Disusun oleh :
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
MATERI 1
Pengiriman tinja atau feses dapat dikirim dalam keadaan segar apabila tidak
memerlukan waktu yang lama, maka dapat disimpan dalam pendingin dengan termos berisi
es. Ada dua macam pendinginan yang dapat digunakan, yaitu :
- Dengan es : (sekitar 40C) bahan dapat dimasukkan dalam kontainer, kemudian
dikelilingi dengan es yang diletakkan pada kontainer yang sedikit lebih besar.
- Dengan es kering atau dry ice: (- 20-300 C )bahan yang dikirim, dibungkus rapi atau
dalam kontainer yang dilapisi dengan bahan yang memisahkan antara dry ice dengan
bahan.
Hal ini sebanding dengan pernyataan Kalma dan Adrika (2018) yang menyatakan bahwa
jika karena suatu hal sehingga spesimen dahak tidak dapat segera diperiksa, maka biasanya
spesimen disimpan di tempat dingin dengan harapan tidak mengalami perubahan dan
menghindarkan dari serangga misalnya di dalam lemari pendingin. Tidak dianjurkan
membiarkan spesimen dahak pada suhu ruangan.
Penyimpanan tinja atau feses perlu diperhatikan dengan baik, karena apabila
penyimpanannya tidak diperhatikan akan terjadi kontaminasi sampel, adapun penyimpanan
dapat dilakukan menggunakan termos berisi es. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartini dan
Suryani (2016) yang menyatakan bahwa untuk penyimpanan, suhu sangat dapat
mempengaruhi kualitas dari spesimen sehingga perlu dilakukan alat penyimpan yang dapat
dikontrol suhunya. Contoh alat yang sering digunakan yaitu lemari es (refrigerator).
2.1 Kesimpulan
1. Pengiriman tinja atau feses dapat dikirim dalam keadaan segar apabila tidak
memerlukan waktu yang lama, maka dapat disimpan dalam pendingin dengan termos
berisi es.
2. Suhu sangat dapat mempengaruhi kualitas dari spesimen sehingga perlu dilakukan alat
penyimpan yang dapat dikontrol suhunya.
2.2 Saran
Damayanthi, A., Karindah, S., Sutrisno, S., & Himawan, T. (2014). Identifikasi ngengat
Genus Lymantria (Lepidoptera: Erebidae) di Indonesia berdasarkan karakter morfologi
dan genitalia. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, 1(4). 37-41
Darmawan, E. W. B., Himawan, T., Tarno, H., & Sutrisno, H. (2014). Identifikasi Beberapa
Jenis Ngengat Jantan Genus Arctornis Lepidoptera: Noctuoidea) di Indonesia
Berdasarkan Karakter Morfologi dan Genitalia. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan,
1(4). 42-50
Hartini, S., & Suryani, M. E. (2017). Uji Kualitas Serum Simpanan Terhadap Kadar
Kolesterol dalam Darah Di Poltekkes Kemenkes Kaltim. Jurnal Ilmiah Manuntung,
2(1), 65-69.
Kalma, A. (2018). Perbandingan Hasil Pemeriksaan Basil Tahan Asam antara Spesimen
Dahak Langsung Diperiksa dengan Ditunda 24 jam . Jurnal Media Analis Kesehatan,
9(2). 130-135
MATERI 2
( Ascaridia galli )
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Prosedur
1. Diambil feses secukupnya, letakkan di atas objek glass
2. Diteteskan sedikit air, tutup dengan cover glass
3. Jika feses terlalu tebal, tekan cover glass dan tambahkan air
4. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
5. Dokumentasikan 12ndoparasite yang ditemukan
BAB II
PEMBAHASAN
Cacing Ascaridia galli merupakan endoparasit yang biasanya terdapat di feses atau
tinja ternak, hal ini dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Cacing Ascaridia galli
biasanya dapat menular melalui tinja yang mengandung telur atau cacing tersebut. Hal ini
sebanding dengan pernyataan Pradana, dkk (2015) yang menyatakan bahwa jenis endoparasit
yang paling sering menyerang ayam petelur adalah telur cacing Ascaridia galli, dengan
frekuensi kehadiran 60%. Tingginya frekuensi kehadiran tersebut karena cacing ini dapat
bertahan di tempat yang lembap. Cacing Ascaridia galli tidak membutuhkan hospes
perantara, penularan cacing ini melalui pakan, air minum ataupun feses yang mengandung
telur.
Pencegahan infeksi cacing Ascaridia galli dapat dilakukan dengan cara perbaikan tata
laksana peternakan dan dapat melakukan pengaturan kepadatan kandang dan struktur flok,
higiene kandang dan pemberian antelmintika untuk menekan jumlah cacing di dalam tubuh.
Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dari
dalam tubuh manusia atau hewan. Hal ini sebanding dengan pernyataan Zalizar dan Satrija
(2009) yang menyatakan bahwa Selama ini pengendalian infeksi cacing parasit saluran
pencernaan dapat dilakukan dengan perbaikan tata laksana peternakan dan pemberian
antelmintika. Perbaikan tata laksana peternakan dimaksudkan untuk mengurangi peluang
terjadinya infeksi atau terjadinya kontak antara inang dan parasit. Sedangkan pemberian
antelmintika dimaksudkan untuk menekan jumlah cacing yang terdapat pada tubuh ternak ke
tingkat yang tidak membahayakan. Pengendalian kecacingan pada unggas dapat dilakukan
antara lain dengan pengaturan kepadatan kandang dan struktur flok, higiene kandang dan
pemberian antelmintika.
Pengobatan ternak yang terinfeksi endoparasit berupa cacing Ascaridia galli dapat
dilakukan dengan pemberian obat tradisional yaitu sari kunyit ke dalam air minum ternak,
pemberian obat tradisional ini dapat mengurangi efek samping pada ternak, lebih mudah
ditemukan dan lebih hemat. Hal ini sebanding dengan pernyataan Herawati dan Winarso
(2016) yang menyatakan bahwa pemberian sari kunyit dalam air minum mempunyai
pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
Sari kunyit dapat menurunkan jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Cacing Ascaridia galli merupakan endoparasit yang biasanya terdapat di feses atau
tinja ternak. Cacing Ascaridia galli biasanya dapat menular melalui tinja yang
mengandung telur atau cacing tersebut.
2. Panjang cacing jantan antara 30-80 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm. Sedangkan
panjang cacing betina antara 60-120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm.
3. Pencegahan infeksi cacing Ascaridia galli dapat dilakukan dengan cara perbaikan tata
laksana peternakan dan dapat melakukan pengaturan kepadatan kandang dan struktur
flok, higiene kandang dan pemberian antelmintika untuk menekan jumlah cacing di
dalam tubuh.
4. Pengobatan ternak yang terinfeksi endoparasit berupa cacing Ascaridia galli dapat
dilakukan dengan pemberian obat tradisional yaitu sari kunyit ke dalam air minum
ternak
3.2 Saran
Herawati, H., & Winarso, D. (2016). Pengaruh pemberian sari kunyit (Curcuma domestica
val.) dalam air minum terhadap jumlah telur cacing Ascaridia galli pada ayam broiler.
Jurnal Riset Agribisnis dan Peternakan, 1(2), 13-24.
Mubarokah, W. W., Daryatmo, J., Widiarso, B. P., & Sambodo, P. (2019). Morfologi Telur
dan Larva 2 Ascaridia Galli pada Ayam Kampung. Jurnal Ilmu Peternakan dan
Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science), 9(2), 50-54.
Pradana, D. P. (2015). Identifikasi cacing endoparasit pada feses ayam pedaging dan ayam
petelur. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi, 4(2). 119-123
Zalizar, L., & Satrija, F. (2009). Effect of different Dosage Infection Ascaridia galli and
Piperazine Treatment on Total Worm and Layers’ Body Weight. Animal Production,
11(3). 176-182
MATERI 3
( Eimeria maxima )
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Prosedur
1. Dibuka bagian usus dengan bantuan gunting dan pinset
2. Dibuang isi usus. Kerok bagian mukosa dengan scalpel
3. Diletakan di atas objek dan beri air secukupnya lalu tutup dengan cover glass
4. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
BAB II
PEMBAHASAN
Eimeria sp adalah jenis endoparasit yang dapat menginfeksi saluran pencernaan pada
ayam, terutama pada usus. Hal ini sebanding dengan pernyataan Pradana, dkk (2015) yang
menyatakan bahwa Endoparasit yang menginfeksi saluran pencernaan pada ayam pedaging
berdasarkan pemeriksaan feses adalah protozoa Eimeria sp (36%)
Ookista Eimeria sp. Berbentuk oval, berukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri
dari satu atau dua lapis bersifat transparan. Hal ini sebanding dengan pernyataan Ekawasti
dan Martindah (2019) yang menyatakan bahwa Morfologi Eimeria sp. dibagi menjadi dua,
yaitu stadium ookista dan sporokista/sporozoit. Bentuk umum ookista Eimeria sp. adalah
oval, dengan ukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri satu atau dua lapis yang bersifat
transparan. Ookista belum bersporulasi berisi satu sporoblast. Ookista matang berisi empat
sporokista yang masing-masing berisi dua sporozoit
1. Eimeria sp adalah jenis endoparasit yang dapat menginfeksi saluran pencernaan pada
ayam, terutama pada usus.
2. Ookista Eimeria sp. Berbentuk oval, berukuran 30x15 mikron, dinding ookista terdiri
dari satu atau dua lapis bersifat transparan.
3. Faktor pendukung terjadinya penyebaran Eimiria, sp yaitu lingkungan dan
karakteristik manajemen peternakan.
4. Pengobatan Eimeria dapat menggunakan sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
yang mengandung andrographolid, neoandrographolid, dehidroandrographolid, dan
flavonoid.
3.2 Saran
Cahyaningsih, U., Riandci, R., & Iswantini, D. (2012). Ekstrak Sambiloto (Andrographis
paniculata) Menurunkan Jumlah Skizon, Mikrogamet, Makrogamet, dan Oosista
Eimeria tenella. Jurnal Veteriner, 13(3), 322-329.
Ekawasti, F., & Martindah, E. (2019). Control of Coccidiosis in Chickens Through Herbal
Medicine. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences,
29(1), 1-12.
Diaz, R. CGSS (2017). Identifikasi Protozoa pada Digester Tipe Batch Berbahan Baku Feses
Sapi Potong dan Batubara. Students e-Journal, 6(1). 1-10
Pradana, D. P. (2015). Identifikasi cacing endoparasit pada feses ayam pedaging dan ayam
petelur. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi, 4(2). 119-123
Lampiran : Keterangan jenis jurnal, volume dan tahun
MATERI 4
( Haematopinus tuberculatus )
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Prosedur
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Diambil kerokan kulit yang terserang scabiosis
3. Ditambahkan KOH 10% yang berfungsi untuk membuka jaringan kulit
4. Diaduk dan didiamkan 5 – 10 menit
5. Buat preparat pada objek glass, tutup dengan cover glass
6. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 100x
BAB II
PEMBAHASAN
Pengobatan kutu ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian minyak mimba yang
dilarutkan dalam air, hal ini dapat mempengaruhi siklus hidupnya dan mengontrol kutu. Hal
ini sebanding dengan pernyataan Reyes and Calderon (2002) yang menyatakan bahwa
Memperbaiki drainase dapat mengontrol jumlah kutu, seperti halnya menjaga kesuburan dan
padang rumput dipangkas melalui topping. Satu studi melaporkan bahwa penggunaan minyak
mimba yang diencerkan dalam air dengan konsentrasi sebesar 1,0% memiliki insektisida
nabati dalam bentuk yang cukup azadirachtin untuk mempengaruhi siklus hidup dan untuk
mengontrol kutu ternak.
Penyebaran ektoparasit dapat terjadi ketika caplak betina dapat menghasilkan telur
sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Kemudian setelah telur menetas larva akan merayap ke
ujung rumput untuk menempel di tubuh ternak yang melewatinya. Hal ini sebanding dengan
pernyataan Sulistyaningsih (2016) yang menyatakan bahwa Caplak betina setelah kenyang
mengisap darah jatuh ke tanah dan kemudian bertelur. Caplak betina dapat betelur sebanyak
74 - 3.402 butir pada suhu 22°C - 32°C dan kelembapan 84% - 92%, caplak betina dapat
menghasilkan telur sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Telur menetas menjadi larva lalu
merayap ke ujung-ujung rumput untuk menempel pada hewan yang melewatinya. Caplak
betina bertelur di tempat yang tersembunyi seperti di bawah batu, di bawah gumpalan tanah,
celah tembok dan celah lantai. Larva yang baru menetas mencari inangnya dengan
pertolongan benda-benda di sekitarnya serta bantuan olfaktoriusnya yaitu organ Haller.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Awaludin, A., Nugraheni, Y. R., Andriani, M., Hasanah, N., & Prayitno, A. H. (2020).
Filogenetik Kutu Penghisap Darah (Haematopinus sp.) pada Beberapa Jenis Sapi
berdasarkan Gen 18S rRNA. Jurnal Ilmu Peternakan Terapan, 3(2), 31-37.
Irsya, R. P., Mairawita, M., & Herwina, H. JENIS-JENIS PARASIT PADA SAPI PERAH
DI KOTA PADANG PANJANG SUMATERA BARAT. Metamorfosa: Journal of
Biological Sciences, 4(2), 189-195.
Reyes, L.A., & Correa-Calderon, A. (2002). Parasites, External: Tick Infestations. Diseases
of Dairy Animals. vol 4. 253-257
Sulistyaningsih, S. (2016). Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi
Potong di Kota Banjarbaru. In Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian. Banjarbaru (Vol. 1324). 1320-1327
MATERI 5
1. Paddle
2. Pipet tetes
3. Beaker glass
4. CMT-Test
5. Susu mastitis
1.2. Prosedur
Infeksi mastitis subklinis adalah infeksi yang sangat tinggi jumlahnya yang
menyerang sapi perah di Indonesia, pengobatan antibiotik dapat digunakan untuk mengobati
penyakit infeksi mastitis subklinis. Hal ini sebanding dengan pernyataan Poeloengan (2019)
yang menyatakan bahwa Insiden mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (85%)
dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat subklinis. Pengobatan dengan antibiotik
merupakan pilihan utama dalam mengatasi kasus mastitis. Uji sensitivitas kuman terhadap
beberapa antibiotik telah dilakukan untuk menentukan antibiotik yang tepat untuk digunakan.
Antibiotik yang telah terbukti berguna untuk pengobatan mastitis atau radang ambing
meliputi penisilin (kloksasilin, ampisilin), sefalosporin, eritromisin, neomisin, novobiosin,
tetrasiklin dan streptomisin.
Streptococcus dan E-coli merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi
penyakit mastitis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwatiningsih, dkk (2014) yang
menyatakan bahwa bakteri patogen penyebab mastitis adalah Streptococcus agalactie,
Mycoplasma bovis dan Staphylococcus aureus. Mastitis juga dapat disebabkan oleh bakteri
yang berada di sekitar lingkungan, seperti Escherichia coli dan Klesbsilla sp. 38,5% mastitis
klinis disebabkan oleh Staphylococcus aureus, 12% disebabkan oleh Streptococcus agalactie,
6,6% oleh Streptococcus dysgalactie, 3,4% oleh Streptococcus uberis, 2,6% oleh Coliform
spp dan 0,6% oleh Pseudomonas spp.
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
1. Susu
2. Starter yoghurt
3. Bromocresol green
4. Antibiotik penicillin 0,5 IU/ML
5. Tabung reaksi 4 buah
6. Pipet
7. Rak tabung reaksi
8. Beaker glass
9. Inkubator
1.2 Prosedur
Pada pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yoghurt, hasil negatif ditandai dengan
konsistensi susu menjadi kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi sampel susu
dibalik tidak tumpah. Hal ini sebanding dengan pernyataan Detha (2014) yang menyatakan
bahwa hasil pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yogurt pada keseluruhan sampel yang
digunakan memberikan hasil negatif. Hasil negatif ditandai dengan konsistensi susu menjadi
kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi sampel susu dibalik tidak tumpah.
Hasil ini mengindikasikan bahwa sampel susu yang diuji tidak mengandung residu antibiotik
sehingga tidak menghambat pertumbuhan starter kombinasi dari Streptococcus termophillus,
dan Lactobacillus bulgaris sehingga dapat membentuk yogurt pada sampel susu.
Metode pemeriksaan Yoghurt test dan agar test dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan residu antibiotika. Hal ini sebanding dengan pernyataan Aisyah (2011) yang
menyatakan bahwa Keberadaan residu antibiotika pada ternak cukup mudah dideteksi oleh
laboratorium baik dengan Yoghurt test ataupun dengan maupun Agar Test sehinggga tidak
semua susu segar yang disetor KUD dapat diterima industri pengolahan susu.
Fase adaptasi ialah dimana mikroba beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pada
fase ini terdapat residu antibiotika penicillin. Hal ini sebanding dengan pernyataan Yulistiani
(2009) yang menyatakan bahwa Pada fase adaptasi, mikroba melakukan penyesuaian diri
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya dimana pada fase ini terdapat residu antibiotika
Penicillin yang efektif terhadap Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus
(merupakan bakteri gram positif), sehingga berpengaruh terhadap total bakteri asam laktat
yang dihasilkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pada pemeriksaan residu antibiotika dengan uji yoghurt, hasil negatif ditandai dengan
konsistensi susu menjadi kental akibatnya pada saat dibalik, tabung yang berisi
sampel susu dibalik tidak tumpah.
2. Pemeriksaan residu antibiotika dapat dilakukan dengan beberapa cara, salahsatunya
mikrobiologi dari kundrat yang merupakan cara yang dianggap baik, cepat, dan
sensitif.
3. Metode pemeriksaan Yoghurt test dan agar test dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan residu antibiotika.
4. Fase adaptasi ialah dimana mikroba beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pada
fase ini terdapat residu antibiotika penicillin.
3.2 Saran
Aisyah, S. (2013). Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe
barbadensis miller. Jurnal Gamma, 7(1). 50-60
Detha, A. I. R. (2014). Pengujian residu antibiotik pada susu. Jurnal Kajian Veteriner, 2(2),
203-208.
Meutia, N., T. Rizalsyah, S. Ridha, M.K.Sari. (2016). Residu antibiotika dalam air susu segar
yang berasal dari peternakan di wilayah Aceh Besar. Jurnal Ilmu Ternak Universitas
Padjadjaran, 16(1). 1-5
Yulistiani, R. 2009. Produksi Starter Yoghurt yang Resisten Terhadap Residu Antibiotika
Penicillin pada Susu dan Aplikasinya pada Pembuatan Yoghurt. Jurnal Penelitian Ilmu
Teknik. 9(1). 1-10