yang Resisten Terhadap Residu Antibiotika
Penicillin pada Susu dan Aplikasinya pada Pembuatan Yoghurt. Jurnal Penelitian Ilmu
Teknik. 9(1). 1-10

Anda mungkin juga menyukai