Anda di halaman 1dari 186

–—†‹

,0%)(%//%ŏ!*#!)(%*ŏ
!.1#%*ŏ!#.ŏ !*#*ŏ
!)!**ŏ !3&%*ŏ&'ŏ
, ŏ!.'.ŏ% *ŏ +.1,/%
Ucapan Terima Kasih

Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah
berkontribusi dan membantu studi Optimalisasi Pengembalian
Kerugian Negara Dengan Pembebanan Kewajiban Pajak Pada Perkara
Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

• Mohammad Tsani Annafari, Penasihat KPK


• RZ Panca Putra Simanjuntak, Direktur Penyidikan KPK
• Fitroh Rohcahyanto, Plt. Direktur Penuntutan KPK
• Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I
• Yunirwansyah, Direktur Peraturan Perpajakan II
• Yuli Kristiyono, Direktur Penegakan Hukum
• Pontas Pane, Direktur Intelijen Perpajakan
• Irawan, Direktur Penagihan dan Pemeriksaan
• Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
• Narasumber: Dr. Yunus Husein, S.H. LL.M, Chandra M. Hamzah,
Hasril Hertanto, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), Arsil (LEiP), Sigit Danang Joyo (Kasubdit Bantuan
Hukum DJP), Prof. Dr. Rusli Muhammad (F akultas Hukum
Universitas Islam Indonesia), Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum. (Fakultas
Hukum UGM), Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D. (Fakultas
Hukum UGM), Agustina Siswandari (Kabid. Pemeriksaan,
Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan, Kanwil DJP DIY) dan Herwin
Ardiono (Koordinator Pidsus, Kejati DIY).
• Perwakilan dari KPK: Abdul Basir, Ahmad Burhanudin, Ali Fikri,
Aminudin, Andre D.N, Aulia Postiera, Budi Agung Nugroho, Budi
Santoso, Fatma Y. Kusalina, Harni Latfia, Herbert Nababan, Herry
Purnomo, Juanto, Lakso Anindito, Nexio Helmus, Ni Nengah Gina
Saraswati, Sonny Hendarson, Wahyu PRYP, Wawan Yunarwanto,
dan Yulia Anastasia F.
• Perwakilan dari DJP: Abdul Aziz, Adi Saputra M, Adityawarman,
Andik Tri J, Budi S, Dadan R, Faradina Naviah, I Komang HW,
Kuntati Listyawati, M. Tunjung N, Maman S, Mulyadi, Mutiara Budi
A, Rachmad Adi, Ridho Supriando M, Roby E, Sutan, Syamsuria,
Teza D.F, dan Tito Muladi.
• Perwakilan Kanwil DJP DIY: Syarif Jiwa
• Perwakilan Kejati DIY: Ashari Kurniawan dan Anto D.
• Seluruh pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu dan telah
membantu terselesaikannya studi ini.
Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 11
1.5 Metode Penelitian .................................................................................... 12
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 12

BAB II
PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENINGKATAN
KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ................................. 15
2.1. Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek
Pajak .......................................................................................................... 15
2.1.1 Aspek Teoretis Mengenai Hasil Kejahatan (Proceeds of Crime). 15
2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai
Objek Pajak ...................................................................................... 23
2.1.3 Larangan Pengurangan Pajak atas Biaya Korupsi ........................ 41
2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana Korupsi yang
Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki Konsekuensi
Finansial .................................................................................................... 55

1
BAB III
PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN ...................................................................................... 77
3.1 Penerapan Delik Perpajakan terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi ...................................................................................................... 77
3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana
di Bidang Perpajakan ............................................................................... 98

BAB IV
MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM & OTORITAS
PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN
NEGARA ............................................................................................. 112
4.1 Praktik Terbaik Kerja Sama Penegak Hukum dengan Otoritas
Perpajakan .............................................................................................. 112
4.1.1 Inggris ............................................................................................. 114
4.1.2 Australia.......................................................................................... 120
4.1.3 Singapura ........................................................................................ 126
4.2 Kerja Sama yang dikembangkan KPK dengan Kementerian/
Lembaga .................................................................................................. 131
4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) ...................................................... 131
4.2.2 Kerja Sama KPK dengan DJP ........................................................ 137
4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan
Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak
Pidana Korupsi ....................................................................................... 150

2
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 161
5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 161
5.2 Rekomendasi .......................................................................................... 164
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 165

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia masih memiliki kendala untuk mencapai target rasio pajak yang
telah direncanakan. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir,
perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto 1 yang
menjadi salah satu indikator kinerja penerimaan pajak ini cenderung
mengalami penurunan. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan Republik
Indonesia mencatatkan tingkat penurunan sebesar 0.8% dari tahun 2011
yang berada di angka 11.6%. 2 Meski selisihnya tidak sebesar pada tahun 2016,
tren yang sama juga terjadi pada tahun 2017 dimana rasio pajak Indonesia
kembali turun ke angka 10.7%. 3

Pada perkembangannya, persentase ini mengalami peningkatan hingga


mencapai 11.5% pada tahun berikutnya dan terus mengalami kenaikan
sebesar 0.4% di tahun 2019. 4 Meski demikian, menurut catatan Organisation
for Economic Cooperation and Development (OECD), rasio pajak Indonesia
ini masih berada di bawah negara-negara anggota OECD yang berada pada
titik 34.2%. 5 Jika dibandingkan dengan rasio pajak rata-rata kawasan
Amerika Latin dan Karibia, persentase rasio pajak Indonesia juga masih
tertinggal dengan negara-negara di regional tersebut yang memiliki rata-
rata senilai 22.8%. 6 Bahkan, rasio pajak rata-rata negara-negara anggota

1
Ukuran rasio pajak ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam membiayai keperluan-
keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Baca Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1),
Mengenal Rasio Pajak Indonesia, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-
pajak-indonesia/, diakses pada 3 September 2019.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
OECD (5), Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 – Indonesia,
https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf, diakses pada 3
September 2019.
6
Ibid.

4
OECD yang berasal dari Afrika juga memilki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia, yakni 18.2%. 7

Belum idealnya angka tax ratio Indonesia tersebut dipengaruhi oleh belum
tercapainya target penerimaan pajak yang ditetapkan. 8 Berdasarkan data
yang dirilis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), sepanjang medio
2006-2015, tercatat hanya pada tahun 2008 Indonesia melebihi target
penerimaan pajak yang diinginkan dengan persentase sebesar 107%. 9
Meskipun, pada tahun 2015, angka realisasi penerimaan pajak mencapai Rp
1.000 triliun untuk pertama kalinya, namun hal ini merupakan realisasi
penerimaan pajak terendah dalam kurun waktu 2006-2015 dengan
persentase 81.5%. 10

Pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak Indonesia justru


mengalami kenaikan secara konsisten. Di tahun 2016, misalnya, Indonesia
mencatatkan penerimaan pajak sebesar 82.3% atau setara dengan Rp 1.285
triliun. 11 Dua tahun setelah itu, Kementerian Keuangan mencatatkan
realisasi penerimaan pajak tertinggi sejak tahun 2012, dengan nilai
penerimaan sebesar Rp 1.315,9 trilun. 12 Data terakhir bahkan menunjukkan
pertumbuhan yang cukup signifikan hingga ke angka Rp 1.786,4 triliun di

7
Ibid.
8
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1), loc.ci.t
9
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Keadilan Pajak dan Ketimpangan Pendapatan,
https://www.cita.or.id/wp-content/uploads/2016/03/Keadilan-Pajak-dan-Ketimpangan-Pendapatan-
full-200px.jpg, diakses pada 3 September 2019.
10
Terdapat perbedaan angka realisasi penerimaan pajak dalam Laporan CITA dan
Kementerian Keuangan. CITA menyebutkan angka realisasi penerimaan pajak tahun 2015 adalah
81,5%, sedangkan Kementerian Keuangan mencatatkan 82,3%. Baca Penerimaan Perpajakan 2017
Capai Rp 1.339 Triliun, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerimaan-
perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun?page=all, diakses pada 3 September 2019.
11
Sigit Danang Joyo (1), Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam Perkara Tipikor
Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di
Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.
12
Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339 Triliun, loc.cit.

5
tahun 2019. 13 Akan tetapi, nominal ini hanya mencapai 82.5% dari target
penerimaan pajak yang diprediksikan berada di angka Rp 2.165,1 triliun. 14

Menyikapi data-data di atas, Pemerintah terus berupaya meningkatkan


penerimaan negara melalui pajak demi meningkatkan rasio pajak (tax
ratio). 15 Kebutuhan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak kemudian
direspon melalui berbagai kebijakan di bidang perpajakan. Di antara
kebijakan tersebut adalah upaya perbaikan administrasi, peningkatan
kepatuhan serta penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan yang
ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020-2024. 16 Selain RPJMN, instrumen kebijakan lain yang
mendukung hal tersebut adalah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
(Stranas PK), yang secara khusus menitikberatkan pada optimalisasi
penerimaan pajak melalui fokus keuangan negara. 17 Salah satu hasil yang
hendak disasar adalah terbangunnya sistem administrasi perpajakan yang
terintegrasi 18 sehingga mampu meningkatkan penerimaan perpajakan,
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sekaligus membangun sinergi yang
optimal antar lembaga. 19

13
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA), Buku Informasi APBN 2019,
hlm. 15, https://www.kemenkeu.go.id/media/11213/buku-informasi-apbn-2019.pdf, diakses pada 3
September 2019.
14
Ibid.
15
Selfie Miftahul Jannah, Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax Ratio,
https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-ratio-eenk, diakses pada 3 September
2019.
16
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024, (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2019), hlm. 15. Diakses melalui
https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202020-
2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf
17
Keuangan Negara: Fokus Kedua Strategi Nasional Pencegahan Korupsi,
https://stranaspk.kpk.go.id/id/fokus-aksi/keuangan-negara, diakses pada 3 September 2019.
18
Ibid.
19
Indonesia (12), Peraturan Presiden Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, Perpres
Nomor 40 Tahun 2018, LN Nomor 74 Tahun 2018.

6
Selain dua hal tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan penerimaan pajak Indonesia adalah pembebanan kewajiban
pajak atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Buscaglia dan
van Dijk mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang publik
untuk keuntungan pribadi. 20 Sementara itu, Sartor & Beamish melihat
korupsi tidak hanya terjadi pada sektor publik, tetapi juga bisa dilakukan
dari dan untuk sektor privat. 21 Jenis tindak pidana ini dapat berbentuk suap,
korupsi besar (grand corruption), korupsi kecil (petty corruption),
pemerasan, penggelapan, perbuatan curang, hingga memperdagangkan
pengaruh. 22 Terlepas dari berbagai modus dan perbuatan yang dilakukan,
tindak pidana korupsi akan bermuara pada meningkatnya kekayaan atau
diterimanya keuntungan oleh pelaku atau orang lain, baik dalam konteks
finansial maupun yang lain. Menariknya, Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) 23 menentukan segala jenis sumber penghasilan
dikualifikasikan sebagai objek pajak yang harus dibayarkan dan dilaporkan
pajaknya ke Negara. Pada titik ini, perlu dilakukan riset mendalam apakah
hasil tindak pidana korupsi juga dapat dikenakan pajak sehingga bisa
memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak yang ingin dicapai
Indonesia.

Lebih lanjut, penelaahan juga harus dilakukan untuk melihat irisan


mekanisme hukuman yang dimiliki peraturan perundang-undangan di
bidang antikorupsi dengan ketentuan yang diatur dalam bidang perpajakan
dalam kaitannya dengan pembebanan kewajiban perpajakan terhadap

20
Edgardo Buscaglia dan Jan van Dijk, Controlling organized crime and corruption in the public
sector, Forum on Crime and Society, 3(1-2), (2003): 3-34.
21
Michael A. Sartor dan Paul W. Beamish, Private sector corruption, public sector corruption,
and the organizational structure of foreign subsidiaries, Journal of Business Ethics, (2019): 1-20,
https://doi.org/10.1007/s10551-019-04148-1.
22
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (5), UN Guide for Anti-Corruption
Policies, https://www.unodc.org/pdf/crime/corruption/UN_Guide.pdf, diakses pada 3 September
2019.
23
Indonesia (25), Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir melalui UU Nomor 36 Tahun 2008, LN Nomor 133 Tahun 2008, TLN Nomor 4893, Pasal
4.

7
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya,
selain menjatuhkan pidana pokok berupa penjara dan denda, pengadilan
sering menjatuhkan hukuman tambahan yang memiliki konsekuensi
finansial terhadap terpidana korupsi, di antaranya (a) perampasan barang
bergerak berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak 24,
(b) pembayaran uang pengganti 25, (c) penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan 26, dan (d) penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu 27. Jika sanksi-sanksi di atas telah dijatuhkan kepada terpidana
korupsi, perlu dianalisis secara mendalam apakah masih dimungkinkan
untuk membebankan kewajiban perpajakan terhadap kekayaan hasil tindak
pidana korupsi yang dimiliki terpidana. Hal yang sama juga perlu dilakukan
terhadap kemungkinan memasukkan pembebanan kewajiban pajak
terutang sebagai bagian dari kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dan
tuntutan tindak pidana korupsi.

Dari sisi penegakan hukum, harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak
pidana korupsi berpotensi tidak dilaporkan dan disetorkan pajaknya oleh
pelaku kejahatan. Para pelaku dapat memanipulasi pajak yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi dalam laporan keuangannya untuk berbagai

24
Perampasan barang bergerak berwujud atau tidak berwujud atau tidak bergerak
merupakan perampasan harta benda yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Indonesia (27), Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999, LN Nomor 140 Tahun 1999,
TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1) huruf a
25
Yang dimaksud dengan pembayaran uang pengganti adalah jumlah uang pengganti yang
dibayarkan terpidana sebanyak-banyaknya harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Tujuan dari pembayaran uang pengganti adalah merampas keuntungan yang telah dinikmati pelaku
dari perbuatan yang dilakukannya, dan bukan semata-mata untuk mengembalikan kerugian negara
yang diakibatkan. Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b. Baca juga Indonesia (3), Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, BN Nomor 2014
Tahun 2014, TBN Nomor 8, Pasal 1.
26
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan diartikan sebagai pencabutan izin usaha atau
penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Indonesia (27),
op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf c.
27
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf d.

8
macam kepentingan pribadi. 28 Perbuatan demikian pada prinsipnya
merupakan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan
Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP). 29 Dalam konteks ini, perlu ditelusuri lebih lanjut apakah konsep ne
bis in idem 30 berlaku bagi pelaku yang telah diputus terbukti melakukan
tindak pidana korupsi, lalu terindikasi melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan karena tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang
mengikat penghasilan dari kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi tersebut.

Akan tetapi, indikasi dilakukannya tindak pidana di bidang perpajakan ini


juga dapat ditemukan pada awal proses penanganan perkara tindak pidana
korupsi. Dalam kerangka teoretis, proses penuntutan atas dua atau lebih
tindak pidana secara sekaligus dimungkinkan dilakukan dengan
menggunakan kerangka gabungan tindak pidana (samenloop). 31 Pada
tataran praktik, penuntut umum juga akan menggunakan berbagai jenis
surat dakwaan 32 sebagai dasar untuk membuktikan tindak pidana yang
dilakukan pelaku. Akan tetapi, di sisi lainnya, proses penanganan perkara
tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan juga
memiliki mekanisme dan prosedur yang berbeda satu sama lain, termasuk
dalam hal kelembagaan yang berwenang menangani perkara tersebut. Oleh
karenanya, riset ini juga akan membahas kemungkinan dilakukannya

28
Chairil Anwar Pohan, Perspektif kepatuhan pajak dalam upaya pemberantasan korupsi,
Prosiding Seminar STIAMI, 1(2), (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia, 2014),
hlm. 51.
29
Indonesia (20), Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009, LN
Nomor 62 Tahun 2009, TLN Nomor 4999, Pasal 39.
30
Indonesia (18), Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, LN Nomor ...
Tahun 1946, TLN Nomor ...
31
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk
Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, (Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1986), hlm.137-213.
32
Indonesia (14), Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Pembuatan Surat Dakwaan,
SEJA Nomor SE-004/JA/11/1993.

9
penggabungan penuntutan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana
di bidang perpajakan.

Di samping itu, untuk memperjelas pelaksanaannya dalam praktik,


koordinasi penegak hukum dan otoritas di bidang perpajakan harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga potensi penerimaan negara
melalui pembebanan kewajiban perpajakan terhadap peningkatan kekayaan
hasil tindak pidana korupsi dapat dimaksimalkan. Perbedaan wewenang,
tugas, dan fungsi yang dimiliki penegak hukum dan Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) harus diidentifikasi dengan rinci untuk menemukan mekanisme
koordinasi terbaik dalam melaksanakan kegiatan ini. Pembelajaran terbaik
dari negara-negara lain juga perlu dilihat untuk memberikan informasi dan
menganalisis peluang kerja sama antara penegak hukum dan DJP sehingga
efektivitas dan efisiensi kinerja dapat dicapai.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan penelitian dalam kajian ini
antara lain:
1. Bagaimana pembebanan kewajiban perpajakan atas peningkatan
kekayaan hasil tindak pidana korupsi diterapkan melalui pertimbangan
aspek berikut:
a. Apakah peningkatan kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana,
termasuk tindak pidana korupsi, dapat dikategorikan sebagai objek
pajak?
b. Apakah penjatuhan pidana yang memiliki konsekuensi finansial
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dapat menghapuskan
kewajiban pajak terpidana atas peningkatan kekayaan hasil tindak
pidana yang diterimanya? Kemudian apakah kekayaan/keuntungan
yang telah dirampas oleh negara sebagai hasil tindak pidana korupsi
dapat ditagihkan pajaknya?
c. Apakah dimungkinkan memasukkan kewajiban pajak terutang atas
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagai bagian
dari penghitungan kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dan
tuntutan perkara tindak pidana korupsi?

10
2. Apakah pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayarkan pajaknya
tersebut dapat dikenakan tindak pidana di bidang perpajakan? Apakah
hal ini bertentangan dengan asas ne bis in idem? Apakah dimungkinkan
penggabungan dakwaan dan tuntutan tindak pidana korupsi dengan
tindak pidana di bidang perpajakan?
3. Bagaimana mekanisme kerja sama yang seharusnya dibangun antara
penegak hukum dan otoritas perpajakan dalam mengoptimalkan potensi
penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap peningkatan
kekayaan hasil tindak pidana korupsi?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mendapatkan gambaran secara utuh mengenai pembebanan
kewajiban perpajakan atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana
korupsi.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kemungkinan penggabungan
penuntutan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang
perpajakan.
3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai mekanisme kerja sama antara
penegak hukum dan otoritas perpajakan dalam rangka optimalisasi
potensi penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap
peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat praktis dan manfaat
teoretis:
a. Manfaat Praktis:
1. Meningkatkan efektivitas penanganan Tindak Pidana Korupsi,
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Perpajakan,
dan tindak pidana lainnya dalam mengoptimalkan pengembalian
kerugian negara.
2. Meningkatkan potensi penerimaan pajak dari hasil tindak pidana
korupsi dan tindak pidana lainnya.
3. Menjadi acuan untuk mengoptimalkan kerja sama antara penegak
hukum dengan otoritas perpajakan.
11
b. Manfaat Teoretis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi upaya penanganan tindak pidana di Indonesia, sehingga
akan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam ranah
ilmu hukum dan administrasi perpajakan.

1.5 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif dan normatif. Data diperoleh dengan melakukan studi pustaka
dan wawancara dengan pakar yang relevan dan pemangku kepentingan.
Studi pustaka dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan
terkait, konsep-konsep hukum pidana dan hukum acara pidana, serta
praktik terbaik dari negara lain. Data-data yang telah terkumpul selanjutnya
akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk menguji
validitas hasil analisis, dilakukan 3 (tiga) kali Focus Group Discussion (FGD)
dengan pakar yang relevan dan pemangku kepentingan di Jakarta,
Yogyakarta, dan Bogor.

1.6 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas latar belakang, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS


PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA
KORUPSI
Bab ini akan membahas pengenaan kewajiban perpajakan
pada peningkatan kekayaan yang diperoleh dari hasil
tindak pidana korupsi.
Pertama, menganalisis aspek teoretis mengenai hasil
kejahatan (proceeds of crime), termasuk hasil tindak pidana
12
korupsi dan apakah peningkatan kekayaan hasil tindak
pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai objek pajak.
Kedua, membahas apakah penjatuhan pidana yang
memiliki konsekuensi finansial terhadap pelaku tindak
pidana korupsi, dapat menghapuskan kewajiban pajak
terpidana atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana
yang diterimanya. Kemudian, apakah
kekayaan/keuntungan yang telah dirampas oleh negara
sebagai hasil tindak pidana korupsi dapat ditagihkan
pajaknya.
Ketiga, membahas kemungkinan memasukkan kewajiban
pajak terutang atas kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi sebagai bagian dari penghitungan kerugian
keuangan Negara dalam dakwaan dan tuntutan perkara
tindak pidana korupsi.

BAB III PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN


TUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
Bagian ini membahas apakah pelaku tindak pidana korupsi
yang tidak membayarkan pajaknya dapat dikenakan tindak
pidana di bidang perpajakan, serta apakah hal ini
bertentangan dengan asas ne bis in idem.
Selain itu, bagian ini juga membahas kemungkinan
dilakukannya penggabungan dakwaan dan tuntutan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan.
Analisis peraturan perundang-undangan juga akan
dilakukan untuk melihat kesesuaian usulan penggabungan

13
dakwaan dengan kewenangan KPK dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi untuk menangani perkara tersebut.

BAB IV MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK


HUKUM DAN OTORITAS PERPAJAKAN DALAM
OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
Bab ini akan membahas mekanisme kerja sama yang harus
dibangun antara penegak hukum dengan otoritas
perpajakan dalam optimalisasi pengembalian kerugian
negara melalui pembebanan kewajiban perpajakan
terhadap hasil tindak pidana korupsi. Untuk memperkaya
pembahasan, praktik-praktik terbaik dari luar negeri
mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam agar dapat
dijadikan referensi kebijakan yang akan diambil.
Selanjutnya, akan dipaparkan tantangan dan hambatan
yang mungkin ditemui dalam melaksanakan koordinasi
tersebut.

BAB V PENUTUP
Bab ini akan menyarikan pembahasan yang dilakukan pada
Bab 1-4 sekaligus memberikan rekomendasi untuk
melakukan optimalisasi pembebanan kewajiban pajak
terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana
korupsi.

14
BAB II
PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS
PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Satu hal yang perlu diklarifikasi berkaitan dengan usulan membebankan


kewajiban perpajakan terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi adalah bisa atau tidaknya hasil korupsi tersebut untuk
dikualifikasikan sebagai objek pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
pertama-tama perlu dijelaskan mengenai konsep hasil kejahatan (proceeds
of crime) untuk menghubungkannya dengan tindak pidana korupsi yang
sedang dibahas. Selain itu, kerangka perundang-undangan yang mengatur
objek pajak dan kewajiban perpajakan, baik dalam kapasitas pribadi
maupun korporasi, termasuk larangan pengurangan pajak pada harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi juga akan dijelaskan pada bab ini.
Terakhir, pembahasan akan diarahkan pada persinggungan pengenaan
pajak pada hasil kejahatan dengan instrumen pidana yang berkaitan dengan
konsekuensi finansial bagi pelaku tindak pidana korupsi, seperti
perampasan barang/keuntungan, pengembalian uang pengganti, hingga
kemungkinan membebankan penagihan kewajiban perpajakan di dalam
dakwaan.

2.1. Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai


Objek Pajak
2.1.1 Aspek Teoretis Mengenai Hasil Kejahatan (Proceeds of Crime)
Definisi mengenai hasil kejahatan dapat ditemukan di beberapa konvensi
internasional seperti United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Against Corruption
(UNCAC). UNTOC menegaskan bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime)
merupakan properti yang berasal atau diperoleh, baik secara langsung
maupun tidak langsung, melalui suatu tindak pidana. 33 Properti yang
dimaksud ketentuan ini dimaknai sebagai berbagai jenis aset, baik

33
UNODC (4), United Nations Convention against Transnational Organized Crime, UNTOC,
Pasal 2 huruf e.

15
berbentuk badan atau tidak berbentuk badan, bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud dan berbagai dokumen maupun instrumen
hukum yang menunjukkan hak atas sesuatu, bunga pinjaman, dan aset
lainnya. 34 Sementara itu, UNCAC juga memberikan definisi serupa, yakni
segala properti yang berasal atau diperoleh, secara langsung maupun tidak
langsung, melalui suatu tindak pidana 35, termasuk yang sudah dihibahkan
atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain atau
korporasi. 36 Edgeworth menambahkan bahwa hasil kejahatan dapat berupa
bunga, dividen, pendapatan, properti yang berasal dari perbuatan ilegal
termasuk peningkatan nilai properti. 37

Di Indonesia, sebagai satu-satunya undang-undang yang secara


eksplisit memberikan definisi mengenai ‘hasil kejahatan’1, Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU) juga mengartikan hasil kejahatan ini
sebagai harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, baik yang
berasal dari tindak pidana korupsi, narkotika, perpajakan, pencucian
uang, dan tindak pidana lain yang memiliki ancaman pidana penjara
selama minimal empat tahun.1 Selain itu, jika mencermati rumusan
Pasal 39 ayat (1) KUHP, hasil kejahatan dapat ditafsirkan sebagai
‘barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan’.1

Pengaturan hasil tindak pidana ini biasanya dikaitkan dengan penyitaan dan
perampasan barang dalam perkara pidana. Di dalam yurisdiksi Britania
Raya, misalnya, berlaku Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) yang bertujuan
untuk menghindarkan pelaku kejahatan menikmati keuntungan-

34
Ibid., Pasal 2 huruf d.
35
UNODC (3), United Nations Convention against Corruption, UNCAC, Pasal 2 huruf e.
36
Ibid., Pasal 2 ayat (6).
37
John, L. Worral, Problem-Oriented Guides for Police Response Guides Series Guide No.7:
Asset Forfeiture, (California: Community Oriented Policing Service – U.S Department of Justice, 2008),
hlm. 5. Lihat juga Edgeworth, D, Assets Forfeiture: Practice and Procedure in State and Federal Courts,
(Chicago: American Bar Association, Criminal Justice Section, 2004), hlm. 11.

16
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukannya. 38 Jumlah
yang dirampas harus setara dengan keuntungan yang diterima oleh pelaku
tindak pidana. 39 Di Australia, aset-aset yang yang diperoleh dari tindak
pidana akan disita dan dirampas oleh Negara. 40 Pengaturan yang demikian
juga memiliki tujuan yang sama dengan POCA dan diharapkan pelaku
tindak pidana tidak mengulangi tindak pidana akibat tindakan punitif yang
dilakukan terhadap aset mereka. 41 Di samping itu, penyitaan dan
perampasan tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah digunakannya
barang-barang dan/atau keuntungan tersebut untuk tujuan pelaksanaan
tindak pidana di masa yang akan datang. 42 Sementara itu, di Belanda,
perampasan tidak hanya dilakukan atas hasil kejahatan yang diperoleh
secara langsung atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi juga hasil
kejahatan yang tidak diperoleh secara langsung. 43

Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi, barang-barang yang


diperoleh dari jenis kejahatan ini dibenarkan untuk dirampas oleh Negara. 44
Dalam pandangan R. Soesilo, secara umum, barang-barang hasil kejahatan
yang dapat dirampas berdasarkan putusan pengadilan memiliki dua syarat,
yaitu:

“... barang (termasuk pula binatang) yang diperoleh dengan


kejahatan, misalnya uang palsu yang diperoleh dengan melakukan
kejahatan memalsukan uang, yang didapat dengan kejahatan suap,

38
United Kingdom, Proceeds of Crime Act 2002, POCA,
http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2002/29/data.pdf, diakses pada 10 September 2019.
39
Ibid., Section 7 (1).
40
Nicholas Cowdery, Explainer: How Proceeds-of-Crime Law works in Australia,
https://theconversation.com/explainer-how-proceeds-of-crime-law-works-in-australia-78600,
diakses pada 27 September 2019.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Hans Nelen, Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime approach in the
Netherlands, Crime, Law and Social Change, 41(5), (2004): 517-534.
44
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.

17
dan lain-lain. Barang ini bisa disebut ‘corpora dilicti’ dan senantiasa
dapat dirampas asal kepunyaan terhukum 45 dan asal dari kejahatan
(baik ... dolus maupun ... culpa)” 46

Akan tetapi, di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31


Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), barang-barang hasil
kejahatan yang dapat dirampas tersebut diperluas hingga mencakup barang
bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang-barang tidak
bergerak, perusahaan milik terpidana, termasuk barang yang menggantikan
barang-barang tersebut. 47 Perampasan ini pun baru bisa dilakukan apabila
didasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht). 48

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa hasil kejahatan


pada tindak pidana korupsi erat kaitannya dengan diperolehnya
keuntungan finansial dari kejahatan yang dilakukan pelaku. 49 Sebagai
contoh, dalam kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada)
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Lebak, Kabupaten Empat Lawang,
serta Kabupaten Palembang pada tahun 2013, Akil Mochtar yang menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti menerima suap senilai lebih

45
Menurut R. Soesilo, Pasal 39 KUHP mengharuskan barang-barang yang dirampas
merupakan barang yang dimiliki terpidana. Oleh karenanya, apabila barang tersebut bukan milik
terpidana, secara hukum tidak dibenrkan untuk dirampas Negara. Selain itu, R. Soesilo menambahkan
bahwa status kepemilikan barang itu harus secara jelas dimiliki oleh terpidana ketika perkara pidana
tersebut diputus oleh pengadilan. Baca R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 58.
46
Ibid.
47
Indonesia (24), loc.cit.
48
Indonesia (17), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor
76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal 46 ayat (2). Baca juga Indonesia (4), Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI No. 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan
Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, PERMENKUMHAM Nomor
16 Tahun 2014, BN Nomor 876 Tahun 2014, Pasal 1 angka 4.
49
Maud Perdriel Vaissiere, The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Officials:
Making the offence of illicit enrichment enforceable, U4 Brief January 2012:1, (Norway: CMI. CHR
Michelsen Institute), hlm. 1.

18
dari Rp 40 miliar untuk memuluskan pemenangan salah satu calon dalam
pemilihan tersebut. 50 Di kasus lain, Setya Novanto yang terbukti
memperkaya diri sebanyak $ 7,3 juta dolar dan jam tangan Richard Mille
seharga $ 135.000 dolar dari proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk
berbasis elektronik (E-KTP). 51

Dari kedua kasus ini, terlihat bahwa sebaran kekayaan yang diperoleh
pelaku pada tindak pidana korupsi dapat berupa uang maupun barang-
barang lain selain uang. Hal ini juga sejalan dengan rumusan tindak pidana
korupsi pada UU Tipikor yang tidak membatasi kekayaan atau keuntungan
yang diperoleh pelaku pada perolehan uang semata. Jika mengacu pada
Tabel 2.1, terlihat bahwa perbuatan korupsi yang diatur lebih banyak
menekankan pada perbuatan dan akibat yang dilarang, tanpa menentukan
secara spesifik apakah hasil kejahatannya berupa uang atau barang. Dengan
melihat konstruksi berpikir Pasal 39 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor, prinsip
terpenting dalam menentukan barang bukti dalam perkara korupsi sebagai
hasil tindak pidana adalah adanya hubungan sedemikian rupa yang
menunjukkan bahwa barang dan/atau uang tersebut diperoleh dari tindak
pidana korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk
apabila barang-barang hasil korupsi tersebut telah digantikan dengan
barang lainnya.

Meski demikian, UU Tipikor mengatur secara terpisah konsekuensi yang


diterima pelaku apabila hasil korupsi yang diperoleh berupa uang. Berbeda
dengan hasil korupsi yang berupa barang, baik barang bergerak maupun
tidak bergerak, jika hasil tindak pidana korupsi yang diterima pelaku adalah
uang, maka pelaku akan dibebankan untuk membayar uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi. 52 Akan tetapi, apabila dalam proses penyidikan

50
Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015, hlm. 602-604.
51
Abba Gabrillin, Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara,
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/29/16091791/setya-novanto-dituntut-16-tahun-
penjara?page=all, diakses pada 21 September 2019.
52
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.

19
dan penuntutan, dilakukan penyitaan terhadap hasil korupsi yang diperoleh
pelaku, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Uang Pengganti
menentukan harta tersebut akan diperhitungkan dalam menentukan
jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana. 53

Setelah memahami konsep dan pemetaan konteks hasil tindak pidana


korupsi, pembahasan berikutnya akan diarahkan untuk menjawab apakah
kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut dapat dibebankan
kewajiban penagihan pajak kepada pelaku korupsi. Analisis juga akan
mengarah pada kemungkinan membebankan kewajiban perpajakan pada
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bahkan setelah hasil
korupsi tersebut dirampas oleh Negara atau pelaku juga dibebankan untuk
membayar uang pengganti oleh pengadilan.

53
Indonesia (1), op.cit., Pasal 2.

20
22
Delik gratifikasi Pasal 12B jo. Pasal 12C Pejabat penyelenggara negara menerima gratifikasi
terkait jabatannya dan berlawanan dengan
UU Tipikor
kewajibannya, serta tidak melaporkan kepada KPK
dalam waktu 30 hari sejak gratifikasi diterima
Delik perbuatan curang Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c, Tindakan curang oleh pemborong ahli bangunan,
d, Pasal 7 ayat (2), dan pengawas proyek, rekanan TNI/Polri yang merugikan
Pasal 12 huruf h UU negara, serta pejabat penyelenggara negara yang
Tipikor menyerobot tanah
Delik benturan kepentingan dalam Pasal 12 huruf i UU Tipikor Pejabat penyelenggara negara dengan sengaja baik
pengadaan langsung atau tidak langsung turut serta dalam
pengadaan barang yang diurusnya dalam instansi
perusahaan
2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi
Sebagai Objek Pajak
Setiap riset yang menganalisis kemungkinan pembebanan kewajiban
perpajakan atas suatu hal akan selalu mengkaji sistem perpajakan yang
berlaku pada suatu negara, tak terkecuali pada kajian ini. Untuk
memperjelas konteks yang sedang dibangun, penting kiranya untuk terlebih
dahulu memahami makna dan konsep pajak yang selama ini berkembang di
dunia.

Martin T. Crowe melihat pajak sebagai bentuk kontribusi yang wajib


diberikan kepada negara, dijalankan untuk kepentingan masyarakat secara
umum, dengan tujuan untuk membiayai berbagai hal yang dijalankan untuk
melaksanakan fungsi publik atau untuk kepentingan penyusunan regulasi,
tanpa memberikan manfaat tertentu kepada mereka yang membayarkan
pajak tersebut. 55 Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Rochmat Soemitro
mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
imbalan (kontra pretasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 56

Untuk menggambarkan karakteristik dan konsep pajak secara lebih rinci,


Crowe 57 dan Seligman 58 membagi kekuatan perpajakan (taxing power) ke
dalam tiga kategori sebagai berikut:

“... fees, such as licenses, franchises and permits; special


assessments, such as an assessment to pave a road; and taxes
proper, such as the income tax, where those paying the tax have no
special claim on any of the proceeds.

55
Martin T. Crowe, The Moral Obligation of Paying Just Taxes, The Catholic University of
America Studies in Sacred Theology, 84, (1944): 14-15.
56
Fidel, Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang KUP, PPh, PPN,
Pengadilan Pajak, (Jakarta: PT Carofin Media, 2015), hlm. 5
57
Martin T. Crowe, op.cit., hlm. 11.
58
E. R. Seligman, Essays in Taxation, 406, (1931).

23
In the case of fees and assessments, those paying are entitled to some
right. Those who pay for an automobile license are entitled to drive.
Those who pay for a business permit are entitled to operate a business.
Those who pay to have their road paved are entitled to have it paved.

But in the case of taxes, those who pay do not have any
automatic right to any of the proceeds. New York residents who
pay a federal income tax may have their money used to construct a
bridge in California, even though they derive no direct benefit for their
tax dollars. And they have no right to demand that a bridge be built in
New York. All the taxes the government collects go into a
common pool and are distributed as the government sees fit.
Taxpayers have an obligation to pay, but they have no specific
right to any of the proceeds.” 59

Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi


terutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
dipergunakan untuk keperluan negara demi kemakmuran rakyat sebesar-
besarnya. 60 Dalam konteks sistem perpajakan di Indonesia, pajak dikenakan
terhadap Wajib Pajak yakni orang pribadi, badan dan warisan. 61 Pada
prinsipnya pajak terutang muncul apabila ada objek pajak yang dapat
dikenai pajak. 62 Dengan kata lain, jika seseorang atau suatu badan memiliki
sumber pendapatan yang dapat dikenakan pajak oleh negara, maka mereka
harus membayarkan pajak atas sumber pendapatan tersebut.

59
Robert W. McGee, The Philosophy of Taxation and Public Finance, (Massachusetts: Kluwer
Academic Publishers, 2004), hlm. 16.
60
Indonesia (18), op.cit., Pasal 1 angka 1.
61
Ibid., Pasal 1 angka 2.
62
Ibid., Penjelasan Pasal 12 ayat (1).

24
Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki tujuh jenis pajak yang
dapat dibebankan terhadap Wajib Pajak, yang selengkapnya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang
pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan
yang diterimanya selama satu tahun pajak. 63 Penghasilan di sini
diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk gaji, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, hadiah, laba usaha, bunga, dividen, royalti,
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan belum kena
pajak hingga surplus Bank Indonesia. 64 Namun demikian, UU PPh
mengecualikan penghasilan-penghasilan tertentu sebagai objek pajak
ini, seperti warisan, bantuan atau sumbangan, dan beasiswa. 65

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa adalah pungutan yang
dibebankan terhadap setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa
dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. 66 Pajak ini menjadi
kewajiban konsumen yang membeli barang atau menggunakan jasa
produsen, tetapi yang menyetorkan pajaknya adalah produsen
tersebut. 67 Oleh karena itu, PPN ini dapat dikategorikan sebagai jenis
pajak tidak langsung. 68 Adapun besar PPN yang harus dibayarkan

63
Indonesia (25), op.cit, Pasal 1
64
Ibid., Pasal 4 ayat (1).
65
Untuk mengetahui jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan
dapat dilihat di Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
66
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), Pengembalian PPN,
https://www.kemenkeu.go.id/page/pengembalian-ppn/, diakses pada 29 September 2019.
67
Ibid.
68
Ibid.

25
oleh penanggung pajak atas barang atau jasa yang dibelinya adalah
10% (sepuluh persen). 69

Pasal 4 UU PPN merinci pembebanan jenis pajak ini terhadap


delapan jenis barang dan jasa, di antaranya:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha
Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Namun demikian, seperti halnya PPh di atas, undang-undang ini juga


mengecualikan beberapa barang dan/atau jasa dari pembebanan
PPN, seperti barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia, makanan dan minuman
yang disajikan di hotel, restoran, warung, dan sebagainya, uang, emas
batangan, dan surat berharga 70 serta jasa asuransi, keagamaan,
pendidikan, ketenagakerjaan, hingga jasa boga atau katering. 71

69
Indonesia (26), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, LN Nomor 150 Tahun 2009, TLN Nomor 5069, Pasal 7 ayat
(1).
70
Ibid., Pasal 4A ayat (2).
71
Selengkapnya baca Ibid., Pasal 4A ayat (3).

26
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang
dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah dan
dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau
mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya. 72 Pajak ini hanya dikenakan sekali pada saat
penyerahan atau pada waktu impor barang-barang yang tergolong
mewah ini. 73 Adapun pembebanan jenis pajak ini dimaksudkan untuk
(a) menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen
berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi, (b)
mengendalikan pola konsumsi barang-barang yang tergolong
mewah, (c) melindungi produsen kecil atau tradisional, dan (d)
mengamankan penerimaan negara. 74 Besaran pajak yang dikenakan
bervariasi mulai dari 10% (sepuluh persen) hingga maksimal 200%
(dua ratus persen). 75

UU PPN juga memberikan panduan pengenaan pajak atas barang-


barang ini, dengan ketentuan (a) barang tersebut bukan merupakan
barang kebutuhan pokok, (b) hanya dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu, (c) pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi, dan/atau (d) pengonsumsian barang tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan status pemilik barang. 76 Lebih
lanjut, Menteri Keuangan menentukan jenis barang-barang yang
tergolong mewah, yang dibedakan antara kendaraan bermotor 77

72
Ibid., Pasal 5 ayat (1).
73
Ibid., Pasal 5 ayat (2).
74
Ibid., Penjelasan Pasal 5 ayat (1).
75
Ibid., Pasal 8.
76
Ibid.
77
Indonesia (6), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Kendaraan Bermotor
yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PERMENKEU Nomor 64/PMK.011/2014 sebagaimana
diubah dengan PERMENKEU Nomor 33/PMK.010/2017, BN Nomor 360 Tahun 2017, Lampiran I-VII.

27
maupun non-kendaraan bermotor 78, seperti hunian mewah dengan
harga jual minimal Rp 30 miliar, helikopter, kapal pesiar mewah, dan
sebagainya.

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi
dan bangunan yang muncul karena adanya keuntungan atau
kedudukan sosial-ekonomi bagi individu maupun badan yang
memiliki alas hak atau memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan
tersebut. 79 Besar tarif yang dikenakan untuk PBB ini adalah 0,5%
(lima persepuluh persen) 80 dan dikecualikan 81 bagi bumi dan
bangunan, yang:
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh
desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

78
Indonesia (5), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017 sebagaimana diubah degan PERMENKEU Nomor
86/PMK.010/2019.
79
Indonesia (23), Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, UU Nomor 12 Tahun 1985
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994, LN Nomor 62 Tahun 1994, TLN Nomor 3569,
Pasal 4 ayat (1).
80
Ibid., Pasal 5.
81
Ibid., Pasal 3 ayat (1).

28
Sejak lahirnya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 82,
pemungutan PBB di sektor pedesaan dan perkotaan menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah. 83 Sementara itu, PBB di sektor
pertambangan, perhutanan, dan perkebunan masih dipungut dan
dikelola oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan. 84
Yang menjadi dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) yang merupakan harga rata-rata dari yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar 85. Jika tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ini ditentukan melalui perbandingan harga
dengan obyek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP
pengganti. 86 Besaran NJOP ini dapat ditentukan dengan pendekatan
pasar atau perbandingan harga (market data/sales comparison
approach), pendekatan biaya (cost approach), dan/atau pendekatan
kapitalisasi pendapatan (income approach). 87 Meskipun Kepala
Daerah diwajibkan untuk menetapkan besaran NJOP setiap tiga
tahun 88, Menteri Keuangan juga memberikan pedoman untuk secara
objektif memberikan penilaian sekaligus menetapkan nilai NJOP di
masing-masing wilayah tersebut. 89

5. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen dan terutang
sejak dokumen ditandatangani oleh pihak-pihak yang

82
Indonesia (24), Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 28 Tahun
2009, LN Nomor 130 Tahun 2009, TLN Nomor 5049.
83
Rani Maulida (1), Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan, https://www.online-
pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan, diakses pada 29 September 2019.
84
Ibid.
85
Indonesia (23), op.cit., Pasal 1 angka 3.
86
Ibid.
87
Indonesia (23), op.cit., Pasal 79 ayat (1) dan Penjelasan Umum.
88
Untuk beberapa objek pajak tertentu, NJOP nya ditetapkan setiap tahun. Ibid., Pasal 79.
89
Sebagai contoh, Menteri Keuangan telah menerbitkan PERMENKEU Nomor
208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

29
berkepentingan atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen
tersebut disusun oleh satu pihak. 90 Undang-Undang Bea Meterai
menentukan jenis dokumen yang dikenakan pajak ini dan biasanya
dokumen-dokumen tersebut digunakan oleh masyarakat dalam
bidang hukum. 91 Adapun jenis dokumen 92 yang dibebankan bea
meterai, antara lain:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan
tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris sebagai salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang
dalam rekening di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; atau
4) yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya
atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek;
f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di
muka Pengadilan, yaitu:
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan
lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud
semula.

90
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bea Meterai,
https://www.pajak.go.id/id/bea-meterai-0, diakses pada 29 September 2019.
91
Indonesia (15), Undang-Undang Bea Meterai, UU Nomor 13 Tahun 1985, LN Nomor 69
Tahun 1985, TLN Nomor 3313, Penjelasan Umum.
92
Indonesia (10), Peraturan Pemerintah Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai, PP Nomor 24 Tahun 2000, LN Nomor 51
Tahun 2000, TLN Nomor 3950, Pasal 1.

30
6. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan 93, yang
terjadi baik dengan pemindahan hak 94 atau pemberian hak baru 95.
Adapun hak atas tanah dan bangunan yang dijadikan alas
pembebanan bea ini bervariasi dari hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun,
hingga hak pengelolaan. 96 Pada dasarnya, setiap individu dan badan
wajib membayarkan BPHTB untuk setiap hak atas tanah dan
bangunan yang diperolehnya. Akan tetapi, UU BPHTB mengatur
beberapa objek pajak yang dikecualikan 97 membayar bea ini, yaitu
yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

93
Indonesia (16), Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU Nomor
21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, LN Nomor 130 Tahun 2000,
TLN Nomor 3988, Pasal 1 angka 1.
94
Pemindahan hak dapat terjadi karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan
hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Ibid., Pasal 2 ayat
(2) huruf a.
95
Pemberian hak baru dapat terjadi karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan
hak. Ibid., Pasal 2 ayat (2) huruf b.
96
Ibid., Pasal 2 ayat (3).
97
Ibid., Pasal 3 ayat (1).

31
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah.

7. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. 98 Jenis pajak ini memiliki ciri-ciri 99
sebagai berikut:
1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak
pusat yang diserahkan ke daerah sebagai pajak daerah;
2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang
dikuasainya;
3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan atau
pengeluaran untuk pembangunan dan pemerintahan daerah;
4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
(PERDA) dan undang-undang sehingga pajaknya dapat
dipaksakan kepada subjek pajaknya.

Adapun pajak daerah ini dapat dikelompokkan menjadi (a) pajak


provinsi, yang terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak
air permukaan, dan pajak rokok; 100 dan pajak kabupaten/kota yang
meliputi pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan,
mineral bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung
walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, dan BPHTB. 101 Namun
demikian, pajak ini dapat tidak dipungut jika potensinya dianggap
kurang memadai dan/atau bisa disesuaikan dengan kebijakan

98
Indonesia (24), op.cit., Pasal 1 angka 10.
99
Rani Maulida (2), Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan Tarifnya,
https://www.online-pajak.com/pajak-daerah, diakses pada 29 September 2019.
100
Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (1).
101
Ibid., Pasal 2 ayat (2).

32
masing-masing daerah dalam PERDA yang dimilikinya. 102 Untuk
daerah yang setingkat dengan provinsi, kedua kelompok pajak ini
dapat dipungut sebagai pajak daerahnya. 103

Peningkatan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi


dapat dilihat sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh). Pasalnya, UU KUP
menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas dimana esensi pengenaan jenis pajak ini selalu berhubungan
dengan tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak yang digunakan
untuk kepentingan konsumsi maupun untuk menambah kekayaan
individu atau badan yang menjadi subjek pajak PPh, dari mana pun
asalnya.1 Sepanjang syarat yang ditentukan dalam Pasal 4 UU PPh
tersebut terpenuhi, terlepas penghasilan tersebut diterima sebagai
bagian dari penghasilan yang sah atau tidak, maka kekayaan yang
demikian dapat dibebankan Pajak Penghasilan.1

Sebagai contoh, dalam kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar di atas,
diterimanya hadiah berupa uang sejumlah lebih dari Rp 40 miliar oleh yang
bersangkutan secara nyata menambah kemampuan ekonomisnya sebagai
Wajib Pajak dan digunakan untuk menambah kekayaan pelaku sebagai
individu. Oleh karenanya, UU KUP akan melihat kekayaan tersebut sebagai
penghasilan dan dapat dibebankan PPh terhadapnya.

Di samping itu, kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat
dikonstruksikan sebagai ‘gratifikasi’ 104 atau ‘imbalan dalam bentuk

102
Ibid., Pasal 2 ayat (4).
103
Ibid., Pasal 2 ayat (5).
104
UU KUP tidak memberikan pengertian apapun mengenai gratifikasi. Oleh karenanya,
definisi gratifikasi dalam konteks ini harus mengacu pada UU PTPK, yakni pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut bisa diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Indonesia (27), op.cit., Penjelasan Pasal
12B ayat (1).

33
lainnya’ 105 sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh atau
‘hadiah’ 106 seperti yang dirumuskan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU PPh.

Dalam kasus suap pilkada Akil Mochtar di atas, perlu digarisbawahi bahwa
yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c dan Pasal 11 UU Tipikor serta Pasal
3 UU TPPU dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU TPPU 2003 107. 108 Jika
menelusuri rumusan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 12 huruf c dan
Pasal 11 UU Tipikor 109, kedua pasal tersebut melarang pegawai negeri,
penyelenggara negara, dan hakim, untuk tidak menerima ‘hadiah atau janji’
yang berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya atau putusan yang akan/sedang diadilinya. Mengingat
kedua pasal tersebut merupakan ketentuan yang diadopsi dari Pasal 418 dan
Pasal 420 ayat (1) KUHP, terminologi ‘hadiah’ yang dimaksud UU Tipikor
juga mengikuti makna yang sama dalam KUHP. R. Soesilo menilai ‘hadiah’
ini tidak perlu dibatasi sebagai uang, tetapi dapat juga berupa barang. 110

Penafsiran yang demikian tentu dapat disandingkan dengan terminologi


‘imbalan dalam bentuk lainnya’, ‘hadiah’, atau ‘gratifikasi’ seperti yang
diatur UU KUP. Keduanya memiliki persinggungan dengan pekerjaan yang

105
Dalam UU KUP, imbalan dalam bentuk lainnya termasuk juga imbalan dalam bentuk natura
yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf
a.
106
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Ibid., Penjelasan Pasal
4 ayat (1) huruf b.
107
Indonesia (25), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 15 Tahun 2002
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, LN Nomor 108 Tahun 2003, TLN Nomor 4324,
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c. Undang-undang ini telah dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 8
Tahun 2010 yang mengatur hal yang sama.
108
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
10/PID.SUS-TPK/2014/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
63/PID/TPK/2014/PT.DKI, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015.
109
Untuk kepentingan analisis pada bagian ini, kasus Akil Mochtar hanya akan difokuskan pada
tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukan oleh yang bersangkutan.
110
R. Soesilo, op.cit., hlm. 284-286.

34
dilakukan oleh subjek pajak, baik dalam konteks pembayaran atau imbalan
yang berhubungan dengan pekerjaan maupun hadiah yang diperoleh karena
melakukan pekerjaan. 111 Mengingat Akil Mochtar menerima uang tersebut
untuk mempengaruhi penilaiannya atas putusan yang ditangani olehnya,
dapat diargumentasikan bahwa tambahan penghasilan ini adalah ‘imbalan
dalam bentuk lainnya’ atau ‘hadiah’ yang diperoleh hakim atas pekerjaan
yang dilakukannya dengan maksud untuk memenangkan salah satu pihak
dalam kasus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah
Konsitusi. Selain itu, meskipun UU Tipikor mensyaratkan adanya batas
waktu 30 hari untuk melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK 112,
peningkatan kekayaan Akil Mochtar ini juga dapat dilihat sebagai
'gratifikasi’ dalam UU KUP mengingat pemberian uang tersebut dilakukan
dengan melihat pada jabatan hakim konstitusi yang melekat pada diri
Akil. 113

Di samping itu, penting juga untuk diingat bahwa kekayaan yang mungkin
diterima oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat berbentuk barang atau
benda lain yang tidak berbentuk uang. Namun demikian, pajak yang
dibebankan terhadap jenis kekayaan yang seperti ini memiliki mekanisme
pemungutan yang berbeda dengan pajak penghasilan. Jika hasil korupsi
berbentuk barang yang dihasilkan oleh produsen, maka dengan sendirinya
barang-barang tersebut akan secara otomatis dikenakan PPN yang
dibebankan terhadap pembeli barang sesaat ketika barang tersebut
diserahkan oleh penjual kepada pembeli. 114 Dengan menggunakan logika
ini, jika pun pelaku mengambil keuntungan berupa barang dari tindak
pidana korupsi, kewajiban perpajakan atas barang yang diperoleh dari
kejahatan tersebut telah selesai saat transaksi jual-beli dengan
membayarkan harga barang yang telah dihitung berikut PPN atas barang
tersebut.

111
Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf b.
112
Indonesia (27), op.cit., Pasal 12C.
113
Ibid., Pasal 11.
114
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), loc.cit.

35
Hal yang sama juga terjadi ketika barang yang diperoleh melalui tindak
pidana korupsi merupakan barang mewah. Pada titik ini, jenis pajak yang
berlaku adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Akan tetapi,
PPn BM ini dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau
mengimpor barang mewah 115 dan hanya dibayarkan sekali ketika
penyerahan barang atau saat melakukan impor barang mewah tersebut. 116
Oleh karena itu, seandainya pelaku tindak pidana korupsi menerima suap
berupa yacht 117 sebagai hadiah karena melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara, maka PPn BM atas yacht tersebut sudah selesai
ketika produsen menghasilkan jenis kapal pesiar ini atau ketika pengusaha
mengimpor barang tersebut. Penerima suap tidak akan bisa dibebankan
untuk membayarkan PPn BM atas yacht yang diberikan oleh pemberi suap
tersebut.

Di sisi lain, apabila kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
berupa benda tidak bergerak, seperti tanah atau apartemen, jenis pajak yang
relevan adalah PBB. Akan tetapi, dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa jenis pajak yang demikian akan secara otomatis terutang kepada
subjek pajak setelah dilakukan penghitungan oleh institusi pemungut pajak
mengenai besaran PBB yang harus dibayarkan atas objek PBB ini. 118 Perlu
dipahami bahwa pembayaran PBB atas bumi dan bangunan ini melekat
pada objeknya, terlepas dari siapapun yang memperoleh keuntungan atau
kedudukan sosial-ekonomi dari bumi dan bangunan tersebut. 119 Dengan

115
Indonesia (26), op.cit., Pasal 5 ayat (1).
116
Ibid., Pasal 5 ayat (2).
117
Yacht merupakan salah satu barang non-kendaraan bermotor yang dibebankan PPn BM
oleh PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017.
118
Sistem pemungutan pajak dengan model ini disebut sebagai official assessment. Dalam
sistem ini, besarnya pajak terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Wajib pajak
dalam hal ini bersifat pasif dan menunggu penyampaian utang pajak yang ditetapkan oleh institusi
pajak. Jenis pajak yang menggunakan sistem pemungutan ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
atau jenis pajak daerah lainnya. Fidel, op.cit., hlm. 13.
119
Indonesia (23), op.cit., Pasal 4 ayat (1).

36
demikian, meskipun tanah atau apartemen di atas ditransaksikan dalam
suap-menyuap atau ditargetkan sebagai hasil korupsi, PBB akan selalu
dibebankan terhadap objek-objek ini dan dipungut oleh institusi pajak.
Oleh karena itu, pembebanan kewajiban perpajakan dan pemungutan pajak
atas bumi dan bangunan akan tetap berjalan normal, bahkan jika objek
tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi.

Analisis serupa berlaku juga untuk pembebanan BPHTB dan Pajak Daerah.
Seperti yang diketahui bersama, BPHTB merupakan pungutan yang
dibebankan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan dan harus
dibayarkan oleh individu untuk setiap alas hak yang diperolehnya. 120 Jika
koruptor memperoleh tanah atau bangunan sebagai hasil kejahatannya,
secara otomatis ia harus membayarkan BPHTB terhadap perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya. Kewajiban ini tidak akan
berbeda seandainya ia mendapatkan tanah dan/atau bangunan melalui
transaksi yang sah, seperti jual-beli. Seperti halnya PBB, pembebanan
kewajiban perpajakan ini selalu menempel pada perolehan hak atas tanah
dan bangunan tersebut dan akan selalu dipungut oleh institusi pajak
setempat. 121 Logika yang sama juga diberlakukan bagi pembebanan Pajak
Daerah. Seandainya pelaku tindak pidana korupsi memperoleh kendaraan
bermotor dalam transaksi suap-menyuap, yang bersangkutan akan tetap
berkewajiban membayarkan pajak kendaraan bermotornya ke Pemerintah
Provinsi 122, selayaknya warga negara lain yang memiliki kendaraan
bermotor. Mekanisme ini akan berjalan seperti biasanya meskipun objek
pajak daerah tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Sementara itu, pembebanan bea meterai juga akan terutang ketika para
pihak menandatangani dokumen atau menyerahkan dokumen-dokumen
yang menjadi objek bea meterai apabila dokumen dibuat oleh satu pihak

120
Indonesia (13), op.cit., Pasal 1 angka 1.
121
Khusus untuk PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB, pemungutan pajak akan dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (2).
122
Ibid., Pasal 2 ayat (1).

37
saja. 123 Sebagai contoh, pelaku korupsi yang menerima cek senilai Rp 500
juta secara otomatis akan dibebani bea meterai sebesar Rp 6.000,00 (enam
ribu rupiah) ketika menerima cek tersebut dari pemberi cek. 124 Proses
pembebanan kewajiban perpajakan yang demikian juga akan terus berlaku
seperti halnya pada penandatanganan atau perolehan dokumen yang
menjadi objek bea meterai pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak ada hal
baru yang menjadi dasar pembebanan pajak atas hasil tindak pidana korupsi
pada jenis pajak ini.

123
Indonesia (13), op.cit., Penjelasan Umum.
124
Indonesia (10), loc.cit.

38
Diagram 2.1
SKEMA PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN
TERHADAP PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

39
Praktik ini juga dilakukan di Jerman. Pada tahun 2015 125, Mahkamah Pajak
Jerman (Supreme Tax Court) menangani perkara yang mempersoalkan
pengurangan pajak 126 yang diperhitungkan ke dalam komponen ganti rugi,
hilangnya bonus, dan hak pensiun seorang karyawan yang diputus
hubungan kerjanya oleh suatu perusahaan. 127 Yang menjadi penyebab
pemecatan dalam kasus ini berkaitan dengan suap yang diterima secara
reguler oleh karyawan tersebut dari sebuah pemasok barang (supplier). 128
Selanjutnya, ia mengeluarkan faktur atas nama istrinya untuk layanan yang
sama sekali tidak pernah diberikan oleh perusahaan serta membebankan
pajak atasnya dan dimasukkan ke dalam pemasukan perusahaan. 129

Selain mendapatkan sanksi pemecatan, karyawan ini setuju untuk


membayarkan ganti rugi yang dialami perusahaan atas suap yang
diterimanya tersebut, serta melepaskan hak pensiun dan bonus yang belum
dibayarkan oleh perusahaan. 130 Karyawan ini lantas mengklaim
pengurangan pajak ke institusi pajak karena komponen-komponen yang
dibayarkan ke perusahaan berasal dari penghasilan dirinya. 131 Namun,
kantor pajak menolak permohonan ini dan bahkan mengklasifikasikannya
sebagai penghasilan tambahan yang diperoleh si karyawan. 132 Lebih lanjut,
kompensasi yang dibayarkan ke perusahaan dianggap sebagai biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan tersebut. 133

125
German Supreme Tax Court Judgment, IX R26/4, 16 June 2015.
126
Biaya-biaya yang dapat dihitung sebagai pengurang pajak (deductible expense) dan yang
tidak dapat dijadikan pengurang pajak (non-deductible expense) akan dibahas pada sub-bab
berikutnya.
127
PricewaterhouseCoopers (PwC), Tax & Legal News, 6, (29 Oktober 2015): hlm. 3.
128
Ibid.
129
Ibid.
130
Ibid.
131
Ibid.
132
Ibid.
133
Ibid.

40
Oleh karena itu, terhadap hal ini, tetap dapat dibebankan pajak yang harus
dibayarkan oleh karyawan di atas.

Terhadap permasalahan ini, Mahkamah Pajak Jerman menilai:

“ ... The bonus and pension forfeitures were not deductible at all, as the
income would only have been taxable when paid. The compensation
payment to the employer was neither an expense of earning
employment income leading to a generally deductible loss, nor was it a
repayment of previously taxed income that would similarly have been
generally deductible. It was a payment for damages caused by the
employee’s dishonesty and was thus linked to the fruits of that
dishonesty – to the bribe receipts taxed as other income. It could
therefore only be set against other income, either now or in the future,
as and when other income came to be earned” 134

Meskipun perkara di atas terjadi pada ranah privat dan tidak sama dengan
konstruksi suap yang ditentukan oleh UU Tipikor, akan tetapi esensi kedua
perbuatan tersebut adalah sama, yakni diberikannya sesuatu kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya. Dengan demikian, belajar dari pertimbangan Mahkamah
Pajak Jerman di atas, dapat disimpulkan bahwa uang suap dapat dibebankan
kewajiban pajak yang tetap harus dibayarkan dan dilaporkan oleh Wajib
Pajak kepada Negara.

2.1.3 Larangan Pengurangan Pajak atas Biaya Korupsi


Sehubungan dengan klarifikasi atas kemungkinan membebankan kewajiban
perpajakan terhadap peningkatan kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, hal lain yang penting untuk didiskusikan secara mendalam
adalah larangan pengenaan pajak atas biaya korupsi. Konsep ini pertama
kali diperkenalkan melalui Pasal 12 ayat (4) UNCAC dengan tujuan agar
pelaku korupsi tidak mendapatkan keuntungan fiskal dari kejahatan yang

134
German Supreme Tax Court, loc.cit.

41
telah dilakukannya. 135 Lebih lanjut, ketentuan ini secara eksplisit melarang
Negara Pihak UNCAC memperhitungkan pengeluaran-pengeluaran yang
merupakan biaya suap dan, jika dinilai pantas, termasuk juga biaya-biaya
lain yang dikeluarkan untuk kepentingan lebih lanjut perbuatan korupsi
tersebut, sebagai komponen pengurang pajak. 136

Ketentuan di atas akan sangat berhubungan dengan penghitungan nilai


pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara atas tambahan
penghasilan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi. Dalam bidang
perpajakan, secara umum, besarnya nilai pajak akan ditentukan
berdasarkan jenis pajak dan tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak yang
menjadi tanggung jawab wajib pajak. 137 Sebagai contoh, sebagai dasar
pengenaan pajak atas kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
besar PPh yang harus dibayar akan ditentukan dari nominal Penghasilan
Kena Pajak (PKP), yang dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 138 dan biaya-biaya untuk
mendapatkan, menagih atau memelihara penghasilan 139, seperti biaya
perjalanan dan biaya sewa. 140 Nominal PKP inilah yang pada akhirnya akan
dikalikan dengan tarif pajak yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan untuk memperoleh nilai PPh yang harus dibayarkan
oleh wajib pajak. 141

135
UNODC (1), Legislative Guide for The Implementation of The United Nations Convention
Against Corruption, (New York: United Nations, 2006), hlm. 40.
136
UNODC (3), op.cit., Pasal 12 ayat (4).
137
Rani Maulida (3), Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena Pajak,
https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17, diakses pada 4 Oktober 2019.
138
PTKP hanya diperhitungkan untuk mengurangi nilai PPh bagi Wajib Pajak pribadi. Indonesia
(25), op.cit., Pasal 7.
139
Biaya-biaya ini hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto yang dimiliki
oleh Wajib Pajak Badan. Ibid., Pasal 6 ayat (1).
140
PTKP dan biaya-biaya yang diperhitungkan untuk mengurangi penghasilan bruto Wajib
Pajak disebut sebagai deductible expense.
141
Ibid., Pasal 17.

42
Sementara itu, UU PPh juga mengecualikan beberapa biaya yang
dikeluarkan oleh wajib pajak tetapi tidak dihitung sebagai komponen
pengurang penghasilan bruto. Sebagai akibatnya, meskipun biaya-biaya
betul-betul dikeluarkan oleh wajib pajak, hal ini tidak akan berpengaruh
apapun terhadap PKP yang menjadi dasar penghitungan nilai PPh yang
harus dibayarkan oleh yang bersangkutan. Pengeluaran-pengeluaran yang
biasa disebut sebagai non-deductible expenses ini, dalam konteks PPh,
bervariasi mulai dari (a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun, (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, (c) pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, hingga (d) sanksi administrasi seperti bunga, denda, dan
kenaikan serta pidana denda yang dijatuhkan dalam konteks perpajakan. 142

Pasal 12 ayat (4) UNCAC di atas menambahkan ‘biaya suap’ sebagai salah
satu komponen non-deductible expenses dalam perpajakan. Namun
demikian, UNCAC juga membatasi ruang lingkup pemberlakuan non-
deductible expenses yang diatur Pasal 12 ayat (4) tersebut pada perbuatan
suap yang dilakukan kepada pejabat publik nasional 143, pejabat publik
asing 144, dan pejabat organisasi internasional 145. Meski ketentuan ini pada
awalnya ditujukan agar korporasi tidak bisa mendapatkan klaim atas biaya
suap yang telah dikeluarkannya 146, UNCAC juga mengatur hal yang sama
dapat diberlakukan juga kepada individu-individu yang menyuap ketiga
kelompok pejabat tersebut. 147 Lebih lanjut, UNCAC juga menekankan
otoritas pajak untuk berhati-hati memastikan biaya suap tidak

142
Rincian non-deductible expenses yang berlaku untuk pajak penghasilan dapat dtemukan
dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
143
UNODC (3), op.cit., Pasal 15.
144
Ibid., Pasal 16.
145
Ibid.
146
Hal ini dapat ditafsirkan dari posisi korporasi yang dicantumkan terlebih dahulu dalam
pedoman teknis UNCAC jika dibandingkan dengan perluasannya terhadap individu. Baca UNODC (2),
Technical Guide to The United Nations Convention Against Corruption, (New York: United Nations,
2009), hlm. 60.
147
Ibid.

43
disembunyikan ke dalam pos pengeluaran yang sah, seperti ‘biaya sosial dan
hiburan’ atau ‘komisi’. 148

Dalam perkembangannya, sejumlah negara telah mengadopsi ketentuan


tersebut ke dalam sistem perpajakan nasionalnya. Dalam laporan yang
dirilis OECD pada tahun 2011, misalnya, terdapat lebih dari 30 negara yang
telah melarang pengurangan pajak terhadap biaya suap yang diberikan
kepada pejabat publik asing, baik yang secara eksplisit dirumuskan dalam
ketentuan perundang-undangannya maupun yang secara praktik
memberlakukan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UNCAC tersebut. 149

Di Australia, melalui Taxation Laws Amendment Act (No.2) 2000, biaya suap
terhadap pejabat publik, baik asing maupun bukan asing, dikategorikan
sebagai non-deductible expense sesuai ketentuan perpajakan Australia. 150
Lebih lanjut, biaya suap kepada pejabat publik ini terbagi menjadi (a)
pengeluaran yang memberikan/mengakibatkan keuntungan atau
menawarkan/menjanjikan sesuatu 151, (b) pemberian keuntungan yang tidak
sah kepada orang lain 152, dan (c) pengeluaran untuk mempengaruhi
kebijakan pejabat publik yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang tidak sah. 153 Keuntungan yang diperoleh ini tidak hanya terbatas pada
harta, tetapi meliputi juga berbagai kenikmatan yang telah diterima oleh
pejabat yang bersangkutan. 154

148
Ibid.
149
OECD (7), Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to Foreign Public
Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery Convention, June 2011,
https://www.oecd.org/ctp/crime/41353070.pdf, diakses pada 25 September 2019.
150
Ibid., hlm. 1
151
Ibid.
152
Ibid., hlm. 16.
153
Ibid.
154
Ibid.

44
Ketentuan serupa juga diatur di Amerika Serikat melalui Section 162 1 (C)
Internal Revenue Code. 155 Menurut peraturan ini, pengurangan pajak tidak
diperkenankan untuk segala bentuk pembiayaan, baik langsung atau tidak
langsung, yang diberikan kepada pejabat publik atau pegawai
pemerintahan, jika pengeluaran tersebut merupakan suap atau penggelapan
dana. 156 Larangan tersebut juga berlaku terhadap pengeluaran tidak sah,
yang dikeluarkan untuk pejabat atau pegawai pemerintahan asing sesuai
dengan ketentuan Foreign Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA). 157 Sebagai
contoh, apabila perusahaan kontraktor asal Amerika Serikat mengikuti
penawaran proyek pembangunan tiga pembangkit listrik di negara lain dan
memberikan uang tunai sejumlah $500,000 kepada pejabat publik asing
tersebut untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang
bersangkutan akan diproses karena melakukan suap berdasarkan FCPA. 158
Dalam kaitannya dengan penghitungan pajak perusahaan tersebut, maka
pengeluaran yang demikian harus dilihat sebagai biaya suap untuk
memperoleh proyek dari pemerintah asing di atas. 159 Oleh karena itu, biaya
ini akan tetap dikenakan pajak oleh negara. 160

Sementara itu di Inggris, Pasal 68 ayat (1) The Finance Act 2002 menyatakan
setiap jenis pengeluaran yang merupakan tindak pidana menurut hukum
Inggris akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak. 161
Pengeluaran tersebut termasuk biaya suap yang diberikan kepada pejabat

155
Ibid.
156
Ibid.
157
Ibid.
158
Charles, Gnaedinger, News Analysis: Facilitating Payment vs. Bribes Under the Tax Law, Tax
Notes, 2008, hlm. 788,
https://www.millerchevalier.com/sites/default/files/resources/TaxAnalysts.pdf, diakses pada 25
September 2019.
159
Ibid.
160
Ibid.
161
The Finance Act 2002, Part 3, chapter 2, Section 68 on Expenditure Involving Crime.

45
publik Inggris 162 maupun pejabat publik asing. 163 Selain itu, segala bentuk
pembayaran yang terjadi di luar Britania Raya juga akan diberlakukan
konsekuensi perpajakan yang sama sepanjang pembayaran tersebut
memenuhi unsur-unsur delik suap seandainya dilakukan di yurisdiksi
Britania Raya. 164 Dari sisi praktik peradilan, melalui putusan nomor IX
R26/4 tertanggal 16 Juni 2015, Mahkamah Pajak Jerman mempertimbangkan
dengan tegas bahwa pengeluaran yang ditujukan untuk melakukan suap
tidak dapat diperhitungkan sebagai salah satu komponen untuk
mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan wajib pajak. 165

Terlepas dari berbagai perkembangan di atas, otoritas pajak juga harus


cermat menentukan apakah pembayaran-pembayaran tersebut merupakan
biaya suap atau uang pelicin (facilitation payments) seperti yang berlaku di
beberapa negara. Untuk memperjelas batasan tersebut, Antonio Argandona
mendefinisikan uang pelicin sebagai pembayaran yang diberikan kepada
pejabat untuk mempercepat atau mengurangi ketidaknyamanan yang
terkait dengan proses administratif. 166 Selain itu, pemberi uang pelicin
biasanya mencatat pengeluarannya tersebut, sedangkan penerima tidak
melakukan hal yang sama. 167 Di sisi lain, penerima uang pelicin merupakan
pejabat publik atau pegawai level rendah yang berkutat dengan hal-hal
administratif, tetapi tidak memiliki kewenangan besar dalam pengambilan
keputusan. 168 Terakhir, Argandona menilai pemberian uang pelicin

162
The Bribery Act 2010, chapter 23, Section 16 Application to Crown.
163
Ibid., chapter 23, Section 6 Bribery to Foreign Officials.
164
The Finance Act 2002, loc.cit.
165
Kasus ini tidak membahas transaksi suap-menyuap di kalangan pejabat maupun pejabat
publik asing, melainkan suap yang terjadi di sektor swasta. Namun, logika yang ditarik oleh pengadilan
dapat digunakan juga untuk kasus suap yang melibatkan ketiga kelompok pejabat yang ditargetkan
oleh Pasal 15 dan Pasal 16 UNCAC. German Supreme Tax Court, loc.cit.
166
Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Bersih Uang Pelicin, (Jakarta: TII,
2014), hlm. 5.
167
Ibid.
168
Ibid.

46
dilakukan secara rahasia dengan nominal yang kecil dan dalam waktu yang
tetap. 169

Di antara ketiga negara tersebut, yang mengategorikan uang pelicin sebagai


pengeluaran yang dilarang adalah Inggris. The Bribery Act 2010 Guidance
menyebutkan bahwa uang pelicin merupakan bentuk suap skala kecil yang
diberikan kepada layanan publik pemerintah. 170 Pemberian tersebut
dilakukan untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan rutin pejabat publik dan
biasanya ditujukan untuk mempengaruhi kuasa yang dipegang pejabat
publik. 171 Tidak ada batasan minimum mengenai nominal dan frekuensi
transaksi yang ditentukan oleh undang-undang tersebut untuk dapat
dikatakan telah memberikan uang pelicin kepada pejabat publik. 172
Mengingat uang pelicin ini dikategorikan sebagai suap dan dengan mengacu
pada pengaturan non-deductible expenses dalam The Finance Act 2002,
pembayaran yang demikian tetap harus dikecualikan sebagai komponen
pengurang pajak di Inggris.

Di sisi lain, Amerika Serikat dan Australia justru mengecualikan uang


pelicin dari kategori non-deductible expense dalam sistem perpajakannya. Di
dalam FCPA, misalnya, pemberian uang pelicin kepada pejabat asing
dengan level rendah yang menjalankan kegiatan-kegiatan rutin
pemerintahan tidak akan dilakukan penuntutan. 173 Kegiatan-kegiatan rutin
ini tidak termasuk keputusan yang diambil oleh pejabat asing untuk
membuka bisnis baru atau meneruskan bisnis dengan pihak-pihak
tertentu. 174 Adapun bentuk-bentuk kegiatan rutin pemerintahan yang

169
Ibid.
170
Ibid.
171
TII, op.cit., hlm. 26.
172
Ibid.
173
FCPA menggunakan terminologi ‘facilitating’, expediting, or grease payments’ untuk
menggambarkan uang pelicin. Robert W. Tarun dan Peter P. Tomczak, The Foreign Corrupt Practices
Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel, Transactional Lawyers, and White
Collar Criminal Practitioners, Fifth Edition, (USA: American Bar Association, 2010), hlm. 21.
174
Ibid.

47
dimaksud FCPA ini antara lain (a) pemrosesan izin, lisensi, visa, izin kerja,
atau dokumen lainnya; (b) penyediaan perlindungan kepolisian, penyediaan
listrik dan air, jasa kargo, perlindungan produk-produk yang cepat rusak;
dan (c) pengaturan jadwal inspeksi yang berhubungan dengan kinerja yang
ditentukan dalam kontrak atau transit barang-barang ke berbagai penjuru
negeri. 175 Di dalam Section 162 (a) dan (c), FCPA secara spesifik
menyebutkan bahwa uang pelicin yang diberikan kepada pejabat publik
asing dianggap sebagai pengeluaran bisnis yang sah dan larangan
pengurangan pajak tidak berlaku untuk jenis pengeluaran tersebut. 176

Sementara itu, sejak tahun 2006, Australia mengamandemen The Income


Tax Assesment Act 1997 untuk diselaraskan dengan ketentuan Divisi 70
Criminal Code Act 1995 yang menyatakan bahwa uang pelicin yang
diberikan kepada pejabat publik asing diperbolehkan menjadi pengurang
pajak. 177 Uang pelicin terhadap pejabat publik asing dianggap bukan suap
jika: a) nilai keuntungannya kecil; dan b) pengeluaran semata-mata
bertujuan untuk mempercepat atau mengamankan kerja rutin
pemerintah. 178 Ketentuan ini kurang lebih sama dengan pengaturan yang
ada di dalam FCPA milik Amerika Serikat.

Meski begitu kompleks perdebatan antara suap dan uang pelicin, diskursus
ini tidak begitu relevan untuk disikapi lebih lanjut dalam konteks sistem
anti-korupsi yang dimiliki Indonesia. Indonesia sama sekali tidak mengenal
konsep uang pelicin. Berbagai pemberian yang ditujukan kepada
penyelenggara negara atau pegawai negeri, baik dalam konteks untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan maupun sekedar memberikan
hadiah, hal ini dapat dilihat sebagai suap maupun gratifikasi dan merupakan
tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan UU Tipikor 179.

175
Ibid.
176
Foreign Corrupt Practice Act 1977, Section 162 (a) dan (c)
177
OECD (2), op.cit., hlm. 2.
178
Income Tax Assessment Act 1997, No. 38, 1997, Section 26-52 Facilitation Payments
179
Berdasarkan Pasal 12A UU PTPK, gratifikasi akan dilihat sebagai suap jika berhubungan
dengan jabatannya atau bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Terhadap hal ini, Pasal 12C
48
Oleh karena itu, sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12
ayat (4) UNCAC, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan
suap ini akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak dalam
sistem perpajakan Indonesia.1

Sehubungan dengan hal tersebut, Sigit Danang Joyo menyampaikan upaya


melakukan optimalisasi penerimaan pajak melalui pengenaan non-
deductible expense pada biaya suap bukanlah hal yang mudah. 180 Ia
menambahkan bahwa penerima suap cenderung tidak akan melaporkan
pajak dari suap yang diterimanya. 181 Hal yang sama juga dilakukan oleh
pemberi suap dengan memasukkan biaya suap sebagai biaya perjalanan dan

UU PTPK menentukan gratifikasi wajib dilaporkan dalam kurun waktu maksimal 30 hari kepada KPK
agar dapat terbebas dari proses penuntutan. Adapun jenis gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK,
antara lain:
1. pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari kakek/nenek,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak/ adik/ ipar,
sepupu, dan keponakan yang memiliki konflik kepentingan;
2. penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam suatu kegiatan seperti
pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara
agama/adat/tradisi lainnya yang melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian
per orang;
3. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi yang melebihi Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per pemberian per orang;
4. pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi
jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang
(cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai yang setara
dengan Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total
pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;
5. pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk
setara uang (cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total pemberian
maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama

Baca KPK (4), Pedoman Pengendalian Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2015), hlm. 24,
https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Pedoman_Pengendalian_Gratifikasi.pdf, diakses pada 4
September 2019.
180
Joyo (3), loc.cit.
181
Ibid.

49
hiburan (entertainment) dari suatu perusahaan miliknya. 182 Selain
digunakan untuk menyembunyikan suap, kedok tersebut juga digunakan
untuk menyembunyikan kecurangan pajak. 183

Sehubungan dengan hal tersebut, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.
SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya
menentukan bahwa biaya hiburan, representasi, jamuan dan sejenisnya
termasuk dalam kategori biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(deductible expense) menurut Pasal . 184 Akan tetapi, hal tersebut wajib
dibuktikan oleh Wajib Pajak dengan melampirkan bukti-bukti yang
menjelaskan bahwa biaya tersebut benar-benar dikeluarkan secara resmi
dan ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan. 185 Dalam konteks
tersebut, Sigit menambahkan jika petugas pajak yang melakukan penelitian
atau pemeriksaan terhadap SPT menemukan pos biaya hiburan dan
sejenisnya, maka seyogyanya dimintakan daftar nominatif untuk
membuktikan seperti tersebut di atas. 186 Jika terbukti pos biaya hiburan dan
sejenisnya digunakan sebagai biaya suap, maka pemberi suap akan diminta
petugas pajak untuk mengubah daftar nominatif yang dimilikinya yakni
biaya suap tidak termasuk dalam deductible expense. 187 Namun pembetulan
daftar nominatif pada SPT hanya berlaku selama 5 tahun saat terutangnya
pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. 188
Jika pembetulan daftar nominatif pada SPT melebihi jangka waktu daluarsa
tersebut maka pemberi suap baru dianggap melakukan tindak pidana

182
OECD (1), OECD Bribery Awareness Handbook for Tax Examiners, (Paris: OECD, 2009), hlm.
19.
183
Ibid., hlm. 17
184
Indonesia (13), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya
(Seri PPh Umum 18), SE Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986, Poin 2.
185
Ibid., Poin 3.
186
Joyo (3), loc.cit dan Indonesia (SE DJP), op.cit., Poin 3.
187
Syarif, loc.cit.
188
Indonesia (20), op.cit., Pasal 13 ayat (1).

50
perpajakan. 189 Tetapi tindak pidana perpajakan tersebut tidak dapat
dituntut jika telah lampau 10 tahun sejak terhutangnya pajak. 190

Menurut Sigit, perlakuan non-deductible expense pada biaya suap tidak serta
merta bisa dikenakan kepada pemberi suap. 191 Dalam praktiknya, biaya suap
cenderung tidak dilaporkan pajaknya kepada Ditjen Pajak. 192 Kondisi
tersebut didukung dengan adanya manipulasi terhadap laporan keuangan
pemberi suap yang menempatkan biaya suap sebagai bentuk pengeluaran
pengurang pajak. 193 Dengan berdasarkan kondisi di atas, maka
kemungkinan penerapan non-deductible expense atas biaya suap hanya bisa
dilakukan apabila (a) telah ada putusan pengadilan atas praktik suap atau
(b) upaya asset tracing yang dilakukan DJP terhadap laporan keuangan
milik pemberi suap 194, sebagai bagian dari pemeriksaan lebih lanjut atas
sumber penerimaan suap yang diterima oleh penerima suap. 195 Akan tetapi,
kemungkinan kedua hanya bisa dilakukan apabila sudah terdeteksi adanya
penerimaan suap oleh si penerima. 196 Dengan demikian, penyidik KPK
dapat berkoordinasi dengan petugas pajak untuk memeriksa lebih lanjut
perihal penerimaan suap tersebut. 197 Selain itu, Sigit menambahkan bahwa
pemberi suap bisa saja dikenakan pembayaran pajak apabila dalam proses
penelusuruan oleh DJP ditemukan adanya harta kekayaan lain yang tidak
dilaporkan dan dibayarkan pajaknya oleh pemberi suap. 198

189
Syarif, loc.cit.
190
Ibid., Lihat juga Indonesia (20), op.cit., Pasal 40.
191
Ibid.
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Ibid.
196
Ibid.
197
Ibid.
198
Ibid.

51
Contoh kasus yang bisa digunakan untuk melihat penerapan non-deductible
expense adalah kasus suap berupa pemberian fasilitas hotel, hiburan malam
dan motor Harley Davidson dari Setia Budi (General Manager PT. Jasa
Marga Purbaleunyi) kepada Sigit Yugoharto selaku ketua Tim Auditor
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 199 Kasus tersebut bermula ketika PT. Jasa
Marga sedang berada dalam tahap pemeriksaan audit BPK karena ada
kelebihan pembayaran proyek pekerjaan sebanyak Rp 8 miliar. 200 Untuk
mengurangi temuan mencurigakan, Setia Budi memberikan suap berupa
fasilitas hiburan malam senilai Rp 107 juta dan motor Harley Davidson
seharga Rp 155 juta kepada Sigit. 201 Apabila biaya suap tersebut dimasukkan
sebagai biaya hiburan dalam laporan keuangan perusahaan, untuk
membuktikan biaya tersebut adalah biaya suap sehingga dapat dibebankan
pajak, diperlukan adanya putusan pengadilan mengenai suap yang diterima
oleh Sigit. Opsi lain yang bisa digunakan adalah pemeriksaan lebih lanjut
oleh petugas pajak mengenai biaya hiburan yang dikeluarkan PT. Jasa Marga
sebagai sumber penerimaan suap yang diterima Sigit, setelah berkoordinasi
dengan penyidik KPK karena terdapat indikasi penerimaan suap.

Sementara itu, dari sisi penerima suap, perlakuan non-deductible expense


terhadap biaya suap akan berakibat pada diakomodasinya suap sebagai
salah satu bentuk penghasilan yang dapat dikenakan pajak mengingat Pasal
4 ayat (1) UU PPh tidak mempedulikan cara memperoleh penghasilan
tersebut. Sepanjang ada peningkatan kemampuan ekonomis dari wajib
pajak, maka ada beban pajak yang wajib dibayarkan oleh yang
bersangkutan, tak terkecuali oleh penerima suap. Dalam contoh kasus di
atas, suap yang diterima Sigit berupa fasilitas hiburan malam dan motor
Harley Davidson dapat dinyatakan sebagai penghasilan. Keduanya dapat

199
PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta untuk Biaya Hiburan Malam Auditor
BPK, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-marga-dan-rekanan-
habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-malam, diakses pada 1 Oktober 2019.
200
Ibid.
201
Joyo (3), loc.cit.

52
dikonversikan nilainya menjadi rupiah dan dibebankan pajak penghasilan
sesuai UU PPh. 202

202
Sigit Danang Joyo menambahkan bahwa penghasilan dalam UU PPh tidak hanya meliputi
uang, tapi juga meliputi fasilitas kenikmatan (natura) yang diterima. Jika penghasilan yang diterima
bukan berbentuk uang, maka dapat dikonversikan nilainya menjadi rupiah, sehingga dapat dihitung
pajaknya. Ibid.

53
54
Diagram 2.2
LARANGAN PENGURANGAN PAJAK ATAS BIAYA KORUPSI
2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana
Korupsi yang Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki
Konsekuensi Finansial
Setelah berhasil menganalisis konteks pembebanan kewajiban pajak dan
mengidentifikasi jenis pajak yang dapat dibebankan terhadap harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, bahasan lain yang perlu diperdalam
adalah persinggungan pembebanan kewajiban pajak tersebut dengan
mekanisme sanksi yang memiliki konsekuensi finansial dalam UU Tipikor.
Secara lebih khusus, yang perlu digali lebih jauh adalah kemungkinan
pembebanan kewajiban pajak atas hasil tindak pidana korupsi jika pelaku
telah dijatuhi sanksi dalam UU Tipikor yang berimplikasi secara finansial
terhadap terpidana.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penting untuk dipahami bersama


bahwa varian sanksi yang dimiliki UU Tipikor beragam mulai dari pidana
mati 203, pidana penjara, pidana denda, hingga pidana tambahan seperti
perampasan barang dan/atau perusahaan, pembayaran uang pengganti,
hingga penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu.

Berbagai jenis sanksi ini memiliki maksud dan tujuannya masing-masing.


Sebagai contoh, jika yang dijatuhkan berupa pidana pokok seperti penjara
atau denda, penjatuhan pidana ini dimaksudkan untuk memberikan derita
atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku. 204 Jenis pidana ini akan selalu
diancamkan pada setiap tindak pidana yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan manapun, tak terkecuali di UU Tipikor.

203
Pidana mati dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 ayat
(2) UU PTPK, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter. Indonesia (27), op.cit., Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2).
204
Jan Remmelink (1), Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 438.

55
Karakteristik ini tidak dijumpai di pidana tambahan. Seperti yang
disampaikan R. Sianturi, penjatuhan pidana tambahan tidak boleh secara
berdiri sendiri, tanpa pidana pokok. 205 Corak yang demikian disadur dari
postulat ubi non est principalis, non potest esse accessorius. 206 Ia merupakan
tambahan atas pidana pokok, yang juga bersifat fakultatif dan diserahkan
kepada hakim untuk menentukan apakah terpidana akan dihukum dengan
jenis pidana ini. 207 Selain itu, pidana tambahan ini juga hanya bisa
dijatuhkan terhadap delik-delik yang secara tegas mencantumkan pilihan
untuk menghukum pelaku dengan pidana tambahan, di samping pidana
pokoknya. 208 Dilihat dari tujuannya, pengenaan pidana tambahan ini justru
ditujukan agar masyarakat terlindungi dari potensi kejahatan yang mungkin
dilakukan pelaku di kemudian hari. 209

Namun, tidak seluruh sanksi yang dimiliki UU Tipikor akan berakibat


kemampuan ekonomi pelaku tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, pidana
mati akan dekat persinggungannya dengan hilangnya hak untuk hidup
pelaku tindak pidana korupsi, sedangkan pidana penjara juga berimplikasi
pada kemerdekaan terpidana yang dirampas oleh Negara sebagai bentuk
penghukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Kedua jenis
pidana tidak memiliki konsekuensi secara langsung terhadap kondisi
finansial pelaku. Sebagai akibatnya, irisan antara dua pidana ini dengan
pembebanan kewajiban perpajakan atas kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi menjadi sangat jauh dan tidak dapat
diperbandingkan satu dengan yang lain.

205
E.Y, Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakata: PT Storia Grafika, 2012), hlm. 481.
206
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014),
hlm. 402.
207
Utrecht, op.cit., hlm. 326-327.
208
Sebagai contoh, delik-delik yang dicantumkan pada Bab XXV KUHP tentang Penipuan
dibenarkan untuk dijatuhkan pidana tambahan, seperti pengumuman putusan hakim dan pencabutan
hak-hak tertentu. Indonesia (18), op.cit., Pasal 395.
209
Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, & Zakky Ihsan Ahmad, Perkembangan Sistem
Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 3-7 dan 46-
52.

56
Konsekuensi finansial dari pidana yang diterima pelaku korupsi dalam
putusan pengadilan menjadi sangat penting untuk dianalisis mengingat
pengenaan pajak terutang atas hasil tindak pidana korupsi juga akan
berimplikasi pada kemampuan ekonomis terpidana tersebut. Oleh karena
itu, untuk menghindari penjatuhan hukuman ganda terhadap pelaku
korupsi dengan kembali membebankan pajak atas harta yang diperoleh dari
kejahatan tersebut, harus dilakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap
konsep dan karakteristik sanksi finansial yang dimiliki oleh UU Tipikor.

1. Pidana Denda
Seperti halnya pidana pokok lainnya, pidana denda memiliki tujuan
untuk memberikan derita kepada pelaku atas perbuatan yang telah
dilakukannya. 210 Dalam kasus tindak pidana korupsi, konsep
penghukuman yang dimiliki pidana denda ini kerap disalahartikan
dengan tujuan untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara. 211
Jika ditelusuri lebih mendalam, nominal denda yang dicantumkan
sebagai ancaman pidana untuk delik-delik korupsi di UU Tipikor,
tidak terikat dengan kerugian keuangan Negara. Ia hanya
memberikan estimasi penghukuman dalam konteks finansial atas
perbuatan yang dilakukan. Pidana denda ini juga berbeda konteksnya
dengan denda administratif, yang mengharuskan adanya hubungan
administrasi antara pemberi dan penerima hukuman tersebut dan
tidak dijatuhkan melalui putusan pengadilan. 212 Pasal 30 KUHP juga
menentukan, jika denda tidak dibayarkan oleh terpidana, maka
pidana ini akan digantikan dengan pidana kurungan maksimal 6-8
bulan. 213 Barang-barang yang dirampas oleh negara tersebut,

210
Ibid., hlm. 4
211
Sebagai contoh, baca RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin Marak’,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230; Dhani Irawan, Hukuman Pidana hingga Denda
Koruptor Lebih Rendah di RKUHP, https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-pidana-
hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp; diakses pada 2 Oktober 2019.
212
Zulfa et al., loc.cit.
213
Dalam kondisi normal, pidana kurungan pengganti denda ditetapkan selama-lamanya
enam bulan. Namun, apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan gabungan tindak pidana,
57
selanjutnya akan dieksekusi dengan cara: a) dimusnahkan 214; b)
dilelang untuk negara 215; c) diserahkan kepada instansi yang
ditetapkan untuk dimanfaatkan 216; dan d) diserahkan di Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam
perkara lain. 217

2. Pidana Perampasan Barang/Perusahaan


Pidana ini merupakan pidana tambahan yang diatur secara spesifik
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Tipikor. 218 Jika pelaku tindak
pidana korupsi terbukti bersalah melakukan delik-delik korupsi,
hakim dibenarkan untuk memberikan hukuman tambahan di luar
yang tercantum dalam rumusan pasal tindak pidananya, berupa
perampasan baran bergerak berwujud atau tidak berwujud atau tidak
bergerak yang digunakan (instrumentum sceleris) 219 atau yang
diperoleh (fructum sceleris) 220 dari tindak pidana korupsi. 221
Perampasan ini juga meliputi perusahaan milik terpidana yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. 222 UU Tipikor
juga mengatur seandainya barang-barang dimaksud telah digantikan

pengulangan tindak pidana, atau dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana
kurungan pengganti denda tersebut bisa ditetapkan untuk selama-lamanya delapan bulan. Indonesia
(18), op.cit., Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (4).
214
Indonesia (4), op.cit., Pasal 6 dan Pasal 21.
215
Ibid.
216
Ibid., Pasal 27.
217
Ibid.
218
Pidana ini merupakan pengembangan pidana perampasan barang dalam Pasal 39 KUHP.
Hanya saja, UU PTPK merinci jenis barang yang dapat dirampas dan menambahkan elemen
‘perusahaan’ dan barang-barang yang menggantikan barang yang digunakan atau diperoleh dari suatu
tindak pidana sebagai barang yang dapat dirampas oleh Negara dalam perkara pidana. Indonesia (18),
op.cit., Pasal 39.
219
Hiariej, op.cit., hlm. 404.
220
Ibid.
221
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.
222
Ibid.

58
oleh barang-barang lainnya, perampasan juga dapat dilakukan atas
benda-benda tersebut. 223

3. Pidana Pembayaran Uang Pengganti


Pembayaran uang pengganti merupakan jenis pidana tambahan yang
secara khusus dimunculkan dalam perkara korupsi. Dalam kerangka
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor, terpidana korupsi dapat dibebani
kewajiban untuk membayarkan sejumlah uang yang nominal
maksimalnya sesuai dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi. 224 Pidana ini sama sekali tidak ditujukan untuk
mengganti kerugian keuangan Negara, tetapi lebih kepada
penggantian harta benda yang telah dikorupsi oleh pelaku. 225 Sebagai
konsekuensinya, hakim harus dapat menggali keterangan mengenai
besarnya harta benda yang diperoleh oleh terdakwa dari suatu tindak
pidana korupsi. 226 Oleh karena itu, pidana tambahan ini dapat
dikenakan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam
UU Tipikor dan tidak terbatas pada Pasal 2 dan Pasal 3 yang memiliki
unsur ‘kerugian keuangan Negara’. 227 Uang pengganti ini juga hanya
dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara yang
bersangkutan. 228

Jika pelaku dibebankan untuk membayar uang pengganti ini, ia


diberikan kesempatan untuk melunasi kewajibannya tersebut selama
30 hari setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 229 Jika
belum bisa melunasinya, harta benda yang dimiliki terpidana akan

223
Ibid.
224
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
225
Indonesia (1), loc.cit.
226
Ibid., Penjelasan Umum.
227
Ibid., Pasal 3.
228
Ibid., Pasal 6.
229
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (2).

59
disita oleh Jaksa dan dilelang 230 untuk keperluan pelunasan uang
pengganti tersebut. 231 Seandainya pun harta benda terpidana tidak
cukup untuk melunasi uang pengganti di atas, terhadapnya akan
dikenakan pidana penjara yang jumlahnya tidak boleh melebihi
ancaman pidana pokok pada pasal yang dinyatakan terbukti oleh
pengadilan. 232

4. Pidana Penutupan Perusahaan


UU Tipikor juga memungkinkan dilakukannya penutupan
perusahaan, baik sebagian atau seluruhnya, untuk jangka waktu
paling lama satu tahun. 233 Lebih lanjut, pidana tambahan ini harus
dimaknai sebagai pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan
untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. 234 UU
Tipikor tidak merinci konteks penjatuhan pidana ini, akan tetapi
dapat ditafsirkan bahwa penutupan perusahaan harus berkorelasi
dengan korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi. 235
5. Pidana Penghapusan Keuntungan
Jenis pidana ini ditentukan sebagai salah satu pidana tambahan yang
dapat dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 18
ayat (1) huruf d UU Tipikor. 236 Secara lebih khusus, apabila pelaku

230
Pelelangan ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 273 ayat (3)
KUHAP dan dilakukan paling lambat 3 bulan setelah penyitaan. Selain itu, penyitaan dan pelelangan
terhadap harta benda terpidana yang ditemukan oleh Jaksa tetap dapat dilakukan sepanjang terpidana
belum selesai menjalani pidana pokoknya. Indonesia (1), op.cit., Pasal 9.
231
Indonesia (27), loc.cit.
232
Ibid., Pasal 18 ayat (3).
233
Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf c.
234
Ibid., Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c.
235
Hal ini dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa penjatuhan pidana
tambahan penutupan perusahaan bisa dilakukan jika perusahaan melakukan tindak pidana yang berat.
Baca MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha,
https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-didenda-hingga-penutupan-usaha,
diakses pada 2 Oktober 2019.
236
Dalam perumusaannya di UU PTPK, pidana penghapusan keuntungan ini disandingkan
dengan pidana pencabutan hak. Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf d.

60
terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, hakim dapat
mempertimbangkan untuk menghapus seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah Indonesia kepada terpidana. 237 Mengingat UU Tipikor
tidak merinci maksud ‘keuntungan’ yang dapat dihapuskan tersebut,
dapat ditafsirkan keuntungan ini meliputi keuntungan yang bersifat
finansial maupun non-finansial.

Dapat disimpulkan bahwa berbagai pidana yang memiliki


konsekuensi finansial terhadap pelaku tindak pidana korupsi di
atas merupakan bentuk hukuman yang diberikan kepada
terpidana, baik dalam konteks sebagai pidana pokok maupun
pidana tambahan. Sifat yang demikian berbeda maksud dan
tujuannya dengan pembebanan kewajiban perpajakan yang
diletakkan terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pajak
adalah suatu pungutan yang wajib dibayarkan kepada Negara
oleh individu maupun badan yang menjadi subjek pajak.
Pengenaannya tidak bisa dilihat sebagai sebuah hukuman yang
diberikan Negara melalui institusi pajak kepada rakyat,
melainkan bagian dari kontribusi warga negara untuk membiayai
fungsi-fungsi publik yang dijalankan oleh negara.1 Sebagai
konsekuensinya, apabila harta yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi dirampas oleh Negara sebagai bagian dari pidana
tambahan yang dijatuhkan hakim kepada pelaku, Negara masih
dibenarkan untuk memungut pajak atas peningkatan kekayaan
pelaku yang berasal dari korupsi tersebut.

Logika yang sama juga berlaku bagi penjatuhan pidana yang lain, seperti
misalnya, pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti. 238 Pada

237
Ibid.
238
Termasuk juga pidana tambahan lain seperti penutupan perusahaan maupun penghapusan
keuntungan tertentu dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan d UU PTPK.

61
bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa pembayaran pidana denda dan
uang pengganti sama sekali tidak terikat pada nominal kerugian keuangan
Negara yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.
Denda akan berfungsi sebagai hukuman ekonomis atas perbuatan pelaku
yang jumlahnya telah ditentukan dalam rumusan pasal yang dinyatakan
terbukti. 239 Sementara itu, uang pengganti bertujuan untuk mengganti
harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi. 240

Pada dasarnya, negara tidak mendapatkan pemasukan apapun dari


terpidana yang diposisikan sebagai iuran wajib yang seharusnya
dibayarkan pelaku sebagai subjek pajak. Seandainya pun pelaku
membayarkan denda yang dijatuhkan oleh hakim, uang yang diterima
Negara dari pembayaran denda tersebut harus dilihat sebagai
konsekuensi finansial yang disetorkan pelaku kepada Negara akibat
perbuatan kriminal yang telah dilakukannya. Pembayaran uang
pengganti pun juga tidak bisa dibingkai sebagai kontribusi terutang
pelaku korupsi atas tambahan penghasilan yang diperolehnya dari
kejahatan tersebut.

Siapapun yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti ini, baru akan
membayarkan sejumlah uang tersebut jika yang bersangkutan (a) terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan (b) dihukum oleh hakim untuk
membayar uang pengganti. Hal ini jelas berbeda dengan kewajiban
perpajakan yang akan terus dibebankan kepada warga negara 241 tanpa
melihat apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (korupsi) atau
tidak.
Pada tataran yang lebih praktis, apabila harta kekayaan hasil
tindak pidana korupsi telah dirampas melalui pidana denda atau
pidana pembayaran uang pengganti, maka pelaku dapat
menggunakan harta kekayaan lain yang dimilikinya untuk
melunasi kewajiban pajakan.
1

240
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
241
Akan tetapi, individu maupun badan yang dibebankan kewajiban perpajakan harus terlebih
dahulu mendaftarkan dirinya di institusi pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Indonesia (20), op.cit., Pasal 2.

62
Mekanisme pembayaran atas penundaan utang pajak tersebut dapat
dilakukan secara mengangsur paling lama 12 bulan setelah diterbitkannya
SKPKB atau paling lama sampai dengan bulan terakhir tahun pajak
berikutnya. 242 Pengangsuran tersebut disertai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
pajak. 243

242
Kristijono, loc.cit., Lihat juga Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata
Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Perpajakan, PerDirjen Pajak Nomor PER-
38/PJ/2008, Pasal 4 ayat (2).
243
Indonesia (20), loc.cit., Pasal 19 (2)

63
64
Diagram 2.3
HUBUNGAN PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN SANKSI
DALAM UU TIPIKOR
Di sisi lain, dengan melihat pada jenis pendapatan negara 244 seperti yang
tertera dalam Diagram 2.2 di atas, uang atau aset yang diterima Negara dari
eksekusi pidana tidak akan berada pada pos yang sama dengan pendapatan
negara yang diterima dari pajak. Segala jenis penerimaan yang didasarkan
pada putusan pengadilan merupakan salah satu kelompok Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf
e UU PNBP. 245 Lebih lanjut, pembayaran denda, pembayaran uang
pengganti, hingga hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari
tindak pidana korupsi merupakan jenis PNBP yang berlaku pada
Kejaksaan 246 dan KPK 247 sebagai penegak hukum yang berwenang
melakukan eksekusi putusan pengadilan dalam perkara korupsi. Sementara
itu, jika terpidana dibebankan untuk membayar pajak atas tambahan
penghasilan dari tindak pidana korupsi, maka Negara akan mendapatkan
penerimaan dalam konteks pajak, yang berbeda pos pendapatannya dengan
PNBP di atas. 248

244
Dalam Undang-Undang Keuangan Negara, pendapatan negara dibedakan menjadi
penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Indonesia (21), Undang-Undang Keuangan
Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003, LN Nomor 47 Tahun 2003, TLN Nomor 4286, Pasal 11 ayat (3).
245
Indonesia (29), Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU Nomor 20 Tahun
1997, LN Nomor 43 Tahun 1997, TLN Nomor 3687, Pasal 2 ayat (1) huruf e.
246
Indonesia (8), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia, PP Nomor 39 Tahun 2016, LN Nomor 199
Nomor 2016, TLN Nomor 5935, Pasal 1 ayat (1).
247
Indonesia (9), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi, PP Nomor 54 Tahun 2019, LN Nomor 140
Tahun 2019, TLN Nomor 6370, Pasal 1 ayat (1).
248
Indonesia (29), loc.cit.

65
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun pelaku tindak
pidana korupsi telah dijatuhi pidana yang bersifat ekonomis oleh
pengadilan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan
kewajiban perpajakan yang dapat dibebankan terhadap harta kekayaan yang
diperolehnya dari tindak pidana korupsi. 249

249
Namun demikian, menurut pemahaman sebagian penyidik pajak, jika jumlah harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi telah dirampas negara melalui penjatuhan pidana pembayaran
uang pengganti dan pidana denda, maka kewajiban perpajakan tidak dapat dibebankan lagi kepada
terpidana. Syarif, disampaikan pada Kelompok Diskusi Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10
Oktober 2019.
Selain itu, Yuli Kristijono berpendapat bahwa pembebanan kewajiban perpajakan bisa saja
dijatuhkan terhadap sebagian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak ikut dirampas oleh
negara melalui pidana denda atau pembayaran uang pengganti. Misalnya, A menerima suap Rp 10
Miliar, kemudian A dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebesar Rp 7,5 miliar, maka
terhadap Rp 2,5 miliar sisanya dapat dibebankan kewajiban perpajakan. Kristijono, loc.cit.
Dengan melihat pada uraian konsep pidana dan pembebanan kewajiban perpajakan yang
sama sekali berbeda, pendapat ini tidak dapat dibenarkan baik dari sisi teori maupun praktik.

66
Tabel 2.2
PERBANDINGAN JENIS PNBP YANG BERLAKU PADA KEJAKSAAN DAN KPK250

No PNBP pada Kejaksaan PNBP pada KPK


1 Pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi Uang rampasan negara yang berasal dari tindak pidana
korupsi
2 Pembayaran biaya perkara tindak pidana Uang rampasan negara yang berasal dari tindak pidana
pencucian uang
3 Pembayaran denda tindak pidana Pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi
4 Pembayaran denda tindak pidana pelanggaran lalu lintas Pembayaran denda tindak pidana korupsi
5 Pembayaran denda tindak pidana pelanggaran peraturan Pembayaran denda tindak pidana pencucian uang
daerah
6 Uang rampasan negara Pembayaran biaya perkara
7 Uang rampasan negara yang berasal dari tindak pidana Hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari
korupsi tindak pidana korupsi
8 Uang rampasan negara yang berasal dari tindak pidana Hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari
pencucian uang tindak pidana pencucian uang
9 Hasil penjualan barang rampasan negara Hasil penyetoran uang gratifikasi oleh pelapor
10 Hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari Hasil kompensasi barang atau fasilitas gratifikasi
tindak pidana korupsi
11 Hasil penjualan barang hasil sita eksekusi tindak pidana
korupsi
12 Hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari
tindak pidana pencucian uang
13 Hasil penjualan barang bukti yang tidak diambil oleh yang
berhak

250
Diolah dari PP Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik
Indonesia dan PP Nomor 54 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

67
68
14 Hasil penjualan barang temuan
15 Uang temuan
16 Hasil pengembalian uang negara
17 Hasil pemulihan kerugian keuangan negara
18 Hasil kerja sama di bidang hukum dengan negara lain
Ide lain yang muncul untuk mengoptimalkan potensi penerimaan
negara dari kekayaan yang bersumber dari tindak pidana korupsi
adalah dengan memasukkan penagihan kewajiban perpajakan ke
dalam dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi.

Yunus Husein, misalnya, menilai hal ini dapat dilakukan dengan


memperluas tafsir ‘keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
meliputi juga pendapatan negara yang seharusnya diterima oleh negara
(accrual basis). 251 Pilihan lain yang dapat digunakan adalah menafsirkan
unsur ‘kerugian pada perekonomian negara’ sehingga bermakna dengan
tidak dibayarkannya pajak atas hasil tindak pidana korupsi tersebut, maka
sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkurang dan
perekonomian negara, khususnya di sektor fiskal, terganggu. 252

Meski demikian, terdapat sejumlah kelemahan atas usulan-usulan tersebut.


Kelemahan pertama berkaitan dengan konsep penghukuman dalam perkara
korupsi. Sebagai prinsip mendasar yang melahirkan mekanisme lanjutan
dalam pemidanaan, postulat nulla poena sine lege 253 yang dikemukakan
Anselm von Feuerbach harus diterapkan dengan konsisten, dimana tidak
boleh ada hukuman (pidana) yang diterapkan kepada pelaku selain dari apa
yang telah dicantumkan dalam undang-undang. 254

251
Yunus Husein, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban
Pajak dalam TIPIKOR, disampaikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sigit Danang Joyo di forum
yang sama. Baca Joyo (1), loc.cit.
252
Husein, loc.cit.
253
Selain postulat ini, von Feuerbach juga menambahkan nulla poena sine crimine (tidak ada
pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana
tanpa pidana menurut undang-undang). Tiga postulat ini adalah komponen asas legalitas dalam hukum
pidana. Hiariej, op.cit., hlm. 61-62.

254
Ibid.

69
Patut diingat bahwa UU PTPK tidak mengenal kewajiban pembayaran
pajak sebagai salah satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan
terhadap pelaku korupsi. Oleh karenanya, penuntut umum tidak bisa
memasukkannya sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan
kepada hakim. Seandainya pun kewajiban pembayaran pajak tersebut
akan dimasukkan ke dalam dakwaan sebagai bagian dari ‘kerugian
keuangan negara atau kerugian perekonomian negara’, ia harus
dikonstruksikan terbatas sebagai salah satu fakta yang mendukung
pemenuhan unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.

Dalam hal ini, penuntut umum tetap harus menggunakan pilihan pidana
yang disediakan oleh Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor, yakni pidana penjara
dan/atau pidana denda, sebagai hukuman yang akan dituntut kepada
pelaku. Dari kedua varian pidana tersebut, yang relevan untuk
diperhitungkan ke dalam konteks optimalisasi potensi penerimaan negara
adalah pidana denda.

Namun, seperti yang telah dijelaskan secara mendalam di atas, pidana


denda tidak diperuntukkan sebagai sarana untuk mengembalikan kerugian
negara akibat tindak pidana korupsi. 255 Ia berdiri secara terpisah dari konsep
kerugian tersebut dan berfungsi untuk memberikan derita dari segi finansial
terhadap pelaku akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Selain itu, perlu
dipahami bahwa pidana denda yang dirumuskan di dalam UU Tipikor
memiliki batas minimum dan maksimum, yakni berkisar antara Rp 200 juta-
1 miliar untuk Pasal 2 dan antara Rp 50 juta-1 miliar untuk Pasal 3.
Pengaturan yang demikian tentu akan membatasi penagihan kewajiban
pajak seandainya nominal pajak terutang untuk kekayaan yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi berada di bawah pidana denda minimum atau
bahkan melebihi pidana denda maksimum yang ditentukan oleh kedua
pasal tersebut.

255
Zulfa et.al., loc.cit.

70
Hal teknis lain yang akan membuat usulan tersebut sulit untuk dijalankan
berkaitan pencatatan pendapatan negara atas ‘pajak’ yang dimasukkan ke
dalam pidana denda tindak pidana korupsi. Tabel 2.2 memaparkan secara
jelas bahwa pembayaran denda tindak pidana korupsi merupakan PNBP
yang dikelola baik oleh Kejaksaan maupun KPK. Oleh karena itu,
seandainya pun terpidana membayarkan penuh pidana denda ini 256,
pembayaran ini akan dicatatkan sebagai penerimaan negara bukan pajak
oleh Kementerian Keuangan. Selanjutnya, dari titik ini, permasalahan lain
akan muncul seandainya DJP berpandangan kewajiban perpajakan pelaku
korupsi tersebut tetap dapat ditagih karena yang bersangkutan sama sekali
tidak pernah membayarkan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang
diperolehnya. Dengan sistem pencatatan yang berbeda, besar kemungkinan
pelaku akan dibebankan membayar pidana denda yang sudah
memperhitungkan kewajiban pembayaran pajak dan pajak yang dibebankan
atas kekayaan hasil korupsi secara sekaligus. Hal ini tentu akan
menciptakan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut.

Dengan menggunakan konteks pembahasan yang sama, pelaku juga


dimungkinkan untuk dituntut melakukan pembayaran uang pengganti
dari tindak pidana korupsi tersebut. Seandainya penuntut umum
berpendapat penagihan pajak ini tidak dimasukkan dalam pidana denda,
tetapi diperhitungkan dalam penghitungan uang pengganti, strategi ini
pun juga dinilai tidak tepat.

Pasalnya, Pasal 1 PERMA Uang Pengganti menegaskan bahwa pembayaran


uang pengganti harus dihitung berdasarkan harta benda yang diperoleh
terdakwa dari tindak pidana korupsi yang dilakukan. 257 Uang pengganti ini

256
Terpidana juga masih memiliki opsi untuk tidak membayarkan pidana denda dan
menggantinya dengan pidana kurungan maksimal enam bulan atau delapan bulan jika ada pemberatan
seperti yang dimaksud Pasal 30 KUHP.
257
Indonesia (1), op.cit., Pasal 1.

71
pun tidak boleh dihitung dari nilai kerugian keuangan Negara yang timbul
dari korupsi tersebut. 258

Dengan demikian, penghitungan uang pengganti yang didasarkan pada


kewajiban perpajakan yang timbul dari tambahan penghasilan dari
tindak pidana korupsi tidak dapat dibenarkan mengingat penagihan
pajak merupakan hal yang terpisah dari nominal harta benda yang
dikorupsi. Penuntut umum hanya dibenarkan untuk menarik uang
pengganti dengan menyesuaikan nominal harta benda yang dikorupsi
tanpa menambahkan komponen pajak atas harta benda tersebut di
dalamnya.

Selain menggunakan cara-cara di atas, ada usulan lain mengenai


optimalisasi penerimaan negara yakni melalui penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana.

Prof. Rusli Muhammad menyatakan bahwa terhadap harta kekayaan hasil


tindak pidana korupsi yang tidak dibayarkan pajaknya dapat dirampas
negara melalui mekanisme tuntutan ganti rugi. 259 Konsep ini dimunculkan
dengan merujuk pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana dapat
dilakukan jika perbuatan yang jadi dasar dakwaan atas pemeriksaan perkara
pidana tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. 260

Pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi adalah korban atau orang
lain yang dirugikan. 261 Menurut Rusli, konsep “orang lain” dalam pasal
tersebut tidak hanya terbatas pada orang perorangan (naturlijk persoon),

258
Ibid.
259
Rusli Muhammad, Mekanisme Pembebanan Kewajiban Pajak (Tuntutan Ganti Kerugian)
Melalui Peradilan Pidana, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika
Yogyakarta, 10 Oktober 2019
260
Indonesia (17), op.cit., Pasal 98 ayat (1)
261
Ibid.

72
namun juga mencakup badan hukum (rechtpersoon). 262 Menurutnya, DJP
merupakan salah satu bentuk recht person yang dilihat sebagai korban atas
tidak dibayarkannya pajak terhadap hasil tindak pidana korupsi tersebut. 263
Selain itu, “kerugian” yang dimaksud dalam pasal tersebut mencakup
kerugian akibat tindak pidana korupsi baik materiil maupun immateriil. 264

Akan tetapi usulan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang perlu


dicermati. Pasal 98 KUHAP secara spesifik mengatur pihak yang dapat
mengajukan penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana
terbatas pada orang perorangan sebagai subjek hukum. Pada proses
penyusunannya, KUHAP belum mengenal konsep rechtpersoon sehingga
perluasan pihak yang dapat mengajukan penggabungan ganti kerugian
seperti yang diusulkan tersebut menjadi tidak dapat dibenarkan dalam
hukum acara pidana Indonesia. 265 Konsep ini sejalan dengan pengaturan di
KUHP yang hanya mengenal manusia (natuurlijk person) sebagai subjek
hukum pidana. 266 Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 98 ayat (1) juga membatasi
pemaknaan ‘orang lain’ pada pihak ketiga yang berkepentingan akibat
kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan
tersangka/terdakwa, termasuk korban. 267 Dengan melihat konstruksi
berpikir yang demikian, Negara tidak dapat diposisikan sebagai ‘korban’
atau ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dengan tidak dibayarkannya pajak
atas hasil tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, penggabungan gugatan

262
Rusli Muhammad, loc.cit.
263
Ibid.
264
Ibid.

265
Indonesia (17), loc.cit.
266
Aulia Ali Reza, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 3. Lihat juga, Moeljatno,
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet-20 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999). Konsep yang
demikian merupakan pengaruh dari asas universitas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak
dapat melakukan tindak pidana dan societas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak dapat
dipidana terhadap KUHP yang berlaku di Indonesia.
267
Indonesia (17), op.cit., Penjelasan Pasal 98 ayat (1).

73
ganti kerugian ini menjadi tidak mungkin dilakukan.
Di sisi lain, penggabungan gugatan ganti kerugian ini akan sangat
bergantung pada perkara pidana yang bersangkutan. 268 Dengan kata lain,
gugatan ganti kerugian bukan merupakan perkara dan putusan yang berdiri
sendiri, tetapi bergantung pada keadaan dan sifat yang melekat pada
putusan perkara pidana. 269 Putusan ganti kerugian dengan sendirinya
mendapat kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya telah
mendapat kekuatan hukum tetap. 270 Selain itu, apabila perkara pokoknya
diajukan upaya hukum banding, pemeriksaan di tingkat banding ini juga
akan dilakukan atas gugatan ganti rugi tersebut. 271 Sekalipun terdakwa
hanya secara tegas meminta banding terhadap perkara pidananya saja,
tetapi hakim banding harus tetap melakukan pemeriksaan dan memberi
keputusan terhadap ganti rugi. 272 Begitu pula jika perkara pidana tidak
diajukan permintaan banding, maka terdakwa tidak bisa mengajukan
banding hanya untuk putusan perkara ganti rugi saja. 273

Akibat dari adanya ketentuan di atas, upaya pembebanan kewajiban


perpajakan terhadap hasil korupsi yang dilakukan melalui penggabungan
gugatan ganti kerugian ini dinilai tidak efektif dan efisien. Dengan
menggantungkan pada perkara pokoknya, Negara akan memiliki
keterbatasan untuk mengejar potensi penerimaan negara berhubung
ketidakpastian yang akan ditimbulkan dari opsi menggunakan usulan ini.

Selanjutnya, konsep kerugian pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP ini tidak bisa
diperluas menjadi kerugian negara yang bersifat materiil dan immateriil
seperti yang diutarakan di atas. Kerugian yang dimaksud pada gugatan ganti

268
Ibid.
269
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
hlm. 83
270
Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (3)
271
Ibid., Pasal 100 ayat (1)
272
Harahap, op.cit., hlm. 84
273
Indonesia (17), op.cit., Pasal 100 ayat (2).

74
rugi di KUHAP hanya mencakup kerugian materiil 274, yakni hanya sebatas
pengabulan ‘penggantian biaya’ yang dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan. 275 Apabila kerugian immateriil diajukan oleh pihak yang
dirugikan atau korban maka hakim harus menyatakan gugatan tersebut
tidak dapat diterima (niet onvakelyk). 276

Selain itu, Negara telah memiliki jalur tersendiri untuk menagih kewajiban
perpajakan yang belum dibayarkan oleh wajib pajak. Jalur ini merupakan
proses administrasi perpajakan yang dikelola oleh DJP sesuai dengan
ketentuan UU KUP. Secara lebih rinci, DJP dapat menerbitkan SPT bagi
wajib pajak yang bersangkutan, memproses tindak pidana pajak dan
menerbitkan SKPKB untuk tetap dapat membebankan kewajiban
perpajakan kepada wajib pajak.

Oleh karena itu, dengan adanya mekanisme ini, Negara tidak


dibenarkan untuk menggugat wajib pajak di peradilan perdata dan juga
menggunakan penggabungan ganti kerugian dalam perkara pidana
tersebut. Mekanisme ini yang harus digunakan sehingga potensi
penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap kekayaan
hasil tindak pidana korupsi dapat ditindaklanjuti secara optimal.

274
Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (2).
275
Harahap, op.cit., hlm. 82.
276
Ibid.

75
76
Diagram 2.4
PERSINGGUNGAN PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN
DENGAN MEKANISME YANG TERSEDIA DALAM HUKUM ACARA PIDANA
BAB III
PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI
BIDANG PERPAJAKAN

Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa peningkatan kekayaan


yang diterima terpidana sebagai hasil dari kejahatan yang dilakukannya,
termasuk tindak pidana korupsi, dapat dikategorikan sebagai objek pajak
penghasilan (PPh). Oleh karena itu, Negara tetap dapat membebankan
pajak atas kekayaan tersebut dan mekanisme di bidang perpajakan dapat
diberlakukan terhadap terpidana dalam kapasitasnya sebagai Wajib Pajak.

Namun demikian, penting kiranya untuk mendiskusikan


pertanggungjawaban pidana bagi pelaku, baik dalam konteks individu
maupun korporasi, yang tidak melaporkan dan tidak membayarkan pajak
atas peningkatan kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi
tersebut. Pembahasan dalam bab ini juga akan menyentuh dimensi
penuntutan dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan asas-asas yang
berlaku dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, serta kemungkinan
dilakukannya penggabungan proses penuntutan antara tindak pidana pajak
dengan tindak pidana korupsi.

3.1 Penerapan Delik Perpajakan terhadap Pelaku Tindak Pidana


Korupsi
Sebagai bagian dari sistem perpajakan nasional, UU KUP juga mengatur
konsekuensi hukum yang akan ditetapkan bagi setiap orang yang
melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang
tersebut. Secara umum, konsekuensi atas pelanggaran ini terbagi ke dalam
dua mekanisme penyelesaian, yakni pengenaan sanksi administratif dan
sanksi pidana. 277

277
Kedua jenis sanksi ini memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Philippus Hadjon
et al, misalnya, menilai sanksi administratif memiliki sifat reparatoir yang bertujuan untuk memulihkan
situasi/kondisi tertentu pasca dilakukannya pelanggaran administrasi, penjatuhan sanksi ini tidak perlu
melalui peradilan (non-contentious), dan hanya bisa dijatuhkan kepada mereka yang memiliki
77
Sanksi administratif akan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan
administrasi perpajakan, seperti tidak dilaporkannya Surat Pemberitahuan
oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang. 278 Pelanggaran atas
ketentuan ini akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi yang
berkisar antara Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), yang berbeda nominalnya untuk setiap jenis surat
pemberitahuan 279 yang telat dilaporkan.

Di sisi lain, UU KUP juga mengatur konsekuensi pengenaan sanksi pidana


bagi pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Seperti halnya praktik yang terjadi di banyak negara, pengenaan sanksi
pidana terhadap persoalan di bidang perpajakan ini tidak terlepas dari
begitu masifnya kerugian yang mungkin diderita oleh Negara dan
masyarakat akibat perbuatan ilegal tersebut. Sebagai contoh, studi yang
dilakukan oleh European Commission melaporkan kesenjangan pajak
pertambahan nilai (value-added tax gap) 280 dari 28 negara Uni Eropa berada
pada angka € 147,1 milyar pada tahun 2016. 281 Selain itu, kejahatan-kejahatan

hubungan administratif dengan pemberi hukuman. Sementara itu, Jan Remmelink menilai pengenaan
sanksi pidana justru bersifat umum (tanpa melihat hubungan administratif), hanya dapat dijatuhkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, dan harus melalui proses peradilan pidana serta
mengandung makna pencelaan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Baca Philippus Hadjon et
al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm.
247 dan Remmelink (1), op.cit., hlm. 15-16.
278
Indonesia (20), op.cit., Pasal 7 ayat (1).
279
Jika yang tidak dilaporkan sesuai dengan batas waktu adalah Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 500.000 (lima ratus
ribu rupiah). Di sisi lain, apabila dokumen yang dimaksud berupa Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
maka sanksi administrasi yang harus dibayarkan adalah Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah), begitu
juga halnya untuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang Pribadi.
Akan tetapi, apabila yang terlambat melaporkan SPT Pajak Penghasilan adalah wajib pajak Badan, maka
denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ibid.
280
Angka ini merupakan estimasi kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan pajak (tax fraud),
penggelapan pajak (tax evasion), penghindaran pajak (tax avoidance), termasuk kepailitan, insolvensi
finansial, dan miskalkulasi. European Commission, VAT GAP,
https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/tax-cooperation-control/vat-gap_en, diakses pada
19 September 2019.
281
Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for Economics, Study and
Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018 Final Report, (Warsaw: Institute for
78
di bidang perpajakan juga akan berimbas pada ketidakmampuan pembayar
pajak yang taat untuk berkompetisi dengan pelaku usaha yang tidak
membayarkan pajaknya kepada Negara. 282

Berkaitan dengan hal tersebut, adapun delik-delik yang dirumuskan oleh


UU KUP tersebar 283 dari:
a. kealpaan untuk kedua kalinya 284 tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara 285;
b. sengaja menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak 286;
hingga
c. sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian kepada negara 287.

Oleh karenanya, apabila pelaku ditemukan terbukti melanggar ketentuan-


ketentuan ini, terhadapnya dapat dikenakan pidana penjara, kurungan,
hingga denda sebagaimana diancamkan pada tindak pidana tersebut.

Advanced Studies, 2018), hlm. 8,


https://ec.europa.eu/taxation_customs/sites/taxation/files/2018_vat_gap_report_en.pdf, diakses
pada 19 September 2019.
282
Ibid.
283
Penjabaran beberapa tindak pidana di bidang perpajakan pada bagian ini tidak secara
otomatis dapat diartikan bahwa hanya tindak pidana ini sajalah yang diatur di dalam UU KUP. Adapun
rincian seluruh tindak pidana yang dirumuskan dalam UU KUP dapat ditemukan dalam Tabel 3.1.
284
Penuntutan baru akan dilakukan apabila Wajib Pajak melakukan perbuatan yang sama
untuk kedua kalinya. Dalam konteks ini, UU KUP memberikan jalan bagi Wajib Pajak, untuk yang
pertama kalinya, lalai tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikannya dengan data
yang tidak akurat, untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan mekanisme
perpajakan, yakni melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar
yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ibid., Pasal 13A.
285
Ibid., Pasal 38 huruf a.
286
Ibid., Pasal 39 ayat (1) huruf b.
287
Ibid., Pasal 41C ayat (4).

79
a
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; yang tidak atau kurang dibayar.
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi
online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara


39(2) Melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 Dua kali sanksi pidana yang tarcantum pada
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara Pasal 39 ayat (1) UU KUP
yang dijatuhkan
39(3) Percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau dimohonkan dan/atau kompensasi atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak

81
82
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
pengkreditan pajak dilakukan
39A Dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur
setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
sebenarnya; atau pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak
Pengusaha Kena Pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak
41(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah)
Bunyi Pasal 34 UU KUP:

“Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala


sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”
41(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 puluh juta rupiah)

Bunyi Pasal 34 UU KUP:

“Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala


sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”
41A Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi lima juta rupiah)
keterangan atau bukti yang tidak benar
41B Dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana di bidang perpajakan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh
puluh lima juta rupiah)
41C (1) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
dalam Pasal 35A ayat (1) denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
Bunyi Pasal 35A ayat (1) UU KUP:

“Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib


memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan
kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)”
41C (2) Dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(1) (delapan ratus juta rupiah)

Bunyi Pasal 35A ayat (1) UU KUP:

“Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib


memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan
kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)”

83
84
41C (3) Dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta Pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
35A ayat (2) (delapan ratus juta rupiah)

Bunyi Pasal 35A ayat (2):

“Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun
data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2)”
41C (4) Dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
sehingga menimbulkan kerugian kepada negara denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
43 Penyertaan untuk Pasal 39A, 39B, 41A, dan 41B Dipidana seperti halnya pelaku yang melanggar
Pasal 39A, 39B, 41A, dan 41B
Dalam kaitannya dengan peningkatan kekayaan yang merupakan
hasil tindak pidana korupsi, secara teoretis, ketentuan-ketentuan
pidana yang dimiliki oleh UU KUP dapat juga dikenakan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi sepanjang yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajiban perpajakan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.

Diagram 3.1 menjelaskan secara rinci konsekuensi perpajakan yang akan


diterima oleh pelaku tindak pidana korupsi yang memperoleh harta
kekayaan dari kejahatan tersebut.

Diagram 3.1
Konsekuensi Perpajakan yang berkaitan dengan Peningkatan Kekayaan dari
Tindak Pidana Korupsi 288

288
Diolah dari mekanisme yang tersedia dalam UU KUP.

85
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa pelaporan dan pembayaran pajak atas
harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi memegang
peranan penting dalam menentukan konsekuensi perpajakan apa yang
dapat dikenakan terhadap pelaku. Sebagai contoh, dalam hal pajak atas hasil
korupsi ini telah dibayarkan oleh pelaku atau pihak lain yang terlibat dalam
delik, pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila ia,
karena kelalaiannya yang dilakukan bukan untuk pertama kali atau dengan
sengaja, tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi seperti yang diatur dalam Pasal 38
dan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP. Di sisi lain, apabila pajak dimaksud
belum dibayarkan, pelaku akan bisa dituntut dengan Pasal 39 ayat (1) huruf
c UU KUP jika dirinya juga tidak melaporkan SPT kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Selain itu, seandainya pun pelaku tetap melaporkan SPT
Pajak Penghasilannya, dirinya berpotensi untuk diancam pidana karena
dinilai melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberi keterangan yang
isinya tidak lengkap atau tidak benar seperti yang dirumuskan dalam Pasal
39 ayat (1) huruf d UU KUP.

Untuk memperjelas konteks penerapan delik perpajakan di atas, kita dapat


mempelajari kasus korupsi pengadaan driving simulator uji klinik roda dua
dan roda empat yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas
(Korlantas) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Inspektur
Jenderal Djoko Susilo, pada rentang waktu 2010-2011. 289 Dalam perkara
tersebut, Djoko Susilo dinyatakan terbukti memperkaya dirinya secara
melawan hukum sebesar Rp 32 miliar dan sejumlah orang serta korporasi
lainnya dengan nominal yang sangat besar. 290 Untuk bisa mencapai
tujuannya tersebut, Djoko Susilo bersama-sama dengan Budi Susanto 291
menetapkan penggelembungan harga pada anggaran pengadaan spesifikasi

289
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
36/PID/TPK/2013/PT.DKI, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014.
290
Ibid.
291
Budi Susanto adalah Direktur PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) yang merupakan
perusahaan pemenang tender proyek pengadaan driving simulator uji klinik roda dua dan roda empat
di Korlantas POLRI.

86
teknis simulator tersebut. 292 Selanjutnya, dilakukan pencairan dana sebesar
100% (seratus persen) meski pengerjaan proyek belum sepenuhnya
rampung. 293 Sebagai akibatnya, proyek pengadaan driving simulator ini
tidak terlaksana dengan baik dan merugikan keuangan negara sejumlah
lebih dari Rp 140 miliar. 294

Sebagai hasil dari suatu kejahatan, uang sebesar Rp 32 miliar dari proyek
pengadaan driving simulator tersebut tidak bersumber dari penghasilan
yang secara sah diterima oleh Djoko Susilo sebagai Kepala Korlantas POLRI.
Akan tetapi, dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi ini dapat dikategorikan sebagai objek
pajak, harus dibayarkan pajaknya ke Negara, dan wajib dilaporkan sebagai
bagian dari penghasilan Djoko Susilo dalam SPT Pajak Penghasilan pada
masa pajak tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, perlu dicermati secara utuh bahwa
uang yang diperoleh Djoko Susilo dari tindak pidana korupsi ini terjadi pada
tahun 2011 295, sedangkan perkara ini mulai disidangkan pada tahun 2013. 296
Oleh karena itu, apabila Djoko Susilo tidak melaporkannya sebagai
penghasilan yang diterimanya dalam SPT Pajak Penghasilan pada masa
pajak tahun 2011, yang bersangkutan seharusnya juga dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kesengajaannya untuk tidak melaporkan
‘penghasilan’ yang ia peroleh dari tindak pidana korupsi tersebut seperti
yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.

Meski demikian, pada tataran praktik, satu hal yang perlu dianalisis lebih
lanjut mengenai bisa atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap tindak
pidana di bidang perpajakan di atas, jika sebelumnya, pelaku telah dipidana

292
Putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014, hlm. 12.
293
Ibid., hlm. 24-32.
294
Ibid., hlm. 32-33.
295
Ibid., hlm. 32.
296
Ibid., hlm. 1.

87
dalam perkara tindak pidana korupsi. Perlu dipahami bersama bahwa Pasal
76 ayat (1) KUHP melarang dilakukannya penuntutan untuk kedua kalinya
terhadap perbuatan seseorang yang telah diadili oleh hakim serta
putusannya telah berkekuatan hukum tetap. 297

Utrecht memberikan pendapatnya mengenai makna pemberlakuan asas ne


bis in idem ini dengan mengatakan:

“Rasio a[s]as ini adalah dua buah: (a) tiap perkara harus
diselesaikan secara definitif Pada satu saat tertentu, penyelidikan
fakta-fakta dan menjalankan undang-undang pidana berhubung
dengan adanya fakta-fakta itu harus berakhir ... dan (b) tujuan tiap-
tiap peraturan hukum adalah memberi kepastian hukum
sebesar-besarnya bagi individu maupun masyarakat. Sudah
barang tentu sikap pemerintah yang tidak dapat membuat satu
keputusan terakhir yang tidak dapat diubah atau ditiadakan,
menggelisahkan baik individu maupun masyarakat. Individu tidak
akan merasa diri aman selama pemerintah masih dapat mengadakan
tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu
dalam masyarakat, merasa gelisah selama belum ada kepastian
tentang nasib individu atau beberapa individu yang menjadi anggota
salah salah satu di antara beberapa golongan tertentu itu”. 298

Berangkat dari logika tersebut, Utrecht menilai asas ne bis in idem dalam
hukum pidana memiliki tiga komponen penting 299, yaitu:
1. Pelakunya adalah satu orang tertentu 300;

297
Indonesia (18), op.cit., Pasal 76 ayat (1).
298
Utrecht, op.cit., hlm. 217-218.
299
Ibid., hlm. 216.
300
Syarat ini merupakan syarat subyektif ne bis in idem. Vos mengamini elemen ini mengingat
pertanggungjawaban pidana melekat pada individu-individu tertentu (werkt personlijk). Dengan
demikian, apabila suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang, maka dengan telah dilakukannya
penuntutan terhadap salah satu pelaku tindak pidana tersebut tidak secara otomatis menggugurkan
kewenangan Negara untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku lainnya. Baca R. Tresna, Azas-Azas
Hukum Pidana disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana jang Penting, (Bandung: Universitas
Padjajaran, 1959), hlm. 218 dan Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus,
Peringan, dan Pemberat Pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 18.

88
2. Perbuatannya adalah satu perbuatan tertentu 301; dan
3. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap 302 yang
mengadili perbuatan tersebut.

Dari ketiga elemen di atas, yang menjadi poin krusial dalam mengenakan
ketentuan delik perpajakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah
syarat kedua. Namun, sebelum sampai pada keputusan untuk bisa
melakukan penuntutan, perlu dipelajari terlebih dahulu apakah tindak
pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh
terpidana korupsi ini merupakan satu perbuatan yang sama.

Berkaitan dengan hal tersebut, makna ‘perbuatan’ di dalam Pasal 76 ayat (1)
KUHP telah mengalami banyak perkembangan. Van Hamel, misalnya,
mengartikan ‘perbuatan’ dalam pasal tersebut menjadi tiga hal, yaitu:
1. Perbuatan dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi (misdadig
voorval)
Berdasarkan pengertian ini, perbuatan harus dimaknai sebagai
peristiwa jahat secara luas yang telah dilakukan oleh pelaku tindak

301
Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan’ akan dijelaskan lebih lanjut pada bab ini.
302
Pada prinsipnya, putusan yang berkekuatan hukum tetap dimaknai sebagai putusan hakim
yang tidak lagi diajukan upaya hukum oleh pihak yang berperkara. Akan tetapi, Jonkers menilai syarat
ketiga ne bis in idem ini dapat diterjemahkan menjadi tiga jenis putusan, yaitu:
a. Penghukuman (veroordeling);
Hakim berpendapat terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya.

b. Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging); dan


Dalam hal ini, terdakwa dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, tetapi tidak dapat dipidana karena memiliki alasan-alasan yang
mengecualikan hukuman (strafuitsluitingdgronden) atau perbuatan yang didakwakan tidak
dapat dihukum.

c. Pembebasan (putusan bebas/vrijspraak)


Hakim berpendapat kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tersebut
tidak dapat dibuktikan.

Ibid., hlm. 216-217.

89
pidana. 303 Sebagai contoh, B yang bersama-sama melakukan
pencurian dengan A, tidak akan bisa dituntut apabila terhadap A
telah dilakukan penuntutan mengingat peristiwa jahat yang
dilakukan oleh (para) pelaku, yakni pencurian, telah diadili pada
perkara A. Terhadap hal ini, Utrecht menilai makna yang ditawarkan
oleh Van Hamel terkesan terlalu luas dan akan bertentangan dengan
prinsip individualisasi pidana yang dianut oleh KUHP. 304

2. Perbuatan dalam arti perbuatan yang menjadi pokok dakwaan (de


handeling zoals die is te laste gelegd)
Dalam pengertian yang kedua, Van Hamel mengonstruksikan
perbuatan (hetzefde feit) sebagai perbuatan pidana yang sama
(hetzefde strafbare feit). 305 Van Hamel mengilustrasikan penuntutan
yang telah dilakukan terhadap A karena menganiaya B pada Sabtu, 15
Agustus 1959 pukul 10.00 tidak akan menghapuskan peluang
dilakukannya penuntutan terhadap A yang kembali menganiaya B
pada hari dan tanggal yang sama pada pukul 20.00. 306 Hal ini
mungkin terjadi mengingat kedua perbuatan tersebut didakwa secara
terpisah dan oleh karenanya, penuntutan pun tetap dapat dijalankan.
Vos dan Utrecht menentang teori ini 307 karena dianggap terlalu
sempit menafsirkan makna ‘perbuatan’ dan bertentangan dengan
asas nemo debet vis ve[x]ari. 308

303
Ibid., hlm. 219.
304
Ibid.
305
Ibid., hlm. 220.
306
Ibid.
307
Ibid.
308
Seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya atas suatu perbuatan yang sama jika
telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803100228814, diakses pada 19
September 2019.

90
3. Perbuatan dalam arti perbuatan materiil (materiele handeling)
Perbuatan dimaknai sebagai perbuatan (yang ditinjau) terlepas dari
unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. 309 Pendapat ini mencoba
menghilangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari
dua teori sebelumnya. 310 Vos berpendapat A yang telah dipidana
sebelumnya karena mencuri sebuah jam tangan yang ditinggalkan
pemiliknya, tetap dapat dituntut oleh Negara jika setelah melakukan
pencurian itu, A lantas ingin memiliki jam tangan tersebut meskipun
tanpa persetujuan pemilik aslinya (penggelapan 311). 312 Kondisi ini
menjadi mungkin karena perbuatan materiil pada pencurian berbeda
sama sekali dengan perbuatan materiil pada penggelapan. 313

Pendapat ini telah ditinggalkan oleh Hoge Raad melalui putusannya


pada tanggal 27 Juni 1932 314 yang lebih menekankan pada sifat
peristiwa pidana yang berbeda untuk memaknai ‘perbuatan’ pada
Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut. 315 Namun, Vos dan Utrecht menilai
pertimbangan Hoge Raad ini harus dimaknai secara kasuistis dan
harus dibaca terbatas pada perkara yang memiliki konteks gabungan

309
Ibid.
310
Ibid.
311
Bunyi Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
312
Ibid., hlm. 220-221.
313
Ibid., hlm. 221.
314
NJ 1932, hlm. 1959, W Nr 12543. Ibid.
315
Hal ini terlihat pada putusan tertanggal 18 Februari 1935, NJ 1935, hlm. 791, W Nr 12980.
Dalam perkara ini, A yang berada dalam keadaan mabuk dan tidak bisa menguasai dirinya lantas
mengganggu ketertiban umum (Pasal 492 KUHP) dengan memukul seorang polisi (Pasal 356 sub 2e
KUHP). Hoge Raad menilai sifat peristiwa pidana yang tercantum dalam Pasal 492 KUHP adalah
keadaan terdakwa yang mabuk, tempat dan gangguan atas ketertiban umum. Sementara itu, Pasal 356
sub 2e KUHP memiliki sifat yang berbeda, yakni penganiayaan dan kedudukan resmi (polisi) sebagai
korban. Oleh karena itu, Hoge Raad membenarkan dilakukannya penuntutan atas tindak pidana yang
kedua tersebut. Ibid., 221-222.

91
berupa concursus idealis. 316 Dengan melihat pada perkembangan
terakhir pada berbagai putusan Hoge Raad, Vos mengusulkan tafsir
atas makna perbuatan menjadi “seluruh kejadian seperti ternyata dari
luar, sepanjang kejadian itu tidak terbagi dalam beberapa peristiwa-
peristiwa pidana yang masing-masing berdiri tersendiri (merupakan
peristiwa pidana tersendiri)”. 317

Penjelasan di atas menggambarkan dinamika pemaknaan terminologi


‘perbuatan’ dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP berikut justifikasi dan kritik
terhadapnya. Akan tetapi, di balik semua tafsir tersebut, menjadi sangat
penting untuk menentukan tempus delicti dari masing-masing tindak
pidana agar mampu membedakan apakah tindak pidana yang akan dituntut
kepada pelaku merupakan satu perbuatan atau kejahatan yang berdiri
secara terpisah antara satu dengan yang lainnya.

Apabila kita mengacu pada kasus Djoko Susilo di atas, Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor yang dijadikan dasar untuk menghukum yang bersangkutan adalah
tindak pidana yang mementingkan terpenuhinya akibat yang dilarang
undang-undang (delik materiil). 318 Oleh karenanya, ketika UU Tipikor
merumuskan Pasal 2 ayat (1) dengan redaksional ‘secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ 319,
maka tempus delicti tindak pidana ini terjadi seketika terdapat peningkatan
kekayaan pada pelaku yang merugikan keuangan negara. Dengan demikian,
seketika pada saat uang korupsi dari pengadaan driving simulator diterima
oleh Djoko Susilo dan beberapa orang serta korporasi lainnya, sejak saat

316
Ibid., hlm. 222.
317
Ibid., hlm. 223.
318
J. Remmelink (2), Pengantar Hukum Pidana Material 1, (Yogyakarta: Maharsa Publishing,
2014)., hlm. 77-79.
319
Mahkamah Konstitusi menghilangkan kata ‘dapat’ dari rumusan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

92
itulah akibat yang dilarang oleh Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah selesai
secara sempurna.

Pada sisi lainnya, salah satu tindak pidana di bidang perpajakan yang
berpotensi untuk dilakukan oleh terpidana korupsi dalam kaitannya dengan
peningkatan kekayaan yang diperolehnya dari kejahatan tersebut adalah
tindak pidana yang dirumuskan Pasal 39 ayat (1) huruf b UU KUP. Dalam
konteks ini, pelaku melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberikan
keterangan kepada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi isi dokumen atau
keterangan tersebut tidak benar atau tidak lengkap. 320 Berbeda halnya
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, tindak pidana ini lebih mementingkan
terselesainya anasir perbuatan yang diatur oleh ketentuan tersebut (delik
formil). 321 Apabila dihubungkan dengan kasus Djoko Susilo di atas,
terselesainya tindak pidana di bidang perpajakan ini baru terjadi ketika
Djoko Susilo menyerahkan Surat Pemberitahuan atau memberikan
keterangan yang isinya tidak lengkap atau tidak benar kepada Direktorat
Jenderal Pajak.

Dari analisis tersebut, terlihat dengan jelas bahwa kedua perbuatan di atas
bukan merupakan satu perbuatan yang sama.

Diterimanya uang korupsi dan kesengajaan untuk tidak melaporkan


‘penghasilan’ yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ini ke otoritas
pajak adalah dua perbuatan (feit) yang berbeda sama sekali. Niat jahat
untuk melakukan dua perbuatan tersebut juga tidak bisa disamakan satu
dengan yang lain. Selain itu, tempus delicti pada dua perbuatan tersebut
juga berbeda-beda. Sebagai konsekuensinya, perbuatan-perbuatan ini
harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, jika penuntutan kembali dilakukan terhadap Djoko Susilo
atas delik perpajakan yang dilakukannya, maka hal ini tidak bertentangan
dengan asas ne bis in idem di atas.

320
Indonesia (18), op.cit., Pasal 39 ayat (1) huruf d.
321
Remmelink (2), loc.cit.

93
Dengan menggunakan logika yang sama, proses penuntutan tetap dapat
dilakukan secara terpisah seandainya tindak pidana korupsi dan tindak
pidana di bidang perpajakan tersebut belum pernah diadili oleh putusan
pengadilan sebelumnya. Mengingat terdapat lebih dari satu tindak pidana
dalam ilustrasi kasus Djoko Susilo di atas, maka segala ketentuan yang
mengatur gabungan tindak pidana (concursus) harus dipertimbangkan
secara saksama. Berkaitan dengan hal ini, hukum pidana mengenal tiga jenis
gabungan tindak pidana, yaitu:
1. Concursus idealis/Eendaadse samenloop
Konsep gabungan yang pertama mengatur apabila satu perbuatan
melanggar beberapa ketentuan pidana secara sekaligus. 322 Apabila di
antara beberapa ketentuan pidana tersebut memiliki ancaman pidana
yang berbeda-beda, maka yang akan digunakan adalah pasal yang
memiliki ancaman pidana yang lebih berat. 323 Selain itu, apabila
perbuatan ini diatur oleh aturan-aturan yang umum dan khusus,
maka yang memiliki pengaturan lebih khusus itulah yang akan
digunakan. 324

2. Concursus realis/Meerdaadse samenloop


Konsep gabungan berikutnya mengatur dilakukannya beberapa
perbuatan yang dapat dilihat sebagai delik-delik yang berdiri sendiri-
sendiri. 325 Jika tindak-tindak pidana tersebut memiliki ancaman
pidana yang sejenis, akan dijatuhkan satu pidana dengan ketentuan
maksimal hukuman yang dapat dikenakan adalah jumlah maksimum
pidana untuk pasal-pasal tersebut tetapi tidak boleh lebih berat
daripada maksimum pidana terberat ditambah dengan sepertiga. 326
Apabila ancaman pidana di antara tindak pidana tersebut berbeda

322
Utrecht, op.cit., hlm. 140-141.
323
Indonesia (18), op.cit., Pasal 63 ayat (1).
324
Ibid., Pasal 63 ayat (2).
325
Utrecht, op.cit., hlm. 181-182.
326
Indonesia (18), op.cit., Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2).

94
jenis, maka akan dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi
jumlahnya tidak boleh lebih berat dibandingkan dengan pidana
maksimum untuk delik tersebut ditambah sepertiga. 327

3. Voorgezette handeling
Konsep ini dikenal dengan istilah perbuatan berlanjut atau perbuatan
yang terus-menerus. 328 Dalam pandangan Utrecht, voorgezette
handeling adalah bentuk khusus yang dirumuskan oleh Pasal 64
KUHP yang dapat diidentifikasi apabila beberapa perbuatan
terhubung satu dengan yang lain sehingga harus dipandang sebagai
suatu perbuatan yang diteruskan. 329

Melihat pada konsep gabungan tindak pidana di atas, perbuatan yang


diilustrasikan pada kasus Djoko Susilo tidak dapat dikategorikan sebagai
concursus idealis. Dari rincian perbuatan yang dilakukan, terlihat dengan
jelas bahwa perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi
secara melawan hukum dan tidak disertakannya ‘penghasilan’ yang
diperoleh pelaku dari tindak pidana korupsi pada SPT Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang Pribadi bukanlah merupakan satu perbuatan. Selain itu,
perbuatan-perbuatan pada kasus ini juga tidak dapat dilihat sebagai suatu
perbuatan berlanjut (voorgezette handeling). Kedua peristiwa ini tidak
saling berhubungan dimana tindak pidana korupsi tersebut tidak dijadikan
sarana untuk melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Akan menjadi lebih tepat apabila kasus tersebut didudukkan sebagai


concursus realis1 mengingat perbuatan memperkaya diri atau orang
lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ini dan tidak
melaporkan pendapatan secara benar/lengkap harus dipandang
sebagai kejahatan yang terpisah. Oleh karena itu, apabila penuntut
umum ingin menjalankan proses penuntutan terhadap kedua
perbuatan pelaku secara bersamaan, hal ini tidak bertentangan dengan
asas ne bis in idem.

327
Ibid., Pasal 66 ayat (1).
328
Utrecht, op.cit., hlm. 192.
329
Ibid., hlm. 192-193.

95
96
Diagram 3.2
ILUSTRASI PEMILAHAN TEMPUS DELICTI
TINDAK PIDANA KORUPSI & TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
Dalam kaitannya dengan hal di atas, proses penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan ini juga tetap dapat dijalankan meskipun, pada perkara
tindak pidana korupsi yang dijalaninya, pelaku telah dirampas barangnya
atau diwajibkan membayar uang pengganti. Perlu diperhatikan bahwa sifat
jahat suatu tindak pidana tidak melekat pada objek atau hasil kejahatan.
Fakta bahwa hakim telah merampas barang-barang yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi 330 tidak secara otomatis
menghapuskan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana di bidang
perpajakan tersebut. Peningkatan kekayaan dari tindak pidana korupsi
tersebut hanya menjadi pemantik niat jahat dari pelaku untuk secara
sengaja merahasiakan nominal atau sumber penghasilan yang diterima
sehingga kewajiban pajaknya dapat berkurang. Pertanggungjawaban pidana
akan selalu melekat pada perbuatan pelaku, bukan pada objek tindak
pidana. 331

Demikian halnya dengan pembayaran uang pengganti yang berbeda tujuan


peruntukannya dan tidak beririsan sama sekali dengan tindak pidana di
bidang perpajakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembayaran
uang pengganti dimaksudkan untuk mengganti uang korupsi yang telah
dinikmati terpidana. 332 Sementara itu, pembayaran pajak atas penghasilan
yang diterima individu merupakan kewajiban yang harus dicatatkan,
dilaporkan, dan dibayarkan kepada Negara. 333 Oleh sebab itu, seandainya
data pelaporan yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak tidak
lengkap atau tidak benar, hal ini merupakan suatu tindak pidana yang dapat
diproses secara langsung oleh penegak hukum, terlepas apakah terpidana
juga dihukum untuk membayar uang pengganti pada perkara korupsi yang
dijalaninya.

330
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.
331
R. Tresna, loc.cit.
332
Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.
333
Indonesia (20), op.cit., Pasal 1 ayat (1).

97
3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan
Setelah memahami konteks penerapan tindak pidana di bidang perpajakan
atas peningkatan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
persoalan berikutnya yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
kemungkinan dilakukannya penggabungan tuntutan antara tindak pidana
korupsi dan delik perpajakan tersebut. Untuk menjawab isu tersebut, kita
perlu memahami terlebih dahulu proses penanganan perkara tindak pidana
korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan secara menyeluruh.

Seperti halnya penanganan perkara pidana pada umumnya, kasus tindak


pidana korupsi akan ditangani dengan menggunakan ketentuan hukum
acara pidana seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai ketentuan spesifik yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menangani tindak pidana korupsi,
baik dalam konteks hukum acara maupun kelembagaan penegakan
hukum. 334 Proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga
pemeriksaan di sidang pengadilan akan menjadi tahapan-tahapan yang
akan dilalui dalam sebuah proses penanganan perkara tindak pidana
korupsi, termasuk yang ditangani oleh KPK. 335

334
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor ... Tahun
2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
335
Indonesia (22), Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor
30 Tahun 2002 jo. UU Nomor 10 Tahun 2015 jo. UU Nomor .. Tahun 2019, Pasal 38 dan Pasal 39.

98
Diagram 3.3
Alur Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Namun, penanganan perkara tindak pidana pajak sangat berbeda dari


proses yang ditentukan untuk tindak pidana korupsi. Diagram 3.3
menjelaskan secara utuh alur penanganan perkara pada delik perpajakan.
Secara umum, proses ini dimulai dengan melakukan pengecekan terhadap
pangkalan data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak,
yang dapat berasal dari (a) data internal seperti informasi intelijen, (b) data
pembayar pajak seperti SPT, dan (c) data eksternal seperti data dan
informasi instansi, lembaga, asosiasi dan pihak ketiga lainnya (ILAP) dan
data akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (exchange of
information/EOI). 336

Informasi-informasi ini dibandingkan kesesuaiannya dengan SPT yang


dilaporkan oleh Wajib Pajak. 337 Ketika data yang tercatat dalam pangkalan
data tidak sesuai dengan SPT dan tidak dilakukan pembetulan, kasus ini
akan masuk dalam tahap pemeriksaan atau dikelola dalam sistem informasi,
data, laporan dan pengaduan (IDLP). 338 Apabila tidak ditemukan indikasi

336
Sigit Danang Joyo (2), Tindak Pidana Perpajakan, disampaikan pada mata kuliah Tindak
Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan Kehormatan, 2 April 2019 di Sekolah Tinggi
Hukum Indonesia Jentera, Jakarta Selatan.
337
Ibid.
338
Ibid.

99
tindak pidana pada tahap pemeriksaan, harus dilakukan pengungkapan
ketidakbenaran SPT atau pengenaan sanksi administrasi/penetapan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) bagi Wajib Pajak. 339 Jika pada proses penelaahan
IDLP tidak ditemukan indikasi tindak pidana, maka penyelesaian perkara
akan diarahkan pada pengenaan sanksi administratif atau penerbitan
SKP. 340

339
Ibid.
340
Ibid.

100
341
Alur Penanganan Tindak Pidana Pajak
Diagram 3.4

341
Diolah dari data Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.

101
Apabila setelah data IDLP ditelaah dan ditemukan adanya indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan. 342 Jika dibandingkan dengan
hukum acara pidana, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dipersamakan
dengan konsep penyelidikan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP
yang bertujuan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan terhadap peristiwa yang dilaporkan tersebut. Seandainya
ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penanganan perkara akan
dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun demikian, demi kepentingan
penerimaan negara, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dihentikan
apabila Wajib Pajak bersedia mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya dan melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak terutang
beserta denda administratif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut. 343

Penyidikan tindak pidana pajak dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri


Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberikan
wewenang khusus sebagai penyidik dalam perkara ini. 344 Dalam tahap ini,
seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan akan ditujukan untuk mencari
dan mengumpulkan alat bukti dengan maksud membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan ini serta menemukan tersangkanya. 345 Jika
seluruh alat bukti dan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan
tindak pidana telah berhasil dikumpulkan oleh penyidik, berkas perkara
berikut tersangka dapat diserahkan ke penuntut umum untuk dilakukan
penuntutan dan diperiksa di sidang pengadilan.

342
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai proses pemeriksaan bukti permulaan, dapat
dipelajari konteks dan mekanisme yang diatur di dalam UU KUP, Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
343
Indonesia (20), op.cit., Pasal 8 ayat (3).
344
Ibid., Pasal 1 angka 32 dan Pasal 44 ayat (1).
345
Ibid., Pasal 1 angka 31.

102
Namun, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini dapat juga
dihentikan demi kepentingan penerimaan negara. Pasal 44B ayat (1) UU
KUP mengharuskan Menteri Keuangan meminta kepada Jaksa Agung agar
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permintaan tersebut. Akan tetapi,
seperti halnya penghentian pemeriksaan bukti permulaan di atas, pelaku
harus bersedia mengungkapkan kesalahannya dalam peristiwa yang disidik
serta melunasi hutan pajak yang kurang dibayar berikut denda administratif
sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak
seharusnya dikembalikan. 346

Tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan


memiliki skema dan alur penanganan perkara yang sangat berbeda satu
sama lain.

Apabila tindak pidana korupsi ditangani dengan prosedur beracara yang


biasa digunakan dalam hukum acara pidana, tindak pidana di bidang pajak
tidak bisa dilepaskan sama sekali dari prosedur perpajakan yang ditentukan
oleh UU KUP. Penyidik tindak pidana di bidang pajak harus betul-betul
memahami kapan pelanggaran pajak akan diproses menjadi tindak pidana.
Proses perpajakan yang terbagi menjadi self-assessment, official assessment,
hingga pemeriksaan di sidang pengadilan membuat penanganan delik ini
menjadi begitu berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. 347 Tidak
hanya itu, bahkan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan, perkara dapat dihentikan apabila pelaku bersedia menyatakan
kesalahannya, membayarkan jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar atau
tidak seharusnya dikembalikan berikut denda yang mengikutinya. Dengan
demikian, dilihat dari hukum acara yang dimiliki oleh kedua tindak pidana
ini, akan sangat sulit untuk menggabungkan proses penuntutan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan secara bersamaan.

346
Ibid., Pasal 44B ayat (2).
347
Joyo (1), loc.cit.

103
Kesimpulan yang sama juga akan terlihat setelah melakukan penelaahan
terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang anti korupsi dan di bidang perpajakan. Berkaitan
dengan penyidikan tindak pidana korupsi, Pasal 26 UU Tipikor mengatur
pelaksanaannya harus didasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang tersebut. Oleh karena itu,
Pasal 6 ayat (1) KUHAP juga akan berlaku pada penyidikan tindak pidana
korupsi dimana yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat
POLRI dan PPNS yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Di samping itu, kejaksaan juga memiliki
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam UU Kejaksaan 348, UU Tipikor 349, dan UU
KPK. 350

Akan tetapi, apabila tindak pidana korupsi yang sedang ditangani (a)
melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
berhubungan dengan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau
penyelenggara negara; dan/atau (b) menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp 1 miliar, maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK. 351 Di sisi
lain, Pasal 8 ayat (2) UU KPK membenarkan KPK untuk mengambil alih
penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi dari kepolisian atau
kejaksaan jika alasan-alasan yang disebutkan undang-undang tersebut
terpenuhi. 352 Selain kondisi-kondisi dan dalam konteks penanganan perkara

348
Indonesia (19), Undang-Undang Kejaksaan, UU Nomor 16 Tahun 2004, LN Nomor 67 Tahun
2004, TLN Nomor 4401, Pasal 30 ayat (1) huruf d.
349
Indonesia (27), op.cit., Pasal 26.
350
Indonesia (22), op.cit., Pasal 50.
351
Selain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi seperti
yang dijelaskan di atas, Pasal 11 huruf b UU KPK menentukan KPK juga berwenang untuk menangani
tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Akan tetapi, setelah
dilakukan revisi kedua atas UU KPK pada September 2019, wewenang ini dihilangkan oleh pembuat
undang-undang.
352
Alasan-alasan tersebut di antaranya:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-
tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
104
di atas, KPK tidak dibenarkan untuk mengambilalih penanganan perkara
dari penegak hukum lainnya.

Tabel 3.2
WEWENANG MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kualifikasi Tindak pidana Tindak pidana korupsi yang:


Perkara korupsi secara a. melibatkan penegak
umum hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang
berhubungan dengan
korupsi yang dilakukan
oleh penegak hukum atau
penyelenggara negara
b. menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp 1
mi
POLRI dan
Penyidik KPK
Kejaksaan

Sementara itu, berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan, Pasal


44 ayat (1) UU KUP menentukan yang berwenang melakukan penyidikan
terbatas pada PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan.

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak


pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan

Ibid., Pasal 9.

105
Penyidik POLRI, Kejaksaan, dan KPK yang menemukan indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan ketika mengusut perkara tindak pidana
korupsi, tidak bisa dengan sendirinya melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Sebaliknya, seandainya
pun PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak menemukan indikasi tindak
pidana korupsi pada delik perpajakan yang sedang ditanganinya, yang
bersangkutan tidak dibenarkan untuk melakukan penyidikan atas
tindak pidana korupsi tersebut karena kewenangannya untuk
melakukan penyidikan terbatas pada tindak pidana di bidang
perpajakan semata.1 Pengaturan yang demikian secara tegas menutup
kemungkinan dilakukannya penyidikan dan penuntutan kedua tindak
pidana tersebut oleh satu penegak hukum.

Pada tempat lainnya, wewenang yang dimiliki Pengadilan Tindak Pidana


Korupsi juga menghilangkan kemungkinan bagi pengadilan ini untuk
mengadili tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan.
Perlu dipahami bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus tiga jenis perkara 353, yakni:
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi; dan/atau
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Dari ketiga syarat di atas, yang mungkin dijadikan dasar untuk memeriksa
delik perpajakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah jenis kasus
pada poin c. Perumusan jenis tindak pidana yang demikian sangat
berhubungan dengan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan:

“Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang


secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap

353
Indonesia (31), Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 46 Tahun
2009, LN Nomor 155 Tahun 2009, TLN Nomor 5074, Pasal 6.

106
ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.” 354

Jika dilihat dari sejarah perumusannya, ketentuan ini meniru yang


dirumuskan dalam Pasal 1 sub 3e UU Tindak Pidana Ekonomi 355 dengan
redaksional sebagai berikut:

“Yang disebut tindak pidana ekonomi ialah:


1e. ...;
2e. ...;
3e. pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-
undang lain, sekadar undang-undang itu menyebut
pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi”

Dalam pandangan Loebby Loqman, pengaturan ini merupakan ‘aturan


pidana yang masih kosong (blanco straf bepalingen)’ yang bermaksud
memberlakukan UU Tindak Pidana Ekonomi terhadap suatu peraturan
yang belum diundangkan, sepanjang aturan tersebut mengklasifikasikan
delik dalam undang-undangnya sebagai tindak pidana ekonomi. 356 Lebih
lanjut, perumusan yang demikian memang sengaja dirumuskan untuk
mempermudah mengategorikan delik-delik baru sebagai tindak pidana
ekonomi. 357

Pada perkembangannya, sejumlah undang-undang yang disahkan setelah


UU Tindak Pidana Ekonomi menggunakan terminologi ‘tindak pidana
ekonomi’ terhadap delik-delik yang diaturnya. 358 Sebagai contoh, Pasal 8

354
Indonesia (27), op.cit., Pasal 14.
355
Indonesia (30), Undang-Undang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955, LN Nomor 27 Tahun 1955, TLN Nomor 801, Pasal 1 sub
3e.
356
Loebby Loqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Hukum dan Pembangunan, 5,
(Oktober 1994: 387-397).
357
Ibid.
358
Arsil, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban Pajak
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, dipresentasikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.

107
ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan menyebutkan
“pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya adalah tindak pidana ekonomi”. 359 Karena telah
merumuskan tindak pidana di PERPPU tersebut sebagai tindak pidana
ekonomi, maka berbagai ketentuan yang diatur di dalam UU Tindak Pidana
Ekonomi dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut. 360

359
Indonesia (11), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perdagangan Barang-
Barang dalam Pengawasan, PERPPU Nomor 8 Tahun 1962, LN Nomor 42 Tahun 1962, TLN Nomor
2469, Pasal 8 ayat (1).
360
Loebby Loqman, loc.cit.

108
atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini adalah tindak
pidana ekonomi
6 PERPPU Nomor 2 13 Pelanggaran terhadap
Tahun 1965 tentang ketentuan yang dianggap
Kebijaksanaan sebagai kejahatan dalam
Penerimaan Negara peraturan-peraturan
perpajakan, dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana
ekonomi.
7 PP Nomor 36 Tahun 14 Pelanggaran terhadap
1977 tentang ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9,
Pengakhiran Kegiatan dan 10 Peraturan Pemerintah
Usaha Asing dalam ini dan Peraturan Pelaksanaan
Bidang Perdagangan Peraturan Pemerintah ini
adalah kejahatan dan
merupakan tindak pidana
ekonomi

Untuk memperkuat pandangan Loebby Loqman ini, putusan Pengadilan


Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2299 K/Pid.Sus/2015 dapat dijadikan contoh yang baik untuk
mengetahui penerapan blanco straf bepalingen pada UU Tindak Pidana
Ekonomi tersebut. Dalam perkara ini, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 PERPPU
Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan digabungkan
penggunaannya dengan Pasal 1 sub 3e UU Tindak Pidana Ekonomi dan
dijadikan dasar untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana ekonomi. Adapun diktum putusan tersebut adalah sebagai berikut:

“Menyatakan Terdakwa Judianto Bin Sukiman terbukti bersalah


melakukan tindak pidana ekonomi sebagai pihak lain selain
Produsen, Distributor, dan Pengecer yang dengan sengaja melanggar
ketentuan larangan memperjualbelikan pupuk bersubsidi
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b jo. Pasal 1 sub 3e Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi jo. Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 8 ayat (1) Peraturan
110
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1962
tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan jo.
Pasal 2 ayat (1), (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77
Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang
dalam Pengawasan jo. Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 21 ayat (2) Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor
Pertanian;” 361

Apabila dihubungkan dengan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana


Korupsi pada Pasal 6 huruf c di atas, pertanyaan hukum yang harus dijawab
berkaitan dengan kemungkinan menggabungkan proses penuntutan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan adalah ‘apakah UU
KUP mengklasifikasikan tindak pidana di bidang perpajakan yang diatur
dalam undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi?’

Dengan menelusuri batang tubuh UU KUP secara menyeluruh, tidak


dapat ditemukan satu ketentuan pun yang menggolongkan delik
perpajakan sebagai tindak pidana korupsi.1 Oleh sebab itu,
penggabungan penuntutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di
bidang perpajakan menjadi tidak mungkin untuk dilakukan dalam
kerangka peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di
Indonesia.

361
Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla.

111
BAB IV
MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM &
OTORITAS PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI
PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

Setelah memahami konteks perpajakan dan penegakan hukum yang dapat


dilakukan terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi,
langkah penting berikutnya adalah mengidentifikasi dan memproyeksikan
mekanisme kerja sama terbaik yang dapat dilakukan oleh penegak hukum
dan otoritas perpajakan untuk dapat melakukan optimalisasi pengembalian
kerugian negara melalui pembebanan kewajiban perpajakan terhadap
kekayaan di atas. Pada bagian ini, praktik terbaik dari negara-negara lain
akan dipaparkan terlebih dahulu untuk memberikan informasi dan
menganalisis peluang kerja sama antara penegak hukum dan otoritas pajak.
Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan pada model kerja sama yang telah
dikembangkan oleh KPK dengan PPATK & DJP, sekaligus mengevaluasi
tantangan dan hambatan pelaksanaan kerja sama tersebut. Terakhir, akan
dijelaskan rekomendasi kerja sama yang seharusnya dibangun oleh kedua
institusi ini untuk bisa mengoptimalkan pembebanan kewajiban perpajakan
terhadap hasil tindak pidana korupsi.

4.1 Praktik Terbaik Kerja Sama Penegak Hukum dengan Otoritas


Perpajakan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hubungan strategis antara
korupsi dengan perpajakan terlihat dalam konteks pembebanan kewajiban
perpajakan atas hasil tindak pidana korupsi maupun interkoneksi yang
timbul dari proses penanganan perkara. Relasi ini kemudian mendorong
dilakukannya berbagai skema kerja sama antara otoritas pajak dengan
penegak hukum dengan tujuan memperlancar proses identifikasi tindak
pidana, penanganan perkara, hingga administrasi perpajakan yang timbul
dalam suatu kasus.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, OECD menggarisbawahi posisi


strategis yang dimiliki otoritas pajak dalam penanganan tindak pidana

112
korupsi. 362 Dengan tugas dan fungsi maupun data yang dimiliki otoritas
perpajakan, institusi ini mampu menganalisis dan melakukan audit atas
informasi-informasi perpajakan tersebut serta menemukan indikasi tindak
pidana korupsi. 363 Jika data-data tersebut dapat disampaikan kepada
penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, kualitas
penanganan tindak pidana korupsi akan semakin optimal. 364

Signifikansi pertukaran informasi-informasi di atas juga diterima oleh The


OECD Oslo Dialogue 2011 sebagai langkah strategis yang diperlukan untuk
menangani kejahatan perpajakan, korupsi, pencucian uang, dan
peningkatan harta kekayaan secara tidak sah. 365 Lebih lanjut, pertukaran
data ini harus dikembangkan antar lembaga pemerintah maupun
kelembagaan antar-negara, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan,
pendeteksian, penanganan pelaku serta pengembalian aset hasil tindak
pidana. 366

Empat tahun berikutnya, OECD dan World Bank berkomitmen untuk


mendukung upaya penanganan tindak pidana korupsi dan penggelapan
pajak (tax evasion) dalam tataran kebijakan dan teknis. 367 Komitmen
tersebut diwujudkan dengan disusunnya pedoman mengenai praktik
terbaik di berbagai negara untuk memperkuat institusi hukum berikut
strategi penanganan tindak pidana pajak dan korupsi, yang dirumuskan
oleh OECD Task Force on Tax Crimes and Other Tax Crime (TFTC) dalam

362
OECD (3), Effective Inter-Agency Co-operation in Fighting Tax Crimes and Other Financial
Crimes (Third Edition), (Paris: OECD, 2017), hlm. 77
363
OECD (1), op.cit., hlm. 22.
364
Ibid.
365
OECD (6), The OECD Oslo Dialogue: A Whole of Government Approach to Fighting Tax
Crimes and Illicit Flows, https://www.oecd.org/tax/crime/Oslo-Dialogue-flyer.pdf, diakses pada 25
Oktober 2019.
366
Ibid.
367
OECD dan The World Bank, Improving Co-operation between Tax Authorities and Anti-
Corruption Authorities in Combating Tax Crime and Corruption, (Paris: OECD & The World Bank, 2018),
hlm. 14.

113
10 Prinsip Global Pemberantasan Tindak Pidana Pajak. 368 Dari sejumlah
negara anggta OECD yang tergabung dalam TFTC ini, praktik yang
dijalankan oleh Inggris, Australia, dan Singapura dapat dijadikan
pembelajaran untuk mengefektifkan penanganan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana pajak. 369

4.1.1 Inggris
Dalam sistem hukum Inggris, proses pengumpulan dan analisis informasi
perpajakan dilakukan oleh HM Revenue dan Customs (HMRC). 370 Institusi
ini dibentuk dari penggabungan Inland Revenue (kantor otoritas
perpajakan) dengan HM Customs and Excise (otoritas keimigrasian dan bea
cukai), yang terjadi pada tahun 2005. 371 Selain melakukan tugas administrasi
perpajakan, HMRC juga memiliki tanggung jawab melaksanakan maupun
memimpin investigasi tindak pidana perpajakan. 372 Fungsi ini dilakukan
oleh HMRC Fraud Investigation Service 373 yang memiliki penyidik pajak
yang berpengalaman melakukan audit, analisis maupun penyidikan
transaksi mencurigakan. 374 Dalam menjalankan fungsi ini, HMRC
berwenang menjangkau berbagai informasi dan dokumentasi wajib pajak
hingga pihak ketiga. 375 Akses data yang sedemikian luas ini
merepresentasikan posisi strategis HMRC dalam mencegah dan melakukan
deteksi dini terhadap tindak pidana pajak dan korupsi. 376

368
OECD (4), Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles, (Paris: OECD, 2017), hlm. 9.
Kesepuluh prinsip global ini secara garis besar mencakup pencegahan, deteksi dini, investigasi dan
kerja sama dalam penanganan tindak pidana pajak dan korupsi baik di dalam maupun luar negeri serta
pengembalian aset hasil kedua tindak pidana tersebut.
369
Ibid.
370
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22
371
OECD (3), op.cit., hlm. 477.
372
Ibid., hlm. 23.
373
OECD (3), loc.cit.
374
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22.
375
Ibid., hlm. 23.
376
Ibid.

114
Sementara itu, penanganan tindak pidana korupsi di Inggris tersebar di
beberapa unit mencakup kepolisian, dan lembaga penegak hukum
lainnya. 377 Pada tahun 2013, dibentuk National Crime Agency (NCA) yang
berwenang menangani kejahatan serius dan terorganisir, fraud, dan cyber
crime. 378 Selain ketiga isu tersebut, NCA juga bekerja sama dengan lembaga
penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi. 379 Tepat pada bulan
Mei 2015, NCA International Corruption Unit dibentuk 380 sebagai bagian
dari NCA. Unit tersebut bertugas melakukan investigasi tindak pidana
korupsi dan pencucian uang baik di dalam maupun luar negeri, penelusuran
aset, dan mendukung lembaga asing dalam melakukan investigasi
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. 381
Selain itu, lembaga lain yang juga berwenang menangani tindak pidana
korupsi adalah Serious Fraud Office (SFO) yang bertugas melaksanakan
investigasi dan penuntutan atas kasus kecurangan serius (serious fraud) dan
korupsi, termasuk suap yang melibatkan pejabat publik asing. 382 Umumnya,
kejahatan serius dan kompleks seperti korupsi akan ditangani oleh penyidik
yang memiliki spesialisasi di bidang tersebut. 383 Sementara itu, untuk kasus-
kasus dengan skala kecil akan ditangani oleh penyidik biasa. 384

377
OECD (3), op.cit., hlm. 479.
378
Ibid.
379
Ibid.
380
Ibid, NCA International Corruption Unit merupakan gabungan dari Metropolitan Police
Service Proceeds of Corruption Unit, City of London Police Overseas Anti-Corruption Unit, and NCA
Kleptocracy Investigation Unit.
381
Ibid.
382
OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 25.
383
Ibid., hlm. 29
384
Ibid.

115
4.1.1.1 Model Kerja sama HMRC dengan Lembaga Anti Korupsi di
Inggris
Model kerja sama yang dikembangkan antara HMRC dan lembaga anti
korupsi di Inggris salah satunya dilakukan melalui pertukaran informasi. 385
Pertukaran informasi sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2001, yakni
antara kantor pajak dan bea cukai dengan lembaga penegak hukum di
bidang anti terorisme. 386 Kerja sama tersebut melegalkan penggunaan
informasi untuk mendukung investigasi atau penuntutan tindak pidana,
atau dapat juga digunakan sebagai bukti awal atau penghentian investigasi
atau penuntutan suatu tindak pidana. 387

Di tahun 2016, Pemerintah Inggris mendorong pertukaran informasi di


bidang pajak, korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya, melalui
pembentukan joint task force (satuan tugas/satgas) antara HMRC, NCA,
SFO dan Financial Conduct Authority (FCA). 388 Satgas tersebut kemudian
membentuk Joint Financial Analysis Centre (JFAC), sebuah gateway yang
menyediakan berbagai informasi yang telah diolah kepada satgas. 389 Data
yang diolah tersebut berasal dari data dan intelijen di masing-masing
lembaga yang tergabung di satgas. 390 JFAC juga membantu satgas untuk
mengidentifikasi sektor tertentu untuk selanjutnya dapat dilakukan
investigasi mendalam, baik di bidang perpajakan dan kejahatan ekonomi
yang berhubungan dengan kejahatan terorganisasi. 391

385
Ibid.
386
OECD (6), Tax Administration Detecting Corruption, (Paris: OECD, 2012), hlm. 11.
387
Ibid.
388
OECD (3), op.cit., hlm. 481. Sejak pembentukannya, joint task force telah mampu
mengungkap penyidikan tindak pidana pajak yang dilakukan individu, mengidentifikasi indikasi tindak
pidana di bidang ekonomi, transaksi mencurigakan di berbagai perusahaan. Awal pembentukan join
task force tersebut ialah untuk mengungkap kasus Panama Papers.
389
Ibid.
390
Ibid.
391
Ibid.

116
Diagram 4.1
Mekanisme Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak Hukum
di Inggris

Merujuk pada keterangan tabel 4.1, HMRC dan SFO/NCA memiliki


kewenangan yang sama untuk saling melakukan pertukaran informasi
terkait penanganan tindak pidana pajak dan korupsi. SFO/NCA dapat
memberikan informasi kepada HMRC jika menemukan indikasi tindak
pidana perpajakan dalam kasus yang ditanganinya, begitu pula sebaliknya.
Namun pemberian informasi ini bersifat spontaneusly sharing information,
yakni masing-masing lembaga tetap dapat memilih untuk memberikan
informasi atau tidak. 392 Merujuk pada hal tersebut, penanganan perkara

392
Ibid., hlm. 93

117
tindak pidana perpajakan dan korupsi diserahkan kembali pada masing-
masing lembaganya, yakni HMRC dan NCA/SFO.

Selain kedua model kerja sama yang disebutkan di atas, bentuk kerja sama
yang juga digunakan di Inggris adalah penempatan pegawai suatu lembaga
di lembaga lain. Sebagai contoh, HMRC menempatkan pegawainya di Civil
Recovery and Tax Team NCA. 393 Pegawai tersebut dapat menggunakan
informasi perpajakan untuk membantu penanganan kejahatan di lembaga
tempat ia ditempatkan. 394 Cara ini dianggap efektif untuk meningkatkan
keterampilan pegawai tersebut sekaligus membangun relasi dengan
pegawai lembaga lain. 395 Pegawai tersebut dapat berbagi keterampilan,
pengalaman serta pengetahuan secara langsung dengan lembaga dimana ia
ditempatkan. 396

393
Ibid., hlm. 152
394
Ibid.
395
Ibid.
396
Ibid.

118
4.1.2 Australia
Di Australia model kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti-
korupsi mencakup pertukaran informasi, joint investigation, pendidikan
dan pelatihan serta pertukaran personil. Pertukaran informasi antara
Australian Tax Office (ATO), Australian Federal Police (AFP) dan lembaga
lainnya bersifat spontaneusly sharing information, yakni antar-lembaga
diperbolehkan mengirimkan data satu sama lain tetapi bukan merupakan
suatu kewajiban. 398 Diperbolehkannya ATO untuk mengungkap data
perpajakan juga diatur dalam Tax Administration Act 1953 (TAA). TAA
memperbolehkan ATO mengungkap data perpajakan untuk tujuan
penyidikan atas kejahatan dengan ancaman pidana lebih dari 12 bulan atau
atas dasar permintaan taskforce 399. 400

Dalam rangka mendukung pertukaran informasi, pemerintah Australia


mendirikan The Australian Criminal Intelligence (ACIC). 401 ACIC didirikan
dengan tujuan untuk menganalisis berbagai informasi dan berkoordinasi
dengan lembaga lain seperti ATO, AFP, Australian Securities and
Investments Commission, Attorney General dan sebagainya. 402
Kewenangan yang dimiliki ACIC diantaranya adalah menyediakan berbagai
informasi, termasuk informasi yang sulit didapatkan serta menjadi pusat
data intelijen nasional. 403

398
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60
399
Task force ini merupakan satuan tugas yang terdiri dari ATO, AFP dan lembaga lainnya yang
tergabung dalam Serious Financial Crime Task force (SFCT).
400
Inspector General of Taxation, Review Into The ATO’s Fraud Control Management, Chapter
7 – Interagency Collaboration, Poin 7.9, https://igt.gov.au/publications/reports-of-reviews/review-
into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-7-interagency-collaboration/, diakses pada 25
Oktober 2019.
401
OECD (3), op.cit., hlm. 140
402
Ibid.
403
Ibid.

120
Selain ACIC, terdapat juga Fintel Alliance yang dibentuk oleh AUSTRAC
(Australian Transaction Reports and Analysis Centre) pada tahun 2017. 404
Fintel Alliance merupakan kerja sama antara pemerintah Australia dan
sektor privat (publik maupun asing) yang bergerak di bidang penyediaan
data, pertukaran informasi dan analisis terkait data keuangan. 405 Data
tersebut digunakan salah satunya untuk mendukung investigasi dan
penuntutan atas tindak pidana serius, pendanaan terorisme dan hal-hal
yang bersifat mengancam keamanan nasional. 406

Selain pertukaran informasi, Australia juga menggunakan mekanisme kerja


sama yang mengizinkan antar-lembaga melakukan penyidikan dan
penuntutan bersama melalui joint investigation team. 407 Pembentukan joint
investigation team dimulai pada tahun 2006 melalui Project Wickenby. 408
ATO berperan sebagai pemimpin dalam proyek tersebut dan bekerja sama
dengan Australian Crime Commission (selanjutnya berubah menjadi
Australian Criminal Intelligence Commission/ACIC), AFP, Australian
Securities and Investments Commission, Commonwealth Director of Public
Prosecutions, Finance Intelligence Unit (FIU), Attorney-General’s
Department dan Australia Government Solicitor. 409 Project Wickenby
memungkinkan otoritas pajak untuk memberikan informasi perpajakan

404
Australian Transaction Reports and Analysis Centre, Fintel Alliance,
https://www.austrac.gov.au/about-us/fintel-alliance, diakses pada 26 Oktober 2019.
405
Ibid.
406
Ibid.
407
OECD (3), op.cit., p. 135. Negara-negara lain yang menggunakan joint investigation team
adalah Austria, Azerbaijan, Singapura, US, Denmark, Brazil, Kanada, El Salvador, Jerman, Ghana,
Yunani, India, Israel, Finlandia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Portugal, Malaysia, Afrika Selatan,
Slovenia, Turki, Hungaria, dan Republik Ceko.
408
Ibid. Project Wickenby dibentuk pertama kali untuk melindungi integritas sistem keuangan
dan regulasi Australia sekaligus mencegah masyarakat untuk mempromosikan atau ikut serta dalam
penyalahgunaan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah.
409
Ibid.

121
yang lebih luas kepada tim gabungan untuk digunakan dalam proses
investigasi dan menentukan strategi terbaik di masa mendatang. 410

Diagram 4.2
Project Wickenby sebagai Kerja Sama Otoritas Perpajakan dengan
Penegak Hukum di Australia

Menyusul kesuksesan Project Wickenby, pemerintah Australia kemudian


membentuk The Serious Financial Crime Task Force (SFCT) yang terdiri
dari AFP, ATO, dan lembaga intelijen, kepolisian serta lembaga penegak

410
Ibid

122
hukum lainnya. 411 SFCT merupakan bagian dari Fraud and Anti-Corruption
Centre yang dipimpin oleh AFP. 412 Fokus dari SFCT adalah penanganan
kejahatan keuangan serius di Australia, yang mana salah satunya terkait
perpajakan. 413

SFCT fokus pada kegiatan operasional, mengumpulkan data intelijen dan


pertukarannya, mengidentifikasi dan menginisasi pembaharuan yang
dibutuhkan terkait penanganan tindak pidana pajak, korupsi dan kejahatan
ekonomi lainnya. 414 Selain itu, SFCT juga bertugas merampas harta
kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana, termasuk tindak pidana pajak
dan korupsi, serta melakukan penuntutan atas kejahatan ekonomi yang
serius. 415 Proses penuntutan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dilakukan langsung oleh SFCT dengan melibatkan anggota-anggota yang
ada di dalamnya seperti ATO dan AFP, dan bekerja sama dengan organisasi
lain. 416 Sebagai contoh, dalam penuntutan kasus Issadikis dan Dickson
terkait tindak pidana pajak dan pencucian uang, yang diputus oleh New
South Wales Supreme Court di tahun 2015, SFCT bersama dengan
anggotanya ATO dan AFP, bekerja sama dengan Criminal Assets
Confiscation Task Force sukses mengungkap kasus tersebut. 417

Subjek yang menjadi target SFCT adalah pihak yang terlibat atau
berhubungan dengan serious fraud dan pencucian uang. 418 Sejak dibentuk

411
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83
412
Ibid.
413
OECD (2), Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC Economies, (Paris: OECD, 2019),
hlm. 10.
414
Ibid.
415
Ibid.
416
Australian, Tax Office, Justice Served in Largest Ever Prosecuted Tax Fraud,
https://www.ato.gov.au/media-centre/media-releases/justice-served-in-largest-ever-prosecuted-tax-
fraud/, diakses pada 25 Oktober 2019.
417
Ibid.
418
Ibid. Namun prioritas SFCT saat ini berfokus pada penggelapan pajak, fraud, dana pensiun
dan trust.

123
pada 1 Juli 2015, berikut adalah hasil capaian SFCT yang dirilis pada Juni 2019
lalu: 419
a. 284 Surat Penggeledahan diterbitkan;
b. 1145 audit selesai dilaksanakan;
c. 7 penuntutan ;
d. 5 orang terpidana;
e. AUD 836 juta kenaikan kewajiban pajak; dan
f. AUD 306 juta dikembalikan kepada negara.

Mekanisme kerja sama lainnya yang dilaksanakan di Australia adalah


melalui program pelatihan bersama antar lembaga yang terlibat dalam
penanganan tindak pidana pajak dan korupsi. Program pelatihan yang
ditawarkan di antaranya adalah pelatihan khusus bagi petugas pajak untuk
mengidentifikasi korupsi dengan berbagai indikator tindak pidana
korupsi. 420 Selain itu, Australia juga melaksanakan pertukaran penempatan
pegawai antar lembaga untuk mengefektifkan pertukaran pengetahuan
(transfer of knowledge) di masing-masing lembaga. 421 Selain itu, praktik
penempatan pegawai di lembaga lain juga mendorong kerja sama yang lebih
efektif dan meningkatkan pengalaman serta pemahaman para pegawai
terkait tindak pidana perpajakan, korupsi dan sebagainya. 422 Selain yang
disebutkan di atas, Pemerintah Australia juga aktif melaksanakan
diseminasi, berbagi produk intelijen seperti berita serta berkoordinasi satu
sama lain terkait kebijakan yang melibatkan lembaga pajak dan anti-korupsi
satu sama lain. 423

419
Australian Federal Police, Serious Financial Crime Taskforce, https://www.afp.gov.au/what-
we-do/crime-types/fraud/serious-financial-crime-taskforce, diakses pada 25 Oktober 2019.
420
OECD (3), op.cit., hlm. 153
421
Ibid., hlm. 17
422
Ibid.
423
Ibid.

124
Tabel 4.2
MODEL PERTUKARAN INFORMASI ANTARA OTORITAS PERPAJAKAN
DENGAN PENEGAK HUKUM DI AUSTRALIA

125
4.1.3 Singapura
Menurut Global Competitive Report 2015-2016, kasus korupsi yang
berhubungan dengan perpajakan di Singapura terbilang sangat jarang. 424
Meski demikian, kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti korupsi
di Singapura dinilai cukup bagus. Salah satu perkara yang menjadi preseden
baik dari kerja sama kedua lembaga tersebut adalah kasus korupsi dan
pelanggaran pajak yang melibatkan pejabat bea cukai dan warga negara
India pada tahun 2014. 425

Di Singapura, otoritas yang berwenang melakukan administrasi perpajakan


adalah The Inland Revenue Authority of Singapore atau lazim disebut IRAS.
IRAS bersama dengan Investigation and Forensics Division (IFD)
berwenang melakukan penanganan perkara tindak pidana pajak. 426 Dalam
praktiknya, penyidikan tindak pidana pajak di Singapura dipimpin oleh
Kepala IRAS. 427 Namun, Kepala IRAS juga dapat menunjuk petugas pajak
lainnya untuk memimpin pelaksanaan penyidikan pajak. 428 Sementara itu,
untuk perkara tindak pidana korupsi, pihak yang berwenang menanganinya
adalah The Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) yang didirikan
pada tahun 1952 dan berada di bawah koordinasi Perdana Menteri. 429
Direktur CPIB bertanggung jawab langsung terhadap Perdana Menteri
terkait pelaksanaan kewenangan tersebut. 430

424
GAN Business Anti-Corruption Portal, Singapore Corruption Report,
https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/singapore/, diakses pada 26 Oktober 2019.
425
Corruption Practices Investigation Bureau, Six Charged for Corrupt and Fraudulent GST
Tourist Refund Claims, https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-corrupt-and-
fraudulent-gst-tourist-refund-claims, diakses pada 26 Oktober 2019.
426
Ibid., hlm. 422
427
OECD (4), op.cit., hlm. 76
428
OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 26
429
Ibid., hlm. 423
430
OECD & The World Bank, loc.cit.

126
Kerja sama pertukaran informasi kedua lembaga di Singapura tersebut
berbeda dengan Australia maupun Inggris. Jika Inggris dan Australia
memperbolehkan otoritas pajak dan lembaga anti-korupsi bertukar data
secara langsung walaupun tidak diwajibkan, maka Singapura hanya
mengizinkan IRAS mempertukarkan data ke CPIB berdasarkan
permintaan 431 dan hanya bisa digunakan untuk proses
penyidikan/penuntutan. 432
Namun demikian, petugas pajak diwajibkan
untuk melaporkan kepada kepolisian, kejaksaan atau CPIB, jika
menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. 433 Lebih lanjut, jika
petugas kepolisian maupun jaksa menemukan indikasi tindak pidana
korupsi, mereka dapat melaporkan hal tersebut kepada CPIB, akan tetapi
pelaporan tersebut tidak diwajibkan. 434 Sebaliknya, lembaga penegak
hukum dapat langsung memberikan informasi atau data jika menemukan
adanya indikasi tindak pidana perpajakan kepada IRAS, tetapi hal tersebut
tidak diwajibkan. 435

431
Ibid., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.
432
Ibid., hlm. 424-425.
433
Ibid., hlm. 78.
434
Ibid., hlm. 99
435
Ibid., hlm. 93

127
Diagram 4.3
Skema Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak
Hukum di Singapura

Penanganan perkara tindak pidana pajak dan korupsi dilakukan secara


terpisah oleh masing-masing lembaga yang berwenang yakni IRAS dan
CPIB. Akan tetapi jika perkara yang ditangani terdapat indikasi tindak
pidana korupsi dan pajak yang saling berhubungan, maka kedua lembaga
tersebut dapat saling bekerja sama dalam penanganan perkara, contohnya
kasus korupsi dan pelanggaran perpajakan yang melibatkan petugas bea
cukai dan 4 (empat) orang warga negara India. 436

Pada kasus tersebut, IRAS dan Kantor Bea Cukai Singapura mendeteksi
adanya pelanggaran perpajakan terhadap Pajak Konsumsi. 437 Keduanya
kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menemukan
keterlibatan petugas bea cukai dalam kasus tersebut. 438 Kasus ini kemudian

436
Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.
437
Ibid.
438
Ibid.

128
dilimpahkan ke CPIB untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut. 439 Sampai
dengan putusan dijatuhkan, IRAS bersama dengan Kantor Bea Cukai
bekerja sama dengan CPIB secara intensif dalam penanganan kasus
tersebut. 440 Oleh pengadilan, petugas bea cukai dinyatakan terbukti
menerima gratifikasi dan membantu 4 warga negara India melakukan klaim
palsu atas Pajak Konsumsi. 441

Gambaran mengenai praktik kerja sama di atas menunjukkan terpisahnya


penanganan tindak pidana pajak dan korupsi, tidak menutup kemungkinan
dilakukannya kerja sama di antara kedua lembaga tersebut untuk
menangani perkara secara bersama-sama. Di sisi lain, dari putusan yang
dijatuhkan, membuka ruang penggabungan penuntutan atas kedua tindak
pidana tersebut, sepanjang keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Metode kerja sama yang dikembangkan untuk penanganan tindak pidana


pajak dan korupsi lainnya adalah melalui pemberian pelatihan (training).
Praktik pemberian training diberikan kepada pegawai CPIB untuk
memahami indikator tindak pidana pajak. 442 Training ini diberikan dalam
pendidikan dasar CPIB maupun dalam pelatihan berkala yang
diselenggarakan CPIB. 443

439
Ibid.
440
Ibid. Dalam Putusan yang dirilis Court 26, petugas bea cukai Singapura terbukti melakukan
tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi sebesar $11.400,00 dan pelanggaran pajak
konsumsi karena membantu 4 orang WN India melakukan klaim pengembalian Pajak Konsumsi secara
curang. Sedangkan 4 orang WN India terbukti memberikan gratifikasi dan mengajukan klaim palsu atas
pajak konsumsi.
441
Ibid.
442
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 72
443
Ibid.

129
4.2 Kerja Sama yang Dikembangkan KPK dengan Kementerian/
Lembaga
4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK)
Kerja sama antara KPK dan PPATK dimulai sejak tahun 2011, yang ditandai
dengan adanya Nota Kesepahaman di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. 444 Adapun ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut
meliputi: 445
a. pertukaran informasi;
b. perumusan produk hukum;
c. intersepsi atau penyadapan;
d. penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang;
e. penelitian dan sosialisasi;
f. pendidikan dan pelatihan; dan
g. pengembangan sistem teknologi informasi.

Kerja sama tersebut bermula pada keinginan intelijen PPATK membantu


penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang
ditangani oleh KPK. 446 Hingga pada akhirnya kerja sama tersebut disahkan
melalui Nota Kesepahaman di antara kedua belah pihak. 447 Dalam kerja
sama tersebut, masing-masing pihak, yakni KPK dan PPATK memiliki
pejabat penghubung dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman
tersebut. Pejabat penghubung KPK diwakili oleh Direktur Pembinaan
Jaringan Kerja Antar Komisi dan Antar Instansi (PJKAKI) 448, sementara itu

444
Iman Santoso (1), Wawancara, disampaikan di Direktorat PJKAKI-KPK, 17 Oktober 2019
445
Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, Pasal 2.
446
Santoso (1), loc.cit.
447
Ibid.
448
Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, op.cit., Pasal 13 ayat (1)

131
PPATK diwakili oleh Direktur Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
(KSHM). 449

Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu bentuk kerja sama kedua lembaga
tersebut adalah pertukaran informasi yang dilakukan melalui sistem online
yang disebut Secure Online Communication (SOC). 450 Yang dipertukarkan
dalam pertukaran informasi berupa data enquiry dan informasi pro-aktif. 451
Informasi enquiry adalah informasi yang diberikan karena adanya
permintaan dari KPK. 452 Di sisi lain, informasi pro-aktif merupakan
informasi yang diberikan oleh PPATK kepada KPK tanpa adanya permintaan
dari KPK, tetapi atas inisiatif dari PPATK langsung. 453 Informasi pro-aktif
diperoleh melalui berbagai sumber yakni:
a. Informasi hasil analisis PPATK yang bersumber dari Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM); 454
b. Informasi hasil analisis mandiri PPATK terhadap kasus-kasus tindak
pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. 455 Dalam hal ini, PPATK
memantau kasus-kasus yang sedang ditangani KPK melalui berbagai
media dan melakukan analisis mandiri tanpa permintaan KPK; 456

449
Ibid., Pasal 13 ayat (2).
450
Santoso (1), loc.cit.
451
Ibid.
452
Ibid.
453
Ibid.
454
Ibid. Pasal 1 angka 5 UU TPPU menentukan kriteria transaksi keuangan mencurigakan yakni:
1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak
Pelapor sesuai dengan ketentuan UU TPPU;
3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dnegan menggunaka
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
455
Ibid.
456
Ibid.

132
c. Informasi yang disampaikan oleh bank-bank kepada PPATK, tanpa
permintaan PPATK (LTKM Pro-Aktif). 457 Informasi tersebut biasanya
disampaikan apabila ada transaksi keuangan milik pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani KPK. 458 Bank-bank tersebut
berinisiatif melaporkan transaksi keuangan tersebut kepada PPATK
untuk ditindaklanjuti dan disampaikan ke KPK. 459

Prosedur pelaksanaan pertukaran informasi diawali dengan pengajuan surat


permintaan data kepada PPATK yang ditandatangani oleh Komisioner
KPK. 460 Surat tersebut dikirimkan melalui Direktorat PJKAKI-KPK kepada
Direktorat Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat PPATK. 461 Setelah
diterima oleh PPATK, maka Direktorat Kerja Sama dan Hubungan
masyarakat akan mendisposisi surat permintaan tersebut kepada analis
PPATK untuk menganalisis informasi yang diminta oleh KPK. 462

Informasi yang sudah dianalisis oleh analis PPATK kemudian dikirimkan ke


Direktorat PJKAKI-KPK melalui Direktorat Kerja Sama dan Hubungan
Masyarakat PPATK,untuk selanjutnya disampaikan pada divisi terkait. 463
Pengajuan surat permintaan informasi dan informasi yang dipertukarkan
dilakukan melalui SOC. 464

457
Ibid.
458
Ibid.
459
Ibid.
460
Ibid. Lihat juga Indonesia (2), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan Informasi Ke Pusar Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan, Pasal 6 ayat (1)
461
Santoso (1), loc.cit.
462
Ibid.
463
Ibid.
464
Ibid.

133
Diagram 4.4
Alur Proses Pertukaran Data KPK dan PPATK

Selain melalui jalur formal sebagaimana di atas, dalam praktiknya


pertukaran informasi antara KPK dan PPATK juga dilakukan secara
informal. Dalam hal ini, pihak KPK seperti penyidik biasanya berkomunikasi
langsung dengan analis PPATK. 465 Namun data yang diperoleh melalui
informasi informal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti oleh
penyidik KPK, tetapi hanya sebagai informasi intelijen saja. 466

Bentuk komunikasi informal tersebut dapat juga digunakan apabila KPK


mengajukan pemintaan analisis lanjutan di PPATK atas kasus yang
sebelumnya sudah dimintakan analisisnya. 467 Komunikasi secara intens
melalui jalur informal tersebut dilakukan untuk meminimalkan kesalahan
dan miskomunikasi terhadap data yang dianalisis oleh PPATK. 468 Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan analisis pada tahap awal suatu perkara
dengan analisis lanjutan atas kasus tersebut. 469 Kondisi tersebut disebabkan
karena analis yang ditugaskan menganalisis informasi tersebut berbeda
dengan analis awal. 470 Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut,

465
Ibid.
466
Ibid.
467
Ibid.
468
Ibid.
469
Ibid.
470
Ibid.

134
dilakukan komunikasi secara informal agar dapat tertangani dengan baik.
Pertukaran informasi tersebut tidak hanya dilakukan sepihak atas
permintaan KPK terhadap PPATK, tetapi juga sebaliknya. Keduanya dapat
saling memberitahukan informasi yang diterima untuk mendukung
penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 471

4.2.1.1 Pembelajaran Pelaksanaan Kerja Sama KPK dengan


PPATK
Pelaksanaan pertukaran informasi antara KPK dan PPATK bukanlah tanpa
tantangan. Sejumlah tantangan kerap dihadapi oleh KPK dan PPATK antara
lain meliputi:
a. Miskomunikasi antara penyidik KPK dan analis PPATK sehingga data
analisis PPATK tidak sesuai dengan kasus yang ditangani oleh
penyidik KPK dan sebaliknya. 472 Kondisi tersebut biasanya terjadi
dalam hal permintaan analisis lanjutan dari KPK ke PPATK. 473 Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa terjadi karena analis
yang ditugaskan untuk menganalisis data lanjutan berbeda dengan
analis awal, atau karena perbedaan tahun periode antara data analisis
awal dan analisis lanjutan. 474
b. Anggapan bahwa data yang dikirimkan dari PPATK lama
pengirimannya. Penyebab lamanya pengiriman tersebut umumnya
disebabkan oleh beberapa faktor yakni: a) tidak semua data transaksi
dilaporkan ke PPATK; 475 b) Data yang dimiliki PPATK sebatas pada
yang dilaporkan lembaga keuangan bank dan non-bank dan datanya

471
Ibid.
472
Ibid.
473
Ibid.
474
Ibid.
475
Indonesia (28), op.cit., Pasal 23 ayat (1). Data transaksi yang wajib dilaporkan kepada PPATK
meliputi: a) Transaksi Keuangan Mencurigakan; b) Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling
sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,
yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 hari kerja;
dan/atau c) Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.

135
tidak rinci; 476 c) Kecepatan waktu pengiriman tergantung pada
masing-masing lembaga keuangan bank dan non-bank; 477 d) Format
laporan yang disampaikan oleh lembaga keuangan bank dan non-
bank ke PPATK berbeda-beda; 478 dan e) Kualitas data yang
dilaporkan masih rendah, misalnya ada data berbentuk hardcopy atau
berupa data scan namun tulisan tidak terlalu jelas terbaca. 479
c. Upaya permintaan data ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) jika
kasus korupsi melibatkan Kepala Daerah setempat biasanya
memakan waktu lama dan cukup sulit. Kemungkinan besar hal ini
terjadi karena Kepala Daerah juga menjabat sebagai komisaris BPD,
sehingga terjadi conflict of interest. 480

Untuk menghadapi tantangan tersebut, beberapa upaya yang dilakukan


KPK dan PPATK yakni melalui pelaksanaan komunikasi secara intensif baik
secara formal maupun non-formal. 481 Selain itu, kedua lembaga tersebut
juga melaksanakan bedah kasus bersama dalam setiap perkara yang
ditangani. 482 Pelaksanaan bedah kasus tersebut meminimalisir terjadinya
miskomunikasi di antara kedua belah pihak, sekaligus membantu
menentukan langkah strategis dalam penanganan perkara jika ditemukan
kesulitan. 483 KPK dan PPATK juga melaksanakan evaluasi bersama atas kerja

476
Shirlay Santosa, Analisis Perbandingan PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi
Keuangan) Di Indonesia dengan FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network) di Amerika Serikat,
(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 74.
477
Santoso (1), loc.cit.
478
Ibid.
479
Ibid. Baca juga Wahyu, Murtinanto, Kualitas Laporan Pihak Pelapor ke PPATK Harus
Ditingkatkan, https://economy.okezone.com/read/2019/09/12/320/2104179/kualitas-laporan-pihak-
pelapor-ke-ppatk-harus-ditingkatkan, diakses pada 25 Oktober 2019.
480
Santoso (1), loc.cit.
481
Ibid.
482
Ibid.
483
Ibid.

136
sama yang telah dilaksanakan, paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-
waktu jika diperlukan. 484

4.2.2 Kerja Sama KPK dengan DJP


Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, salah satu upaya
memaksimalkan penerimaan negara adalah melalui pembebanan kewajiban
perpajakan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Maraknya kasus
yang melibatkan tindak pidana korupsi dan perpajakan membuat KPK dan
DJP akhirnya bergerak untuk menjalin koordinasi dan kerja sama kedua
lembaga, khususnya di sektor perpajakan dengan memaksimalkan
penerimaan negara. 485

Kerja sama antara KPK dan DJP dimulai sejak 23 Februari 2005, ditandai
dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman yang menyebutkan bahwa
KPK berwenang meminta data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi terkait sesuai UU KPK. 486 Ruang lingkup Nota Kesepahaman
tersebut meliputi: 487
a. tukar-menukar data dan/atau informasi;
b. bantuan oleh KPK kepada DJP dalam mendukung pelaksanaan
pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana perpajakan;
c. bantuan DJP kepada KPK untuk mendukung pelaksanaan
penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
Wajib Pajak;
d. penugasan pegawai KPK pada DJP dan sebaliknya;
e. penunjukan pejabat penghubung (liaison officer);
f. sosialisasi UU KPK dan peraturan perundang-undangan terkait;
g. pendidikan, pelatihan dan magang/pertukaran staf;

484
Nota Kesepahaman, op.cit., Pasal 18 ayat (2).
485
Abba Gabrilin, Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak Temui Pimpinan KPK,
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-kerja-sama-antarlembaga-dirjen-
pajak-temui-pimpinan-kpk, diakses pada 27 Oktober 2019.
486
Joyo (3), loc.cit.
487
Nota Kesepahaman Antara KPK dan DJP tentang Kerjasama Dalam Rangka Pemberantasan
Tindak Pidan Korupsi dan Tindak Pidana Perpajakan, Pasal 3.

137
h. kajian sistem;
i. distribusi LHKPN; dan
j. distribusi formulir gratifikasi.

KPK dapat memberikan bantuan kepada DJP dalam melakukan analisis


pelanggaran tindak pidana korupsi terhadap wajib pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan atau penyidikan tindak pidana perpajakan. 488
Bantuan tersebut bisa diberikan dalam bentuk pendapat ataupun tertulis
berdasarkan permintaan DJP. 489 Begitu pula dengan DJP terhadap KPK, DJP
dapat memberikan analisis pelanggaran perpajakan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. 490 Bantuan tersebut diberikan
dalam bentuk pendapat atau masukan tertulis atas dasar permintaan
KPK. 491

Nota Kesepahaman tersebut juga menjelaskan tata cara pelaksanaan


pertukaran data dan/atau informasi antara KPK dan DJP. Langkah pertama
dimulai dengan adanya pengajuan permintaan data dan/atau informasi dari
masing-masing pihak yang dilengkapi dengan tujuan penggunaan data
dan/atau informasi tersebut. 492 Permintaan data dan/atau informasi
tersebut dilakukan melalui surat tertulis yang ditandatangani masing-
masing oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pimpinan KPK atau pejabat yang
telah ditunjuk oleh masing-masing instansi. 493 Surat tersebut kemudian
dikirimkan ke KPK atau DJP melalui pejabat penghubung yang telah
ditunjuk. 494 Untuk konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas permintaan

488
Ibid., Pasal 7 ayat (1).
489
Ibid., Pasal 7 ayat (2) jo. Ayat (3).
490
Ibid., Pasal 6 ayat (1).
491
Ibid., Pasal 6 ayat (2) jo. Ayat (3).
492
Ibid., Pasal 4 ayat (5).
493
Ibid., Pasal 4 ayat (2).
494
Ibid., Pasal 4 ayat (6).

138
data maupun data yang telah diberikan, akan dilakukan melalui Pejabat
Penghubung yang telah ditunjuk. 495

Diagram 4.5
Alur Pertukaran Data dan/atau Informasi KPK dan DJP

Penyampaian Pejabat Surat Pejabat


kebutuhan data Penghubung di Permohonan Penghubung Surat
/informasi dan KPK/DJP ditandatangani mengirimkan permohona
tujuan menerima Pimpinan Surat n diterima
penggunaannya rincian KPK/Dirjen Permohonan ke KPK/DJP
dari Direktorat kebutuhan dan Perpajakan/Peja KPK/DJP
di KPK/DJP b t

Pejabat Data/Informasi Data/Informasi Data/Inform


Penghubung dari KPK/DJP KPK/DJP asi yang
mengirimkan diterima oleh dikirimkan ke dimintakan
data/informasi Pejabat Pejabat diproses/dia
ke Direktorat di Penghubung Penghubung nalisis di
KPK/DJP KPK/DJP

Data dan/atau informasi yang diberikan KPK kepada DJP mencakup: a)


laporan pengaduan masyarakat yang berindikasi penggelapan pajak; b) hasil
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK yang berindikasi
penggelapan pajak; c) laporan kekayaan penyelenggara negara; dan d)
informasi lain yang diperlukan DJP untuk melakukan pemeriksaan dan
penyidikan tindak pidana perpajakan atau berkaitan dengan perpajakan. 496
Sedangkan data DJP yang dapat diberikan kepada KPK berupa: a) NPWP
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; b) data
dan/atau informasi perpajakan tersangka atau terdakwa tindak pidana

495
Ibid.,
496
Ibid., Pasal 4 ayat (3).

139
korupsi; dan c) hasil pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang
menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi. 497

Keberlakuan Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak berbatas waktu
tertentu, tetapi hanya mengatur bahwa sewaktu-waktu dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan. 498 Dengan demikian, maka sebenarnya Nota
Kesepahaman tersebut masih berlaku hingga saat ini. Sayangnya, tidak
banyak pegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya Nota Kesepahaman
tersebut. 499 Kondisi tersebut menyebabkan belum berjalan efektifnya model
kerja sama sebagaimana diatur dalam Nota Kesepahaman tersebut. 500

Terlepas dari Nota Kesepahaman tersebut, dalam praktiknya kerja sama


kedua institusi tersebut sebenarnya sudah dilakukan dalam berbagai kasus,
baik melalui pertukaran informasi dan penanganan perkara bersama.
Selama ini pertukaran data dan informasi antara KPK dan DJP dilakukan
secara formal yakni melalui surat permintaan resmi maupun non-formal
melalui komunikasi langsung. 501 Sedangkan penanganan perkara bersama
menggunakan beberapa model kerja sama seperti penunjukkan tenaga ahli
KPK di DJP dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan di KPK.

Bentuk pertukaran informasi yang dilakukan melalui surat pemintaan


contohnya adalah pada penanganan kasus E-KTP. Di penanganan kasus E-
KTP, Unit Labuksi KPK membantu proses penyidikan untuk melakukan
asset tracing, yang salah satunya dilakukan dengan mengirimkan surat
permintaan resmi yang ditujukan kepada Menteri Keuangan terkait
permintaan data PPh, PPn, SPT dan tax amnesty. 502 Surat jawaban dari

497
Ibid., Pasal 4 ayat (4).
498
Iman Santoso (2), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019. Lihat juga, Nota
Kesepahaman Antara KPK dan DJP, Pasal 12 ayat (2).
499
Ibid.,
500
Ibid.,
501
Ibid.,
502
Fatma, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
140
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Unit Labuksi KPK seharusnya
mengirimkan surat tersebut kepada KPP yang dituju. 503 Tetapi ketika
dikonfirmasi ke KPP terkait, ternyata belum ada koordinasi dari pusat
kepada KPP tersebut untuk permintaan data. 504 Proses permintaan data
tersebut setidaknya memakan waktu 2-3 bulan 505, padahal jangka waktu
yang dimiliki Unit Labuksi untuk membantu penyidikan hanya 120 hari. 506
Data perpajakan yang diminta oleh Unit Labuksi termasuk perusahaan-
perusahan yang terlibat dalam kasus E-KTP baru diterima ketika proses
penyidikan selesai. 507 Jika saja data perpajakan tersebut dapat diterima lebih
awal, maka aset negara yang diselamatkan juga akan semakin banyak. 508

Selain menggunakan surat permintaan, bentuk kerja sama lain yang pernah
dilakukan misalnya ketika KPK diizinkan oleh DJP menggunakan SPT dalam
penanganan Kasus Korupsi Kotak Suara, dengan syarat yang spesifik bahwa
penyidik yang membaca SPT harus berlatar belakang pendidikan
akuntansi. 509 Selain itu dalam kasus Korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias
Wawan, KPP Pratama setempat pernah mengajukan surat permintaan data
kepada KPK, yang mana daftar data yang dimintakan berasal dari informasi
yang diperoleh dari media massa. 510 Wawan diketahui hanya melaporkan
pajak dalam SPT nya sebesar Rp . 1.800.00,00, padahal KPK berhasil menyita

Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019


503
Ibid.,
504
Ibid.,
505
Ibid.,
506
Ibid.,
507
Ibid.,
508
Ibid.,
509
Sujanarko, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019
510
Nexio, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

141
12 mobil mewah miliknya. 511 KPP Pratama tersebut kemudian
membebankan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang dimiliki Wawan
untuk memenuhi target penerimaan pajak. 512

Pertukaran data dan informasi secara non-formal yang dilakukan KPK dan
DJP biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanya
kedekatan personal. 513 Namun pertukaran data dan informasi secara non-
formal memiliki beberapa kelemahan. Pertama, karena pelaksanaannya
bergantung pada orang yang dikenal, akibatnya ketika orang tersebut
dipindahtugaskan maka pertukaran data dan informasi menjadi terganggu
bahkan terhenti. 514 Selain itu, data yang diperoleh melalui proses non-
formal tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat bukti, melainkan hanya
sebagai data intelijen. 515

Walaupun dalam praktiknya kerja sama KPK dan DJP sudah banyak
dilakukan, tetapi hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Pembahasan
mengenai pertukaran data dan informasi antara KPK dan DJP sebelumnya
pernah dibahas di tahun 2015, tetapi terkendala oleh ketentuan Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan. 516 Ketentuan tersebut
menyebutkan larangan bagi fiskus (pegawai) pajak untuk memberikan
informasi data perpajakan kepada pihak lain, dikecualikan bagi pejabat dan
tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam pengadilan atau
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan

511
Sujanarko., loc.cit.,
512
Nexio, loc.cit.,
513
Budhi Santoso, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019. Baca juga, Santoso (1),
loc.cit.,
514
Tsani, Anafari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019
515
Santoso (1), loc.cit.,
516
Aulia, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

142
pemeriksaan di bidang keuangan negara. 517 Kewenangan pemberian data
perpajakan untuk pemeriksaan pengadilan perkara pidana yang
berhubungan dengan masalah perpajakan, hanya dapat diberikan oleh
Menteri Keuangan dengan permintaan tertulis hakim ketua sidang. 518
Dengan kata lain, pegawai pajak tidak diizinkan memberikan informasi data
perpajakan tanpa izin Menteri Keuangan dan permintaan tersebut hanya
dapat dilakukan ketika sudah masuk dalam tahap penuntutan, bukan di
tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ketentuan tersebut membuat banyak pegawai pajak tidak bisa memberikan


informasi data perpajakan ke sembarang pihak, karena jika ketentuan itu
dilanggar maka yang dikenakan hukuman adalah pegawai pajak itu
sendiri. 519 Selain itu, kepada siapa data perpajakan diberikan juga menjadi
penekanan dalam Pasal 34 UU KUP. Alasan mengapa data perpajakan
dirahasiakan adalah adanya kekhawatiran Menteri Keuangan mengenai
pemberian informasi data perpajakan yang diberikan kepada pihak yang
tidak bertanggungjawab. 520

Terkait dengan kepentingan penegakan hukum, Harkristuti Harkrisnowo


menyatakan bahwa pelanggaran Pasal 34 UU KUP dianggap melanggar asas
non-self incrimination. 521 Pasalnya data perpajakan yang diberikan Wajib
Pajak seharusnya hanya untuk kepentingan perpajakan, bukan kepentingan
lainnya seperti penegakan hukum. 522 Pelanggaran asas non-self
incrimination terjadi ketika data perpajakan digunakan sebagai alat bukti
dalam persidangan. Namun jika data perpajakan diposisikan sebagai data

517
Indonesia (20), Pasal 34 ayat (1) jo. Ayat (2a).
518
Ibid, Penjelasan Pasal 34 ayat (4)
519
Pontas, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
520
Sigit, Danang Joyo (4), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban
Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
521
Ibid.,
522
Ibid.,

143
intelijen bukan sebagai alat bukti, seharusnya data tersebut dapat
dipertukarkan. 523

Dalam faktanya, Pasal 34 UU KUP pernah dilanggar oleh pegawai pajak


terkait SPT milik Eddy B Yudhoyono, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti
karena adanya kebingungan antara kepolisian dan DJP dalam melakukan
penanganan perkara. 524 Pihak kepolisian menyatakan bahwa yang
berwenang menangani perkara pelanggaran Pasal 34 UU KUP adalah
penyidik pajak sesuai ketentuan UU KUP. 525 Begitu pula dengan DJP yang
menyatakan bahwa penyidik pajak hanya melakukan penyidikan perpajakan
terkait perhitungan perpajakan yang harus dibebankan saja. 526 Hingga saat
ini tidak ada tindak lanjut atas pelanggaran Pasal 34 UU KUP tersebut.
Selain pertukaran informasi, model kerja sama KPK dan DJP lainnya adalah
penanganan perkara bersama yakni melalui penunjukkan tenaga ahli KPK
di DJP dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan. Penunjukan tenaga
ahli KPK di DJP dilakukan pada penanganan perkara pajak di Kasus Asian
Agri, yang mana tenaga ahli KPK ditunjuk langsung dalam surat penugasan
bersama dengan penyidik pajak. 527 Tenaga ahli KPK bersama dengan
penyidik pajak bersama-sama dalam melakukan penanganan kasus Asian
Agri. 528 Sebagai tenaga ahli yang ditunjuk, tenaga ahli KPK bebas

523
Robby, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
524
Joyo (4), loc.cit., Salah satu contoh pelanggaran Pasal 34 UU KUP adalah ketika SPT milik
Eddy Yudhoyono dibuka oleh salah satu fiscus pajak, dan perkara tersebut dilaporkan ke Kepolisian.
Kepolisian menyatakan bahwa yang berwenang menangani perkara tersebut adalah Penyidik Pajak
sesuai UU KUP. Namun Penyidik Pajak menyatakan bahwa penyidikan yang mereka lakukan hanya
terkait perhitungan perpajakan.
525
Ibid.,
526
Ibid.,
527
Robby., loc.cit.,
528
Ibid.,

144
mendapatkan informasi data perpajakan untuk kepentingan penanganan
perkara. 529

Model kerja sama penunjukkan tenaga ahli seperti contoh di atas juga
dilakukan DJP bersama BPH Migas dan BPKP di sektor Migas. 530 Model kerja
sama ketiganya dituangkan dalam bentuk PMK Nomor 34/PMK.03/2018. 531
DJP, BPH Migas dan BPKP membentuk Satgas Pemeriksaan Bersama yang
berwenang melakukan pemeriksaan bersama atas kewajiban bagi hasil dan
PPh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, dengan tujuan agar
pemeriksaan lebih efisien dan menghindari sengketa. 532 Tim pemeriksa
Satgas Pemeriksaan Bersama dapat berasal dari tenaga ahli yang ditunjuk
dari institusi yang tergabung dalam satgas tersebut. 533 Melalui penunjukkan
tersebut, tenaga ahli dapat mengakses data perpajakan sesuai dengan
kepentingan pemeriksaan, karena tidak ada keterikatan kerahasiaan data. 534

Kerja sama antara KPK dan DJP lainnya yang sudah sering dilaksanakan
adalah pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan perkara korupsi di KPK. 535
Ahli pajak DJP biasanya dilibatkan untuk perhitungan penghasilan resmi
atau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahap
penyidikan. 536 Akan tetapi, setelah tahap penyidikan selesai tidak ada

529
Joyo (4)., loc.cit.,
530
Irawan, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
531
Ibid.,
532
Rizki, Alika, Tiga Institusi Kerja Sama, Pemeriksaan PPh Migas Bisa Selesai 4 Bulan,
https://katadata.co.id/berita/2018/04/04/tiga-institusi-kerja-sama-pemeriksaan-pph-migas-selesai-
dalam-4-bulan, diakses pada 09 November 2019.
533
Indonesia (7), Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan
Bersama Atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan Pengembalian
Biaya Operasu di Bidang Usaha Hulu Migas, Permenkeu Nomor 34/PMK.03/2018, Pasal 8 huruf e.
534
Tunjung, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap
Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
535
Joyo (4)., loc.cit.,
536
Ibid.,

145
koordinasi lebih lanjut terkait penanganan perkara. 537 Kedepannya akan
lebih baik jika KPK juga memberikan informasi mengenai data aset yang
lebih dilakukan tracing kepada DJP untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. 538 Atau seminimal-minimalnya, aset-aset tersebut juga termasuk
yang diperhitungkan oleh ahli pajak DJP dan dituangkan di dalam BAP,
meskipun tidak dijadikan pertimbangan di dalam perkara. 539 Jika
perhitungan aset tersebut disebutkan dalam BAP ahli pajak dan
dicantumkan di dalam putusan, maka akan mempermudah DJP dalam
melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas aset tersebut. 540

Selain kedua model penanganan perkara bersama di atas, penanganan


perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan pernah juga dilakukan oleh
Kejaksaan dan DJP yakni berupa penggabungan dakwaan tindak pidana
korupsi dan perpajakan terhadap Widjokongko Puspoyo alias Djoko
Puspoyo di tahun 2007-2008. 541 Pada kasus Djoko Puspoyo, kerja sama
antara Kejaksaan dan DJP dimulai sejak tahap penyidikan, dimana
Kejaksaan melakukan penyidikan atas perkara korupsi sedangkan DJP
melakukan penyidikan penggelapan pajak PT. ABIL yang dilakukan oleh
Djoko Puspoyo. 542 Hasil penyidikan DJP kemudian diserahkan ke Kejaksaan
Agung untuk digabungkan dengan perkara korupsi menjadi satu berkas
penuntutan. 543 Penuntut Umum mendakwa Djoko Puspoyo dengan
dakwaan kumulatif, yakni dakwaan kesatu terkait gratifikasi menggunakan
Pasal 11 UU Tipikor dan dakwaan kedua menggunakan Pasal 39 ayat (1) huruf

537
Ibid.,
538
Ibid.,
539
Ibid.,
540
Ibid.,
541
Ibid.,
542
Syamsuria, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
543
Ibid., Lihat juga Hans, Henricus B, Widjokongko Jadi Tersangka Pengemplang Pajak Rp 5
Miliar,
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=316&q=widjokongko%20puspoyo&hlm=1,
diakses pada 09 November 2019.

146
a UU KUP mengenai penggelapan pajak. 544 Selaku Direktur Investasi PT.
ABIL, Djoko Puspoyo terbukti membantu Widjanarko Puspoyo (Direktur
Utama Perum BULOG) menerima hadiah dari rekanan bulog dalam
pengadaan Beras Nasional yang ditransfer ke rekening PT. ABIL untuk
selanjutnya ditransfer ke rekening Widjanarko Puspoyo. 545 Sedangkan
untuk dakwaan penggelapan pajak, Djoko Puspoyo terbukti dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri dan tidak menyampaikan SPT ke DJP selama PT.
ABIL menjalankan usahanya. 546

Akan tetapi, penggabungan dakwaan tersebut dapat dilakukan karena Kasus


Djoko Puspoyo terjadi sebelum UU Pengadilan Tipikor disahkan. 547
Merujuk pada ketentuan UU Pengadilan Tipikor, penggabungan dakwaan
tersebut tidak dimungkinkan lagi, karena yurisdiksi pengadilan tindak
pidana korupsi hanya meliputi tindak pidana korupsi, tindak pidana
pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal
dan tindak pidana dalam undang-undang lain dinyatakan sebagai tindak
pidana korupsi. 548 Di sisi lain, tindak pidana perpajakan juga tidak
diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU KUP, sehingga
penggabungan dakwaan korupsi dan pajak tidak bisa lagi dilakukan saat ini.

4.2.2.1 Pembelajaran Pelaksanaan Kerja Sama KPK dengan DJP


Beberapa hambatan yang muncul dalam pelaksanaan kerja sama antara KPK
dan DJP diantaranya adalah sebagai berikut:

544
Ali, Dakwaan Widjokongko Salah Sasaran?,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18065/dakwaan-widjokongko-salah-sasaran/, diakses
pada 09 November 2019.
545
Kejaksaan, Republik Indonesia, Perkara Yang Menarik Perhatian: Perkara Tindak Pidana
Korupsi a.n Terdakwa Widjanarko Puspoyo (Kasus BULOG),
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=24&idsu=15&idke=0&hal=1&id=1269&bc=,
diakses pada 09 November 2019. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 1066 K/Pid.Sus/2008,
hlm. 3.
546
Ibid.,
547
Ibid.,
548
Indonesia (31), Pasal 6.

147
a. Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak tersosialisasi dengan
baik. Sebagai konsekuensinya, banyak pegawai di kedua belah pihak
yang tidak mengetahui adanya Nota Kesepahaman tersebut. Di sisi
lain, Nota Kesepahaman juga perlu diperbaharui dan disesuaikan
dengan undang-undang yang berlaku, khususnya terkait Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan yang baru dicantumkan
dalam UU KUP di tahun 2007. 549
b. Pelibatan ahli maupun analis DJP dalam kasus tindak pidana korupsi
yang ditangani KPK hanya sebatas menghitung penghasilan resmi
atau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahap
penyidikan. 550 Setelah tahap penyidikan biasanya tidak ada
koordinasi lebih lanjut. 551
c. Proses permintaan data dan/atau informasi dari KPK ke DJP
memakan waktu yang lama yakni bisa mencapai 2-3 bulan. 552 Hal ini
tidak seimbang dengan batas waktu penyidikan korupsi di KPK yang
hanya 120 hari 553, sehingga seringkali data perpajakan baru diterima
ketika proses penyidikan selesai. 554
d. Pertukaran data dan/atau informasi terkendala karena Pasal 34 UU
KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan. Jika Pasal 34 UU KUP
dilanggar maka yang dijatuhi hukuman adalah pegawai pajak
sendiri. 555 KPK hanya bisa mengakses data perpajakan jika

549
Anugerah, Rizki Akbari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban
Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.
550
Joyo (3), loc.cit. Lihat juga, Joyo (4), loc.cit.
551
Ibid.
552
Fatma, loc.cit.,
553
Ibid., Baca juga Budhi, A Nugraha, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan
Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada
Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019.
554
Ibid.,
555
Pontas, loc.cit.,

148
ditempatkan sebagai tenaga ahli yang ditunjuk Menteri Keuangan di
DJP, sebagai contoh di Kasus Asian Agri. 556
e. Penempatan tenaga ahli KPK di DJP sifatnya hanya penanganan per
kasus. Akibatnya penempatan tenaga ahli tersebut tidak
berkesinambungan dan akan berakhir pada saat penanganan perkara
selesai. 557
f. DJP tidak melakukan pemeriksaan terhadap semua SPT yang
dilaporkan. 558 Pemeriksaan dilakukan hanya jika ada IDLP terhadap
SPT, hasil compliance risk menyatakan ketidaksesuaian pelaporan
SPT 559 atau jika ditemukan data atau informasi yang
menginformasikan sebaliknya. 560 Dengan kata lain, DJP tidak bisa
secara inisiatif melakukan pemeriksaan sendiri atas SPT yang
dilaporkan.
g. Belum diperbaharuinya jenis data dan informasi apa saja yang dapat
dipertukarkan oleh KPK dan DJP. Walaupun di Nota Kesepahaman
sudah disebutkan jenis data dan informasi yang dapat dipertukarkan,
tetapi penting untuk diidentifikasi kembali kebutuhan kedua belah
pihak. Hal ini penting mengingat bahwa di KPK terdapat data dan
informasi yang tidak bisa dibagikan kepada pihak lain karena kasus
tersebut berisiko tinggi. 561
h. Tidak dimungkinkannya penggabungan penuntutan perkara korupsi
dan pajak karena yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya
berlaku untuk tindak pidana korupsi, TPPU dan tidak mencakup
pajak. 562

556
Joyo (4), loc.cit., Lihat juga Indonesia (20), Pasal 34 ayat (2a).
557
Tsani, Anafari, loc.cit.,
558
Yuli Kristijono et. al., Wawancara, disampaikan di Direktorat Penyidikan Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, 23 Oktober 2019.
559
Ibid.
560
Dahliana Hasan, Potensi Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara dari Sisi Perpajakan,
disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.
561
Santoso (1), loc.cit
562
Arsil, loc.cit.

149
4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan
Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil
Tindak Pidana Korupsi
Untuk menjawab tantangan kerja sama di atas, OECD pernah
merekomendasikan mekanisme kerja sama terhadap penanganan tindak
pidana pajak dan korupsi yang mencakup beberapa metode yakni joint
investigation team, pertukaran informasi, pertukaran personel antar
lembaga, pelatihan hingga pelaksanaan diseminasi bersama. 563

Dari berbagai metode yang direkomendasikan, terdapat beberapa


metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan kerja sama antara
KPK dan DJP yakni pembentukan Peraturan Bersama Kementerian
Keuangan dan KPK tentang penanganan perkara bersama yang
didalamnya memuat pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan,
penempatan personel di lembaga lain serta evaluasi rutin.

1) Pembentukan Peraturan Bersama Kementerian Keuangan dan KPK


tentang Penanganan Perkara Bersama
Berkaca dari praktik kerja sama otoritas perpajakan dengan penegak hukum
di Inggris dan Australia, keduanya sukses dalam melakukan penanganan
kejahatan keuangan serius, yang mana salah satunya terkait perpajakan. 564
Selain itu, kerja sama antara otoritas perpajakan dan penegak hukum juga
dapat memberikan dampak psikologis yang besar bagi Wajib Pajak untuk
mendorong kepatuhan perpajakan mereka. 565

Untuk mendorong suksesnya penanganan perkara korupsi dan perpajakan


di Indonesia, maka penting untuk melegitimasi kerja sama KPK dan DJP

563
OECD (3), op.cit., hlm. 132-133.
564
OECD (2), op.cit., hlm. 10. Lihat juga Australian Federal Police, Serious Financial Crime
Taskforce, loc.cit.
565
Joyo (4), loc.cit.

150
dalam bentuk Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan Pimpinan
KPK tentang penanganan perkara bersama. 566 Ruang lingkup Peraturan
Bersama tersebut hanya akan memuat mengenai penanganan perkara
bersama, pertukaran data dan informasi KPK dan DJP dan penempatan
personil. 567 Sedangkan lingkup kerja sama lainnya seperti sosialisasi,
pelatihan tidak perlu dimasukkan karena sudah diatur di dalam Nota
Kesepahaman KPK dan DJP di tahun 2005. 568

Selain itu, untuk memastikan kerja sama KPK dan DJP berjalan dengan baik
maka perlu ditentukan pejabat penghubung kedua lembaga tersebut. 569
Sedangkan untuk teknis pertukaran informasi, maka kedepannya perlu
dibentuk satuan tugas atau satgas (task force). 570 Melalui task force maka
DJP dapat memberikan data dan informasi serta analisis data perpajakan
terhadap kasus yang sedang ditangani KPK. 571 Begitu pula sebaliknya, jika
penyidik KPK menemukan indikasi tindak pidana pajak atau aspek
perpajakan lainnya maka bisa menyampaikan informasi tersebut ke DJP
melalui task force. 572

Pertukaran informasi bisa dilakukan melalui online system seperti yang


dilakukan oleh KPK dan PPATK 573 atau bisa juga menggunakan melalui
email yang terenkripsi sehingga penggunaan dan penyebarannya terbatas
pada pihak-pihak yang berkepentingan. 574 Namun demikian, kedepannya
penting untuk mengidentifikasi jenis data-data apa saja yang dapat
dipertukarkan oleh KPK dan DJP dengan memperhatikan pengecualian-

566
Joyo (4), loc.cit.
567
Ibid.,
568
Ibid.,
569
Ibid.,
570
Ibid.,
571
Robby, loc.cit.
572
Joyo (4)., loc.cit.
573
Santoso (1), loc.cit.,
574
Ibid.

151
pengecualian, seperti tidak semua data terkait tindak pidana korupsi dapat
dibagikan kepada instansi lain, khususnya terhadap kasus-kasus berisiko
tinggi. 575 Identifikasi data apa yang dipertukarkan sebaiknya ditentukan
bersama oleh tim penyusun Peraturan Bersama KPK dan DJP. 576

Membahas mengenai pertukaran data dan informasi, dalam praktiknya hal


tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru bagi KPK maupun DJP. Pertukaran
data dan informasi sudah dilakukan DJP bersama dengan BPH Migas dan
BPKP yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No. 34/PMK.03/2018. 577 Sedangkan KPK bersama dengan 27
Kementerian/Lembaga juga telah bekerja sama terkait pertukaran data dan
informasi di sektor SDA melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber
Daya Alam Indonesai (GNP-SDA). 578

DJP, BPH Migas dan BPKP tergabung sebagai tim pemeriksa yang disebut
Satgas Pemeriksaan Bersama. 579 Satgas tersebut bertugas melaksanakan
pemeriksaan bersama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
Bagi Hasil dan PPh Migas. 580 Pada pelaksanaan pemeriksaan bersama,
anggota tim pemeriksa dapat saling melakukan pertukaran dan konfirmasi
data untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat 581, yang mana salah
satunya adalah data dan informasi perpajakan. Data dan informasi yang
diperoleh wajib dijaga kerahasiaanya dan hanya dapat ditindaklanjuti sesuai
dengan kewenangan masing-masing instansi. 582 Berdasarkan hal tersebut,
jika bentuk kerja sama KPK dan DJP dituangkan dalam regulasi mengikat

575
Ibid.
576
Joyo (4), loc.cit.,
577
Irawan, loc.cit.,
578
Anti, Corruption Clearing House, Evaluasi GNP-SDA 2018,
https://acch.kpk.go.id/id/evaluasi-gnp-sda-2018, diakses pada 11 November 2019.
579
Indonesia (7), Pasal 8 huruf d. Tim pemeriksa ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan dengan masa kerja paling lama 3 (tiga) tahun.
580
Ibid, Pasal 4 ayat (1).
581
Ibid., Pasal 30 ayat (1). Lihat juga Irawan, loc.cit.,
582
Ibid., Pasal 30 ayat (2).

152
seperti yang dilakukan DJP, BPH Migas dan BPKP maka kendala
kerahasiaan data perpajakan dapat diatasi.

Selain DJP, KPK juga melakukan kerja sama di sektor Sumber Daya Alam
(SDA) bersama 27 Kementerian/Lembaga yang dituangkan dalam Nota
Kesepakatan Bersama (NKB) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam Indonesai (GNP-SDA) pada 19 Maret 2015. 583 Salah satu upaya yang
dilakukan KPK-GNP-SDA adalah pertukaran data dan informasi untuk
membangun sistem informasi yang terintegrasi sebagai instrumen
pengendalian di sektor SDA. 584

Lebih lanjut, untuk teknis penanganan perkara bersama, KPK dan DJP bisa
merujuk pada praktik baik yang dilaksanakan di Inggris, Australia maupun
Singapura. Namun untuk menentukan model kerja sama yang tepat maka
perlu dikaji kembali lebih dalam dengan menyesuaikan pada ketentuan
yang berlaku, khususnya karena perbedaan hukum acara tindak pidana
korupsi dan perpajakan.

Jika Indonesia ingin merujuk pada praktik di Inggris, maka antara KPK dan
DJP dapat bekerja sama membentuk task force (satgas) dan membentuk
sebuah gateway untuk menyediakan berbagai berbagai informasi yang telah
diolah oleh satgas, seperti model Joint Financial Analysis Centre (JFAC) di
Inggris. Sedangkan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi dan
perpajakan akan diserahkan kembali pada masing-masing instansi yakni
KPK dan DJP.
Model kerja sama seperti diatas mirip dengan kerja sama yang telah
dilakukan KPK dan PPATK. Pertukaran data dan informasi keduanya
dilakukan melalui sistem online yang disebut SOC (secure online
communication), yang dikelola oleh pejabat penghubung di kedua instansi
tersebut. 585 Pertukaran informasi melalui online system tersebut dirasa

583
Anti, Corruption Clearing House, loc.cit.,
584
Komisi, Pemberantasan Korupsi (4), Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam, https://www.kpk.go.id/images/berita-
media/Nota_Sintesis_GNPSDA.pdf, diaksea pada 11 November 2019.
585
Santoso (1), loc.cit.,

153
cukup efektif karena cenderung praktis, tidak memakan waktu dan dapat
diakses darimana saja. 586 Bedanya dengan model kerja sama di Inggris
adalah penanganan perkara hanya bisa ditangani oleh KPK, baik itu perkara
korupsi maupun tindak pidana pencucian uang. Sedangkan PPATK hanya
berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan
Mencurigakan terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dan
mengoordikasikannya dengan penyidik untuk dilakukan penyidikan. 587

Selain opsi model kerja sama di atas, contoh penanganan perkara bersama
tindak pidana korupsi dan perpajakan juga dapat merujuk pada Australia.
Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa otoritas pajak Australia (ATO)
bersama penegak hukum lainnya membentuk The Serious Financial Crime
Task Force (SFCT) 588 untuk melakukan penanganan perkara bersama di
bidang kejahatan keuangan serius seperti perpajakan, korupsi, tindak
pidana pencucian uang dan kejahatan ekonomi lainnya. 589 Proses
penuntutan tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan langsung oleh
SFCT. 590 Berdasarkan data Australian Federal Police (AFP) 2019, angka
pengembalian pajak ke negara dari hasil penanganan perkara oleh SFCT
cukup signifikan yakni mencapai AUD 836 juta sedangkan jumlah yang
berhasil dikembalikan kepada negara AUD 306 juta. 591

Walaupun model kerja sama yang dilakukan SFCT Australia mencapai hasil
yang signifikan, tetapi model tersebut tidak memungkinkan diterapkan di
Indonesia. Penanganan perkara tindak pidana pajak sangat berbeda dengan
proses yang ditentukan untuk tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
di Indonesia ditangani dengan prosedur beracara yang digunakan dalam
hukum acara pidana, sedangkan tindak pidana perpajakan menggunakan
prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain itu, terdapat kewenangan

586
Ibid.,
587
Indonesia (28), Pasal 64.
588
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83.
589
OECD (2), loc.cit,
590
Australian, Tax Office, loc.cit.,
591
Australian, Federal Police, Serious Financial Crime, loc.cit.,

154
penyidikan antara tindak pidana korupsi dan perpajakan. Wewenang
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan oleh
POLRI, Kejaksaan dan KPK. Sedangkan tindak pidana pajak dilakukan oleh
PPNS di lingkungan DJP. 592

Di sisi lain, penggabungan penuntutan perkara korupsi dan pajak seperti


yang dilakukan SFCT, tidak bisa diterapkan karena adanya batasan
yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi. Yurisdiksi pengadilan tindak
pidana korupsi hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, tindak pidana
pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal
dan tindak pidana dalam undang-undang lain dinyatakan sebagai tindak
pidana korupsi. 593 Selain itu, UU KUP juga tidak mengklasifikasikan tindak
pidana perpajakan sebagai tindak pidana korupsi, sehingga penggabungan
tuntutan korupsi dan pajak tidak bisa dilakukan.

Di Singapura, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan


oleh otoritas pajak (IRAS) dan lembaga anti korupsi (CPIB) dilakukan tanpa
adanya gateway maupun satgas khusus. IRAS dan CPIB melakukan
pertukaran data dan informasi secara langsung terkait indikasi tindak
pidana korupsi dan perpajakan, dengan penanganan perkara yang dilakukan
secara terpisah oleh masing-masing lembaga. 594 Namun, baik IRAS dan
CPIB tetap dapat saling bekerja sama dalam penanganan perkara korupsi
dan perpajakan yang saling berhubungan. 595

Mengacu pada praktik di Singapura, KPK dan DJP dapat saling melalukan
pertukaran data dan informasi terkait indikasi tindak pidana korupsi dan
perpajakan, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku. 596
Walaupun penangangan perkara oleh KPK dan DJP dilakukan secara
terpisah, tetapi keduanya dapat saling bekerja sama dalam penanganan

592
Indonesia (20), Pasal 44 ayat (1).
593
Indonesia (31), Pasal 6.
594
OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.
595
Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.
596
Ketentuan yang berlaku salah satunya adalah mengenai kerahasiaan data perpajakan
sebagaimana Pasal 34 UU KUP.

155
Internal risk environment • Legal structures that could be used to
facilitate tax crime
• Business methods that could conceal
income or facilitate tax crime
• History of tax evasion or tax crime
Transactions • Bribe payment to a domestic or foreign
official
• Suspicious payment to a public official
not part of their normal income stream
• Assets that have not been declared to
the tax authority
• Foreign or hidden accounts
Payments and money flows • Payments or money flows with an
unusual or unclear source/destination
• Payments with suspicious terms
Outcomes of transactions • Companies that are permanent loss-
makers
• Unusual outcomes, or
destroyed/incomplete records
Receiving a bribe • Receiving a corrupt payment

3) Penempatan Personil di Lembaga lain

Pelaksanaan penempatan personil di lembaga lain merupakan salah satu


bentuk kerja sama yang sudah lazim dilaksanakan di Indonesia, salah
satunya oleh KPK dan Kejaksaan. Kejaksaan dapat menempatkan Penuntut
Umum di KPK atas permintaan dari KPK yang disampaikan secara lisan dan
tertulis begitu pula sebaliknya. 599 Selain saling membantu dalam

599
Indonesia (1), Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan
Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Bersama Ketua
158
pemberantasan tindak pidana korupsi, penempatan personil di lembaga lain
juga bertujuan meningkatkan kapasitas kemampuan KPK dan Kejaksaan. 600

Praktik penempatan personil tersebut, juga pernah dilakukan oleh KPK dan
DJP. Dalam Kasus Asian Agri, tenaga ahli KPK ditugaskan bersama dengan
penyidik pajak dalam surat penugasan untuk membantu DJP melakukan
pemeriksaan pajak. 601 Selain itu, masa kepemimpinan Chandra Hamzah,
penempatan pegawai KPK di DJP juga pernah dilakukan dan berlangsung
selama 2-3 bulan. 602 Pegawai KPK yang ditempatkan di DJP juga
mendapatkan akses informasi data perpajakan secara bebas. 603

Berdasarkan hal tersebut, maka penempatan personil KPK dan DJP di


masing-masing lembaga berpotensi dapat dilaksanakan. Penempatan
pegawai DJP di KPK dan sebaliknya diharapkan dapat meningkatkan kerja
sama dan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi dan perpajakan
semakin meningkat. 604 Dengan kerja sama tersebut, maka memberikan
dampak psikologis yang besar terhadap kepatuhan Wajib Pajak. 605 Namun
dalam pelaksanaan hal tersebut harus diperhatikan mengenai jangka waktu
serta keperluannya, serta jumlah personil yang akan ditempatkan. 606

4) Evaluasi Rutin
Untuk melihat progress pelaksanaan kerja sama antara KPK dan DJP, maka
dapat diselenggarakan evaluasi rutin. Mencontoh dari yang dilaksanakan
KPK dan PPATK, maka KPK dan DJP dapat melaksanakan evaluasi bersama

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 11/KPK-
KEJAGUNG/XII/2005, Nomor: KEP-347/A/J,A/12/2005, Ps. 5 huruf b,c, dan d.
600
Ibid., Ps. 2.
601
Robby, loc.cit.,
602
Aminudin, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak
Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi
Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019
603
Ibid.,
604
Pontas, loc.cit.,
605
Pontas, loc.cit.,
606
Ibid., Ps. 5 huruf b dan c.

159
paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Melalui
pelaksanaan evaluasi rutin diharapkan kedua instansi tersebut mampu
mengidentifikasi tantangan dan kendala selama pelaksanaan kerja sama.
Sekaligus menemukan upaya terbaik untuk menghadapi tantangan dan
kendala yang ditemukan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
dan pajak.

160
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan dalam kajian ini, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi dapat dilihat sebagai Objek Pajak Penghasilan (PPh). Hal
ini karena UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan
dalam pengertian luas dimana pengenaan jenis pajak ini
berhubungan dengan tambahan kemampuan ekonomis Wajib
Pajak yang digunakan untuk kepentingan konsumsi maupun
menambah kekayaan individu atau badan yang menjadi subjek
pajak PPh., dari manapun asalnya. Sepanjang syarat yang
ditentukan Pasal 4 UU PPh terpenuhi, terlepas penghasilan tersebut
merupakan penghasilan yang sah atau tidak, maka kekayaan yang
demikian dapat dibebankan Pajak Penghasilan.
2. Berbagai jenis pidana yang memiliki konsekuensi finansial terhadap
pelaku tindak pidana korupsi, seperti pidana denda, pembayaran
uang pengganti dan sebagainya, merupakan bentuk hukuman yang
diberikan kepada terpidana, baik dalam konteks pidana pokok
maupun tambahan. Sifat yang demikian berbeda dengan maksud
dan tujuan dari pembebanan kewajiban perpajakan yang diletakkan
terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diketahui, pajak merupakan pungutan yang wajib
dibayarkan kepada Negara oleh individu maupun badan yang
menjadi subjek pajak. Pengenaan pajak tidak bisa dilihat sebagai
sebuah hukuman yang diberikan Negara melalui institusi pajak
kepada rakyat, melainkan sebagai kontribusi warga negara untuk
membiayai fungsi-fungsi publik yang dijalankan warga negara.
Sebagai konsekuensinya, apabila harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dirampas oleh Negara sebagai bagian dari pidana
tambahan yang dijatuhkan hakim kepada pelaku, Negara masih

161
dibenarkan untuk memungut pajak atas peningkatan kekayaan
pelaku yang berasal dari korupsi tersebut.
3. Penagihan kewajiban perpajakan tidak bisa dimasukkan ke dalam
dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi. Postulat nulla poena
sine lege yang dikemukakan Anselm von Feurbach harus diterapkan
secara konsisten, dimana tidak boleh ada hukuman (pidana) yang
diterapkan kepada pelaku selain dari apa yang telah dicantumkan
dalam undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, UU
Tipikor tidak mengenal kewajiban pembayaran pajak sebagai salah
satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelaku
korupsi. Sehingga penuntut umum tidak bisa memasukkannya
sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan kepada hakim.
Jika pun kewajiban pembayaran pajak akan dimasukkan pada
dakwaan sebagai bagian dari “kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara”, maka harus dikonstruksikan terbatas
sebagai salah satu fakta yang mendukung pemenuhan unsur tindak
pidana korupsi yang dilakukan pelaku.
4. Penuntutan kembali terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas
delik perpajakan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan
asas ne bis in idem. Pasalnya, tindak pidana korupsi dan tindak
pidana pajak bukan merupakan satu perbuatan yang sama.
Diterimanya uang korupsi dan kesengajaan tidak melaporkan
‘penghasilan’ yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi
kepada otoritas pajak merupakan dua perbuatan (feit) yang
berbeda. Niat jahat kedua perbuatan tersebut tidak bisa disamakan
satu dengan yang lainnya. Selain itu, tempus delicti pada dua
perbuatan tersebut juga berbeda, sehingga harus dipandang sebagai
kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri.
5. Penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak
memiliki hukum acara yang berbeda. Kasus tindak pidana korupsi
akan ditangani dengan menggunakan ketentuan hukum acara
pidana yang diatur dalam KUHAP dan berbagai ketentuan spesifik
terkait tindak pidana korupsi. Sementara, tindak pidana pajak
menggunakan prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain

162
itu, yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi
hanya POLRI, Kejaksaan dan KPK, sedangkan untuk tindak pidana
pajak yang diberikan wewenang menangani perkara adalah PPNS di
lingkungan DJP. Di tahap pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan tindak pidana pajak, perkara dapat dihentikan apabila
pelaku mengakui kesalahannya dan bersedia membayar jumlah
pajak yang tidak/kurang bayar beserta dendanya. Selain itu,
yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi hanya meliputi
pemeriksaan perkara korupsi, tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. UU KUP sendiri tidak
mengklasifikasikan tindak pidana pajak sebagai tindak pidana
korupsi. Dengan demikian penggabungan dakwaan atau
penuntutan tindak pidana korupsi dan pajak tidak bisa dilakukan.
6. Mekanisme kerja sama antara KPK dan DJP sudah diinisiasi sejak
tahun 2005 melalui Nota Kesepahaman. Namun tidak banyak
pegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya nota kesepahaman
tersebut, sehingga kerja sama kedua pihak belum berjalan efektif.
Kerja sama KPK-DJP saat ini dilakukan baik secara formal dan
normal. Secara formal kerja sama tersebut dilakukan melalui surat
pemintaan data dan informasi yang ditujukan ke Menteri
Keuangan. Sayangnya kerja sama secara formal dengan model ini
memakan waktu yang cukup lama. Sedangkan secara non-formal,
biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanya
kedekatan personal. Permintaan data dan informasi secara non-
formal memiliki kelemahan yakni bergantung pada sosok yang
dikenal. Akibatnya jika orang tersebut dipindahtugaskan maka
pertukaran data dan informasi dapat terganggu bahkan terhenti.
Selain pertukaran data dan informasi, model kerja sama yang
pernah dilakukan KPK dan DJP antara lain penunjukan tenaga ahli
KPK Bersama dengan penyidik pajak dalam pemeriksaan perkara
Asian Agri dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan korupsi
dan pencucian uang di KPK.

163
5.2 Rekomendasi
Saran yang dapat diberikan terhadap hasil pembahasan dalam kajian ini
adalah:
1. Dalam rangka mengefektifkan kerja sama antara KPK dan DJP maka
perlu disusun Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan
Pimpinan KPK tentang penanganan perkara bersama. Di dalam
peraturan bersama tersebut akan memuat mengenai penanganan
perkara bersama, pertukaran informasi dan penempatan personil
antara kedua belah pihak tersebut. Untuk penentuan model kerja
sama, identifikasi data dan informasi yang dipertukarkan, serta
teknis pertukaran informasi akan ditentukan oleh tim penyusun
peraturan bersama yang melibatkan KPK dan DJP.
2. Kerja sama bentuk lainnya, seperti pendidikan dan pelatihan serta
evaluasi rutin dapat diatur didalam Nota Kesepahaman yang
pernah disusun antara KPK dan DJP. Agar menyesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku saat ini, maka terhadap Nota Kesepahaman
KPK dan DJP perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian.
3. Rekomendasi terhadap perubahan UU Pengadilan Tipikor,
khususnya mengenai kewenangan pengadilan tindak pidana
korupsi. Pembatasan kewenangan pengadilan Tipikor akan
menghalangi kemungkinan penggabungan perkara antara tindak
pidana korupsi dan tindak pidana selain korupsi, contohnya seperti
tindak pidana pajak. Dengan memperluas rumusan kewenangan
pengadilan tindak pidana korupsi maka memungkinkan
penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lain.

164
BBC. 2019. RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin
Marak’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230.
Diakses pada 2 Oktober 2019.

Bureau, Corruption Practice Investigation. 2014. Six Charged for Corrupt and
Fraudulent GST Tourist Refund Claims.
https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-
corrupt-and-fraudulent-gst-tourist-refund-claims. Diakses pada 26
Oktober 2019.

Buscaglia, Eduardo dan Jan van Dijk. 2003. Controlling organized crime and
corruption in the public sector. New York: United Nations, Forum on
Crime and Society.

Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for. 2018.
Study and Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018
Final Report. Warsaw: Institute for Advanced Studies.

Centre, Australian Transaction Reports and Analysis. 2017. Fintel Alliance.


https://www.austrac.gov.au/about-us/fintel-alliance. Diakses pada
26 Oktober 2019.

Coopers, Pricewaterhouse (PwC). 2015. Tax and Legal News,6. PwC.

Commission, European. 2019. VAT GAP.


https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/tax-cooperation-
control/vat-gap_en. Diakses pada 19 September 2019.

Cowdery, Nicholas. 2017. Explainer: How Proceeds-of-Crime Law works in


Australia. https://theconversation.com/explainer-how-proceeds-of-
crime-law-works-in-australia-78600. Diakses pada 27 September
2019.

Crowe, Martin T. 1944. The Moral Obligation of Paying Just Taxes.


Washington: The Catholic University of America Studies in Sacred
Theology.

D, Edgeworth. 2004. Assets Forfeiture: Practice and Procedure in State and


Federal Courts. Chicago: American Bar Association, Criminal Justice
Section.
166
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. 2019. Buku Informasi
APBN 2019. https://www.kemenkeu.go.id/media/11213/buku-
informasi-apbn-2019.pdf. Diakses pada 3 September 2019.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. 2019. Bea Materai.


https://www.pajak.go.id/id/bea-meterai-0. Diakses pada 29
September 2019.
Fidel. 2015. Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang
KUP, PPh, PPN, Pengadilan Pajak. Jakarta: PT Carofin Media.

Gabrillin, Abba (1). 2017. Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak
Temui Pimpinan KPK. Dalam
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-
kerja-sama-antarlembaga-dirjen-pajak-temui-pimpinan-kpk.
Diakses pada 27 Oktober 2019.

Gabrillin, Abba (2). 2018. PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta
untuk Biaya Hiburan Malam Auditor BPK.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-
marga-dan-rekanan-habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-
malam. Diakses pada 1 Oktober 2019.

Gabrillin, Abba (3). 2018. Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara.


https://nasional.kompas.com/read/2018/03/29/16091791/setya-
novanto-dituntut-16-tahun-penjara?page=all. Diakses pada 21
September 2019.

GAN Business Anti-Corruption Portal. 2019. Singapore Corruption Report.


https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/singapore/.
Diakses pada 26 Oktober 2019.

German Supreme Tax Court Judgment, IX R26/4, 16 June 2015.

Gnaedinger, Charles. 2008. News Analysis: Facilitating Payment vs. Bribes


Under the Tax Law.
https://www.millerchevalier.com/sites/default/files/resources/TaxA
nalysts.pdf. Diakses pada 25 September 2019.

167
Hadjon, Philipus. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hasan, Dahliana. 2019. Potensi Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara


dari Sisi Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok
Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.

Hiariej, Eddy O.S. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka.
House, Anti Corruption Clearing House. 2018. Evaluasi GNP-SDA 2018,
https://acch.kpk.go.id/id/evaluasi-gnp-sda-2018, diakses pada 11
November 2019.
Husein, Yunus. 2019. Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan
Pembebanan Kewajiban Pajak dalam Tipikor. Disampaikan dalam
Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jakarta, 23 Mei 2019.

Indonesia (1). Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan


Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerja sama Antara Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam
Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Nomor 11/KPK-
KEJAGUNG/XII/2005, Nomor: KEP-347/A/J,A/12/2005.

Indonesia (2). Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi


Keuangan tentang Permintaan Informasi Ke Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan, PERKA PPATK Nomor PER-
08/1.02/PPATK/05/2013.

Indonesia (3). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Pidana


Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, BN Nomor
2014 Tahun 2014, TBN Nomor 8.

Indonesia (4). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan
Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara, Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014, BN Nomor 876
Tahun 2014.

168
Indonesia (5). Peraturan Menteri Keuangan Jenis Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Permenkeu Nomor 35/PMK.010/2017
sebagaimana diubah dengan PERMENKEU Nomor 86/PMK.010/2019.

Indonesia (6). Peraturan Menteri Keuangan Jenis Kendaraan Bermotor yang


dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian
Pembebasan dari Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Permenkeu Nomor 64/PMK.011/2014 sebagaimana diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.010/2017 tentang, BN
Nomor 360 Tahun 2017.
Indonesia (7). Peraturan Menteri Keuangan Pedoman Pelaksanaan
Pemeriksaan Bersama Atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama
Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan Pengembalian Biaya Operasi di
Bidang Usaha Hulu Migas, Permenkeu Nomor 34/PMK.03/2018
Indonesia (8). Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia.
PP Nomor 39 Tahun 2016. LN Nomor 199 Nomor 2016. TLN Nomor
5935.

Indonesia (9). Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan
Korupsi. PP Nomor 54 Tahun 2019. LN Nomor 140 Tahun 2019. TLN
Nomor 6370.

Indonesia (10). Peraturan Pemerintah Perubahan Tarif Bea Meterai dan


Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea
Meterai. PP Nomor 24 Tahun 2000. LN Nomor 51 Tahun 2000, TLN
Nomor 3950.

Indonesia (11). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan. PERPPU Nomor 8
Tahun 1962. LN Nomor 42 Tahun 1962. TLN Nomor 2469

Indonesia (12). Peraturan Presiden Pembaruan Sistem Administrasi


Perpajakan. Perpres Nomor 40 Tahun 2018.

169
Indonesia (13). Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment”
Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18). SE Dirjen Pajak Nomor SE-
27/PJ.22/1986.

Indonesia (14). Surat Edaran Jaksa Agung Indonesia Pembuatan Surat


Dakwaan. SEJA Nomor SE-004/JA/11/1993.

Indonesia (15). Undang-Undang Bea Meterai. UU Nomor 13 Tahun 1985. LN


Nomor 69 Tahun 1985. TLN Nomor 3313.

Indonesia (16). Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan


Bangunan. UU Nom0r 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2000 tentang LN Nomor 130 Tahun 2000. TLN
Nomor 3988.

Indonesia (17). Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun


1981. LN Nomor 76 Tahun 1981. TLN Nomor 3258.

Indonesia (18). Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 1946.


LN Nomor ... Tahun 1946. TLN Nomor ...

Indonesia (19). Undang-Undang Kejaksaan. UU Nomor 16 Tahun 2004. LN


Nomor 67 Tahun 2004. TLN Nomor 4401

Indonesia (20). Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara


Perpajakan. UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. LN Nomor 62
Tahun 2009. TLN Nomor 4999

Indonesia (21). Undang-Undang Keuangan Negara. UU Nomor 17 Tahun


2003. LN Nomor 47 Tahun 2003. TLN Nomor 4286

Indonesia (22). Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi. UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU Nomor 19 Tahun 2019. LN Nomor 197
Tahun 2019. TLN Nomor 6409.

Indonesia (23). Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. UU Nomor 12


Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994.
LN Nomor 62 Tahun 1994. TLN Nomor 3569.
170
Indonesia (24). Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU
Nomor 28 Tahun 2009. LN Nomor 130 Tahun 2009. TLN Nomor 5049.

Indonesia (25). Undang-Undang Pajak Penghasilan. UU Nomor 7 Tahun 1983


sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 36
Tahun 2008. LN Nomor 133 Tahun 2008. TLN Nomor 4893.

Indonesia (26). Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa


dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU Nomor Nomor 8 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU
Nomor 42 Tahun 2009. LN Nomor 150 Tahun 2009. TLN Nomor 5069.

Indonesia (27). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU


Nomor 31 Tahun 1999. LN Nomor 140 Tahun 1999. TLN Nomor 3874.

Indonesia (28). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian


Uang. UU Nomor Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Nomor 122
Tahun 2010. TLN Nomor 5164.

Indonesia (29). Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak. UU


Nomor 20 Tahun 1997. LN Nomor 43 Tahun 1997. TLN Nomor 3687

Indonesia (30). Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan, dan


Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. UU Darurat Nomor Nomor 7
Tahun 1955. LN Nomor 27 Tahun 1955. TLN Nomor 801.

Indonesia (31). Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. UU


Nomor 46 Tahun 2009. LN Nomor 155 Tahun 2009. TLN Nomor 5074.

Inspector General of Taxation. 2019. Review Into The ATO’s Fraud Control
Management. https://igt.gov.au/publications/reports-of-
reviews/review-into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-
7-interagency-collaboration/. Diakses pada 25 Oktober 2019.
Irawan, Dhani. 2018. Hukuman Pidana hingga Denda Koruptor Lebih Rendah
di RKUHP. https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-

171
pidana-hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp. Diakses pada
2 Oktober 2019.

Jannah, Selfie Miftahul. 2019. Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax
Ratio. https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-
ratio-eenk. Diakses pada 3 September 2019.

Joyo (1), Sigit Danang. 2019. Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam
Perkara Tipikor Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan.
Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi
Pemberantasan Korupsi. Jakarta, 23 Mei 2019.

Joyo (2), Sigit Danang. 2019. Tindak Pidana Perpajakan. Jakarta: Sekolah
Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Disampaikan pada mata kuliah
Tindak Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan
Kehormatan.

Julianto, Pramdia Arhamto. 2018. Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339


Triliun,
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerima
an-perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun?page=all. Diakses pada 3
September 2019.

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakata: PT Storia Grafika.

Kementerian Keuangan (1). 2019. Mengenal Rasio Pajak Indonesia.


https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-
pajak-indonesia/. Diakses pada 3 September 2019.

Kementerian Keuangan (2). 2019. Pengembalian PPN.


https://www.kemenkeu.go.id/page/pengembalian-ppn/. Diakses
pada 29 September 2019.

United Kingdom (1). 2002. The Finance Act 2002.

United Kingdom (2). 2002. Proceeds of Crime Act 2002.


http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2002/29/data.pdf.

United Kingdom (3). 2010. The Bribery Act 2010.


172
Komisi Pemberantasan Korupsi (1). 2019. Keuangan Negara: Fokus Kedua
Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
https://stranaspk.kpk.go.id/id/fokus-aksi/keuangan-negara. Diakses
pada 3 September 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (2). Delik Tindak Pidana Korupsi.


https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-
korupsi/infografis/delik-tindak-pidana-korupsi. Diakses pada 13
September 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (3). 2019. Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan


Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam,
https://www.kpk.go.id/images/berita-
media/Nota_Sintesis_GNPSDA.pdf, diakses pada 11 November 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (4). 2015. Pedoman Pengendalian Gratifikasi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Loqman, Loebby. 1994. Hukum Pidana di Bidang Perekonomian. Hukum


dan Pembangunan, 5, (Oktober 1994: 387-397).

Maulida (1), Rani. 2018. Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan.


https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan. Diakses
pada 29 September 2019.

Maulida (2), Rani. 2018. Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan
Tarifnya. https://www.online-pajak.com/pajak-daerah. Diakses pada
29 September 2019.

Maulida (3), Rani. 2018. Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena
Pajak. https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17. Diakses pada 4
Oktober 2019.

McGee, Robert W. 2004. The Philosophy of Taxation and Public Finance.


Massachusetts: Kluwer Academic Publishers.

Muhammad, Rusli. 2019. Mekanisme Pembebanan Kewajiban Pajak


(Tuntutan Ganti Kerugian) Melalui Peradilan Pidana. Disampaikan

173
dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10
Oktober 2019.

Murtinanto, Wahyu. 2019. Kualitas Laporan Pihak Pelapor ke PPATK Harus


Ditingkatkan.
https://economy.okezone.com/read/2019/09/12/320/2104179/kualita
s-laporan-pihak-pelapor-ke-ppatk-harus-ditingkatkan. Diakses pada
25 Oktober 2019.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2019. Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024. Jakarta:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Nelen, Hans. 2004. Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime
approach in the Netherlands. Crime, Law and Social Change Journal.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) (1).


2009. OECD Bribery Awareness Handbook for Tax Examiners. Paris:
OECD.

OECD (2). 2019. Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC


Economies. Paris: OECD.

OECD (3). 2017. Effective Inter-Agency Co-operation in Fighting Tax Crimes


and Other Financial Crimes (Third Edition). Paris: OECD.

OECD (4). 2017. Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles. Paris: OECD.

OECD (5). 2019. Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 –
Indonesia. https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-
asia-and-pacific-indonesia.pdf. Diakses pada 3 September 2019.

OECD (6). 2012. Tax Administration Detecting Corruption. Paris: OECD.

OECD (7). 2011. Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to
Foreign Public Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery
Convention. Paris: OECD.

174
OECD & The World Bank. 2018. Improving Co-operation between Tax
Authorities and Anti-Corruption Authorities in Combating Tax Crime
and Corruption. Paris: OECD & The World Bank.

Pohan, Chairil Anwar. 2014. Perspektif kepatuhan pajak dalam upaya


pemberantasan korupsi. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi
Mandala Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1066 K/Pid.Sus/2008.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015.

Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta


Pusat Nomor 10/PID.SUS-TPK/2014/PN.JKT.PST.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 63/PID/TPK/2014/PT.DKI.

Remmelink (1), Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal


Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Remmelink (2), Jan. 2014. Pengantar Hukum Pidana Material 1. Yogyakarta:


Maharsa Publishing.

Santosa, Shirlay. 2011. Analisis Perbandingan PPATK (Pusat Pelaporan


Analisa Transaksi Keuangan) Di Indonesia dengan FinCEN (Financial
Crimes Enforcement Network) di Amerika Serikat. Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Sartor, Michael A, dan Paul W. Beamish. 2019. Private Sector Corruption,


Public Sector Corruption, and The Organizational Structure of Foreign
Subsidiaries. Journal of Business Ethics.

Seligman, E.R. 1931. Essays in Taxation, (406).

175
Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia.

Tarun, Robert W dan Peter P Tomczak. 2010. The Foreign Corrupt Practices
Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel,
Transactional Lawyers, and White Collar Criminal Practitioners. USA:
American Bar Association.

Tempo. 2019. MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha.
https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-
didenda-hingga-penutupan-usaha. Diakses pada 2 Oktober 2019.

Transparency International Indonesia (TII). 2014. Indonesia Bersih Uang


Pelicin. Jakarta: TII.

Tresna, R. 1959. Azas-Azas Hukum Pidana disertai Pembahasan Beberapa


Perbuatan Pidana jang Penting. Bandung: Universitas Padjajaran.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (1). 2006. Legislative
Guide for The Implementation of The United Nations Convention
Against Corruption. New York: United Nations.

UNODC (2). 2009. Technical Guide to The United Nations Convention


Against Corruption. New York: United Nations.

UNODC (3). 2004. United Nations Convention against Corruption. New


York: United Nations.

UNODC (4). 2000. United Nations Convention against Transnational


Organized Crime.New York: United Nations.

UNODC (5). 2003. UN Guide for Anti-Corruption Policies. New York: United
Nations.

United States of America (USA) (1). 1977. Foreign Corrupt Practice Act 1977.

USA (2). 1997. Income Tax Assessment Act 1997.

176
Utrecht, E. 1986. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar
Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu
Pembahasan Pelajaran Umum. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Vaissiere, Maud Perdriel. 2012. The Accumulation of Unexplained Wealth by


Public Officials: Making The Offence of Illicit Enrichment Enforceable.
Norway: CMI. CHR Michelsen Institute.

Worral, John L. 2008. Problem-Oriented Guides for Police Response Guides


Series Guide No.7: Asset Forfeiture. California: Community Oriented
Policing Service – U.S Department of Justice.

Zulfa, Eva Achjani. 2010. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus,


Peringan, dan Pemberat Pidana. Bogor: Ghalia Indonesia.

Zulfa, Eva Achjani, Anugerah Rizki Akbari dan Zakky Ihsan Ahmad. 2017.
Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

177

Anda mungkin juga menyukai