Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


“Telaah Aliran Filsafat Pengembangan SDM dalam Perspektif Islam”

Dosen Pengampu: Dr. Syamsul Arifin, MA

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 10

1. FERIADI (200101148)
2. FITRIA KHOLIFAH (200101148)
3. MARLIANA (200101132)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang memberikan kita kesehatan serta

kenikmatan yang melimpah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pada mata

kuliah Filsafat Pendidikan Islam ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam kepada

junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman

kegelapan menuju zaman yang terang menderang, sehingga sampai detik ini kita bisa

merasakan nikmatnya Islam.

Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada bapak dosen pengampu yang

telah membimbing kami dengan sabar dan ikhlas pada mata kuliah Filsafat

Pendidikan Islam. Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan penulisan atau teknis.

Saran dan kritikan terhadap makalah ini dibutuhkan, agar kami dapat memperbaiki

dan mempelajari tentang bagaimana penyusunan yang semestinya dan pada makalah

selanjutnya kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat

menjadi sumber pembelajaran bagi pembaca, dan semoga makalah ini dapat

dipahami, serta dapat diambil manfaatnya Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraakaatuh .

Penyusun

Selasa, 17 Mei 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5

C. Tujuan .................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

A. Realisme ................................................................................................................ 7

B. Eksistensialisme .................................................................................................... 9

C. Eksperimentalisme .............................................................................................. 10

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi dari filsafat umum. Filsafat ini

mendalami dan menyelidiki hakikat pendidikan serta kaitannya dengan latar belakang,

tujuan, cara dan hasil yang bersangkut paut dengan struktur kegunannya. Filsafat

pendidikan termasuk salah satu teori pendidikan yang kebenarannya dihasilkan dan

dibuktikan memalui penelitian baik secara kualitataif maupun kuantitatif dan perlu

dimengerti serta dijadikan sebagai pedoman oleh para pengajar pendidikan. Salah satu

aliran filsafat pendidikan adalah aliran pendidikan realisme.

Realisme adalah pendapat/pandangan bahwa semua benda yang tampak itu

adalah nyata, real bukan hanya bayangan. Realisme bersifat objektif, tersusun atas

materi dan hukum alam. Seseorang percaya atau tidak terhadap keberadaan suatu

benda tidak akan merubah watak dan wujud benda tersebut, benda itu akan tetap nyata

dan bukan ilusi. Orang yang berpaham realisme berpendapat bahwa otak manusia itu

ibarat kertas kosong jadi tinggal diwarnai dan diberi tulisan-tulisan agar kertas itu

tidak kosong.

Realisme dalam pengertian filsafat beranggapan bahwa semua benda semua

objek panca indera kita adalah real/nyata, tanpa ada hubungannya dengan pikiran kita,

persepsi kita, benda itu tetap ada terlepas dari kenyataan jika benda itu kita ketahui.

Aliran pendidikan realisme mendefinisikan dirinya dengan 3 kategori basis dasar

metafisika, epistemology dan aksiologi. Berikut ini kami akan membahas tentang

pengertian realisme, konsep-konsep kuncinya, pertanyaan-pertanyaan dasar dan

implikasi-implikasi dari aliran pendidikan realisme.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah teori pengembangan SDM menurut teori realisme?

2. Bagaimanakah teori pengembangan SDM menurut teori Eksistensialisme?

3. Bagaimanakah teori pengembangan SDM menurut teori eksperimentalisme?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui teori pengembangan SDM menurut teori realisme

2. Untuk mengetahui teori pengembangan SDM menurut teori Eksistensialisme

3. Untuk mengetahui teori pengembangan SDM menurut teori eksperimentalisme

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Filsafat

Sebelum sampai kepada pembahsan mengenai aliran pengembangan sumber

daya manusia dalam aliran-aliran filsafat, terlebih dahulu sekilas akan dibahas tentang

pengembangan sumber daya manusia.

Teori pengembangan manusia seperti; kekuatan fisik manusia,

pengetahuannya, keahliannya atau ketarampilannya, semangat dan kreativitasnya,

kepribadiannya serta kepemimpinannya. Telah menjadi suatu kesepakatan para ahli,

bahwa sumber daya manusia merupakan aset penting, bahkan dianggap paling

penting diantara sumber-sumber daya yang lainnya dalam memajukan suatu

masyarakat atau bangsa. Namun dalam kenyataannya, sumber daya manusia baru

menjadi aset penting dan berharga apabila sumber daya manusia tersebut mempunyai

kualitas yang tinggi.1

Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, ada suatu

jalan pemecahan yang harus ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan.

Pendidikan dan pelatihanlah yang akan meningkatkan kemauan, kemampuan, dan

kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam kehidupannya, secara individu

maupun masyarakat.

Lemahnya sumber daya manusia,dapat dikarenakan beberapa macam sebab,

antara lain seperti budaya masyarakat, struktur masyarakat, atau rekayasa yang

sengaja diterapkan pada masyarakat tertentu. Gejala yang tampil dari lemanya sumber

daya manusia adalah:

1
Muhammad Thalhal Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Lantabaro Press,
2004), hlm. 64-69

6
1. Lemahnya kemauan, merasa tidak mampu, tidak percaya diri, dan merasa rendah

diri.

2. Lemanya kemampuan, terbatasnya pengetauan,terbatasnya keterampilan,dan

terbatasnyapengalaman.

3. Terbatasnya kesempatan, kurang memenuhi kebutuhan yang diperlukan, sulit

ditingkatkan, tidak mampu menggunakan kesempatan, dan peluang yang

diberikan.

Sebenarnya ada beberapa langkah yang harus dilakukan demi tercapainya

pengembangan sumber daya manusia. Pertama: informasi-informasi yang luas,

aktual, dan hangat agar dapat membuka ketertutupan pandangan dan wawasan, dan

pada tahap selanjutnya akan menimbulkan gairah untuk melakukan sesuatu yang

diperlukan (tumbuh kemauan dan keinginan berprestasi). Kedua: motivasi dan arahan

yang dapat menumbuhkan semangat untuk melaksanakan sesuatu atau beberapa tugas

pekerjaan dengan adanya kepercayaan diri yang kuat, sehingga ada gairah untuk

mewujudkan suatu tujuan (peningkatan produktivitas dan kemampuan diri). Ketiga:

metodologi dan system kerja yang dapat memberikan cara penyelesaian masalah

dengan efektif dan efesien, secara terus-menerus (manusia potensial, actual, dan

fungsional).

B. Realisme

Pada hakikatnya kelahiran realisme sebagai suatu aliran dalam filsafat

merupakan sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu sisi, dan

empirisme John Lock disisi lainnya. Realisme ini kadanng kala disebut juga neo

rasionalisme. John Lock memandang bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat

7
metafisik2 dan universal. Ia berkeyakinan bahwa sesuatu dikatakan benar jika

didasarkan pada pengalaman-pengalaman indrawi. John Lock menyangkal kebenaran

akal, sedangkan menurut idealisme Immanue Kant, realisme termasuk salah satu

aliran klasik yang selalu disandarkan pada nama besar Aristoteles yang memandang

dunia dalam terma material. Segala sesuatu yang ada di hadapan kita adalah suatu

yang riil dan terpisah dari pikiran manusia, namun ia dapat memunculkan pikiran

dengan melalui upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan

fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural, sehingga dapat

dikatakan bahwa segala sesuatu dapat digerakkan dari alam.

Dalam memandang kehidupan, realisme berpendapat bahwa kehidupan fisik,

mental, moral, dan spiritual biasanya ditandai atau terlihat dalam alam natural.

Dengan demikian terlihat realisme sesungguhnya lebih cendrung untuk mengatakan

sesuatu itu sebagai sesuatu itu sendiri dari pada sesuatu itu sebagai apa mestinya. Oleh

karena itu, dalam mengembangkan sumber daya manusia aliran ini berangkat dari

cara manusia memperoleh pengetahuan.

Menurut aliran realisme, sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara

substantive ada. Suatu teori dikatakan benar apabila adanya kesesuaian dengan

harapan dapat diamati dan semuanya perfeck. Aliran ini menyakini bahwa adanya

hubungan interaksi antara pikiran manusia dan alam semesta tidak akan

mempengaruhi sifat dasar dunia. Objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam

dirinya sendiri, bukan hasil persepsi dan bukan pula hasil olahan akal manusia. Dunia

tetap ada sebelum pikiran menyadari dan ia tetap akan ada setelah pikiran tidak

menyadarinya. Jadi menurut realisme ada atau tidak adanya akal pikiran manusia,

alam tetap riil dan nyata dalam hukum-hukumnya.


2
Metafisik atau metafisika adalah yaitu filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, tentang
hakikat yang ada yang bersifat transenden, di luar atau di atas kemampuan pengalaman manusia. Lihat,
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hal. 109

8
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya

berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat

dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika

pengetahuan baru itu berubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran

yang lama itu memang benar, yaitu desebabkan pengetahuan lama koresponden

dengan apa yang terjadi dengan kasus itu.

Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang

koresponden dengan dunia sebagaimana apa adanya. Dalam perjalanan waktu, ras

manusia telah dikonfirmasi secara berulang-ulang, menanamkan pengetahuan tertentu

kepada anak yang sedang tumbuh merupakan tugas yang paling penting.

C. Eksistensialisme

Dari sudut estimologi eksistensialisme berasal dari kata eks yang berarti di luar

dan sistensi yang berati berdri sendiri atau menempatkan, jadi secara

luas eksistensi dapat diartikan sebagai, berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar

dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam filsafat yang menekankan

pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu dunia dengan kesadaran. Jadi

pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu selalu melihat manusia berada,

ekssistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia

dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai dan berdasarkan

pengalaman yang konkret. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme

memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadannya itu selalu

ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang

sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Ilmu-ilmu yang

berkaitan eksistensialisme yaitu sosiologi dan antropologi.

9
Eksistensialisme bisa dialamatkan sebagai saanlah satu reaksi dari sebagian

terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia

kedua.3 Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran

filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan

keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian Eksistensialisme adalah

suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.

Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional.4 Dengan demikian

aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan siuasi

sejarah yang dialami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta

spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang

tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan

hidupnya.

Atas dasar pandangan itu, sikap dikalangan kaum Eksistensialisme atau

penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum.

Kebebasan untuk freedom to, adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan

perbuatannya.

D. Eksperimentalisme

Seperti halnya eksperimentalisme, kelompok, eksperimentalisme juga

memandang manusia sebagai makhluk yang dinamis aktif dan kreatif. Manusia-

manusia.5 eksperimentalis adalah manusia-manusia yang optimis bahwa dia dapat

membentuk kualitas dirinya memalui pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan

pengalaman-pengalaman.3 Aliran ini selau pula dihubungkan dengan aliran pragmatis,

3
Fernando R. Molina, The Sources of Eksistentialism As Philosophys, New Jersey, Prentice-Hall-1969,
hlm. 1
4
Paul Roubiczek, Existentialism For and Against, Cambridge, University Press, 1966, hlm. 10.
5
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 139

10
bahkan sering pula dikacaukan antara keduanya. Pragmantisme dikatakan sebagai

instrumentalisme karena pemikirannya yang mengandaikan sesuatu dengan alat yang

mengharuskan seseorang atau sekelompok orang untuk selalu berbuat. Kehidupan

tidak memiliki makna finis.

Ketika suatu tujuan telah tercapai dan suatu kebutuhan telah dipenuhi, maka

hal ini tidak sampai di situ saja, tetapi menjadi instrumen bagi penemuan dan

pengujian selanjutnya. Proses kehidupan tanpa akhir, karena peraihan tujuan pertama

adalah untuk diteruskan pada tujuan ke dua, tujuan ke dua untuk tujuan ke tiga dan

seterusnya tanpa tanda berhenti. Begitu juga eksperimentalisme dikatakan sebagai

pragmatisme karena pandangannya yang mengatakan bahwa realitas yang nyata

adalah perubahan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman praktis.

Jadi keduanya sama-sama menekankan bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang

dapat dialami dan dialami panca indra. Realitas adalah interaksi manusia dengan

lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara nyata dalam

kehidupan praktis manusia.6

Aliran eksperimentalis berpendapat, bahwa hidup adalah perubahan dan

perubahan terjadi melalui pemikiran cerdas manusia dalam menyelesaikan berbagai

rintangan dan problem yang ada. Penyelesaian problem sangat tergantung pada

penyesuaian diri dengan realitas dalam pengalaman-pengalaman. Kendatipun

demikian kelompok eksperimentalis beranggapan, bahwa pendidikan bukan semata-

mata memberikan materi pembelaran yang dapat membawa subjek didik ke arah

kemampuan menyesuiakan diri dengan situasi kondisi kehidipan nyata saja, tetapi

lebih penting dari itu adalah bagaimana agar subjek didik itu meningkatkan kualitas

6
Ibid, hlm.140

11
melalui upaya memperkuat dan meningkatkan pengalaman-pengalaman moral.7 Para

eksperimentalis menyadari, bahwa peranan rasio manusia mesti menjadi perhatian

dalam pengembangan sumber daya manusia, kerena fungsinya yang dapat

menhembatani relasi individu-individu dengan lingkungannya.

Kaum eksperimentalis memandang, bahwa pengembangan ruhaniah menusa,

termasuk akal, merupakan modal dasar manusia dalam memberikan interprestasi-

interprestasi dan seleksi terhadap berbagai realitas yang dihadapinya di dalam

kehidupan, sehingga dengan demikian ia pun bergerak ke arah peningkatan dan

penyempurnaan kualitas dirinya. Aliran ini menjadikan manusia sebagai centre of

excellence, Manusia di sini tidak berarti pikiran umat manusia, tetapi dalam

konteksnya yang individu.8

Berdasarkan keterangan di atas, eksperimentalisme memandang bahwa belajar

mestilah dimaknai dengan memberikan latihan kecerdasan dalam menghadapi

berbagai tantangan dan persoalan kehidupan, sehingga subjek didik terbiasa aktif

mengolah berbagai data dan informasi untuk memecahkan problem hidupnya. Dengan

demikian, pendekatan yang paling cocok untuk mengembangkan sumber daya

manusia adalah dengan memberikan latihan berpikir ilmiah dalam rangka

memecahkan berbagai problem (problem solvong). Tugas guru bukanlah transfer of

learning tetapi lebih pada mengajak subjek didik memecahkan problem sosial.9

Menginat eksperimentalisme menjadikan manusa subjektif-inividualistis

sebagai ukuran segala sesuatu, maka dalam pelaksanaan proses kependidikan sebagai

pusat aktivitas pengembangan sumber daya manusia, maka sama dengan

7
Ahmad Syadali, dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), 124
8
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 139.
9
Ibid, 140.

12
eksistensialisme dan rasionalisme, aliran ini pun juga menjunjung tinggi asas

kebebasan dalam setiap langkah kegiatannya, termasuk dalam bidang pendidikan.10

Pendidikan sekolah dalam hal ini mesti diarahkan untuk menyiapkan subjek

didik mampu menyesuaikan diri dan bereksperimen dalam masyaraat, sehingga

memunculkan ide baru yang terus dikembangkan menuju ide lain yang lebih baik dan

sempurna dari sebelumnya dan seterusnya sampai tanpa batas.

Menurut Imam11 Barnadib, tokoh-tokoh pendidi yang dekat dengan gagasan ini anata

lain E.L. Thorndike G. Stanley Hall, dan Florence B. Stratemeyer.

Mengingat eksperimentalisme/pragmatisme memandang kehidupan dengan

konstruksi pengalaman-pengalaman dari masa lalu ke sekarang dan sekarang ke yang

akan datang, maka bagi aliran ini pendidikan adalah proses rekonstruksi pengalaman-

pengalaman subjek didik. Kehidupan ini tidak lain adalah perbaikan-perbaikan

kualitas, sehingga ketika tidak ada perbaikan dan perubahan sama artinya tidak ada

kehidupan. Pendidikan dalam hal ini dapat dimaknai sebagai rekonstruksi sosial,

sekolah adalah masyarakat kecil dan pendidikan menyiapkan mereka agar mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan.12

10
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 141-142
11
Ahmad Syadali, dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), 125
12
Ibid.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa masing-masing aliran tersebut

mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang bentuk-bentuk pengembangan

sumber daya manusia.

Yang mana, teori realisme, ia mengatakan bahwa semua itu terjadi sesuai

dengan keadaanya nyata alam ini, sehingga tanpa memerlukan rasio untuk

memikirkannya. Segala sesuatu yang ada di hadapan kita adalah suatu yang riil dan

terpisah dari pikiran manusia, namun ia dapat memunculkan pikiran dengan melalui

upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan fungsi akal.

Sedangkan teori eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang

tinggi, dan keberadannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah

yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara

menempatkan dirinya. Atas dasar pandangan itu, sikap dikalangan kaum

Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari

norma-norma umum.

Eksperimentalisme Seperti halnya eksistensialisme, kelompok

eksperimentalisme juga memandang manusia sebagai mahluk yang dinamis, aktif, dan

kreatif. Manusia-manusia eksperimentalis adalah manusia-manusia yang optimis

bahwa ia dapat membentuk kualitas dirinya melalui pembiasaan berpikir kreatif

berdasarkan pengalaman-pengalaman. Aliran ini selalu pula dihubungkan dengan

aliran pragmatis, bahkan sering pula dikacaukan antara keduanya. Pragmatisme

dikatakan sebagai instrumentalisme karena pemikirannya yang mengandaikan segala

sesuatu dengan alat yang mengharuskan seseorang atau sekelompok orang untuk

14
selalu berbuat. Kehidupan tidak memiliki makna finis. Ketika suatu tujuan telah

tercapai dan suatu kebutuhan telah dipenuhi, maka hal ini mesti tidak sampai di situ

saja, tetapi menjadi instrumen bagi pengujian dan penemuan selanjutnya. Proses

kehidupan tanpa akhir, karenaperalihan tujuan pertama adalah untuk diteruskan pada

tujuan ke dua, tujuan ke dua untuk tujuan ke tiga dan seterusnya tanpa tanda berhenti.

Begitu pula eksperimentalisme dikatakan sebagai pragmatisme karena pandangannya

yang mengatakan bahwa realitas yang nyata adalah perubahan dan hanya dapat

diketahui melalui pengalaman praktis. Jadi keduanya sama-sama menekankan bahwa

yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dialami oleh panca indra.

Realitas adalah interaksi manusia dengan lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar

apabila dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan praktis manusia.

15
DAFTAR PUSTAKA

JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 6, No. 1, 2021 | h. 1-23 Ucep
Hermawan p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420
Knight, Goerge R, 2007, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Dr. Mahmud Arif, M.Ag.,
Gama Media, Yogyakarta.
Muhammad Thalhal Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta :
Lantabaro Press, 2004)
Metafisik atau metafisika adalah yaitu filsafat tentang hakikat yang ada dibalik
fisika, tentang hakikat yang ada yang bersifat transenden, di luar atau di atas
kemampuan pengalaman manusia. Lihat, Endang Saifuddin
Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2004).
Ahmad Syadali, dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 1997)
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011)
Fernando R. Molina, The Sources of Eksistentialism As Philosophys, New Jersey,
Prentice-Hall-1969
Paul Roubiczek, Existentialism For and Against, Cambridge, University Press, 1966

16

Anda mungkin juga menyukai