Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRESENTASI KASUS

MIXED HEARING LOSS

Pembimbing:
dr. Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
M Bintang Ibrahim
G4A022055

SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRESENTASI KASUS


MIXED HEARING LOSS

Disusun Oleh:
M BINTANG IBRAHIM
G4A022055

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Purwokerto, September 2022
Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena atas
rahmat dan barokah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan presentasi kasus poli ini
dengan judul “Mixed Hearing Loss”. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada para
pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, terutama dr.
Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp.THT-KL selaku pembimbing. Laporan presentasi kasus poli ini
merupakan salah satu tugas di SMF Telinga, Hidung, dan Tenggorokan.
Penulis menyadari laporan presentasi kasus poli ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan
penulisan di masa yang akan datang. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga
laporan presentasi kasus poli ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, khususnya bagi penulis yang
sedang menempuh pendidikan.

Purwokerto, September 2022


BAB I
PENDAHULUAN

Seseorang yang tidak dapat mendengar sebaik seseorang yang memiliki pendengaran
normal (ambang pendengaran 20 dB atau lebih baik pada kedua telinga) dikatakan
mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran mungkin ringan, sedang, berat,
atau berat. Hal ini dapat mengenai satu telinga atau kedua telinga, dan menyebabkan
kesulitan dalam mendengar percakapan atau suara keras. Sulit mendengar mengacu pada
orang dengan gangguan pendengaran mulai dari ringan hingga berat. Orang dengan gangguan
pendengaran biasanya berkomunikasi melalui bahasa lisan dan dapat memperoleh manfaat
dari alat bantu dengar, implan koklea, dan alat bantu lainnya. Orang tuli kebanyakan
mengalami gangguan pendengaran yang parah, artinya sangat sedikit atau tidak ada
pendengaran sama sekali. Mereka sering menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi
(Kushalnagar, 2019; WHO, 2021).
Gangguan pendengaran dapat bersifat konduktif, sensorineural, atau campuran.
Gangguan pendengaran konduktif (CHL) terjadi dengan gangguan transmisi gelombang suara
ke koklea. Penyebab paling umum termasuk pembentukan abnormal dari daun telinga atau
heliks, impaksi serumen, benda asing saluran telinga, otitis eksterna, disfungsi atau fiksasi
tulang pendengaran, dan efusi telinga tengah. Gangguan pendengaran sensorineural (SNHL)
biasanya terjadi akibat transmisi rangsangan yang bermasalah pada atau setelah koklea.
Kehilangan ini bisa terkait dengan disfungsi sel rambut atau gangguan saraf kedelapan itu
sendiri. Perbedaan utama antara kedua jenis gangguan pendengaran selain dari fitur
patofisiologi adalah bahwa pasien dengan gangguan pendengaran konduktif merasakan suara
yang berkurang, sedangkan pasien SNHL mungkin merasakan suara yang berkurang dan
terdistorsi. Gangguan pendengaran yang melibatkan masalah transmisi sebelum dan sesudah
koklea disebut gangguan pendengaran campuran (Sooriyamoorthy dan Jesus, 2021; Tanna et
al., 2021).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
No. RM : 220919xxx
Nama : Ny. E
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Kaliori
2. Keluhan Utama
Telinga Berdengung
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasieng mengeluhkan telinga berdengung pada kedua telinganya sehingga membuat
pendengaran berkurang sejak 2 tahun lalu, hal ini diawali dengan adanya sensasi
kepala berputar/vertigo. Keluhan suara berdengung ini terus berjalan dan diperparah
setelah memakan makanan pedas, serta tidak membaik setelah istirahat. Keluhan
pasien terus berlanjut semakin parah selama 2 tahun. pasien tidak memiliki riwayat
merokok dan hipertensi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riw. Pendengaran berkurang (+)
Riw. Vertigo (+)
Riw. Keluar darah dari telinga (+)
Riw. minum alcohol dan merokok disangkal
Riw. Hipertensi dan diabetes disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riw. keluhan serupa (-)
Riw. kanker (-)
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien saat ini bekerja sebagai ibu rumah tangga & tinggal bersama keluarganya.
Pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 117/78 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,6 °C
4. Antropometri
BB : 48 kg
TB : 166 cm
IMT : 17,4 kg/m2 (BB Kurang)
5. Status Lokalis
a. Telinga

Auricula Dextra Sinistra Keterangan


Hiperemis - -
Edema - -
Tragus Pain - -
Antitragus Pain - -
Retroauricula
Hiperemis - -
Edema - -
Nyeri tekan - -
MAE
Edema - -
Hiperemis - -
Serumen + + minimal
Discharge - -
Membran Timpani
Refleks cahaya + + anteroinferior
Perforasi - -
Kolesteatoma - -
Jaringan granulasi
Hiperemis - -

b. Hidung

Rhinoskopi Anterior Dextra Sinistra Keterangan


Deviasi seprum nasi - -
Konka inferior edema, hiperemis - -
Konka media edema, hiperemis - -
Discharge - -
Massa - -
Rhinoskopi Posterior Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

c. Tenggorokan

1) Uvula Tepat di tengah


2) Tonsil Dextra Sinistra Keterangan
a) Tonsil T1 T1
b) Hipertrofi - -
c) Kripte - - tidak melebar
d) Detritus - -
e) Hiperemis - -
3) Mulut - -
a) Lidah : atrofi (-), tremor (-)
b) Gigi : ulkus (-), perdarahan (-)
4) Orofaring
a) Granulasi : (-)
b) Hiperemis : (-)
c) Post Nasal Drip : (-)
d) Massa : (-)
5) Vagal reflex : (+)
6) Laringoskop indirek : tidak dilakukan

d. Pemeriksaan fisik tambahan


- Otoskopi AD/AS :

Gambar 2.1 Gambaran Otoskopi


- Pemeriksaan garpu tala
Garputala Dextra Sinistra

Tes Rinne Negatif Negatif

Tes Weber Tidak ada lateralisasi

Tes Scwabah Memendek Memendek

Kesan ADS Tuli Campuran

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Audiometri
Interpretasi : konduksi tulang lebih dari 25 dB dan kondusi udara lebih besar
dibandingkan konduksi tulang serta terdapat gap.
Kesan : Mixed Hearing Loss ADS Derajat Sangat Berat

Gambar 2.2 Pemeriksaan Audiometri


D. Diagnosis
Mixed Hearing Loss ADS Sangat Berat suspek et causa otosklerosis
E. Diagnosis Banding
Mixed Hearing Loss ADS Sangat Berat suspek et causa trauma telinga
Mixed Hearing Loss ADS Sangat Berat suspek et causa OMSK
Meniere’s Disease
F. Terapi
1. Medikamentosa
a. Piracetam Tablet 1200 mg
b. Betahistine Tablet 6 mg
c. Mecobalamin Kapsul 0,5 mg

G. Usulan Pemeriksaan Penunjang


a. Timpanometri
b. Pemeriksaan impedance
c. CT Scan/MRI
H. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad malam
3. Quo ad functionam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gangguan pendengaran dapat bersifat konduktif, sensorineural, atau campuran.
Gangguan pendengaran campuran merupakan gangguan pendengaran yang memiliki
komponen gangguan konduksi dan sensorineural. Gangguan pendengaran campuran
melibatkan masalah transmisi sebelum dan sesudah koklea disebut gangguan
pendengaran campuran. Demikian pula, tidak ada yang mencegah individu tertentu
dari memiliki dua penyebab gangguan pendengaran: yang mengarah ke gangguan
pendengaran konduktif (seperti otitis media) dan yang lain menyebabkan hilangnya
sensorik (seperti paparan kebisingan) (Kushalnagar, 2019; WHO, 2021;
Sooriyamoorthy dan Jesus, 2021; Tanna et al., 2021)
B. ANATOMI TELINGA
Telinga dibagi menjadi tiga wilayah anatomis: telinga luar, telinga tengah, dan
telinga dalam Telinga luar merupakan bagian telinga yang terlihat berfungsi unutk
mengumpulkan dan mengarahkan gelombang suara ke telinga tengah, sebuah ruangan
yang terletak di dalam bagian petrosa tulang temporal. Struktur telinga tengah
mengumpulkan gelombang suara dan mengirimkannya ke bagian yang tepat dari
telinga bagian dalam, yang berisi organ sensorik untuk pendengaran dan keseimbangan
(Martini, 2015).

Gambar 3.1. Anatomi Telinga (Martini, 2015).


Telinga luar termasuk daun telinga berdaging dan tulang rawan, atau pinna, yang
mengelilingi lorong yang disebut meatus akustik eksternal, atau saluran pendengaran.
Daun telinga melindungi pembukaan kanal dan memberikan kepekaan arah. Suara
yang datang dari belakang kepala diblokir oleh daun telinga, tetapi suara yang datang
dari samping atau depan dikumpulkan dan disalurkan ke meatus akustik eksternal.
Meatus akustik eksternal berakhir di membran timpani atau gendang telinga.
Lembaran tipis semitransparan ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah
(Martini, 2015).
Membran timpani sangat halus. Daun telinga dan meatus akustik eksternal yang
sempit memberikan perlindungan dari cedera yang tidak disengaja. Selain itu, kelenjar
seruminosa merupakan kelenjar integumen di sepanjang meatus akustikus eksterna
berfungsi mensekresi bahan lilin yang membantu mencegah benda asing atau serangga
kecil. Kanal juga dilapisi dengan banyak rambut kecil yang menonjol ke luar. Rambut-
rambut ini menjebak puing-puing dan juga memberikan peningkatan sensitivitas
sentuhan melalui pleksus rambut akarnya. Sekresi sedikit lilin dari kelenjar serumen,
yang disebut serumen, juga memperlambat pertumbuhan mikroorganisme dan
mengurangi kemungkinan infeksi (Martini, 2015).
Telinga tengah atau rongga timpani adalah ruang berisi udara yang dipisahkan dari
meatus akustik eksternal oleh membran timpani. Telinga tengah berkomunikasi baik
dengan nasofaring (bagian superior faring), melalui tuba auditori, dan dengan sel-sel
udara mastoid, melalui sejumlah koneksi kecil. Tuba auditori juga disebut tuba
faringotimpani atau tuba Eustachius. Panjangnya sekitar 4 cm (1,6 inci), terdiri dari
dua bagian. Bagian dekat sambungan ke telinga tengah sempit dan didukung oleh
tulang rawan elastis. Bagian dekat lubang nasofaring lebar dan berbentuk corong. Tuba
auditori menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani. Sayangnya, tuba
auditori juga dapat memungkinkan mikroorganisme untuk melakukan perjalanan dari
nasofaring ke telinga tengah. Invasi mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi
telinga tengah yang dikenal sebagai otitis media (Martini, 2015).
Telinga tengah berisi tiga tulang telinga kecil. Tulang telinga ini menghubungkan
membran timpani dengan salah satu kompleks reseptor telinga bagian dalam. Tiga
tulang pendengaran adalah maleus, inkus, dan stapes. Maleus menempel pada tiga titik
ke permukaan interior membran timpani. Inkus menempelkan maleus ke stapes. Stapes
terikat pada tepi jendela oval, sebuah lubang di tulang temporal yang mengelilingi
telinga bagian dalam. Artikulasi antara tulang-tulang pendengaran adalah sendi
sinovial terkecil di tubuh. Masing-masing memiliki kapsul sendi kecil dan ligamen
ekstrakapsular pendukung. Di telinga tengah, dua otot kecil melindungi membran
timpani dan ossicles dari gerakan kekerasan dalam kondisi yang sangat bising
(Martini, 2015) :
a. Musculus tensor tympani adalah otot pita pendek 17 yang berasal dari bagian
petrosa tulang temporal dan tuba auditiva, dan memasukkan pada "pegangan"
maleus. Ketika tensor timpani berkontraksi, ia menarik maleus ke medial, sehingga
membran timpani menjadi kaku. Peningkatan kekakuan ini mengurangi jumlah
gerakan. Otot tensor timpani dipersarafi oleh serabut motorik dari cabang
mandibula nervus trigeminal (V).
b. Musculus stapedius dipersarafi oleh nervus fasialis (VII), berasal dari dinding
posterior telinga tengah dan berinsersi pada stapes. Kontraksi stapes menarik
stapes, mengurangi pergerakan stapes di jendela oval.

Gambar 3.2 Anatomi Telinga Tengah (Martini, 2015).


Reseptor di telinga bagian dalam memberikan indera keseimbangan dan
pendengaran. Kontur superfisial telinga bagian dalam dibentuk oleh lapisan tulang
padat yang dikenal sebagai labirin tulang (labirintos, jaringan kanal). Dinding labirin
tulang bersambung dengan tulang temporal di sekitarnya. Kontur bagian dalam labirin
tulang mengikuti dengan cermat kontur labirin membranosa, jaringan halus yang saling
berhubungan dari tabung berisi cairan. Reseptor telinga bagian dalam ditemukan di
dalam tabung tersebut. Antara labirin tulang dan membranosa mengalir perilimfe,
cairan yang sangat mirip dengan cairan serebrospinal. Labirin membran mengandung
endolimfe, cairan dengan konsentrasi elektrolit yang berbeda dari cairan tubuh biasa.
Tulang labirin dapat dibagi menjadi vestibula, 3 kanalis semisirkularis, dan koklea.
Vestibulum terdiri dari sepasang kantung bermembran: sakulus dan utriculus. Reseptor
dalam kantung ini memberikan sensasi gravitasi dan percepatan linier. Kanalis
semisirkularis membungkus duktus semisirkularis yang ramping. Reseptor di duktus
semisirkularis dirangsang oleh rotasi kepala. Ruang berisi cairan di dalam vestibulum
bersambung dengan saluran setengah lingkaran. Koklea (cangkang siput) adalah ruang
bertulang berbentuk spiral yang berisi saluran koklea labirin membran. Reseptor di
dalam duktus koklea memberikan indera pendengaran. Saluran ini terjepit di antara
sepasang ruang berisi perilimfe. Seluruh kompleks spiral di sekitar pusat tulang, seperti
cangkang siput (Martini, 2015).

Gambar 3.3 Anatomi Telinga Dalam (Martini, 2015).

Proses mendengar dapat dibagi menjadi 6 langkah (Martini, 2015):


1. Gelombang suara tiba di membran timpani.
Gelombang suara memasuki meatus akustik eksternal dan berjalan menuju
membran timpani. Orientasi saluran pendengaran memberikan beberapa sensitivitas
arah. Gelombang suara mendekati sisi tertentu dari kepala memiliki akses langsung ke
membran timpani di sisi itu. Suara yang datang dari arah lain harus membelok di
sekitar sudut atau melewati daun telinga atau jaringan tubuh lainnya.
2. Pergerakan membran timpani menyebabkan perpindahan dari tulang-tulang
pendengaran.
Membran timpani menyediakan permukaan untuk pengumpulan suara. Membran
bergetar dalam resonansi gelombang suara dengan frekuensi antara sekitar 20 dan
20.000 Hz. Ketika membran timpani bergetar, begitu juga maleus, inkus, dan stapes.
Dengan cara ini, suara diperkuat.
3. Pergerakan stapes pada jendela oval menimbulkan gelombang tekanan di perilimfe
skala vestibuli.
Cairan tidak dapat dimampatkan. Jika menekan salah satu bagian dari dasar air,
tempat tidur menonjol di tempat lain. Karena sisa koklea dilapisi tulang, tekanan yang
diberikan pada jendela oval dapat dikurangi hanya pada jendela bundar. Stapes
sebenarnya memiliki gerakan goyang, tetapi komponen masuk-keluar paling mudah
untuk divisualisasikan dan dijelaskan. Pada dasarnya, ketika stapes bergerak ke
dalam, jendela bundar menonjol ke luar, ke dalam rongga telinga tengah. Saat stapes
bergerak masuk dan keluar, bergetar pada frekuensi suara yang tiba di membran
timpani, itu menciptakan gelombang tekanan di dalam perilimfe.
4. Gelombang tekanan mendistorsi membran basilar dalam perjalanannya ke jendela
bundar skala timpani.
Stapes menciptakan gelombang tekanan yang berjalan melalui perilimfe skala
vestibuli dan skala timpani untuk mencapai jendela bundar. Dengan demikian,
gelombang mendistorsi membran basilar. Lokasi distorsi maksimum bervariasi
dengan frekuensi suara, karena perbedaan regional dalam lebar dan fleksibilitas
membran basilar sepanjang panjangnya. Bunyi berfrekuensi tinggi, yang memiliki
panjang gelombang sangat pendek, menggetarkan membran basilar di dekat jendela
oval. Semakin rendah frekuensi suara, semakin panjang panjang gelombang, dan
semakin jauh dari jendela oval adalah area distorsi maksimum. Dengan cara ini,
informasi tentang frekuensi diterjemahkan ke dalam informasi tentang posisi
sepanjang membran basilar. Jumlah gerakan di lokasi tertentu tergantung pada jumlah
gaya yang diterapkan oleh stapes, yang pada gilirannya tergantung pada kandungan
energi suara. Semakin keras suara, semakin banyak membran basilar bergerak.
5 Getaran membran basilaris menyebabkan sel-sel rambut bergetar melawan
membran tektorial.
Getaran daerah yang terkena dari membran basilar menggerakkan sel-sel rambut
melawan membran tektorial. Gerakan ini menyebabkan perpindahan stereosilia, yang
pada gilirannya membuka saluran ion di membran plasma sel rambut. Masuknya ion
yang dihasilkan terdepolarisasi sel-sel rambut, menyebabkan pelepasan
neurotransmiter yang merangsang neuron sensorik. Sel-sel rambut organ spiral
tersusun dalam beberapa baris. Suara yang sangat lembut mungkin hanya merangsang
beberapa sel rambut di sebagian dari satu baris. Saat intensitas suara meningkat, tidak
hanya sel-sel rambut ini menjadi lebih aktif, tetapi sel-sel rambut tambahan —
pertama di baris yang sama dan kemudian di baris yang berdekatan — juga
dirangsang. Jumlah sel rambut yang merespons di wilayah tertentu dari organ spiral
memberikan informasi tentang intensitas suara.
6 Informasi tentang daerah dan intensitas rangsangan disampaikan ke SSP melalui
cabang koklea saraf kranial VIII.
Badan sel neuron sensorik bipolar yang memantau sel rambut koklea terletak di
tengah koklea tulang, di ganglion spiral. Kemudian, informasi dibawa oleh cabang
koklea saraf kranial VIII ke inti koklea medula oblongata untuk didistribusikan ke
pusat-pusat lain di otak.

Gambar 3.4 Fisologi Pendengaran (Martini, 2015).

C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi terjadinya tuli campuran lebih sedikit dibandingkan dengan tuli
konduktif maupun tuli sensorineural. Gangguan pendengaran konduktif sering terjadi
pada pasien yang lebih muda karena kondisi seperti otitis media dengan efusi. Sebuah
studi pada anak-anak sekolah dasar menemukan prevalensi gangguan pendengaran
menjadi 15%, dengan 88,9% dari mereka yang konduktif. Gangguan pendengeran
sensorineural juga sering ditemukan dalam berbagai tingkatan usia. Mulai dari
gangguan pendengaran kongenital hampir selalu bersifat sensorineural, pada populasi
dewasa diperkirakan bahwa 16% orang dewasa di seluruh dunia yang mengalami
gangguan pendengaran terkait dengan kebisingan pekerjaan dan tuli sensorineural
yang dikaitkan usia tua adalah presbikusis. Beberapa penelitian menemukan
prevalensi tuli campuran diperkirakan <10% dari seluruh kasus gangguan
pendengaran (Sooriyamoorthy dan Jesus, 2021; Tanna et al., 2021; Verhaert et al.,
2013; Zafar et al., 2020).
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Gangguan pendengaran campuran mengacu pada gangguan pendengaran
konduktif dan sensorineural. Pada gangguan pendengaran campuran terdapat
gangguan pendengaran melalui konduksi tulang tetapi terdapat pula gangguan
pendengaran yang lebih besar melalui konduksi udara (ada air-bone gap). Dalam
praktik klinis, sebagian besar kasus dengan etiologi sensorineural tetap berada dalam
klasifikasi tersebut tanpa elemen konduktif tambahan. Sebaliknya, kebanyakan kasus
yang dimulai sebagai gangguan pendengaran konduktif kemudian berkembang
menjadi beberapa keterlibatan sensorineural (otosklerosis dan presbikusis, otitis
media kronis dan labirinitis). Otosklerosis dianggap mempertahankan karakter
konduktif murninya selama bertahun-tahun, namun saat ini diakui bahwa kondisi ini
mengembangkan gangguan sensorineural dalam kasus yang sama (CDC, 2022;
Nickbakht dan Borzoo, 2014; Lisan et al., 2022; Davis dan Wood, 1992; Colletti et
al., 2006).
Dalam beberapa kasus, satu penyebab spesifik dapat mendasari adanya
kehilangan campuran (seperti otosklerosis yang mulai menyerang koklea itu sendiri).
Dalam kasus lain, gangguan pendengaran campuran ini mungkin mencerminkan
penyebab mendasar yang berbeda, seperti adanya infeksi telinga tengah pada anak
dengan gangguan pendengaran sensorineural yang sudah ada sebelumnya. Dampak
dari hilangnya campuran adalah menghambat transmisi suara melalui telinga
luar/tengah ke telinga bagian dalam yang sudah rusak (CDC, 2022; Nickbakht dan
Borzoo, 2014; Lisan et al., 2022; Davis dan Wood, 1992).
Banyak penyebab gangguan pendengaran campuran tumpang tindih dengan
penyebab SNHL. Misalnya, baik sindrom BOR dan CHARGE dapat menyebabkan
gangguan pendengaran campuran, dengan komponen konduktif karena malformasi
telinga tengah dan tulang pendengaran. Pemeriksaan diagnostik dan pengelolaan
gangguan pendengaran campuran perlu dilakukan secara individual, tetapi akan
mencakup elemen yang dijelaskan untuk CHL dan SNHL. Sebagai contoh, jika
terdapat komponen konduktif yang besar, klinisi dapat menggabungkan CT scan dan
MRI dalam evaluasi, karena kemampuan sebelumnya untuk mengevaluasi tulang
pendengaran. Di luar studi pencitraan, bagaimanapun, sisa evaluasi difokuskan pada
identifikasi penyebab yang mendasari komponen sensorineural. Perawatan biasanya
melibatkan perawatan medis atau bedah dari komponen telinga luar atau tengah dan
strategi yang disebutkan sebelumnya bagi mereka yang mengalami gangguan
pendengaran sensorineural (CDC, 2022; Nickbakht dan Borzoo, 2014; Lisan et al.,
2022; Davis dan Wood, 1992).
Gangguan pendengaran campuran biasanya terjadi ketika telinga mengalami
trauma. Hal ini juga dapat terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu ketika satu
gangguan pendengaran diperparah oleh yang lain. Misalnya, seseorang dengan
gangguan pendengaran konduktif yang berlangsung lama mungkin mengalami
gangguan pendengaran terkait usia seiring bertambahnya usia. Atau, seseorang
dengan gangguan pendengaran terkait usia mungkin mengalami gangguan
pendengaran campuran sementara karena impaksi serumen. Cedera ledakan atau jenis
trauma lainnya dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dan
konduktif secara bersamaan (Liu et al., 2001; Garg et al.,2018; Medwetsky, 2007;
Germiller, 2007; Bukart, 2017).
Gangguan pendengaran dapat terjadi pada seseorang dengan tuli sensorineural
permanen terlebih dahulu dan kemudian juga berkembang tuli konduktif. Contohnya,
seseorang yang sudah tuli sensorineural dan kemudian mengalami infeksi pada telinga
tengah sehingga akan menghasilkan tuli campuran yang akan memperburuk
pendengaran. Kondisi ini dapat berbalik yaitu pasien mengalami tuli konduktif
(otosklerosis) terlebih dahulu kemudian berkembang menjadi tuli sensorineural (Liu
et al., 2001; Garg et al.,2018).
Gangguan pendengaran campuran menjadi lebih umum juga pada otosklerosis
setelah stapedektomi. Defisit sensorineural dapat disebabkan oleh penetrasi jendela
oval dengan paparan perilimfe. Meskipun perawatan bedah dilakukan dengan cermat,
telinga bagian dalam juga dapat mudah mengalami trauma dan menjadi lebih rentan
terhadap infeksi. Pada trauma bedah pada telinga bagian dalam, gangguan
pendengaran frekuensi tinggi sering kali turun di bawah tingkat sebelum operasi dan
pasien mungkin mengeluhkan diskriminasi yang berkurang meskipun ambang nada
murninya meningkat. Dalam setiap kasus gangguan pendengaran campuran,
seseorang harus menentukan berapa banyak defisit konduktif dan berapa banyak
sensorineural. Prognosis sangat tergantung pada perkiraan ini. Cara terbaik untuk
memperkirakan komponen konduktif dan sensorineural dari gangguan pendengaran
adalah dengan melakukan semua tes yang mungkin untuk memperkirakan potensi
sensorineural pasien atau "cochlear reserve". Selain konduksi tulang rutin, skor
diskriminasi bicara sangat penting. Jika pasien mendengar dan membedakan dengan
baik ketika ucapan dibuat lebih keras, maka elemen konduktif mungkin merupakan
penyebab utama kesulitan pendengaran, dan ada kemungkinan besar bahwa
pembedahan akan memperbaiki pendengaran. Apabila pasien tidak mengerti lebih
baik dengan alat bantu dengar atau ketika suara dinaikkan, pendengaran tidak
membaik bahkan jika bagian konduktif dari gangguan pendengaran campuran
dikoreksi (Liu et al., 2001; Garg et al.,2018; Medwetsky, 2007; Germiller, 2007;
Bukart, 2017).

Gambar 3.1. Penyebab Gangguan Pendengaran Campuran (Newsted et al., 2020)

E. PATOFISIOLOGI
Temuan gangguan pendengaran konduktif dan sensorik dalam kombinasi disebut
gangguan pendengaran campuran. Gangguan pendengaran campuran disebabkan oleh
patologi telinga tengah dan dalam, seperti yang dapat terjadi pada otosklerosis yang
melibatkan tulang-tulang pendengaran dan koklea, trauma kepala, otitis media kronis,
kolesteatoma, tumor telinga tengah, dan beberapa malformasi telinga bagian dalam
(Hauser dan Joephson, 2013).
Pada otosklerosis beberapa faktor etiologi terlibat dengan diskrasia. Remodeling
tulang terjadi secara lokal di dalam kapsul otic dengan resorpsi tulang diikuti oleh
deposisi tulang di fokus lesi.  Meskipun remodeling terjadi di tulang lain dari tubuh,
secara fisiologis tidak terlihat di kapsul otic. Lesi tersebut merupakan penggantian
tulang normal dengan tulang sklerotik atau spongiotik. Penyakit histologis
berkembang secara bertahap. Osteosit osteolitik muncul di tepi depan lesi dan
lembaran jaringan ikat dapat terlihat menggantikan tulang. Pembentukan tulang
sklerotik yang padat di area resorpsi sebelumnya menandakan fase akhir
otosklerosis. Hasilnya adalah tulang yang tidak teratur, peningkatan jumlah osteosit,
dan ruang sumsum yang melebar yang terdiri dari pembuluh darah dan jaringan ikat
lainnya. Ruang sumsum kemudian digantikan oleh tulang sklerotik padat dengan
pembuluh darah sempit dan beberapa sistem Haversian yang dapat
dikenali. Pleomorfisme disebabkan oleh koeksistensi normal dari kedua tahap
otosklerosis pada tulang temporal tunggal. Lesi awal sering berdekatan dengan fissula
ante fenestram dan meluas melalui saluran vaskular.  Pada sebagian besar kasus, lesi
terbatas pada jendela oval anterior dan mempengaruhi patologinya dengan kalsifikasi
ligamen annular atau dengan melibatkan stapes. Kedua proses menghasilkan
gangguan pendengaran konduktif (Zafar et al., 2020).
Trauma yang mengakibatkan fraktur os temporal dapat dikaitkan dengan
gangguan pendengaran konduktif, sensorineural, atau campuran. Apabila fraktur tidak
mengenai telinga bagian dalam, mungkin hanya ada gangguan pendengaran konduktif
karena pecahnya membran timpani atau gangguan tulang pendengaran. Kelainan ini
dapat diperbaiki dengan pembedahan. Kehilangan pendengaran yang dalam dan
vertigo yang berat berhubungan dengan patah tulang temporal yang melibatkan
telinga bagian dalam. Fistula perilimfatik yang terkait dengan kebocoran cairan
telinga bagian dalam ke telinga tengah dapat terjadi dan mungkin memerlukan
perbaikan bedah (Hauser dan Joephson, 2013).
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis pada kasus anak sangat penting untuk diagnosis dini
gangguan pendengaran. Anamnesis ini mencakup pertanyaan mengenai
riwayat prenatal anak, persalinannya, dan hari-hari pertama kehidupan, serta
riwayat postnatal hingga saat munculnya gejala, serta riwayat keluarga dengan
gangguan pendengaran. Seorang anak dengan gangguan pendengaran mungkin
muncul dengan tidak adanya respon terhadap suara, masalah perilaku, masalah
bicara, keterlambatan bahasa, atau bahkan kegagalan sekolah, serta salah
mengucapkan kata-kata. Riwayat keluarga, terutama jika ada anggota yang
mengalami gangguan pendengaran dini, juga memiliki nilai yang besar dalam
menduga adanya gangguan pendengaran (Pereira dan Bahmad, 2015;
Cunningham dan Tucci, 2017; Anastasiadou dan Al Khalili, 2019).
Riwayat orang dewasa lebih mudah dan melibatkan pertanyaan
mengenai timbulnya gejala, tingkat keparahan, adanya vertigo, gejala
neurologis, infeksi, dan kondisi lain yang mungkin terkait dengan gangguan
pendengaran. Poin-poin penting yang harus diperoleh termasuk usia onset,
lateralitas gejala, progesivisitas, gejala yang berfluktuasi, dan gejala terkait
seperti tinitus, rasa penuh pada telinga, otalgia, otore, kelemahan otot wajah,
ketidakseimbangan, dan vertigo. Riwayat medis masa lalu, serta riwayat
keluarga, bersama dengan pekerjaan dan paparan kebisingan, juga
penting. Memperkirakan tingkat gangguan pendengaran sangat penting untuk
mengarahkan rehabilitasi dan untuk menilai apakah gangguan pendengaran itu
baru atau memburuknya gambaran yang sudah ada. Operasi telinga
sebelumnya, riwayat paparan kebisingan, trauma kepala sebelumnya,
barotrauma, atau paparan ototoksik terhadap aminoglikosida ditanyakan.
Dengan cara ini, ada perbedaan antara penyebab gangguan pendengaran, dan
dokter dapat melanjutkan ke pemeriksaan yang sesuai (Pereira dan Bahmad,
2015; Cunningham dan Tucci, 2017; Anastasiadou dan Al Khalili, 2019).
Pasien yang datang dengan presbikusis akan memberikan riwayat
penurunan pendengaran yang progresif. Mereka menyalakan televisi lebih
keras dari biasanya dan meminta orang lain untuk bicara lebih
keras. Seringkali anggota keluarga yang memperhatikan hal ini terlebih
dahulu. Akan ada riwayat paparan kebisingan pribadi atau paparan pekerjaan
dalam kasus gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
kebisingan. Riwayat sosial sering membantu memandu manajemen dan
memberikan wawasan tentang bagaimana gejala pasien memengaruhi
kehidupan dan keluarga mereka. Banyak pasien dengan gangguan
pendengaran merasa sangat terisolasi (Pereira dan Bahmad, 2015;
Cunningham dan Tucci, 2017; Anastasiadou dan Al Khalili, 2019).
2. Pemeriksaan Fisik
Saat menemui pasien di klinik dengan gangguan pendengaran, selain
pemeriksaan otologi, pemeriksaan kepala dan leher secara menyeluruh,
termasuk semua saraf kranial, sangat penting dilakukan meskipun biasanya
normal. Pemeriksaan otolaringologi lengkap adalah wajib untuk pasien dengan
gangguan pendengaran. Kedua telinga harus diperiksa dengan otoskop atau
mikroskop. Pemeriksa dapat melihat sumbatan saluran telinga dengan
serumen, debris, atau benda asing. Stenosis kanal, yang mungkin bawaan atau
akibat infeksi berulang, dapat terlihat. Membran timpani harus
divisualisasikan untuk menyingkirkan infeksi akut, efusi, perforasi,
hemotimpanum, atau adanya kolesteatoma. Sekitar 90% pasien dengan
otosklerosis memiliki membran timpani normal, sedangkan 10% memiliki
semburat merah muda yang disebut tanda Schwartz. Jika orang dewasa
diketahui memiliki efusi, maka nasoendoskopi fleksibel harus dilakukan di
klinik untuk melihat ruang postnasal (Pereira dan Bahmad, 2015; Cunningham
dan Tucci, 2017; Anastasiadou dan Al Khalili, 2019).
Tes garpu tala adalah tes skrining yang berguna, yang dapat dilakukan di
klinik untuk melihat apakah gangguan pendengaran bersifat konduktif atau
sensorineural. Tes ini lebih cocok untuk gangguan pendengaran unilateral dan
ketika gangguan pendengaran bukan tipe campuran. Tes Weber dan Rinne
mudah, cepat, dan berguna secara global untuk membedakan antara SNHL dan
gangguan pendengaran konduktif dan dapat membantu dalam menafsirkan
audiogram formal (Pereira dan Bahmad, 2015; Cunningham dan Tucci, 2017;
Anastasiadou dan Al Khalili, 2019).
Kasus gangguan pendengaran bilateral atau gangguan pendengaran
campuran lebih baik dinilai menggunakan audiometri nada murni daripada tes
garpu tala.  Pada gangguan pendengaran konduktif, garpu tala akan terdengar
lebih keras di telinga yang terkena. Pada gangguan pendengaran sensorineural,
garpu tala akan terdengar lebih keras di telinga yang tidak terpengaruh. Hal ini
digunakan bersama dengan tes Rinne, di mana lagi garpu tala 512Hz yang
bergetar ditempatkan pada prosesus mastoid sampai pasien tidak dapat
mendengarnya lagi, dan kemudian 1 cm dari meatus akustik eksternal. Hasil
normal adalah ketika konduksi udara terdengar lebih baik daripada konduksi
tulang (Rinne positif). Jika konduksi tulang lebih baik daripada konduksi
udara (Rinne negatif), terdapat gangguan pendengaran konduktif (Pereira dan
Bahmad, 2015; Cunningham dan Tucci, 2017; Anastasiadou dan Al Khalili,
2019).
Pada tuli campuran dapat ditemukan tes rinne negatif, tes swabach
memendek dan tes weber lateralisasi ke telinga sehat. Namun pemeriksaan
garpu tala kurang sensitif terhadap tuli campuran sehingga perlu pemeriksaan
tambahan lainnya seperti audiometri. Pemeirksaan tes penala juga dapat
ditemukan tuli sensorineural saja pada pasien yang sebenarnya mengalami tuli
campuran (Pereira dan Bahmad, 2015; Cunningham dan Tucci, 2017;
Anastasiadou dan Al Khalili, 2019; Zwartenkot et al., 2014; Ramsay dan
Linthicum, 1994; Dimitrov dan Gossman, 2019).

Gambar 3.2. Pemeriksaan Garpu Tala (Newsted et al., 2020)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Audiometri nada murni
Gangguan pendengaran campuran ditandai dengan peningkatan
ambang konduksi udara dan konduksi tulang, dengan air-bone gap
sebesar 15 dB atau lebih. Tuli campur digambarkan sebagai konduksi
tulang lebih dari 25 dB dan kondusi udara lebih besar dibandingkan
konduksi tulang serta terdapat gap (Soetirto dan Bashiruddin, 2007;
Hill-Feltham et al., 2021; Wardenga et al., 2020; Burrell et al., 1996).
Gambar 3.3. Pemeriksaan Audiometri (Newsted et al., 2020)

b. Timpanometri
Timpanometri menilai fungsi telinga tengah dan digunakan untuk
mengidentifikasi patologi telinga luar atau tengah. Pengukuran ini
memberikan gambaran tentang mobilitas membrana timpani, keadaan
persediaan tulang pendengaran, keadaan dalam telinga tengah termasuk
tekanan udara didalamnya, jadi berguna dalam mengetahui gangguan
konduksi dan fungsi tuba Eustachius. Grafik hasil pengukuran
timpanometeri atau timpanogram dapat untuk mengetahui gambaran
kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak variasi bentuk
timpanogram akan tetapi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe, yakni tipe
A, tipe B, dan tipe C (Newsted et al., 2020)

Gambar 3.4. Pemeriksaan Timpanometri (Newsted et al., 2020)

G. TATALAKSANA
Keluhan pada gangguan pendengaran campuran biasanya disertai dengan
rasa pusing berputar (vertigo). Tidak ada obat yang ideal untuk pengobatan vertigo
dan pusing. Farmakoterapi dapat dibagi menjadi gejala dan kausal atau pengobatan
vertigo insidental dan kronis. Terapi simtomatik sebaiknya diterapkan hanya pada
kasus serangan vertigo akut yang disertai gejala vegetatif (fase syok vertigo) dan
pasien biasanya memerlukan rawat inap. Neuroleptik, ansiolitik, dan antihistamin
generasi pertama digunakan, yang bekerja pada struktur di medula, hipotalamus, dan
sistem limbik untuk mengurangi gejala neurovegetatif (mual, muntah, jantung
berdebar, berkeringat, dan cemas). Neuroleptik termasuk klorpromazin (Fenactil 25-
50 mg setiap 6 jamnya), promazin (50 mg setiap 6-8 jam iv atau im), thiethylperazine
(Torecan 6,5 mg setiap 8 jam iv, im, sc atau pr). Obat-obatan ini bersifat ansiolitik
kuat karena efeknya pada reseptor dopamin (antagonis reseptor D2) di sistem limbik,
hipotalamus, dan korteks. Selain itu mereka bekerja antiemetik dan obat penenang.
Penting untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya reaksi merugikan dari
neuroleptik, seperti kejang, diskinesia, aritmia jantung, dan hipotensi. Oleh karena itu,
penting untuk memilih rute pemberian obat dengan benar dan dengan hati-hati
mempertimbangkan kebutuhan pemberiannya terutama pada orang tua (Zatonski et
al., 2014).
Benzodiazepin adalah kelompok ansiolitik yang paling umum digunakan,
termasuk diazepam (Relanium, Valium - 15-20 mg setiap 12 jam) dan dalam beberapa
kasus walaupun jarang dapat bekerja sama dengan ahli anestesi untuk pemberian
midazolam (Dormicum). Efek samping yang harus diingat adalah kemungkinan
kecanduan yang cepat dan gangguan memori. Antihistamin generasi pertama
memiliki aktivitas antikolinergik, memblokir reseptor muskarinik dan efek
penghambatan pada sistem saraf pusat. Dalam kasus syok vestibular, prometazin
(Diphergan 50 mg setiap 12 jam iv atau im) dapat digunakan. Pada vertigo ringan dan
mabuk perjalanan - dimenhydrinate (Aviomarin), hidroksizin dan clemastine dapat
digunakan. Dalam pengobatan simtomatik vertigo akut prokinetik seperti
Metoclopramide (MTC) dapat digunakan yang juga memberikan blokade reseptor
Dopamin (D2) dalam sistem saraf pusat dan memiliki efek penenang dan antiemetik
untuk menghambat mual. Antiemetik lain adalah ondansetron (Atossa) yang dikenal
sebagai obat untuk muntah selama kemoterapi yang memblokir reseptor serotonin di
sistem saraf pusat dan tidak memiliki efek sedatif. Farmakoterapi kausal digunakan
bila ada bukti kuat tentang etiologi vertigo. Dalam kasus pasien dengan vertigo yang
didiagnosis sebagai komplikasi otitis media atau radang telinga bagian dalam
sehingga dapat diberikan antibiotik. Pengobatan kausal yang berpotensi digunakan
dalam pengobatan vertigo jangka panjang adalah mengikuti kelompok obat-obatan:
vasodilator serebral seperti: antagonis kalsium (cinnarizine, unarizine, nimodipine),
turunan methylxanthines (pentoxifylline- Trental, Polfilin, Pentohexal), turunan
histamin (betahistine- Betaserc, Histigen, Polvertic, Lavistina, Vestibo), alpha-
blocker (nicergolina-Sermion), obat antiplatelet, ekstrak Ginkgo biloba, serta obat
sitoprotektif, steroid dan diuretik. Studi skala besar yang membuktikan keefektifan
banyak obat di atas pada pasien dengan vertigo dan pusing masih belum ada dan obat
tersebut tidak boleh diresepkan secara rutin untuk pasien ini. Terutama politerapi
harus dihindari. Pengobatan kausal, terutama farmakoterapi jangka panjang harus
dilakukan secara individual menurut pasien (Zatonski et al., 2014).
Dalam kasus TIA- terapi antiplatelet dianjurkan: asam asetilsalisilat (Aspirin,
Acard, Polocard 75-150 mg/hari), tiklopidin (Ticlo, Aclotin, Ifapidin 500 mg/hari
dalam 2 dosis terbagi), atau clopidogrel (Plavix, Areplex, Trombex 75 mg/hari). Jika
riwayat TIA akan berkembang menjadi gangguan sirkulasi vertebro-basilar kronis,
betahistine harus diinfuskan dengan dosis 2x24 mg/hari. Obat lain yang jarang
digunakan adalah cinnaryzyna dan unarizine. Juga pengobatan sitoprotektif
dianjurkan pada insusiensi vertebro-basilar kronis: piracetam (Memotropil, Nootropil,
Lucetam) - turunan asam -aminobutyric (GABA) dalam dosis 3×800 mg/hari selama
8 minggu, trimetazidine (Metazydyna, Preductal, Cyto-Protectin), ekstrak Ginkgo
biloba (Bilobil, Ginkofar). Pengobatan sitoprotektif mempengaruhi metabolisme
energi di sel SSP, meningkatkan pemanfaatan oksigen dan glukosa, memfasilitasi
sintesis senyawa energi tinggi, meningkatkan cadangan energi, mempercepat sintesis
neurotransmiter, meningkatkan metabolisme di neuron SSP, terutama dalam keadaan
tereduksi. aktivitas. Proses ini bertanggung jawab untuk meningkatkan fungsi SSP
lantai atas, meningkatkan kognitif (belajar, memori, perhatian, kesadaran),
peningkatan aktivitas psikofisik. Namun, obat sitoprotektif juga harus diresepkan
secara wajar. Piracetam diambil di malam hari membuatnya sulit untuk tidur. Ini
dapat menyebabkan kejang, hiperkinesia, penambahan berat badan, gugup juga.
Trimetazidine dapat menyebabkan atau memperburuk gejala parkinson. Efek samping
umum lainnya dari trimetazidine adalah sakit perut, diare, gangguan pencernaan
(Zatonski et al., 2014).
Saat ini, peran penting dalam pengobatan vertigo kronis memiliki obat yang
relatif aman dari salah satu efek betahistine terbaik yang terdokumentasi. Betahistine
memblokir reseptor histamin H3 presinaptik dan merangsang H1 pascasinaptik yang
lemah, tetapi tidak menunjukkan afinitas yang signifikan untuk H2. Akibatnya,
meningkatkan pelepasan histamin di ujung saraf. Ini memberikan efek relaksan pada
sfingter prekapilar di mikrosirkulasi telinga bagian dalam, yang mengarah pada
peningkatan aliran darah labirin stria vaskularis. Ini menghambat aktivitas neuron
vestibular. Betahistine mengurangi frekuensi dan intensitas vertigo dan tinnitus. Ini
disetujui untuk pengobatan penyakit Meniere. Apalagi tidak menekan proses
kompensasi. Beberapa mengklaim bahwa obat mempercepat efektivitas fisioterapi.
Efek terapi yang optimal hanya terlihat setelah beberapa bulan, sehingga dianjurkan
untuk digunakan selama 2-3 bulan, 24 mg 2 kali sehari. Keuntungan lain dari
betahistine adalah tidak mengurangi aktivitas psikofisik pasien. Satu-satunya
kontraindikasi penggunaan betahistine adalah pheochromocytoma. Obat harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan asma, hipotensi berat dan tukak
lambung (Zatonski et al., 2014).
Pemulihan pendengaran dicapai dengan implan atau alat bantu dengar non-
implan, termasuk alat bantu dengar konvensional, implan koklea dan alat bantu
dengar berdasar tulang; prinsip dasar mereka dan mekanisme kerja diilustrasikan
dalam gambar. Pada kebanyakan pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural,
rehabilitasi pendengaran terdiri dari alat bantu dengar konvensional. Bahkan pada
beberapa pasien dengan gangguan pendengaran konduktif, alat bantu dengar adalah
perawatan utama, terutama ketika pilihan medis atau bedah tidak diindikasikan.
Perkembangan lanjutan dalam pemrosesan sinyal dan peningkatan miniaturisasi telah
meningkatkan kinerja alat bantu dengar dan penerimaannya di kalangan pasien.
Misalnya, keuntungan maksimum untuk digital alat bantu in-the-ear, in-the-canal dan
completely-in-canal-ear adalah sekitar 55–65 dB, 45–55 dB dan 35–50 dB,. Hampir
semua alat bantu dengar berbentuk digital dan dapat diprogram. Oleh karena itu, dapat
disesuaikan dengan karakteristik pendengaran pasien (Korver et al., 2017; Renauld
dan Basch, 2021).
Untuk pasien dengan derajat ringan sampai berat gangguan pendengaran
sensorineural, alat bantu dengar konvensional dapat memberikan rehabilitasi
pendengaran yang sangat baik. Namun, begitu gangguan pendengaran menjadi parah
hingga berat, teknologi ini tidak lagi memberikan kejernihan suara yang memadai
untuk pemahaman bicara yang bermakna dan koklea implantasi lebih disukai.
Implantasi koklea sekarang menjadi standar perawatan untuk anak-anak dengan
gangguan pendengaran bawaan yang berat yang orang tuanya memilih untuk
menggunakan komunikasi lisan (Korver et al., 2017; Renauld dan Basch, 2021).
Peningkatan atau pemulihan pendengaran pada gangguan pendengaran
konduktif lebih sulit pada anak-anak dengan kelainan kongenital, seperti spektrum
atresia (penyempitan abnormal atau tidak adanya dari saluran pendengaran eksternal).
Anak-anak dengan atresia kanalis auditorius eksternus dengan atau minimal tidak ada
keterlibatan tulang pendengaran dapat dilakukan intervensi bedah mikro, meskipun
pembedahan biasanya ditunda sampai 6 tahun. Pada anak-anak dengan atresia tulang
lengkap, pendengaran konduksi udara konvensional bantuan bukanlah pilihan bone-
anchored tulang alat bantu dengar diindikasikan (Korver et al., 2017; Renauld dan
Basch, 2021).

Gambar 3.5 a) Alat bantu konvensional; b) Implan koklea; c) Bone-anchored


(Korver et al., 2017).

Keuntungan penting tambahan dari alat bantu dengar bone-anchored adalah


rehabilitasi gangguan pendengaran sensorineural unilateral. Alat ini ditempatkan di
telinga dengan gangguan pendengaran, perangkat ini memperluas bidang suara untuk
pasien dan secara signifikan meningkatkan pemahaman bicara dalam kebisingan,
mirip dengan rute kontralateral dari alat bantu dengar sistem transkranial. Dalam
situasi ini, prosesor yang ditempatkan di sisi telinga tuli bertindak sebagai mikrofon
yang kemudian mengarahkan suara ke telinga pendengaran langsung melalui tulang
tengkorak, sedangkan rute kontralateral akan mengirimkan suara itu secara nirkabel
ke alat bantu dengar yang dipasang di telinga yang baik. Semakin banyak bukti telah
dengan jelas menunjukkan bahwa manfaat utama adalah peningkatan pendengaran
dalam kebisingan, sedangkan implan memberikan sedikit atau tidak ada manfaat
objektif dalam lokalisasi suara (Korver et al., 2017).
Alat bantu dengan implan dan non-implan menawarkan keunggulan pilihan
rehabilitatif untuk pasien dengan gangguan pendengaran. Tergantung pada sifat dan
tingkat penurunan pendengaran, pilihan bedah lain mungkin juga tersedia. Pasien
yang mengalami gangguan pendengaran konduktif karena kelainan saluran
pendengaran eksternal (misalnya, atresia aural kongenital), membran timpani (dari
infeksi akut atau kronis) atau ossicles (dari fiksasi ossicles bawaan atau didapat),
pembedahan dapat dicoba untuk memperbaiki cacat ini, seringkali dengan hasil
fungsional yang sangat baik (Korver et al., 2017; Renauld dan Basch, 2021).
H. PROGNOSIS
Pada gangguan pendengaran campuran, prognosisnya tergantung pada proporsi
relatif patologi konduktif dan sensorineural. Jika komponen sensorineural sedikit,
prognosis pembedahan baik, dan dalam keadaan yang baik, pendengaran dapat
mendekati tingkat konduksi tulang. Namun, diskriminasi tidak banyak meningkat,
bahkan setelah koreksi cacat konduktif (Newsted et al., 2020; Ramsay dan Linthicum,
1994; Dimitrov dan Gossman, 2019).
BAB IV
KESIMPULAN

Gangguan pendengaran campuran merupakan gangguan pendengaran yang memiliki


komponen gangguan konduksi dan sensorineural. Pada gangguan pendengaran campuran
terdapat gangguan pendengaran melalui konduksi tulang tetapi terdapat pula gangguan
pendengaran yang lebih besar melalui konduksi udara (ada air-bone gap). Dalam praktik
klinis, sebagian besar kasus dengan etiologi sensorineural tetap berada dalam klasifikasi
tersebut tanpa elemen konduktif tambahan. Sebaliknya, kebanyakan kasus yang dimulai
sebagai gangguan pendengaran konduktif kemudian berkembang menjadi beberapa
keterlibatan sensorineural (otosklerosis dan presbikusis, otitis media kronis dan labirinitis).
Pada kasus yang disajikan, diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien mengeluhkan telinga berdengung pada kedua
telinganya sehingga membuat pendengaran berkurang sejak 2 tahun lalu, hal ini diawali
dengan adanya sensasi kepala berputar/vertigo. Dahulunya pasien mengakui memiliki riwayat
pendengaran berkurang, riwayat vertigo, riwayat keluar darah dari telinga. Pemeriksaan fisik
ditemukan pemeriksaan garpu tala tuli sensorineural pada kedua telinga. Pemeriksaan
penunjang audiometri didapatkan mixed hearing loss pada kedua telinga derajat sangat berat
dan diberikan terapi Piracetam Tablet 1200 mg, Betahistine Tablet 6 mg dan Mecobalamin
Kapsul 0,5 mg. Usulan pemeriksaan penunjang antara lain timpanometri dan CT Scan/MRI.
Pada gangguan pendengaran campuran, prognosisnya tergantung pada proporsi relatif
patologi konduktif dan sensorineural. Jika komponen sensorineural sedikit, prognosis
pembedahan baik, dan dalam keadaan yang baik, pendengaran dapat mendekati tingkat
konduksi tulang. Namun, diskriminasi tidak banyak meningkat, bahkan setelah koreksi cacat
konduktif. Pada pasien ini, tuli sensorineural mendominasi sehingga prognosisnya lebih
buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Anastasiadou, S., & Al Khalili, Y. (2019). Hearing Loss.


Bukart, R. 2017. Hearing Disorder dalam International Encyclopedia of Public Health
(Second Edition).
Burrell, S. P., Cooper, H. C., & Proops, D. W. (1996). The bone anchored hearing aid—The
third option for otosclerosis. The Journal of Laryngology & Otology, 110(21), 31-37.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2022. Types of Hearing Lost.
https://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/types.html
Colletti, V., Soli, S. D., Carner, M., & Colletti, L. (2006). Treatment of mixed hearing losses
via implantation of a vibratory transducer on the round window: Tratamiento de
hipoacusias mixtas con un transductor vibratorio en la ventana redonda. International
journal of audiology, 45(10), 600-608.
Cunningham, L. L., & Tucci, D. L. (2017). Hearing loss in adults. New England Journal of
Medicine, 377(25), 2465-2473.
Davis, A., & Wood, S. (1992). The epidemiology of childhood hearing impairment: factors
relevant to planning of services. British journal of audiology, 26(2), 77-90.
Dimitrov, L., & Gossman, W. (2019). Pediatric hearing loss.
Garg, S., Kohli, C., Mangla, V., Chadha, S., Singh, M. M., & Dahiya, N. (2018). An
epidemiological study on burden of hearing loss and its associated factors in Delhi,
India. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology, 127(9), 614-619.
Germiller, J. 2007. Mixed Hearing Loss dalam Pediatric Otolaryngology.
Hauser, S., & Josephson, S. (2013). Harrison's Neurology in Clinical Medicine, 3E.
McGraw-Hill Education.
Hill-Feltham, P. R., Johansson, M. L., Hodgetts, W. E., Ostevik, A. V., McKinnon, B. J.,
Monksfield, P., ... & Tysome, J. R. (2021). Hearing outcome measures for conductive
and mixed hearing loss treatment in adults: a scoping review. International journal of
audiology, 60(4), 239-245.
Korver, A. M., Smith, R. J., Van Camp, G., Schleiss, M. R., Bitner-Glindzicz, M. A., Lustig,
L. R., ... & Boudewyns, A. N. (2017). Congenital hearing loss. Nature reviews
Disease primers, 3(1), 1-17.
Kushalnagar, R. (2019). Deafness and hearing loss. In Web Accessibility (pp. 35-47).
Springer, London.
Lisan, Q., Goldberg, M., Lahlou, G., Ozguler, A., Lemonnier, S., Jouven, X., ... & Empana, J.
P. (2022). Prevalence of Hearing Loss and Hearing Aid Use Among Adults in France
in the CONSTANCES Study. JAMA network open, 5(6), e2217633-e2217633.
Liu, X. Z., Xu, L. R., Sismanis, A., Hu, Y., Zhang, S. L., Nance, W. E., & Xu, Y. (2001).
Epidemiological studies on hearing impairment with reference to genetic factors in
Sichuan, China. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology, 110(4), 356-363.
Medwetsky. L. 2007. Mixed Hearing Loss dalam Practice of Geriatrics (Fourth Edition).
Newsted, D., Rosen, E., Cooke, B., Beyea, M. M., Simpson, M. T., & Beyea, J. A. (2020).
Approach to hearing loss. Canadian Family Physician, 66(11), 803-809.
Nickbakht, M., & Borzoo, S. (2014). Conductive and mixed hearing losses: a comparison
between summer and autumn. Korean journal of audiology, 18(1), 13-18.
Pereira, L. V., & Bahmad Jr, F. (2015). Up to Date on Etiology and Epidemiology of Hearing
Loss. Update On Hearing Loss. 51st ed. InTech, 39-50.
Ramsay, H. A., & Linthicum Jr, F. H. (1994). Mixed hearing loss in otosclerosis: indication
for long-term follow-up. The American journal of otology, 15(4), 536-539.
Renauld, J. M., & Basch, M. L. (2021). Congenital deafness and recent advances towards
restoring hearing loss. Current protocols, 1(3), e76.
Soetirto, I., Bashiruddin, J. 2007. Gangguan pendengaran pada Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala Leher, Ed. 6. FKUI. Halaman 10-16.
Sooriyamoorthy, T., & De Jesus, O. (2021). Conductive Hearing Loss. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Tanna, R. J., Lin, J. W., & De Jesus, O. (2021). Sensorineural hearing loss. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Verhaert, N., Desloovere, C., & Wouters, J. (2013). Acoustic hearing implants for mixed
hearing loss: a systematic review. Otology & Neurotology, 34(7), 1201-1209.
Wardenga, N., Snik, A. F., Kludt, E., Waldmann, B., Lenarz, T., & Maier, H. (2020). Hearing
Aid Treatment for Patients with Mixed Hearing Loss. Part II: Speech Recognition in
Comparison to Direct Acoustic Cochlear Stimulation. Audiology and
Neurotology, 25(3), 133-142.
World Health Organization (WHO). 2021. Deafness and hearing loss.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-hearing-loss
Zafar, N., Jamal, Z., & Khan, M. A. (2020). Otosclerosis.
Zatonski, T., Temporale, H., Holanowska, J., & Krecicki, T. (2014). Current views on
treatment of vertigo and dizziness. J Med Diagn Meth, 2(150), 2.
Zwartenkot, J. W., Snik, A. F., Mylanus, E. A., & Mulder, J. J. (2014). Amplification options
for patients with mixed hearing loss. Otology & Neurotology, 35(2), 221-226

Anda mungkin juga menyukai