Anda di halaman 1dari 27

IMPLIKASI PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN PASCA

PUTUSAN MK TENTANG UU CIPTA KERJA.

DI SUSUN OLEH :

ARDIAN AGUSTIN HARYONO

200 10000 219

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebesar-besarnya saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai penuntun utama kita sebagai mahasiswa dalam melaksanakan kewajiban kita. Atas
tuntunan dan restu dari Tuhan Yang Maha Esa makalah ini dapat di buat dan di selesaikan
dengan lancar dan juga tepat waktu dalam tahap penyelesaiannya. Tidak lupa juga saya
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca makalah ini, karena sesuai
dengan tujuan dari penulisan makalah ini guna untuk memaparkan sebuah topik pembahasan
sebagaimana yang tertera pada bagian isi dari makalah ini.

Besar harapan saya makalah ini dapat di terima dengan baik di kalangan pembaca,
sebagai suatu karya ilmiah yang bermanfaat dan dapat menghantarkan pembaca untuk
memahami dengan baik topik materi pembahasan yang ada di karya makalah ini.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari suatu kesalahan, tentu saya ucapkan
permohonan maaf jika di dalam penulisan makalah ini terdapat suatu kesalahan yang tanpa
saya sengaja dan sadari, tetapi kendati demikian di dalam penulisan makalah ini tentu suatu
ketelitian sangat di utamakan guna memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh
pada makalah ini.

Malang, Januari 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................5
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................5
1.3 Tujuan..........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................7
2.1 Pengertian Lingkungan Hidup.....................................................................................7
2.2 Pengelolaan Lingkungan Hidup..................................................................................9
2.3 Permasalahan Lingkungan Hidup..............................................................................13
2.4 Implikasi UU Cipta Kerja..........................................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................27
3.1 Kesimpulan................................................................................................................27
3.2 Saran..........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari awal Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja sudah
bermasalah sehingga menjadi perdebatan panas publik disertai berbagai bentuk aksi
penolakan. Namun RUU tersebut tetap berjalan terus hingga pada akhirnya RUU Omnibus
Law Cipta Kerja yang menggabungkan beberapa UU di dalamnya disahkan DPR menjadi UU
pada 5 Oktober 2020.

Salah satu tujuan pemerintah menggulirkan RUU sehingga menjadi UU Cipta Kerja
adalah untuk menyederhanakan atau merampingkan regulasi dari segi jumlah peraturan agar
lebih tepat sasaran. Beberapa di antaranya penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan
investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha,
dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian
lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus.

Faktanya banyak pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang menghilangkan hak


buruh/tenaga kerja tapi di sisi lain para pengusaha tentunya sangat diuntungkan. Hal itu
antara lain terlihat dalam kontrak tanpa batas di Pasal 59, hari libur dipangkas di Pasal 79,
aturan soal pengupahan diganti di Pasal 88, sanksi tidak bayar upah dihapus di Pasal 91, hak
memohon PHK dihapus di Pasal 169 dan lainnya.

Selain itu kemudahan izin yang diberikan kepada investor, khususnya terkait dengan
Amdal berdampak buruk terhadap lingkungan yang diatur UU No. 23 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa pengetian dari lingkungan hidup?
2. Apa saja aspek yang meliputi pengelolaan lingkungan hidup?
3. Apa permasalahan dalam lingkungan hidup?
4. Apa implekasi UU cipta kerja dengan lingkungan hidup pasca putusan MK?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengetian dari lingkungan hidup.
2. Mengetahui apa saja aspek yang meliputi pengelolaan lingkungan hidup.
3. Mengetahui permasalahan dalam lingkungan hidup.
4
4. Mengetahui implekasi UU cipta kerja dengan lingkungan hidup pasca putusan
MK.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lingkungan Hidup


Lingkungan hidup adalah seluruh faktor luar yang memengaruhi suatu organisme,
faktor-faktor ini dapat berupa organisme hidup (biotic factor) atau variabel-variabel yang
tidak hidup (abiotic factor). Lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, mempengaruhi alam itu
sendiri.

Dalam ilmu ekologi, alam dilihat sebagai jalinan sistem kehidupan yang saling terkait
satu sama lainnya. Artinya setiap makhluk hidup berada dalam suatu proses penyesuaian diri
dalam sistem kehidupan yang dipengaruhi oleh asas-asas dalam kelangsungan kehidupan
ekologi tersebut. Berikut pengertian lingkungan hidup menurut para ahli beserta jenisnya:

Pengertian Lingkungan Hidup Menurut Para Ahli:

a. Istilah Lingkungan Hidup pada BAB I, Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.32 Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dirumuskan sebagai berikut:
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain”.
b. Dalam Ensiklopedia Indonesia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar suatu
organism, meliputi: (1) lingkungan mati (abiotik), yaitu lingkungan di luar suatu
organisme yang terdiri dari benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan
kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer dan lainnya. (2) Lingkungan hidup (Biotik)
yaitu lingkungan yang terdiri atas organisme hidup, seperti tumbuhan, hewan dan
manusia.
c. Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah semua
benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.

5
d. Sementara itu, menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup diartikan sebagai ruang
yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup di
dalamnya.
e. RM. Gatot P. Soemartono mengutip pendapat para pakar sebagai berikut: “secara
umum lingkungan diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk
kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas,
namun praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau
oleh manusia seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor soasial dan lain-
lain”.
f. Pengertian lingkungan hidup menurut Sambah Wirakusumah adalah lingkungan hidup
adalah semua aspek kondisi eksternal biologis, dimana organisme hidup dan ilmu-ilmu
lingkungan menjadi studi aspek lingkungan organisme itu.
g. Menurut Emil Salim lingkungan hidup diartikan sebagai benda, kondisi, keadaan dan
pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang
hidup termasuk kehidupan manusia.
h. Sedangkan menurut Soedjono lingkungan hidup sebagai lingkungan fisik atau jasmani
yang terdapat di alam. Pengertian ini menjelaskan bahwa manusia, hewan dan tumbuh-
tumbuhan dilihat dan dianggap sebagai perwujudan fisik jasmani.
i. Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup
Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan
yurisdiksinya.
j. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Suatu definisi yang cukup panjang
dan tidak mudah dipahami terutama bagi yang baru kali ini mengetahui tentang definisi

6
ini. Tidak perlu terlalu panik, mari kita lihat definisi ini secara lebih cermat dan
mengurainya satu persatu.

Menurut pemahaman penulis lingkungan hidup adalah kondisi alam dan seisinya yang
saling mempengaruh. Pengertian ini memiliki konteks yang lebih luas yaitu termasuk ruang
angkasa. Istilah lingkungan hidup berasal dari Bahasa inggris sebutan Environment and
Human Environment atau pengunaan dalam pembuatan peraturan disebut lingkungan hidup
atau lingkungan hidup manusia.

2.2 Pengelolaan Lingkungan Hidup


Pengertian pengelolaan lingkungan hidup, Menurut Syahrul Machmud dalam buku
hukum lingkungan yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggungjawab negara,


asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.

Pengelolaan lingkungan hidup, menyatakan bahwa lingkungan hidup merupakan


kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu
benda, keadaan, situasi yang ada di sekeliling makhluk hidup dan berpengaruh terhadap
kehidupan (sifat, pertumbuhan, persebaran) makhluk hidup yang bersangkutan.

Lingkungan hidup baik faktor biotik maupun abiotik berpengaruh dan dipengaruhi
manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung
lingkungan adalah kemampuan Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

7
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta, makhluk hidup lainnya.

Lingkungan memiliki cakupan yang sangat luas. Tidak hanya manusia, hewan, tumbuh-
tumbuhan, atau yang benda-benda bersifat fisik. Lingkungan, mencakup didalamnya berbagai
hal dari yang bersifat biotik, organik, anorganik hingga sosial.

Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 44 dijelaskan setiap penyusunan peraturan perundang-
undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Pengelolaan lingkungan hidup haruslah didasari dengan beberapa asas yang penting
antara lain sebagai berikut:

1. Asas Tanggung Jawab Negara


Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi maka kini maupun generasi masa depan.
2. Asas Kelestarian Dan Keberlanjutan
Bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan
melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas
lingkungan hidup.
3. Asas Keserasian Dan Keseimbangan
Bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek
seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian
ekosistem.
4. Asas Keterpaduan
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan
memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
5. Asas Manfaat
Bahwa segala usaha/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk

8
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan
lingkungan.
6. Asas Kehati-Hatian
Bahwa ketidak pastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan
karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau
menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
7. Asas Keadilan
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas
daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

8. Asas Ekoregion
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis,
budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
9. Asas Keanekaragaman Hayati
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman,
kebrlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati
dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10. Asas Pencemar Membayar
Bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.
11. Asas Partisipatif
Bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
12. Asas Kearifan Lokal

9
Bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
13. Asas Tata Kelola Pemerintah Yang Baik
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip
partisipasi, transparasi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14. Asas Otonomi Daerah.
Bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai negara
kesatuan republik indonesia.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memiliki beberapa tujuan, diantaranya


sebagai berikut:

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlingdungan ha katas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber dayaalam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Ruang lingkup Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup ini meliputi sebagai
berikut:

a. Perencanaan;
b. Pemanfaatan;
c. Pengendalian;
d. Pemeliharaan;
e. Pengawasan; dan
f. Penegakan hukum.
10
Pemanfaatan Dan Pengendalian Pengolaan Lingkungan hidup dijelaskan dalam Pasal
12 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolaan lingkungan
hidup:

 Ayat 1 : Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan Rencana


Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup.
 Ayat 2 : Dalam hal RPPLH sebagimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun,
pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tamping lingkungan hidup dengan memperhatikan:
a. Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
 Ayat 3 : Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup sebagimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh;
a. Menteri untuk daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup nasional
dan pulau/kepulauan; Gubernur untuk daya dukung dan daya tamping
lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota;
b. Bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
kabupaten/kota dan ecoregion di wilayah kabupaten/kota.
 Ayat 4 : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam peraturan pemerintah.

Pengendalian pengolaan lingkungan hidup dijelaskan dalam Pasal 13 Undang-Undang


Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengolaan lingkungan hidup.

 Ayat 1 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
 Ayat 2 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pencegahan;
b. Penanggulangan; dan
c. Pemulihan.
 Ayat 3 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah
11
daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

2.3 Permasalahan Lingkungan Hidup


Isu permasalahan lingkungan akhir-akhir ini mulai mendapat banyak perhatian oleh
dunia internasional. Di Indonesia sendiri, masih banyak permasalahan lingkungan yang
membutuhkan penyelesaian. Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan
multidimensional yang melibatkan berbagai kalangan. Meskipun begitu, pemerintah tetap
menjadi sektor yang berperan penting untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan karena
pemerintah memiliki wewenang untuk mengeluarkan regulasi atau kebijakan.

Isu permasalahan lingkungan menjadi penting karena kualitas lingkungan akan


memengaruhi kualitas hidup manusia secara langsung. Selain itu, kualitas lingkungan juga
memengaruhi kualitas hidup manusia di masa mendatang.

Dilansir dari laman resmi Greenpeace Indonesia, dijelaskan beberapa permasalahan


lingkungan yang terjadi di Indonesia, yaitu:

1. Penurunan kualitas dan rusaknya terumbu karang


Kondisi terumbu karang di Indonesia cukup mengkhawatirkan sebab 35,15 persen
terumbu karang Indonesia masuk dalam kategori buruk. Penurunan kualitas ini
disebabkan oleh penangkapan ikan menggunakan bom dan suhu permukaan air yang
meningkat akibat krisis iklim. Padahal, terumbu karang memiliki peranan yang penting
terhadap pengurangan pemanasan global. Karena terumbu karang mampu menyerap
karbon dioksida yang ada. Penurunan kualitas dan rusaknya terumbu karang dapat
menyebabkan rusaknya ekosistem laut yang kemudian akan berdampak pada
menurunnya jumlah hewan laut secara drastis.
2. Masalah sampah plastik
Sampah plastik menjadi permasalahan lingkungan karena dalam proses
produksinya turut menyumbang emisi karbon ke udara. Emisi karbon yang teralu besar
dapat menyebabkan krisis iklim berlangsung lebih cepat. Selain itu, sampah plastik juga
bisa menyebabkan pencemaran terhadap tanah dan air. Pengurangan penggunaan
plastik penting untuk dilakukan karena di Indonesia sendiri pengelolaan sampah plastik
masih tergolong rendah serta tanggung jawab perusahaan terhadap sampah-sampah
mereka pun masih minim
3. Polusi udara
12
Polusi udara masih menjadi permasalahan lingkungan utama di Indonesia. Polusi
udara masih tetap terjadi karena sampai saat ini Indonesia masih melakukan investasi
PLTU batu bara. Padahal, ssecara global sektor pembangkit merupakan penyumbang
terbesar gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Bahkan, 20-30 persen polusi udara yang
ada di Jakarta merupakan hasil sumbangan dari emisi yang dihasilkan PLTU berbahan
bakar batu bara. Tidak hanya itu, pembakaran batu bara dapat menyebabkan kematian
karena partikel polutannya bisa menembus ke sel darah manusia.
4. Deforestasi
Selain polusi udara, deforestasi juga menjadi permasalahan lingkungan utama di
Indonesia. Menurut Forest Watch Indonesia, selama tahun 2000 sampai 2017, tercatat
Indonesia telah kehilangan hutan alam lebih dari 23 juta hektar atau setara dengan 75
kali luas provinsi Yogyakarta. Bahkan, menurut World Resources Institute, pada tahun
2019 Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang paling banyak kehilangan
hutan hujan primer akibat deforestasi, yaitu sebanyak 324 ribu hektar. Konversi hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta kebakaran hutan,
diindikasikan masih menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia.
Deforestasi menjadi masalah penting karena hutan merupakan tempat penyimpanan dan
daur ulang karbondioksida yang cukup besar. Lebih dari 300 miliar ton karbondioksida
tersimpan di dalam hutan. Akibat deforestasi, karbondioksida tersebut akan terlepas ke
atmosfer sehingga akan mempercepat perubahan iklim.

2.4 Implikasi UU Cipta Kerja


Setelah Putusan MK atas UU Cipta Kerja diucapkan pada 25 November 2021,
membawa dampak hukum luar biasa dalam aspek perundang-undangan dan ketatanegaraan.
Secara otomatis, Putusan MK ini merontokkan bangunan hukum dan ekonomi yang telah
disusun oleh Pemerintah dan DPR. Di mana tidak hanya keberlakuan UU Cipta Kerja saja
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan cacat formil, melainkan konstruksi
hukum peraturan pelaksana/turunan dari UU Cipta Kerja ini juga otomatis tidak berlaku.

Namun, Putusan MK menyisakan banyak penafsiran yang memicu perdebatan baik di


kalangan akademisi, praktisi hingga masyarakat sipil. Ada yang mengatakan UU Cipta Kerja
ini masih tetap berlaku hingga 2 tahun, ada juga yang mengatakan keberlakuannya
ditangguhkan hingga adanya perbaikan formil dan substansi UU Cipta Kerja. Hingga, ada
pula yang menafsirkan bahwa bukan UU Cipta Kerja yang direvisi melainkan UU 12/2011

13
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengadopsi metode omnibus
law dalam UU 12/2011.

Perdebatan dari banyaknya multitafsir ini tentu harus dipagari dengan memperhatikan
tiga bingkai utama, yakni pertama, harus dilandaskan pada Putusan MK atas UU Cipta Kerja;
kedua, analisis aspek hukum tata negara dan ilmu perundang-undangan; dan ketiga, analisis
dampak luas dari keberlakuan UU Cipta Kerja bagi masyarakat kecil. Berikut ini sejumlah
pasal krusial dan dampaknya yang dirangkum:

1. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban
Mutlak.

Pasal 88 UU PPLH berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,


dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi: “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.”

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk


menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi
hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi,
namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi


Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di
tengah jalan, gugatan itu dicabut.

14
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini
berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. "Bahwa
pertanggungjawaban mutlak korporasi itu berusaha diminimalkan dan terindikasi akan
hilang dengan sendirinya. Artinya pemerintah lebih melindungi keberlangsungan
korporasi dibanding upaya penegakan hukum secara mutlak berdasarkan UU 32/2009,"
ujar Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman kepada wartawan.

2. Pasal Terkait Kewajiban Memiliki Amdal


UU Ciptaker juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang merupakan pengelolaan dan pemantauan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha untuk
melakukan kegiatan usahanya:
 Pasal 36
1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL.
4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

15
Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait Amdal
telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar
Amdal dan UKL-UPL.

 Ketentuan Pasal 36 dihapus.


 Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta
ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan
pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman mengatakan bahwa Omnibus Law


meringkas pasal tersebut dalam izin usaha. Dia menduga itu untuk menghilangkan izin
lingkungan. "Jadi jelas bahwa izin lingkungan itu dihilangkan. Kalau di Pasal 37 Omnibus,
Perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila, c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen
AMDAL dan UKL-UPL (bukan izin lingkungan). Artinya, AMDAL dan UKL-UPL itu
adalah bagian dari izin berusaha ," jelasnya.

Dalam UU Ciptaker, terdapat sekitar 4 (empat) isu terkait ketentuan Amdal yang
diubah:

Pertama, mengenai kegunaan Amdal. Dalam UU Ciptaker, Amdal yang dibuat oleh
pemrakarsa yang bersertifikat (penyusun Amdal) dijadikan sebagai dasar uji kelayakan
lingkungan dalam penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan
dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup
pemerintah pusat. Tim tersebut terdiri atas usur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
ahli bersertifikat. Ouput dari uji kelayakan tersebut berupa rekomendasi mengenai kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan. Berdasarkan rekomendasi tersebut, Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah menetapkan keputusan tentang kelayakan lingkungan, dan penetapan
kelayakan lingkungan tersebut digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha.
16
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU PPLH, yakni: Amdal
merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan. Namun, sebelum Amdal dijadikan dasar penetapan, dokumen Amdal
sebagaimana diatur dalam UU PPLH terlebih dahulu dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang
dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada
rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.

Kedua, UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang berkas yang harus
ada dalam dokumen Amdal. Salah satu syarat dokumen yang diubah yaitu mengenai saran
masukan serta tanggapan dari masyarakat. Dalam UU PPLH  diatur bahwa dokumen Amdal
salah satunya harus memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak
langsung yang relevan teradap rencana usaha/kegiatan, sedangkan dalam UU Ciptaker, saran
masukan serta tangapan dari masyarakat (tidak harus masyarakat yang terkena dampak
langsung).

Ketiga, dalam proses penyusunan Amdal, baik UU Ciptaker maupun UU PPLH sama-
sama mengatur mengenai keterlibatan masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker
mempersempit definisi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH adalah
masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Ciptaker,
masyarakat yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.

Keempat, perubahan mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU PPLH


menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan dengan dokumen Amdal untuk dapat
mengajukan keberatan atau upaya hukum, sedangkan dalam UU Ciptaker tidak diatur
mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU Ciptaker menghapus ketentuan mengenai
mekanisme keberatan tersebut, yaitu dengan menghapus ketentuan mengenai komisi penilai
Amdal yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU PPLH. Ketiadaan
mekanisme keberatan ini memantik perdebatan dimasyarakat karena mekanisme ini dianggap
sangat penting untuk memastikan kelestarian lingkungan, terutama untuk menjaga agar
dokumen Amdal tidak dibuat sembarangan atau sekedar formalitas.

Hal lain yang sejalan dengan ketentuan Amdal, yang juga menimbulkan perdebatan
adalah dihapusnya pasal mengenai kewajiban izin lingkungan. Dalam UU Ciptaker, izin
lingkungan tidak diatur secara tegas. Namun, untuk mendapatkan izin berusaha, pemohon
harus mendapatkan keputusan mengenai kelayakan lingkungan. Izin Lingkungan dalam UU
17
PPLH diubah nomenklatur dan substansinya menjadi persetujuan lingkungan dalam UU
Ciptaker. Pasal 22 angka 35 UU Ciptaker mendefinisikan Persetujuan Lingkungan adalah
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup[1] atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.

Perubahan-perubahan dalam UU Ciptaker yang mengubah ketentuan UU PPLH


terutama mengenai Amdal dan izin lingkungan dianggap oleh sejumlah pegiat lingkungan
sebagai pelemahan yang mengancam kelestarian alam, apalagi analisis dampak lingkungan
hanya untuk proyek berisiko tinggi, sedangkan dasar untuk menentukan proyek berisiko
rendah atau tinggi belum terang benar aturan mainnya sampai sekarang.[2] Ada pula
kekhawatiran bahwa perubahan aturan ini berpotensi mudahnya menerbitkan Amdal “abal-
abal” karena proses penerbitan Amdal ini tanpa kontrol masyarakat. Padahal, partisipasi
masyarakat menjadi “jiwa” dalam penerbitan Amdal.[3]

Hasil indeksasi terhadap 164 putusan TUN yang dilakukan Lembaga Kajian dan
Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan banyak izin lingkungan yang
disengketakan di pengadilan tata usaha negara. Dari 164 putusan, terdapat 30 putusan
mengenai sengketa izin lingkungan. Dari 164 putusan tersebut, LeIP juga menemukan
putusan yang menguji Amdal, terutama keterlibatan masyarakat. Dalam putusan 580
K/TUN/2018, Majelis Hakim memberi pertimbangan tentang harus adanya unsur masyarakat
dalam komisi Amdal.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang (UU) Cipta


Kerja inkonstitusional bersyarat itu ambigu dan memicu ketidakpastian hukum. Padahal
putusan MK seharusnya menghilangkan segala macam ambiguitas dan ketidakpastian.

Dalam putusannya, Mahkamah menilai Undang-Undang Cipta Kerja melanggar


Undang-Undang Dasar 1945 karena pembahasan rancangan omnibus law itu tidak transparan
dan tanpa partisipasi publik. Namun Mahkamah menyatakan undang-undang tersebut masih
berlaku sampai ada revisinya dua tahun ke depan. Padahal, secara substansi, undang-undang
ini pun bermasalah: antara lain merugikan hak buruh dan mengancam kelestarian lingkungan.
Mahkamah ibarat menyuruh orang tetap memegang bara yang sudah jelas bakal membuat
gosong tangannya.

18
Putusan Mahkamah kian ambigu karena melarang pemerintah membuat aturan turunan
Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah juga tidak mengizinkan pemerintah menjadikan
undang-undang sapujagat itu sebagai landasan kebijakan yang penting dan berdampak luas.
Pertanyaannya, memang ada kebijakan negara yang tak penting dan tak berdampak luas?

Pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja mengatur sesuatu yang berdampak


luas. Begitu pula 49 aturan turunannya. Omnibus law Cipta Kerja mengubah, menambah, dan
memangkas 80 undang-undang yang selama ini menjadi basis perlindungan lingkungan,
perburuhan, hingga tata cara membangun bisnis. Semua itu berdampak besar pada kehidupan
masyarakat saat ini serta masa depan lingkungan kita.

Selain putusannya yang ambigu, pendapat hakim konstitusi yang terbelah menguatkan


kesan adanya kompromi kepentingan politik, bisnis, dan hukum. Para hakim Mahkamah tahu
pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja melanggar konstitusi—dosa besar dalam demokrasi.
Namun, dengan mengizinkan undang-undang ini tetap berlaku, Mahkamah menjadikan
hukum seperti politik yang serba abu-abu. Alih-alih menunjukkan bahwa Mahkamah
Konstitusi tak bisa diintervensi oleh kekuatan apa pun, para hakimnya malah memberi ruang
bagi tekanan oligarki.

Kita tahu, omnibus law Cipta Kerja sarat dengan titipan pemilik modal dan kekuasaan
untuk leluasa mengeruk kekayaan Indonesia. Misalnya dalam aturan pembuatan analisis
mengenai dampak lingkungan (amdal). Undang-Undang Cipta Kerja menyingkirkan ahli dan
organisasi lingkungan dalam uji kelayakan amdal. Dari sini, jelas pemerintah Presiden Joko
Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat menganggap para pembela lingkungan sebagai
pengganggu pembangunan.

Di masa krisis iklim, pemerintah seharusnya giat meningkatkan proteksi lingkungan.


Faktanya, lewat omnibus law Cipta Kerja, pemerintah malah melonggarkan aturan amdal
yang selama ini menjadi benteng terakhir dari ancaman bisnis yang merusak lingkungan.
“Pembangunanisme” ala Jokowi ini tentu saja ketinggalan zaman karena konsep
pembangunan masa kini lebih mendorong bisnis yang ramah lingkungan.

Perintah Mahkamah Konstitusi agar pemerintah dan DPR merevisi UU Cipta


Kerja memang memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk memasukkan konsep-konsep
pembangunan berkelanjutan. Tapi peluang itu tipis saja. Sebab, sejak awal

19
pembahasan rancangan omnibus law ini, DPR dan pemerintah tak mementingkan
perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang cipta


kerja inkonstitusional bersyarat. Apa itu? 

Dalam amar putusan yang dibacakan pada 25 November 2021 secara langsung melalui


YouTube, lima dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi sepakat bahwa proses legislasi
pembacaan omnibus law UU Cipta Kerja inkonstitusional. Namun, MK juga menyatakan UU
ini tetap berlaku hingga dua tahun ke depan. 

Selama dua tahun itu pemerintah dan DPR wajib memperbaiki atau merevisi UU ini.
MK juga melarang pemerintah membuat aturan turunan UU Cipta Kerja selama dua tahun ke
depan. 

Masalahnya, bagaimana dengan aturan-aturan turunan yang sudah dibuat? Ahli hukum
tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Bivitri Susanti mengatakan aturan yang
sudah dibuat tetap berlaku sampai ada revisi aturannya.

Bagaimana jika selama dua tahun itu pemerintah dan DPR tak membuat revisinya? Menurut
Mahkamah Konstitusi, undang-undang lama yang direvisi, diubah, dihapus oleh UU Cipta
Kerja berlaku kembali. 

Ada 78 undang-undang yang diubah oleh omnibus law UU Cipta Kerja. Para ahli yang
diundang Forest Digest untuk menganalisis UU pada tahun lalu (anda bisa mengaksesnya
melalui tautan ini) menyatakan UU Cipta Kerja terlalu condong pada investasi besar sehingga
mengancam perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, dan masyarakat adat serta
komunitas lokal di sekitar hutan.

Salah satu yang diubah adalah pasal 18 UU Kehutanan yang mewajibkan pemerintah
menyisakan tutupan hutan minimal 30% dari luas provinsi atau pulau. UU Kehutanan
41/1999 mewajibkan pemerintah mempertahankan luas tutupan hutan minimal ini untuk
mencegah bencana lingkungan.

Dengan dalih tak semua pulau atau provinsi tak lagi memiliki tutupan hutan 30%,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghapus ketentuan ini dalam UU Cipta
Kerja. Alasan lain, penghapusan 30% tutupan hutan membuka peluang menaikkan tutupan
hutan lebih besar dari batas minimal ini.

20
Masalahnya, di Kalimantan tiap tahun terjadi banjir akibat hutannya rusak. Secara
rasio, luas hutan Kalimantan masih 28,9 juta hektare. Jika luas pulau Kalimantan 74 juta
hektare, dengan merujuk pada angka 30% tutupan hutan, hutan minimal di pulau ini 22,2 juta
hektare.

Banjir Sintang di Kalimantan Barat telah merendam 11 kecamatan di empat kabupaten


selama satu bulan. Menurut pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam
laporannya kepada DPR pada 22 November 2021, salah satu penyebab banjir adalah alih
fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Berdasarkan data Global Forest Watch, selama 2002 hingga 2020, Kalimantan Barat
kehilangan 1,25 juta hektare hutan primer basah, yang menyumbang 36% dari total
kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di
Kalimantan Barat berkurang 18% dalam periode waktu ini.

Dengan banyak bukti bencana alam akibat perubahan-perubahan kawasan hutan


menjadi permukiman, pertambangan, atau perkebunan, kehadiran UU Cipta Kerja membuat
harapan melindungi lingkungan pupus. Penghilangan kewajiban mempertahankan tutupan
30% membuat program rehabilitasi hutan dan lahan terabaikan.

Rehabilitasi menjadi satu cara penting mengganti kawasan hutan yang sudah dibuka di
tiap pulau. Soalnya, laju deforestasi selalu lebih besar dibanding penanaman hutan kembali.
Menurut KLHK, deforestasi pada 2020 seluas 115.460 hektare, tapi reforestasinya hanya
sekitar 3.000 hektare.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional


bersyarat karena prosesnya yang buru-buru dan tertutup dari publik menjadi harapan baru
mengembalikan aturan-aturan perlindungan lingkungan yang dihapus omnibus law ini. 

Di tengah krisis iklim, menebalkan daya dukung lingkungan menjadi satu-satunya cara
untuk mengimbangi pembangunan masif di era pemerintahan Joko Widodo. Ia sudah
merencanakan 201 proyek strategis nasional hingga 2024 yang membutuhkan lahan tak
sedikit.

Food estate atau lumbung pangan, misalnya, hendak mengubah 2,3 juta hektare lahan
menjadi perkebunan. Apalagi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menyatakan
pemerintahan akan mengabaikan seruan stop deforestasi dan menurunkan emisi karbon demi
pembangunan besar-besaran di era Jokowi. 
21
Untuk mengimbanginya, salah satunya, melalui pengetatan penilaian lingkungan.
Namun, proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah saja hanya memakai Kajian
Lingkungan Hidup Strategi cepat. Kementerian Pertahanan yang melaksanakannya,
menurut liputan Tempo, mengajukan KLHS setelah hutannya dibabat.

Alih-alih memperkuat asesmen lingkungan, UU Cipta Kerja menghapus partisipasi


organisasi dan ahli lingkungan dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan bagi
sebuah bisnis baru. Komisi Penilai Amdal diganti tim penilai amdal yang tak lagi
mengikutkan organisasi pemantau lingkungan serta masyarakat yang terdampak tidak
langsung.

Selain membuktikan kritik banyak ahli atas proses cacat penyusunan omnibus law UU


Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan isinya mengandung
kelemahan. Karena itu, lembaga hukum tertinggi di Indonesia ini memerintahkan DPR dan
pemerintah memperbaikinya dalam dua tahun ke depan.

Makalah ini akan fokus membahas dampak RUU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

A. Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha.

RUU Cipta Kerja merubah Pasal 1 angka 35 UU No. 32/2009 terkait Izin Lingkungan.
Di dalam RUU Cipta Kerja, terminologi Izin Usaha diubah menjadi Perizinan Berusaha dan
Izin Lingkungan diubah menjadi Persetujuan Lingkungan. Persetujuan Lingkungan adalah
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan
hidup. Keputusan kelayakan lingkungan hidup merupakan keputusan untuk kegiatan usaha
yang berdampak penting terhadap lingkungan sementara pernyataan kesanggupan
pengelolaan lingkungan hidup adalah keputusan untuk kegiatan usaha yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan.

RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 40 UU No. 32/3009 yang mewajibkan Izin
Lingkungan sebagai syarat Izin Usaha, namun demikian RUU Cipta Kerja tetap mewajibkan
Persetujuan Lingkungan sebagai syarat penerbitan Perizinan Berusaha. Beberapa pasal yang
mengakomodir kewajiban tersebut terdapat di dalam perubahan Pasal 24 dan perubahan Pasal
34 UU No. 32/2009. Selanjutnya skema penerbitan Persetujuan Lingkungan juga diubah di
dalam RUU Cipta Kerja. Jika di UU No. 32/2009 amdal menjadi dasar penetapan keputusan
kelayakan lingkungan hidup maka di dalam RUU Cipta Kerja amdal hanya dijadikan sebagai

22
dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Uji kelayakan lingkungan hidup ini dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan dari hasil uji kelayakan tersebut Pemerintah Pusat akan menetapkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup, yang merupakan syarat penerbitan Perizinan
Berusaha. Hal yang sama juga berlaku untuk penerbitan Perizinan Berusaha untuk kegiatan
dan/atau usaha yang wajib memiliki UKL-UPL. Penerbitan Perizinan Berusaha diterbitkan
berdasarkan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Lebih lanjut wewenang
di dalam prosedur terkait Persetujuan Lingkungan dari tahap uji kelayakan sampai penerbitan
Persetujuan Lingkungan yang sebelumnya dapat dilaksanakan secara bertingkat mulai dari
Pemerintah Daerah, Komisi Penilai Amdal sampai dengan Menteri akan diubah sehingga
seluruh wewenang tersebut berada di Pemerintah Pusat. Perubahan wewenang ini juga
diterapkan untuk penerbitan perizinan terkait seperti izin pengelolaan limbah B3 dan izin
dumping.

Amdal dan UKL-UPL Jika di UU No. 32/2009 jenis perijinan lingkungan terbagi
menjadi 3 kategori yaitu amdal, UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup, maka di dalam RUU Cipta Kerja hanya terdapat 2
kategori yaitu i) kegiatan dan/atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup
dan ii) kegiatan dan/atau usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup akan
diwajibkan untuk memiliki amdal sementara kegiatan dan/atau usaha yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan hidup akan diwajibkan untuk memenuhi standar UKL-UPL
yang kemudian dinyatakan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.

Lebih lanjut terdapat beberapa pasal terkait amdal di dalam UU No. 32/2009 yang
diubah oleh RUU Cipta Kerja. Kriteria kegiatan dan/atau usaha yang wajib memiliki amdal
yang sebelumnya dirinci secara jelas di dalam Pasal 23 UU No. 32/2009 diubah. Kriteria
tersebut tidak lagi dirinci di dalam RUU Cipta Kerja melainkan di dalam Peraturan
Pemerintah. Kemudian RUU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 29 sampai Pasal 31 UU No.
32/3009 yang mengatur mengenai Komisi Penilai Amdal. Di dalam RUU Cipta Kerja
wewenang untuk menilai amdal hanya dikuasai oleh Pemerintah Pusat sehingga keberadaan
Komisi Penilai Amdal dihilangkan. Pasal 26 UU No. 32/2009 juga diubah sehingga
pemerhati lingkungan dan/atau pihak lain yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan
proses amdal tidak lagi dapat terlibat dalam penyusunan dokumen amdal. Di dalam RUU
Cipta Kerja pihak yang dapat terlibat di dalam penyusunan dokumen amdal hanya
penanggung jawab kegiatan dan/atau usaha beserta masyarakat yang terkena dampak.
23
B. Perubahan Wewenang

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam paragraf-paragraf di atas, di dalam RUU Cipta


Kerja seluruh kewenangan terkait Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha dialihkan
kepada Pemerintah Pusat. Kewenangan ini dilaksanakan dari tahap penilaian, penetapan
syarat sampai dengan penerbitan Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha termasuk
perizinan turunannya seperti izin untuk mengelola limbah B3 dan izin untuk dumping. Selain
itu RUU Cipta Kerja juga mengalihkan kewenangan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah
Pusat dalam i) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ii) pengawasan terhadap
ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, iii) pemberian sanksi administratif
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan serta iv) kewenangan untuk memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup
akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

C. Sanksi

RUU Cipta Kerja merubah sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan
hidup termasuk pelanggaran terhadap pengelolaan limbah B3, kegiatan dumping limbah dan
kegiatan dan/atau usaha yang tidak memiliki Persetujuan Lingkungan. Bila di UU No.
32/2009 sanksi yang diberikan berupa pidana dengan masa tahanan 3 tahun sampai 10 tahun
disertai dengan denda Rp 3.000.000.000,- sampai Rp 10.000.000.000,-, maka di dalam RUU
Cipta Kerja pengenaan sanksi pidana baru akan diberlakukan apabila sanksi denda tidak
dijalankan.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dinyatakan secara terang di dalam Pasal 22 RUU Cipta Kerja bahwa tujuan utama
perubahan UU No. 32/2009 adalah untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam
memperoleh Persetujuan Lingkungan. Maka dari itu dilakukan beberapa penyesuaian
termasuk simplifikasi Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha.
Secara garis besar Persetujuan Lingkungan (sebelumnya disebut sebagai Izin
Lingkungan) masih merupakan syarat penerbitan Perizinan Berusaha (sebelumnya disebut
sebagai Izin Usaha). Di dalam RUU Cipta Kerja klasifikasi Persetujuan Lingkungan dibuat
lebih sederhana yaitu wajib memiliki amdal untuk kegiatan dan/atau usaha yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup dan wajib memiliki UKL-UPL untuk kegiatan dan/atau
usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Adapun bentuk formal dari
masing-masing Persetujuan Lingkungan tersebut adalah dokumen amdal dan dokumen
pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Persetujuan Lingkungan tersebut
merupakan syarat bagi Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perizinan Berusaha bagi pelaku
usaha.
Kemudahan lainnya yg diberikan kepada pelaku usaha adalah mengenai pihak yang
terlibat di dalam penyusunan dokumen amdal. Jika sebelumnya penyusunan dokumen amdal
dilakukan oleh pelaku usaha dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak, pemerhati
lingkungan dan/atau pihak yang tepengaruh terhadap keputusan proses amdal maka di dalam
RUU Cipta Kerja pihak yang terlibat hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak. Hal ini
tentu saja memudahkan pelaku usaha dalam mengurus Persetujuan Lingkungan karena
menghindarkan para pelaku usaha dari penolakan atau perlawanan dari banyak pihak.
Selain itu dengan adanya pemusatan kewenangan di Pemerintah Pusat untuk seluruh
tahap pengurusan Persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha sampai dengan
pengawasan dan pemberian sanksi membuat proses pengajuan perijinan menjadi lebih
mudah. Terlebih dengan adanya keringanan sanksi terhadap pelanggaran perlindungan dan
pengelolaan lingkungan menjadi indikasi bahwa Pemerintah ingin mendorong pelaku usaha
untuk lebih mematuhi peraturan dibanding memberikan hukuman.
Namun di sisi lain dengan dihilangkannya kewenangan Pemerintah Daerah dan
dihilangkannya keterlibatan pemerhati lingkungan di dalam proses Persetujuan Lingkungan
dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap Pemerintah Pusat sebagai pemegang kuasa,
25
bahwa Pemerintah Pusat menggunakan kekuasaannya untuk mengutamakan kepentingan
pelaku usaha saja. Maka dari itu perlu diolah lebih jauh kebijakan-kebijakan terkait sehingga
pelaksanaannya kelak tidak hanya mengakomodir kepentingan pihak tertentu.
3.2 Saran
A. Bagi masyarakat

Beberapa hal yang dapat kalian lakukan sebagai bentuk upaya pelestarian lingkungan
hidup, antara lain sebagai berikut:  

1. Menghemat penggunaan kertas dan pensil,


2. Membuang sampah pada tempatnya,
3. Memanfaatkan barang-barang hasil daur ulang,
4. Menghemat penggunaan listrik, air, dan BBM, serta,
5. Menanam dan merawat pohon di sekitar lingkungan rumah tinggal.

Disamping itu usaha pelestarian lingkungan hidup ini harus dimulai dari setiap individu
dengan menitik beratkan pada kesadaran akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan
manusia dan pelestarian alam.

B. Bagi pemerintah

usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini
:

1. Melakukan pengolahan tanah sesuai kondisi dan kemampuan lahan, serta


mengatur sistem irigasi atau drainase sehingga aliran air tidak tergenang.
2. Memberikan perlakuan khusus kepada limbah, seperti diolah terlebih dahulu
sebelum dibuang, agar tidak mencemari lingkungan.
3. Melakukan reboisasi pada lahan-lahan yang kritis, tandus dan gundul, serta
melakukan sistem tebang pilih atau tebang tanam agar kelestarian hutan, sumber
air kawasan pesisir/pantai, dan fauna yang ada di dalamnya dapat terjaga.
4. Menciptakan dan menggunakan barang-barang hasil industri yang ramah
lingkungan.
5. Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perilaku para pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) agar tidak mengeksploitasi hutan secara besar-
besaran.

26
DAFTAR PUSTAKA

[1] Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan


lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
Amdal (Penjelasan Pasal 22 angka 3 UU

[2] https://katadata.co.id/sortatobing/ekonomi-hijau/5f7c3f0e25cc1/bahaya-pasal-pasal-
omnibus-law-uu-ciptaker-yang-ancam-lingkungan-hidup, diakses hari Senin, 28 Desember
2021.

[3] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f981318c8f7d/guru-besar-fhui–uu-cipta-
kerja-sektor-lingkungan-tidak-lebih-baik-dibanding-uu-pplh?page=2 diakses tanggal 29
Desember 2020

27

Anda mungkin juga menyukai