,0%)(%//%ŏ!*#!)(%*ŏ
!.1#%*ŏ!#.ŏ !*#*ŏ
!)!**ŏ!3&%*ŏ&'ŏ
, ŏ!.'.ŏ% *ŏ+.1,/%
Ucapan Terima Kasih
Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah
berkontribusi dan membantu studi Optimalisasi Pengembalian
Kerugian Negara Dengan Pembebanan Kewajiban Pajak Pada Perkara
Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 11
1.5 Metode Penelitian .................................................................................... 12
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 12
BAB II
PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENINGKATAN
KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ................................. 15
2.1. Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek
Pajak .......................................................................................................... 15
2.1.1 Aspek Teoretis Mengenai Hasil Kejahatan (Proceeds of Crime). 15
2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai
Objek Pajak ...................................................................................... 23
2.1.3 Larangan Pengurangan Pajak atas Biaya Korupsi ........................ 41
2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana Korupsi yang
Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki Konsekuensi
Finansial .................................................................................................... 55
1
BAB III
PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN ...................................................................................... 77
3.1 Penerapan Delik Perpajakan terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi ...................................................................................................... 77
3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana
di Bidang Perpajakan ............................................................................... 98
BAB IV
MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM & OTORITAS
PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN
NEGARA ............................................................................................. 112
4.1 Praktik Terbaik Kerja Sama Penegak Hukum dengan Otoritas
Perpajakan .............................................................................................. 112
4.1.1 Inggris ............................................................................................. 114
4.1.2 Australia.......................................................................................... 120
4.1.3 Singapura ........................................................................................ 126
4.2 Kerja Sama yang dikembangkan KPK dengan Kementerian/
Lembaga .................................................................................................. 131
4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) ...................................................... 131
4.2.2 Kerja Sama KPK dengan DJP ........................................................ 137
4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan
Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak
Pidana Korupsi ....................................................................................... 150
2
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 161
5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 161
5.2 Rekomendasi .......................................................................................... 164
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 165
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ukuran rasio pajak ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam membiayai keperluan-
keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Baca Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1),
Mengenal Rasio Pajak Indonesia, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-
pajak-indonesia/, diakses pada 3 September 2019.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
OECD (5), Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 – Indonesia,
https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf, diakses pada 3
September 2019.
6
Ibid.
4
OECD yang berasal dari Afrika juga memilki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia, yakni 18.2%. 7
Belum idealnya angka tax ratio Indonesia tersebut dipengaruhi oleh belum
tercapainya target penerimaan pajak yang ditetapkan. 8 Berdasarkan data
yang dirilis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), sepanjang medio
2006-2015, tercatat hanya pada tahun 2008 Indonesia melebihi target
penerimaan pajak yang diinginkan dengan persentase sebesar 107%. 9
Meskipun, pada tahun 2015, angka realisasi penerimaan pajak mencapai Rp
1.000 triliun untuk pertama kalinya, namun hal ini merupakan realisasi
penerimaan pajak terendah dalam kurun waktu 2006-2015 dengan
persentase 81.5%. 10
7
Ibid.
8
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1), loc.ci.t
9
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Keadilan Pajak dan Ketimpangan Pendapatan,
https://www.cita.or.id/wp-content/uploads/2016/03/Keadilan-Pajak-dan-Ketimpangan-Pendapatan-
full-200px.jpg, diakses pada 3 September 2019.
10
Terdapat perbedaan angka realisasi penerimaan pajak dalam Laporan CITA dan
Kementerian Keuangan. CITA menyebutkan angka realisasi penerimaan pajak tahun 2015 adalah
81,5%, sedangkan Kementerian Keuangan mencatatkan 82,3%. Baca Penerimaan Perpajakan 2017
Capai Rp 1.339 Triliun, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerimaan-
perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun?page=all, diakses pada 3 September 2019.
11
Sigit Danang Joyo (1), Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam Perkara Tipikor
Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di
Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.
12
Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339 Triliun, loc.cit.
5
tahun 2019. 13 Akan tetapi, nominal ini hanya mencapai 82.5% dari target
penerimaan pajak yang diprediksikan berada di angka Rp 2.165,1 triliun. 14
13
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA), Buku Informasi APBN 2019,
hlm. 15, https://www.kemenkeu.go.id/media/11213/buku-informasi-apbn-2019.pdf, diakses pada 3
September 2019.
14
Ibid.
15
Selfie Miftahul Jannah, Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax Ratio,
https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-ratio-eenk, diakses pada 3 September
2019.
16
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024, (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2019), hlm. 15. Diakses melalui
https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202020-
2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf
17
Keuangan Negara: Fokus Kedua Strategi Nasional Pencegahan Korupsi,
https://stranaspk.kpk.go.id/id/fokus-aksi/keuangan-negara, diakses pada 3 September 2019.
18
Ibid.
19
Indonesia (12), Peraturan Presiden Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, Perpres
Nomor 40 Tahun 2018, LN Nomor 74 Tahun 2018.
6
Selain dua hal tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan penerimaan pajak Indonesia adalah pembebanan kewajiban
pajak atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Buscaglia dan
van Dijk mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang publik
untuk keuntungan pribadi. 20 Sementara itu, Sartor & Beamish melihat
korupsi tidak hanya terjadi pada sektor publik, tetapi juga bisa dilakukan
dari dan untuk sektor privat. 21 Jenis tindak pidana ini dapat berbentuk suap,
korupsi besar (grand corruption), korupsi kecil (petty corruption),
pemerasan, penggelapan, perbuatan curang, hingga memperdagangkan
pengaruh. 22 Terlepas dari berbagai modus dan perbuatan yang dilakukan,
tindak pidana korupsi akan bermuara pada meningkatnya kekayaan atau
diterimanya keuntungan oleh pelaku atau orang lain, baik dalam konteks
finansial maupun yang lain. Menariknya, Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) 23 menentukan segala jenis sumber penghasilan
dikualifikasikan sebagai objek pajak yang harus dibayarkan dan dilaporkan
pajaknya ke Negara. Pada titik ini, perlu dilakukan riset mendalam apakah
hasil tindak pidana korupsi juga dapat dikenakan pajak sehingga bisa
memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak yang ingin dicapai
Indonesia.
20
Edgardo Buscaglia dan Jan van Dijk, Controlling organized crime and corruption in the public
sector, Forum on Crime and Society, 3(1-2), (2003): 3-34.
21
Michael A. Sartor dan Paul W. Beamish, Private sector corruption, public sector corruption,
and the organizational structure of foreign subsidiaries, Journal of Business Ethics, (2019): 1-20,
https://doi.org/10.1007/s10551-019-04148-1.
22
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (5), UN Guide for Anti-Corruption
Policies, https://www.unodc.org/pdf/crime/corruption/UN_Guide.pdf, diakses pada 3 September
2019.
23
Indonesia (25), Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir melalui UU Nomor 36 Tahun 2008, LN Nomor 133 Tahun 2008, TLN Nomor 4893, Pasal
4.
7
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya,
selain menjatuhkan pidana pokok berupa penjara dan denda, pengadilan
sering menjatuhkan hukuman tambahan yang memiliki konsekuensi
finansial terhadap terpidana korupsi, di antaranya (a) perampasan barang
bergerak berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak 24,
(b) pembayaran uang pengganti 25, (c) penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan 26, dan (d) penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu 27. Jika sanksi-sanksi di atas telah dijatuhkan kepada terpidana
korupsi, perlu dianalisis secara mendalam apakah masih dimungkinkan
untuk membebankan kewajiban perpajakan terhadap kekayaan hasil tindak
pidana korupsi yang dimiliki terpidana. Hal yang sama juga perlu dilakukan
terhadap kemungkinan memasukkan pembebanan kewajiban pajak
terutang sebagai bagian dari kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dan
tuntutan tindak pidana korupsi.
Dari sisi penegakan hukum, harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak
pidana korupsi berpotensi tidak dilaporkan dan disetorkan pajaknya oleh
pelaku kejahatan. Para pelaku dapat memanipulasi pajak yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi dalam laporan keuangannya untuk berbagai
24
Perampasan barang bergerak berwujud atau tidak berwujud atau tidak bergerak
merupakan perampasan harta benda yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Indonesia (27), Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999, LN Nomor 140 Tahun 1999,
TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1) huruf a
25
Yang dimaksud dengan pembayaran uang pengganti adalah jumlah uang pengganti yang
dibayarkan terpidana sebanyak-banyaknya harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Tujuan dari pembayaran uang pengganti adalah merampas keuntungan yang telah dinikmati pelaku
dari perbuatan yang dilakukannya, dan bukan semata-mata untuk mengembalikan kerugian negara
yang diakibatkan. Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b. Baca juga Indonesia (3), Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, BN Nomor 2014
Tahun 2014, TBN Nomor 8, Pasal 1.
26
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan diartikan sebagai pencabutan izin usaha atau
penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Indonesia (27),
op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf c.
27
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf d.
8
macam kepentingan pribadi. 28 Perbuatan demikian pada prinsipnya
merupakan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan
Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP). 29 Dalam konteks ini, perlu ditelusuri lebih lanjut apakah konsep ne
bis in idem 30 berlaku bagi pelaku yang telah diputus terbukti melakukan
tindak pidana korupsi, lalu terindikasi melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan karena tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang
mengikat penghasilan dari kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi tersebut.
28
Chairil Anwar Pohan, Perspektif kepatuhan pajak dalam upaya pemberantasan korupsi,
Prosiding Seminar STIAMI, 1(2), (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia, 2014),
hlm. 51.
29
Indonesia (20), Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009, LN
Nomor 62 Tahun 2009, TLN Nomor 4999, Pasal 39.
30
Indonesia (18), Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, LN Nomor ...
Tahun 1946, TLN Nomor ...
31
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk
Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, (Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1986), hlm.137-213.
32
Indonesia (14), Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Pembuatan Surat Dakwaan,
SEJA Nomor SE-004/JA/11/1993.
9
penggabungan penuntutan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana
di bidang perpajakan.
10
2. Apakah pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayarkan pajaknya
tersebut dapat dikenakan tindak pidana di bidang perpajakan? Apakah
hal ini bertentangan dengan asas ne bis in idem? Apakah dimungkinkan
penggabungan dakwaan dan tuntutan tindak pidana korupsi dengan
tindak pidana di bidang perpajakan?
3. Bagaimana mekanisme kerja sama yang seharusnya dibangun antara
penegak hukum dan otoritas perpajakan dalam mengoptimalkan potensi
penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap peningkatan
kekayaan hasil tindak pidana korupsi?
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas latar belakang, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
13
dakwaan dengan kewenangan KPK dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi untuk menangani perkara tersebut.
BAB V PENUTUP
Bab ini akan menyarikan pembahasan yang dilakukan pada
Bab 1-4 sekaligus memberikan rekomendasi untuk
melakukan optimalisasi pembebanan kewajiban pajak
terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana
korupsi.
14
BAB II
PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS
PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
33
UNODC (4), United Nations Convention against Transnational Organized Crime, UNTOC,
Pasal 2 huruf e.
15
berbentuk badan atau tidak berbentuk badan, bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud dan berbagai dokumen maupun instrumen
hukum yang menunjukkan hak atas sesuatu, bunga pinjaman, dan aset
lainnya. 34 Sementara itu, UNCAC juga memberikan definisi serupa, yakni
segala properti yang berasal atau diperoleh, secara langsung maupun tidak
langsung, melalui suatu tindak pidana 35, termasuk yang sudah dihibahkan
atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain atau
korporasi. 36 Edgeworth menambahkan bahwa hasil kejahatan dapat berupa
bunga, dividen, pendapatan, properti yang berasal dari perbuatan ilegal
termasuk peningkatan nilai properti. 37
Pengaturan hasil tindak pidana ini biasanya dikaitkan dengan penyitaan dan
perampasan barang dalam perkara pidana. Di dalam yurisdiksi Britania
Raya, misalnya, berlaku Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) yang bertujuan
untuk menghindarkan pelaku kejahatan menikmati keuntungan-
34
Ibid., Pasal 2 huruf d.
35
UNODC (3), United Nations Convention against Corruption, UNCAC, Pasal 2 huruf e.
36
Ibid., Pasal 2 ayat (6).
37
John, L. Worral, Problem-Oriented Guides for Police Response Guides Series Guide No.7:
Asset Forfeiture, (California: Community Oriented Policing Service – U.S Department of Justice, 2008),
hlm. 5. Lihat juga Edgeworth, D, Assets Forfeiture: Practice and Procedure in State and Federal Courts,
(Chicago: American Bar Association, Criminal Justice Section, 2004), hlm. 11.
16
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukannya. 38 Jumlah
yang dirampas harus setara dengan keuntungan yang diterima oleh pelaku
tindak pidana. 39 Di Australia, aset-aset yang yang diperoleh dari tindak
pidana akan disita dan dirampas oleh Negara. 40 Pengaturan yang demikian
juga memiliki tujuan yang sama dengan POCA dan diharapkan pelaku
tindak pidana tidak mengulangi tindak pidana akibat tindakan punitif yang
dilakukan terhadap aset mereka. 41 Di samping itu, penyitaan dan
perampasan tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah digunakannya
barang-barang dan/atau keuntungan tersebut untuk tujuan pelaksanaan
tindak pidana di masa yang akan datang. 42 Sementara itu, di Belanda,
perampasan tidak hanya dilakukan atas hasil kejahatan yang diperoleh
secara langsung atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi juga hasil
kejahatan yang tidak diperoleh secara langsung. 43
38
United Kingdom, Proceeds of Crime Act 2002, POCA,
http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2002/29/data.pdf, diakses pada 10 September 2019.
39
Ibid., Section 7 (1).
40
Nicholas Cowdery, Explainer: How Proceeds-of-Crime Law works in Australia,
https://theconversation.com/explainer-how-proceeds-of-crime-law-works-in-australia-78600,
diakses pada 27 September 2019.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Hans Nelen, Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime approach in the
Netherlands, Crime, Law and Social Change, 41(5), (2004): 517-534.
44
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.
17
dan lain-lain. Barang ini bisa disebut ‘corpora dilicti’ dan senantiasa
dapat dirampas asal kepunyaan terhukum 45 dan asal dari kejahatan
(baik ... dolus maupun ... culpa)” 46
45
Menurut R. Soesilo, Pasal 39 KUHP mengharuskan barang-barang yang dirampas
merupakan barang yang dimiliki terpidana. Oleh karenanya, apabila barang tersebut bukan milik
terpidana, secara hukum tidak dibenrkan untuk dirampas Negara. Selain itu, R. Soesilo menambahkan
bahwa status kepemilikan barang itu harus secara jelas dimiliki oleh terpidana ketika perkara pidana
tersebut diputus oleh pengadilan. Baca R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 58.
46
Ibid.
47
Indonesia (24), loc.cit.
48
Indonesia (17), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor
76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal 46 ayat (2). Baca juga Indonesia (4), Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI No. 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan
Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, PERMENKUMHAM Nomor
16 Tahun 2014, BN Nomor 876 Tahun 2014, Pasal 1 angka 4.
49
Maud Perdriel Vaissiere, The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Officials:
Making the offence of illicit enrichment enforceable, U4 Brief January 2012:1, (Norway: CMI. CHR
Michelsen Institute), hlm. 1.
18
dari Rp 40 miliar untuk memuluskan pemenangan salah satu calon dalam
pemilihan tersebut. 50 Di kasus lain, Setya Novanto yang terbukti
memperkaya diri sebanyak $ 7,3 juta dolar dan jam tangan Richard Mille
seharga $ 135.000 dolar dari proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk
berbasis elektronik (E-KTP). 51
Dari kedua kasus ini, terlihat bahwa sebaran kekayaan yang diperoleh
pelaku pada tindak pidana korupsi dapat berupa uang maupun barang-
barang lain selain uang. Hal ini juga sejalan dengan rumusan tindak pidana
korupsi pada UU Tipikor yang tidak membatasi kekayaan atau keuntungan
yang diperoleh pelaku pada perolehan uang semata. Jika mengacu pada
Tabel 2.1, terlihat bahwa perbuatan korupsi yang diatur lebih banyak
menekankan pada perbuatan dan akibat yang dilarang, tanpa menentukan
secara spesifik apakah hasil kejahatannya berupa uang atau barang. Dengan
melihat konstruksi berpikir Pasal 39 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor, prinsip
terpenting dalam menentukan barang bukti dalam perkara korupsi sebagai
hasil tindak pidana adalah adanya hubungan sedemikian rupa yang
menunjukkan bahwa barang dan/atau uang tersebut diperoleh dari tindak
pidana korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk
apabila barang-barang hasil korupsi tersebut telah digantikan dengan
barang lainnya.
50
Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015, hlm. 602-604.
51
Abba Gabrillin, Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara,
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/29/16091791/setya-novanto-dituntut-16-tahun-
penjara?page=all, diakses pada 21 September 2019.
52
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
19
dan penuntutan, dilakukan penyitaan terhadap hasil korupsi yang diperoleh
pelaku, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Uang Pengganti
menentukan harta tersebut akan diperhitungkan dalam menentukan
jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana. 53
53
Indonesia (1), op.cit., Pasal 2.
20
22
Delik gratifikasi Pasal 12B jo. Pasal 12C Pejabat penyelenggara negara menerima gratifikasi
terkait jabatannya dan berlawanan dengan
UU Tipikor
kewajibannya, serta tidak melaporkan kepada KPK
dalam waktu 30 hari sejak gratifikasi diterima
Delik perbuatan curang Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c, Tindakan curang oleh pemborong ahli bangunan,
d, Pasal 7 ayat (2), dan pengawas proyek, rekanan TNI/Polri yang merugikan
Pasal 12 huruf h UU negara, serta pejabat penyelenggara negara yang
Tipikor menyerobot tanah
Delik benturan kepentingan dalam Pasal 12 huruf i UU Tipikor Pejabat penyelenggara negara dengan sengaja baik
pengadaan langsung atau tidak langsung turut serta dalam
pengadaan barang yang diurusnya dalam instansi
perusahaan
2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi
Sebagai Objek Pajak
Setiap riset yang menganalisis kemungkinan pembebanan kewajiban
perpajakan atas suatu hal akan selalu mengkaji sistem perpajakan yang
berlaku pada suatu negara, tak terkecuali pada kajian ini. Untuk
memperjelas konteks yang sedang dibangun, penting kiranya untuk terlebih
dahulu memahami makna dan konsep pajak yang selama ini berkembang di
dunia.
55
Martin T. Crowe, The Moral Obligation of Paying Just Taxes, The Catholic University of
America Studies in Sacred Theology, 84, (1944): 14-15.
56
Fidel, Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang KUP, PPh, PPN,
Pengadilan Pajak, (Jakarta: PT Carofin Media, 2015), hlm. 5
57
Martin T. Crowe, op.cit., hlm. 11.
58
E. R. Seligman, Essays in Taxation, 406, (1931).
23
In the case of fees and assessments, those paying are entitled to some
right. Those who pay for an automobile license are entitled to drive.
Those who pay for a business permit are entitled to operate a business.
Those who pay to have their road paved are entitled to have it paved.
But in the case of taxes, those who pay do not have any
automatic right to any of the proceeds. New York residents who
pay a federal income tax may have their money used to construct a
bridge in California, even though they derive no direct benefit for their
tax dollars. And they have no right to demand that a bridge be built in
New York. All the taxes the government collects go into a
common pool and are distributed as the government sees fit.
Taxpayers have an obligation to pay, but they have no specific
right to any of the proceeds.” 59
59
Robert W. McGee, The Philosophy of Taxation and Public Finance, (Massachusetts: Kluwer
Academic Publishers, 2004), hlm. 16.
60
Indonesia (18), op.cit., Pasal 1 angka 1.
61
Ibid., Pasal 1 angka 2.
62
Ibid., Penjelasan Pasal 12 ayat (1).
24
Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki tujuh jenis pajak yang
dapat dibebankan terhadap Wajib Pajak, yang selengkapnya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang
pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan
yang diterimanya selama satu tahun pajak. 63 Penghasilan di sini
diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk gaji, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, hadiah, laba usaha, bunga, dividen, royalti,
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan belum kena
pajak hingga surplus Bank Indonesia. 64 Namun demikian, UU PPh
mengecualikan penghasilan-penghasilan tertentu sebagai objek pajak
ini, seperti warisan, bantuan atau sumbangan, dan beasiswa. 65
63
Indonesia (25), op.cit, Pasal 1
64
Ibid., Pasal 4 ayat (1).
65
Untuk mengetahui jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan
dapat dilihat di Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
66
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), Pengembalian PPN,
https://www.kemenkeu.go.id/page/pengembalian-ppn/, diakses pada 29 September 2019.
67
Ibid.
68
Ibid.
25
oleh penanggung pajak atas barang atau jasa yang dibelinya adalah
10% (sepuluh persen). 69
69
Indonesia (26), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, LN Nomor 150 Tahun 2009, TLN Nomor 5069, Pasal 7 ayat
(1).
70
Ibid., Pasal 4A ayat (2).
71
Selengkapnya baca Ibid., Pasal 4A ayat (3).
26
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang
dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah dan
dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau
mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya. 72 Pajak ini hanya dikenakan sekali pada saat
penyerahan atau pada waktu impor barang-barang yang tergolong
mewah ini. 73 Adapun pembebanan jenis pajak ini dimaksudkan untuk
(a) menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen
berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi, (b)
mengendalikan pola konsumsi barang-barang yang tergolong
mewah, (c) melindungi produsen kecil atau tradisional, dan (d)
mengamankan penerimaan negara. 74 Besaran pajak yang dikenakan
bervariasi mulai dari 10% (sepuluh persen) hingga maksimal 200%
(dua ratus persen). 75
72
Ibid., Pasal 5 ayat (1).
73
Ibid., Pasal 5 ayat (2).
74
Ibid., Penjelasan Pasal 5 ayat (1).
75
Ibid., Pasal 8.
76
Ibid.
77
Indonesia (6), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Kendaraan Bermotor
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PERMENKEU Nomor 64/PMK.011/2014 sebagaimana
diubah dengan PERMENKEU Nomor 33/PMK.010/2017, BN Nomor 360 Tahun 2017, Lampiran I-VII.
27
maupun non-kendaraan bermotor 78, seperti hunian mewah dengan
harga jual minimal Rp 30 miliar, helikopter, kapal pesiar mewah, dan
sebagainya.
78
Indonesia (5), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017 sebagaimana diubah degan PERMENKEU Nomor
86/PMK.010/2019.
79
Indonesia (23), Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, UU Nomor 12 Tahun 1985
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994, LN Nomor 62 Tahun 1994, TLN Nomor 3569,
Pasal 4 ayat (1).
80
Ibid., Pasal 5.
81
Ibid., Pasal 3 ayat (1).
28
Sejak lahirnya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 82,
pemungutan PBB di sektor pedesaan dan perkotaan menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah. 83 Sementara itu, PBB di sektor
pertambangan, perhutanan, dan perkebunan masih dipungut dan
dikelola oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan. 84
Yang menjadi dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) yang merupakan harga rata-rata dari yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar 85. Jika tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ini ditentukan melalui perbandingan harga
dengan obyek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP
pengganti. 86 Besaran NJOP ini dapat ditentukan dengan pendekatan
pasar atau perbandingan harga (market data/sales comparison
approach), pendekatan biaya (cost approach), dan/atau pendekatan
kapitalisasi pendapatan (income approach). 87 Meskipun Kepala
Daerah diwajibkan untuk menetapkan besaran NJOP setiap tiga
tahun 88, Menteri Keuangan juga memberikan pedoman untuk secara
objektif memberikan penilaian sekaligus menetapkan nilai NJOP di
masing-masing wilayah tersebut. 89
5. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen dan terutang
sejak dokumen ditandatangani oleh pihak-pihak yang
82
Indonesia (24), Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 28 Tahun
2009, LN Nomor 130 Tahun 2009, TLN Nomor 5049.
83
Rani Maulida (1), Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan, https://www.online-
pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan, diakses pada 29 September 2019.
84
Ibid.
85
Indonesia (23), op.cit., Pasal 1 angka 3.
86
Ibid.
87
Indonesia (23), op.cit., Pasal 79 ayat (1) dan Penjelasan Umum.
88
Untuk beberapa objek pajak tertentu, NJOP nya ditetapkan setiap tahun. Ibid., Pasal 79.
89
Sebagai contoh, Menteri Keuangan telah menerbitkan PERMENKEU Nomor
208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
29
berkepentingan atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen
tersebut disusun oleh satu pihak. 90 Undang-Undang Bea Meterai
menentukan jenis dokumen yang dikenakan pajak ini dan biasanya
dokumen-dokumen tersebut digunakan oleh masyarakat dalam
bidang hukum. 91 Adapun jenis dokumen 92 yang dibebankan bea
meterai, antara lain:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan
tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris sebagai salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang
dalam rekening di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; atau
4) yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya
atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek;
f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di
muka Pengadilan, yaitu:
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan
lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud
semula.
90
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bea Meterai,
https://www.pajak.go.id/id/bea-meterai-0, diakses pada 29 September 2019.
91
Indonesia (15), Undang-Undang Bea Meterai, UU Nomor 13 Tahun 1985, LN Nomor 69
Tahun 1985, TLN Nomor 3313, Penjelasan Umum.
92
Indonesia (10), Peraturan Pemerintah Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai, PP Nomor 24 Tahun 2000, LN Nomor 51
Tahun 2000, TLN Nomor 3950, Pasal 1.
30
6. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan 93, yang
terjadi baik dengan pemindahan hak 94 atau pemberian hak baru 95.
Adapun hak atas tanah dan bangunan yang dijadikan alas
pembebanan bea ini bervariasi dari hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun,
hingga hak pengelolaan. 96 Pada dasarnya, setiap individu dan badan
wajib membayarkan BPHTB untuk setiap hak atas tanah dan
bangunan yang diperolehnya. Akan tetapi, UU BPHTB mengatur
beberapa objek pajak yang dikecualikan 97 membayar bea ini, yaitu
yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
93
Indonesia (16), Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU Nomor
21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, LN Nomor 130 Tahun 2000,
TLN Nomor 3988, Pasal 1 angka 1.
94
Pemindahan hak dapat terjadi karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan
hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Ibid., Pasal 2 ayat
(2) huruf a.
95
Pemberian hak baru dapat terjadi karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan
hak. Ibid., Pasal 2 ayat (2) huruf b.
96
Ibid., Pasal 2 ayat (3).
97
Ibid., Pasal 3 ayat (1).
31
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah.
7. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. 98 Jenis pajak ini memiliki ciri-ciri 99
sebagai berikut:
1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak
pusat yang diserahkan ke daerah sebagai pajak daerah;
2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang
dikuasainya;
3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan atau
pengeluaran untuk pembangunan dan pemerintahan daerah;
4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
(PERDA) dan undang-undang sehingga pajaknya dapat
dipaksakan kepada subjek pajaknya.
98
Indonesia (24), op.cit., Pasal 1 angka 10.
99
Rani Maulida (2), Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan Tarifnya,
https://www.online-pajak.com/pajak-daerah, diakses pada 29 September 2019.
100
Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (1).
101
Ibid., Pasal 2 ayat (2).
32
masing-masing daerah dalam PERDA yang dimilikinya. 102 Untuk
daerah yang setingkat dengan provinsi, kedua kelompok pajak ini
dapat dipungut sebagai pajak daerahnya. 103
Sebagai contoh, dalam kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar di atas,
diterimanya hadiah berupa uang sejumlah lebih dari Rp 40 miliar oleh yang
bersangkutan secara nyata menambah kemampuan ekonomisnya sebagai
Wajib Pajak dan digunakan untuk menambah kekayaan pelaku sebagai
individu. Oleh karenanya, UU KUP akan melihat kekayaan tersebut sebagai
penghasilan dan dapat dibebankan PPh terhadapnya.
Di samping itu, kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat
dikonstruksikan sebagai ‘gratifikasi’ 104 atau ‘imbalan dalam bentuk
102
Ibid., Pasal 2 ayat (4).
103
Ibid., Pasal 2 ayat (5).
104
UU KUP tidak memberikan pengertian apapun mengenai gratifikasi. Oleh karenanya,
definisi gratifikasi dalam konteks ini harus mengacu pada UU PTPK, yakni pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut bisa diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Indonesia (27), op.cit., Penjelasan Pasal
12B ayat (1).
33
lainnya’ 105 sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh atau
‘hadiah’ 106 seperti yang dirumuskan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU PPh.
Dalam kasus suap pilkada Akil Mochtar di atas, perlu digarisbawahi bahwa
yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c dan Pasal 11 UU Tipikor serta Pasal
3 UU TPPU dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU TPPU 2003 107. 108 Jika
menelusuri rumusan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 12 huruf c dan
Pasal 11 UU Tipikor 109, kedua pasal tersebut melarang pegawai negeri,
penyelenggara negara, dan hakim, untuk tidak menerima ‘hadiah atau janji’
yang berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya atau putusan yang akan/sedang diadilinya. Mengingat
kedua pasal tersebut merupakan ketentuan yang diadopsi dari Pasal 418 dan
Pasal 420 ayat (1) KUHP, terminologi ‘hadiah’ yang dimaksud UU Tipikor
juga mengikuti makna yang sama dalam KUHP. R. Soesilo menilai ‘hadiah’
ini tidak perlu dibatasi sebagai uang, tetapi dapat juga berupa barang. 110
105
Dalam UU KUP, imbalan dalam bentuk lainnya termasuk juga imbalan dalam bentuk natura
yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf
a.
106
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Ibid., Penjelasan Pasal
4 ayat (1) huruf b.
107
Indonesia (25), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 15 Tahun 2002
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, LN Nomor 108 Tahun 2003, TLN Nomor 4324,
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c. Undang-undang ini telah dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 8
Tahun 2010 yang mengatur hal yang sama.
108
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
10/PID.SUS-TPK/2014/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
63/PID/TPK/2014/PT.DKI, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015.
109
Untuk kepentingan analisis pada bagian ini, kasus Akil Mochtar hanya akan difokuskan pada
tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukan oleh yang bersangkutan.
110
R. Soesilo, op.cit., hlm. 284-286.
34
dilakukan oleh subjek pajak, baik dalam konteks pembayaran atau imbalan
yang berhubungan dengan pekerjaan maupun hadiah yang diperoleh karena
melakukan pekerjaan. 111 Mengingat Akil Mochtar menerima uang tersebut
untuk mempengaruhi penilaiannya atas putusan yang ditangani olehnya,
dapat diargumentasikan bahwa tambahan penghasilan ini adalah ‘imbalan
dalam bentuk lainnya’ atau ‘hadiah’ yang diperoleh hakim atas pekerjaan
yang dilakukannya dengan maksud untuk memenangkan salah satu pihak
dalam kasus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah
Konsitusi. Selain itu, meskipun UU Tipikor mensyaratkan adanya batas
waktu 30 hari untuk melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK 112,
peningkatan kekayaan Akil Mochtar ini juga dapat dilihat sebagai
'gratifikasi’ dalam UU KUP mengingat pemberian uang tersebut dilakukan
dengan melihat pada jabatan hakim konstitusi yang melekat pada diri
Akil. 113
Di samping itu, penting juga untuk diingat bahwa kekayaan yang mungkin
diterima oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat berbentuk barang atau
benda lain yang tidak berbentuk uang. Namun demikian, pajak yang
dibebankan terhadap jenis kekayaan yang seperti ini memiliki mekanisme
pemungutan yang berbeda dengan pajak penghasilan. Jika hasil korupsi
berbentuk barang yang dihasilkan oleh produsen, maka dengan sendirinya
barang-barang tersebut akan secara otomatis dikenakan PPN yang
dibebankan terhadap pembeli barang sesaat ketika barang tersebut
diserahkan oleh penjual kepada pembeli. 114 Dengan menggunakan logika
ini, jika pun pelaku mengambil keuntungan berupa barang dari tindak
pidana korupsi, kewajiban perpajakan atas barang yang diperoleh dari
kejahatan tersebut telah selesai saat transaksi jual-beli dengan
membayarkan harga barang yang telah dihitung berikut PPN atas barang
tersebut.
111
Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf b.
112
Indonesia (27), op.cit., Pasal 12C.
113
Ibid., Pasal 11.
114
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), loc.cit.
35
Hal yang sama juga terjadi ketika barang yang diperoleh melalui tindak
pidana korupsi merupakan barang mewah. Pada titik ini, jenis pajak yang
berlaku adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Akan tetapi,
PPn BM ini dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau
mengimpor barang mewah 115 dan hanya dibayarkan sekali ketika
penyerahan barang atau saat melakukan impor barang mewah tersebut. 116
Oleh karena itu, seandainya pelaku tindak pidana korupsi menerima suap
berupa yacht 117 sebagai hadiah karena melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara, maka PPn BM atas yacht tersebut sudah selesai
ketika produsen menghasilkan jenis kapal pesiar ini atau ketika pengusaha
mengimpor barang tersebut. Penerima suap tidak akan bisa dibebankan
untuk membayarkan PPn BM atas yacht yang diberikan oleh pemberi suap
tersebut.
Di sisi lain, apabila kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
berupa benda tidak bergerak, seperti tanah atau apartemen, jenis pajak yang
relevan adalah PBB. Akan tetapi, dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa jenis pajak yang demikian akan secara otomatis terutang kepada
subjek pajak setelah dilakukan penghitungan oleh institusi pemungut pajak
mengenai besaran PBB yang harus dibayarkan atas objek PBB ini. 118 Perlu
dipahami bahwa pembayaran PBB atas bumi dan bangunan ini melekat
pada objeknya, terlepas dari siapapun yang memperoleh keuntungan atau
kedudukan sosial-ekonomi dari bumi dan bangunan tersebut. 119 Dengan
115
Indonesia (26), op.cit., Pasal 5 ayat (1).
116
Ibid., Pasal 5 ayat (2).
117
Yacht merupakan salah satu barang non-kendaraan bermotor yang dibebankan PPn BM
oleh PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017.
118
Sistem pemungutan pajak dengan model ini disebut sebagai official assessment. Dalam
sistem ini, besarnya pajak terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Wajib pajak
dalam hal ini bersifat pasif dan menunggu penyampaian utang pajak yang ditetapkan oleh institusi
pajak. Jenis pajak yang menggunakan sistem pemungutan ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
atau jenis pajak daerah lainnya. Fidel, op.cit., hlm. 13.
119
Indonesia (23), op.cit., Pasal 4 ayat (1).
36
demikian, meskipun tanah atau apartemen di atas ditransaksikan dalam
suap-menyuap atau ditargetkan sebagai hasil korupsi, PBB akan selalu
dibebankan terhadap objek-objek ini dan dipungut oleh institusi pajak.
Oleh karena itu, pembebanan kewajiban perpajakan dan pemungutan pajak
atas bumi dan bangunan akan tetap berjalan normal, bahkan jika objek
tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi.
Analisis serupa berlaku juga untuk pembebanan BPHTB dan Pajak Daerah.
Seperti yang diketahui bersama, BPHTB merupakan pungutan yang
dibebankan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan dan harus
dibayarkan oleh individu untuk setiap alas hak yang diperolehnya. 120 Jika
koruptor memperoleh tanah atau bangunan sebagai hasil kejahatannya,
secara otomatis ia harus membayarkan BPHTB terhadap perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya. Kewajiban ini tidak akan
berbeda seandainya ia mendapatkan tanah dan/atau bangunan melalui
transaksi yang sah, seperti jual-beli. Seperti halnya PBB, pembebanan
kewajiban perpajakan ini selalu menempel pada perolehan hak atas tanah
dan bangunan tersebut dan akan selalu dipungut oleh institusi pajak
setempat. 121 Logika yang sama juga diberlakukan bagi pembebanan Pajak
Daerah. Seandainya pelaku tindak pidana korupsi memperoleh kendaraan
bermotor dalam transaksi suap-menyuap, yang bersangkutan akan tetap
berkewajiban membayarkan pajak kendaraan bermotornya ke Pemerintah
Provinsi 122, selayaknya warga negara lain yang memiliki kendaraan
bermotor. Mekanisme ini akan berjalan seperti biasanya meskipun objek
pajak daerah tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Sementara itu, pembebanan bea meterai juga akan terutang ketika para
pihak menandatangani dokumen atau menyerahkan dokumen-dokumen
yang menjadi objek bea meterai apabila dokumen dibuat oleh satu pihak
120
Indonesia (13), op.cit., Pasal 1 angka 1.
121
Khusus untuk PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB, pemungutan pajak akan dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (2).
122
Ibid., Pasal 2 ayat (1).
37
saja. 123 Sebagai contoh, pelaku korupsi yang menerima cek senilai Rp 500
juta secara otomatis akan dibebani bea meterai sebesar Rp 6.000,00 (enam
ribu rupiah) ketika menerima cek tersebut dari pemberi cek. 124 Proses
pembebanan kewajiban perpajakan yang demikian juga akan terus berlaku
seperti halnya pada penandatanganan atau perolehan dokumen yang
menjadi objek bea meterai pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak ada hal
baru yang menjadi dasar pembebanan pajak atas hasil tindak pidana korupsi
pada jenis pajak ini.
123
Indonesia (13), op.cit., Penjelasan Umum.
124
Indonesia (10), loc.cit.
38
Diagram 2.1
SKEMA PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN
TERHADAP PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
39
Praktik ini juga dilakukan di Jerman. Pada tahun 2015 125, Mahkamah Pajak
Jerman (Supreme Tax Court) menangani perkara yang mempersoalkan
pengurangan pajak 126 yang diperhitungkan ke dalam komponen ganti rugi,
hilangnya bonus, dan hak pensiun seorang karyawan yang diputus
hubungan kerjanya oleh suatu perusahaan. 127 Yang menjadi penyebab
pemecatan dalam kasus ini berkaitan dengan suap yang diterima secara
reguler oleh karyawan tersebut dari sebuah pemasok barang (supplier). 128
Selanjutnya, ia mengeluarkan faktur atas nama istrinya untuk layanan yang
sama sekali tidak pernah diberikan oleh perusahaan serta membebankan
pajak atasnya dan dimasukkan ke dalam pemasukan perusahaan. 129
125
German Supreme Tax Court Judgment, IX R26/4, 16 June 2015.
126
Biaya-biaya yang dapat dihitung sebagai pengurang pajak (deductible expense) dan yang
tidak dapat dijadikan pengurang pajak (non-deductible expense) akan dibahas pada sub-bab
berikutnya.
127
PricewaterhouseCoopers (PwC), Tax & Legal News, 6, (29 Oktober 2015): hlm. 3.
128
Ibid.
129
Ibid.
130
Ibid.
131
Ibid.
132
Ibid.
133
Ibid.
40
Oleh karena itu, terhadap hal ini, tetap dapat dibebankan pajak yang harus
dibayarkan oleh karyawan di atas.
“ ... The bonus and pension forfeitures were not deductible at all, as the
income would only have been taxable when paid. The compensation
payment to the employer was neither an expense of earning
employment income leading to a generally deductible loss, nor was it a
repayment of previously taxed income that would similarly have been
generally deductible. It was a payment for damages caused by the
employee’s dishonesty and was thus linked to the fruits of that
dishonesty – to the bribe receipts taxed as other income. It could
therefore only be set against other income, either now or in the future,
as and when other income came to be earned” 134
Meskipun perkara di atas terjadi pada ranah privat dan tidak sama dengan
konstruksi suap yang ditentukan oleh UU Tipikor, akan tetapi esensi kedua
perbuatan tersebut adalah sama, yakni diberikannya sesuatu kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya. Dengan demikian, belajar dari pertimbangan Mahkamah
Pajak Jerman di atas, dapat disimpulkan bahwa uang suap dapat dibebankan
kewajiban pajak yang tetap harus dibayarkan dan dilaporkan oleh Wajib
Pajak kepada Negara.
134
German Supreme Tax Court, loc.cit.
41
telah dilakukannya. 135 Lebih lanjut, ketentuan ini secara eksplisit melarang
Negara Pihak UNCAC memperhitungkan pengeluaran-pengeluaran yang
merupakan biaya suap dan, jika dinilai pantas, termasuk juga biaya-biaya
lain yang dikeluarkan untuk kepentingan lebih lanjut perbuatan korupsi
tersebut, sebagai komponen pengurang pajak. 136
135
UNODC (1), Legislative Guide for The Implementation of The United Nations Convention
Against Corruption, (New York: United Nations, 2006), hlm. 40.
136
UNODC (3), op.cit., Pasal 12 ayat (4).
137
Rani Maulida (3), Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena Pajak,
https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17, diakses pada 4 Oktober 2019.
138
PTKP hanya diperhitungkan untuk mengurangi nilai PPh bagi Wajib Pajak pribadi. Indonesia
(25), op.cit., Pasal 7.
139
Biaya-biaya ini hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto yang dimiliki
oleh Wajib Pajak Badan. Ibid., Pasal 6 ayat (1).
140
PTKP dan biaya-biaya yang diperhitungkan untuk mengurangi penghasilan bruto Wajib
Pajak disebut sebagai deductible expense.
141
Ibid., Pasal 17.
42
Sementara itu, UU PPh juga mengecualikan beberapa biaya yang
dikeluarkan oleh wajib pajak tetapi tidak dihitung sebagai komponen
pengurang penghasilan bruto. Sebagai akibatnya, meskipun biaya-biaya
betul-betul dikeluarkan oleh wajib pajak, hal ini tidak akan berpengaruh
apapun terhadap PKP yang menjadi dasar penghitungan nilai PPh yang
harus dibayarkan oleh yang bersangkutan. Pengeluaran-pengeluaran yang
biasa disebut sebagai non-deductible expenses ini, dalam konteks PPh,
bervariasi mulai dari (a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun, (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, (c) pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, hingga (d) sanksi administrasi seperti bunga, denda, dan
kenaikan serta pidana denda yang dijatuhkan dalam konteks perpajakan. 142
Pasal 12 ayat (4) UNCAC di atas menambahkan ‘biaya suap’ sebagai salah
satu komponen non-deductible expenses dalam perpajakan. Namun
demikian, UNCAC juga membatasi ruang lingkup pemberlakuan non-
deductible expenses yang diatur Pasal 12 ayat (4) tersebut pada perbuatan
suap yang dilakukan kepada pejabat publik nasional 143, pejabat publik
asing 144, dan pejabat organisasi internasional 145. Meski ketentuan ini pada
awalnya ditujukan agar korporasi tidak bisa mendapatkan klaim atas biaya
suap yang telah dikeluarkannya 146, UNCAC juga mengatur hal yang sama
dapat diberlakukan juga kepada individu-individu yang menyuap ketiga
kelompok pejabat tersebut. 147 Lebih lanjut, UNCAC juga menekankan
otoritas pajak untuk berhati-hati memastikan biaya suap tidak
142
Rincian non-deductible expenses yang berlaku untuk pajak penghasilan dapat dtemukan
dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
143
UNODC (3), op.cit., Pasal 15.
144
Ibid., Pasal 16.
145
Ibid.
146
Hal ini dapat ditafsirkan dari posisi korporasi yang dicantumkan terlebih dahulu dalam
pedoman teknis UNCAC jika dibandingkan dengan perluasannya terhadap individu. Baca UNODC (2),
Technical Guide to The United Nations Convention Against Corruption, (New York: United Nations,
2009), hlm. 60.
147
Ibid.
43
disembunyikan ke dalam pos pengeluaran yang sah, seperti ‘biaya sosial dan
hiburan’ atau ‘komisi’. 148
Di Australia, melalui Taxation Laws Amendment Act (No.2) 2000, biaya suap
terhadap pejabat publik, baik asing maupun bukan asing, dikategorikan
sebagai non-deductible expense sesuai ketentuan perpajakan Australia. 150
Lebih lanjut, biaya suap kepada pejabat publik ini terbagi menjadi (a)
pengeluaran yang memberikan/mengakibatkan keuntungan atau
menawarkan/menjanjikan sesuatu 151, (b) pemberian keuntungan yang tidak
sah kepada orang lain 152, dan (c) pengeluaran untuk mempengaruhi
kebijakan pejabat publik yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang tidak sah. 153 Keuntungan yang diperoleh ini tidak hanya terbatas pada
harta, tetapi meliputi juga berbagai kenikmatan yang telah diterima oleh
pejabat yang bersangkutan. 154
148
Ibid.
149
OECD (7), Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to Foreign Public
Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery Convention, June 2011,
https://www.oecd.org/ctp/crime/41353070.pdf, diakses pada 25 September 2019.
150
Ibid., hlm. 1
151
Ibid.
152
Ibid., hlm. 16.
153
Ibid.
154
Ibid.
44
Ketentuan serupa juga diatur di Amerika Serikat melalui Section 162 1 (C)
Internal Revenue Code. 155 Menurut peraturan ini, pengurangan pajak tidak
diperkenankan untuk segala bentuk pembiayaan, baik langsung atau tidak
langsung, yang diberikan kepada pejabat publik atau pegawai
pemerintahan, jika pengeluaran tersebut merupakan suap atau penggelapan
dana. 156 Larangan tersebut juga berlaku terhadap pengeluaran tidak sah,
yang dikeluarkan untuk pejabat atau pegawai pemerintahan asing sesuai
dengan ketentuan Foreign Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA). 157 Sebagai
contoh, apabila perusahaan kontraktor asal Amerika Serikat mengikuti
penawaran proyek pembangunan tiga pembangkit listrik di negara lain dan
memberikan uang tunai sejumlah $500,000 kepada pejabat publik asing
tersebut untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang
bersangkutan akan diproses karena melakukan suap berdasarkan FCPA. 158
Dalam kaitannya dengan penghitungan pajak perusahaan tersebut, maka
pengeluaran yang demikian harus dilihat sebagai biaya suap untuk
memperoleh proyek dari pemerintah asing di atas. 159 Oleh karena itu, biaya
ini akan tetap dikenakan pajak oleh negara. 160
Sementara itu di Inggris, Pasal 68 ayat (1) The Finance Act 2002 menyatakan
setiap jenis pengeluaran yang merupakan tindak pidana menurut hukum
Inggris akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak. 161
Pengeluaran tersebut termasuk biaya suap yang diberikan kepada pejabat
155
Ibid.
156
Ibid.
157
Ibid.
158
Charles, Gnaedinger, News Analysis: Facilitating Payment vs. Bribes Under the Tax Law, Tax
Notes, 2008, hlm. 788,
https://www.millerchevalier.com/sites/default/files/resources/TaxAnalysts.pdf, diakses pada 25
September 2019.
159
Ibid.
160
Ibid.
161
The Finance Act 2002, Part 3, chapter 2, Section 68 on Expenditure Involving Crime.
45
publik Inggris 162 maupun pejabat publik asing. 163 Selain itu, segala bentuk
pembayaran yang terjadi di luar Britania Raya juga akan diberlakukan
konsekuensi perpajakan yang sama sepanjang pembayaran tersebut
memenuhi unsur-unsur delik suap seandainya dilakukan di yurisdiksi
Britania Raya. 164 Dari sisi praktik peradilan, melalui putusan nomor IX
R26/4 tertanggal 16 Juni 2015, Mahkamah Pajak Jerman mempertimbangkan
dengan tegas bahwa pengeluaran yang ditujukan untuk melakukan suap
tidak dapat diperhitungkan sebagai salah satu komponen untuk
mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan wajib pajak. 165
162
The Bribery Act 2010, chapter 23, Section 16 Application to Crown.
163
Ibid., chapter 23, Section 6 Bribery to Foreign Officials.
164
The Finance Act 2002, loc.cit.
165
Kasus ini tidak membahas transaksi suap-menyuap di kalangan pejabat maupun pejabat
publik asing, melainkan suap yang terjadi di sektor swasta. Namun, logika yang ditarik oleh pengadilan
dapat digunakan juga untuk kasus suap yang melibatkan ketiga kelompok pejabat yang ditargetkan
oleh Pasal 15 dan Pasal 16 UNCAC. German Supreme Tax Court, loc.cit.
166
Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Bersih Uang Pelicin, (Jakarta: TII,
2014), hlm. 5.
167
Ibid.
168
Ibid.
46
dilakukan secara rahasia dengan nominal yang kecil dan dalam waktu yang
tetap. 169
169
Ibid.
170
Ibid.
171
TII, op.cit., hlm. 26.
172
Ibid.
173
FCPA menggunakan terminologi ‘facilitating’, expediting, or grease payments’ untuk
menggambarkan uang pelicin. Robert W. Tarun dan Peter P. Tomczak, The Foreign Corrupt Practices
Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel, Transactional Lawyers, and White
Collar Criminal Practitioners, Fifth Edition, (USA: American Bar Association, 2010), hlm. 21.
174
Ibid.
47
dimaksud FCPA ini antara lain (a) pemrosesan izin, lisensi, visa, izin kerja,
atau dokumen lainnya; (b) penyediaan perlindungan kepolisian, penyediaan
listrik dan air, jasa kargo, perlindungan produk-produk yang cepat rusak;
dan (c) pengaturan jadwal inspeksi yang berhubungan dengan kinerja yang
ditentukan dalam kontrak atau transit barang-barang ke berbagai penjuru
negeri. 175 Di dalam Section 162 (a) dan (c), FCPA secara spesifik
menyebutkan bahwa uang pelicin yang diberikan kepada pejabat publik
asing dianggap sebagai pengeluaran bisnis yang sah dan larangan
pengurangan pajak tidak berlaku untuk jenis pengeluaran tersebut. 176
Meski begitu kompleks perdebatan antara suap dan uang pelicin, diskursus
ini tidak begitu relevan untuk disikapi lebih lanjut dalam konteks sistem
anti-korupsi yang dimiliki Indonesia. Indonesia sama sekali tidak mengenal
konsep uang pelicin. Berbagai pemberian yang ditujukan kepada
penyelenggara negara atau pegawai negeri, baik dalam konteks untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan maupun sekedar memberikan
hadiah, hal ini dapat dilihat sebagai suap maupun gratifikasi dan merupakan
tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan UU Tipikor 179.
175
Ibid.
176
Foreign Corrupt Practice Act 1977, Section 162 (a) dan (c)
177
OECD (2), op.cit., hlm. 2.
178
Income Tax Assessment Act 1997, No. 38, 1997, Section 26-52 Facilitation Payments
179
Berdasarkan Pasal 12A UU PTPK, gratifikasi akan dilihat sebagai suap jika berhubungan
dengan jabatannya atau bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Terhadap hal ini, Pasal 12C
48
Oleh karena itu, sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12
ayat (4) UNCAC, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan
suap ini akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak dalam
sistem perpajakan Indonesia.1
UU PTPK menentukan gratifikasi wajib dilaporkan dalam kurun waktu maksimal 30 hari kepada KPK
agar dapat terbebas dari proses penuntutan. Adapun jenis gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK,
antara lain:
1. pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari kakek/nenek,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak/ adik/ ipar,
sepupu, dan keponakan yang memiliki konflik kepentingan;
2. penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam suatu kegiatan seperti
pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara
agama/adat/tradisi lainnya yang melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian
per orang;
3. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi yang melebihi Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per pemberian per orang;
4. pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi
jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang
(cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai yang setara
dengan Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total
pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;
5. pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk
setara uang (cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total pemberian
maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama
Baca KPK (4), Pedoman Pengendalian Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2015), hlm. 24,
https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Pedoman_Pengendalian_Gratifikasi.pdf, diakses pada 4
September 2019.
180
Joyo (3), loc.cit.
181
Ibid.
49
hiburan (entertainment) dari suatu perusahaan miliknya. 182 Selain
digunakan untuk menyembunyikan suap, kedok tersebut juga digunakan
untuk menyembunyikan kecurangan pajak. 183
Sehubungan dengan hal tersebut, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.
SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya
menentukan bahwa biaya hiburan, representasi, jamuan dan sejenisnya
termasuk dalam kategori biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(deductible expense) menurut Pasal . 184 Akan tetapi, hal tersebut wajib
dibuktikan oleh Wajib Pajak dengan melampirkan bukti-bukti yang
menjelaskan bahwa biaya tersebut benar-benar dikeluarkan secara resmi
dan ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan. 185 Dalam konteks
tersebut, Sigit menambahkan jika petugas pajak yang melakukan penelitian
atau pemeriksaan terhadap SPT menemukan pos biaya hiburan dan
sejenisnya, maka seyogyanya dimintakan daftar nominatif untuk
membuktikan seperti tersebut di atas. 186 Jika terbukti pos biaya hiburan dan
sejenisnya digunakan sebagai biaya suap, maka pemberi suap akan diminta
petugas pajak untuk mengubah daftar nominatif yang dimilikinya yakni
biaya suap tidak termasuk dalam deductible expense. 187 Namun pembetulan
daftar nominatif pada SPT hanya berlaku selama 5 tahun saat terutangnya
pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. 188
Jika pembetulan daftar nominatif pada SPT melebihi jangka waktu daluarsa
tersebut maka pemberi suap baru dianggap melakukan tindak pidana
182
OECD (1), OECD Bribery Awareness Handbook for Tax Examiners, (Paris: OECD, 2009), hlm.
19.
183
Ibid., hlm. 17
184
Indonesia (13), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya
(Seri PPh Umum 18), SE Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986, Poin 2.
185
Ibid., Poin 3.
186
Joyo (3), loc.cit dan Indonesia (SE DJP), op.cit., Poin 3.
187
Syarif, loc.cit.
188
Indonesia (20), op.cit., Pasal 13 ayat (1).
50
perpajakan. 189 Tetapi tindak pidana perpajakan tersebut tidak dapat
dituntut jika telah lampau 10 tahun sejak terhutangnya pajak. 190
Menurut Sigit, perlakuan non-deductible expense pada biaya suap tidak serta
merta bisa dikenakan kepada pemberi suap. 191 Dalam praktiknya, biaya suap
cenderung tidak dilaporkan pajaknya kepada Ditjen Pajak. 192 Kondisi
tersebut didukung dengan adanya manipulasi terhadap laporan keuangan
pemberi suap yang menempatkan biaya suap sebagai bentuk pengeluaran
pengurang pajak. 193 Dengan berdasarkan kondisi di atas, maka
kemungkinan penerapan non-deductible expense atas biaya suap hanya bisa
dilakukan apabila (a) telah ada putusan pengadilan atas praktik suap atau
(b) upaya asset tracing yang dilakukan DJP terhadap laporan keuangan
milik pemberi suap 194, sebagai bagian dari pemeriksaan lebih lanjut atas
sumber penerimaan suap yang diterima oleh penerima suap. 195 Akan tetapi,
kemungkinan kedua hanya bisa dilakukan apabila sudah terdeteksi adanya
penerimaan suap oleh si penerima. 196 Dengan demikian, penyidik KPK
dapat berkoordinasi dengan petugas pajak untuk memeriksa lebih lanjut
perihal penerimaan suap tersebut. 197 Selain itu, Sigit menambahkan bahwa
pemberi suap bisa saja dikenakan pembayaran pajak apabila dalam proses
penelusuruan oleh DJP ditemukan adanya harta kekayaan lain yang tidak
dilaporkan dan dibayarkan pajaknya oleh pemberi suap. 198
189
Syarif, loc.cit.
190
Ibid., Lihat juga Indonesia (20), op.cit., Pasal 40.
191
Ibid.
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Ibid.
196
Ibid.
197
Ibid.
198
Ibid.
51
Contoh kasus yang bisa digunakan untuk melihat penerapan non-deductible
expense adalah kasus suap berupa pemberian fasilitas hotel, hiburan malam
dan motor Harley Davidson dari Setia Budi (General Manager PT. Jasa
Marga Purbaleunyi) kepada Sigit Yugoharto selaku ketua Tim Auditor
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 199 Kasus tersebut bermula ketika PT. Jasa
Marga sedang berada dalam tahap pemeriksaan audit BPK karena ada
kelebihan pembayaran proyek pekerjaan sebanyak Rp 8 miliar. 200 Untuk
mengurangi temuan mencurigakan, Setia Budi memberikan suap berupa
fasilitas hiburan malam senilai Rp 107 juta dan motor Harley Davidson
seharga Rp 155 juta kepada Sigit. 201 Apabila biaya suap tersebut dimasukkan
sebagai biaya hiburan dalam laporan keuangan perusahaan, untuk
membuktikan biaya tersebut adalah biaya suap sehingga dapat dibebankan
pajak, diperlukan adanya putusan pengadilan mengenai suap yang diterima
oleh Sigit. Opsi lain yang bisa digunakan adalah pemeriksaan lebih lanjut
oleh petugas pajak mengenai biaya hiburan yang dikeluarkan PT. Jasa Marga
sebagai sumber penerimaan suap yang diterima Sigit, setelah berkoordinasi
dengan penyidik KPK karena terdapat indikasi penerimaan suap.
199
PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta untuk Biaya Hiburan Malam Auditor
BPK, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-marga-dan-rekanan-
habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-malam, diakses pada 1 Oktober 2019.
200
Ibid.
201
Joyo (3), loc.cit.
52
dikonversikan nilainya menjadi rupiah dan dibebankan pajak penghasilan
sesuai UU PPh. 202
202
Sigit Danang Joyo menambahkan bahwa penghasilan dalam UU PPh tidak hanya meliputi
uang, tapi juga meliputi fasilitas kenikmatan (natura) yang diterima. Jika penghasilan yang diterima
bukan berbentuk uang, maka dapat dikonversikan nilainya menjadi rupiah, sehingga dapat dihitung
pajaknya. Ibid.
53
54
Diagram 2.2
LARANGAN PENGURANGAN PAJAK ATAS BIAYA KORUPSI
2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana
Korupsi yang Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki
Konsekuensi Finansial
Setelah berhasil menganalisis konteks pembebanan kewajiban pajak dan
mengidentifikasi jenis pajak yang dapat dibebankan terhadap harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, bahasan lain yang perlu diperdalam
adalah persinggungan pembebanan kewajiban pajak tersebut dengan
mekanisme sanksi yang memiliki konsekuensi finansial dalam UU Tipikor.
Secara lebih khusus, yang perlu digali lebih jauh adalah kemungkinan
pembebanan kewajiban pajak atas hasil tindak pidana korupsi jika pelaku
telah dijatuhi sanksi dalam UU Tipikor yang berimplikasi secara finansial
terhadap terpidana.
203
Pidana mati dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 ayat
(2) UU PTPK, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter. Indonesia (27), op.cit., Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2).
204
Jan Remmelink (1), Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 438.
55
Karakteristik ini tidak dijumpai di pidana tambahan. Seperti yang
disampaikan R. Sianturi, penjatuhan pidana tambahan tidak boleh secara
berdiri sendiri, tanpa pidana pokok. 205 Corak yang demikian disadur dari
postulat ubi non est principalis, non potest esse accessorius. 206 Ia merupakan
tambahan atas pidana pokok, yang juga bersifat fakultatif dan diserahkan
kepada hakim untuk menentukan apakah terpidana akan dihukum dengan
jenis pidana ini. 207 Selain itu, pidana tambahan ini juga hanya bisa
dijatuhkan terhadap delik-delik yang secara tegas mencantumkan pilihan
untuk menghukum pelaku dengan pidana tambahan, di samping pidana
pokoknya. 208 Dilihat dari tujuannya, pengenaan pidana tambahan ini justru
ditujukan agar masyarakat terlindungi dari potensi kejahatan yang mungkin
dilakukan pelaku di kemudian hari. 209
205
E.Y, Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakata: PT Storia Grafika, 2012), hlm. 481.
206
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014),
hlm. 402.
207
Utrecht, op.cit., hlm. 326-327.
208
Sebagai contoh, delik-delik yang dicantumkan pada Bab XXV KUHP tentang Penipuan
dibenarkan untuk dijatuhkan pidana tambahan, seperti pengumuman putusan hakim dan pencabutan
hak-hak tertentu. Indonesia (18), op.cit., Pasal 395.
209
Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, & Zakky Ihsan Ahmad, Perkembangan Sistem
Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 3-7 dan 46-
52.
56
Konsekuensi finansial dari pidana yang diterima pelaku korupsi dalam
putusan pengadilan menjadi sangat penting untuk dianalisis mengingat
pengenaan pajak terutang atas hasil tindak pidana korupsi juga akan
berimplikasi pada kemampuan ekonomis terpidana tersebut. Oleh karena
itu, untuk menghindari penjatuhan hukuman ganda terhadap pelaku
korupsi dengan kembali membebankan pajak atas harta yang diperoleh dari
kejahatan tersebut, harus dilakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap
konsep dan karakteristik sanksi finansial yang dimiliki oleh UU Tipikor.
1. Pidana Denda
Seperti halnya pidana pokok lainnya, pidana denda memiliki tujuan
untuk memberikan derita kepada pelaku atas perbuatan yang telah
dilakukannya. 210 Dalam kasus tindak pidana korupsi, konsep
penghukuman yang dimiliki pidana denda ini kerap disalahartikan
dengan tujuan untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara. 211
Jika ditelusuri lebih mendalam, nominal denda yang dicantumkan
sebagai ancaman pidana untuk delik-delik korupsi di UU Tipikor,
tidak terikat dengan kerugian keuangan Negara. Ia hanya
memberikan estimasi penghukuman dalam konteks finansial atas
perbuatan yang dilakukan. Pidana denda ini juga berbeda konteksnya
dengan denda administratif, yang mengharuskan adanya hubungan
administrasi antara pemberi dan penerima hukuman tersebut dan
tidak dijatuhkan melalui putusan pengadilan. 212 Pasal 30 KUHP juga
menentukan, jika denda tidak dibayarkan oleh terpidana, maka
pidana ini akan digantikan dengan pidana kurungan maksimal 6-8
bulan. 213 Barang-barang yang dirampas oleh negara tersebut,
210
Ibid., hlm. 4
211
Sebagai contoh, baca RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin Marak’,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230; Dhani Irawan, Hukuman Pidana hingga Denda
Koruptor Lebih Rendah di RKUHP, https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-pidana-
hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp; diakses pada 2 Oktober 2019.
212
Zulfa et al., loc.cit.
213
Dalam kondisi normal, pidana kurungan pengganti denda ditetapkan selama-lamanya
enam bulan. Namun, apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan gabungan tindak pidana,
57
selanjutnya akan dieksekusi dengan cara: a) dimusnahkan 214; b)
dilelang untuk negara 215; c) diserahkan kepada instansi yang
ditetapkan untuk dimanfaatkan 216; dan d) diserahkan di Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam
perkara lain. 217
pengulangan tindak pidana, atau dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana
kurungan pengganti denda tersebut bisa ditetapkan untuk selama-lamanya delapan bulan. Indonesia
(18), op.cit., Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (4).
214
Indonesia (4), op.cit., Pasal 6 dan Pasal 21.
215
Ibid.
216
Ibid., Pasal 27.
217
Ibid.
218
Pidana ini merupakan pengembangan pidana perampasan barang dalam Pasal 39 KUHP.
Hanya saja, UU PTPK merinci jenis barang yang dapat dirampas dan menambahkan elemen
‘perusahaan’ dan barang-barang yang menggantikan barang yang digunakan atau diperoleh dari suatu
tindak pidana sebagai barang yang dapat dirampas oleh Negara dalam perkara pidana. Indonesia (18),
op.cit., Pasal 39.
219
Hiariej, op.cit., hlm. 404.
220
Ibid.
221
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.
222
Ibid.
58
oleh barang-barang lainnya, perampasan juga dapat dilakukan atas
benda-benda tersebut. 223
223
Ibid.
224
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
225
Indonesia (1), loc.cit.
226
Ibid., Penjelasan Umum.
227
Ibid., Pasal 3.
228
Ibid., Pasal 6.
229
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (2).
59
disita oleh Jaksa dan dilelang 230 untuk keperluan pelunasan uang
pengganti tersebut. 231 Seandainya pun harta benda terpidana tidak
cukup untuk melunasi uang pengganti di atas, terhadapnya akan
dikenakan pidana penjara yang jumlahnya tidak boleh melebihi
ancaman pidana pokok pada pasal yang dinyatakan terbukti oleh
pengadilan. 232
230
Pelelangan ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 273 ayat (3)
KUHAP dan dilakukan paling lambat 3 bulan setelah penyitaan. Selain itu, penyitaan dan pelelangan
terhadap harta benda terpidana yang ditemukan oleh Jaksa tetap dapat dilakukan sepanjang terpidana
belum selesai menjalani pidana pokoknya. Indonesia (1), op.cit., Pasal 9.
231
Indonesia (27), loc.cit.
232
Ibid., Pasal 18 ayat (3).
233
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf c.
234
Ibid., Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c.
235
Hal ini dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa penjatuhan pidana
tambahan penutupan perusahaan bisa dilakukan jika perusahaan melakukan tindak pidana yang berat.
Baca MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha,
https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-didenda-hingga-penutupan-usaha,
diakses pada 2 Oktober 2019.
236
Dalam perumusaannya di UU PTPK, pidana penghapusan keuntungan ini disandingkan
dengan pidana pencabutan hak. Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf d.
60
terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, hakim dapat
mempertimbangkan untuk menghapus seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah Indonesia kepada terpidana. 237 Mengingat UU Tipikor
tidak merinci maksud ‘keuntungan’ yang dapat dihapuskan tersebut,
dapat ditafsirkan keuntungan ini meliputi keuntungan yang bersifat
finansial maupun non-finansial.
Logika yang sama juga berlaku bagi penjatuhan pidana yang lain, seperti
misalnya, pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti. 238 Pada
237
Ibid.
238
Termasuk juga pidana tambahan lain seperti penutupan perusahaan maupun penghapusan
keuntungan tertentu dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan d UU PTPK.
61
bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa pembayaran pidana denda dan
uang pengganti sama sekali tidak terikat pada nominal kerugian keuangan
Negara yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.
Denda akan berfungsi sebagai hukuman ekonomis atas perbuatan pelaku
yang jumlahnya telah ditentukan dalam rumusan pasal yang dinyatakan
terbukti. 239 Sementara itu, uang pengganti bertujuan untuk mengganti
harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi. 240
Siapapun yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti ini, baru akan
membayarkan sejumlah uang tersebut jika yang bersangkutan (a) terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan (b) dihukum oleh hakim untuk
membayar uang pengganti. Hal ini jelas berbeda dengan kewajiban
perpajakan yang akan terus dibebankan kepada warga negara 241 tanpa
melihat apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (korupsi) atau
tidak.
Pada tataran yang lebih praktis, apabila harta kekayaan hasil
tindak pidana korupsi telah dirampas melalui pidana denda atau
pidana pembayaran uang pengganti, maka pelaku dapat
menggunakan harta kekayaan lain yang dimilikinya untuk
melunasi kewajiban pajakan.
1
240
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
241
Akan tetapi, individu maupun badan yang dibebankan kewajiban perpajakan harus terlebih
dahulu mendaftarkan dirinya di institusi pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Indonesia (20), op.cit., Pasal 2.
62
Mekanisme pembayaran atas penundaan utang pajak tersebut dapat
dilakukan secara mengangsur paling lama 12 bulan setelah diterbitkannya
SKPKB atau paling lama sampai dengan bulan terakhir tahun pajak
berikutnya. 242 Pengangsuran tersebut disertai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
pajak. 243
242
Kristijono, loc.cit., Lihat juga Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata
Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Perpajakan, PerDirjen Pajak Nomor PER-
38/PJ/2008, Pasal 4 ayat (2).
243
Indonesia (20), loc.cit., Pasal 19 (2)
63
64
Diagram 2.3
HUBUNGAN PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN SANKSI
DALAM UU TIPIKOR
Di sisi lain, dengan melihat pada jenis pendapatan negara 244 seperti yang
tertera dalam Diagram 2.2 di atas, uang atau aset yang diterima Negara dari
eksekusi pidana tidak akan berada pada pos yang sama dengan pendapatan
negara yang diterima dari pajak. Segala jenis penerimaan yang didasarkan
pada putusan pengadilan merupakan salah satu kelompok Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf
e UU PNBP. 245 Lebih lanjut, pembayaran denda, pembayaran uang
pengganti, hingga hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari
tindak pidana korupsi merupakan jenis PNBP yang berlaku pada
Kejaksaan 246 dan KPK 247 sebagai penegak hukum yang berwenang
melakukan eksekusi putusan pengadilan dalam perkara korupsi. Sementara
itu, jika terpidana dibebankan untuk membayar pajak atas tambahan
penghasilan dari tindak pidana korupsi, maka Negara akan mendapatkan
penerimaan dalam konteks pajak, yang berbeda pos pendapatannya dengan
PNBP di atas. 248
244
Dalam Undang-Undang Keuangan Negara, pendapatan negara dibedakan menjadi
penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Indonesia (21), Undang-Undang Keuangan
Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003, LN Nomor 47 Tahun 2003, TLN Nomor 4286, Pasal 11 ayat (3).
245
Indonesia (29), Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU Nomor 20 Tahun
1997, LN Nomor 43 Tahun 1997, TLN Nomor 3687, Pasal 2 ayat (1) huruf e.
246
Indonesia (8), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia, PP Nomor 39 Tahun 2016, LN Nomor 199
Nomor 2016, TLN Nomor 5935, Pasal 1 ayat (1).
247
Indonesia (9), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi, PP Nomor 54 Tahun 2019, LN Nomor 140
Tahun 2019, TLN Nomor 6370, Pasal 1 ayat (1).
248
Indonesia (29), loc.cit.
65
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun pelaku tindak
pidana korupsi telah dijatuhi pidana yang bersifat ekonomis oleh
pengadilan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan
kewajiban perpajakan yang dapat dibebankan terhadap harta kekayaan yang
diperolehnya dari tindak pidana korupsi. 249
249
Namun demikian, menurut pemahaman sebagian penyidik pajak, jika jumlah harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi telah dirampas negara melalui penjatuhan pidana pembayaran
uang pengganti dan pidana denda, maka kewajiban perpajakan tidak dapat dibebankan lagi kepada
terpidana. Syarif, disampaikan pada Kelompok Diskusi Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10
Oktober 2019.
Selain itu, Yuli Kristijono berpendapat bahwa pembebanan kewajiban perpajakan bisa saja
dijatuhkan terhadap sebagian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak ikut dirampas oleh
negara melalui pidana denda atau pembayaran uang pengganti. Misalnya, A menerima suap Rp 10
Miliar, kemudian A dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebesar Rp 7,5 miliar, maka
terhadap Rp 2,5 miliar sisanya dapat dibebankan kewajiban perpajakan. Kristijono, loc.cit.
Dengan melihat pada uraian konsep pidana dan pembebanan kewajiban perpajakan yang
sama sekali berbeda, pendapat ini tidak dapat dibenarkan baik dari sisi teori maupun praktik.
66
Tabel 2.2
PERBANDINGAN JENIS PNBP YANG BERLAKU PADA KEJAKSAAN DAN KPK250
250
Diolah dari PP Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik
Indonesia dan PP Nomor 54 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
67
68
14 Hasil penjualan barang temuan
15 Uang temuan
16 Hasil pengembalian uang negara
17 Hasil pemulihan kerugian keuangan negara
18 Hasil kerja sama di bidang hukum dengan negara lain
Ide lain yang muncul untuk mengoptimalkan potensi penerimaan
negara dari kekayaan yang bersumber dari tindak pidana korupsi
adalah dengan memasukkan penagihan kewajiban perpajakan ke
dalam dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi.
251
Yunus Husein, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban
Pajak dalam TIPIKOR, disampaikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sigit Danang Joyo di forum
yang sama. Baca Joyo (1), loc.cit.
252
Husein, loc.cit.
253
Selain postulat ini, von Feuerbach juga menambahkan nulla poena sine crimine (tidak ada
pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana
tanpa pidana menurut undang-undang). Tiga postulat ini adalah komponen asas legalitas dalam hukum
pidana. Hiariej, op.cit., hlm. 61-62.
254
Ibid.
69
Patut diingat bahwa UU PTPK tidak mengenal kewajiban pembayaran
pajak sebagai salah satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan
terhadap pelaku korupsi. Oleh karenanya, penuntut umum tidak bisa
memasukkannya sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan
kepada hakim. Seandainya pun kewajiban pembayaran pajak tersebut
akan dimasukkan ke dalam dakwaan sebagai bagian dari ‘kerugian
keuangan negara atau kerugian perekonomian negara’, ia harus
dikonstruksikan terbatas sebagai salah satu fakta yang mendukung
pemenuhan unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.
Dalam hal ini, penuntut umum tetap harus menggunakan pilihan pidana
yang disediakan oleh Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor, yakni pidana penjara
dan/atau pidana denda, sebagai hukuman yang akan dituntut kepada
pelaku. Dari kedua varian pidana tersebut, yang relevan untuk
diperhitungkan ke dalam konteks optimalisasi potensi penerimaan negara
adalah pidana denda.
255
Zulfa et.al., loc.cit.
70
Hal teknis lain yang akan membuat usulan tersebut sulit untuk dijalankan
berkaitan pencatatan pendapatan negara atas ‘pajak’ yang dimasukkan ke
dalam pidana denda tindak pidana korupsi. Tabel 2.2 memaparkan secara
jelas bahwa pembayaran denda tindak pidana korupsi merupakan PNBP
yang dikelola baik oleh Kejaksaan maupun KPK. Oleh karena itu,
seandainya pun terpidana membayarkan penuh pidana denda ini 256,
pembayaran ini akan dicatatkan sebagai penerimaan negara bukan pajak
oleh Kementerian Keuangan. Selanjutnya, dari titik ini, permasalahan lain
akan muncul seandainya DJP berpandangan kewajiban perpajakan pelaku
korupsi tersebut tetap dapat ditagih karena yang bersangkutan sama sekali
tidak pernah membayarkan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang
diperolehnya. Dengan sistem pencatatan yang berbeda, besar kemungkinan
pelaku akan dibebankan membayar pidana denda yang sudah
memperhitungkan kewajiban pembayaran pajak dan pajak yang dibebankan
atas kekayaan hasil korupsi secara sekaligus. Hal ini tentu akan
menciptakan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut.
256
Terpidana juga masih memiliki opsi untuk tidak membayarkan pidana denda dan
menggantinya dengan pidana kurungan maksimal enam bulan atau delapan bulan jika ada pemberatan
seperti yang dimaksud Pasal 30 KUHP.
257
Indonesia (1), op.cit., Pasal 1.
71
pun tidak boleh dihitung dari nilai kerugian keuangan Negara yang timbul
dari korupsi tersebut. 258
Pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi adalah korban atau orang
lain yang dirugikan. 261 Menurut Rusli, konsep “orang lain” dalam pasal
tersebut tidak hanya terbatas pada orang perorangan (naturlijk persoon),
258
Ibid.
259
Rusli Muhammad, Mekanisme Pembebanan Kewajiban Pajak (Tuntutan Ganti Kerugian)
Melalui Peradilan Pidana, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika
Yogyakarta, 10 Oktober 2019
260
Indonesia (17), op.cit., Pasal 98 ayat (1)
261
Ibid.
72
namun juga mencakup badan hukum (rechtpersoon). 262 Menurutnya, DJP
merupakan salah satu bentuk recht person yang dilihat sebagai korban atas
tidak dibayarkannya pajak terhadap hasil tindak pidana korupsi tersebut. 263
Selain itu, “kerugian” yang dimaksud dalam pasal tersebut mencakup
kerugian akibat tindak pidana korupsi baik materiil maupun immateriil. 264
262
Rusli Muhammad, loc.cit.
263
Ibid.
264
Ibid.
265
Indonesia (17), loc.cit.
266
Aulia Ali Reza, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 3. Lihat juga, Moeljatno,
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet-20 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999). Konsep yang
demikian merupakan pengaruh dari asas universitas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak
dapat melakukan tindak pidana dan societas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak dapat
dipidana terhadap KUHP yang berlaku di Indonesia.
267
Indonesia (17), op.cit., Penjelasan Pasal 98 ayat (1).
73
ganti kerugian ini menjadi tidak mungkin dilakukan.
Di sisi lain, penggabungan gugatan ganti kerugian ini akan sangat
bergantung pada perkara pidana yang bersangkutan. 268 Dengan kata lain,
gugatan ganti kerugian bukan merupakan perkara dan putusan yang berdiri
sendiri, tetapi bergantung pada keadaan dan sifat yang melekat pada
putusan perkara pidana. 269 Putusan ganti kerugian dengan sendirinya
mendapat kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya telah
mendapat kekuatan hukum tetap. 270 Selain itu, apabila perkara pokoknya
diajukan upaya hukum banding, pemeriksaan di tingkat banding ini juga
akan dilakukan atas gugatan ganti rugi tersebut. 271 Sekalipun terdakwa
hanya secara tegas meminta banding terhadap perkara pidananya saja,
tetapi hakim banding harus tetap melakukan pemeriksaan dan memberi
keputusan terhadap ganti rugi. 272 Begitu pula jika perkara pidana tidak
diajukan permintaan banding, maka terdakwa tidak bisa mengajukan
banding hanya untuk putusan perkara ganti rugi saja. 273
Selanjutnya, konsep kerugian pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP ini tidak bisa
diperluas menjadi kerugian negara yang bersifat materiil dan immateriil
seperti yang diutarakan di atas. Kerugian yang dimaksud pada gugatan ganti
268
Ibid.
269
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
hlm. 83
270
Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (3)
271
Ibid., Pasal 100 ayat (1)
272
Harahap, op.cit., hlm. 84
273
Indonesia (17), op.cit., Pasal 100 ayat (2).
74
rugi di KUHAP hanya mencakup kerugian materiil 274, yakni hanya sebatas
pengabulan ‘penggantian biaya’ yang dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan. 275 Apabila kerugian immateriil diajukan oleh pihak yang
dirugikan atau korban maka hakim harus menyatakan gugatan tersebut
tidak dapat diterima (niet onvakelyk). 276
Selain itu, Negara telah memiliki jalur tersendiri untuk menagih kewajiban
perpajakan yang belum dibayarkan oleh wajib pajak. Jalur ini merupakan
proses administrasi perpajakan yang dikelola oleh DJP sesuai dengan
ketentuan UU KUP. Secara lebih rinci, DJP dapat menerbitkan SPT bagi
wajib pajak yang bersangkutan, memproses tindak pidana pajak dan
menerbitkan SKPKB untuk tetap dapat membebankan kewajiban
perpajakan kepada wajib pajak.
274
Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (2).
275
Harahap, op.cit., hlm. 82.
276
Ibid.
75
76
Diagram 2.4
PERSINGGUNGAN PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN
DENGAN MEKANISME YANG TERSEDIA DALAM HUKUM ACARA PIDANA
BAB III
PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI
BIDANG PERPAJAKAN
277
Kedua jenis sanksi ini memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Philippus Hadjon
et al, misalnya, menilai sanksi administratif memiliki sifat reparatoir yang bertujuan untuk memulihkan
situasi/kondisi tertentu pasca dilakukannya pelanggaran administrasi, penjatuhan sanksi ini tidak perlu
melalui peradilan (non-contentious), dan hanya bisa dijatuhkan kepada mereka yang memiliki
77
Sanksi administratif akan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan
administrasi perpajakan, seperti tidak dilaporkannya Surat Pemberitahuan
oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang. 278 Pelanggaran atas
ketentuan ini akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi yang
berkisar antara Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), yang berbeda nominalnya untuk setiap jenis surat
pemberitahuan 279 yang telat dilaporkan.
hubungan administratif dengan pemberi hukuman. Sementara itu, Jan Remmelink menilai pengenaan
sanksi pidana justru bersifat umum (tanpa melihat hubungan administratif), hanya dapat dijatuhkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, dan harus melalui proses peradilan pidana serta
mengandung makna pencelaan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Baca Philippus Hadjon et
al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm.
247 dan Remmelink (1), op.cit., hlm. 15-16.
278
Indonesia (20), op.cit., Pasal 7 ayat (1).
279
Jika yang tidak dilaporkan sesuai dengan batas waktu adalah Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 500.000 (lima ratus
ribu rupiah). Di sisi lain, apabila dokumen yang dimaksud berupa Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
maka sanksi administrasi yang harus dibayarkan adalah Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah), begitu
juga halnya untuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang Pribadi.
Akan tetapi, apabila yang terlambat melaporkan SPT Pajak Penghasilan adalah wajib pajak Badan, maka
denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ibid.
280
Angka ini merupakan estimasi kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan pajak (tax fraud),
penggelapan pajak (tax evasion), penghindaran pajak (tax avoidance), termasuk kepailitan, insolvensi
finansial, dan miskalkulasi. European Commission, VAT GAP,
https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/tax-cooperation-control/vat-gap_en, diakses pada
19 September 2019.
281
Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for Economics, Study and
Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018 Final Report, (Warsaw: Institute for
78
di bidang perpajakan juga akan berimbas pada ketidakmampuan pembayar
pajak yang taat untuk berkompetisi dengan pelaku usaha yang tidak
membayarkan pajaknya kepada Negara. 282
79
a
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; yang tidak atau kurang dibayar.
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi
online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
81
82
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
pengkreditan pajak dilakukan
39A Dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur
setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
sebenarnya; atau pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak
Pengusaha Kena Pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak
41(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah)
Bunyi Pasal 34 UU KUP:
83
84
41C (3) Dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta Pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
35A ayat (2) (delapan ratus juta rupiah)
“Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun
data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2)”
41C (4) Dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
sehingga menimbulkan kerugian kepada negara denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
43 Penyertaan untuk Pasal 39A, 39B, 41A, dan 41B Dipidana seperti halnya pelaku yang melanggar
Pasal 39A, 39B, 41A, dan 41B
Dalam kaitannya dengan peningkatan kekayaan yang merupakan
hasil tindak pidana korupsi, secara teoretis, ketentuan-ketentuan
pidana yang dimiliki oleh UU KUP dapat juga dikenakan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi sepanjang yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajiban perpajakan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Diagram 3.1
Konsekuensi Perpajakan yang berkaitan dengan Peningkatan Kekayaan dari
Tindak Pidana Korupsi 288
288
Diolah dari mekanisme yang tersedia dalam UU KUP.
85
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa pelaporan dan pembayaran pajak atas
harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi memegang
peranan penting dalam menentukan konsekuensi perpajakan apa yang
dapat dikenakan terhadap pelaku. Sebagai contoh, dalam hal pajak atas hasil
korupsi ini telah dibayarkan oleh pelaku atau pihak lain yang terlibat dalam
delik, pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila ia,
karena kelalaiannya yang dilakukan bukan untuk pertama kali atau dengan
sengaja, tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi seperti yang diatur dalam Pasal 38
dan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP. Di sisi lain, apabila pajak dimaksud
belum dibayarkan, pelaku akan bisa dituntut dengan Pasal 39 ayat (1) huruf
c UU KUP jika dirinya juga tidak melaporkan SPT kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Selain itu, seandainya pun pelaku tetap melaporkan SPT
Pajak Penghasilannya, dirinya berpotensi untuk diancam pidana karena
dinilai melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberi keterangan yang
isinya tidak lengkap atau tidak benar seperti yang dirumuskan dalam Pasal
39 ayat (1) huruf d UU KUP.
289
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
36/PID/TPK/2013/PT.DKI, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014.
290
Ibid.
291
Budi Susanto adalah Direktur PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) yang merupakan
perusahaan pemenang tender proyek pengadaan driving simulator uji klinik roda dua dan roda empat
di Korlantas POLRI.
86
teknis simulator tersebut. 292 Selanjutnya, dilakukan pencairan dana sebesar
100% (seratus persen) meski pengerjaan proyek belum sepenuhnya
rampung. 293 Sebagai akibatnya, proyek pengadaan driving simulator ini
tidak terlaksana dengan baik dan merugikan keuangan negara sejumlah
lebih dari Rp 140 miliar. 294
Sebagai hasil dari suatu kejahatan, uang sebesar Rp 32 miliar dari proyek
pengadaan driving simulator tersebut tidak bersumber dari penghasilan
yang secara sah diterima oleh Djoko Susilo sebagai Kepala Korlantas POLRI.
Akan tetapi, dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi ini dapat dikategorikan sebagai objek
pajak, harus dibayarkan pajaknya ke Negara, dan wajib dilaporkan sebagai
bagian dari penghasilan Djoko Susilo dalam SPT Pajak Penghasilan pada
masa pajak tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, perlu dicermati secara utuh bahwa
uang yang diperoleh Djoko Susilo dari tindak pidana korupsi ini terjadi pada
tahun 2011 295, sedangkan perkara ini mulai disidangkan pada tahun 2013. 296
Oleh karena itu, apabila Djoko Susilo tidak melaporkannya sebagai
penghasilan yang diterimanya dalam SPT Pajak Penghasilan pada masa
pajak tahun 2011, yang bersangkutan seharusnya juga dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kesengajaannya untuk tidak melaporkan
‘penghasilan’ yang ia peroleh dari tindak pidana korupsi tersebut seperti
yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.
Meski demikian, pada tataran praktik, satu hal yang perlu dianalisis lebih
lanjut mengenai bisa atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap tindak
pidana di bidang perpajakan di atas, jika sebelumnya, pelaku telah dipidana
292
Putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014, hlm. 12.
293
Ibid., hlm. 24-32.
294
Ibid., hlm. 32-33.
295
Ibid., hlm. 32.
296
Ibid., hlm. 1.
87
dalam perkara tindak pidana korupsi. Perlu dipahami bersama bahwa Pasal
76 ayat (1) KUHP melarang dilakukannya penuntutan untuk kedua kalinya
terhadap perbuatan seseorang yang telah diadili oleh hakim serta
putusannya telah berkekuatan hukum tetap. 297
“Rasio a[s]as ini adalah dua buah: (a) tiap perkara harus
diselesaikan secara definitif Pada satu saat tertentu, penyelidikan
fakta-fakta dan menjalankan undang-undang pidana berhubung
dengan adanya fakta-fakta itu harus berakhir ... dan (b) tujuan tiap-
tiap peraturan hukum adalah memberi kepastian hukum
sebesar-besarnya bagi individu maupun masyarakat. Sudah
barang tentu sikap pemerintah yang tidak dapat membuat satu
keputusan terakhir yang tidak dapat diubah atau ditiadakan,
menggelisahkan baik individu maupun masyarakat. Individu tidak
akan merasa diri aman selama pemerintah masih dapat mengadakan
tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu
dalam masyarakat, merasa gelisah selama belum ada kepastian
tentang nasib individu atau beberapa individu yang menjadi anggota
salah salah satu di antara beberapa golongan tertentu itu”. 298
Berangkat dari logika tersebut, Utrecht menilai asas ne bis in idem dalam
hukum pidana memiliki tiga komponen penting 299, yaitu:
1. Pelakunya adalah satu orang tertentu 300;
297
Indonesia (18), op.cit., Pasal 76 ayat (1).
298
Utrecht, op.cit., hlm. 217-218.
299
Ibid., hlm. 216.
300
Syarat ini merupakan syarat subyektif ne bis in idem. Vos mengamini elemen ini mengingat
pertanggungjawaban pidana melekat pada individu-individu tertentu (werkt personlijk). Dengan
demikian, apabila suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang, maka dengan telah dilakukannya
penuntutan terhadap salah satu pelaku tindak pidana tersebut tidak secara otomatis menggugurkan
kewenangan Negara untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku lainnya. Baca R. Tresna, Azas-Azas
Hukum Pidana disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana jang Penting, (Bandung: Universitas
Padjajaran, 1959), hlm. 218 dan Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus,
Peringan, dan Pemberat Pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 18.
88
2. Perbuatannya adalah satu perbuatan tertentu 301; dan
3. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap 302 yang
mengadili perbuatan tersebut.
Dari ketiga elemen di atas, yang menjadi poin krusial dalam mengenakan
ketentuan delik perpajakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah
syarat kedua. Namun, sebelum sampai pada keputusan untuk bisa
melakukan penuntutan, perlu dipelajari terlebih dahulu apakah tindak
pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh
terpidana korupsi ini merupakan satu perbuatan yang sama.
Berkaitan dengan hal tersebut, makna ‘perbuatan’ di dalam Pasal 76 ayat (1)
KUHP telah mengalami banyak perkembangan. Van Hamel, misalnya,
mengartikan ‘perbuatan’ dalam pasal tersebut menjadi tiga hal, yaitu:
1. Perbuatan dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi (misdadig
voorval)
Berdasarkan pengertian ini, perbuatan harus dimaknai sebagai
peristiwa jahat secara luas yang telah dilakukan oleh pelaku tindak
301
Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan’ akan dijelaskan lebih lanjut pada bab ini.
302
Pada prinsipnya, putusan yang berkekuatan hukum tetap dimaknai sebagai putusan hakim
yang tidak lagi diajukan upaya hukum oleh pihak yang berperkara. Akan tetapi, Jonkers menilai syarat
ketiga ne bis in idem ini dapat diterjemahkan menjadi tiga jenis putusan, yaitu:
a. Penghukuman (veroordeling);
Hakim berpendapat terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
89
pidana. 303 Sebagai contoh, B yang bersama-sama melakukan
pencurian dengan A, tidak akan bisa dituntut apabila terhadap A
telah dilakukan penuntutan mengingat peristiwa jahat yang
dilakukan oleh (para) pelaku, yakni pencurian, telah diadili pada
perkara A. Terhadap hal ini, Utrecht menilai makna yang ditawarkan
oleh Van Hamel terkesan terlalu luas dan akan bertentangan dengan
prinsip individualisasi pidana yang dianut oleh KUHP. 304
303
Ibid., hlm. 219.
304
Ibid.
305
Ibid., hlm. 220.
306
Ibid.
307
Ibid.
308
Seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya atas suatu perbuatan yang sama jika
telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803100228814, diakses pada 19
September 2019.
90
3. Perbuatan dalam arti perbuatan materiil (materiele handeling)
Perbuatan dimaknai sebagai perbuatan (yang ditinjau) terlepas dari
unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. 309 Pendapat ini mencoba
menghilangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari
dua teori sebelumnya. 310 Vos berpendapat A yang telah dipidana
sebelumnya karena mencuri sebuah jam tangan yang ditinggalkan
pemiliknya, tetap dapat dituntut oleh Negara jika setelah melakukan
pencurian itu, A lantas ingin memiliki jam tangan tersebut meskipun
tanpa persetujuan pemilik aslinya (penggelapan 311). 312 Kondisi ini
menjadi mungkin karena perbuatan materiil pada pencurian berbeda
sama sekali dengan perbuatan materiil pada penggelapan. 313
309
Ibid.
310
Ibid.
311
Bunyi Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
312
Ibid., hlm. 220-221.
313
Ibid., hlm. 221.
314
NJ 1932, hlm. 1959, W Nr 12543. Ibid.
315
Hal ini terlihat pada putusan tertanggal 18 Februari 1935, NJ 1935, hlm. 791, W Nr 12980.
Dalam perkara ini, A yang berada dalam keadaan mabuk dan tidak bisa menguasai dirinya lantas
mengganggu ketertiban umum (Pasal 492 KUHP) dengan memukul seorang polisi (Pasal 356 sub 2e
KUHP). Hoge Raad menilai sifat peristiwa pidana yang tercantum dalam Pasal 492 KUHP adalah
keadaan terdakwa yang mabuk, tempat dan gangguan atas ketertiban umum. Sementara itu, Pasal 356
sub 2e KUHP memiliki sifat yang berbeda, yakni penganiayaan dan kedudukan resmi (polisi) sebagai
korban. Oleh karena itu, Hoge Raad membenarkan dilakukannya penuntutan atas tindak pidana yang
kedua tersebut. Ibid., 221-222.
91
berupa concursus idealis. 316 Dengan melihat pada perkembangan
terakhir pada berbagai putusan Hoge Raad, Vos mengusulkan tafsir
atas makna perbuatan menjadi “seluruh kejadian seperti ternyata dari
luar, sepanjang kejadian itu tidak terbagi dalam beberapa peristiwa-
peristiwa pidana yang masing-masing berdiri tersendiri (merupakan
peristiwa pidana tersendiri)”. 317
Apabila kita mengacu pada kasus Djoko Susilo di atas, Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor yang dijadikan dasar untuk menghukum yang bersangkutan adalah
tindak pidana yang mementingkan terpenuhinya akibat yang dilarang
undang-undang (delik materiil). 318 Oleh karenanya, ketika UU Tipikor
merumuskan Pasal 2 ayat (1) dengan redaksional ‘secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ 319,
maka tempus delicti tindak pidana ini terjadi seketika terdapat peningkatan
kekayaan pada pelaku yang merugikan keuangan negara. Dengan demikian,
seketika pada saat uang korupsi dari pengadaan driving simulator diterima
oleh Djoko Susilo dan beberapa orang serta korporasi lainnya, sejak saat
316
Ibid., hlm. 222.
317
Ibid., hlm. 223.
318
J. Remmelink (2), Pengantar Hukum Pidana Material 1, (Yogyakarta: Maharsa Publishing,
2014)., hlm. 77-79.
319
Mahkamah Konstitusi menghilangkan kata ‘dapat’ dari rumusan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
92
itulah akibat yang dilarang oleh Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah selesai
secara sempurna.
Pada sisi lainnya, salah satu tindak pidana di bidang perpajakan yang
berpotensi untuk dilakukan oleh terpidana korupsi dalam kaitannya dengan
peningkatan kekayaan yang diperolehnya dari kejahatan tersebut adalah
tindak pidana yang dirumuskan Pasal 39 ayat (1) huruf b UU KUP. Dalam
konteks ini, pelaku melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberikan
keterangan kepada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi isi dokumen atau
keterangan tersebut tidak benar atau tidak lengkap. 320 Berbeda halnya
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, tindak pidana ini lebih mementingkan
terselesainya anasir perbuatan yang diatur oleh ketentuan tersebut (delik
formil). 321 Apabila dihubungkan dengan kasus Djoko Susilo di atas,
terselesainya tindak pidana di bidang perpajakan ini baru terjadi ketika
Djoko Susilo menyerahkan Surat Pemberitahuan atau memberikan
keterangan yang isinya tidak lengkap atau tidak benar kepada Direktorat
Jenderal Pajak.
Dari analisis tersebut, terlihat dengan jelas bahwa kedua perbuatan di atas
bukan merupakan satu perbuatan yang sama.
Oleh karena itu, jika penuntutan kembali dilakukan terhadap Djoko Susilo
atas delik perpajakan yang dilakukannya, maka hal ini tidak bertentangan
dengan asas ne bis in idem di atas.
320
Indonesia (18), op.cit., Pasal 39 ayat (1) huruf d.
321
Remmelink (2), loc.cit.
93
Dengan menggunakan logika yang sama, proses penuntutan tetap dapat
dilakukan secara terpisah seandainya tindak pidana korupsi dan tindak
pidana di bidang perpajakan tersebut belum pernah diadili oleh putusan
pengadilan sebelumnya. Mengingat terdapat lebih dari satu tindak pidana
dalam ilustrasi kasus Djoko Susilo di atas, maka segala ketentuan yang
mengatur gabungan tindak pidana (concursus) harus dipertimbangkan
secara saksama. Berkaitan dengan hal ini, hukum pidana mengenal tiga jenis
gabungan tindak pidana, yaitu:
1. Concursus idealis/Eendaadse samenloop
Konsep gabungan yang pertama mengatur apabila satu perbuatan
melanggar beberapa ketentuan pidana secara sekaligus. 322 Apabila di
antara beberapa ketentuan pidana tersebut memiliki ancaman pidana
yang berbeda-beda, maka yang akan digunakan adalah pasal yang
memiliki ancaman pidana yang lebih berat. 323 Selain itu, apabila
perbuatan ini diatur oleh aturan-aturan yang umum dan khusus,
maka yang memiliki pengaturan lebih khusus itulah yang akan
digunakan. 324
322
Utrecht, op.cit., hlm. 140-141.
323
Indonesia (18), op.cit., Pasal 63 ayat (1).
324
Ibid., Pasal 63 ayat (2).
325
Utrecht, op.cit., hlm. 181-182.
326
Indonesia (18), op.cit., Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2).
94
jenis, maka akan dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi
jumlahnya tidak boleh lebih berat dibandingkan dengan pidana
maksimum untuk delik tersebut ditambah sepertiga. 327
3. Voorgezette handeling
Konsep ini dikenal dengan istilah perbuatan berlanjut atau perbuatan
yang terus-menerus. 328 Dalam pandangan Utrecht, voorgezette
handeling adalah bentuk khusus yang dirumuskan oleh Pasal 64
KUHP yang dapat diidentifikasi apabila beberapa perbuatan
terhubung satu dengan yang lain sehingga harus dipandang sebagai
suatu perbuatan yang diteruskan. 329
327
Ibid., Pasal 66 ayat (1).
328
Utrecht, op.cit., hlm. 192.
329
Ibid., hlm. 192-193.
95
96
Diagram 3.2
ILUSTRASI PEMILAHAN TEMPUS DELICTI
TINDAK PIDANA KORUPSI & TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
Dalam kaitannya dengan hal di atas, proses penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan ini juga tetap dapat dijalankan meskipun, pada perkara
tindak pidana korupsi yang dijalaninya, pelaku telah dirampas barangnya
atau diwajibkan membayar uang pengganti. Perlu diperhatikan bahwa sifat
jahat suatu tindak pidana tidak melekat pada objek atau hasil kejahatan.
Fakta bahwa hakim telah merampas barang-barang yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi 330 tidak secara otomatis
menghapuskan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana di bidang
perpajakan tersebut. Peningkatan kekayaan dari tindak pidana korupsi
tersebut hanya menjadi pemantik niat jahat dari pelaku untuk secara
sengaja merahasiakan nominal atau sumber penghasilan yang diterima
sehingga kewajiban pajaknya dapat berkurang. Pertanggungjawaban pidana
akan selalu melekat pada perbuatan pelaku, bukan pada objek tindak
pidana. 331
330
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.
331
R. Tresna, loc.cit.
332
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
333
Indonesia (20), op.cit., Pasal 1 ayat (1).
97
3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan
Setelah memahami konteks penerapan tindak pidana di bidang perpajakan
atas peningkatan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
persoalan berikutnya yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
kemungkinan dilakukannya penggabungan tuntutan antara tindak pidana
korupsi dan delik perpajakan tersebut. Untuk menjawab isu tersebut, kita
perlu memahami terlebih dahulu proses penanganan perkara tindak pidana
korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan secara menyeluruh.
334
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor ... Tahun
2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
335
Indonesia (22), Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor
30 Tahun 2002 jo. UU Nomor 10 Tahun 2015 jo. UU Nomor .. Tahun 2019, Pasal 38 dan Pasal 39.
98
Diagram 3.3
Alur Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi
336
Sigit Danang Joyo (2), Tindak Pidana Perpajakan, disampaikan pada mata kuliah Tindak
Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan Kehormatan, 2 April 2019 di Sekolah Tinggi
Hukum Indonesia Jentera, Jakarta Selatan.
337
Ibid.
338
Ibid.
99
tindak pidana pada tahap pemeriksaan, harus dilakukan pengungkapan
ketidakbenaran SPT atau pengenaan sanksi administrasi/penetapan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) bagi Wajib Pajak. 339 Jika pada proses penelaahan
IDLP tidak ditemukan indikasi tindak pidana, maka penyelesaian perkara
akan diarahkan pada pengenaan sanksi administratif atau penerbitan
SKP. 340
339
Ibid.
340
Ibid.
100
341
Alur Penanganan Tindak Pidana Pajak
Diagram 3.4
341
Diolah dari data Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
101
Apabila setelah data IDLP ditelaah dan ditemukan adanya indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan. 342 Jika dibandingkan dengan
hukum acara pidana, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dipersamakan
dengan konsep penyelidikan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP
yang bertujuan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan terhadap peristiwa yang dilaporkan tersebut. Seandainya
ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penanganan perkara akan
dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun demikian, demi kepentingan
penerimaan negara, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dihentikan
apabila Wajib Pajak bersedia mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya dan melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak terutang
beserta denda administratif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut. 343
342
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai proses pemeriksaan bukti permulaan, dapat
dipelajari konteks dan mekanisme yang diatur di dalam UU KUP, Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
343
Indonesia (20), op.cit., Pasal 8 ayat (3).
344
Ibid., Pasal 1 angka 32 dan Pasal 44 ayat (1).
345
Ibid., Pasal 1 angka 31.
102
Namun, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini dapat juga
dihentikan demi kepentingan penerimaan negara. Pasal 44B ayat (1) UU
KUP mengharuskan Menteri Keuangan meminta kepada Jaksa Agung agar
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permintaan tersebut. Akan tetapi,
seperti halnya penghentian pemeriksaan bukti permulaan di atas, pelaku
harus bersedia mengungkapkan kesalahannya dalam peristiwa yang disidik
serta melunasi hutan pajak yang kurang dibayar berikut denda administratif
sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak
seharusnya dikembalikan. 346
346
Ibid., Pasal 44B ayat (2).
347
Joyo (1), loc.cit.
103
Kesimpulan yang sama juga akan terlihat setelah melakukan penelaahan
terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang anti korupsi dan di bidang perpajakan. Berkaitan
dengan penyidikan tindak pidana korupsi, Pasal 26 UU Tipikor mengatur
pelaksanaannya harus didasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang tersebut. Oleh karena itu,
Pasal 6 ayat (1) KUHAP juga akan berlaku pada penyidikan tindak pidana
korupsi dimana yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat
POLRI dan PPNS yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Di samping itu, kejaksaan juga memiliki
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam UU Kejaksaan 348, UU Tipikor 349, dan UU
KPK. 350
Akan tetapi, apabila tindak pidana korupsi yang sedang ditangani (a)
melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
berhubungan dengan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau
penyelenggara negara; dan/atau (b) menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp 1 miliar, maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK. 351 Di sisi
lain, Pasal 8 ayat (2) UU KPK membenarkan KPK untuk mengambil alih
penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi dari kepolisian atau
kejaksaan jika alasan-alasan yang disebutkan undang-undang tersebut
terpenuhi. 352 Selain kondisi-kondisi dan dalam konteks penanganan perkara
348
Indonesia (19), Undang-Undang Kejaksaan, UU Nomor 16 Tahun 2004, LN Nomor 67 Tahun
2004, TLN Nomor 4401, Pasal 30 ayat (1) huruf d.
349
Indonesia (27), op.cit., Pasal 26.
350
Indonesia (22), op.cit., Pasal 50.
351
Selain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi seperti
yang dijelaskan di atas, Pasal 11 huruf b UU KPK menentukan KPK juga berwenang untuk menangani
tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Akan tetapi, setelah
dilakukan revisi kedua atas UU KPK pada September 2019, wewenang ini dihilangkan oleh pembuat
undang-undang.
352
Alasan-alasan tersebut di antaranya:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-
tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
104
di atas, KPK tidak dibenarkan untuk mengambilalih penanganan perkara
dari penegak hukum lainnya.
Tabel 3.2
WEWENANG MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Ibid., Pasal 9.
105
Penyidik POLRI, Kejaksaan, dan KPK yang menemukan indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan ketika mengusut perkara tindak pidana
korupsi, tidak bisa dengan sendirinya melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Sebaliknya, seandainya
pun PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak menemukan indikasi tindak
pidana korupsi pada delik perpajakan yang sedang ditanganinya, yang
bersangkutan tidak dibenarkan untuk melakukan penyidikan atas
tindak pidana korupsi tersebut karena kewenangannya untuk
melakukan penyidikan terbatas pada tindak pidana di bidang
perpajakan semata.1 Pengaturan yang demikian secara tegas menutup
kemungkinan dilakukannya penyidikan dan penuntutan kedua tindak
pidana tersebut oleh satu penegak hukum.
Dari ketiga syarat di atas, yang mungkin dijadikan dasar untuk memeriksa
delik perpajakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah jenis kasus
pada poin c. Perumusan jenis tindak pidana yang demikian sangat
berhubungan dengan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan:
353
Indonesia (31), Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 46 Tahun
2009, LN Nomor 155 Tahun 2009, TLN Nomor 5074, Pasal 6.
106
ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.” 354
354
Indonesia (27), op.cit., Pasal 14.
355
Indonesia (30), Undang-Undang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955, LN Nomor 27 Tahun 1955, TLN Nomor 801, Pasal 1 sub
3e.
356
Loebby Loqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Hukum dan Pembangunan, 5,
(Oktober 1994: 387-397).
357
Ibid.
358
Arsil, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban Pajak
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, dipresentasikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.
107
ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan menyebutkan
“pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya adalah tindak pidana ekonomi”. 359 Karena telah
merumuskan tindak pidana di PERPPU tersebut sebagai tindak pidana
ekonomi, maka berbagai ketentuan yang diatur di dalam UU Tindak Pidana
Ekonomi dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut. 360
359
Indonesia (11), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perdagangan Barang-
Barang dalam Pengawasan, PERPPU Nomor 8 Tahun 1962, LN Nomor 42 Tahun 1962, TLN Nomor
2469, Pasal 8 ayat (1).
360
Loebby Loqman, loc.cit.
108
atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini adalah tindak
pidana ekonomi
6 PERPPU Nomor 2 13 Pelanggaran terhadap
Tahun 1965 tentang ketentuan yang dianggap
Kebijaksanaan sebagai kejahatan dalam
Penerimaan Negara peraturan-peraturan
perpajakan, dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana
ekonomi.
7 PP Nomor 36 Tahun 14 Pelanggaran terhadap
1977 tentang ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9,
Pengakhiran Kegiatan dan 10 Peraturan Pemerintah
Usaha Asing dalam ini dan Peraturan Pelaksanaan
Bidang Perdagangan Peraturan Pemerintah ini
adalah kejahatan dan
merupakan tindak pidana
ekonomi
361
Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla.
111
BAB IV
MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM &
OTORITAS PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI
PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
112
korupsi. 362 Dengan tugas dan fungsi maupun data yang dimiliki otoritas
perpajakan, institusi ini mampu menganalisis dan melakukan audit atas
informasi-informasi perpajakan tersebut serta menemukan indikasi tindak
pidana korupsi. 363 Jika data-data tersebut dapat disampaikan kepada
penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, kualitas
penanganan tindak pidana korupsi akan semakin optimal. 364
362
OECD (3), Effective Inter-Agency Co-operation in Fighting Tax Crimes and Other Financial
Crimes (Third Edition), (Paris: OECD, 2017), hlm. 77
363
OECD (1), op.cit., hlm. 22.
364
Ibid.
365
OECD (6), The OECD Oslo Dialogue: A Whole of Government Approach to Fighting Tax
Crimes and Illicit Flows, https://www.oecd.org/tax/crime/Oslo-Dialogue-flyer.pdf, diakses pada 25
Oktober 2019.
366
Ibid.
367
OECD dan The World Bank, Improving Co-operation between Tax Authorities and Anti-
Corruption Authorities in Combating Tax Crime and Corruption, (Paris: OECD & The World Bank, 2018),
hlm. 14.
113
10 Prinsip Global Pemberantasan Tindak Pidana Pajak. 368 Dari sejumlah
negara anggta OECD yang tergabung dalam TFTC ini, praktik yang
dijalankan oleh Inggris, Australia, dan Singapura dapat dijadikan
pembelajaran untuk mengefektifkan penanganan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana pajak. 369
4.1.1 Inggris
Dalam sistem hukum Inggris, proses pengumpulan dan analisis informasi
perpajakan dilakukan oleh HM Revenue dan Customs (HMRC). 370 Institusi
ini dibentuk dari penggabungan Inland Revenue (kantor otoritas
perpajakan) dengan HM Customs and Excise (otoritas keimigrasian dan bea
cukai), yang terjadi pada tahun 2005. 371 Selain melakukan tugas administrasi
perpajakan, HMRC juga memiliki tanggung jawab melaksanakan maupun
memimpin investigasi tindak pidana perpajakan. 372 Fungsi ini dilakukan
oleh HMRC Fraud Investigation Service 373 yang memiliki penyidik pajak
yang berpengalaman melakukan audit, analisis maupun penyidikan
transaksi mencurigakan. 374 Dalam menjalankan fungsi ini, HMRC
berwenang menjangkau berbagai informasi dan dokumentasi wajib pajak
hingga pihak ketiga. 375 Akses data yang sedemikian luas ini
merepresentasikan posisi strategis HMRC dalam mencegah dan melakukan
deteksi dini terhadap tindak pidana pajak dan korupsi. 376
368
OECD (4), Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles, (Paris: OECD, 2017), hlm. 9.
Kesepuluh prinsip global ini secara garis besar mencakup pencegahan, deteksi dini, investigasi dan
kerja sama dalam penanganan tindak pidana pajak dan korupsi baik di dalam maupun luar negeri serta
pengembalian aset hasil kedua tindak pidana tersebut.
369
Ibid.
370
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22
371
OECD (3), op.cit., hlm. 477.
372
Ibid., hlm. 23.
373
OECD (3), loc.cit.
374
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22.
375
Ibid., hlm. 23.
376
Ibid.
114
Sementara itu, penanganan tindak pidana korupsi di Inggris tersebar di
beberapa unit mencakup kepolisian, dan lembaga penegak hukum
lainnya. 377 Pada tahun 2013, dibentuk National Crime Agency (NCA) yang
berwenang menangani kejahatan serius dan terorganisir, fraud, dan cyber
crime. 378 Selain ketiga isu tersebut, NCA juga bekerja sama dengan lembaga
penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi. 379 Tepat pada bulan
Mei 2015, NCA International Corruption Unit dibentuk 380 sebagai bagian
dari NCA. Unit tersebut bertugas melakukan investigasi tindak pidana
korupsi dan pencucian uang baik di dalam maupun luar negeri, penelusuran
aset, dan mendukung lembaga asing dalam melakukan investigasi
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. 381
Selain itu, lembaga lain yang juga berwenang menangani tindak pidana
korupsi adalah Serious Fraud Office (SFO) yang bertugas melaksanakan
investigasi dan penuntutan atas kasus kecurangan serius (serious fraud) dan
korupsi, termasuk suap yang melibatkan pejabat publik asing. 382 Umumnya,
kejahatan serius dan kompleks seperti korupsi akan ditangani oleh penyidik
yang memiliki spesialisasi di bidang tersebut. 383 Sementara itu, untuk kasus-
kasus dengan skala kecil akan ditangani oleh penyidik biasa. 384
377
OECD (3), op.cit., hlm. 479.
378
Ibid.
379
Ibid.
380
Ibid, NCA International Corruption Unit merupakan gabungan dari Metropolitan Police
Service Proceeds of Corruption Unit, City of London Police Overseas Anti-Corruption Unit, and NCA
Kleptocracy Investigation Unit.
381
Ibid.
382
OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 25.
383
Ibid., hlm. 29
384
Ibid.
115
4.1.1.1 Model Kerja sama HMRC dengan Lembaga Anti Korupsi di
Inggris
Model kerja sama yang dikembangkan antara HMRC dan lembaga anti
korupsi di Inggris salah satunya dilakukan melalui pertukaran informasi. 385
Pertukaran informasi sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2001, yakni
antara kantor pajak dan bea cukai dengan lembaga penegak hukum di
bidang anti terorisme. 386 Kerja sama tersebut melegalkan penggunaan
informasi untuk mendukung investigasi atau penuntutan tindak pidana,
atau dapat juga digunakan sebagai bukti awal atau penghentian investigasi
atau penuntutan suatu tindak pidana. 387
385
Ibid.
386
OECD (6), Tax Administration Detecting Corruption, (Paris: OECD, 2012), hlm. 11.
387
Ibid.
388
OECD (3), op.cit., hlm. 481. Sejak pembentukannya, joint task force telah mampu
mengungkap penyidikan tindak pidana pajak yang dilakukan individu, mengidentifikasi indikasi tindak
pidana di bidang ekonomi, transaksi mencurigakan di berbagai perusahaan. Awal pembentukan join
task force tersebut ialah untuk mengungkap kasus Panama Papers.
389
Ibid.
390
Ibid.
391
Ibid.
116
Diagram 4.1
Mekanisme Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak Hukum
di Inggris
392
Ibid., hlm. 93
117
tindak pidana perpajakan dan korupsi diserahkan kembali pada masing-
masing lembaganya, yakni HMRC dan NCA/SFO.
Selain kedua model kerja sama yang disebutkan di atas, bentuk kerja sama
yang juga digunakan di Inggris adalah penempatan pegawai suatu lembaga
di lembaga lain. Sebagai contoh, HMRC menempatkan pegawainya di Civil
Recovery and Tax Team NCA. 393 Pegawai tersebut dapat menggunakan
informasi perpajakan untuk membantu penanganan kejahatan di lembaga
tempat ia ditempatkan. 394 Cara ini dianggap efektif untuk meningkatkan
keterampilan pegawai tersebut sekaligus membangun relasi dengan
pegawai lembaga lain. 395 Pegawai tersebut dapat berbagi keterampilan,
pengalaman serta pengetahuan secara langsung dengan lembaga dimana ia
ditempatkan. 396
393
Ibid., hlm. 152
394
Ibid.
395
Ibid.
396
Ibid.
118
4.1.2 Australia
Di Australia model kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti-
korupsi mencakup pertukaran informasi, joint investigation, pendidikan
dan pelatihan serta pertukaran personil. Pertukaran informasi antara
Australian Tax Office (ATO), Australian Federal Police (AFP) dan lembaga
lainnya bersifat spontaneusly sharing information, yakni antar-lembaga
diperbolehkan mengirimkan data satu sama lain tetapi bukan merupakan
suatu kewajiban. 398 Diperbolehkannya ATO untuk mengungkap data
perpajakan juga diatur dalam Tax Administration Act 1953 (TAA). TAA
memperbolehkan ATO mengungkap data perpajakan untuk tujuan
penyidikan atas kejahatan dengan ancaman pidana lebih dari 12 bulan atau
atas dasar permintaan taskforce 399. 400
398
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60
399
Task force ini merupakan satuan tugas yang terdiri dari ATO, AFP dan lembaga lainnya yang
tergabung dalam Serious Financial Crime Task force (SFCT).
400
Inspector General of Taxation, Review Into The ATO’s Fraud Control Management, Chapter
7 – Interagency Collaboration, Poin 7.9, https://igt.gov.au/publications/reports-of-reviews/review-
into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-7-interagency-collaboration/, diakses pada 25
Oktober 2019.
401
OECD (3), op.cit., hlm. 140
402
Ibid.
403
Ibid.
120
Selain ACIC, terdapat juga Fintel Alliance yang dibentuk oleh AUSTRAC
(Australian Transaction Reports and Analysis Centre) pada tahun 2017. 404
Fintel Alliance merupakan kerja sama antara pemerintah Australia dan
sektor privat (publik maupun asing) yang bergerak di bidang penyediaan
data, pertukaran informasi dan analisis terkait data keuangan. 405 Data
tersebut digunakan salah satunya untuk mendukung investigasi dan
penuntutan atas tindak pidana serius, pendanaan terorisme dan hal-hal
yang bersifat mengancam keamanan nasional. 406
404
Australian Transaction Reports and Analysis Centre, Fintel Alliance,
https://www.austrac.gov.au/about-us/fintel-alliance, diakses pada 26 Oktober 2019.
405
Ibid.
406
Ibid.
407
OECD (3), op.cit., p. 135. Negara-negara lain yang menggunakan joint investigation team
adalah Austria, Azerbaijan, Singapura, US, Denmark, Brazil, Kanada, El Salvador, Jerman, Ghana,
Yunani, India, Israel, Finlandia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Portugal, Malaysia, Afrika Selatan,
Slovenia, Turki, Hungaria, dan Republik Ceko.
408
Ibid. Project Wickenby dibentuk pertama kali untuk melindungi integritas sistem keuangan
dan regulasi Australia sekaligus mencegah masyarakat untuk mempromosikan atau ikut serta dalam
penyalahgunaan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah.
409
Ibid.
121
yang lebih luas kepada tim gabungan untuk digunakan dalam proses
investigasi dan menentukan strategi terbaik di masa mendatang. 410
Diagram 4.2
Project Wickenby sebagai Kerja Sama Otoritas Perpajakan dengan
Penegak Hukum di Australia
410
Ibid
122
hukum lainnya. 411 SFCT merupakan bagian dari Fraud and Anti-Corruption
Centre yang dipimpin oleh AFP. 412 Fokus dari SFCT adalah penanganan
kejahatan keuangan serius di Australia, yang mana salah satunya terkait
perpajakan. 413
Subjek yang menjadi target SFCT adalah pihak yang terlibat atau
berhubungan dengan serious fraud dan pencucian uang. 418 Sejak dibentuk
411
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83
412
Ibid.
413
OECD (2), Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC Economies, (Paris: OECD, 2019),
hlm. 10.
414
Ibid.
415
Ibid.
416
Australian, Tax Office, Justice Served in Largest Ever Prosecuted Tax Fraud,
https://www.ato.gov.au/media-centre/media-releases/justice-served-in-largest-ever-prosecuted-tax-
fraud/, diakses pada 25 Oktober 2019.
417
Ibid.
418
Ibid. Namun prioritas SFCT saat ini berfokus pada penggelapan pajak, fraud, dana pensiun
dan trust.
123
pada 1 Juli 2015, berikut adalah hasil capaian SFCT yang dirilis pada Juni 2019
lalu: 419
a. 284 Surat Penggeledahan diterbitkan;
b. 1145 audit selesai dilaksanakan;
c. 7 penuntutan ;
d. 5 orang terpidana;
e. AUD 836 juta kenaikan kewajiban pajak; dan
f. AUD 306 juta dikembalikan kepada negara.
419
Australian Federal Police, Serious Financial Crime Taskforce, https://www.afp.gov.au/what-
we-do/crime-types/fraud/serious-financial-crime-taskforce, diakses pada 25 Oktober 2019.
420
OECD (3), op.cit., hlm. 153
421
Ibid., hlm. 17
422
Ibid.
423
Ibid.
124
Tabel 4.2
MODEL PERTUKARAN INFORMASI ANTARA OTORITAS PERPAJAKAN
DENGAN PENEGAK HUKUM DI AUSTRALIA
125
4.1.3 Singapura
Menurut Global Competitive Report 2015-2016, kasus korupsi yang
berhubungan dengan perpajakan di Singapura terbilang sangat jarang. 424
Meski demikian, kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti korupsi
di Singapura dinilai cukup bagus. Salah satu perkara yang menjadi preseden
baik dari kerja sama kedua lembaga tersebut adalah kasus korupsi dan
pelanggaran pajak yang melibatkan pejabat bea cukai dan warga negara
India pada tahun 2014. 425
424
GAN Business Anti-Corruption Portal, Singapore Corruption Report,
https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/singapore/, diakses pada 26 Oktober 2019.
425
Corruption Practices Investigation Bureau, Six Charged for Corrupt and Fraudulent GST
Tourist Refund Claims, https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-corrupt-and-
fraudulent-gst-tourist-refund-claims, diakses pada 26 Oktober 2019.
426
Ibid., hlm. 422
427
OECD (4), op.cit., hlm. 76
428
OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 26
429
Ibid., hlm. 423
430
OECD & The World Bank, loc.cit.
126
Kerja sama pertukaran informasi kedua lembaga di Singapura tersebut
berbeda dengan Australia maupun Inggris. Jika Inggris dan Australia
memperbolehkan otoritas pajak dan lembaga anti-korupsi bertukar data
secara langsung walaupun tidak diwajibkan, maka Singapura hanya
mengizinkan IRAS mempertukarkan data ke CPIB berdasarkan
permintaan 431 dan hanya bisa digunakan untuk proses
penyidikan/penuntutan. 432
Namun demikian, petugas pajak diwajibkan
untuk melaporkan kepada kepolisian, kejaksaan atau CPIB, jika
menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. 433 Lebih lanjut, jika
petugas kepolisian maupun jaksa menemukan indikasi tindak pidana
korupsi, mereka dapat melaporkan hal tersebut kepada CPIB, akan tetapi
pelaporan tersebut tidak diwajibkan. 434 Sebaliknya, lembaga penegak
hukum dapat langsung memberikan informasi atau data jika menemukan
adanya indikasi tindak pidana perpajakan kepada IRAS, tetapi hal tersebut
tidak diwajibkan. 435
431
Ibid., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.
432
Ibid., hlm. 424-425.
433
Ibid., hlm. 78.
434
Ibid., hlm. 99
435
Ibid., hlm. 93
127
Diagram 4.3
Skema Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak
Hukum di Singapura
Pada kasus tersebut, IRAS dan Kantor Bea Cukai Singapura mendeteksi
adanya pelanggaran perpajakan terhadap Pajak Konsumsi. 437 Keduanya
kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menemukan
keterlibatan petugas bea cukai dalam kasus tersebut. 438 Kasus ini kemudian
436
Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.
437
Ibid.
438
Ibid.
128
dilimpahkan ke CPIB untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut. 439 Sampai
dengan putusan dijatuhkan, IRAS bersama dengan Kantor Bea Cukai
bekerja sama dengan CPIB secara intensif dalam penanganan kasus
tersebut. 440 Oleh pengadilan, petugas bea cukai dinyatakan terbukti
menerima gratifikasi dan membantu 4 warga negara India melakukan klaim
palsu atas Pajak Konsumsi. 441
439
Ibid.
440
Ibid. Dalam Putusan yang dirilis Court 26, petugas bea cukai Singapura terbukti melakukan
tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi sebesar $11.400,00 dan pelanggaran pajak
konsumsi karena membantu 4 orang WN India melakukan klaim pengembalian Pajak Konsumsi secara
curang. Sedangkan 4 orang WN India terbukti memberikan gratifikasi dan mengajukan klaim palsu atas
pajak konsumsi.
441
Ibid.
442
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 72
443
Ibid.
129
4.2 Kerja Sama yang Dikembangkan KPK dengan Kementerian/
Lembaga
4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK)
Kerja sama antara KPK dan PPATK dimulai sejak tahun 2011, yang ditandai
dengan adanya Nota Kesepahaman di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. 444 Adapun ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut
meliputi: 445
a. pertukaran informasi;
b. perumusan produk hukum;
c. intersepsi atau penyadapan;
d. penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang;
e. penelitian dan sosialisasi;
f. pendidikan dan pelatihan; dan
g. pengembangan sistem teknologi informasi.
444
Iman Santoso (1), Wawancara, disampaikan di Direktorat PJKAKI-KPK, 17 Oktober 2019
445
Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, Pasal 2.
446
Santoso (1), loc.cit.
447
Ibid.
448
Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, op.cit., Pasal 13 ayat (1)
131
PPATK diwakili oleh Direktur Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
(KSHM). 449
Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu bentuk kerja sama kedua lembaga
tersebut adalah pertukaran informasi yang dilakukan melalui sistem online
yang disebut Secure Online Communication (SOC). 450 Yang dipertukarkan
dalam pertukaran informasi berupa data enquiry dan informasi pro-aktif. 451
Informasi enquiry adalah informasi yang diberikan karena adanya
permintaan dari KPK. 452 Di sisi lain, informasi pro-aktif merupakan
informasi yang diberikan oleh PPATK kepada KPK tanpa adanya permintaan
dari KPK, tetapi atas inisiatif dari PPATK langsung. 453 Informasi pro-aktif
diperoleh melalui berbagai sumber yakni:
a. Informasi hasil analisis PPATK yang bersumber dari Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM); 454
b. Informasi hasil analisis mandiri PPATK terhadap kasus-kasus tindak
pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. 455 Dalam hal ini, PPATK
memantau kasus-kasus yang sedang ditangani KPK melalui berbagai
media dan melakukan analisis mandiri tanpa permintaan KPK; 456
449
Ibid., Pasal 13 ayat (2).
450
Santoso (1), loc.cit.
451
Ibid.
452
Ibid.
453
Ibid.
454
Ibid. Pasal 1 angka 5 UU TPPU menentukan kriteria transaksi keuangan mencurigakan yakni:
1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak
Pelapor sesuai dengan ketentuan UU TPPU;
3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dnegan menggunaka
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
455
Ibid.
456
Ibid.
132
c. Informasi yang disampaikan oleh bank-bank kepada PPATK, tanpa
permintaan PPATK (LTKM Pro-Aktif). 457 Informasi tersebut biasanya
disampaikan apabila ada transaksi keuangan milik pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani KPK. 458 Bank-bank tersebut
berinisiatif melaporkan transaksi keuangan tersebut kepada PPATK
untuk ditindaklanjuti dan disampaikan ke KPK. 459
457
Ibid.
458
Ibid.
459
Ibid.
460
Ibid. Lihat juga Indonesia (2), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan Informasi Ke Pusar Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan, Pasal 6 ayat (1)
461
Santoso (1), loc.cit.
462
Ibid.
463
Ibid.
464
Ibid.
133
Diagram 4.4
Alur Proses Pertukaran Data KPK dan PPATK
465
Ibid.
466
Ibid.
467
Ibid.
468
Ibid.
469
Ibid.
470
Ibid.
134
dilakukan komunikasi secara informal agar dapat tertangani dengan baik.
Pertukaran informasi tersebut tidak hanya dilakukan sepihak atas
permintaan KPK terhadap PPATK, tetapi juga sebaliknya. Keduanya dapat
saling memberitahukan informasi yang diterima untuk mendukung
penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 471
471
Ibid.
472
Ibid.
473
Ibid.
474
Ibid.
475
Indonesia (28), op.cit., Pasal 23 ayat (1). Data transaksi yang wajib dilaporkan kepada PPATK
meliputi: a) Transaksi Keuangan Mencurigakan; b) Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling
sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,
yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 hari kerja;
dan/atau c) Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
135
tidak rinci; 476 c) Kecepatan waktu pengiriman tergantung pada
masing-masing lembaga keuangan bank dan non-bank; 477 d) Format
laporan yang disampaikan oleh lembaga keuangan bank dan non-
bank ke PPATK berbeda-beda; 478 dan e) Kualitas data yang
dilaporkan masih rendah, misalnya ada data berbentuk hardcopy atau
berupa data scan namun tulisan tidak terlalu jelas terbaca. 479
c. Upaya permintaan data ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) jika
kasus korupsi melibatkan Kepala Daerah setempat biasanya
memakan waktu lama dan cukup sulit. Kemungkinan besar hal ini
terjadi karena Kepala Daerah juga menjabat sebagai komisaris BPD,
sehingga terjadi conflict of interest. 480
476
Shirlay Santosa, Analisis Perbandingan PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi
Keuangan) Di Indonesia dengan FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network) di Amerika Serikat,
(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 74.
477
Santoso (1), loc.cit.
478
Ibid.
479
Ibid. Baca juga Wahyu, Murtinanto, Kualitas Laporan Pihak Pelapor ke PPATK Harus
Ditingkatkan, https://economy.okezone.com/read/2019/09/12/320/2104179/kualitas-laporan-pihak-
pelapor-ke-ppatk-harus-ditingkatkan, diakses pada 25 Oktober 2019.
480
Santoso (1), loc.cit.
481
Ibid.
482
Ibid.
483
Ibid.
136
sama yang telah dilaksanakan, paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-
waktu jika diperlukan. 484
Kerja sama antara KPK dan DJP dimulai sejak 23 Februari 2005, ditandai
dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman yang menyebutkan bahwa
KPK berwenang meminta data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi terkait sesuai UU KPK. 486 Ruang lingkup Nota Kesepahaman
tersebut meliputi: 487
a. tukar-menukar data dan/atau informasi;
b. bantuan oleh KPK kepada DJP dalam mendukung pelaksanaan
pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana perpajakan;
c. bantuan DJP kepada KPK untuk mendukung pelaksanaan
penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
Wajib Pajak;
d. penugasan pegawai KPK pada DJP dan sebaliknya;
e. penunjukan pejabat penghubung (liaison officer);
f. sosialisasi UU KPK dan peraturan perundang-undangan terkait;
g. pendidikan, pelatihan dan magang/pertukaran staf;
484
Nota Kesepahaman, op.cit., Pasal 18 ayat (2).
485
Abba Gabrilin, Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak Temui Pimpinan KPK,
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-kerja-sama-antarlembaga-dirjen-
pajak-temui-pimpinan-kpk, diakses pada 27 Oktober 2019.
486
Joyo (3), loc.cit.
487
Nota Kesepahaman Antara KPK dan DJP tentang Kerjasama Dalam Rangka Pemberantasan
Tindak Pidan Korupsi dan Tindak Pidana Perpajakan, Pasal 3.
137
h. kajian sistem;
i. distribusi LHKPN; dan
j. distribusi formulir gratifikasi.
488
Ibid., Pasal 7 ayat (1).
489
Ibid., Pasal 7 ayat (2) jo. Ayat (3).
490
Ibid., Pasal 6 ayat (1).
491
Ibid., Pasal 6 ayat (2) jo. Ayat (3).
492
Ibid., Pasal 4 ayat (5).
493
Ibid., Pasal 4 ayat (2).
494
Ibid., Pasal 4 ayat (6).
138
data maupun data yang telah diberikan, akan dilakukan melalui Pejabat
Penghubung yang telah ditunjuk. 495
Diagram 4.5
Alur Pertukaran Data dan/atau Informasi KPK dan DJP
495
Ibid.,
496
Ibid., Pasal 4 ayat (3).
139
korupsi; dan c) hasil pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang
menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi. 497
Keberlakuan Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak berbatas waktu
tertentu, tetapi hanya mengatur bahwa sewaktu-waktu dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan. 498 Dengan demikian, maka sebenarnya Nota
Kesepahaman tersebut masih berlaku hingga saat ini. Sayangnya, tidak
banyak pegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya Nota Kesepahaman
tersebut. 499 Kondisi tersebut menyebabkan belum berjalan efektifnya model
kerja sama sebagaimana diatur dalam Nota Kesepahaman tersebut. 500
497
Ibid., Pasal 4 ayat (4).
498
Iman Santoso (2), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019. Lihat juga, Nota
Kesepahaman Antara KPK dan DJP, Pasal 12 ayat (2).
499
Ibid.,
500
Ibid.,
501
Ibid.,
502
Fatma, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
140
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Unit Labuksi KPK seharusnya
mengirimkan surat tersebut kepada KPP yang dituju. 503 Tetapi ketika
dikonfirmasi ke KPP terkait, ternyata belum ada koordinasi dari pusat
kepada KPP tersebut untuk permintaan data. 504 Proses permintaan data
tersebut setidaknya memakan waktu 2-3 bulan 505, padahal jangka waktu
yang dimiliki Unit Labuksi untuk membantu penyidikan hanya 120 hari. 506
Data perpajakan yang diminta oleh Unit Labuksi termasuk perusahaan-
perusahan yang terlibat dalam kasus E-KTP baru diterima ketika proses
penyidikan selesai. 507 Jika saja data perpajakan tersebut dapat diterima lebih
awal, maka aset negara yang diselamatkan juga akan semakin banyak. 508
Selain menggunakan surat permintaan, bentuk kerja sama lain yang pernah
dilakukan misalnya ketika KPK diizinkan oleh DJP menggunakan SPT dalam
penanganan Kasus Korupsi Kotak Suara, dengan syarat yang spesifik bahwa
penyidik yang membaca SPT harus berlatar belakang pendidikan
akuntansi. 509 Selain itu dalam kasus Korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias
Wawan, KPP Pratama setempat pernah mengajukan surat permintaan data
kepada KPK, yang mana daftar data yang dimintakan berasal dari informasi
yang diperoleh dari media massa. 510 Wawan diketahui hanya melaporkan
pajak dalam SPT nya sebesar Rp . 1.800.00,00, padahal KPK berhasil menyita
141
12 mobil mewah miliknya. 511 KPP Pratama tersebut kemudian
membebankan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang dimiliki Wawan
untuk memenuhi target penerimaan pajak. 512
Pertukaran data dan informasi secara non-formal yang dilakukan KPK dan
DJP biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanya
kedekatan personal. 513 Namun pertukaran data dan informasi secara non-
formal memiliki beberapa kelemahan. Pertama, karena pelaksanaannya
bergantung pada orang yang dikenal, akibatnya ketika orang tersebut
dipindahtugaskan maka pertukaran data dan informasi menjadi terganggu
bahkan terhenti. 514 Selain itu, data yang diperoleh melalui proses non-
formal tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat bukti, melainkan hanya
sebagai data intelijen. 515
Walaupun dalam praktiknya kerja sama KPK dan DJP sudah banyak
dilakukan, tetapi hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Pembahasan
mengenai pertukaran data dan informasi antara KPK dan DJP sebelumnya
pernah dibahas di tahun 2015, tetapi terkendala oleh ketentuan Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan. 516 Ketentuan tersebut
menyebutkan larangan bagi fiskus (pegawai) pajak untuk memberikan
informasi data perpajakan kepada pihak lain, dikecualikan bagi pejabat dan
tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam pengadilan atau
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan
511
Sujanarko., loc.cit.,
512
Nexio, loc.cit.,
513
Budhi Santoso, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019. Baca juga, Santoso (1),
loc.cit.,
514
Tsani, Anafari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019
515
Santoso (1), loc.cit.,
516
Aulia, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
142
pemeriksaan di bidang keuangan negara. 517 Kewenangan pemberian data
perpajakan untuk pemeriksaan pengadilan perkara pidana yang
berhubungan dengan masalah perpajakan, hanya dapat diberikan oleh
Menteri Keuangan dengan permintaan tertulis hakim ketua sidang. 518
Dengan kata lain, pegawai pajak tidak diizinkan memberikan informasi data
perpajakan tanpa izin Menteri Keuangan dan permintaan tersebut hanya
dapat dilakukan ketika sudah masuk dalam tahap penuntutan, bukan di
tahap penyelidikan dan penyidikan.
517
Indonesia (20), Pasal 34 ayat (1) jo. Ayat (2a).
518
Ibid, Penjelasan Pasal 34 ayat (4)
519
Pontas, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
520
Sigit, Danang Joyo (4), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban
Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
521
Ibid.,
522
Ibid.,
143
intelijen bukan sebagai alat bukti, seharusnya data tersebut dapat
dipertukarkan. 523
523
Robby, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
524
Joyo (4), loc.cit., Salah satu contoh pelanggaran Pasal 34 UU KUP adalah ketika SPT milik
Eddy Yudhoyono dibuka oleh salah satu fiscus pajak, dan perkara tersebut dilaporkan ke Kepolisian.
Kepolisian menyatakan bahwa yang berwenang menangani perkara tersebut adalah Penyidik Pajak
sesuai UU KUP. Namun Penyidik Pajak menyatakan bahwa penyidikan yang mereka lakukan hanya
terkait perhitungan perpajakan.
525
Ibid.,
526
Ibid.,
527
Robby., loc.cit.,
528
Ibid.,
144
mendapatkan informasi data perpajakan untuk kepentingan penanganan
perkara. 529
Model kerja sama penunjukkan tenaga ahli seperti contoh di atas juga
dilakukan DJP bersama BPH Migas dan BPKP di sektor Migas. 530 Model kerja
sama ketiganya dituangkan dalam bentuk PMK Nomor 34/PMK.03/2018. 531
DJP, BPH Migas dan BPKP membentuk Satgas Pemeriksaan Bersama yang
berwenang melakukan pemeriksaan bersama atas kewajiban bagi hasil dan
PPh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, dengan tujuan agar
pemeriksaan lebih efisien dan menghindari sengketa. 532 Tim pemeriksa
Satgas Pemeriksaan Bersama dapat berasal dari tenaga ahli yang ditunjuk
dari institusi yang tergabung dalam satgas tersebut. 533 Melalui penunjukkan
tersebut, tenaga ahli dapat mengakses data perpajakan sesuai dengan
kepentingan pemeriksaan, karena tidak ada keterikatan kerahasiaan data. 534
Kerja sama antara KPK dan DJP lainnya yang sudah sering dilaksanakan
adalah pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan perkara korupsi di KPK. 535
Ahli pajak DJP biasanya dilibatkan untuk perhitungan penghasilan resmi
atau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahap
penyidikan. 536 Akan tetapi, setelah tahap penyidikan selesai tidak ada
529
Joyo (4)., loc.cit.,
530
Irawan, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
531
Ibid.,
532
Rizki, Alika, Tiga Institusi Kerja Sama, Pemeriksaan PPh Migas Bisa Selesai 4 Bulan,
https://katadata.co.id/berita/2018/04/04/tiga-institusi-kerja-sama-pemeriksaan-pph-migas-selesai-
dalam-4-bulan, diakses pada 09 November 2019.
533
Indonesia (7), Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan
Bersama Atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan Pengembalian
Biaya Operasu di Bidang Usaha Hulu Migas, Permenkeu Nomor 34/PMK.03/2018, Pasal 8 huruf e.
534
Tunjung, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
535
Joyo (4)., loc.cit.,
536
Ibid.,
145
koordinasi lebih lanjut terkait penanganan perkara. 537 Kedepannya akan
lebih baik jika KPK juga memberikan informasi mengenai data aset yang
lebih dilakukan tracing kepada DJP untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. 538 Atau seminimal-minimalnya, aset-aset tersebut juga termasuk
yang diperhitungkan oleh ahli pajak DJP dan dituangkan di dalam BAP,
meskipun tidak dijadikan pertimbangan di dalam perkara. 539 Jika
perhitungan aset tersebut disebutkan dalam BAP ahli pajak dan
dicantumkan di dalam putusan, maka akan mempermudah DJP dalam
melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas aset tersebut. 540
537
Ibid.,
538
Ibid.,
539
Ibid.,
540
Ibid.,
541
Ibid.,
542
Syamsuria, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
543
Ibid., Lihat juga Hans, Henricus B, Widjokongko Jadi Tersangka Pengemplang Pajak Rp 5
Miliar,
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=316&q=widjokongko%20puspoyo&hlm=1,
diakses pada 09 November 2019.
146
a UU KUP mengenai penggelapan pajak. 544 Selaku Direktur Investasi PT.
ABIL, Djoko Puspoyo terbukti membantu Widjanarko Puspoyo (Direktur
Utama Perum BULOG) menerima hadiah dari rekanan bulog dalam
pengadaan Beras Nasional yang ditransfer ke rekening PT. ABIL untuk
selanjutnya ditransfer ke rekening Widjanarko Puspoyo. 545 Sedangkan
untuk dakwaan penggelapan pajak, Djoko Puspoyo terbukti dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri dan tidak menyampaikan SPT ke DJP selama PT.
ABIL menjalankan usahanya. 546
544
Ali, Dakwaan Widjokongko Salah Sasaran?,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18065/dakwaan-widjokongko-salah-sasaran/, diakses
pada 09 November 2019.
545
Kejaksaan, Republik Indonesia, Perkara Yang Menarik Perhatian: Perkara Tindak Pidana
Korupsi a.n Terdakwa Widjanarko Puspoyo (Kasus BULOG),
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=24&idsu=15&idke=0&hal=1&id=1269&bc=,
diakses pada 09 November 2019. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 1066 K/Pid.Sus/2008,
hlm. 3.
546
Ibid.,
547
Ibid.,
548
Indonesia (31), Pasal 6.
147
a. Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak tersosialisasi dengan
baik. Sebagai konsekuensinya, banyak pegawai di kedua belah pihak
yang tidak mengetahui adanya Nota Kesepahaman tersebut. Di sisi
lain, Nota Kesepahaman juga perlu diperbaharui dan disesuaikan
dengan undang-undang yang berlaku, khususnya terkait Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan yang baru dicantumkan
dalam UU KUP di tahun 2007. 549
b. Pelibatan ahli maupun analis DJP dalam kasus tindak pidana korupsi
yang ditangani KPK hanya sebatas menghitung penghasilan resmi
atau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahap
penyidikan. 550 Setelah tahap penyidikan biasanya tidak ada
koordinasi lebih lanjut. 551
c. Proses permintaan data dan/atau informasi dari KPK ke DJP
memakan waktu yang lama yakni bisa mencapai 2-3 bulan. 552 Hal ini
tidak seimbang dengan batas waktu penyidikan korupsi di KPK yang
hanya 120 hari 553, sehingga seringkali data perpajakan baru diterima
ketika proses penyidikan selesai. 554
d. Pertukaran data dan/atau informasi terkendala karena Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan. Jika Pasal 34 UU KUP
dilanggar maka yang dijatuhi hukuman adalah pegawai pajak
sendiri. 555 KPK hanya bisa mengakses data perpajakan jika
549
Anugerah, Rizki Akbari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban
Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
550
Joyo (3), loc.cit. Lihat juga, Joyo (4), loc.cit.
551
Ibid.
552
Fatma, loc.cit.,
553
Ibid., Baca juga Budhi, A Nugraha, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan
Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada
Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019.
554
Ibid.,
555
Pontas, loc.cit.,
148
ditempatkan sebagai tenaga ahli yang ditunjuk Menteri Keuangan di
DJP, sebagai contoh di Kasus Asian Agri. 556
e. Penempatan tenaga ahli KPK di DJP sifatnya hanya penanganan per
kasus. Akibatnya penempatan tenaga ahli tersebut tidak
berkesinambungan dan akan berakhir pada saat penanganan perkara
selesai. 557
f. DJP tidak melakukan pemeriksaan terhadap semua SPT yang
dilaporkan. 558 Pemeriksaan dilakukan hanya jika ada IDLP terhadap
SPT, hasil compliance risk menyatakan ketidaksesuaian pelaporan
SPT 559 atau jika ditemukan data atau informasi yang
menginformasikan sebaliknya. 560 Dengan kata lain, DJP tidak bisa
secara inisiatif melakukan pemeriksaan sendiri atas SPT yang
dilaporkan.
g. Belum diperbaharuinya jenis data dan informasi apa saja yang dapat
dipertukarkan oleh KPK dan DJP. Walaupun di Nota Kesepahaman
sudah disebutkan jenis data dan informasi yang dapat dipertukarkan,
tetapi penting untuk diidentifikasi kembali kebutuhan kedua belah
pihak. Hal ini penting mengingat bahwa di KPK terdapat data dan
informasi yang tidak bisa dibagikan kepada pihak lain karena kasus
tersebut berisiko tinggi. 561
h. Tidak dimungkinkannya penggabungan penuntutan perkara korupsi
dan pajak karena yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya
berlaku untuk tindak pidana korupsi, TPPU dan tidak mencakup
pajak. 562
556
Joyo (4), loc.cit., Lihat juga Indonesia (20), Pasal 34 ayat (2a).
557
Tsani, Anafari, loc.cit.,
558
Yuli Kristijono et. al., Wawancara, disampaikan di Direktorat Penyidikan Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, 23 Oktober 2019.
559
Ibid.
560
Dahliana Hasan, Potensi Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara dari Sisi Perpajakan,
disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.
561
Santoso (1), loc.cit
562
Arsil, loc.cit.
149
4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan
Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil
Tindak Pidana Korupsi
Untuk menjawab tantangan kerja sama di atas, OECD pernah
merekomendasikan mekanisme kerja sama terhadap penanganan tindak
pidana pajak dan korupsi yang mencakup beberapa metode yakni joint
investigation team, pertukaran informasi, pertukaran personel antar
lembaga, pelatihan hingga pelaksanaan diseminasi bersama. 563
563
OECD (3), op.cit., hlm. 132-133.
564
OECD (2), op.cit., hlm. 10. Lihat juga Australian Federal Police, Serious Financial Crime
Taskforce, loc.cit.
565
Joyo (4), loc.cit.
150
dalam bentuk Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan Pimpinan
KPK tentang penanganan perkara bersama. 566 Ruang lingkup Peraturan
Bersama tersebut hanya akan memuat mengenai penanganan perkara
bersama, pertukaran data dan informasi KPK dan DJP dan penempatan
personil. 567 Sedangkan lingkup kerja sama lainnya seperti sosialisasi,
pelatihan tidak perlu dimasukkan karena sudah diatur di dalam Nota
Kesepahaman KPK dan DJP di tahun 2005. 568
Selain itu, untuk memastikan kerja sama KPK dan DJP berjalan dengan baik
maka perlu ditentukan pejabat penghubung kedua lembaga tersebut. 569
Sedangkan untuk teknis pertukaran informasi, maka kedepannya perlu
dibentuk satuan tugas atau satgas (task force). 570 Melalui task force maka
DJP dapat memberikan data dan informasi serta analisis data perpajakan
terhadap kasus yang sedang ditangani KPK. 571 Begitu pula sebaliknya, jika
penyidik KPK menemukan indikasi tindak pidana pajak atau aspek
perpajakan lainnya maka bisa menyampaikan informasi tersebut ke DJP
melalui task force. 572
566
Joyo (4), loc.cit.
567
Ibid.,
568
Ibid.,
569
Ibid.,
570
Ibid.,
571
Robby, loc.cit.
572
Joyo (4)., loc.cit.
573
Santoso (1), loc.cit.,
574
Ibid.
151
pengecualian, seperti tidak semua data terkait tindak pidana korupsi dapat
dibagikan kepada instansi lain, khususnya terhadap kasus-kasus berisiko
tinggi. 575 Identifikasi data apa yang dipertukarkan sebaiknya ditentukan
bersama oleh tim penyusun Peraturan Bersama KPK dan DJP. 576
DJP, BPH Migas dan BPKP tergabung sebagai tim pemeriksa yang disebut
Satgas Pemeriksaan Bersama. 579 Satgas tersebut bertugas melaksanakan
pemeriksaan bersama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
Bagi Hasil dan PPh Migas. 580 Pada pelaksanaan pemeriksaan bersama,
anggota tim pemeriksa dapat saling melakukan pertukaran dan konfirmasi
data untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat 581, yang mana salah
satunya adalah data dan informasi perpajakan. Data dan informasi yang
diperoleh wajib dijaga kerahasiaanya dan hanya dapat ditindaklanjuti sesuai
dengan kewenangan masing-masing instansi. 582 Berdasarkan hal tersebut,
jika bentuk kerja sama KPK dan DJP dituangkan dalam regulasi mengikat
575
Ibid.
576
Joyo (4), loc.cit.,
577
Irawan, loc.cit.,
578
Anti, Corruption Clearing House, Evaluasi GNP-SDA 2018,
https://acch.kpk.go.id/id/evaluasi-gnp-sda-2018, diakses pada 11 November 2019.
579
Indonesia (7), Pasal 8 huruf d. Tim pemeriksa ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan dengan masa kerja paling lama 3 (tiga) tahun.
580
Ibid, Pasal 4 ayat (1).
581
Ibid., Pasal 30 ayat (1). Lihat juga Irawan, loc.cit.,
582
Ibid., Pasal 30 ayat (2).
152
seperti yang dilakukan DJP, BPH Migas dan BPKP maka kendala
kerahasiaan data perpajakan dapat diatasi.
Selain DJP, KPK juga melakukan kerja sama di sektor Sumber Daya Alam
(SDA) bersama 27 Kementerian/Lembaga yang dituangkan dalam Nota
Kesepakatan Bersama (NKB) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam Indonesai (GNP-SDA) pada 19 Maret 2015. 583 Salah satu upaya yang
dilakukan KPK-GNP-SDA adalah pertukaran data dan informasi untuk
membangun sistem informasi yang terintegrasi sebagai instrumen
pengendalian di sektor SDA. 584
Lebih lanjut, untuk teknis penanganan perkara bersama, KPK dan DJP bisa
merujuk pada praktik baik yang dilaksanakan di Inggris, Australia maupun
Singapura. Namun untuk menentukan model kerja sama yang tepat maka
perlu dikaji kembali lebih dalam dengan menyesuaikan pada ketentuan
yang berlaku, khususnya karena perbedaan hukum acara tindak pidana
korupsi dan perpajakan.
Jika Indonesia ingin merujuk pada praktik di Inggris, maka antara KPK dan
DJP dapat bekerja sama membentuk task force (satgas) dan membentuk
sebuah gateway untuk menyediakan berbagai berbagai informasi yang telah
diolah oleh satgas, seperti model Joint Financial Analysis Centre (JFAC) di
Inggris. Sedangkan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi dan
perpajakan akan diserahkan kembali pada masing-masing instansi yakni
KPK dan DJP.
Model kerja sama seperti diatas mirip dengan kerja sama yang telah
dilakukan KPK dan PPATK. Pertukaran data dan informasi keduanya
dilakukan melalui sistem online yang disebut SOC (secure online
communication), yang dikelola oleh pejabat penghubung di kedua instansi
tersebut. 585 Pertukaran informasi melalui online system tersebut dirasa
583
Anti, Corruption Clearing House, loc.cit.,
584
Komisi, Pemberantasan Korupsi (4), Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam, https://www.kpk.go.id/images/berita-
media/Nota_Sintesis_GNPSDA.pdf, diaksea pada 11 November 2019.
585
Santoso (1), loc.cit.,
153
cukup efektif karena cenderung praktis, tidak memakan waktu dan dapat
diakses darimana saja. 586 Bedanya dengan model kerja sama di Inggris
adalah penanganan perkara hanya bisa ditangani oleh KPK, baik itu perkara
korupsi maupun tindak pidana pencucian uang. Sedangkan PPATK hanya
berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan
Mencurigakan terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dan
mengoordikasikannya dengan penyidik untuk dilakukan penyidikan. 587
Selain opsi model kerja sama di atas, contoh penanganan perkara bersama
tindak pidana korupsi dan perpajakan juga dapat merujuk pada Australia.
Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa otoritas pajak Australia (ATO)
bersama penegak hukum lainnya membentuk The Serious Financial Crime
Task Force (SFCT) 588 untuk melakukan penanganan perkara bersama di
bidang kejahatan keuangan serius seperti perpajakan, korupsi, tindak
pidana pencucian uang dan kejahatan ekonomi lainnya. 589 Proses
penuntutan tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan langsung oleh
SFCT. 590 Berdasarkan data Australian Federal Police (AFP) 2019, angka
pengembalian pajak ke negara dari hasil penanganan perkara oleh SFCT
cukup signifikan yakni mencapai AUD 836 juta sedangkan jumlah yang
berhasil dikembalikan kepada negara AUD 306 juta. 591
Walaupun model kerja sama yang dilakukan SFCT Australia mencapai hasil
yang signifikan, tetapi model tersebut tidak memungkinkan diterapkan di
Indonesia. Penanganan perkara tindak pidana pajak sangat berbeda dengan
proses yang ditentukan untuk tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
di Indonesia ditangani dengan prosedur beracara yang digunakan dalam
hukum acara pidana, sedangkan tindak pidana perpajakan menggunakan
prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain itu, terdapat kewenangan
586
Ibid.,
587
Indonesia (28), Pasal 64.
588
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83.
589
OECD (2), loc.cit,
590
Australian, Tax Office, loc.cit.,
591
Australian, Federal Police, Serious Financial Crime, loc.cit.,
154
penyidikan antara tindak pidana korupsi dan perpajakan. Wewenang
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan oleh
POLRI, Kejaksaan dan KPK. Sedangkan tindak pidana pajak dilakukan oleh
PPNS di lingkungan DJP. 592
Mengacu pada praktik di Singapura, KPK dan DJP dapat saling melalukan
pertukaran data dan informasi terkait indikasi tindak pidana korupsi dan
perpajakan, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku. 596
Walaupun penangangan perkara oleh KPK dan DJP dilakukan secara
terpisah, tetapi keduanya dapat saling bekerja sama dalam penanganan
592
Indonesia (20), Pasal 44 ayat (1).
593
Indonesia (31), Pasal 6.
594
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.
595
Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.
596
Ketentuan yang berlaku salah satunya adalah mengenai kerahasiaan data perpajakan
sebagaimana Pasal 34 UU KUP.
155
Internal risk environment • Legal structures that could be used to
facilitate tax crime
• Business methods that could conceal
income or facilitate tax crime
• History of tax evasion or tax crime
Transactions • Bribe payment to a domestic or foreign
official
• Suspicious payment to a public official
not part of their normal income stream
• Assets that have not been declared to
the tax authority
• Foreign or hidden accounts
Payments and money flows • Payments or money flows with an
unusual or unclear source/destination
• Payments with suspicious terms
Outcomes of transactions • Companies that are permanent loss-
makers
• Unusual outcomes, or
destroyed/incomplete records
Receiving a bribe • Receiving a corrupt payment
599
Indonesia (1), Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan
Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Bersama Ketua
158
pemberantasan tindak pidana korupsi, penempatan personil di lembaga lain
juga bertujuan meningkatkan kapasitas kemampuan KPK dan Kejaksaan. 600
Praktik penempatan personil tersebut, juga pernah dilakukan oleh KPK dan
DJP. Dalam Kasus Asian Agri, tenaga ahli KPK ditugaskan bersama dengan
penyidik pajak dalam surat penugasan untuk membantu DJP melakukan
pemeriksaan pajak. 601 Selain itu, masa kepemimpinan Chandra Hamzah,
penempatan pegawai KPK di DJP juga pernah dilakukan dan berlangsung
selama 2-3 bulan. 602 Pegawai KPK yang ditempatkan di DJP juga
mendapatkan akses informasi data perpajakan secara bebas. 603
4) Evaluasi Rutin
Untuk melihat progress pelaksanaan kerja sama antara KPK dan DJP, maka
dapat diselenggarakan evaluasi rutin. Mencontoh dari yang dilaksanakan
KPK dan PPATK, maka KPK dan DJP dapat melaksanakan evaluasi bersama
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 11/KPK-
KEJAGUNG/XII/2005, Nomor: KEP-347/A/J,A/12/2005, Ps. 5 huruf b,c, dan d.
600
Ibid., Ps. 2.
601
Robby, loc.cit.,
602
Aminudin, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019
603
Ibid.,
604
Pontas, loc.cit.,
605
Pontas, loc.cit.,
606
Ibid., Ps. 5 huruf b dan c.
159
paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Melalui
pelaksanaan evaluasi rutin diharapkan kedua instansi tersebut mampu
mengidentifikasi tantangan dan kendala selama pelaksanaan kerja sama.
Sekaligus menemukan upaya terbaik untuk menghadapi tantangan dan
kendala yang ditemukan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
dan pajak.
160
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan dalam kajian ini, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi dapat dilihat sebagai Objek Pajak Penghasilan (PPh). Hal
ini karena UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
dalam pengertian luas dimana pengenaan jenis pajak ini
berhubungan dengan tambahan kemampuan ekonomis Wajib
Pajak yang digunakan untuk kepentingan konsumsi maupun
menambah kekayaan individu atau badan yang menjadi subjek
pajak PPh., dari manapun asalnya. Sepanjang syarat yang
ditentukan Pasal 4 UU PPh terpenuhi, terlepas penghasilan tersebut
merupakan penghasilan yang sah atau tidak, maka kekayaan yang
demikian dapat dibebankan Pajak Penghasilan.
2. Berbagai jenis pidana yang memiliki konsekuensi finansial terhadap
pelaku tindak pidana korupsi, seperti pidana denda, pembayaran
uang pengganti dan sebagainya, merupakan bentuk hukuman yang
diberikan kepada terpidana, baik dalam konteks pidana pokok
maupun tambahan. Sifat yang demikian berbeda dengan maksud
dan tujuan dari pembebanan kewajiban perpajakan yang diletakkan
terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diketahui, pajak merupakan pungutan yang wajib
dibayarkan kepada Negara oleh individu maupun badan yang
menjadi subjek pajak. Pengenaan pajak tidak bisa dilihat sebagai
sebuah hukuman yang diberikan Negara melalui institusi pajak
kepada rakyat, melainkan sebagai kontribusi warga negara untuk
membiayai fungsi-fungsi publik yang dijalankan warga negara.
Sebagai konsekuensinya, apabila harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dirampas oleh Negara sebagai bagian dari pidana
tambahan yang dijatuhkan hakim kepada pelaku, Negara masih
161
dibenarkan untuk memungut pajak atas peningkatan kekayaan
pelaku yang berasal dari korupsi tersebut.
3. Penagihan kewajiban perpajakan tidak bisa dimasukkan ke dalam
dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi. Postulat nulla poena
sine lege yang dikemukakan Anselm von Feurbach harus diterapkan
secara konsisten, dimana tidak boleh ada hukuman (pidana) yang
diterapkan kepada pelaku selain dari apa yang telah dicantumkan
dalam undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, UU
Tipikor tidak mengenal kewajiban pembayaran pajak sebagai salah
satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelaku
korupsi. Sehingga penuntut umum tidak bisa memasukkannya
sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan kepada hakim.
Jika pun kewajiban pembayaran pajak akan dimasukkan pada
dakwaan sebagai bagian dari “kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara”, maka harus dikonstruksikan terbatas
sebagai salah satu fakta yang mendukung pemenuhan unsur tindak
pidana korupsi yang dilakukan pelaku.
4. Penuntutan kembali terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas
delik perpajakan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan
asas ne bis in idem. Pasalnya, tindak pidana korupsi dan tindak
pidana pajak bukan merupakan satu perbuatan yang sama.
Diterimanya uang korupsi dan kesengajaan tidak melaporkan
‘penghasilan’ yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi
kepada otoritas pajak merupakan dua perbuatan (feit) yang
berbeda. Niat jahat kedua perbuatan tersebut tidak bisa disamakan
satu dengan yang lainnya. Selain itu, tempus delicti pada dua
perbuatan tersebut juga berbeda, sehingga harus dipandang sebagai
kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri.
5. Penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak
memiliki hukum acara yang berbeda. Kasus tindak pidana korupsi
akan ditangani dengan menggunakan ketentuan hukum acara
pidana yang diatur dalam KUHAP dan berbagai ketentuan spesifik
terkait tindak pidana korupsi. Sementara, tindak pidana pajak
menggunakan prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain
162
itu, yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi
hanya POLRI, Kejaksaan dan KPK, sedangkan untuk tindak pidana
pajak yang diberikan wewenang menangani perkara adalah PPNS di
lingkungan DJP. Di tahap pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan tindak pidana pajak, perkara dapat dihentikan apabila
pelaku mengakui kesalahannya dan bersedia membayar jumlah
pajak yang tidak/kurang bayar beserta dendanya. Selain itu,
yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi hanya meliputi
pemeriksaan perkara korupsi, tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. UU KUP sendiri tidak
mengklasifikasikan tindak pidana pajak sebagai tindak pidana
korupsi. Dengan demikian penggabungan dakwaan atau
penuntutan tindak pidana korupsi dan pajak tidak bisa dilakukan.
6. Mekanisme kerja sama antara KPK dan DJP sudah diinisiasi sejak
tahun 2005 melalui Nota Kesepahaman. Namun tidak banyak
pegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya nota kesepahaman
tersebut, sehingga kerja sama kedua pihak belum berjalan efektif.
Kerja sama KPK-DJP saat ini dilakukan baik secara formal dan
normal. Secara formal kerja sama tersebut dilakukan melalui surat
pemintaan data dan informasi yang ditujukan ke Menteri
Keuangan. Sayangnya kerja sama secara formal dengan model ini
memakan waktu yang cukup lama. Sedangkan secara non-formal,
biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanya
kedekatan personal. Permintaan data dan informasi secara non-
formal memiliki kelemahan yakni bergantung pada sosok yang
dikenal. Akibatnya jika orang tersebut dipindahtugaskan maka
pertukaran data dan informasi dapat terganggu bahkan terhenti.
Selain pertukaran data dan informasi, model kerja sama yang
pernah dilakukan KPK dan DJP antara lain penunjukan tenaga ahli
KPK Bersama dengan penyidik pajak dalam pemeriksaan perkara
Asian Agri dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan korupsi
dan pencucian uang di KPK.
163
5.2 Rekomendasi
Saran yang dapat diberikan terhadap hasil pembahasan dalam kajian ini
adalah:
1. Dalam rangka mengefektifkan kerja sama antara KPK dan DJP maka
perlu disusun Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan
Pimpinan KPK tentang penanganan perkara bersama. Di dalam
peraturan bersama tersebut akan memuat mengenai penanganan
perkara bersama, pertukaran informasi dan penempatan personil
antara kedua belah pihak tersebut. Untuk penentuan model kerja
sama, identifikasi data dan informasi yang dipertukarkan, serta
teknis pertukaran informasi akan ditentukan oleh tim penyusun
peraturan bersama yang melibatkan KPK dan DJP.
2. Kerja sama bentuk lainnya, seperti pendidikan dan pelatihan serta
evaluasi rutin dapat diatur didalam Nota Kesepahaman yang
pernah disusun antara KPK dan DJP. Agar menyesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku saat ini, maka terhadap Nota Kesepahaman
KPK dan DJP perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian.
3. Rekomendasi terhadap perubahan UU Pengadilan Tipikor,
khususnya mengenai kewenangan pengadilan tindak pidana
korupsi. Pembatasan kewenangan pengadilan Tipikor akan
menghalangi kemungkinan penggabungan perkara antara tindak
pidana korupsi dan tindak pidana selain korupsi, contohnya seperti
tindak pidana pajak. Dengan memperluas rumusan kewenangan
pengadilan tindak pidana korupsi maka memungkinkan
penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lain.
164
BBC. 2019. RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin
Marak’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230.
Diakses pada 2 Oktober 2019.
Bureau, Corruption Practice Investigation. 2014. Six Charged for Corrupt and
Fraudulent GST Tourist Refund Claims.
https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-
corrupt-and-fraudulent-gst-tourist-refund-claims. Diakses pada 26
Oktober 2019.
Buscaglia, Eduardo dan Jan van Dijk. 2003. Controlling organized crime and
corruption in the public sector. New York: United Nations, Forum on
Crime and Society.
Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for. 2018.
Study and Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018
Final Report. Warsaw: Institute for Advanced Studies.
Gabrillin, Abba (1). 2017. Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak
Temui Pimpinan KPK. Dalam
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-
kerja-sama-antarlembaga-dirjen-pajak-temui-pimpinan-kpk.
Diakses pada 27 Oktober 2019.
Gabrillin, Abba (2). 2018. PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta
untuk Biaya Hiburan Malam Auditor BPK.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-
marga-dan-rekanan-habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-
malam. Diakses pada 1 Oktober 2019.
167
Hadjon, Philipus. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indonesia (4). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan
Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara, Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014, BN Nomor 876
Tahun 2014.
168
Indonesia (5). Peraturan Menteri Keuangan Jenis Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Permenkeu Nomor 35/PMK.010/2017
sebagaimana diubah dengan PERMENKEU Nomor 86/PMK.010/2019.
Indonesia (9). Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan
Korupsi. PP Nomor 54 Tahun 2019. LN Nomor 140 Tahun 2019. TLN
Nomor 6370.
169
Indonesia (13). Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment”
Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18). SE Dirjen Pajak Nomor SE-
27/PJ.22/1986.
Inspector General of Taxation. 2019. Review Into The ATO’s Fraud Control
Management. https://igt.gov.au/publications/reports-of-
reviews/review-into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-
7-interagency-collaboration/. Diakses pada 25 Oktober 2019.
Irawan, Dhani. 2018. Hukuman Pidana hingga Denda Koruptor Lebih Rendah
di RKUHP. https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-
171
pidana-hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp. Diakses pada
2 Oktober 2019.
Jannah, Selfie Miftahul. 2019. Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax
Ratio. https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-
ratio-eenk. Diakses pada 3 September 2019.
Joyo (1), Sigit Danang. 2019. Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam
Perkara Tipikor Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan.
Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi
Pemberantasan Korupsi. Jakarta, 23 Mei 2019.
Joyo (2), Sigit Danang. 2019. Tindak Pidana Perpajakan. Jakarta: Sekolah
Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Disampaikan pada mata kuliah
Tindak Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan
Kehormatan.
Kanter, E.Y dan S.R Sianturi. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakata: PT Storia Grafika.
Maulida (2), Rani. 2018. Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan
Tarifnya. https://www.online-pajak.com/pajak-daerah. Diakses pada
29 September 2019.
Maulida (3), Rani. 2018. Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena
Pajak. https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17. Diakses pada 4
Oktober 2019.
173
dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10
Oktober 2019.
Nelen, Hans. 2004. Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime
approach in the Netherlands. Crime, Law and Social Change Journal.
OECD (4). 2017. Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles. Paris: OECD.
OECD (5). 2019. Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 –
Indonesia. https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-
asia-and-pacific-indonesia.pdf. Diakses pada 3 September 2019.
OECD (7). 2011. Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to
Foreign Public Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery
Convention. Paris: OECD.
174
OECD & The World Bank. 2018. Improving Co-operation between Tax
Authorities and Anti-Corruption Authorities in Combating Tax Crime
and Corruption. Paris: OECD & The World Bank.
175
Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia.
Tarun, Robert W dan Peter P Tomczak. 2010. The Foreign Corrupt Practices
Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel,
Transactional Lawyers, and White Collar Criminal Practitioners. USA:
American Bar Association.
Tempo. 2019. MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha.
https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-
didenda-hingga-penutupan-usaha. Diakses pada 2 Oktober 2019.
UNODC (5). 2003. UN Guide for Anti-Corruption Policies. New York: United
Nations.
United States of America (USA) (1). 1977. Foreign Corrupt Practice Act 1977.
176
Utrecht, E. 1986. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar
Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu
Pembahasan Pelajaran Umum. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Zulfa, Eva Achjani, Anugerah Rizki Akbari dan Zakky Ihsan Ahmad. 2017.
Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
177