Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PROSES DIAGNOSIS DAN PROSES TERAPI GANGGUAN MENTAL


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Kesehatan Mental
Dosen Pengampu:
Eka Sri Handayani, Mpsi, Psikolog

Oleh:
Kelompok 3
Annastasia I’anatul Yuda NPM 2102020060
Ghanis Anjarwati NPM 2102020020
.

KELAS BANJARBARU REG A


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-
BANJARI
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa
ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan. Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada ibu Eka Sri Handayani, Mpsi, Psikolog sebagai dosen pengampu
mata kuliah Kesehatan Mental.
yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan
makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Banjarbaru, 24 maret 2022

Kelompok 7

2
DAFTAR ISI

Hlm
COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………..........
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Materi Pertama…………………..............................................................
2.1.1 Sub-Materi Pertama…………………………………………………
1.1 Sub-Materi Kedua…………………………………………………...
1.4 Materi Kedua……………………………..………………………….......
Materi Ketiga……………………………………………………………
BAB III: PENUTUP
2.2 Kesimpulan……………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar belakang memuat alasan logis dan rasional tentang mengapa makalah
dengan tema tersebut diangkat. Alasan ini harus disusun secara sistematis mulai dari
pembahasan yang umum hingga mengarah menjadi pembahasan yang lebih khusus.
Dalam latar belakang makalah dianjurkan untuk menyisipkan kutipan dari referensi
yang telah direkomendasikan oleh dosen pengampu mata kuliah.
Panjang latar belakang makalah maksimal sebanyak 3 (tiga) lembar. Latar
belakang dan seluruh isi BAB I Pendahuluan diketik dengan format margin 4 cm
(kiri), 4 cm (atas), 3 cm (kanan), dan 3 cm (bawah). font yang digunakan adalah
Times New Roman ukuran 12 pt. dengan spasi ukuran 1.5. Judul BAB dan setiap sub-
judul yang ada dalam BAB I Pendahuluan wajib diketik cetak tebal (bold).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
a. Jelaskan wawancara klinis dan pemeriksaan medis serta tes fisiologis
b. Jelaskan tes psikologis dan tes neuropsikologis
c. Bagaimana penilaian behaviuoral dan penilaian kognitif

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan berisi pernyataan-pernyataan penting yang berisi jawaban
dari rumusan masalah. Tujuan penulisan dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tentang …
b. Untuk memahami tentang …

4
BAB II
PEMBAHASAN

Bagian ini membahas tentang tema-tema penting yang terkait dengan tema
utama, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang telah dipaparkan pada BAB I
Pendahuluan. Paparan tema harus disusun secara sistematis berdasarkan urutan yang
disebutkan pada penulisan rumusan masalah dan tujuan penulisan. Dalam
pembahasan, mahasiswa WAJIB menyisipkan kutipan dari referensi yang telah
direkomendasikan oleh dosen pengampu mata kuliah. Kutipan ini harus muncul
dalam daftar pustaka, dan sebaliknya.
Panjang pembahasan tidak dibatasi. Pembahasan dan seluruh isi BAB II
diketik dengan format margin 4 cm (kiri), 4 cm (atas), 3 cm (kanan), dan 3 cm
(bawah). font yang digunakan adalah Times New Roman ukuran 12 pt. dengan spasi
ukuran 1.5. Judul BAB dan setiap sub-judul yang ada dalam BAB II Pembahasan
wajib diketik cetak tebal (bold).

2.1 Proses Diagnosis


Pendekatan ilmiah untuk memahami gangguan tingkah laku memerlukan
penyelidikan yang mendalam dan objektif sebelum membuat kesimpulan kesimpulan
dan mengadakan tindak perawatan. Diagnosis dalam psikologi klinis dan psikiatri
sangat berbeda dengan diagnosis yang dilakukan terhadap berbagai gangguan
somatik. Pada gangguan somatik, munculnya ciri-ciri kimiawi yang abnormal dalam
darah atau urine, adanya mikroorganisme dalam feses, atau pengamatan terhadap
simtom-simtom, misalnya, demam, warna kulit menjadi merah, tidak bergeraknya
anggota tubuh, atau gangguan perut, langsung me nunjukkan adanya gangguan pada
pasien. Diagnosis ideal mengenai gangguan tingkah laku harus memperhitungkan
pribadi keseluruhannya, dengan menya dari sepenuhnya interaksi yang berlangsung
antara soma dan psike, atau tubuh dan jiwa. Ini adalah proses yang menjemukan,

5
memakan banyak waktu, dan merupakan tantangan tersendiri bagi daya deskripsi dan
interpretasi dari ahli diagnosis.
Diagnosis bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri dan apabila
dilakukan secara ilmiah, diagnosis menggabungkan pernyataan faktor-faktor dinamik
dan etiologis, serta perkiraan prognosis dan identifikasi biasa dari kondisi pasien
berdasarkan salah satu wujud klinis yang diterima (yang berlaku). Pendekatan yang
sangat komprehensif memerlukan usaha-usaha gabungan (pendekatan interdisipliner)
- dokter, psikolog, psikiater, dan pekerja sosial yang bekerja sebagai satu tim.
Pasien yang mengalami gangguan mental dipelajari melalui proses wawan
cara dengan orang sevara pribadi dan kawan-kawannya, orang tua, sanak ke luarga,
dokter keluarga, catatan-catatan di rumah sakit, laporan-laporan laboratorium,
catatan-catatan sekolah, dan penyelidikan-penyelidikan sosial. Pendeknya, segala
sesuatu yang ikut melengkapi gambaran latar belakang dari gangguan tersebut.
Dokter melakukan pemeriksaan fisik dan neurologis untuk mengidentifi
kasikan faktor-faktor organik yang mungkin merupakan faktor-faktor penyebab yang
penting bagi gangguan pasien. Contoh dari faktor-faktor seperti itu ialah penyakit
yang berat dan berlarut-larut pada masa kanak-kanak, luka pada otak atau urat saraf
tulang belakang, gangguan usus yang kronis, sakit kepala, peng lihatan kabur, dan
ketidakseimbangan kelenjar.
Psikolog melakukan wawancara-wawancara dengan pasien, memberikan dan
meringkaskan hasil dari serentetan tes psikologi yang membantunya dalam menilai
kemampuan-kemampuan dan dinamika kepribadian individu.
Pekerja sosial psikiatri, melalui teknik-teknik wawancara dan kunjungan
lapangan, menyiapkan sejarah hidup pasien yang meliputi catatan perkembangannya,
prestasi sekolah, penyesuaian diri dalam masyarakat dan perkawinan, pengalaman
kerja, status ekonomi, dan faktor lain yang terkait.
Psikiater menyelidiki status mental pasien dalam hubungannya dengan semua
penemuan yang lain. Meskipun dewasa ini ada kecenderungan untuk menetapkan

6
diagnosis melalui pendekatan interdisipliner, tetapi tanggung jawab terakhir untuk
menentukan diagnosis dengan tepat dan menyusun program perawatan terletak pasa
psikiater.
Di atas telah disinggung mengenai pentingnya diagnosis, dan diagnosis itu
didasarkan pada simtom-simtom yang dapat diamati atau dalam beberapa kasus
didasarkan pada penyebab dari simtom-simtom itu. Teknik-teknik khusus yang
dipakai dalam diagnosis gangguan-gangguan tingkah laku dan kepribadian adalah
pemeriksaan medis dan tes fisiologis, pengamatan (observasi), wawan cara, dan tes
psikologis

2.2 Wawancara klinis


Wawancara adalah hubungan tatap muka antara pasien dan ahli klinis, dan biasanya
diawali dengan pemberitahuan lewat telepon oleh pasien atau se seorang yang
memprihatinkan tingkah laku pasien-mungkin anggota keluarga atau salah seorang
yang bertugas dalam layanan sosial. Pembicaraan singkat mungkin diadakan lewat
telepon untuk menentukan kapan wawancara itu diadakan atau mungkin disarankan
supaya individu yang bersangkutan diserah kan kepada badan yang lebih cocok untuk
menilai masalah yang sedang digeluti oleh individu itu. Seorang pasien yang dilayani
oleh suatu klinik atau badan lain dijadwalkan untuk diwawancarai - suatu proses yang
ahli klinis suatu peluang awal untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah dan
sejarah pasien. Atas dasar informasi inilah, pewawancara mungkin mem peroleh
kesan diagnostik awal dan memberikan penilaian yang tepat. memberi kepada Sarana
utama untuk memperoleh informasi klinis yang bermanfaat adalah suatu wawancara
yang tersusun (structured interview). Pewawancara menanyakan sejumlah pertanyaan
baku untuk mengumpulkan informasi tentang keluhan-keluhan atau masalah-masalah,
keadaan mental, lingkungan hidup, dan sejarah psikososial atau perkembangan
pasien. Wawancara mungkin mencakup bermacam-macam topik dan strukturnya
berbeda dari pasien yang satu ke pasien yang lain, tetapi topik-topik itu biasanya

7
mengikuti suatu rencana dan dirancang untuk mengumpulkan beberapa bentuk
informasi yang penting. Akan tetapi, kebanyakan wawancara fleksibel karena para
pasien itu berbeda beda. Beberapa pasien sangat kooperatif, sedangkan yang lain-
lainnya adalah bandel atau pendiam; ada yang penuh pengertian tetapi ada juga yang
kurang pengertian; ada yang benar-benar memperhatikan masalah yang sedang
digeluti, sedangkan yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi.
Para ahli klinis sering membuka wawancara dengan menyuruh pasien mengemukakan
masalah yang sedang dialami dengan kata-kata pasien sendiri. Ahli klinis mungkin
bertanya, misalnya, "Dapatkah Anda mengemukakan kepada saya masalah-masalah
yang dialami Anda akhir-akhir ini?" Para terapis tidak boleh bertanya, "Apa yang
menyebabkan Anda datang ke sini?" untuk menghindari jawaban, seperti "mobil",
"bis", atau "orang tua saya". Terapis kemudian biasanya menggali aspek-aspek dari
keluhan yang dihadapinya saat ini, seperti abnormalitas-abnormalitas tingkah laku
dan perasaan-perasaan senang, sejarah dari peristiwa-peristiwa masa lampau, dan
bagaimana masalah masalah itu mempengaruhi fungsi pasien dalam kehidupan
sehari-hari. Terapis tidak mungkin menyelidiki peristiwa-peristiwa yang mungkin
mempercepat kesulitan yang dihadapi pasien, seperti perubahan-perubahan dalam
keadaan hidup, dalam hubungan sosial, pekerjaan, atau sekolah. Pewawancara
mendorong pasien untuk menggambarkan masalah itu dalam kata-katanya sendiri
supaya dapat memahami masalah tersebut dari segi pandangan pasien. Apabila pasien
adalah seorang anak kecil, maka orang tuanya perlu menggambarkan masalah itu dan
sejarahnya. Terapis masih mewawancarai anak itu untuk memastikan bagaimana anak
itu sendiri melihat masalah tersebut.
Jalannya wawancara dipengaruhi juga oleh kerangka teoretis dari pewa wancara.
Pewawancara yang menganut pandangan behavioral mungkin mencari informasi-
informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah tingkah
laku yang bermasalah itu menyelidiki stimulus-stimulus atau hal-hal yang terjadi
sebelumnya yang mungkin bertindak sebagai stimulus stimulus yang terkondisi atau

8
isyarat-isyarat yang memicu tingkah laku ber masalah itu, dan menyelidiki perkuatan-
perkuatan sosial serta lain-lainnya yang berfungsi untuk mempertahankan tingkah
laku tersebut. Pandangan teoretis apa pun yang dianut oleh pewawancara, tetapi ke
terampilan-keterampilan dan teknik-teknik wawancara memiliki ciri-ciri yang sama.
Para psikolog dan ahli yang lainnya dilatih untuk mengadakan hubungan dan
menanamkan rasa kepercayaan dalam diri pasien. Perasaan ini membantu pasien
untuk merasa lega dan mendorong komunikasi yang jujur. Pewawancara yang efektif
biasanya tidak memaksa pasien untuk memberikan informasi yang membuat pasien
merasa tidak senang. Meskipun demikian, pasien pada umum nya rela untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman pribadinya kepada
seseorang yang memperlihatkan perhatian dan pemahaman, orang yang dianggap
pasien dapat dipercayai. Bila pewawancara terampil, maka kecil kemungkinan pasien
merasa takut bahwa dia dikritik atau disalahkan ka rena mengemukakan informasi
pribadi. Meskipun format dari wawancara itu mungkin berbeda dari ahli klinis yang
satu dengan ahli klinis yang lain, tetapi kebanyakan wawancara mencakup topik-
topik, seperti:
1) Mengidentifikasi data. Informasi mengenai karakteristik karakteristik
sosiodemografis: alamat, nomor telepon, status perkawinan, usia, jenis kelamin,
karakteristik-karakteristik etnis, agama, susunan keluarga, dan seterusnya.
2) Gambaran tentang masalah-masalah yang dikemukakan. Bagai mana pasien
mempersepsikan masalah tersebut? Tingkah laku-tingkah laku, pikiran-pikiran,
atau perasaan-perasaan apakah yang mengganggu dilaporkan? Kapan hal-hal itu
mulai? Apakah hal-hal itu telah terjadi pada masa lampau.
3) Sejarah psikososial. Informasi yang menggambarkan sejarah perkembangan
pasien: sejarah edukasional, sosial, dan okupasional, dan hubungan awal dalam
keluarga. `
4) Sejarah medis atau psikiatrik. Sejarah diopname secara medis dan psikiatrik di
rumah sakit dan perawatan kesehatan mental. Apakah masalah yang dialami

9
sekarang merupakan episode yang kambuh dari masalah yang ada sebelumnya?
Bagaimana masalah itu ditangani pada masa lampau? Apakah perawatan itu
berhasil atau tidak berhasil? Apakah sebabnya perawatan itu berhasil atau tidak
berhasil?
5) Masalah medis atau pengobatan. Gambaran tentang keluhan-keluhan medis saat
ini dan perawatan atau penggunaan obat yang sekarang dikonsumsi. Ahli klinis
harus memiliki perhatian yang tajam terhadap cara-cara di mana masalah medis
mungkin mempengaruhi masalah psikologis yang dikemukakan. Misalnya, obat
untuk kondisi-kondisi medis ter tentu dapat berpengaruh terhadap suasana hati
dan tingkat rangsangan umum dalam tubuh. hu ob 4. Ir B Setelah wawancara
berlangsung, ahli klinis mungkin juga mengadakan penilaian formal terhadap
fungsi kognitif pasien melalui apa yang biasanya disebut dalam bidang psikiatri
pemeriksaan status mental (mental status examination). Kesan diagnostik
biasanya didasarkan pada masalah, sejarah yang dikemukakan pasien, serta
fungsi kognitif yang kelihatan.
2.2.1 Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksaan status mental didasarkan pada pengamatan tingkah laku pasien dan
pertanyaan mengenai bermacam-macam aspek fungsi kognitif serta pre sentasi diri.
Hal-hal khusus pemeriksaan status mental mungkin berbeda antara ahli klinis yang
satu dengan ahli klinis yang lain. Meskipun demikian, kategori kategori umum
pemeriksaan status mental pasien meliputi hal-hal berikut (Maloney & Ward, 1976).
1. Penampilan. Suatu gambaran mengenai kelayakan penampilan umum
pasien, gaya merawat dirinya sendiri, cara berpakaian atau dalam mengena
kan pakaian.
2. Pengamatan tingkah laku. Pemeriksa mencatat tanda-tanda gangguan
psikologis dalam tingkah laku verbal dan nonverbal pasien. Apakah pasien
mempertahankan kontak mata. (Menghindari kontak mata dapat berarti
perasaan malu yang sederhana, depresi, atau masalah-masalah lain yang

10
berat.) Apakah petunjuk-petunjuk keadaan emosional yang mendasar
diung kapkan dengan ekspresi muka atau sikap pada umumnya?
Bagaimana cara pasien berhubungan dengan pewawancara kooperatif dan
ramah, atau bermusuhan dan mengelak? Apakah ada tanda-tanda
gangguan yang lebih berat, seperti tingkah laku yang aneh, gelak tawa
yang tidak tepat, atau tertawa terkikih-kikih? Apakah cara pasien berbicara
kelihatannya seperti terpaksa dan cepat atau tertahan dan ragu-ragu?
3. Orientasi. Biasanya kita sadar akan diri kita, hubungan kita, tempat kita
berada, dan waktu yang sedang berlangsung. Ahli klinis harus melihat
apakah pasien kehilangan orientasi; dan bila ragu-ragu mengenai hal ini,
maka pasien harus ditanyakan mengenai siapa dia sebenarnya, siapa orang
orang lain, mereka berada di mana (di mana wawancara itu sedang ber
langsung), waktu (tahun, bulan, hari, jam). Disorientasi mungkin ada
hubungannya dengan masalah-masalah, seperti degenerasi otak,
intoksikasi obat atau zat, atau skizofrenia.
4. Ingatan. Apakah ingatan pasien lengkap terhadap peristiwa-peristiwa yang
baru saja terjadi atau peristiwa-peristiwa yang jauh? Dapatkah pasien
meng ingat makan malam tadi malam (peristiwa yang baru saja terjadi)
atau kapan dan di mana dia kawin (ingatan jauh). Dalam beberapa kondisi
yang berhubungan dengan usia lanjut, orang dapat mengingat peristiwa-
peristiwa yang terjadi 30 tahun yang lampau, tetapi sulit memperoleh
ingatan-ingatan baru. Akibatnya adalah bahwa dia mungkin tidak mampu
mengingat apakah dia telah menggunakan obat tertentu atau nama dari
cucunya yang baru.
5. Sensorium. Istilah sensorium diartikan sebagai seluruh perlengkapan
pancaindra individu dan digunakan oleh ahli klinis untuk menyebut fokus
perhatian pasien, kapasitas untuk konsentrasi, dan tingkat kesadarannya
tentang dunia. Pasien yang perhatian atau konsentrasinya berubah-ubah

11
pada waktu wawancara, atau yang pada umumnya tidak responsif, mung
kin mengalami kesulitan dalam mengolah informasi dari dunia luar, dan
hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan organik.
6. Proses perseptual. Persepsi adalah suatu proses psikologis yang olehnya
seseorang dapat menafsirkan informasi yang diberikan oleh pancaindra.
Kadang-kadang, seperti dalam kasus halusinasi, persepsi mungkin terjadi
tanpa adanya input pancaindra eksternal, dan pasien mungkin tidak
mampu membedakannya dari realitas. Ahli klinis mencatat apakah pasien
itu keli hatan atau tidak kelihatan mengadakan respons terhadap
halusinasi, seperti mendengar suara-suara, atau melihat hal-hal yang
sebenarnya tidak ada. Dalam kasus skizofrenia, pancaindra mungkin sarat
dengan persepsi persepsi yang tidak benar (halusinasi-halusinasi).
7. Suasana hati (mood) dan afek (affect). Istilah-istilah ini sering digunakan
secara bergantian, tetapi memiliki arti yang sedikit berbeda. Istilah afek
(affect) mengacu pada emosi-emosi atau perasaan-perasaan yang dikaitkan
dengan objek-objek atau ide-ide. Hal yang penting adalah apakah afek itu
tepat atau tidak dengan situasi kehidupan atau ide yang diungkapkan
pasien. Ketidaktepatan afek (seperti tertawa pada waktu berbicara
mengenal peris tiwa-peristiwa yang menyedihkan), atau reaktivitas
emosional yang kurang (digambarkan sebagai afek yang tumpul atau rata)
sering dihubungkan dengan masalah-masalah yang berat, seperti
skizofrenia. Suasana hati (mood) adalah emosi-emosi kuat yang
diperlihatkan selama wawancara seperti kesedihan, kecemasan, atau
kemarahan.
8. Inteligensi. Ahli klinis biasanya menilai tingkat umum fungsi intelektual
pasien berdasarkan cara berbicara pasien (tingkat kosakata dan
kemampuan untuk mengungkapkan ide-idenya dengan jelas), tingkat
pengetahuan umum, dan status sosio-ekonomis yang diperoleh (sejarah

12
pendidikan dan pekerjaan). Apabila muncul pertanyaan-pertanyaan
mengenai kemampuan kognitif pasien, maka pewawancara mungkin
mengatur pertanyaan-per tanyaan yang menguji kemampuan pasien untuk
menafsirkan peribahasa, menyebut pejabat-pejabat negara, seperti wali
kota dan gubernur setempat, atau menghitung tugas-tugas ilmu hitung
yang sederhana - pertanyaan pertanyaan yang menilai kemampuan pasien
untuk memperoleh dan mema nipulasi informasi.
9. Proses-proses pikiran. Kategori ini mengacu pada bentuk dan isi pikiran.
Ahli klinis mencatat pikiran pasien apakah proses-proses pikiran pasien
kelihatan logis dan koheren. Atau apakah ada pengenduran asosiasi-
asosiasi menyatukan pikiran-pikiran atau ide-ide yang hubungannya
longgar atau tidak berhubungan yang menandakan proses pikiran kalut
yang sering terjadi dalam skizofrenia? Apakah ada bukti adanya hambatan
pikiran pasien berhenti sejenak dalam berbicara bila topik-topik yang
mengganggu disinggung? Apakah ada bukti ide-ide pasien berlari-lari -
suatu tendensi untuk melompat dari topik yang satu ke topik yang lain
sehingga pengu tidak dapat mengikuti hubungan antara topik-topik itu,
seperti yang terjadi pada episode-episode manik? Apakah pasien berbicara
sangat sedikit yang mungkin disebabkan oleh pikiran yang miskin?
Gambaran mengenai isi pikiran pasien menyinggung bukti pola-pola
kepercayaan yang meng ganggu, seperti kepercayaan-kepercayaan
delusional (ide-ide yang benar) atau obsesi-obsesi (mengomel atau
mengoceh, pikiran yang diulang tidak ulang).
10. Pemahaman. Apakah pasien mengakui bahwa masalah memang ada,
misalnya kecemasan dan depresi? Apakah pasien mengembangkan suatu
pemahaman yang layak tentang faktor-faktor yang mungkin menjelaskan
masalah itu. Apakah pasien menyangkal adanya masalah itu atau

13
menyalahkan orang-orang lain untuk masalah tersebut seperti yang terjadi
dalam gangguan-gangguan kepribadian?

2.2.2 Aspek-Aspek Wawancara yang Efektif


Wawancara klinis memerlukan sejumlah keterampilan fundamental yang membantu
mengadakan hubungan dan kepercayaan. Keterampilan-keterampilan ini digunakan
pada waktu memasuki proses dan sesi-sesi perawatan berikutnya. Salah satu
keterampilan adalah keterampilan menyampaikan empati atau pema haman akurat
mengenai apa yang dialami pasien. Ahli klinis menyampaikan empati baik secara
verbal maupun nonverbal (Cormier & Cormier, 1985). Secara verbal pewawancara
memperlihatkan empati dengan:
1) Memperlihatkan keinginan yang (tulus) untuk memahami segi pandangan
pasien;
2) Memusatkan perhatian pada apa yang penting bagi pasien;
3) Memantulkan (menggambarkan) perasaan-perasaan pasien dengan cara
menyebut atau memberi nama kepada perasaan-perasaan itu; dan
4) Memperlihatkan pemahaman terhadap perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran
yang paling dalam yang mungkin berada di bawah tingkat kesadaran pasien.
Secara nonverbal pewawancara memperlihatkan empati dengan:
1) Melihat secara langsung kepada pasien;
2) Mengadakan kontak mata dengan pasien;
3) Bersandar ke depan pada kursinya dalam usaha mengungkapkan
perhatiannya kepada pasien.
Pewawancara yang terampil adalah seorang pendengar yang aktif dan penuh
perhatian. Pendengar yang penuh perhatian memperhatikan dengan sepenuhnya
tingkah laku-tingkah laku verbal dan nonverbal pasien serta mengolah informasi
sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan pemahaman yang akurat. Pendengar
yang penuh perhatian menggunakan mata dan telinganya. Pewawancara

14
menggunakan mata untuk mengetahui isyarat-isyarat penglihatan (visual) yang
mungkin mengungkapkan emosi-emosi yang mendasar, seperti gerak isyarat, ekspresi
muka, dan sikap badan. Pewawancara menggunakan pendengaran (telinga) untuk
tidak hanya mencatat atau merekam kata-kata pasien, tetapi juga konotasi emosional
dari perubahan-perubahan nada suara atau ungkapan-ungkapan nonverbal, seperti
keluh kesah (napas panjang) atau batuk-batuk.

2.2.3 Penafsiran Tingkah Laku Nonverbal


Pewawancara juga harus peka terhadap tingkah laku nonverbal pasien. Gerak tubuh
dan sikap tubuh, ekspresi muka, dan gerak isyarat merupakan petunjuk petunjuk
adanya emosi-emosi pasien. Selama wawancara berlangsung, pewawancara mencari
perubahan-perubahan yang tidak kentara dalam tingkah laku nonverbal pasien,
menghubungkan isyarat-isyarat nonverbal yang mengiringi ungkapan-ungkapan dari
pokok-pokok pembicaraan tertentu untuk menyadari lebih baik emosi-emosi yang
mungkin dibangkitkan oleh hal-hal yang dibicarakan itu. Karena pasien pada
umumnya lebih menyadari tingkah laku verbalnya, maka mengarahkan perhatian
pasien pada isyarat-isyarat nonverbal ini membantu pasien memperluas pemahaman
terhadap perasaan perasaan dan tingkah laku-tingkah lakunya (Cormier & Cormier,
1985). Isyarat-isyarat nonverbal dapat memberikan banyak informasi. Pasien yang
menggeliat di kursi mungkin mengalami kecemasan atau sakit punggung. Penafsiran
terhadap isyarat-isyarat nonverbal harus mempertimbangkan pasien dan konteks
tertentu di mana isyarat-isyarat nonverbal itu terjadi. Pasien yang rahangnya merapat
dan menyeringai selama wawancara mungkin mengungkap kan kegelisahan atau
kecemasan umum, tetapi bila tingkah laku-tingkah laku itu terjadi hanya pada respons
terhadap orang tertentu (istri, anak, teman), maka tingkah laku-tingkah lakunya ini
mungkin menggambarkan perasaan-perasaan yang lebih khusus terhadap orang-orang
itu. Nada suara dan gaya berbicara juga merupakan sumber informasi yang penting.
Cara berbicara yang tergesa-gesa atau cepat mungkin menunjukkan stres atau episode

15
manik. Cara berbicara yang lambat dan terputus-putus atau tersendat-sendat adalah
ciri yang khas dari depresi atau gangguan organik. Ahli klinis harus memperhatikan
dengan baik ketidakcocokan antara tingkah laku verbal dan nonverbal. Isyarat-isyarat
nonverbal mungkin merupa kan gambaran-gambaran yang lebih akurat daripada
laporan-laporan verbal. Pasien mungkin mengemukakan bahwa dia tidak marah
kepada orang tuanya, tetapi nada suaranya naik ketika dia berbicara mengenai
mereka. Pasien mungkin mengatakan bahwa dia tidak mempunyai masalah mengenai
pekerjaan, tetapi dia menekan dengan kuat lengannya pada kursi ketika dia berbicara
mengenai pekerjaan. Pasien mungkin tidak menyadari sepenuhnya kemarahan dan
frus trasinya atau mungkin berusaha menyembunyikan informasi mengenai pe rasaan-
perasaannya, Pewawancara mungkin mencatat kontradiksi-kontradiksi yang jelas
untuk referensi kemudian atau mengarahkan perhatian pasien pada kontradiksi-
kontradiksi itu dengan cara-cara yang mendorong eksplorasi dan bukan membiarkan
pasien pada cara-cara defensif. Misalnya, "Di satu pihak, saya mendengar bahwa
masalah-masalah pada pekerjaan ini sama sekali tidak mempengaruhi Anda, tetapi di
lain pihak saya melihat lengan Anda menekan sangat kuat pada kursi Anda. Saya
ingin tahu apa kiranya yang ingin dikatakan oleh lengan Anda tentang perasaan-
perasaan Anda."

2.2.4 Teknik-Teknik Wawancara Baku


Salah satu masalah dengan wawancara klinis adalah tidak adanya pembakuan. Para
pewawancara yang berbeda mungkin menanyakan sejumlah pertanyaan yang berbeda
atau menilai informasi dengan cara yang berbeda-beda. Tidak adanya pembakuan
dalam wawancara mungkin mengurangi konsistensi atau reliabilitas penilaian
diagnostik yang didasarkan pada wawancara. Suatu wa wancara baku mungkin sangat
berharga bagi ahli klinis dalam menetapkan klasifikasi diagnostik yang sangat tepat.

16
Karena sadar akan kekurangan ini, maka kemudian dikembangkan teknik-teknik
wawancara baku yang didasarkan pada sistem DSM dan skema-skema diagnostik lain
untuk memberi ke mungkinan kepada ahli klinis mengajukan pertanyaan yang sama.
Teknik-teknik wawancara baku meliputi Diagnostic Interview Schedule atau DIS
(Robins, et al., 1981); Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia atau
SADS (Endicott & Spitzer, 1978), dan Structured Clinical Interview for DSM-III atau
SCID (Spitzer & Williams, 1984).
Diagnostic Interview Schedule menggunakan sejumlah pertanyaan yang dapat
diberikan oleh seorang ahli klinis atau seorang pewawancara awam (lihat Tabel 30).
Ahli klinis atau orang awam itu harus dilatih dengan baik dalam melakukan
wawancara itu. Diagnostic Interview Schedule, misalnya, mem butuhkan kursus
latihan selama seminggu atau dua minggu. Schedule for Affective Disorders and
Schizophrenia bertujuan untuk digunakan bersama dengan kriteria diagnostik khusus,
yang dinamakan Re search Diagnostic Criteria (RDC), yang membantu ahli klinis
menggunakan informasi wawancara untuk mencapai suatu diagnosis yang lebih
definitif. Tetapi, Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia dikembangkan
sebelum SDM-III dan tidak membantu ahli klinis merumuskan diagnosis da lam
sistem DSM-III. Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia membuka jalan
untuk perkembangan Structured Clinical Interview for DSM III (SCID) yang
dirancang untuk membantu ahli klinis dalam membuat DSM III menjadi diagnosis.

2.3 PEMERIKSAAN MEDIS DAN TES FISIOLOGIS


Meskipun pemeriksaan medis dapat dilakukan oleh psikiater, tetapi dalam prak tek
hampir selalu dilakukan oleh dokter. Sejarah medis secara umum disusun dan fungsi
berbagai sistem organ tubuh diteliti baik dengan pemeriksaan langsung maupun
dengan penyelidikan secara umum di laboratorium untuk mengurangi adanya kondisi-
kondisi fisik yang berhubungan dengan masalah yang ada sekarang, yakni gangguan
kepribadian. Di antara gejala-gejala yang umum diselidiki adalah fungsi-fungsi

17
metabolis dan endokrin, kegiatan jantung, kimia darah dan urine, serta fungsi
gastrointestinal (lambung dan usus) dan genitouriner (saluran air kencing dan organ
kelamin). Tes fisiologis mungkin dilakukan sebagai bagian dari penelitian medis,
tetapi dapat juga dilakukan oleh dokter saraf jika gangguan tingkah laku me
nunjukkan kemungkinan adanya gangguan pada otak atau saraf tulang belakang,
misalnya, diduga ada kerusakan otak (karena luka atau infeksi). Beberapa tes
fisiologis yang digunakan dalam diagnosis akan disinggung dalam uraian berikut.
1) Tes Mekanisme Refleks
Ada beberapa tes yang digunakan untuk menetapkan apakah sistem-sistem saraf
pusat dan otonom berfungsi dengan baik. Contoh, tes sentakan lutut dan tes
Babinski (tes Babinski ini digunakan untuk mengetahui respons jempol kaki
terhadap usapan telapak kaki).
2) Analisis Biokimiawi Cairan Otak dan Sumsum Tulang Belakang
Cairan otak dan sumsum tulang belakang diteliti untuk menemukan kemung
kinan adanya organisme yang menular dan untuk menentukan kelainan-kelainan
kimiawi dari cairan itu.
3) Teknik Listrik dan Gelombang Radio
Masalah-masalah tingkah laku manusia dapat diketahui dengan mempelajari
respons-respons fisiologisnya. Respons-respons fisiologis itu bisa berupa ke
cemasan, denyut jantung, dan tekanan darah meningkat. Untuk itu dikembangkan
beberapa teknik, yakni GSR dan EMG. Respons-respons fisiologis itu bisa juga
ditemukan pada bagian-bagian otak; dan dengan demikian, dikembang kan juga
teknik-teknik khusus untuk meneliti kelainan-kelainan struktur, luka, atau
neoplasma (pertumbuhan jaringan baru yang tidak normal, misalnya tu mor),
Kemajuan-kemajuan dalam penelitian tentang otak tergantung pada krea tivitas
dari peneliti dan teknologi yang ada. Teknologi baru dewasa ini me mungkinkan
para peneliti meneliti seluruh fungsi otak. Para ilmuwan meng gunakan komputer
untuk memperoleh gambaran mengenai bagian-bagian otak. Ada bermacam-

18
macam teknik baru yang dikembangkan belakangan ini, antara lain: EEG,
Ventriculography atau Pneumoencephalography, CAT scan, PET scan, BEAM,
dan MRI.
4) GSR (Respon Kulit Galvanis)
Kecemasan ada hubungannya dengan rangsangan pada bagian simpatetik dari
sistem saraf otonomi. Karena itu, orang yang cemas akan mengalami denyut
jantung dan tekanan darah yang meningkat, yang masing-masing dapat diketahui
dengan mengukur kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Orang yang cemas
juga berkeringat, dan keringat dapat diukur dengan alat yang disebut electro
dermal response dan galvanic skin respons (GSR). (Kata electrodermal berasal
dari bahasa Yunani, yakni derma yang berarti kulit, sedangkan kata galvanic
mengikuti nama Luigi Galvani, seorang Italia yang memelopori penelitian
mengenai listrik.) Bila kita berkeringat, kulit kita menjadi basah, dan ini akan
meningkatkan kemampuan kulit mengantarkan listrik. GSR mengukur jumlah
listrik yang melewati dua titik pada kulit-biasanya kulit tangan. Diasumsikan
bahwa semakin besar jumlah listrik semakin tinggi juga tingkat kecemasan
seseorang. GSR adalah salah satu contoh respons fisiologis yang menarik
perhatian para psikolog.
5) EMG (Elektromiograf)
Perubahan-perubahan pada tegangan otot sering berhubungan juga dengan
keadaan cemas atau tegang, dan ini dapat diteliti dengan EMG (electromyograph)
yang mencatat tegangan otot dengan alat-alat yang ditempatkan pada kelompok-
kelompok otot yang dipilih. ("Myo" berasal dari bahasa Yunani mys, yang berarti
tikus atau otot. Orang Yunani mengamati bahwa otot-otot bergerak seperti tikus
di bawah kulit.) Penempatan alat-alat EMG pada dahi, misalnya, dapat
memperlihatkan tegangan otot yang ada hubungannya dengan sakit kepala. Tipe-
tipe lain dari alat listrik mungkin diguna kan untuk mengukur rangsangan seksual.

19
6) Elektroensefalografi
Para peneliti dan ahli klinis menggunakan bermacam-macam teknik yang cang
gih untuk meneliti struktur dan fungsi otak. Salah satu teknik yang sangat umum
digunakan adalah EEG (electroencephalogram). EEG adalah merekam peru
bahan-perubahan aktivitas otak dengan cara memasang elekroda-elektroda (alat
alat yang kecil, biasanya berbentuk kawat, dan berfungsi sebagai pengantar listrik
ke atau dari jaringan otak). Dengan cara ini dapat diketahui adanya per ubahan-
perubahan pada potensi listrik otak. EEG dapat menunjukkan bahwa para pasien
skizofrenik dan orang-orang yang mengalami gangguan memper lihatkan pola-
pola gelombang otak yang berbeda dari orang-orang normal. Dengan demikian,
EEG dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis bermacam-macam pola
tingkah laku abnormal. Para pasien epilepsi me nunjukkan pola-pola gelombang
abnormal yang khusus bagi diagnosis epilepsi. Pola-pola gelombang otak juga
dipakai untuk membantu mengadakan diagnosis terhadap tumor otak dan juga
dipakai untuk meneliti tidur dan mimpi (Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997).
Kelainan-kelainan diteliti juga pada gangguan gangguan mental lain, tetapi tidak
cukup terperinci untuk digunakan dalam diagnosis.

7) Ventriculography atau Pneumoencephalography


Tes ini digunakan untuk menentukan adanya perubahan-perubahan struktur pada
otak dengan menggunakan sinar X pada organ tersebut, tentunya setelah udara
disuntikkan ke dalam rongga tubuh.

8) CAT (Computerized Axial Tomography)

20
SCAN Teknik ini menggunakan sinar X untuk mengambil gambar organ-organ
bagian dalam tubuh, termasuk otak. CAT scan lebih bermanfaat daripada sinar X
biasa karena cara ini dapat menunjukkan lokasi-lokasi yang tepat dari tumor, luka
luka tertentu, gumpalan darah beku atau lokasi-lokasi bermasalah lainnya dengan
sangat jelas, sedangkan sinar X biasa tidak dapat menunjukkan dengan jelas dan
akurat

9) PET (Positron Emission Tomograph) SCAN


Meskipun CAT scan dapat menunjukkan masalah-masalah struktural pada otak,
tetapi teknik ini tidak dapat mengungkapkan seberapa jauh bagian-bagian otak ini
dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, dikembangkan suatu metode
haru, yakni PET (positron emission tomography) scan (Li & Shen, 1995). Dengan
teknik ini kita dapat menerima informasi tentang fungsi otak. Dalam PET scan,
glukosa dijadikan radioaktif dan disuntikkan ke dalam aliran darah. Glukosa yang
sudah menjadi radioaktif ini memancarkan partikel-pertikel yang disebut
positron-positron (positrons). Positron-positron bereaksi dengan par tikel-partikel
lain untuk menghasilkan sinar gamma, yang diteliti oleh PET scanner. Semakin
banyak sinar gamma yang dideteksi pada daerah tertentu dari otak semakin
banyak juga glukosa yang digunakan pada daerah itu, dan semakin besar pula
aktivitas saraf yang terjadi pada daerah itu (Phelps & Mazziotta, 1985), PET scan
kemudian dapat memperlihatkan dengan jelas daerah-daerah mana dari otak
tersebut yang aktif, dan daerah-daerah mana yang tidak aktif. Metode ini sangat
bermanfaat bila meneliti gangguan-gangguan mental dan masalah-masalah yang
berhubungan dengan stroke. Richard Haier di Universitas California telah
menggunakan PET scan dalam meneliti bagai mana otak dengan menggunakan
energi untuk memecahkan masalah-masalah. Penemuannya yang sangat menarik
menunjukkan bahwa otak dari orang-orang yang sangat cerdas lebih efisien dan

21
hanya menggunakan sedikit glukosa dari pada otak orang-orang yang tingkat
kecerdasannya rendah, sebagaimana diukur oleh tes-tes IQ (Haier, et al., 1998).

10) BEAM (Pemetaan Aktivitas Listrik Otak)


Teknik ini menggunakan komputer untuk menganalisis pola-pola gelombang otak
dan untuk memperlihatkan daerah-daerah mana dari otak yang relatif aktif dan
tidak aktif dari saat ke saat. Sebanyak 20 atau lebih elektroda ditempelkan pada
kulit kepala dan secara serempak memberikan informasi tentang aktivitas otak
kepada komputer. Komputer menganalisis sinyal-sinyal tersebut dan mem
perlihatkan pola aktivitas otak pada monitor yang berwarna, yang merupakan
gambaran berwarna dari aktivitas listrik yang sedang bekerja pada otak.
Teknologi BEAM sangat berguna untuk mengidentifikasikan kasus-kasus tumor
otak (Duffy, 1982),epilepsi (Lombroso & Duffy, 1982), disleksia (Duffy, et al.,
1980), dan juga untuk meneliti perbedaan-perbedaan aktivitas otak antara pasien-
pasien skizofrenik dan yang nonskizofrenik (Morihisa, et al., 1983)

2.4 Sub Materi Kedua


2.5

22
Berisi pembahasan mengenai sub-materi kedua yang dipertanyakan dalam
rumusan masalah kedua.

2.3 Dst.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bagian ini berisi ringkasan dan simpulan dari seluruh pembahasan yang telah
dipaparkan di BAB II. Dalam kesimpulan tidak perlu memasukkan kutipan apapun.
Panjang kesimpulan dibatasi maksimal sebanyak 2 lembar. Kesimpulan dan seluruh
isi BAB III Penutup diketik dengan format margin 4 cm (kiri), 4 cm (atas), 3 cm
(kanan), dan 3 cm (bawah). font yang digunakan adalah Times New Roman ukuran 12
pt. dengan spasi ukuran 1.5. Judul BAB dan setiap sub-judul yang ada dalam BAB III
Penutup wajib diketik cetak tebal (bold).

3.2 Saran
Bagian ini berisi saran-saran yang dikemukakan oleh mahasiswa bagi Guru
BK dan Mahasiswa BK sebagai konsekuensi dari membaca isi pembahasan makalah
yang telah dipaparkan sebelumnya. Saran dibuat dalam bentuk poin-poin sebagai
berikut:
3.2.1 Bagi Guru BK
a. Saran pertama
b. Saran kedua
c. Dst.

23
3.2.2 Bagi Mahasiswa BK
a. Saran pertama
b. Saran kedua
c. Dst.

DAFTAR PUSTAKA

Semua rujukan-rujukan yang diacu di dalam isi makalah harus didaftarkan di bagian
Daftar Pustaka. Isi daftar pustaka minimal harus memuat pustaka-pustaka acuan yang
berasal dari sumber yang direkomendassikan oleh dosen pengampu mata kuliah.
Sangat dianjurkan untuk menggunakan sumber acuan atau literatur yang diterbitkan
selama 10 tahun terakhir.
Penulisan Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan aplikasi manajemen referensi
seperti Mendeley atau References Ms. Word. Bentuk font yang digunakan adalah
Times New Roman ukuran 12 pt. Spasi untuk daftar referensi adalah 1 spasi. Daftar
pustaka ditulis dengan model paragraf Hanging. Format penulisan yang digunakan
adalah sesuai dengan format APA 6th Edition (American Psychological Association).
Berikut adalah contoh penggunaan beberapa referensi.
Catatan: Penjelasan ini tidak perlu dimasukkan dalam penulisan daftar pustaka yang
sebenarnya. Demikin juga dengan tulisan bertanda *) tidak perlu dimasukkan pada
daftar pustaka sebenarnya.

Buku 1 Penulis*)
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

24
Buku 2 Penulis*)
Tubagus, A, & Wijonarko. (2009). Langkah-Langkah Memasak. Jakarta: PT
Gramedia.

Buku 3 Penulis*)
Leen, B., Bell, M., & McQuillan, P. (2014). Evidence-Based Practice: a Practice
Manual. USA: Health Service Executive.

Buku Lebih Dari Satu Edisi*)


Prayitno, & Amti, E. (2012). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Edisi ke-10).
Jakarta: PT Rineka Cipta.

Penulis Dengan Beberapa Buku*)


Soeseno, S. (1980). Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Jakarta: PT Gramedia.
Soeseno, S. (1993). Teknik Penulisan Ilmiah-Populer: Kiat Menulis Nonfiksi untuk
Majalah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nama Penulis Tidak Diketahui / Lembaga*)


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. (2003). Panduan Teknis Penyusunan
Skripsi Sarjana Ekonomi. Jakarta: UI Press.

Buku Terjemahan*)
Gladding, S. T. (2012). Konseling: Profesi yang Menyeluruh (6th ed.). (Terj. P.
Winarno, & L. Yuwono). Jakarta: PT. Indeks.

Buku Kumpulan Artikel/Memiliki Editor*)


Ginicola, M. M., Filmore, J. M., Smith, C., & Abdullah, J. (2017). Physical and
Mental Health Challenges Found in the LGBTQI+ Population. In M. M.

25
Ginicola, C. Smith, & J. M. Filmore (Eds.), Affirmative Counseling with
LGBTQI+ People (pp. 75 - 85). Alexandria, VA: American Counseling
Association.

Artikel Jurnal / Ensiklopedi*)


Ruini, C., Masoni, L., Otolini, F., & Ferrari, S. (2014). Positive Narrative Group
Psychotherapy: The Use of Traditional Fairy Tales to Enhance Psychological
Well-Being and Growth. Journal Psychology of Well-Being, 4 (13), 1-9.

Artikel Jurnal dengan Lebih dari 7 Penulis*)


Gilbert, D. G., Mcclernon, J. F., Rabinovich, N. F., Sugai, C., Plath, L. C.,Asgaard,
G., … Botros, N. (2004). Effects of quitting smoking on EEG activation and
attention last for more than 31 days and are more severe with stress,
dependence, DRD2 Al allele, and depressive traits. Nicotine and Tobacco
Research, 6, 249—267

Artikel Jurnal dengan DOI*)


Herbst-Damm, K. L., & Kuhk, J. A. (2005). Volunteer support marital status, and the
survival times of terminally ill patients. Health Psychology, 24, 225-229. doi:
10.1037/0278-6133.24.2.225

Artikel dalam Prosiding Online*)


Herculano-Houzel, S., Collins, C. E., Wong, R, Kaas, J. H., & Lent R. (2008). The
basic nonuniformity of the cerebral cortex. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 105, 12593—12598. doi:1 0. 1 073/pnas.Q80541 7105

Artikel dalam Prosiding Cetak*)

26
Katz, I., Gabayan, K., & Aghajan, H. (2007). A multi-touch surface using multiple
cameras. In J. Blanc-Talon, W. Philips, D. Popescu, & P. Scheunders (Eds.),
Lecture Notes in Computer Science: Vol. 4678. Advanced Concepts for
intelligent Vision Systems (pp. 97—108). Berlin, Germany: Springer-Verlag.

Majalah*)
Susanta, R. (Juni 2010). “Ambush Marketing”. Marketing, 140 (2), 15-17.

Majalah Online*)
Susanta, R. (Juni 2010). “Ambush Marketing”. Marketing, 140 (2), 15-17. Diakses
dari: http//majalahmarketing.com//

Surat Kabar*)
Irawan, A. (24 September 2010). “Impor Beras dan Manajemen Logistik Baru”.
Koran Tempo, A11.

Skripsi/Tesis/Disertasi Tidak Terpublikasi*)


Nurgiri, M. (2010). Antropologi Indonesia (Skripsi Tidak Terpublikasi). Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.

Skripsi/Tesis/Disertasi dari Sumber Online*)


Haryadi, R. (2017). Pengembangan Model Evidence-Based Community Counseling
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Subyek Eks-Pecandu
NAPZA di Kota Semarang (Tesis, Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang). Diakses dari: http//pps.unnes.ac.id//tesis/rudiharyadi/

Video*)

27
American Psychological Association. (Produser). (2000). Responding therapeutically
to patient expressions of sexual attraction [DVD]. Tersedia di
http://www.apa.org/videos/

Serial Televisi
Egan, D. (Penulis), & Alexander, J. (Pengarah). (2005). Failure to communicate
[Episode Seri Televisi]. In D. Shore (Produser Pelaksana), House. New York,
NY: Fox Broadcasting.

Musik Rekaman*)
Lang, K.D. (2008). Shadow and the frame. On Watershed [CD]. New York, NY:
Nonesuch Records.

28

Anda mungkin juga menyukai