Anda di halaman 1dari 36

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

CASE REPORT
“CA RENAL DEXTRA POST RADICAL NEFRECTOMY DEXTRA”

Disusun oleh :

Farah Nisrina Naurah G4A020126

Pembimbing :

dr. Karinda Triharyu Caesari Putri, Sp.U

SMF ILMU BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022

2
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
“CA RENAL DEXTRA POST RADICAL NEFRECTOMY DEXTRA”

Disusun oleh :
Farah Nisrina Naurah
G4A020126

Case report ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
syarat ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto

Telah disetujui dan disahkan

Pada September 2022

Mengetahui :
Pembimbing,

dr. Karinda Triharyu Caesari Putri, Sp.U

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................2
LAPORAN KASUS................................................................................................2
2.1 Identitas Pasien...........................................................................................2
2.2 Anamnesis...................................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................3
2.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................................5
2.4 Diagnosis.....................................................................................................9
2.5 Planning......................................................................................................9
BAB 3....................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................10
3.1 NEFROLITHIASIS.................................................................................10
3.2 TUMOR GINJAL....................................................................................15
3.3 NEFROLITHIASIS DENGAN TUMOR GINJAL...............................15
3.3.1 Definisi................................................................................................16
3.3.2 Etiologi...............................................................................................16
3.3.3 Epidemiologi......................................................................................16
3.3.4 Patogenesis.........................................................................................16
3.3.5 Tatalaksana........................................................................................17
BAB 4....................................................................................................................18
PEMBAHASAN...................................................................................................18
BAB 5....................................................................................................................21
KESIMPULAN.....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Struktur Ginjal ………………………………………………... 10


Gambar 3.2. Nefrolithiasis …………………………….………………….. 12
Gambar 3.3. Patomekanisme Nefrolithiasis Seliaka……………………….. 15
Gambar 3.4. Patofisiologi Kanker Ginjal …………………………………... 21
Gambar 3.5. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Renal ………………… 23

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2 1 Pemeriksaan Hematologi 25 Juli 2022....................................................5


Tabel 2 2 Pemeriksaan Hematologi 28 Juli 2022....................................................6

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Tumor ginjal merupakan tumor urogenitalia nomor tiga terbanyak setelah


tumor prostat dan tumor kandung kemih. Semakin meluasnya penggunaan
ultrasonografi abdomen sebagai salah satu pemeriksaan screening (penyaring) di
klinik-klinik rawat jalan, makin banyak diketemukan kasus-kasus tumor ginjal
yang masih dalam stadium awal 1,2.
Karsinoma sel renal adalah jenis kanker ginjal yang banyak ditemukan pada
orang dewasa. Wilms tumor atau nephroblastoma adalah jenis tumor yang sering
terjadi pada anak-anak di bawah umur 10 tahun, jarang ditemukan pada orang
dewasa. Kira- kira 500 kasus terdiagnosa tiap tahun di Amerika Serikat. 75%
ditemukan pada anak- anak yang normal; 25% nya terjadi dengan kelainan
pertumbuhan pada anak. Tumor ini responsive dalam terapinya, 90% pasien
bertahan hidup hingga 5 tahun 3.
Di Amerika Serikat kanker ginjal meliputi 3% dari semua kanker, dengan
rata- rata kematian 12.000 akibat kanker ginjal pertahun. Kanker ginjal sedikit
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita (2:1) dan umumnya
terdiagnosa pada usia antara 50 – 70 tahun, tapi dapat terjadi pada usia berapa saja
juga. Tumor Wilms merupakan sekitar 10% keganasan pada anak. Paling sering
dijumpai pada usia 3 tahun dan 10% nya merupakan lesi bilateral 4.

1
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. J
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tempelsari RT 3 RW 01 Mlipak, Wonosobo
Pekerjaan : Guru
Tanggal Periksa : Kamis, 4 Agustus 2022
DPJP : dr. Karinda Triharyu Caesari Putri, Sp.U
2.2 Anamnesis
2.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien hari perawatan ke 7 pasca operasi saat ini mengeluhkan
nyeri pada bekas operasi. Nyeri dirasakan hilang timbul, memberat
jika untuk mengubah posisi tubuh, dan membaik jika berbaring serta
setelah diberi obat. Keluhan mual, muntah, pusing, demam disangkal.
Keluhan utama pasien sebelum operasi yaitu nyeri pinggang
kanan dirasakan sejak sekitar bulan Mei. Nyeri dirasakan hilang
timbul, terutama jika sedang kelelahan. Keluhan lain seperti gangguan
pada BAK, mual, muntah disangkal. Lalu, pasien melakukan
pengobatan di RS Wonosobo beberapa kali. Pada 6 Juni 2022, pasien
dirujuk ke RSMS melalui Poliklinik Urologi dengan keluhan nyeri
pinggang. Nyeri pinggang masih dirasakan hilang timbul terasa seperti
tertekan benda tumpul. Keluhan bertambah berat jika pasien sedang
kelelahan, membaik jika istirahat dan meminum obat antinyeri. BAK
dan BAB tidak ada keluhan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan penunjang dan terapi
medikamentosa, pada tanggal 28 Juli 2022 pasien dilakukan operasi
Radical Nefrectomy Dextra. Setelah dilakukan operasi, pasien dirawat
di ICU 2 hari lalu dipindahkan ke bangsal.

2
3

2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : (-)
b. Riwayat hipertensi : (+)
c. Riwayat diabetes mellitus : (+)
d. Riwayat penyakit jantung : (-)
e. Riwayat alergi : (-)
f. Riwayat asam urat : (-)
g. Riwayat batu saluran kemih : (-)
h. Riwayat penyakit ginjal : (-)
i. Riwayat infeksi pada genitalia : (-)
j. Riwayat operasi : (+) PNL Dextra ec
nefrolithiasis dextra 2,5 minggu yang lalu
2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : (+) istri
b. Riwayat hipertensi : (-)
c. Riwayat diabetes mellitus : (-)
d. Riwayat penyakit jantung : (-)
e. Riwayat alergi : (-)
f. Riwayat asam urat : (-)
g. Riwayat batu saluran kemih : (-)
h. Riwayat penyakit ginjal : (-)
i. Riwayat infeksi pada genitalia : (-)
j. Riwayat operasi : (+) istri operasi batu ginjal
4x
2.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang guru. Tinggal bersama istri dan 2
anak. Pasien sering mengkonsumsi mie instan sekitar 2 hari sekali dan
hampir setiap hari meminum kopi hitam 1-2 gelas. Pasien mengaku
jarang mengkonsumsi air putih. Pasien tidak pernah merokok.
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umun : Cukup
b. Kesadaran : Composmentis
4

c. Vital Sign
1) Tekanan Darah: 171/98 mmHg
2) Nadi : 79x/menit
3) Respirasi : 20x/menit
4) Suhu : 36,5 oC
d. Antropometri
1) Berat Badan : 89 kg
2) Tinggi Badan : 172 cm
3) IMT : 30.08 kg/m2 (Obesitas)
e. Kepala : Mesocephal
f. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
g. Telinga : Discharge (-/-)
h. Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-/-)
i. Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis
j. Leher : Pembesaran kelenjar tiroid, KGB (-), deviasi
trakea (-)
k. Regio Thorax
a. Paru : Simetris, SD vesikuler (+/+), ronkhi dan wheezing
(-/-).
b. Jantung : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
l. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, terbalut kassa post op (+), rembes (+), drain
(+)
b. Auskultasi : BU (+) normal,
c. Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada area post op, massa (-)
m. Ekstremitas
a. Superior : jejas (-), pitting edema -/-, akral hangat, CRT<2
detik
b. Inferior : jejas (-), pitting edema -/-, akral hangat, CRT<2
detik
5

Status Lokalis
a. Regio Costovertebra
1) Inspeksi : Bentuk pinggang simetris, benjolan (-)
2) Palpasi : Bimanual Ballotement ginjal (SDN/SDN)
3) Perkusi : Nyeri Ketok (SDN/SDN)
b. Regio Supra Pubis
1) Inspeksi : Terdapat rambut pubis, tidak ada benjolan
2) Palpasi : Nyeri Tekan (-), Buli kesan kosong
3) Perkusi : Timpani
4) Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
c. Regio Genetalia Eksterna
1) Inspeksi : Orifisium uretra eksterna baik terpasang DC (+)
warna urine kuning
2) Palpasi : Tidak dilakukan
d. Regio Anal
1) Inspeksi : Bentuk Normal, benjolan(-)
2) Rectal Toucher: Tidak dilakukan
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Hematologi
Tabel 2 1 Pemeriksaan Hematologi 25 Juli 2022
Parameter Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 15.9 13.4 - 17.3 g/dL
Leukosit 9690 5070 - 11100 /uL
Hematokrit 45 40 - 50 %
6
Eritrosit 5.22 4.74 – 6.32 106 /uL
3
Trombosit 272000 185000 - 398000 /Ul
MCH 30.5 24.2 – 31.2 pg/cell
MCHC 35.2 31.9 – 36.0 g/dL
MCV 86.6 73.4 – 91.0 fL
Hitung Jenis
Leukosit
Eosinofil 1.7 0.7 – 5.4 %
Basofil 0.2 0–1%
Batang 0.2 *L* 3–5%
Neutrofil 69.4 42.5 – 71.0 %
Segmen 69.2 50 – 70 %
Limfosit 18.9 *L* 20.4 – 44.6 %
Monosit 9.8 3.6 – 9.9 %
Kimia Klinik
6

Gula Darah 201 80 - 139


Sewaktu mg/dL
Natrium 139 134 - 145
mEq/L
Kalium 3.3 *L* 3.4 - 4.5 mEq/L
PT 10.2 9.9 - 11.8 detik
APTT 26.7 25.0 - 31.3 detik
Ureum 25.29 19.00 - 44.00
mg/dL
Kreatinin ...... 0.70 - 1.20 mg/dL
Imunologi
HbsAg Non
Reaktif

Tabel 2 2 Pemeriksaan Hematologi 28 Juli 2022


Parameter Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 14.1 13.4 - 17.3 g/dL
Leukosit 27130 H 5070 - 11100 /uL
Hematokrit 42 40 - 50 %
6
Eritrosit 5.68 H 4.74 – 6.32 106 /uL
3
Trombosit 279000 185000 - 398000 /Ul
MCH 30.1 24.2 – 31.2 pg/cell
MCHC 33.3 31.9 – 36.0 g/dL
MCV 90.6 73.4 – 91.0 fL
Hitung Jenis
Leukosit
Eosinofil 0.1 L 0.7 – 5.4 %
Basofil 0.1 0–1%
Batang 0.6 *L* 3–5%
Neutrofil 90.1 H 42.5 – 71.0 %
Segmen 89.5 H 50 – 70 %
Limfosit 4.2 *L* 20.4 – 44.6 %
Monosit 5.5 3.6 – 9.9 %
Kimia Klinik
Gula Darah 321 HH 80 - 139
Sewaktu mg/dL
Natrium 136 134 - 145
mEq/L
Kalium 3.5 3.4 - 4.5 mEq/L
Ureum 22.50 19.00 - 44.00
mg/dL
Kreatinin 1.26 H 0.70 - 1.20 mg/dL
7

2.4.2 Foto Polos Thorax (18/07/2022)

Kesan :
- Bentuk dan letak cor normal, besar cor tak valid dinilai
- Pulmo dalam batas normal
2.4.3 Foto Polos Abdomen (19/07/2022)

Kesan :
- Kedudukan DJ Stent dextra baik
- Nefrolithiasis dextra (uk.lk. 2,9 x 3,3 cm)
2.4.4 CT Scan Abdomen
8

a. Tanpa kontras (06/06/2022)

Kesan :
- Nefrolithiasis kanan bentuk staghorn inkomplit (uk +- AP
2,3 x LL 4,2 x CC 5,4 cm), non obstruktif
- Lesi solid dengan bagian kistik pada upper pole ginjal
kanan (uk +- AP 5,3 x LL 4,7 x CC 4,2 cm)  curiga
tumor solid ginjal DD/ complex cyst
- Multiple lesi kistik pada segmen 2,3,6 hepar (uk terbesar
+- AP 1,4 x LL 1,7 x CC 0,7 cm pada segmen 2)  masih
mungkin kista hepar
- Pembesaran ringan prostat (vol +- 24,4 ml)
b. Dengan kontras (28/06/2022)

Kesan :
- Lesi solid inhomogen pada upper pole ginjal kanan (uk
saat ini +- AP 6,0 x LL 5,6 x CC 4,7 cm) disertai fat
stranding disekitarnya  cenderung tumor ginjal kanan,
curiga maligna
9

- Nefrolithiasis kanan bentuk staghorn inkomplit (uk saat ini


+- AP 4,7 x LL 4,0 x CC 1,8 cm) disertai mild
hidronefrosis kanan
- Multiple limfadenopati pada perirenalis (uk terbesar +- 1,8
x 1,5 cm)
- Multiple lesi kistik pada segmen 2,4,6,8 hepar (uk terbesar
saat ini +- AP 1,6 x LL 1,9 x CC 1,4 cm pada segmen 2 )
 DD/ kista hepar, nodul metastasis
- Pembesaran ringan prostat (vol +- 24,8 ml)
2.4.5 Hasil Patologi Anatomi (08/08/2022)
Kesimpulan : Sesuai dengan renal cell carcinoma dextra
2.4 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Flank pain dextra
Diagnosis Utama : Renal cell carcinoma detra
Diagnosis Sekunder : Hipertensi, diabetes melitus
Diagnosis Komplikasi :-
2.5 Planning
a. Non medikamentosa
- Awasi tanda-tanda vital
- Ganti balut setiap hari
- Mobilisasi bertahap
b. Medikamentosa post operasi
- IVFD RL 20 tpm
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inf Paracetamol 3x 500mg
- Inj Asam Traneksamat 3x 500mg
- Inj Ranitidine 2x 50mg
- Inj Insulin 3x4 IU SC
- PO kodein 1x10 mg
- PO Amlodipin 1x10mg
- PO Captopril 2x25mg
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 NEFROLITHIASIS
Nefrolithiasis atau batu ginjal merupakan suatu keadaan di dalam ginjal
dimana terdapat komponen kristal dan matriks organik. Batu staghorn adalah
batu bentuknya yang menyerupai tanduk, dan mempunyai cabang-cabang.
Batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar 11,10.

Gambar 3.2 Nephrolithiasis 12

Batu ginjal dapat disebabkan oleh peningkatan pH urine (misalnya batu


kalsium bikarbonat) atau penurunan pH urine (misalnya batu asam urat).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang, yaitu faktor intrinsic dan
faktorekstrinsik13,14,15.
Faktor intrinsik:
a. Herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tua
b. Umur: paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
c. Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan
Faktor ekstrinsik:
a. Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal

10
11

sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di


Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
b. Iklim dan temperature
c. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
d. Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih
e. Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

Dua proses utama dalam perkembangan nefrolitiasis adalah


pembentukan kristal dan retensi kristal. Kristal (terutama kalsium oksalat
[CaOx] dan kalsium fosfat, [CaP]) diperkirakan sering terbentuk dalam
cairan tubulus sebagai akibat dari supersaturasi terutama di distal nefron.
Supersaturasi merupakan proses yang mendorong terbentuknya kristal
dalam larutan yang dalam hal ini adalah urin. Kondisi supersaturasi urin
hiperoksaluria dan hiperkalsiuria akan menghasilkan stres oksidatif yang
berakibat pada sel nekrosis dan/atau apoptosis. Kerusakan sel ini berlanjut
menjadi nukleasi kristal yang merupakan langkah awal dalam transformasi
dari fase cair ke fase padat dalam larutan lewat jenuh (Aggarwal et al.,2013;
Levi dan Bruesegem, 2008; Ratkalkar dan Kleinman, 2011; Vervaet et al.,
2009)16,17,18,19.
Proses ini dimulai dengan penggabungan batu garam dalam larutan
menjadi kelompok lepas yang dapat bertambah besar dengan penambahan
komponen atau kelompok baru. Inti membentuk kristal pertama yang tidak
larut dan memiliki pola kisi yang khas. Dalam urin, nukleus biasanya
terbentuk pada permukaan yang ada, suatu proses yang disebut nukleasi
heterogen. Sel epitel, gips urin, sel darah merah, dan kristal lainnya dapat
bertindak sebagai pusat nukleasi dalam urin. Saturasi yang diperlukan untuk
nukleasi heterogen jauh lebih sedikit daripada untuk nukleasi homogen.
Cedera sel tubulus ginjal dapat meningkatkan kristalisasi kristal CaOx
dengan menyediakan zat untuk nukleasi heterogennya. Degradasi sel in
12

vitro setelah cedera sel tubulus ginjal menghasilkan banyak vesikel


membran yang telah terbukti menjadi nukleator kristal kalsium yang
..
16,17,18,19

Setelah inti kristal mencapai ukuran kritis dan supersaturasi relatif


tetap, energi bebas keseluruhan dikurangi dengan menambahkan komponen
kristal baru ke inti. Proses ini disebut pertumbuhan kristal. Pertumbuhan
kristal merupakan salah satu prasyarat untuk pembentukan partikel dan juga
untuk pembentukan batu. Dalam setiap langkah pembentukan batu,
pertumbuhan kristal dan agregasi memiliki fungsi penting. Zat pengikat
permukaan kristal yang ditemukan dalam kristal CaOx yang dihasilkan dari
seluruh urin manusia 16,17,18,19.
Proses di mana kristal dalam larutan saling menempel membentuk
partikel yang lebih besar disebut agregasi. Beberapa peneliti telah
mengusulkan bahwa agregasi kristal adalah langkah terpenting dalam
pembentukan batu. Meskipun pertumbuhan kristal jelas merupakan langkah
dalam pembentukan batu ginjal CaOx, proses pertumbuhannya sangat
lambat sehingga kristal tidak dapat menjadi cukup besar untuk menyumbat
tubulus ginjal dan tertahan di sana hanya dengan mekanisme ini, karena
beberapa menit diperlukan cairan tubulus untuk melewati ginjal. Untuk
alasan ini, langkah yang lebih kritis dianggap sebagai agregasi
kristal. Semua model urolitiasis CaOx mengakui bahwa agregasi kristal
terlibat dalam retensi kristal di dalam ginjal. Agregasi kristal didorong oleh
pengikatan kuat dengan beberapa situs pengikatan seperti glikoprotein
Tamm-Horsfall yang mengagregasi sendiri secara abnormal atau
makromolekul lainnya yang menempel pada permukaan kristal dan
bertindak seperti perekat. Kemudian, kristal yang telah terbentuk menempel
pada sel epitel tubulus ginjal dan dibawa ke dalamnya. Proses penempelan
atau endositosis kristal pada sel tubulus ginjal inilah disebut dengan
interaksi sel kristal. Kemudian berlanjut terjadinya adhesi/retensi kristal
yang mengarah pada pembentukan batu 16,17,18,19.
13

Gambar 3.3. Patomekanisme Nefrolitiasis19

Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan dengan anamnesa,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
a. Laboratorium
Pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya leukosituria,
hematuria, dan dijumpai kristal-kristal pementuk batu. Pemeriksaan
kultur urin dapat menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah
urea. Pemeriksaan faal ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan
terjadinya penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan kadar elektrolit yang
diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih 22,23,24,25.
b. Foto Polos Abdomen
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio-opak di
saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kasium fosfat bersifat
radio-opak dan paling sering dijumpai 22,23,24,25.
c. Intra Venous Urography atau Pielografi Intra Vena (PIV)
PIV adalah pemerikasaan gold standart untuk mendeteksi adanya
14

obstruksi pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, tidak alergi
dengan kontras dan tidak sedang hamil.
d. USG
USG merupakan alat yang baik untuk mengevaluasi ginjal pada
pasien azotermia, alergi terhadap kontras, wanita yang sedang hamil, atau
pada anak-anak, faal ginjal yang menurun 22,23,24,25.
Penatalaksanaan dari nefrolithiasis yaitu :
a. Medikamentosa
Terapi medika mentosa yang diberikan bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri dan memperlancar aliran urin dengan pemberian
diuretik.
b. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi)
ESWL adalah pemecah batu, baik batu ginjal, batu ureter
proksimal, atau batu buli- buli tanpa melalui tidakan invasive dan tanpa
pembiusan.
c. Endourologi
Tindakan invasive minimal untuk mengeluarkan batu saluran
kemih yang terdiri atas pemecah batu dan kemudian mengeluarkanya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung kedalam saluran
kemih. Beberapa tindakan endourologi yaitu seperti PNL (Percutaneus
Nephro Litholapaxy), litotripsi, ureteroskopi, dan ekstraksi dormia.
d. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih,
cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.
e. Pembedahan terbuka antara lain pielotomi atau nefrolitotomi untuk
mengambil batu pada ginjal dan ureterolitotomi untuk batu di ureter
Pencegahan terhadap nefrolithiasis yang dilakukan dapat berupa :
a. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahkan produksi
urin sebanyak 2-3 liter perhari.
b. Diet untuk mengurangi kadar zat- zat komponen pembentuk batu.
c. Olahraga yang cukup.
d. Pemberian medikamentosa
15

Beberapa diet yang dianjurkan :


a. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urin dan
menyebabkan suasana urin menjadi lebih asam.
b. Rendah oksalat.
c. Rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
d. Rendah purin
Jika nefrolithiasis tidak ditangani dengan tepat, maka dapat menimbulkan
beberapa komplikasi seperti obstruksi, ISK, dan gagal ginjal aku.
3.2 TUMOR GINJAL
Tumor ginjal adalah jaringan baru yang tumbuh secara abnormal dan
dapat bersifat jinak ataupun ganas. Tumor ginjal dapat berasal dari tubulus
ginjal, jaringan embrionik, jaringan mesenkim, dan epitel pelvis ginjal29.
Tatalaksana pembedahan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Nefrektomi
Tumor yang masih dalam stadium dini dilakukan nefrektomi
radikal yaitu mengangkat ginjal beserta kapsula gerota. Beberapa kasus
yang sudah dalam stadium lanjut tetapi masih mungkin unutk dilakukan
operasi, masih dianjurkan untuk dilakukan nefrektomi paliatif 4,38,34,35.
b. Hormonal
Penggunaan terapi hormonal belum banyak diketahui hasilnya.
Preparat yang dipakai adalah hormon progestagen 4,38,34,35.
c. Imunoterapi
Pemberian imunoterapi dengan memakai interferon atau
dikombinasikan dengan interleukin saat ini sedang dicoba di negara-
negara maju 4,38,34,35.
d. Radiasi Cobalt Eksternal
Radiasi cobalt eksternal terhadap tumor yang invasive sering
dilakukan sebelum bedah untuk memperlambat pertumbuhan. Radiasi
supervoltase dapat diberikan kepada pasien yang fisiknya tidak kuat
menghadapi bedah. Radiasi bukan kuratif dan mutunya hanya sedikit
dalam pengelolaan bila tumor tidak mungkin dioperasi 4,38,34,35.
e. Kemoterapi
16

5-fluorouracil (5-FU) dan doxorubicin (adriamycin) merupakan


bahan yang paling sering digunakan 4,38,34,35.

3.3 NEFROLITHIASIS DENGAN TUMOR GINJAL


3.3.1 Definisi
Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan salah satu
masalah urologi yang paling umum. Insiden batu ginjal meningkat
dengan perkiraan prevalensi global 10-15%. Mirip dengan kejadian
batu ginjal, kejadian karsinoma sel ginjal (RCC) (jenis tumor
parenkim ginjal yang paling umum) terus meningkat. Peningkatan
insiden batu ginjal, RCC dan karsinoma sel transisional saluran
kemih atas semuanya juga cenderung meningkat dan kemungkinan
bahwa riwayat batu ginjal dikaitkan dengan kejadian kedua tumor
ini. Batu ginjal inflamasi kronis yang kemudian menyebabkan
proliferasi dan perkembangan neoplasma ganas. Oleh karena itu,
nefrolitiasis dengan tumor ginjal didefinisikan sebagai kejadian
nefrolitiasis atau batu ginjal yang dapat menginduksi munculnya
tumor ginjal berkaitan dengan proses inflamasi kronis yang
ditimbulkan oleh nefrolitiasis kronis 39,40.
3.3.2 Etiologi
Peningkatan risiko kanker yang terkait dengan batu ginjal
dikaitkan dengan peradangan kronis dan infeksi, yang dapat
menyebabkan perubahan proliferasi sel urothelial. Pada gilirannya,
proses ini dapat menyebabkan perkembangan tumor. Namun,
hubungan ini juga dapat dijelaskan oleh faktor risiko bersama
antara batu ginjal dan RCC dan karsinoma urotelial saluran atas. 
Misalnya, diabetes mellitus, hipertensi, penyakit ginjal kronis,
penyakit ginjal polikistik, dan batu ginjal serta beberapa faktor diet
juga berhubungan dengan risiko RCC. Faktor risiko lain seperti
merokok, obesitas, konsumsi alkohol, serta aktivitas fisik yang
rendah juga dapat meningkatkan kejadian kanker ginjal 34,39,40.
Kejadian batu ginjal dapat mengarah pada penyakit ginjal
17

kronis meskipun prevalensi kejadiannya kecil yaitu 3,2% sehingga


kemungkinan untuk diabaikan terkait pengaruh batu ginjal terhadap
penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis dan kanker terhubung
dalam beberapa mekanisme yaitu kanker dapat menyebabkan CKD
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui efek samping
terapi, CKD dapat sebaliknya menjadi faktor risiko kanker, dan
keduanya mungkin terkait karena mereka berbagi faktor risiko yang
sama, seringkali terkait toksin 41,42,43,44.

Gambar 3.4. Penyakit Ginjal Kronis sebagai Penyebab Kanker Ginjal 41

3.3.3 Epidemiologi
Saat ini beberapa penelelitian telah menilai hubungan
antara batu ginjal dengan kejadian karsinoma sel ginjal dan
karsinoma saluran urotelial atas. Beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan kejadian batu ginjal diikuti oleh peningkatan
terjadinya tumor ginjal 45,46,47
. Berdasarkan delapan penelitian
kasus-kontrol dan kohort retrospektif yang menunjukkan bahwa
peningkatan risiko kanker ginjal, ureter atau pelvis ginjal pada
individu dengan batu ginjal40. Selanjutnya, batu ginjal dikaitkan
dengan peningkatan risiko RCC pada pria, tetapi tidak pada
wanita48,49,50. Studi kohort terbesar menggunakan database rumah
sakit nasional sampai saat ini dilakukan di Swedia dan
mengungkapkan bahwa pasien dengan batu saluran kemih
sebelumnya memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker pelvis
ginjal/ureter dan kanker kandung kemih setelah 25 tahun follow-
up51.
18

Perdebatan tentang apakah batu ginjal menginduksi


keganasan pada ginjal terus berlanjut tanpa kesimpulan yang
konsisten untuk 4 dekade terakhir. Sebuah studi epidemiologi dari
2982 kanker kandung kemih pasien mengungkapkan peningkatan
risiko relatif (RR) kanker kandung kemih di mereka yang memiliki
riwayat infeksi saluran kemih (RR: 1,6, 95% CI: 1,4–1,8) atau batu
kandung kemih (RR: 1,8, 95% CI: 1,1–2,8), tetapi tidak batu ginjal,
menunjukkan bahwa peradangan kronis lokal diinduksi oleh infeksi
atau batu kandung kemih dapat menyebabkan keganasan. Demikian
pula, studi kasus-kontrol lain menggunakan National Health
Insurance Research Database (NHIRD) di Taiwan yang mendaftar
2086 kasus kanker kandung kemih ditemukan bahwa pria
dan wanita dengan kandung kemih
batu memiliki peningkatan risiko 3,45 dan 3,05 kali lipat
kanker kandung kemih masing-masing. Menggunakan
database yang sama, terpisah
studi melaporkan peningkatan rasio odds (OR: 3,18, 95%
CI:
2.75–3.68) untuk kanker ginjal, termasuk karsinoma sel
transisional
(TCC) dan karsinoma sel ginjal (RCC), pada orang dengan
riwayat
batu saluran kemih.

3.3.4 Patogenesis
Nefrolitiasis mengacu pada pembentukan dan impaksi batu
di pelvis ginjal dan kaliks. Batu yang menyumbat lama dapat
menyebabkan iritasi, peradangan kronis. Secara umum, iritasi
kronis dan infeksi merekrut sel-sel inflamasi yang mengeluarkan
sitokin dan kemokin. Selanjutnya, spesies stres oksidatif dari
oksigen dan nitrogen diproduksi, memfasilitasi timbulnya kanker
19

melalui peningkatan proliferasi sel. Hal ini dapat menyebabkan


'metaplasia' lapisan epitel. Metaplasia umumnya dari epitel
skuamosa dan kelenjar. Epitel metaplastik selanjutnya dapat
mengalami displasia dan masing-masing menghasilkan karsinoma
sel inskuamosa dan adenokarsinoma, keduanya merupakan tumor
yang sangat jarang pada ginjal. Tumor pelvis ginjal jarang terjadi,
dengan frekuensi relatif karsinoma sel transisional (90%),
karsinoma sel skuamosa (10%) dan adenokarsinoma (1%). Iritasi
kronis diduga merupakan penyebab paling mungkin dari
metaplasia dan transformasi keganasan 39.
Faktor etiologi yang berimplikasi adalah batu ginjal yang
bertahan lama terutama batu staghorn, infeksi, bahan kimia
endogen dan eksogen, schistosomiasis, merokok,
ketidakseimbangan hormon dan defisiensi vitamin A. Faktor-faktor
etiologi ini telah ditemukan berhubungan dengan karsinoma sel
skuamosa pelvis ginjal, namun asal-usul karsinoma sel skuamosa
parenkim ginjal tidak diketahui, meskipun mekanisme serupa
mungkin mendasarinya Namun, hubungan ini juga dapat dijelaskan
oleh faktor risiko lain yang bersamaan antara batu ginjal dan RCC
dan karsinoma urothelial saluran atas, misalnya obesitas, diabetes
mellitus dan beberapa faktor diet juga berhubungan dengan risiko
RCC 37,38.
20

3.3.5 Tatalaksana
Penelitian menunjukan bahwa tatalaksana untuk batu
saluran kemih dapat mengurangi risiko keganasan. Sebuah
percobaan prospektif untuk mengevaluasi waktu intervensi untuk
batu yang akan mempengaruhi risiko kanker tidak bisa dilakukan
karena batasan etik. Seperti yang diharapkan, pasien yang
menerima intervensi untuk batu saluran kemih dalam waktu 3
bulan setelah diagnosis memiliki kelangsungan hidup bebas kanker
lebih lama daripada mereka yang memulai pengobatan 3 bulan atau
lebih setelah diagnosis 50.
Tatalaksana pasien batu ginjal dengan tumor ginjal
dilakukan penyingkiran batu ginjal terlebih dahulu sebagai faktor
risiko terhadap munculnya tumor tersebut. Setelah batu ginjal dapat
dihilangkan, selanjutnya tatalaksana tumor dilakukan berdasarkan
sifat tumor melalui pemeriksaan histopatologi. Tatalaksana tumor
ginjal dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan jinak atau ganas
50
.
21
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien berusia 65 tahun dengan keluhan nyeri pinggang
kanan yang dirasakan hilang tumbul dengan sifat nyerinya adalah nyeri
tumpul. Pasien ini telah melakukan operasi batu ginjal dan pemasangan DJ
Stent 7 hari yang lalu. Kasus ini menyebutkan bahwa pasien menderita
hipertensi dan diabetes mellitus serta pola hidup pasien yang jarang
mengkonsumsi air putih, hampir setiap hari meminum kopi hitam 1-2 gelas
dan sering mengkonsumsi mie instan. Faktor risiko ini dapat dikaitkan
dengan kejadian batu ginjal pada pasien 36.
Pasien berusia 65 tahun, dimana tubuh akan mengalami penurunan
fungsi pada organ tubuh seperti kemampuan regenerasi pada nefron dalam
ginjal dan kontraksi otot pada tubuh sudah tidak teratur. Dimana dengan
bertambahnya usia maka akan mengalami proses penurunan fungsi organ
tubuh termasuk fungsi pada sistem urinarius. Hal ini bisa disebabkan oleh
beberapa nefron sudah tidak bekerja dengan baik yang menyebabkan proses
pengendapan yang tinggi di lengkung henle. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Tan pada tahun 2013, bahwa dapat mengakibatkan peluang
terjadinya proses pengendapan batu pada ginjal36.
Pasien sering mengkonsumsi kopi dalam sehari dimana terdapat kafein
300 – 400 mg atau lebih merupakan jumlah yang berlebihan karena dapat
meningkatkan kalsium dalam urin sebesar 10 mg/hari melalui penurunan
reabsorpsi ginjal. Sesuai dengan penelitian Zhai tahun 2021, bahwa
kandungan kalsium dengan konsentrasi yang banyak dalam kopi tidak mampu
diserap oleh ginjal maka akan dikeluarkan melalui urin dan meningkatkan
sedimentasi kalsium urin37. Konsumsi kafein dalam jangka waktu yang lama
sebagian besar memiliki sedimentasi urin abnormal. Hal ini ditunjukkan
dengan kandungan kopi salah satunya kafein yang mampu membuat tubuh
tetap terjaga, menahan kantuk dan meningkatkan produksi adrenalin sehingga
tubuh mengalami peningkatan energi yang spesifik dan akan mempengaruhi
peningkatan detak jantung. Kopi yang mengandung kafein jika dikonsumsi

22
23

berlebih dalam runtun waktu yang lama akan mempengaruhi hormon


adenosin sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan tekanan darah
meningkat hal tersebut yang mengakibatkan terjadinya hipertensi. Pada
penelitian Tan tahun 2013, hipertensi yang berkepanjangan pada seseorang
akan membuat jantung bekerja lebih cepat sehingga perlahan merusak
pembuluh darah diberbagai tubuh termasuk pada ginjal. Pembuluh darah pada
ginjal berfungsi sebagai penyaring guna mengeluarkan produk sisa darah
dalam tubuh. Namun jika pembuluh darah pada ginjal rusak, hal ini dapat
mempengaruhi proses metabolisme, sehingga terjadi penumpukan endapan
yang beresiko terbentuknya batu pada ginjal36.
Pasien ini mengkonsumsi air mineral < 2 liter sehari sebagian besar
mengalami sedimentasi abnormal. Hal ini ditunjukkan tubuh akan mengalami
kekurangan cairan atau dehidrasi. Dimana jika dehidrasi berkepanjangan
maka akan mempengaruhi proses metabolisme dan terjadinya penumpukan
zat sisa dalam tubuh sehingga berisiko terbentuknya endapan pada saluran
urinalisis. Kejadian ini berhubungan dengan penelitian Tan 2013, bahwa
kurangnya konsumsi air mineral merupakan faktor pembentukan batu ginjal
secara hidrasi. Dehidrasi akan meningkatkan gravitasi air kemih dan saturasi
sehingga terjadi penurunan pH dan menjadikan air kemih lebih pekat.
Seseorang yang mengkonsumsi kopi secara berlebih dan tidak diiringi dengan
asupan air mineral > 2 liter perhari akan mengalami dehidrasi dan
mempermudah proses terjadinya batu ginjal / saluran kemih 36.
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kenaikan kadar
kreatinin, sedangkan pada pemeriksaan radiologi pasien didapatkan
nefrolitiasis dextra dan lesi solid inhomogen dengan hasil patologi
anatominya adalah renal cell carcinoma. Pasien telah dilakukan operasi PNL
dextra dan Radical Nefrectomy Dextra. Diagnosis utama yang ditegakkan dari
kasus ini adalah renal cell carcinoma dextra dengan diagnosis klinis flank
pain dextra dan diagnosis sekundernya adalah hipertensi dan DM36.
Pada pasien ini diketahui memiliki penyakit batu ginjal dextra dan
tumor ginjal dextra secara bersamaan. Hal inni kemungkinan disebabkan
karena penegakkan diagnosis dan tatalaksana yang terlambat. Hal tersebut
24

juga didukung oleh penelitian Mlambo tahun 2018, bahwa diagnosis batu
ginjal lebih awal dapat memberikan jangka waktu yang lebih lama bagi batu
ginjal untuk menyebabkan iritasi kronis pada lingkungan setempat atau zat
terlarut yang berpotensi berbahaya dalam urin dan memiliki efek
karsinogenik. Oleh karena itu, asosiasi yang ditemukan dapat menunjukkan
bahwa gaya hidup pembentuk batu ginjal mungkin sudah berperan dalam
perkembangan kanker selama tahap awal kehidupan 37,38.
BAB 5
KESIMPULAN

a. Batu ginjal adalah suatu keadaan di dalam ginjal dimana terdapat komponen
kristal dan matriks organik
b. Tumor ginjal adalah jaringan baru yang tumbuh secara abnormal dan dapat
bersifat jinak ataupun ganas
c. Batu ginjal dan tumor ginjal memiliki hubungan yang erat yaitu batu yang
menyumbat lama dapat menyebabkan iritasi, peradangan kronis dan dapat
menyebabkan metaplasia lapisan epitel.
d. Tatalaksana pada nefrolithiasis dextra dilakukan PNL dextra
e. Tatalaksana pada tumor ginjal dextra dilakukan Radical Nefrectomy Dextra,
dan pemeriksaan patologi anatomi

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanchez, A., Feldman, A. S., & Hakimi, A. A. (2018). Current management of


small renal masses, including patient selection, renal tumor biopsy, active
surveillance, and thermal ablation. Journal of Clinical Oncology, 36(36),
3591.

2. Bratu, O., Mischianu, D., Marcu, D., Spinu, D., Iorga, L., Cherciu, A., ... &
Anghel, R. (2021). Renal tumor biomarkers. Experimental and Therapeutic
Medicine, 22(5), 1-7.

3. Perazella, M. A., Dreicer, R., & Rosner, M. H. (2018). Renal cell carcinoma for
the nephrologist. Kidney International, 94(3), 471-483.

4. Moch, H., Cubilla, A. L., Humphrey, P. A., Reuter, V. E., & Ulbright, T. M.
(2016). The 2016 WHO classification of tumours of the urinary system and
male genital organs—part A: renal, penile, and testicular
tumours. European urology, 70(1), 93-105.

5. Srisubat A, Potisat S, Lojanapiwat B, Setthawong V, Laopaiboon M.


Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Versus Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL) or Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS) for
Kidney Stones. Cochrane Database Syst Rev. 2014;11:9-11.

6. Ganpule AP, Shah DH, Desai MR. Postpercutaneous nephrolithotomy


bleeding: Aetiology and management. Curr Opin Urol. 2014;24(2):189–94.

7. Gombotz H. Patient blood management: A patient-orientated approach to blood


replacement with the goal of reducing anemia, blood loss and the need for
blood transfusion in elective surgery. Transfus Med Hemotherapy.
2012;39(2):67–72.

8. Kukreja R, Desai M, Patel S, Bapat S. Factors affecting blood loss during


Percutaneous Nephrolithotomy: Prospective Study. J Endourol.
2004;18(8):715-22.

9. Sherwood, L. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. US: Cengage
Learning; 2009. p. 554-602.

10. Said SHA, Al Kadum Hassan MA, Ali RHG, Aghaways I, Kakamad FH,
Mohammad KQ. Percutaneous nephrolithotomy; alarming variables for
postoperative bleeding. Arab J Urol. 2017;15(1):24–9.

11. Mousavi-Bahar SH, Mehrabi S, Moslemi MK. Percutaneous nephrolithotomy


complications in 671 consecutive patients: A single-center experience. Urol
J. 2011;8(4):271–6.

12. Lee JK, Kim BS, Park YK. Predictive factors for bleeding during
percutaneous nephrolithotomy. Korean J Urol. 2013;54(7):448–53.

26
27

13. Turna B, Nazli O, Demiryoguran S, Mammadov R, Cal C. Percutaneous


Nephrolithotomy: Variables That Influence Hemorrhage. Jour of Urology.
2007;69(4):603–7.

14. Akman T, Sari E, Binbay M, Yuruk E, Tepeler A, Kaba M, et al. Comparison


of outcomes after percutaneous nephrolithotomy of staghorn calculi in those
with single and multiple accesses. J Endourol. 2010;24(6):955–60.

15. Standring S. Gray’s Anatomy. 41st ed. Churchill Livingstone Elsevier. The
anatomical basis of clinical practice. Philadelphia; 2015:1821-65.

16. Aggarwal, K. P., Narula, S., Kakkar, M., & Tandon, C. (2013).
Nephrolithiasis: molecular mechanism of renal stone formation and the
critical role played by modulators. BioMed research international, 2013.
17. Levi, M., & Bruesegem, S. (2008). Renal phosphate–transporter regulatory
proteins and nephrolithiasis. The New England journal of
medicine, 359(11), 1171.

18. Ratkalkar, V. N., & Kleinman, J. G. (2011). Mechanisms of stone


formation. Clinical reviews in bone and mineral metabolism, 9(3), 187-197.

19. Vervaet, B. A., Verhulst, A., d'Haese, P. C., & De Broe, M. E. (2009).
Nephrocalcinosis: new insights into mechanisms and
consequences. Nephrology Dialysis Transplantation, 24(7), 2030-2035.

20. Scanlon VC, Sanders T. Essential Of Anatomy And Physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007. p. 499-502.

21. Van de Graaf KM. Human Anatomy. 8th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2016. p. 886.

22. Mader S. Understanding anatomy & physiology. 9th ed. Boston: McGraw-
Hill; 2017. p. 372-385.

23. Bahdarsyam. Spektrum Bakteriologik Pada Berbagai Jenis Batu Saluran


Kemih Bagian Atas di RS H. Adam Malik Medan. Medan : Bagian Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2011. p, 1-40.

24. Moe OW. Kidney stones: Pathophysiology and medical management. Lancet,
2006; 367: 333-44.

25. Sohgaura A, Bigoniya P. A Review on Epidemiology and Etiology of Renal


Stone. Am J Drug Discov Dev. 2017; 7(2):54–62.

26. Lopez M, Hoppe B. History, epidemiology and regional diversities of


urolithiasis. Pediatr. Nephrol. 2010; 25: 49-59.

28. Bartoletti R, Cai T, Mondaini N, Melone F, Travaglini F, Carini M, Rizzo M.


Epidemiology and risk factors in urolithiasis. Urol Int. 2007; 79: 3–7.
28

29. Ballard, B. D., & Guzman, N. (2022). Renal Mass. In StatPearls [Internet].
StatPearls Publishing.

29. Zhang, C.Y, W.H. Wu, J, Wang and M.B. Lan. Antioxidant properties of
polysaccharide from the brown seaweed Sargassum graminifolium (Turn.)
and its effects on calcium oxalate crystallization. Mar. Drugs, 2012; 10:
119-130

31. Williamson, S. R., Gill, A. J., Argani, P., Chen, Y. B., Egevad, L., Kristiansen,
G., ... & Hes, O. (2020). Report from the International Society of Urological
Pathology (ISUP) consultation conference on molecular pathology of
urogenital cancers. III. Molecular pathology of kidney cancer. The
American journal of surgical pathology, 44(7), e47.

32. Pandey, J., & Syed, W. (2021). Renal Cancer. In StatPearls [Internet].
StatPearls Publishing.

33. Woo, S., & Cho, J. Y. (2015). Imaging findings of common benign renal
tumors in the era of small renal masses: differential diagnosis from small
renal cell carcinoma: current status and future perspectives. Korean journal
of radiology, 16(1), 99-113.

34. Scelo, G., & Larose, T. L. (2018). Epidemiology and risk factors for kidney
cancer. Journal of Clinical Oncology, 36(36), 3574.

35. Nabi, S., Kessler, E. R., Bernard, B., Flaig, T. W., & Lam, E. T. (2018). Renal
cell carcinoma: a review of biology and
pathophysiology. F1000Research, 7.

36. Tan, P. H., Cheng, L., Rioux-Leclercq, N., Merino, M. J., Netto, G., Reuter,
V. E., ... & Panel, T. I. R. T. (2013). Renal tumors: diagnostic and
prognostic biomarkers. The American journal of surgical pathology, 37(10),
1518.

36. Wiliyanarti, P. F., Atrasina, J., & Maulidiyanti, E. T. S. (2021). Studi


Pemeriksaan Sedimen Urine berdasarkan Karakteristik Pada Penikmat Kopi
di Asrama Kiwal Brawijaya Surabaya. THE JOURNAL OF
MUHAMMADIYAH MEDICAL LABORATORY TECHNOLOGIST, 4(2),
157-169.

37. Puri, S., Gupta, N., & Sharma, S. (2015). Nephrolithiasis Associated Rare
Renal Tumors Masquerading Non-Functional Kidney. J Nephrol
Ther, 5(226), 2161-0959.

37. Safitri, E., & Fitranti, D. 2015. Hubungan Asupan Kafein dengan Kalsium
Urin pada Laki-Laki Dewasa Awal. Jorunal of Nutrition College, 4(2): 458 .

37. Zhai, J., Liu, N., Wang, H., Huang, G., & Man, L. (2021). Clinical
characteristics and prognosis of renal cell carcinoma with spinal bone
metastases. Frontiers in Oncology, 11, 2216.
29

38. Mlambo, N. E., Dlamini, N. N., & Urry, R. J. (2018). Correlation between
radiological and histopathological findings in patients undergoing
nephrectomy for presumed renal cell carcinoma on computed tomography
scan at Grey’s Hospital. SA Journal of Radiology, 22(1), 1-8.

39. Van de Pol, J. A., van den Brandt, P. A., & Schouten, L. J. (2019). Kidney
stones and the risk of renal cell carcinoma and upper tract urothelial
carcinoma: the Netherlands Cohort Study. British journal of cancer, 120(3),
368-374.

40. Cheungpasitporn, W., Thongprayoon, C., O’corragain, O. A., Edmonds, P. J.,


Ungprasert, P., Kittanamongkolchai, W., & Erickson, S. B. (2015). The risk
of kidney cancer in patients with kidney stones: a systematic review and
meta-analysis. QJM: An International Journal of Medicine, 108(3), 205-
212.

41. Stengel, B. (2010). Chronic kidney disease and cancer: a troubling


connection. Journal of nephrology, 23(3), 253.

42. Uribarri, J. (2020). Chronic kidney disease and kidney stones. Current


opinion in nephrology and hypertension, 29(2), 237-242.

43. Chuang, T. F., Hung, H. C., Li, S. F., Lee, M. W., Pai, J. Y., & Hung, C. T.
(2020). Risk of chronic kidney disease in patients with kidney stones—a
nationwide cohort study. BMC nephrology, 21(1), 1-7.

44. Sigurjonsdottir, V. K., Runolfsdottir, H. L., Indridason, O. S., Palsson, R., &
Edvardsson, V. O. (2015). Impact of nephrolithiasis on kidney
function. BMC nephrology, 16(1), 1-7.

45. McCredie, M., & Stewart, J. H. (1992). Risk factors for kidney cancer in New
South Wales, Australia. II. Urologic disease, hypertension, obesity, and
hormonal factors. Cancer Causes & Control, 3(4), 323-331.

46. Chow, W. H., Gridley, G., Linet, M. S., Pennello, G. A., Fraumeni Jr, J. F.,
Lindblad, P., ... & Adami, H. O. (1997). Risk of urinary tract cancers
following kidney or ureter stones. Journal of the National Cancer
Institute, 89(19), 1453-1457.

47. Liu, S. P., Chung, S. D., & Lin, H. C. (2013). A population-based study on the
association between urinary calculi and kidney cancer. Canadian
Urological Association Journal, 7(11-12), e716-21.

48. Sun, L. M., Lin, C. L., Chang, Y. J., Liang, J. A., Liu, S. H., Sung, F. C., &
Kao, C. H. (2013). Urinary tract stone raises subsequent risk for urinary
tract cancer: a population‐based cohort study. BJU international, 112(8),
1150-1155.

49. Shih, C. J., Chen, Y. T., Ou, S. M., Yang, W. C., Chen, T. J., & Tarng, D. C.
(2014). Urinary calculi and risk of cancer: a nationwide population-based
30

study. Medicine, 93(29)

50. Lin, C. L., Huang, W. T., Fan, W. C., Feng, Y. H., Lin, C. H., Lin, C. S., ... &
Lin, S. H. (2016). Associations between interventions for urolithiasis and
urinary tract cancer among patients in Taiwan: The effect of early
intervention. Medicine, 95(49).

51. Chow, W. H., Gridley, G., Linet, M. S., Pennello, G. A., Fraumeni Jr, J. F.,
Lindblad, P., ... & Adami, H. O. (1997). Risk of urinary tract cancers
following kidney or ureter stones. Journal of the National Cancer
Institute, 89(19), 1453-1457.

Anda mungkin juga menyukai