Anda di halaman 1dari 28

MATERI I

PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN


PENANGANAN HEWAN UJI

1.1. Latar Belakang

Keandalan pengamatan manusia terhadap suatu subyek dalam suatu pengamatan


sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukannya suatu alat atau obyek tertentu untuk dapat
membantunya dan yang dapat pula dipergunakan sebagai subyek dalam penelitian,
diantaranya adalah dengan mempergunakan hewan-hewan percobaan.

Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini. Kegunaan hewan


percobaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek yang diinginkan, sebagai model,
di samping itu di bidang farmasi juga digunakan sebagai alat untuk mengukur besaran
kualitas dan kuantitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia.
Tidak semua hewan coba dapat digunakan dalam suatu penelitian, harus dipilih
mana yang sesuai dan dapat memberikan gambaran tujuan yang akan dicapai. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di
samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. Oleh karena itu, kita dapat dan lebih mudah
menggunakan hewan coba sebagai hewan percobaan.
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk
penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam
kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola
kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat
manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik
percobaan yang meng-gunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan
percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya
dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan per-
cobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan
umat manusia melalui suatu penelitian biomedis.

Praktikum Farmakologi | 1
1.2. Tujuan Percobaan

Setelah melakukan perobaan ini, Mahasiswa diharapkan :

a. Mengetahui dan memahami karakteristik hewan - hewan yang lazim digunakan


sebagai hewan perobaan.
b. Dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan seperti mencit, tikus, kelici,
dan lain-lainnya untuk keperluan perobaan.
c. Agar mengetahui sifat – sifat hewan percobaan.

1.3. Prinsip Percobaan

Berdasarkan cara penanganan hewan percobaan yang baik dan benar.

1.4. Teori Dasar

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel
hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa
tersebut disebut obat, dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan resiko
penggunaan obat. Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang ( the art of
weighing).

Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,


mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya
membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan hewan coba.
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu cara membuat,
menformulasi, menyimpan dan menyediakan obat.

Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci dalam


mengembangkan suatu penelitian dan telah banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan, khususnya
pengetahuan tentang berbagai macam penyakit seperti: malaria, filariasis, demam berdarah,
TBC, gangguan jiwa dan semacam bentuk kanker. Hewan percobaan tersebut oleh karena
sebagai alternatif terakhir sebagai animal model. Setelah melihat beberapa kemungkinan
peranan hewan percobaan, maka dengan berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya hewan
percobaan, akan berakibat penurunan standar keselamatan obat-obatan dan vaksin, bahkan
dapat melumpuhkan beberapa riset medis yang sangat dibutuhkan manusia
(Sulaksono,1992:318).

Praktikum Farmakologi | 2
Hewan coba/hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk
penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam
kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola
kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat
manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik
percobaan yang menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan
percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya
dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan
percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan
umat manusia melalui suatu penelitian biomedis (Sulaksono,1992:321).

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik
hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :

1) Hewan liar.
2) Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka
3) Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).
4) Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator.

Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan


yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan
percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan
konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.

Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang
dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan
hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (Malole,1989:475) :

1) Faktor internal pada hewan percobaan sendiri: umur, jenis kelamin, bobot badan,
keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2) Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang,
populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan

Praktikum Farmakologi | 3
percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara
pemeliharaan.

Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan


percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap
hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di
samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi
respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan
efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk
sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa
bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses absorpsi
terlebih dahulu.

Semua jenis hewan percobaan harus ditempatkan dalam lingkungan yang stabil dan
sesuai dengan keperluan fisiologis, termasuk memperhatikan suhu, kelembaban dan
kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari. Kebanyakan hewan coba tidak
dapat berkembangbiak dengan baik pada kamar lebih tinggi dari suhu 300C. Mencit, tikus
dan marmut maksimum perkembangbiakannya pada suhu 300C, kelinci pada suhu 2500C
(Malole,1989:481).

Table volume maksimum pemberian obat pada hewan uji :

Praktikum Farmakologi | 4
1.5. Metode Kerja
a. Alat dan Bahan : Sarung tangan steril, Sarung tangan kain, Hewan uji (Tikus, Mencit,
Kelinci, dll.) Koran, Sabun, Masker.
b. Prosedur :
 Mencit. dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan
kanan, biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit
tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan,
dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian,
mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.
 Tikus. Angkat dengan cara memegang bagian ujung ekor, letakkan pada kawat
kandang.Tangan kiri bergerak dari belakang dengan jari tengah dan telunjuk
“mengunci” tengkuknya, sementara ibu jari menjepit kaki depan. Untuk
perlakuan yang hanya memerluka n ekor, masukkan ke dalam “holder”.

Praktikum Farmakologi | 5
 Kelinci. Perlakukan dengan halus. Jangan memegang telinga saat
mengangkat / menangkap. Pegang kulit leher kelinci dengan tangan kiri.
Dekapkan kearah tubuh.

1.6. Hasil dan Data Pengamatan


a. Mencit
Ø Cendrung berkumpul bersama
Ø   Penakut, fotofobik
Ø   Lebih aktif pada malam hari
Ø   Aktivitas terhambat dengan kehadiran manusia
Ø   Tidak mengigit

b. Tikus
Ø  Sangat cerdas
Ø  Tidak begitu fotofobik
Ø  Aktivitasnya tidak terhambat dengan kehadiran manusia
Ø  Bila diperlakukan kasar atau dalam keadaan defisiensi
nutrisi, cendrung menjadi galak dan sering menyerang
Ø  Dapat hidup sendiri di kandangnya

c. Kelinci
Ø  Jarang bersuara kecuali dalam kondisi nyeri yang luar biasa
Ø  Cendrung berontak bila kenyamannya terganggu
Ø  Sangat rentan terhadap angin langsung dan udara dingin
Ø  Untuk perlakuan yang hanya memerlukan kepala, masukkan ke dalam “holder”

1.7. Pembahasan

Praktikum Farmakologi | 6
Pada praktikum kali ini, mempraktikkan tentang cara - cara penanganan hewan
percobaan dengan benar. Hewan percobaan untuk praktikum farmakologi ini ada berbagai
jenis, di antaranya ada kelinci, tikus dan mencit. Namun karena hewan yg paling banyak di
gunakan dalam percobaan di laboratorium adalah mencit dan juga tikus putih, maka kedua
hewan itulah yang digunakan dalam praktikum ini.

Cara penanganan hewan – hewan percobaan ini pun berbeda – beda sesuai dengan
karakteristiknya masing – masing hewan. Pada saat praktikum kita tidak boleh membuat
mencit dan tikus tersebut depresi / stres, karena mereka akan lebih agresif bila sedang merasa
terganggu. Dan bila mereka merasa stres, maka mereka dapat memberontak atau malah dapat
menggigit tangan kita hingga terluka. Kita harus membuat mereka nyaman sehingga kita
mudah untuk melakukan pengamatan. Kita juga harus belajar cara memegang tikus atau
mencit yg baik.

Langkah awal dari percobaan ini adalah menyiapkan alat dan bahan. Setelah itu
mulai mempraktekkan cara memperlakukan hewan percobaan yang sebelumnya telah
dijelaskan oleh asisten.

Cara memegang mencit yang baik adalah letakkan mencit di kawat atau permukaan
yg kasar tujuannya agar mencit bisa mencengkram bagian kawat kemudian pegang ekornya
menggunakan tangan kiri, kemudian tarik sebagian kulit punggung dari mencit lalu balikkan
badannya sehingga wajahnya menghadap ke kita. Dibawah ini contoh gambarnya.

Selanjutnya cara memegang tikus yang baik adalah letakkan tikus di kawat,
kemudian pegang ekornya menggunakan tangan kiri, jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanan di tempatkan di depan kaki tikus, kemudian ibu jari berada di tengah di antara kaki kiri
dan kaki kanan tikus lalu tikus di angkat dan dibalik sehingga wajahnya menghadap kita.

Praktikum Farmakologi | 7
Sebelum memegang tikus / mencit ini kita harus membuat mereka nyaman dengan cara
mengelus-elusnya sampai mereka merasa nyaman.

Kemudian hal – hal yg harus di perhatikan bila ingin memegang hewan - hewan
percobaan ini adalah harus menggunakan sarung tangan dan masker. Tujuan menggunakan
sarung tangan adalah untuk mengurangi kontaminasi langsung dengan tikus / mencitnya.
Karena ditakutkan adanya bakteri pada tubuh hewan tersebut, kemudian untuk menjaga agar
bila tikus / mencitnya menggigit tidak langsung terkena kulit tangan kita, akan tetapi terkena
sarung tangannya lebih dahulu.

Kita harus mempelajari cara – cara menangani dan memegang hewan – hewan
percobaan ini agar mempermudah untuk pemberian obat pada praktikum – praktikum
selanjutnya. Setelah melakukan praktikum tersebut, praktikan wajib membersihkan tangan
dengan antibakteri (hand sanitizer) atau langsung mencuci tangan dengan sabun. Agar kuman
atau bakteri yang ada pada mencit dan tikus tidak masuk ke dalam tubuh. Jika praktikan
terkena gigitan dari hewan tersebut, maka harus cepat – cepat di bersihkan dengan sabun dan
bila perlu langsung di beri alkohol pada bagian yang terluka. Hal ini karena alkohol dapat
menghentikan proses pendarahan yang berlangsung.

1.8. Kesimpulan

Kesimpulan pada praktikum kali ini adalah penanganan hewan percobaan terhadap
mencit lebih mudah ditangani dari pada menggunakan tikus. Hal ini dikarenakan karakteristik
dari mencit yang cenderung lebih penakut dari pada tikus. Dalam praktikum penanganan
hewan percobaan ini faktor yang berpengaruh adalah faktor dari lingkungan sekitar. Hal
mendasar yang perlu diperhatikan untuk handling hewan uji yaitu dengan memahami dan
mengenali karakteristik masing-masing hewan uji dan melakukannya dengan lembut
(usahakan hewan nyaman dan tidak stress).

1.9. Daftar Pustaka


 Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-
UI.
 Tim Dosen. 2018. Penuntun Praktikum Farmakologi. Jakarta: ISTN.

 Malole, M. B. M. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan Di


Laboratorium. Bogor: IPB. Ditjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi.

Praktikum Farmakologi | 8
MATERI II
EKSPERIMEN DASAR: PENGARUH RUTE PEMBERIAN
TERHADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK

2.1. Latar Belakang

Peran organ dalam tubuh seseorang merupakan hal terpenting dalam proses ekresi
obat. Obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami absorsi, distribusi, metabolisme dan
yang terakhir eskresi. Dalam proses tersebut dibutuhkan organ yang sehat dan kuat jika tidak
obat dapat menjadi racun dalam tubuh kita.

Farmakologi mempelajari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk


menentukan toksisitasnya. Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi
dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda.

Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang
lainnya harus ditentukan dan ditetapkan sebagai petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan
bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya
atau petunjuk pemakaiannya.

Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan


proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat
seperti absorpsi, kecepatan absorpsidan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat
atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (durationof
action), intensitas kerja obat, respon farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respon tertentu.

2.2. Tujuan Percobaan


a. Mengenal,mempraktekkan,dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap
kecepatan absorbsinya,menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.
b. Mempelajari dan mengamati pengaruh dari obat penekan syaraf pusat.
c. Mengetahui respon sedasi pada mencit

2.3. Prinsip Perobaan


Dengan memasukan sediaan obat melalui beberapa rute sesuai dengan prosedur,
kemudian diamati efek yang timbul (onset kerja dan lama kerja obat).

Praktikum Farmakologi | 9
2.4. Teori Dasar
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Gunawan, 2009).
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah
kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal
ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu
tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzung, B.G, 1989).
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam
tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek
yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto,
2008).

a. Jalur enteral
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti
pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral
merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling
mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah
absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat
menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan
kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat
diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat
harus diberikan secara enteral.
b. Jalur parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan
endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek
sistemik atau lokal. (Priyanto, 2008)
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta
kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

Praktikum Farmakologi | 10
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam
rute. (Priyanto, 2008)

Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral,
karena mudah, aman, dan murah. Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus,
karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara
oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih
dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.Kerugian pemberian per oral adalah
banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak
semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian
akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya
melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas
pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual,
rektal, atau memberikannya bersama makanan.

Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam
sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara capat, tepat, dan dapat
disesuaikan langsung dengan respon penderita. Kerugiannya adalah mudah tercapai efek
toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan, dan obat tidak
dapat ditarik kembali.Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya
boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya
terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Injeksi intramuskular (IM)
atau suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh
kelarutan obat dalam air.

Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan
meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari (Tjay, 2002).

Praktikum Farmakologi | 11
Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan
menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay, 2002). Obat-obat sedatif/sedativa pada
dasarnya segolongan dengan hipnotik, yaitu obat-obat yang bekerja menekan reaksi terhadap
perangsangan terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Bila obat-
obat hinotik menyebabkan kantuk dan tidur yang sulit di bangunkan disertai penurunan
refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri,1995).
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP),
mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat
(kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis.
Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan
dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D.,
1995).
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja yaitu khasiat
anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot. Keuntungan obat ini
dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak
merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa
efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya
menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2002).

2.5. Metode Kerja


a. Bahan dan Alat : spuit injeksi (0,1-2 ml), jarum sonde/ujung tumpul/membulat, labu
ukur 10 ml, stop watch, timbangan tikus, neraca analitik, alat-alat gelas, batang
pengaduk. bahan: aquabidest, diazepam, hewan coba (mencit), kapas dan alkohol.

Praktikum Farmakologi | 12
b. Prosedur kerja :
Pengaruh Cara Pemberian Obat Terhadap Absorbsi Obat

Hewan Uji Diazepam


- Ditimbang bobot badannya - Dihitung konversi dosis
- Dihitung konsentrasi
larutan stok obat
- Dihitung jumlah obat yang
diambil
- Dihitung volume diazepam
yang akan diberikan
dengan dosis 10/70 mg/kg

Obat diberikan ke hewan

Peroral subkutan Intra Muskular Intra Peritoneal Intra Vena

Hewan
- Diamati dan dicatat dengan seksama waktu mulai
hilangnya reflek balik badan sampi dengan
kembalinya reflek balik badan
- Dihitung onset dan durasi waktu tidur diazepam dari
masing-masing kelompok percobaan
Hasil

2.6. Hasil dan Data Pengamatan


Faktor Konversi manusia 70 kg ke Mencit 20 mg = 0,0026
1. Mencit 1 – Per Oral
Dosis Diazepam pada manusia : 5 mg
BB mencit-1 = 35 g
Pengenceran = 20 x

Praktikum Farmakologi | 13
35 g
Dosis konversi mencit = x 5 mg x 0,0026
20 g
= 0,02275 mg
Kadar Diazepam dalam sediaan = 5 mg/ml
0,02275 mg
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
5 mg
= 0,00455 ml x 20
= 0,091 ml
2. Mencit 2 – Subkutan
Dosis Diazepam pada manusia : 5 mg
BB mencit-2 = 29 g
Pengenceran = 20 x
29 g
Dosis konversi mencit = x 5 mg x 0,0026
20 g
= 0,01885 mg
Kadar Diazepam dalam sediaan = 5 mg/ml
0,01885 mg
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
5 mg
= 0,00377 ml x 20
= 0,0754 ml
3. Mencit 3 – Intravena
Dosis Diazepam pada manusia : 5 mg
BB mencit-3 = 33 g
Pengenceran = 20 x
33 g
Dosis konversi mencit = x 5 mg x 0,0026
20 g
= 0,0215 mg
Kadar Diazepam dalam sediaan = 5 mg/ml
0,0215 mg
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
5 mg
= 0,0043 ml x 20
= 0,086 ml
4. Mencit 4 – Intraperitonial
Dosis Diazepam pada manusia : 5 mg
BB mencit-4 = 36 g

Praktikum Farmakologi | 14
Pengenceran = 20 x
36 g
Dosis konversi mencit = x 5 mg x 0,0026
20 g
= 0,0235 mg
Kadar Diazepam dalam sediaan = 5 mg/ml
0,0235 mg
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
5 mg
= 0,00468 ml x 20
= 0,094 ml
5. Mencit 5 – Intramuscular
Dosis Diazepam pada manusia : 5 mg
BB mencit-5 = 27 g
Pengenceran = 20 x
27 g
Dosis konversi mencit = x 5 mg x 0,0026
20 g
= 0,0175 mg
Kadar Diazepam dalam sediaan = 5 mg/ml
0,0175 mg
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
5 mg
= 0,00351 ml x 20
= 0,0702 ml

Tabel hasil pengamatan :


Hewan Obat Rute Pengamatan Onset Durasi
kerja Kerja
Waktu Waktu Waktu
obat Obat
Pemberian Hilang Kembali
(menit) (menit )
Obat Righting Righting
Reflex Reflex

Mencit Diazepam 5 PO 14.35 14.56 15.57 21 61


mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 SC 14.30 15.46 15.57 16 71


mg/ 70 kg

Praktikum Farmakologi | 15
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IV 14.45 14.55 15.52 10 57


mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IP 14.44 14.50 16.08 6 78


mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IM 14.36 14.52 16.05 16 73


mg/ 70 kg
BB Manusia

2.7. Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu tentang pengaruh cara pemberian terhadap absorbsi
obat dan pengujian efek sedative pada mencit jantan dengan menggunakan obat diazepam.
Dari percobaan kali ini diharapkan dapat diketahui pengaruh cara pemberian obat terhadap
daya absorbsi yang selanjutnya akan berpengaruh pada efek farmakologi obat. Salah satu cara
untuk mengetahui pengaruh antara kedua variable tersebut, dengan membandingkan waktu
durasi dan onsetnya. Onset adalah waktu dari obat untuk menimbulkan efek terapi. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,setelah tubuh menyerap semakin
banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat,namun konsentrasi
puncak puncak respon. Durasi kerja adalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi dalam
tubuh (Gunawan, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi suatu zat atau obat antara lain :

 Cara pemberian obat


 Sirkulasi darah ke tempat pemberian (semakin cepat aliran darah maka semakin cepat
obat tersebut dibawa untuk diabsorbsi)
 Daya larut obat
 Derajat ionisasi obat
 Luas permukaan absorbsi obat
 Ukuran partikel molekul obat (semakin kecil ukuran partikel obat maka semakin cepat
obat tersebut diabsorbsi)

Praktikum Farmakologi | 16
 Formulasi obat (apabila obat tersebut berikatan dengan zat-zat kimia lain di dalam

tubuh maka semakin sulit obat tersebut untuk diabsorbsi). (Depkes RI,1995).
Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor mencit. Alasan
digunakannya mencit sebagai hewan uji percobaan ini yaitu mencit memiliki sistem fisiologis
yang mirip dengan manusia, Pengamatan mencit lebih mudah dan lebih ekonomis (Tjay,T.H
dan Rahardja,K, 2002).
Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu menyiapkan alat-alat dan bahan yang
akan di gunakan. Obat yang digunakan adalah diazepam. Dimana diazepam ini termasuk
golongan benzodiazepine. ( Ganiswarna, 2008 ).
Ada beberapa cara pemberian obat yaitu peroral, subkutan, intramuscular,
intraperitonial dan intravena.

Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan menimbang
bobot mencit . Penimbangan bobot mencit yaitu menetapkan kadar yang sesuai bagi mencit
agar tidak over dosis. Langkah tersebut dilakukan karena setiap cara pemberian obat
memiliki volume maksimum masing-masing dan berbeda satu sama lain.
Langkah kedua yang dilakukan adalah memberi tanda yang berbeda ke mencit untuk
memudahkan dalam pengamatan. Selanjutnya pada tiap-tiap mencit dilakukan perlakuan
pemberian obat sesuai dosis dan rutenya masing-masing. Pengamatan dilakukan dengan
melihat tingkah laku mencit kapan mulai lemas dan reflex balik badannya mulai hilang.
Berdasarkan pengamatan, onset yang paling cepat ialah intraperitonial – intravena –
intramuscular & subkutan – terakhir oral. Namun, menurut literatur pada rute intraperitonial
seharusnya ada diurutan kedua setelah rute intravena.
Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada rute pemberian obat intravena dan
paling lambat pada pemberian obat per oral. Pada rute intravena, obat tidak melalui proses
absorbsi melainkan langsung masuk ke pembuluh darah. Karena pemberian obat melalui rute
intravena tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat
disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian
intravena biasanya menyebabkan efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik jika terjadi
kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh
diberikan karena mengendapkan konstituen darah (Priyanto, 2008).

Praktikum Farmakologi | 17
Rute intraperitonial memiliki waktu onset paling cepat kedua karena rongga perut
mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh
darah (Anief, 1990).

Rute tercepat ketiga intramuscular yang mengandung lapisan lemak kecil sehingga
obat akan terhalang oleh lemak sebelum terabsorbsi dan rute subkutan mengandung lemak
yang cukup banyak ada pada rute tercepat keempat(Katzung, 1986). Rute per oral memiliki
waktu onset paling lama karena obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai
reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat (Gunawan,
2009). Meskipun pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat yang umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang
dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama.

Sedangkan menurut pengamatan durasi yang paling cepat ialah intravena. Hal ini
tidak sesuai dengan literatur yang mengatakan pada per oral didapatkan durasi terpendek,
disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan
tidak aktif. Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat yang
berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian
secara intraperitonial, obat dengan kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan
langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat
yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini
disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga
secara perlahan - lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama. Pada rute
intramuskular terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama (Anief, 1990).

Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya
dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbsi obat di sini
berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorbsi obat berpengaruh terhadap
durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah
ada faktor penghambatnya.  Cara pemberian obat yang ideal adalah obat dengan onset cepat
dan durasi panjang. (Ansel, 1986).

Adanya ketidaksesuaian dengan literatur kemungkinan disebabkan oleh


ketidaktelitian praktikan dalam mengamati gejala yang ditimbulkan oleh mencit dan
praktikan belum memahami dengan jelas refleks balik badan yang benar pada mencit.

Praktikum Farmakologi | 18
2.8. Kesimpulan
Cara pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat sehingga berpengaruh pada onset dan durasi. Rute pemberian yang dilakukan pada
praktikum kali ini meliputi per oral, subkutan, intramuskular, intraperitoneal dan intravena.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil rute pemberian paling cepat
menurut onsetnya yaitu intraperitonial dan disusul intravena, sedangkan menurut durasinya
yang paling cepat ialah intravena. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki onset cepat dan
durasi yang lama.

2.9. Daftar Pustaka


 Anief, M., 1990. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
 Depkes RI., 1995, Farmakope indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
 Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-
UI.
 Katzung, Bertram. G., 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
 Priyanto., 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Depok : Leskonfi
 Tjay, T. H. dan Rahardja K., 2002. Obat – Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta :
Penerbit Elex Media Komputindo

Praktikum Farmakologi | 19
MATERI III
PENGARUH VARIASI KELAMIN
TERHADAP DOSIS OBAT

3.1. Tujuan Percobaan


1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan.
2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda
antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan
memakai hewan coba.

3.2. Teori Dasar


Selama ini variasi kelamin bukan merupakan suatu masalah atau latar belakang
dalam penentuan dosis suatu obat-obat tertentu. Variasi kelamin adalah pengertian tentang
bagaimana obat akan memberikan mula efek yang berbeda antara hewan uji coba jantan
danbetina.Umumnya, pada faktor-faktor superfisial yang sama antara penerima obat
(misalnyausia, jenis kelamin, bobot badan dan luas permukaan tubun serta ras) pada
pemberian obat yang sama, dengan dosis yang sama, rute pemberian yang sama masih dapat
diamati efek-efek farmakologi secara kuantitatif berbeda, meskipun status fungsional dan
strukturall penerima obat adalah sama. Sebab itu diambil kesimpulan bahwa yang
menyebabkanperbedaan-perbedaan ini adalah variasi biologik antara lain jenis kelamin.Jenis
kelamin dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan yang kuantitatif dalam efek farmakologi
obat.

Praktikum Farmakologi | 20
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelaminterhadap
kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisme dengan kecepatan yang sama baik
pada tikus jantan maupun betina. Mencit betina dewasa ternyata memetabolisme beberapa
obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan Mencit jantan.

3.3. Metode Kerja


a. Alat dan bahan : 2 ekor mencit jantan, 2 ekor mencit betina, Alat suntik, Diazepam
5mg/70kgBB manusia, Larutan NaCl fisiologis 0,9%, Timbangan hewan, Wadah
tempat pengamatan, Kapas, Alcohol
b. Prosedur kerja :
1. Siapkan hewan coba 2 ekor mencit jantan dan 2 ekor mencit betina
2. Timbang masing-masing hewan coba
3. Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai dengan
berat badan
4. Lakukan pemberian larutan diazepam 5mg/70kgBB pada 4 ekor hewan coba secara
IP (intraperitonial) dan catat waktu pemberiannya.
5. Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit dimulai
setelah pemberian obat.Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur, tetapi masih
memberikan respon bila dirangsang.
6. Catat hasil pengamatan dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok

3.4. Hasil dan Data Pengamatan


a. Perhitungan dosis
 Mencit betina I
a. Berat badan : 25 gram
b. Dosis Diazepam pada manusia : 5mg
c. Faktor konversi dari 70kg manusia- 20g mencit : 0,0026
d. Dosis Diazepam pada mencit

25 g
x 5 mg x 0,0026=0,01625 mg
20 g

e. Kadar Diazepam dalam sediaan : 5mg/ml


f. Volume Diazepam yang diambil

Praktikum Farmakologi | 21
0,01625 mg
x 1 ml x 20=0,065 ml
5 mg

 Mencit betina II
g. Berat badan : 25 gram
h. Dosis Diazepam pada manusia : 5mg
i. Faktor konversi dari 70kg manusia- 20g mencit : 0,0026
j. Dosis Diazepam pada mencit

25 g
x 5 mg x 0,0026=0,01625 mg
20 g

k. Kadar Diazepam dalam sediaan : 5mg/ml


l. Volume Diazepam yang diambil : 0,065 ml
 Mencit jantan I
a. Berat badan : 32 gram
b. Faktor konversi dari 70kg manusia- 20g mencit : 0,0026
c. Dosis diazepam pada mencit

32 g
x 5 mg x 0,0026=0,0208 mg
20 g

d. Volume diazepam yang diambil

0,0208 mg
x 1 ml x 20=0,083 ml
55 mg

 Mencit jantan II
e. Berat badan : 34 gram
f. Faktor konversi dari 70kg manusia- 20g mencit : 0,0026
g. Dosis diazepam pada mencit

34 g
x 5 mg x 0,0026=0,0221 mg
20 g

h. Volume diazepam yang diambil

0,0221mg
x 1 ml x 20=0,0884 ml
55 mg

Praktikum Farmakologi | 22
b. Hasil Pengamatan
HEWAN OBAT RUTE PENGAMATAN ONSET DURASI
KERJA KERJA
WAKTU WAKTU WAKTU
OBAT OBAT
PEMBERIAN HILANG KEMBALI
(MENIT) (MENIT)
OBAT RIGHTING RIGHTING
REFLEX REFLEX

Mencit Diazepam 5 IP 14.30 14.44 15.45 14 61


Jantan mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IP 14.32 14.46 15.49 14 63


Jantan mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IP 14.36 14.46 16.00 10 74


Betina mg/ 70 kg
BB Manusia

Mencit Diazepam 5 IP 14.41 14.57 15.53 16 56


Betina mg/ 70 kg
BB Manusia

3.5. Pembahasan
Pemberian obat pada hewan uji yaitu melalui rute intraperitonial yaitu dengan
menyuntikkan obat pada rongga perut, dimana posisi kepala mencit lebih rendah dari
abdomennya dan jarum disuntikkan dengan membentuksudut 10 derajat dengan abdomen,
agak menepi dari garis tengah untukmenghindari terkenanya kandung kencing dan jangan
terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.
Berdasarkan data pengamatan, ternyata efek obat diazepam terhadap mencit jantan
dan betina terdapat perbedaan. Pada mencit jantan efek timbulnya diazepam cepat terlihat
Praktikum Farmakologi | 23
dibandingkan pada mencit betina. Hal ini sesuai dengan teori pengaruh fisiologis pada mencit
betina yang mengandung hormon steroid ovarium dapat menghambat efek benzodiazepin
tentang kemampuan menghindar dan aktivitas motorik,metabolisme obat diazepam juga
dapat diturunkan oleh adanya hormone estrogen dan progesterone sehingga mencit jantan
akan memperlihatkan efek yang lebih cepat.
Namun pada data hasil pengamatan didapat satu percobaan yang tidak sesuaidengan
literarut, dimana satu dari dua mencit berjenis kelamin betina mengakami onset kerja yang
lebih cepat disbanding dari 2 jantan lainnya. Tidak hanya pada onset, ditemukan juga bahwa
durasi kerja mencit yang tidak sesuai secara onset kerja juga diperoleh data bahwa durasi
kerja obat sangat lama yang seharusnya lebih cepat dibanding jantan, ini semua akibat
absorpsi diazepam yang kurang baik pada mencit berjenis kelamin betina.
Kesalahan yang mungkin terjadi yang menyebabkan satu perbedaan, ini
dimungkinkan ketidak telitian praktikan dalam memberi perlakuan serta pengamatan
terhadap mencit betina tersebut atau ada hal hal lain berupa factor internal dari mencit itu
sendiri.

3.6. Kesimpulan
efek obat diazepam terhadap mencit jantan dan betina terdapat perbedaan. Pada
mencit jantan efek timbulnya diazepam cepat terlihat dibandingkan pada mencit betina. Hal
ini sesuai dengan teori pengaruh fisiologis pada mencit betina yang mengandung hormon
steroid ovarium dapat menghambat efek benzodiazepin tentang kemampuan menghindar dan
aktivitas motorik,metabolisme obat diazepam juga dapat diturunkan oleh adanya hormone
estrogen dan progesterone sehingga mencit jantan akan memperlihatkan efek yang lebih
cepat.

3.7. Daftar Peustaka


 Anief, M., 1990. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
 Katzung, Bertram. G., 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
 Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-
UI.

Praktikum Farmakologi | 24
MATERI IV
PENGARUH VARIASI BIOLOGIK
TERHADAP DOSIS OBAT

4.1. Latar Belakang


Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien.Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.Tanpa adanya kesalahan
medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per
oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan
bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik
menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk
bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek
farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama
disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik;
kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa
obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang
menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi
patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007)
Praktikum Farmakologi | 25
Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal
baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. mencit jantan
muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada mencit betina
muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik.
Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini
terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat.
wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki
persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. (Mary
K. and Jim K., 2005)

4.2. Tujuan Percobaan


Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan.

4.3. Prinsip Percobaan


Mencit (hewan coba) disuntikkan diazepam secara peritonial, kemudian dilakukan
pengamatan terhadap efek farmakologi yang timbul.

4.4. Teori Dasar


Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang
dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan
hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai fartor, yaitu :
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin,
bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana
kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan,
pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan,dan cara pemeliharaan. Keadaan faktor–faktor ini dapat
merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa
bioaktif yang diujikan.Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan
percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan
Praktikum Farmakologi | 26
hasil. Di samping itu, cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan
percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang
bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang
digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan
digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa
bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui
proses absorpsi terlebih dahulu kemudian  sifat fisiologi yang berpengaruh.
a. Distribusi.
b. Absorpsi suatu senyawa bioaktif di samping ditentukan oleh sifat
senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat/keadaan daerah
kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis
seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula
senyawa bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa
bioaktif yang bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan
mencapai sasaran kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda.
3. Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak mula
senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek senyawa bioaktif. Penanganan umum beberapa hewan
coba berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan
dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan
penganan/perlakuan yang khusus (Malole, 1989).

4.5. Metode Kerja


a. Alat dan bahan : 2 ekor mencit jantan, 2 ekor mencit betina, Alat suntik, Diazepam
5mg/70kgBB manusia, Larutan NaCl fisiologis 0,9%, Timbangan hewan, Wadah
tempat pengamatan, Kapas, Alcohol.
b. Prosedur kerja :
1. Siapkan hewan coba 2 ekor mencit jantan dan 2 ekor mencit betina
2. Timbang masing-masing hewan coba
3. Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai dengan
berat badan
4. Lakukan pemberian larutan diazepam 5mg/70kgBB pada 4 ekor hewan coba
secara IP (intraperitonial) dan catat waktu pemberiannya.

Praktikum Farmakologi | 27
5. Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit dimulai
setelah pemberian obat. Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur, tetapi masih
memberikan respon bila dirangsang.
6. Catat hasil pengamatan dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok.
Bandingkan hasilnya.

4.6. Hasil dan Data Pengamatan


*Data hasil yang digunakan pada percobaan variasi kelamin.

4.7. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kemungkinan besar adanya pengaruh
variasi biologi yaitu pada salah satu hewan coba mencit betina. Terlihat jelas bahwa terdapat
perbedaan yang sangat menyimpang dari literatur.
Kemungkinan ada pengaruh dari kondisi internal dari hewan uji yang menyebabkan
absorbdi tidak berlangsung dengan baik. Namun, ada kemungkinan juga disebabkan oleh usia
mencit itu sendiri.
Secara biologis hal-hal yang dapat mempengaruhi efek obat antara lain yaitu berat
badan, usia, kondisi fisiologis seta keadaan emosi juga dapat mempengaruhi kerja obat.

4.8. Kesimpulan
Adanya perbedaan yang jauh dari kedua mencit betina ini ada hubungannya dengan
factor variasi biologis dari hewan coba yang kami sendiri tidak tau secarapastinya apa yang
menyebebkan atau mempengaruhi efek yang ditimbulkan oleh obat terhadap hewan uji.

4.9. Daftar Pustaka


• Anief, M., 1990. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
• Katzung, Bertram. G., 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
• Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-UI.

Praktikum Farmakologi | 28

Anda mungkin juga menyukai