Anda di halaman 1dari 12

Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274

Vol.2, No.1, Mei 2021

PUSPA HREDAYA: STILISTIKA DALAM KEKAWIN


SMARADAHANA
Ni Made Ari Dwijayanthi
STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Email: melodia.senja@gmail.com

Ketut Suara Antara


STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Email: kt.suaradharma.id@gmail.com

ABSTRACT
Kekawinas a literary works contain a deep variety of poetic value in
every word and sentence. Anauthorchoosesdiction with full of aesthetic and poetic
calculations to create a stylistic that makes the reader drift away in his verses.
Kekawin Smaradahana by Mpu Dharmaja is an Old Javanese literary work that
indulges readers with interpretations of stylistics. The consciousness of
worshiping Shiva is represented by the romance of Smara-Ratih which gives birth
to puspa hredaya, the highest form of consciousness. This research reveals the
existence of stylistics in Kekawin Smaradahana, using Pierce's semiotic theory.
The signs of poetic language will be presented through the interpretation of the
Puspa Hredaya structure.
Keywords:puspa hredaya, stylistic, kekawin smaradahana.

ABSTRAK
Karya sastra kekawin memuat ragam puitika yang begitu dalam di setiap
kata dan kalimatnya. Seorang pengarang kekawin meletakkan diksi dengan penuh
perhitungan estetika dan puitika sehingga melahirkan stilistika yang menjadikan
pembaca kekawin hanyut dalam bait-bait karyanya. Kekawin Smaradahana
gubahan Mpu Dharmaja merupakan karya sastra Jawa Kuno yang memanjakan
pembaca dengan interpretasi terhadap stilistika. Kesadaran pemujaan terhadap
Siwa dibalut dengan romantika Smara-Ratih yang melahirkan puspa hredaya,
sebuah kesadaran tertinggi. Penelitian ini mengungkap keberadaan stilistika dalam
Kekawin Smaradahana, menggunakan teori semiotika Pierce. Tanda-tanda bahasa
puitika akan disuguhkan melalui interpretasi terhadap bangunan struktur puspa
hredaya.
Kata kunci: puspa hredaya, stilistika, kekawin smaradahana.

PENDAHULUAN pemahaman baru tentang aspek


Perdebatan tentang estetika estetis itu berpindah-pindah,
sudah dimulai sejak jaman dipandang sebagai perubahan
Aristoteles sekitar abad 5-4 sebelum struktur pemikiran penikmatnya. Jadi
masehi. Paham lama menyatakan antara penikmat satu dengan
keindahan terdapat pada setiap objek, penikmat lainnya tidak akan
namun seiring berkembangnya jaman memiliki pandangan yang sama pada
keindahan tidak lagi berada pada sebuah objek, kendatipun pada
objeknya akan tetapi ada pada subjek hakikatnya setiap objek itu indah.
atau penikmatnya. Dinamika Ketidaksamaan inilah yang

1
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

memunculkan pemikiran baru, Kekawin merupakan oleh para ahli


bahwa keindahan hanya ada dalam diklasifikasikan ke dalam jenis puisi
pikiran manusia, dengan kata lain berbahasa Jawa Kuna. Keindahan
hanya manusia (individu) yang tahu dalam kekawin seperti juga karya
akan pikirannya. Sehingga hal-hal sastra lainnya adalah dalam
yang memungkinkan dalam bahasanya. Langosering menjadi
penikmatan aspek estetik adalah sebutan bagi keindahan dalam
kesadaran jiwa individu yang bahasa Jawa Kuna, dari lango
menikmatinya. Objek tidak akan seseorang (penikmat) bisa merasakan
bergerak, melainkan subjeklah yang kalangwan (keindahan tiada tara).
bergerak dinamis. Keindahan akan muncul apabila ada
Objek keindahan adalah seni, hubungan dari objek keindahan dan
segala macam seni seperti seni pahat, subjek keindahan.
seni lukis, seni musik, seni tari, seni Keindahan dalam karya sastra
fotografi, seni bahasa (karya sastra). seperti yang telah dikatakan di atas
Aspek estetis seni selain seni bahasa, berupa bahasa karya sastra itu
dapat dinikmati langsung oleh sendiri. Bahasa yang digunakan
penikmat (subjek), karena seni dalam karya sastra memberikan
tersebut menggunakan medium yang eksistensi terhadap karya sastra
bersifat konkret langsung dirasakan tersebut. Bahasa dapat diterjemahkan
oleh organ penginderaan manusia. sehingga memberikan pemahan yang
Sementara aspek estetis seni bahasa sama terhadap komunitas yang
adalah bahasa itu sendiri yang lebih berbeda. Bahasa adalah tanda yang
ditekankan kepada gaya bahasa atau bisa diinterpretasikan oleh pelaku
stilistika. bahasa. Seniman-seniman sastra
Keindahan gaya bahasa yang terkemuka pun sangat menghormati
lebih difokuskan pada metafora kaidah bahasa, karenanya setiap
dalam teks akan dikupas dengan pengarang, penyair, penulis,
menggunakan semiotika. Kata memiliki ciri khas penggunaan
sebagai kandungan teks merupakan bahasa mereka. Seperti halnya
tanda. Tanda tidak akan bermakna kakawin Smaradahana yang
apabila tidak ada yang mengisyaratkan keindahan cinta
menginterpretasinya. Manusia yang begitu memukau dari Bhatara
merupakan makhluk pencari makna. Smara dengan Bhatari Ratih.
Hasil yang diperoleh dari penelitian Pada tulisan ini akan dibahas
semiotika bukanlah struktur tentang bentuk stilistik yang
melainkan proses semiosis yang menciptakan estetika dalam Kekawin
memberikan ‘makna’ unsur Smaradahana. Mengawali tulisan ini
kebudayaan yang dipandang sebagai akan dibuka dengan sinopsis
tanda (bahasa dalam karya sastra). Kekawin Smaradahana, dilanjutkan
Kakawin merupakan ragam dengan analisis tentang pujasmara
karya sastra yang berbahasa Jawa sebagai bentuk stilistika yang
Kuna jenis puisi. Kekawin berasal menciptakan estetika dan interpretasi
dari India “Kavya”, lalu diadaptasi di tanda dalam Kekawin Smaradahana.
nusantara menjadi “Kawi” yang
diidentikkan dengan bahasa
pengarang, karenanya pengarang PEMBAHASAN
disebut Sang Kawi atau Pangawi.

2
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

Kekawin Smaradahana ketika sasih ke empat (Sasih Kapat)


diawali dengan kisah bertapanya pada perhitungan kalender Saka.
Bhatara Shiwa yang meresahkan hati Keindahan Sasih Kapat
para bhatara lainnya. Timbullah niat ataupun keindahan yang
para bhatara untuk menggagalkan menceritakan keadaan alam pada
yoga dari Bhatara Shiwa. Satu- kakawin lebih dikenal dengan
satunya jalan dengan cara menggoda Alamkara. Alamkara/alangkara
birahi Bhatara Shiwa agar teringat merupakan penggambaran keadaan
pada sakti beliau Bhatari Uma. dalam kekawin, alamkara/alangkara
Bhatara yang berwenang sesungguhnya pelukisan keindahan
melakukannya adalah Bhatara yang dieksplorasi oleh sang
Smara, maka oleh Bhatara Indra, penyair.Secara leksikal alangkara
Bhatara Smara akhirnya berarti hiasan, hiasan bahasa, bahasa
memanahkan getar asmara pada artistik. Dengan kata lain alangkara
Bhatara Shiwa. Tindakannya pun berarti hiasan atau permainan bunyi
berhasil, akibatnya Bhatara Shiwa atau kata-kata dalam syair kekawin
bangun dari yoganya dan marah Jawa Kuna. Alangkara merupakan
sambil menahan hasratnya. bunga-bunga puisi yang dapat
Dibakarlah Bhatara Smara karena membangkitkan rasa estetis, lebih-
telah mengganggu tapanya. lebih lagi ketika dinyanyikan dengan
Mendengar Bhatara Smara dibakar alunan suara yang merdu seperti
Bhatara Shiwa, datanglah Bhatari biasa yang dilakukan dalam tradisi
Ratih menghadap Bhatara Shiwa “mabebasan” di Bali. Oleh karena itu
memohon agar dibakar pula. aspek alangkara memegang peranan
Akhirnya abu Bhatara Smara dan penting dalam sebuah kekawin.
Bhatara Ratih menyusup pada diri Aspek alangkara dapat dibagi
manusia yang kemudian melahirkan menjadi dua macam yaitu
rasa cinta. sabdalangkara adalah hiasan atau
Kekawin pada umumnya permainan kata-kata atau bunyi, dan
terdapat manggalayang mengandung arthalangkara merupakan hiasan
puja dan puji penyair terhadap atau permainan arti. Seorang penyair
Bhatara yang disembahnya, tentu mengekplorasi imajinasinya dalam
juga yang diharapkan hadir dan bentuk penggabungan isi pikiran,
bersemayam di tubuh sang penyair. keadaan alam, dan puja terhadap
Puja dalam manggala adalah bentuk Bhatara yang diinginkan dalam
rasa hormat sang penyair yang proses penciptaan karyanya. Bahasa
bertujuan mendapat kelancaran dimainkan lewat rima, pilihan kata,
dalam menggubah karya (kekawin). serta permainan bunyi, lalu
Pujian penyair yang terdapat menghasilkan gaya bahasa yang
dalam manggala merupakan menjadikan ciri khas dari penyair.
gabungan antara rasa hormat penyair Mpu Dharmaja penggubah
dan rasa syukur penyair terhadap Kekawin Smaradahana juga
alam semesta yang menebar pesona menunjukkan indentitas
keindahan. Penggambaran manggala kepengarangan yang biasa dilakukan
biasanya melukiskan keadaan alam para kawi terdahulu. Di awal, Mpu
terutama ketika waktu atau musim Dharmaja mengucap dirinya tidak
menunjukkan musim keindahan yaitu bisa menyamai kemahakuasaan
pencipta, karenanya Mpu Dharmaja

3
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

memuja Bhatara dan memuji tertulis Pujaning kawi sanggraheng


semesta. Kekuatan Bhatara dan kalangenan mangde kadirgghya
kekuatan semesta dianggapnya yusan…., terlihat jikalau sang
adalah kekuatan mahaabadi yang penyair sangat hati-hati dalam kata
bersemanyam di tiap makluk hidup. pertama. Kata pujaning dikaitkan
Puspa Hredaya dituliskan oleh dengan kata selanjutnya membentuk
beliau pada manggala Kekawin kesatuan ide pikiran bahwasanya
Smaradahana gubahannya, pemujaan tidak hanya dilakukan
dituangkan dalam bait-bait berikut dengan menyakupkan tangan,
ini: menyembah dengan upakara atau
Pujaning kawi sanggraheng mengadakan upacara. Namun sang
kalangenan mangde penyair memuja dengan pikirannya,
kadirgghya yusan, dimana tubuh adalah upakara, kata
munggwing padma mekar adalah mantra, dan getaran hati
pratista siniram dening rereb adalah suara genta. Semesta
ning kapat, dijadikannya tempat mengagumi
wijanyaksara lambang endah keindahan pencipta, sekaligus
ring tetoning yasa, menjadi penyempurna dalam
dhupa kara liput magenta ‘upacara kepengarangannya’.
panangis ning sadpada ring Seorang penyair juga
sekar. (Sargah I, Bait 1) dikatakan sebagai pendeta dalam
artinya upacara karang-mengarang, bahkan
Sembah sujudku sebagai penyair secara keseluruhan pada
penyair yang menginginkan kakawin ini disebut-sebut sebagai
keindahan agar dapat berusia petapa yang menjalankan Karma
panjang, Yoga. Karma Yoga adalah bagian
berada dan bersemayam di dari ajaran catur marga (empat jalan)
lubuk hati yang mekar memuja kekuasaan pencipta. Ajaran
disirami gerimis musim Karma Yoga dipahami sebagai
keempat, memuja kebesaran beliau dengan
beras kuningnya adalah cara bekerja, bekerja, dan bekerja.
aksara dalam kakawin yang Mereka yang menempuh jalan ini
indah yang ditebar dalam memakai ‘tubuh’ atau dirinya
paviliun, sebagai sarana pemujaan.
[menyalakan] dupa hempasan Menjalankan titah Sanghyang
salju, [menyuarakan] genta Paramawisesa sebagai pencatat
bersuara kumbang di atas dunia, sekaligus menjadi penyelamat
bunga. jaman, sebab sang penyair tahu akan
Kedudukan bahasa sastra tanda-tanda jaman.
sebagai sistem semiotika tingkat Romantisme penyair sudah
kedua, menegaskan pemaknaan terlihat pada setiap baris di bait
terhadap karya sastra dimulai dari pertama, dengan meletakkan kata
bahasanya. Bahasa sebagai sistem seperti [pujaning, kawi, munggwing,
tanda selain memiliki arti dari yang tetoning, ning]. Pilihan kata dengan
sesungguhnya, juga memiliki makna /ing/ merupakan cara penyair
yang mewakili dirinya serta melukiskan betapa rindunya beliau
ditimbulkan akibat dari penafsiran. pada Sang Penguasa Semesta. Rindu
Pada sargah pertama, bait pertama dan cinta pada penguasa semesta

4
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

agar upacara kepengarangannya sang kingking kita ring


diberkati. Warna vokal /i/ tawang sang angarang nahan
merepresentasikan penghormatan ngaranteng remeng,
tertinggi pada yang dipuja, hal sang soka ngluseng taman
tersebut dapat dilihat dari kata awal sang alango yan sanghub ing
yaitu pujaning. Pada naskah kakawin sagara,
lain juga demikian, diawali kata ring kumbang mangajap
dengan imbuhan –ing. Namun secara ngaranta karengo nahan dadin
keseluruhan dalam kakawin ini ta prabhu. (Sargah 1, Bait 5)
terdapat banyak kata yang memakai
akhiran –i, -ing, juga kata-kata dasar artinya
yang memiliki vokal /i/. Penyair Paduka bergelar Sanghyang
secara konsisten memilihnya guna Resraga manakala Paduka
menjaga keseimbangan kesan Bhatara berada di laut yang
romantis itu. nan jauh, bergelar Sanghyang
Ketika menyebut kata kapat, Lengleng jika berada di
dibaris berikutnya, tergambar betapa gunung.
lembut dan indahnya musim itu. Paduka bergelar Sanghyang
Dikatakannya awan tersusun dari Kingking jika berada di
asap dupa menyamai lembutnya langit, Sanghyang Angarang
salju, gemuruh dalam hati gelarmu bila berada di
menyerupai suara kumbang yang mendung.
bergetar seolah menimbulkan suara Paduka bergelar Sanghyang
genta. Adakalanya pula penyair Soka bila berada di taman
memberikan metafora dengan yang sepi, Sanghyang Alango
menggunakan kata sekar, sekar tidak gelarmu bila berada di lautan
hanya berarti bunga biasa. Sekar kabut.
dihubungkan dengan padma yaitu Di dalam kumbang, terdengar
bunga dengan delapan kelopak yang Kau menyatakan namamu,
senantiasa menguasai segala arah. demikianlah hakikat paduka
Sekar dikaitkan pula pada mati, Bhatara.
bukanlah mati raga namun mati Repetisi pada bait ini
sebagai tujuan, mati bahagia. memungkinkan pengarang
Sehingga jika dikaitkan dengan kata melakukan eksplorasi keindahan dari
sebelumnya sekar, merupakan tujuan para pencipta keindahan itu sendiri.
akhir dari penulisan kekawin ini. Kerinduan sang penyair dituangkan
Timbul pertanyaan di bait ini di baris dalam bait ini, manakala yang
pertama tertulis dirghgayusa dipujanya adalah penguasa
(panjang umur), bukanlah sang keindahan. Alango, merupakan gelar
penyair itu yang panjang umur kehormatan yang diberikan penyair
melainkan karyanya bisa dinikmati sebagai pemuja keindahan terhadap
sepanjang masa dan oleh siapa saja sang penguasa keindahan. Maka di
(sekar, padma). setiap tempat di semesta ini telah
Sang Resraga ngaranta ring diliputi oleh keindahan, tidak
pasir adoh lenglengkiteng sejengkal pun tempat di semesta ini
parwwata, tidak ditempati oleh beliau. Sang
penyair menyatakan kekagumannya
dengan memuja pencipta,

5
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

menuangkannya pada goresan pena tergila-gila (ragi) dan hanyut ke


yang berujung pada ritual dalamnya (nuksma). Semua itu harus
kepengarangannya. dikuasai dengan penuh kesadaran
Jika pada manggala oleh sang kawi sehingga ia mampu
diungkapkan betapa sang penyair mencapai alam pembebasan
mempersiapkan ritual sempurna. Sang Kawi harus mampu
kepengarangannya, maka pada menaklukkan nafsu indra atau
Sargah I Bait 5 ini, penyair telah jayendriya. Jalan yang ditempuh
memulai ritualnya yang diawali sang kawi adalah dengan cara
dengan pemujaan terhadap penguasa menggubah karya, dalam hal ini
semesta. Diawali dengan Sanghyang kidung (Sěkar Madia) mengenai
Resraga penguasa laut, Sanghyang bunga-bunga (sěkar) sebagai
Lengleng penguasa gunung, persembahan, dipersembahkan
Sanghyang Kingking penguasa kembali pada sumber asalnya, Dewa
langit, Sanghyang Angarang Kama. Sejalan dengan itu, maka
penguasa mendung, Sanghyang Soka bunga (kembang) dan karyanya
penguasa taman sepi, Sanghyang berupa kidung (tembang) dalam
Alango penguasa kabut, serta suara hakikatnya sebagai sěkar digunakan
kebesaran penguasa keindahan yang sebagai sarana melepas dan sekaligus
diumpamakan seperti suara mengantar jiwa atma untuk kembali
kumbang. Secara keseluruhan dalam ke sumber asalnya, Paramatma (bdk.
Kakawin Smaradahana Suarka, 2007:146).
mengeksplorasi tempat-tempat indah Ritual kepengarangan
seperti laut dengan karangnya, pasir, dimulai dengan memuja seluruh
dan burung tadahasih-nya. Lainpula penguasa keindahan, setiap tempat
dengan gunung yang sering dipakai memang tidak ada yang luput dari
metafora kegagahan laki-laki. jangkauan keindahan. Semesta
Keindahan langit yang selalu adalah kuil tempat upacara itu
disatukan dengan awan mendung berlangsung, kesemuanya menyatu
yang meneduhkan taman sepi di dengan keinginan mengubah pikiran
balai-balai berselimut kabut, tempat menggubah karya yang abadi
kumbang ngeremmengeluarkan sepanjang masa. Mpu Dharmaja
suara. Istilah ngerem menjadi yang empunya ritual, ingin
metafora suara kumbang yang melukiskan betapa hebatnya
sedang mengisap sari atau kelopak kekuatan cinta. Pada kutipan
bunga dalam kakawin Smaradahana berikutnya akan digambarkan
dianalogikan seperti suara Om yang seorang Mpu Dharmaja, memuja
panjang dan bergetar, sehingga Bhatara Smara, penguasa cinta,
timbullah suara yang ngerem. Om pemberi benih kasih di setiap makluk
merupakan aksara suci Tuhan, pusat hidup.
dari segala yang meng-Ada dunia. Ndoning mastuti kirtti sang
Kumbang dan padma begitulah manawa rat munggwing carik
metafor yang dipakai melambangkan ning karas,
Padma Asta Dala dengan delapan cudhamanyan iran Mpu
sifat kemahakuasannya. Dharmaja kedo marnangga
Keindahan yang terwujud Sanghyang Smara,
dalam alam, kecantikan wanita, dan
rasa cinta, membuat sang kawi

6
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

ndan duran kawasa ngawesa Dalam ritual kepengarangan,


wasaning punggung ryyapan sang penyair seolah menuangkan apa
tuhu, yang dirasakannya sebagai
sotan tang kawi wahu wanwa pribadinya setelah menghayati dan
ri kilatning sagara ngde melaksanakan hakikat ajaran
leyep. (Sargah I, bait 7) tersebut. Sang penyair memuja
artinya keindahan dengan jalan cinta.
Tujuanku memuja Tuanku Seorang penyair pada umumnya
dan menyuratkannya di atas dilukiskan sebagai orang yang
karanganku ini. sedang mabuk cinta. Mabuk
seperti mahkotaku, si Mpu pengalaman keindahan. Kemabukan
Dharmaja, yang berniat ini kemudian diolahnya menjadi satu
menggubah hakikat Dewa bentuk dan sekaligus menjadi
Asmara kekuatan pemujaannya. Cinta
namun tak mungkin berhasil menjadi teramat jelas pada kalimat
memuaskan karena hamba (tujuanku memuja adalah juga
benar-benar sangat bodoh menyuratkan hakikat tentang Dewa
hamba adalah pujangga muda Asmara).
yang baru mencoba Di tepi laut Mpu Dharmaja
memahami keindahan kilat memuja, melumpuhkan ego,
indah di tepi lautan. mengembalikan diri menjadi kosong,
Dewa Asmara (Kama) telah dan siap menerima anugerah Dewa
memberikan percikan ilham kepada Keindahan. Tepi laut telah dipilih
seorang penyair muda yaitu Mpu sang penyair untuk menggubah
Dharmaja. Pada bait ini, ritual mulai hakikat cinta yang menjadi hak milik
berjalan, sebab Mpu Dharmaja mulai setiap makluk. Lautan adalah air, air
menulis hakikat Dewa Asmara. merupakan sumber kehidupan, air
Terdapat pula dalam bait ini kata laut menguap, menjadi awan
Cudhamanyan yang artinya daerah mendung, mendung menurunkan
antara dua alis, yang peneliti maknai hujan, air hujan jatuh ke sungai, di
lebih ke arah mahkota. Bagi seorang serap tanah, menjadilah air tanah.
penyair, mahkota dalam dirinya Begitulah siklus sebenarnya, dimana
adalah pikirannya sendiri, sebab pun sang kawi mengarang pastilah
pikiranlah yang akan melahirkan beliau memilih berdekatan dengan
karya. Secara keseluruhan dalam air, di tepi laut, di dasar gunung, di
Kekawin Smaradahana hakikat bawah air terjun. Karena air adalah
Dewa Asmara rupanya tidak semata- asal dan tujuan.
semata diartikan cinta pada lawan Batin seorang penyair
jenis semata. Setiap makluk hidup diibaratkan seperti samudera begitu
dalam kakawin ini dikatakan yang dapat dibaca pada kalimat
memiliki cinta, benda yang mati terakhir bait kutipan kakawin di atas
sekalipun akan hidup bila ada cinta (hamba adalah pujangga muda yang
yang tumbuh di taman cinta. Maka baru mencoba memahami keindahan
tidak salah apabila kakawin ini kilat di tepi laut). Samudera sebagai
dihiasi oleh metafor-metafor yang kedasyatan dan samudera sebagai
melukiskan setiap makluk maupun kenirmalaan (ini akan didapatkan
benda akan hidup bila ada cinta. apabila membaca keseluruhan teks
dalam kakawin), merupakan dua hal

7
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

yang kontras. Samudera Bhatara yang diinginkan dalam


digambarkan cadas, kokoh, mampu proses penciptaan karyanya. Bahasa
menghantam karang, namun tidak dimainkan lewat rima, pilihan kata,
pernah dipakai dalam istilah serta permainan bunyi lalu
peperangan. Samudera tidak lain menghasilkan gaya bahasa yang
pertanda gejolak dalam batin penyair menjadikan ciri khas penyair.
yang melakukan ritual Sungguh mulia keinginan penyair
kepengarangannya. Jika diselami dalam ritual kepengarangan, yaitu
batin dan samudera, dianalogikan mewujudkan rasa bakti kepada
seperti ini; jika pada permukaan Pencipta dengan mempersembahkan
samudera terlihat ganas, buas, garang yang dimilikinya. Persembahan
dasyat, namun jika pada kedalaman sederhana, yaitu kemampuan diri
samudera jernih, tenang, dan damai. sendiri, melalui penggubahan sebuah
Itulah batin sang kawi yang karya. Penyair melakukan pemujaan
bergejolak. dengan pikirannya, di mana tubuh
Puspa Hredaya semacam adalah upakara, kata adalah mantra,
pemusatan jiwa, rasa, dan pikiran dan getaran hati adalah suara genta.
dilakukan oleh sang penyair Puspa hredayamenyatukan
manakala sang penyair dewa keindahan dan penciptaan
mengharapkan Bhatara Smara hadir kekawin merupakan yoga yang khas
dalam dirinya dan bersemayam pada bagi penyair yakni yoga keindahan
dirinya selama ritual kepengarangan dan yoga sastra. Dewa keindahan
itu dilangsungkan. Laku Puspa sebagai Yang Mutlak dalam alam
Hredaya merupakan jalan untuk niskala (transenden), berkat semadi
mencapai keheningan yoga smara sang kawi berkenan turun dan
yang membuat gejolak sekaligus bersemayam di alam sakala-nişkala
menciptakan keheningan. Puspa (imanen-transenden), di atas padma
Hredaya tidak selamanya berarti (muŋgw iŋ sarasija) di dalam hati
memuja cinta, cinta sebagai wujud atau jiwa sang kawi (twas, jñāna,
fisik yang diidentikan dengan lawan hiděp, tutur). Keadaan itu membuat
jenis sang pemuja. Puspa Hredaya sang kawi dapat berhubungan
tidak lain adalah cara mencintai dengan dewa yang tampak dalam
apapun, baik itu pekerjaan, ilmu, alam sakala (imanen) dalam segala
makanan, dengan cara yang sesuatu yang indah. Dengan
sederhana dan dipenuhi rasa syukur. menyadari kesatuannya dengan dewa
Mpu Dharmaja telah di dalam aneka ragam pernyataannya
melakukankannya, sebuah ritual itu, sang kawi pun menyadari
kepengarangan yang penuh dengan kesatuannya dengan dewa di alam
cinta; Puspa Hredaya. niskala (transenden), yang menjadi
Menggubah karya sastra tujuan akhir yoga (bdk. Agastia,
merupakan bentuk pemujaan 2010:38--39).
tertinggi penyair. Ritual Penyair dikatakan
kepengarangan membuat semesta pengembara, pemuja keindahan,
menjadi tempat yang paling pencari kesunyian. Batin penyair
mengagumkan. Seorang penyair yang diibaratkan seperti samudra itu
mengeksplorasi imajinasinya dalam akan terus bergejolak gelisah
bentuk penggabungan isi pikiran, sebelum mencari yang hilang.
keadaan alam, dan puja terhadap Pengembaraan menuju gunung

8
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

(wukir), pantai, hutan, dan sungai dengan Pencipta. Bakti yang tulus
dijalankan sambil berlaku tapa. tanpa meninggalkan jejak di dunia
Penyatuan antara semesta dan adalah kekekalan seorang kawi
penyair kemudian menjelma dalam karena hidup seorang kawi selalu
bentuk karya. Selalu ada kerinduan mengalir dan menemukan muara lalu
untuk melakukan penyatuan. Betapa lebur menjadi satu dalam samudra
uniknya penyatuan ini, sungguh kesunyian.
mepesona dengan bebasnya jiwa Seorang kawi tidak hanya
pada saat melakukan ritual menuturkan dirinya, tetapi
kepengarangan. Penyair menuturkan aku (atma) sebagai
menggabungkan pengalaman estetik kekuatan karyanya. Aku yang bisa
dan religiusnya ke dalam karya. saja berarti dirinya (kawi) adalah
Pengalaman-pengalaman bagian yang penuh romantika dalam
pengembaraan penyair tidak selalu Kekawin Smaradahana. Dia (kawi)
tenggelam ke dalam keindahan alam, seolah tidak terlibat, tetapi terlibat.
sesuatu yang sensual, dan fenomena Cara menyembunyikan diri di setiap
belaka, tetapi tenggelam dalam Yang kata merupakan keistimewaan yang
Mutlak, di mana penyair mengatasi dimiliki. Ketika karya Kekawin
segala nafsu dan godaan. Dalam arti Smaradahan dibaca, pembaca
penyair sudah menjalani tahap-tahap (penulis) merasa menjadi aku (atma),
dhyana dan dharana, lalu sampai aku (kawi), aku (semesta para kawi
pada Samadhi. Hal itu diterapkan atau tubuh). Sungguh Kekawin
dalam hubungan kekawin dengan Smaradahana penuh misteri, setiap
pembaca dan pendengarnya sehingga kalimatnya adalah nyanyian sunyi
dapat dikatakan bahwa kekawin yang datang dari beberapa abad
menyebabkan para pembaca atau silam.
pendengarnya akan merasakan Puspa Hredaya juga
pengalaman penyair, yaitu tenggelam dikatakan yanyian sunyi menjadi
ke dalam alam fenomenal, tembus nyanyian pengiring dalam segala
sampai ke hakikatnya, bertemu kehidupan aku (atma). Rumah sunyi
dengan Sang Keindahan sendiri (bdk. dapat ditemukan dengan iringan
Agastia, 2010:41--42). Inilah yang nyanyian sunyi yang konstan, terus
penulis pahami tentang penyair menerus didengar, dinyanyikan, dan
kekawin, yaitu sebagai pembawa dilaksanakan. Suara merdu nyanyian
pesan peradaban. sunyi berasal dari hati seorang
Seorang bijak juga sunyi.Kesunyian merupakan pilihan
merupakan sebutan untuk seorang kata yang tidak terlupakan dalam
kawi, hanya orang bijak yang dapat Kekawin Smaradahana, seolah-olah
menuliskan kebajikan dan kesunyian menjadi penekanan
ketidakbajikan secara bersama penting kawi Kekawin Smaradahan.
sebagai cerminan ataupun tuntunan. Kesunyian (sunya, putus, nirbhana),
Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ apa pun yang disebut tetaplah ia
dadi (kewajiban seorang bijak adalah adalah kehampaan, tidak bisa
mengasihi sesama). Hal itu berarti dibayangkan (tan paŋěn-aŋěn), tidak
bahwa artinya setiap yang terperikan (tan patuduhan), dan di
melahirkan cinta dan kasih sayang luar jangkauan pikiran (acintya). Jika
merupakan cara untuk mengobati digambarkan dalam bentuk tabel,
kerinduan bertemu (baca menyatu) maka kesunyian letaknya paling

9
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

dalam. Sementara para pencari sunyi Puspa Hredayajuga


berada di sisi luar seperti molekul- mengingatkan penulis pada sebuah
molekul yang kemudian bersenyawa kejadian yang dapat dikatakan wujud
dengan kesunyian saat penyatuan itu sederhana aku (atma) melakukan
telah terjadi. tapa penyatuan (diri dan
Seorang pencari sunyi (kawi Semesta).Perilaku atau kejadian
Kekawin Smaradahan) adalah tanpa sadar itu adalah ketika sedang
seorang panglima perang yang dalam keadaan penat maka mata
senantiasa menggunakan kekuatan akan terpejam sejenak, lalu ketika
dan kelembutan (baca strategi) dalam mata dibuka kembali, semua
peperangan. Perang yang kepenatan sejauh mata terasa hilang.
dimaksudkan bukanlah perang di Tentu ada pertanyaan, apa
medan laga, melainkan perang penyebabnya? Semua penyebabnya
terhadap diri sendiri. Kekuatan adalah keinginan untuk menemukan
adalah keteguhan hati untuk selalu tempat yang sunyi. Berkali-kali
bertahan pada tujuan manunggal, penulis ingin tuliskan bahwa rumah
sedangkan kelembutan adalah yang bernama kesunyian hanya dapat
strategi untuk melawan berbagai ditemukan oleh kesunyian
macam bentuk godaan yang muncul. (keheningan) pula. Kesunyian itu:
Perjalanan mencari sunyi tiada lain Hyang Tunggal.
dikatakan perang dahsyat dalam diri. Puspa Hredaya bisa juga
Puspa Hredaya merupakan dikatakan sebagai kekuatan
jalan yang dianggap benar muncul pemujaan penyair merupakan
dari hati sebagai sumber dari segala kerinduan untuk selalu melakukan
sumber hredaya (hati). Tidak ada bakti dengan cara menuangkannya
jalan yang lebih hebat selain jalan ke dalam karya. Bakti adalah cinta
hati. Setiap jalan yang penuh yang selalu mendorong keinginan
keteguhan merupakan jalan yang penyair untuk membuktikannya.
selalu mendapat godaan, tetapi Kerinduan menjadi penggerak dalam
berakhir sebagai jalan penyatuan setiap karya yang digubahnya.
kepada Hyang Tunggal. Puspa Besarnya kerinduan terlihat dan
Hredaya, yang penuh dengan godaan tersebar di seluruh teks.
selalu menyimpan rahasia yang siap
dikatakannya sewaktu-waktu oleh PENUTUP
hati. Hati penuh kekuatan dan Setiap karya memiliki aspek
kelembutan selalu berusaha estetik, begitu pula dengan Kekawin
melalukan pengendalian terhadap Smaradahana. Bahasa sebagai
segala macam bentuk godaan, tan sistem tanda selain memiliki arti dari
upir-upir masimpěn atutur mulat ri yang sesungguhnya, juga memiliki
hati jagra nirmala maho (tidak makna yang mewakili dirinya serta
lengah mengendalikan, mengingat, ditimbulkan akibat dari penafsiran.
memandang hati yang terjaga Stilistika yang khususnya mengacu
nirmala suci). Hati yang selalu pada metafora-metafora cinta
terjaga menjadi satu hal penting memenuhi kakawin ini dari awal.
untuk mencapai kesunyian jiwa dan Seorang Kawi yang bernama Mpu
raga. Kesucian hati akan senantiasa Dharmaja (penggubah Kekawin
terpancar dari hati yang selalu terjaga Smaradahana) penempatkan diri
kenirmalaannya. beliau sebagai pemuja cinta. Bukan

10
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

cinta lawan jenis, melainkan cinta Hani’ah. Jakarta: Pusat


pada penguasa keindahan, pencipta Pembinaan dan
cipta, penguasa semesta, dan semesta Pengembangan Bahasa.
itu sendiri. Puspa Hredaya adalah Soebadio, Haryati. 1985.
sebagian kecil bentuk metafora dari Jnanassiddhanta. Jakarta:
Kekawin Smaradahana. Puspa Djambatan.
Hredaya merupakan laku puja yang
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung
mendambakan Bhatara Smara datang
Tantri Pisacarana.
untuk menyusup ke dalam diri.
Denpasar: Pustaka
Larasan.
DAFTAR PUSTAKA Yasa, I Wayan Suka. 2007. Teori
Rasa: Memahami Taksu,
Agastia, Ida Bagus Gede. 1999. Di Ekspresi, dan Metodenya.
Kaki Pulau Bali. Denpasar: Widya Dharma.
Denpasar: Yayasan Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan
Dharma Sastra. Sastra Jawa Kuno
______________. 2010. Yoga Selayang Pandang
Sastra. Denpasar: Yayasan (cetakan ketiga).
Dharma Sastra. Penerjemah Dick Hartoko
Creese, Helen. 2012. Perempuan SJ. Jakarta: Djambatan.
dalam Dunia Kakawin;
Perkawinan dan
Seksualitas di Istana Indic
Jawa dan Bali. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan
Dinamika Sosial Budaya.
Jakarta: Komunitas
Bambu.
Palguna, IBM Dharma. 1999.
Dharma Sunya Memuja
dan Meneliti Siwa.
Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori,
Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga
Poststrukturalisme
Perspektif Wacana Sastra.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ricoueur, Paul. 1996. Teori
Penafsiran Wacana dan
Makna Tambah. Penerjemah

11
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali E-ISSN 2723-4274
Vol.2, No.1, Mei 2021

12

Anda mungkin juga menyukai