Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit akibat kerja maupun penyakit yang timbul karena hubungan kerja
merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Banyak faktor yang mengakibatkan hal ini terjadi, antara lain karena alat kerja,
bahan kerja, lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri.

Perkembangan pada dunia industri mengubah pola penyakit yang ada di


masyarakat khususnya bagi pekerja. Pekerja menghabiskan sepertiga waktunya
tiap hari di tempat kerja dimana lingkungan kerja berbeda dengan lingkungan
sehari-hari. Pajanan dan proses kerja menyebabkan gangguan kesehatan.

Data International Labour Organization (ILO) tahun 2003 didapatkan


setiap hari 6000 orang meninggal karena pekerjaan, 1 orang tiap 15 detik dan 2,2
juta per tahun akibat penyakit atau kecelakaan yang berhubungan dengan
pekerjaan. Jumlah pria yang meninggal dua kali lebih banyak daripada wanita.
Indonesia menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara. Data tahun 2003
menunjukkan bahwa jumlah perusahaan besar yang belum menerapkan K3
sebesar 14.726 buah (98%), yang sudah menerapkan sebesar 317 buah (2%).
Jumlah kasus kecelakaan ringan 45.234 kasus (87%), cacat sebagian 5.400 kasus
(10%), cacat total 317 kasus (1%) dan kematian 1.049 kasus (2%).

Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai


sistem syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma,
gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan
intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa
berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguan kognitif
(atensi, bahasa, kalkulasi, memory) den gangguan emosi. Dan keluhan objektif
berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem sensorik, sistem autonom.

Makalah ini menyajikan beberapa penyakit neurologis akibat kerja.


Kondisi penyakit neurologis akibat kerja saat ini menyangkut beberapa hal antara
lain informasi tentang penyakit tersebut dan bagaimana cara mendiagnosis
penyakit tersebut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BIDANG NEUROLOGI

I. BATASAN

Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai


sistem syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma,
gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme,
dan intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti
nyeri, rasa berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double,
gangguan kognitif (atensi, bahasa, kalkulasi, memori) den gangguan emosi.
Dan keluhan objektif berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem
sensorik, sistem autonom.

II. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis.

2. Pemeriksaan fisik:

a. Umum

b. Pemeriksaan Neurologi

Pemeriksaan neurologis harus meliputi riwayat pekerjaan dan


medis yang akurat mengenai fungsi saraf, hal-hal berikut
perlu dievaluasi, status mental, saraf kranial, sistem motorik
dan sensorik, refleks, koordinasi, gaya berjalan dan postur
tubuh. Evaluasi sistem saraf otonom (refleks cahaya pupil

2
dan fungsi kelenjar lakrimal, ludah, dan pencernaan, kencing
dan seksual) harus dilakukan.

Pemeriksaan refleks tendon dalam dan kekuatan otot di


anjurkan diperiksa dan evaluasi dengan teliti.

3. Pemeriksaan Penunjang Neurologi:

a. Pengukuran sensitivitas getaran

Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang


informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan
dianggap sebagai sarana yang baik untuk menilai ganggguan
sensorik. Uji ini termasuk pemeriksaan garpu tala (antara
128-256 Hz) pada suatu tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada
kecenderungan untuk menghitung sensitivitas vibrasi dengan
getaran yang ditimbulkan secara elektromagnetik atau
elektrik.

b. Uji neurofisiologis

Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat


otot akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula
mendemonstrasikan potensial listrik pada otot yang sedang
istirahat, menurunnya rekruitmen unit motorik saat kontraksi
otot, dan variasi parameter unit motorik. Elektroneurografi
memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls
serabut motorik maupun sensorik.

c. Elektroensefalografi

Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji


deteksi dini gangguan fungsional sistem saraf pusat.
Demikian pula teknik-teknik baru seperti analisis frekuensi
elektroensefalografi dan potensial yang dibangkitkan otak.

3
d. Uji psikologis (neuro behavior)

Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik


hendaknya menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala
untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi yang
irreversible pada sistem saraf yang lebih tinggi. Kalau
mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar sebelum
paparan, guna rujukan utuk pemeriksaan selanjutnya. Uji
profil dasar dan pengendalian lebih lanjut hendaknya
meliputi:

Pengukuran dinamisme intelektual (mis., tes Raven PM38)

- uji daya ingat, meliputi komponen mekanis, visual


dan logis (mis., uji daya ingat Wechsler)

- skrining kepribadian untuk melihat kemungkinan


ciri-ciri kepribadian seperti neurotik

- waktu reaksi

Perhatian khusus hendaknya diberikan pada laporan subjektif


tentang kegelisahan emosional dan mental.
Perasaan-perasaan ini seringkali merupakan satu-satunya
bukti dini dari gangguan fungsi saraf yang lebih tinggi. Bila
gejala-gejala tersebut memberi kesan keterlibatan sistem
saraf pusat yang lebih berat, pemeriksaan psikodiagnostik
yang seksama hendaknya dilaksanakan untuk menggali
integritas fungsi sistem saraf pusat termasuk : dinamisme
mental dalam hubungannya dengan kapasitas intelektual
budaya, daya ingat jangka pendek dan panjang, kemampuan
manahan, menyimpan, mereproduksi informasi, kemampuan
psikomotor, dan perubahan kepribadian yang mempengaruhi
individu tersebut dan lingkungan sosial yang ada.

4
Uji psikologis dianggap dengan indikator yang sensitif untuk
gangguan mental dan emosional dini. Akan tetapi seringkali
sulit membedakan gangguan psikogenik fungsional dari
proses-proses kemunduran organik. Dalam hal ini, profil
dasar individual tentu saja merupakan bantuan yang besar
untuk diagnosis. Tetapi jika profil dasar tidak ada, hal-hal
berikut hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis:

- gangguan fungsional bersifat kurang spesifik


dibandingkan tanda-tanda proses kemunduran
organik

- gangguan fungsional mempunyai pengaruh yang


lebih besar pada kepribadian daripada fungsi mental

- gangguan fungsional berubah sesuai dengan waktu


dan dapat pulih

Pertimbangan mengenai fasilitas yang terbatas untuk


pemeriksaan psikologis yang seksama di banyak negara,
maka sulit untuk menganjurkan selang waktu yang dapat
diterapkan pada semua situasi. Akan tetapi, selang waktu
yang pantas mungkin sekitar 2 tahun. Jika mungkin, subjek
dengan gangguan kondisi emosional atau mental hendaknya
tidak ditempatkan pada pekerjaan yang terpapar agen
neurotoksis.

e. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI

Pemeriksaan penunjang

Lumbar punctie/cairan otak

Elektro Fisiologi (EEG, EMG)

Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)

5
III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT

Penilaian cacat dilakukan sesuai dengan gangguan tungsi:

A. Penilaian cacat factor motorik menggunakan metode Manual Muscle


Test (MMT)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Nilai | Tingkat Cacat Menurut | Penilaian tingkat cacat

| MMT |

------------------------------------------------------------------------------------------------------

0 Kelumpuhan sama dengan 100%

1 Ada otot tanpa gerak 80%

tanpa gerak sendi

2 Dapat menggerakan anggota

badan tersebut 60%

pada seluruh lingkup

gerak sendi tanpa ravitasi

3 Dapat menggerakkan 40%

anggota badan tersebut

pada seluruh "LGS"

dengan faktor aravitasi

4 Nilai 3+ melawan 20%

tahanan rinaan

5 Nilai 3+ melawan 0%

tahanan kuat/penuh

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

6
B. Penilaian cacat pada sistem saraf otonom

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ggn Fungsi Otonom | Tak ada | Ggn Sebagian | Ggn Total

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berkeringat 0% 50% 100%

Miksi/defekasi 0% 50% 100%

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

C. Penilaian cacat penurunan libido

- untuk yang belum punya anak 40%

- untuk yang sudah punya anak 20%

D. Syaraf Kranial

- N.I.lihat bidang penyakit mata

- N.VIII, lihat bidang penyakit THT

- N.IX-X, lihat bidang penyakit orthopaedi.

7
E. Penilaian tingkat disabilitas dan cacat perdarahan subarachnoid traumatika.

Penilaian dilakukan setelah menjalani neurorehabilitasi selama 6 bulan


berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS):

0 = death

1 = vegetatif state (patients exhibits no obvious cortical


functions)

2 = severe disability (concious but disable. Patients depends upon


others for daily support due to mental or physical disability or
both)

3 = moderate disability (disable but independent. Patient is


independent as far as daily life is concerned. The disabilities
found include. Varying degrees of dysphasia, hemiparesis, or
ataxia, as well as intelectual and memory deficits and
personal changes)

4 = Good recovery (resumption of normal activities even though


there may be minor neurological or psychological deficits)

GOS 1 Status vegetatif, nilai fungsi yang hilang diatas 75%

GOS 2 Disabilitas berst, nilai fungsi yang hilang 51 - 75%

GOS 3 Disabilitas sedang, nilal fungsi yang hilang diatas 25 -50%

GOS 4 Disabilitas ringan, nilai fungsi yang hilang 1 - 25%

8
F. Penilaian kecacatan tetap fisik trauma Medula Spinalis. Klasifikasi tingkat
dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7
hari setelah trauma, kemudian penilaian kecacatan tetap fisik setelah
dilakukan neurorehabilitasi 6 bulan. Impaiment scale:

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Grade Tipe Gangguan medula spinalis Persentasi

ASIA/IMSOP fungsi yang

hilang

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

A. Komplit Tidak ada fungsi motorik > 75%

dan sensorik sampai S4-S5

B. Inkomplit Fungsi sensorik masih baik > 50 - 75%

tapi motorik terganggu

sampai segmen sakral

S4-S5

C. Inkomplit Fungsi motorik terganggu > 25 -50%

dibawah level, tapi otot-

otot motorik utama masih

punva kekuatan <3

D. Inkomplit Fungsi motorik terganggu 1 -25%

dibawah level, otot-otot

motorik utama punya

kekuatan >3

E. Normal Fungsi motorik dan sensorik normal 0%

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

9
G. Penilaian gangguan fungsi Ischialgia dan Brachialgia.

Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan


dengan kemampuan daya kerja > 50 - 75% sesuai persentase santunan 40%.

H. Penilaian gangguan fungsi neuritis akibat jebakan.

Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan


dengan kemampuan daya kerja > 25 - 50% sesuai persentase santunan 20%.

I. Pekerja yang mengalami Stroke yang terjadi pada saat melaksanakan


pekerjaan di tempat kerja kemudian dibawa ke Rumah Sakit dan
mengakibatkan kematian tidak lebih dari 24 jam sejak terjadinya stroke dapat
di kategorikan sebagai kecelakaan kerja.

Penentuan ganti rugi mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor


14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2007. Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase
cacat fungsi neurologik 100% sama dengan 70% dari upah.

10
Pedoman Diagnosis Penyakit Akibat Kerja di Bidang Neurologi

1. Kelainan dapat berupa :

- Kelainan motorik

- Kelainan sensibilitas

- Kelainan otonom

2. Cara penegakan diagnosis:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan Fisik : Umum dan Neurologik

c. Pemeriksaan Penunjang

- Lumbal punksi/ CSF

- Electroencefalography (EEG)

- Electromiography (EMG)

- Photo Roentgen

- Computerize Tomography (CT) Scan kepala

3. Cara Penilaian cacat adalah:

a. Saraf Motorik

Kelumpuhan (plegia) dan kelemahan (parese)

Uraian cacat:

- Jelaskan kelumpuhan atau kelemahan

- Jelaskan batas anatomik

- Jelaskan % fungsi yang hilang

11
- Metode menentukan tingkat cacat

Dilakukan dengan metode manual muscle test (MMT) terdiri dari derajat 0 – 5.
Penilaian tingkat cacat adalah bila kelumpuhan sama dengan amputasi (MMT=0,
berarti kehilangan fungsi 100%).

Kelumpuhan dengan tidak ada kekakuan sendi penilaiannya adalah sebagai


berikut:

- MMT1 berarti kehilangan fungsi 80%

- MMT2 berarti kehilangan fungsi 60%

- MMT3 berarti kehilangan fungsi 40%

- MMT4 berarti kehilangan fungsi 20%

- MMT5 berarti kehilangan fungsi 0%

Penentuan ganti rugi mengacu pada lampiran PP No.14 tahun 1993

b. Saraf Otonom

- Berkeringat

Gangguan total 100%

Gangguan tidak total 50%

Tidak ada gangguan 0%

- Miksi/Defekasi

Gangguan total 100%

Gangguan tidak total 50%

Tidak ada gangguan 0%

12
- Gangguan Libido

Yang belum punya anak 40%

Yang sudah punya anak 20%

Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100%

sama dengan 70% dari upah sehari.

Kelainan muskuloskeletal (musculoskeletal disorder, MSD) mengacu pada


kondisi-kondisi yang melibatkan saraf, tendon, otot, dan struktur pendukung
tubuh lainnya. Dikatakan terjadi kelainan karena terdapat perbedaan antara
keadaan struktur penyangga tubuh tersebut dengan keadaan yang seharusnya.
Sedangkan kelainan muskuloskeletal akibat kerja (work related musculoskeletal
disorder, WMSD) tentunya mengacu pada kondisi kelainan pada saraf, tendon,
otot, dan struktur penyangga tubuh lainnya akibat suatu pekerjaan yang
dilakukannya.

Istilah kelainan muskuloskeletal akibat kerja juga dikenal dengan beberapa nama
lain, seperti cummulative trauma disorders, repetitive trauma disorders (oleh
OSHA, USA), repetitive strain injuries (oleh British & Commonwealth), overuse
syndrome (oleh Sport medicine), dan regional musculoskeletal disorders (oleh
Rheumatologist). Namun, pada dasarnya semua mengacu pada hal yang serupa.

Keadaan timbulnya WMSD pada pekerja umumnya diketahui dari keluhan pada
otot pekerja tersebut. Secara garis besar, keluhan pada otot dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu:             

a.       Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi akibat otot
dikenai suatu beban, dan keluhan ini akan hilang bila pembebanan dihentikan.

b.       Keluhan menetap (irreversible), yaitu keluhan otot yang walaupun


pembebanan telah dihentikan, sakit atau nyeri pada otot masih terasa.

13
Ada beberapa contoh diagnosa kelainan muskuloskeletal akibat kerja (WMSD),
yang di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Myalgia

1. Pengertian Myalgia
Myalgia atau disebut juga Nyeri otot merupakan gejala dari banyak penyakit
dan gangguan pada tubuh. Penyebab umum myalgia adalah penggunaan otot
yang salah atau otot yang terlalu tegang.Myalgia yang terjadi tanpa riwayat
trauma mungkin disebabkan oleh infeksi virus. Myalgia yang berlangsung
dalam waktu yang lama menunjukkan myopati metabolik, defisiensi nutrisi
atau sindrom fatigue kronik.

2. Pembagian Myalgia
Ada beberapa jenis nyeri otot yang kerap terjadi, yaitu : Fibromyalgia,
Myofascial pain, Nyeri otot pasca latihan (post exercise muscle soreness),
dan nyeri otot akibat penggunaan yang berlebihan (overuse injury).
a. Fibromyalgia
Istilah lainnya yaitu rematik otot, adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
gejala berupa nyeri otot yang luas, yaitu paling sering pada tengkuk,
punggung atau pinggang. Terdapat beberapa titik nyeri pada area tersebut,
biasanya 11 – 18 titik yang disebut sebagai tender point, di mana titik tersebut
sangat nyeri bila ditekan tetapi nyeri yang ditimbulkan tidak menjalar.
Keluhan dirasakan lebih dari 3 bulan, disertai adanya gejala gangguan tidur,
dan kekakuan pada pagi hari. Sifat nyeri berupa pegal, panas, rasa seperti
terbakar, dapat disertai rasa kesemutan dan baal (kebas). Penyebab penyakit
ini masih belum diketahui dengan pasti, tetapi disinyalir berhubungan dengan
proses hormonal, sistem kekebalan tubuh dan faktor ketegangan jiwa.
Walaupun tidak menyebabkan kematian, tetapi penyakit ini penyebab
penurunan fungsi yang cukup serius dan menyebabkan penurunan kualitas
hidup.

14
b. Myofascial pain
Suatu penyakit yang mirip fibromyalgia, tetapi perbedaannya pada MP
ditemukan titik nyeri yang lebih sedikit, dan jika ditekan timbul rasa nyeri
yang menjalar ke area tubuh lain. Penyakit ini lebih mudah disembuhkan
dengan penanganan yang tepat dibandingkan fibromialgia. Penyebab
penyakit ini terutama disebabkan karena kesalahan postur atau posisi tubuh
dalam waktu lama dan ketegangan emosi.

c. Post exercise muscle soreness (nyeri otot pasca latihan) 


Suatu keluhan yang sesuai namanya, terjadi sesudah melakukan olah raga.
Nyeri timbul pada otot yang banyak melakukan aktivitas saat olah raga, dapat
timbul langsung pasca olah raga atau timbul 8 – 24 jam kemudian yang
mencapai puncak nyeri pada 24 – 72 jam pasca olah raga. Nyeri otot yang
timbul beberapa jam sampai beberapa hari pasca olah raga tersebut disebut
delayed onset muscle soreness (DOMS). Penyebab nyeri ini ada beberapa hal
antara lain yaitu : penumpukan sisa pembakaran atau metabolisme otot yang
disebut asam laktat, kekurangan oksigen pada otot yang aktif, serta pengaruh
suhu tubuh yang meningkat pada saat olah raga. Biasanya nyeri akan hilang
dengan sendirinya setelah 5 – 7 hari. Jika timbul nyeri tersebut sebaiknya
beristirahat dahulu selama beberapa hari. Setelah nyeri hilang dapat mulai
dilakukan olah raga dengan intensitas ringan dahulu untuk kemudian
ditingkatkan secara bertahap. Perlu diingat untuk selalu melakukan latihan
peregangan dan pemanasan sebelum serta sesudah olah raga untuk mencegah
terjadinya cedera otot.

d. Overuse injury (nyeri otot akibat penggunaan berlebihan)


Nyeri otot terjadi akibat beberapa hal, yaitu: digunakan berulang (repetitif)
dalam waktu lama, digunakan dalam posisi yang salah dalam waktu lama,
akibat getaran atau akibat penggunaan dengan kekuatan yang besar, misalnya
mengangkat benda yang berat. Akibat adanya aktivitas yang tidak tepat
tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan otot yang secara mikroskopik

15
tampak berupa robekan jaringan disertai adanya proses peradangan, dan
karena penggunaan yang terus menerus maka tidak ada waktu bagi otot
tersebut untuk memperbaiki diri (recovery). Nyeri otot tersebut bisa terjadi
pada musisi yang menggunakan suatu instrumen (gitar, biola) dalam waktu
lama, pada olah ragawan, dan juga pada pekerja kantor. Sama dengan nyeri
otot yang timbul pasca olah raga, otot yang nyeri adalah otot yang banyak
bekerja saat melakukan aktivitas, misalnya pada pekerja kantor yang banyak
menggunakan komputer, sering nyeri pada bahu kanan karena otot bahu
kanan selalu bekerja mempertahankan posisi lengan atas dan tangan untuk
mengendalikan “mouse” komputer, atau pada pemain gitar bisa timbul nyeri
pada bahu kiri, karena otot bahu kiri selalu mempertahankan posisi lengan
kiri untuk memainkan nada dan menyangga gitar. Nyeri yang timbul berupa
perasaan pegal, panas, kebas , dapat disertai bengkak dan kemerahan.
 

3. Penyebab Myalgia

1. Myalgia yang disebabkan karena gangguan tidur, individu yang


mengalami gangguan tidur sering kali mengalami nyeri otot. Gangguan tidur dan
nyeri otot yang menyertainya mungkin disebabkan oleh ansietas temporer akibat
situasi yang menimbulkan stress, atau bisa juga kerena kebisingan. Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan selama tidak ada gejala lain yang menyertai myalgia
tersebut atau jika nyerinya tidak juga menghilang setelah beberapa hari. Namun
gangguan tidur yang berkepanjangan dapat mengindkasikan gangguan yang serius
seperti depresi yang memerlukan penanganan tenaga profesional.
Ketidakseimbangan hormon menyebabkan myalgia
2. Ketidakseimbangan hormon terjadi manakala salah satu hormon
reproduktif tidak lagi bekerja secara fungsional. Akibatnya, tubuh beralih
menggunakan persediaan high-test hormone-nya,adrenalin, yang biasanya dipakai
untuk mekanisme “flight or fight” pada situasi darurat. Penyalahgunaan adrenalin
secara kronis oleh tubuh akan mengarah kepada berbagai gangguan seperti nyeri
otot persistent yang disebut fibromyalgia kronis.

16
3. Defisiensi vitamin juga dapat menyebabkan myalgia , Myalgia dapat juga
disebabkan oleh diet dan gaya hidup yang tidak sehat. Vitamin memainkan
peranan penting dalam kesehatan secara keseluruhan. Vitamin D yang secara
alami dapat diperoleh dalam jumlah melimpah dengan berjemur di sinar matahari
pagi, turut berperan dalam membantu absorpsi kalsium. Defisiensi vitamin D
sering ditemui pada kelompok masyarakat yang sebagian besar melakukan
aktivitasnya di dalam ruangan. Vitamin B12 berperan dalam produksi sel darah
merah, perkembangan saraf, dan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein.
Vitamin ini banyak ditemukan pada daging, ikan dan produk susu. Kekurangan
vitamin tidak hanya dapat menimbulkan terjadinya myalgia, namun juga
mengarah kepada gangguan kesehatan yang lebih serius.
4. Obat-obatan yang menginduksi myalgia, Kelompok obat tertentu seperti
statin (penurun kadar kolesterol) memiliki efek samping berupa nyeri otot. Hal ini
khususnya terjadi ketika pasien mulai mengkonsumsi obat tersebut atau ketika
dosisnya mulai dinaikkan. Pada beberapa kasus, nyeri otot yang terjadi ketika
sedang mengkonsumsi obat ini dapat juga menunjukkan bahwa otot-otot sedang
mengalami kehancuran – suatu situasi yang dapat mengarah kepada gagal ginjal
dan bahkan mengancam nyawa.
5. Myalgia akibat penyakit autoimun, Penyakit autoimun seperti rheumatoid
arthritis dan lupus merupakan kondisi dimana sistem imun menyerang
jaringan/organ tubuh. Selain myalgia, penyakit autoimun umumnya juga disertai
gejala berupa nyeri tekan pada otot, kehilangan massa otot dan ruam.
Myalgia merupakan suatu bentuk respon tubuh terhadap berbagai
kemungkinan kondisi. Myalgia yang parah dan berlangsung selama lebih
dari dua minggu dapat mengindikasikan bahwa tubuh sedang menghadapi
suatu keadaan yang serius, terutama jika gejala myalgia tersebut tidak
dapat dihubungkan secara pasti dengan cedera atau penyakit yang baru
dialami, juga jika disertai dengan gejala lainnya. 

4. Penatalaksanaan

17
Mengingat penyebab nyeri otot yang beragam, maka jangan mengabaikan nyeri
otot yang tidak segera membaik, misalnya setelah lebih dari 1 minggu, dengan
intensitas atau kualitas nyeri semakin hari semakin bertambah. Sebaiknya anda
mencari dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi terdekat. Sebab jika
tidak mendapat penanganan yang tepat, nyeri otot dapat menyebabkan penurunan
fungsi otot dan sendi sekitarnya, sehingga dapat menghambat aktivitas fisik dan
akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup penderita.

b. Myofacial pain syndrome


Myofacial Pain adalah suatu kondisi nyeri dimana, nyeri tersebut dapat dirasakan
atau terlokalisasi, penurunan aktifitas fungsional, terkadang menimbulkan
keterbatasan fungsi gerak, seringkali nyeri mengakibatkan gangguan suasana hati
(mood) akibat rasa nyeri di bagian tersebut. Rasa sakit otot lokal. Otot yang
mengalami rasa sakit yang berkepanjangan memungkinkan untuk menghasilkan
titik pemicu dan kemudian menghasilkan tanda-tanda klinis pada nyeri myofacial.
1. Rasa sakit yang dalam dan konstan. Sakit yang dalam dan konstan
dapat menyebabkan efek eksitator (perangsangan) sentral pada area
yang jauh. 
2. Stres emosional yang meningkat.
3. Kelainan tidur. 
4. Faktor-faktor lokal. Beberapa kondisi lokal yang mempengaruhi
aktivitas otot seperti kebiasaan, sikap badan yang salah, keseleo, dan
aktivitas otot yang berlebihan dapat menghasilkan nyeri myofacial
5. Faktor-faktor sistemik. Beberapa faktor sistemik dapat mempengaruhi
atau bahkan menghasilkan nyeri miofasial. Faktor-faktor sistemik
seperti hipovitaminosis, kondisi fisik yang rendah, lelah, dan infeksi
virus. 
Myofacial Pain didiagnosis dengan adanya nyeri pada sekumpulan
grup otot atau adanya trigger point (titik nyeri) pada punggung
belakang. Yang memprovokasi nyeri tersebut. Gejala tambahan yang

18
digunakan untuk mendiagnosa myofacial pain termasuk gangguan
rentang gerak, gangguan mood, kelemahan otot dan gangguan tidur

Karakteristik spesifik pada myofacial pain


1. Nyeri terlokalisasi 
2. Adanya Taut Band pada grup otot/otot tertentu
3. Nyeri menyebar
4. Kelemahan pada otot tertentu/sekelompok otot
5. Nyeri satu sisi pada trigger point (titik tertentu)
6. Autonomic Dysfunction
7. Kemungkinan nyeri aktif (pada saat bergerak) atau laten (nyeri pada
saat di palpasi
8. Prevalensi anatara usia 20-49 tahun
9. Nyeri (terbakar atau periodik)
10. Kaku biasanya dirasakan pada malam hari 
11. Kelelahan pada otot yang berlebihan 
12. Penurunan ROM
13. Kelemahan tanpa disertai atrofi otot
14. Penurunan sensitifitas terhadap rasa dingin

Penyebab myofacial sendiri belum diketahui secara jelas. Biasanya


myofacial terjadi akibat kelemahan dari otot tersebut, postur tubuh yang
tidak simetris, alignment tubuh yang tidak simetris, kerja otot yang terus
menerus, faktor stress, pengulangan gerak yang (berlebihan dan terus
menerus (repetitive motions)dan gangguan pada sendi. Faktor-faktor
tersebut yang menghasilkan siklus nyeri, gangguan beraktivitas. 
Trauma tiba-tiba atau berlebihan akut myofascial jaringan gerakan
berulang-ulang atau microtrauma (lambat awal), leg discrepancy(beda
panjang tungkai), kekurangan gizi, perubahan hormon (PMS atau

19
menopause) infeksi kronis pendinginan daerah badan, stres emosional
yang intens.
Pada kasus myofacial pain yang mana di temukan adanya trigger point
area, umumnya pada otot atau facia (pembungkus otot), yang lama
kelamaan menjadi abnormal dan menjadi nyeri yang menyebar.
Akibat postur tubuh yang buruk menyebabkan ketegangan otot yang lebih
lama dari pada fase rileksasi (dimana otot tidak berkontraksi secara terus
menerus) keadaan yang melebihi batas critical load sehigga menimbulkan
kelelahan pada otot (penumpukan asam laktat yang berlebih)
Kelelahan tersebut lama-kelamaan mengakibatkan spasme lokal, bila
berlangsung lama menimbulkan taut band sehingga menstimulasi
fibroblast dalam facia untuk menghasilkan lebih banyak collagen
kemudian membuat perlengketan yang tidak beraturan (abnormal cross
link), hal ini yang menyebankan terjadinya myofacial pain syndrom.

c. Tendinitis (Peritendinitis, Tenosynovitis, De Quervains disease,


Epicondylitis, Trigger finger)
Tendinitis adalah peradangan yang terjadi pada tendon. Tendon merupakan
struktur elastis yang menghubungkan otot dengan tulang. Tendinitis dapat terjadi
pada tendon di mana saja, namun paling sering terjadi pada siku, pergelangan kaki
(tendon Achilles), bahu, panggul, lutut, jari dan pergelangan tangan.

PENYEBAB

Penyebab dari tendinitis bermacam-macam. Tendinitis dapat disebabkan oleh


trauma, penggunaan yang berlebihan, atau penurunan elastisitas karena proses
penuaan. Kencing manis atau diabetes dan usia lanjut merupakan risiko yang
menyebabkan tendinitis.

Trauma kecil yang berulang juga dapat menyebabkan tendinitis, seperti:

20
 Posisi tubuh yang tidak baik selama bekerja misalnya penggunaan
komputer, memotong, menebang, menggergaji, mengecat dalam waktu
lama, dan lain-lain;
 Mengemudi dalam waktu lama;
 Menggunakan punggung tangan (backhand), terutama dalam permainan
tenis;
 Mengenakan sepatu yang tidak nyaman selama olahraga.

Penggunaan obat-obatan jarang menyebabkan tendinitis,


kecuali antibiotic golongan  florokuinolon (misalciprofloxacin, levofloxacin) dan
obat penurun kolesterol golongan statin.

GEJALA

Tendon memiliki fungsi untuk membantu pergerakan, sehingga perdangan pada


tendon menyebabkan nyeri yang diperburuk saat pergerakan atau aktivitas. Nyeri
seringkali timbul mendadak dan  lebih dirasakan pada malam hari. Lokasi nyeri
berada di dekat persendian. Nyeri dapat disertai dengan pembengkakan.

PENGOBATAN

Tujuan pengobatan dari tendinitis adalah untuk mengurangi peradangan dan


gejala-gejala yang ditimbulkan. Bila penyebab tendinitis adalah pemakaian yang
berlebihan, maka stress tersebut harus diturunkan. Bila tendinitis terjadi akibat
pekerjaan Anda, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk mengevaluasi
posisi yang baik sehingga Anda dapat bekerja dengan aman.

 Istirahat

Pada tendon yang sedang mengalami peradangan, sebaiknya diistirahatkan atau


tidak digunakan terlebih dulu untuk membantu penyembuhan. Istirahat dapat

21
mengurangi peradangan. Namun istirahat yang berkepanjangan dapat
menimbulkan kekakuan sendi, sehingga setelah beberapa hari beristirahat
mulailah bergerak dengan perlahan. Bila terjadi pembengkakan pada kaki dapat
dibantu dengan mengangkat kaki lebih tinggi dari posisi jantung saat berbaring.

 Es

Kompres dengan es membantu mengurangi peradangan dan nyeri. Lakukan


kompres 10-15 menit sebanyak 2-3 kali dalam sehari.

 Obat-obatan

Obat-obatan golongan antiinflamasi non steroid (NSAID) dapat digunakan tidak


hanya menurunkan nyeri namun juga menekan peradangan yang terjadi. Bila
cukup berat, dapat digunakan suntikan steroid untuk mengurangi nyeri dan
peradangan.

 Alat penunjang

Penggunaan tongkat pada sisi yang berlawanan membantu nyeri pada panggul.
Alat-alat pelindung pada bagian yang meradang dapat mengurangi stress yang
terjadi.

 Terapi fisik

Fisioterapi untuk peregangan dan penguatan tendon dapat digunakan untuk


mengembalikan kemampuan tendon dan mencegah luka selanjutnya.

 Operasi

Operasi umumnya jarang dilakukan pada tendinitis, kecuali gejala masih


berlangsung selama berbulan-bulan dan menghambat aktivitas sehari-hari.
Tendinitis yang hebat dapat menyebabkan tendon putus sehingga memerlukan
tindakan operasi.

22
Pencegahan untuk menghindari tendinitis antara lain:

 Melakukan pemanasan sebelum melakukan aktivitas olahraga;


 Meningkatkan intesitas latihan sedikit demi sedikit;
 Melakukan olahraga rutin harian;
 Mempelajari dan menerapkan postur tubuh yang baik;
 Menggunakan perlengkapan olahraga yang sesuai dengan Anda;
 Menghindari berada dalam 1 posisi dalam waktu lama, usahakan untuk
merubah posisi setiap 20-40 menit;
 Berhenti melakukan aktivitas yanbg menimbulkan nyeri; Tidak
berlebihan dalam melakukan sesuatu.

d. Carpal tunnel syndrome


Carpal Tunnel Syndrome (CTS) atau sindrom terowongan carpal mungkin
merupakan contoh WMSD yang paling dikenal. CTS ini merupakan kondisi
WMSD di area pergelangan tangan hingga ujung jari. CTS terjadi akibat gerakan
repetitif dari pergelangan tangan yang menekuk, memegang benda kerja atau
perkakas dengan sangat erat, atau secara terus-menerus menekankan pergelangan
tangan pada benda kerja yang keras. Gejala-gejala umum pada CTS ini adalah
pergelangan tangan yang mati rasa, terasa kebas, terasa seperti terbakar, dan nyeri.
Dalam beberapa kasus, bahkan timbul tonjolan otot di dasar ibu jari, telapak
tangan yang kering dan memucat, serta keadaan tangan yang sulit digerakkan.

e. Cubital tunnel syndrome


Merupakan gangguan yang disebabkan oleh penekanan saraf ulnaris di siku. Saraf
ulnaris berjalan dekat dengan permukaan kulit di daerah siku, sehingga mudah
mengalami kerusakan akibat penekanan di daeran siku secara berulang. Beberapa
kondisi yang beresiko untuk menimbulkan gangguan ini antara lain:
 Menekuk siku untuk waktu yang lama, misalnya saat menelpon
atau tidur dengan posisi tangan di bawah bantal

23
 Sering bersandar dengan siku, terutama pada permukaan yang
keras

f. Carpet Layer’s knee


Peradangan bursa di depan patella, bursae terletak antara struktur untuk
mengurangi gesekan. Kantung yang dilapisi dengan membran sinovium yang
memproduksi dan menyerap cairan terkena trauma akut atau kronis atau infeksi
dan kondisi inflamasi tingkat rendah seperti gout, sifilis, tuberkulosis, dan
rheumatoid arthritis. Dapat juga disebabkan oleh pekerjaan yang menciptakan
tekanan berulang-ulang pada bagian lutut sehingga terjadi trauma pada aspek
anterior lutut.

g. Raynaud’s syndrome atau white finger disease


Raynaud’s syndrome atau yang lebih dikenal dengan white finger
disease merupakan masalah WMSD di saraf dan pembuluh darah tangan. Sindrom
ini sering disebabkan oleh penggunaan peralatan kerja yang menimbulkan
getaran. Akibat getaran ini serta rendahnya temperatur lingkungan kerja, pekerja
kemudian mengalami mati rasa dan kebas pada jari-jari tangannya. Jemari pekerja
kemudian berubah menjadi putih pucat, kemudian biru, dan akhirnya merah.
Keadaan mati rasa dan lemas pada tangan ini kemudian membatasi gerakan
pekerja untuk memegang benda kerja dengan baik dan turut mengganggu
kemampuan pekerja secara keseluruhan untuk bekerja dengan baik. Kondisi
pekerja yang merokok dapat memperburuk kondisi ini dengan mengurangi
pasokan oksigen ke dalam jari-jari tangan.

h. Thoracic outlet syndrome


Sindrom yang melibatkan kompresi di outlet toraks superior akibat tekanan
berlebih pada bundel neurovaskular yang berada antara otot scalneus anterior dan
otot scalneus tengah. Hal ini dapat mempengaruhi satu atau lebih saraf yang
menginervasi ekstremitas atas dan / atau pembuluh darah yang melalui dada dan

24
ekstremitas atas , khususnya di pleksus brakialis , arteri subklavia , dan kadang-
kadang vena subklavia .

TOS dapat disebabkan akibat dari posisi , misalnya, dengan kompresi yang
abnormal dari tulang selangka ( tulang selangka ) dan gelang bahu pada gerakan
lengan . Ada juga beberapa bentuk statis , yang disebabkan oleh kelainan ,
pembesaran , atau spasme berbagai otot di sekitar arteri , vena , dan / atau pleksus
brakialis , fiksasi dari tulang rusuk pertama , atau tulang rusuk serviks.

i. Guyon’s canal syndrome


Disebabkan oleh terjepitnya saraf ulnaris di kanal Guyon saat melewati
pergelangan tangan. Gejala biasanya dimulai dengan perasaan kesemutan pada
jari-jari kelingking dan jari manis lalu menjadi hilangnya sensasi dan / atau
gangguan motorik, fungsi otot-otot intrinsik tangan yang dipersarafi oleh saraf
ulnaris . Ulnaris tunnel syndrome umumnya terjadi pada pengendara sepeda biasa
karena tekanan berkepanjangan kanal Guyon terhadap setang sepeda.

j. Hypothenar hammer syndrome


Kondisi tangan di mana aliran darah ke jari-jari berkurang. Hipotenar mengacu
pada kelompok otot yang mengontrol pergerakan jari kelingking. Beberapa otot-
otot ini membentuk daging pada bagian luar telapak tangan. Hal ini terjadi ketika
para pekerja berulang kali menggunakan telapak tangan (terutana bagian luar)
sebagai palu untuk menggiling, mendorong, dan memutar benda-benda. Kegiatan
ini dapat merusak pembuluh darah tertentu dari tangan terutama arteri ulnaris.
Arteri ini berjalan melalui daerah hipotenar telapak tangan dan memasok darah
ke jari-jari. Kerusakan arteri ulnaris menyebabkan pengurangan aliran darah ke
jari-jari.

Hypothenar hammer syndrome biasanya terjadi pada pria dengan usia rata-rata 40
tahun. Pekerjaan yang berisiko termasuk montir mobil, pekerja logam, operator
mesin bubut, penambang, teknisi, tukang daging, tukang roti, dan tukang kayu.

25
k. Vibration hand arm syndrome
Gangguan akibat kontak yang terlalu lama dengan getaran, khususnya pada
tangan dan lengan saat menggunakan alat getar. Gejala termasuk mati rasa,
kesemutan, dan kehilangan sensitivitas saraf. Sindrom tangan-lengan getaran
(HAVS) adalah kondisi yang menyakitkan dan berpotensi melumpuhkan jari,
tangan, dan lengan akibat getaran. Pada awalnya rasa kesemutan dengan mati rasa
pada jari-jari. Kemudian jari-jari itu menjadi putih dan bengkak saat dingin dan
kemudian merah dan ketika menghangat akan terasa nyeri. Cuaca dingin atau
basah dapat memperburuk kondisi. Memungut benda seperti pin atau paku
menjadi sulit karena rasa pada jari-jari berkurang dan kehilangan kekuatan dan
pegangan di tangan.

Sumber getaran yang dapat menyebabkan HAVS sangat bervariasi dari bor,
perata jalan, pemutus aspal, gergaji listrik, alat pengikis, penembak jarum,
pemoles, pengamplas dan penggiling, compactor, mesin pemotong rumput listrik
dan bahkan permainan elektronik yang mengkasilkan getaran.

l. Low Back Pain


Low back pain (LBP) atau rasa sakit di area bawah punggung merupakan salah
satu penyebab utama ketidaknyamanan dalam bekerja. Selain itu, gejala ini juga
dapat timbul dari kegiatan sehari-hari, seperti berkebun, menyetir, dan melakukan
pekerjaan rumah lainnya. Umumnya, sumber rasa sakit berasal dari posterior
ligament dan jaringan tipis lainnya (Bridger, 1995). Kumar dalam Bridger (1995)
mengemukakan bahwa pembebanan secara mekanik merupakan faktor risiko
LBP.

Secara khusus, cedera tulang belakang (back pain) merupakan fenomena yang
mendapat banyak perhatian, terutama dari bidang kesehatan. Cedera ini dapat
menyebabkan seseorang mengalami disfungsi. Berikut adalah beberapa istilah

26
mengenai cedera tulang belakang yang disampaikan oleh dr. Ahmad Toha Muslim
pada Simposium Ergonomi tahun 1998 (Salmiah, 2001):
1. Back pain, adalah nyeri yang timbul di sepanjang tulang belakang,
mulai dari leher sampai pinggang. Umumnya back pain dibagi atas dua
daerah, yaitu neck pain yang merupakan nyeri di daerah leher yang
menyebar hingga tangan dan low back pain yang merupakan nyeri di
daerah pinggang yang menyebar hingga kaki.
2. Back pain impairment, adalah kondisi berkurangnya atau hilangnya
kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sistem otot tulang
belakang.  
3. Back pain disability, adalah kondisi back pain impairment yang
menyebabkan hilangnya jumlah jam kerja, sehingga orang yang
bersangkutan hanya dapat bekerja dengan waktu terbatas.
4. Back pain compensation, adalah besarnya penggantian uang yang telah
digunakan untuk mengobati back pain sesuai dengan peraturan yang
berlaku di tempat kerja.

Gejala-gejala yang muncul dari WMSD ini adalah nyeri seperti terbakar,
tendon yang membengkak, jari yang menggeretak atau berderik (crepitus), dan
Ganglionic cysts. Tendonitis berkaitan erat dengan pekerjaan yang memerlukan
gerakan berulang (seperti penggunaan staple gun), serta gerakan memutar atau
memelintir (contohnya pada penggunaan obeng). Peralatan atau perkakas kerja
yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk ukuran tangan pekerja juga turut
menambah tekanan pada tendon.
Posisi tubuh seorang pekerja (postur kerja) dan pergerakannya dapat
mempengaruhi terjadinya risiko WMSD, karena posisi tubuh yang kurang baik
saat bekerja dapat menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan akan
menimbulkan kelelahan jika postur kerja ini dipertahankan dalam periode waktu
yang lama. Gejala ketidaknyamanan dan kelelahan ini muncul karena adanya
kelainan pada sistem otot atau struktur penyangga tubuh lainnya. Karenanya,
dapat dikatakan bahwa postur tubuh yang kurang baik saat bekerja dapat

27
mempertinggi kemungkinan seorang pekerja mengalami kelainan muskuloskeletal
akibat pekerjaannya.
Sebagai contoh, postur tubuh berdiri saat bekerja. Posisi tubuh berdiri
merupakan suatu posisi tubuh alami, dan karena itu tidak akan menimbulkan
risiko kesehatan tertentu. Namun, jika seseorang bekerja untuk periode waktu
yang lama dengan posisi berdiri, akan timbul rasa sakit pada kaki, kelelahan otot
umum, dan sakit punggung. Hal ini dapat diperparah lagi dengan adanya tata
ruang area pekerjaan yang tidak ergonomis, sehingga menjadikan posisi kerja
kurang nyaman karena para pekerja berdiri dengan tidak wajar. Selain postur
tubuh berdiri, masih banyak postur tubuh lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala WMSD (awkward posture)

OHSCOs (2007) memberikan panduan tahapan untuk melakukan program


pencegahan MSD di lingkungan kerjayang meliputi: 

1. Membangun pondasi menuju sukses


Untuk melakukan program pencegahan MSD diperlukan penetapan komitmen
oleh manajemen, menentukan tujuan pelaksanaan, sasaran dan ruang lingkup
pelaksanaan, membuat aturan dan tanggung jawab pada seluruh lapisan karyawan,
membentuk komite pelaksana dan bergabung dengan organisasi kesehatan dan
keselamatan kerja.

2. Mengidentifikasi faktor -faktor yang menimbulkan MSD dan faktor


lainnya yang terkait.
Proses identifikasi dilakukan dengan menanyakan kepada pekerja gangaguan
MSD yang dialami, menanyakan jenis tugas yang sulit dan menyebabkan
ketidaknyamanan, mengevaluasi catatan kecelakaan kerja yang pernah terjadi,
mengamati jenis pekerjaan yang membutuhkan waktu yang lama, pengulangan,
tenaga dan postur kerja serta menggunakan instrument-instrumen pencegahan
MSD.

3. Lakukan evaluasi faktor-faktor yang menyebabkan MSD

28
Evaluasi faktor-faktor yang telah ditemukan dengan melibatkan pekerja untuk
mencari akar masalahnya dan buat kesepakatan untuk melakukan tindakan
perbaikan.

4. Memilih dan melaksanakan program perbaikan untuk pencegahan MSD


Lakukan perubahan metode kerja, menata ulang peralatan dan area kerja untuk
mengurangi resiko MSD, Libatkan karyawan untuk memberikan ide-ide agar
system kerja menajdi lebih baik dan gunakan ide yang dianggap baik, hati hati
memilih solusi yang pertama kali karena solusi tersebut disebut desain yang
ergonomis.

5. Evaluasi kesuksesan penerapannya dan lakukan peningkatan secara


berkelanjutan
Tanyakan kepada pekerja apakah perubahan yang dilakukan memberikan dampak
yang lebih baik dan memberika rasa nayaman dalam bekerja. Tingkatkan dan
ulangi penerapan setelah 3 -6 bulan.

6. Menyebar luaskan kesuksesan pencegahan MSD


Umumkan hasil yang telah dicapai dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam
pencegahan MSD kepada seluruh pekerja dan semua departemen

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai


system syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma,

29
gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan
intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa
berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguankognitif
(atensi, bahasa, kalkulasi, memory) dan gangguan emosi disertai juga keluhan
objektif berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem sensorik, dan sistem
autonom. Penyakit akibat kerja bidang neurologi berhubungan dengan Lingkungan
kerja, proses kerja dan kecelakaan kerja.

Penegakan diagnosis kelainan neurologi tidak hanya berdasarkan pada


pemeriksaan umum melainkan juga disertai dengan pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan khusus tersebut terdiri dari pengukuran sensitivitas getaran, uji
neurofisilogis, elektroensefalografi, uji psikologis, dan pemeriksaan radiologi (CT
scan atau MRI). Selain itu untuk mengukur tingkat kelainan neurologi juga dinilai
aspek tingkat kecacatan.

Penilaian cacat pada umumnya dinilai berdasarkan gangguan fungsi yang


terdiri dari penilaian cacat sistem saraf motorik menggunakan metode Manual
Muscle Test (MMT), penilaian cacat pada sistem saraf otonom, penilaian cacat
penurunan libido, penilaian cacat syaraf kranial, penilaian tingkat disabilitas dan
cacat perdarahan subarachnoid traumatika, penilaian kecacatan tetap fisik trauma
Medula Spinalis, penilaian gangguan fungsi ischialgia dan brachialgia, dan penilaian
gangguan fungsi neuritis akibat jebakan.

Kelainan neurologi juga erat kaitannya dengan kelainan muskuloskeletal


yang kelainannya mengacu pada kondisi-kondisi yang melibatkan saraf. Ada
beberapa contoh diagnosa kelainan muskuloskeletal akibat kerja yang sering
terjadi diantaranya Myalgia, Myofacial pain syndrome, Tendinitis (Peritendinitis,
Tenosynovitis, De Quervains disease, Epicondylitis, Trigger finger), Carpal
tunnel syndrome, Cubital tunnel syndrome, Carpet Layer’s knee, Raynaud’s
syndrome atau white finger disease, Thoracic outlet syndrome, Guyon’s canal
syndrome, Hypothenar hammer syndrome, Vibration hand arm syndrome, dan
yang angka kejadian tersering yakni Low Back Pain.

30
Faktor ergonomi atau Posisi tubuh seorang pekerja (postur kerja) dan
pergerakannya dapat mempengaruhi terjadinya risiko kelainan muskuloskeletal
akibat kerja. OHSCOs (2007) memberikan panduan tahapan untuk melakukan
program pencegahan MSD di lingkungan kerjayang meliputi: Membangun
pondasi menuju sukses, Mengidentifikasi faktor -faktor yang menimbulkan MSD
dan faktor lainnya yang terkait, Lakukan evaluasi faktor-faktor yang
menyebabkan MSD, Memilih dan melaksanakan program perbaikan untuk
pencegahan MSD, Evaluasi kesuksesan penerapannya dan lakukan peningkatan
secara berkelanjutan, dan Menyebar luaskan kesuksesan pencegahan MSD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Markkanen PK. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Manila:


International Labour Organization, 2004.
2. Handayani. Occupational Health and Safety. Pekanbaru: Universitas Riau,
2008.

31
3. Sulistoma A. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan Sistem Rujukan. Maj
Cermin Kedokt Indo No. 136, 2002.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja 2008. Jakarta: Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2008.
5. Cedera Syaraf (diakses dari http://www.fisioterapi.web.id/2012/05/cedera-
syaraf-atas.html, 24 November 2014)
6. Tendinitis (diakses dari http://www.kerjanya.net/faq/5053-tendinitis.html,
24 November 2014)
7. Miofascial Syndrome (diakses dari
http://fisioterapivivakinesia.com/2013/01/miofascial-syndrome.html, 24
November 2014)
8. Mialgia (diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mialgia, 24 November
2014)
9. Ulnar Tunnel Syndrome (diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Ulnar_tunnel_syndrome, 24 November 2014)
10. Thoracic Outlet Syndrome (diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Thoracic_outlet_syndrome, 24 November
2014)
11. Vibration (diakses dari
http://www.hse.gov.uk/VIBRATION/hav/index.htm, 24 November 2014)

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

32
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER. 25/MEN/XII/2008

TENTANG

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT

KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa penggunaan peralatan kerja, mesin dan bahan kimia berbahaya dalam
proses produksi dapat menyebabkan tenaga kerja menderita kecelakaan dan
penyakit akibat kerja;

b. bahwa untuk menetapkan kompensasi bagi tenaga kerja yang menderita


karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan diagnosis dan
penilaian serta penetapan tingkat kecacatannya;

c. bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang


kedokteran yang berpengaruh terhadap penilaian cacat akibat kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 79/MEN/2003 tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja, perlu dilakukan penyempurnaan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,


huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi tentang pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena
kecelakaan dan penyakit akibat kerja;

33
Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya


Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1951);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja


(Lembaran Negara Republik Ihdonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);

4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul


Karena Hubungan Kerja;

5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan


Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


PER.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


PER.01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja;

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;

MEMUTUSKAN:

34
Menetapkan:

KESATU : Pedoman Diagnosis den Penilaian Cacat karena Kecelakaan


dan Penyakit Akibat Kerja sebagaimana tercantum dalam
lampiran Peraturan Menteri ini.

KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU


digunakan sebagai acuan untuk menetapkan diagnosis dan
penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja
guna menghitung kompensasi yang menjadi hak tenaga kerja.

KETIGA : Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian
Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

35

Anda mungkin juga menyukai