Anda di halaman 1dari 112

PERJANJIAN ANTARA

REPUBLIK INDONESIA DAN JEPANG UNTUK


KEMITRAAN EKONOMI

Daftar isi

Pembukaan

Bab 1 Ketentuan Umum

Pasal 1 Tujuan

Pasal 2 Umum definisi


Pasal 3 Transparansi

Pasal 4 Publik Prosedur Komentar


Pasal 5 Administratif Prosedur
Pasal 6 Tinjauan dan Banding

Pasal 7 Administratif Panduan

Pasal 8 Tindakan terhadap Korupsi dan Suap

Pasal 9 Rahasia Informasi

Pasal 10 Perpajakan

Pasal 11 Pengecualian Umum dan Keamanan

Pasal 12 Kaitannya dengan Perjanjian Lainnya


Pasal 13 Menerapkan Persetujuan

Pasal 14 Persendian Komite


Pasal 15 Sub-Copanitia

Pasal 16 Komunikasi

Bab 2 Berdagang dalam Barang

Pasal 17 definisi
Pasal 18 Klasifikasi barang-barang

Pasal 19 Nasional Perlakuan

Pasal 20 Eliminasi Bea Cukai

1
Pasal 21 Bea cukai Penilaian

Pasal 22 Ekspor Subsidi


Pasal 23 Non-tarif Pengukuran

Pasal 24 Bilateral Tindakan Pengamanan

Pasal 25 Pembatasan untuk Menjaga Saldo


pembayaran
Pasal 26 Sub-Komite Perdagangan Barang

Pasal 27 Operasional Prosedur untuk Trade in


Barang
bab 3 Ketentuan Asal Barang

Pasal 28 definisi

Pasal 29 Asal Barang


Pasal 30 Akumulasi

Pasal 31 De Minimis

Pasal 32 Operasi Non-kualifikasi

Pasal 33 Konsinyasi Kriteria

Pasal 34 Barang Belum Dirakit atau Dibongkar

Pasal 35 Barang Sepadan dand Materi

Pasal 36 tidak langsung Bahan:

Pasal 37 Aksesoris, Suku Cadang dan Alat


Pasal 38 Kemasan Bahan dan Wadah untuk
Penjualan eceran
Pasal 39 Sedang mengemas Bahan dan Wadah untuk
Pengiriman
Pasal 40 Klaim Perlakuan Tarif Preferensial

Pasal 41 Sertifikat asli

Pasal 42 Kewajiban tentang Ekspor


Pasal 43 Meminta untuk Pengecekan Sertifikat
Asal

2
Pasal 44 Verifikasi Mengunjungi

Pasal 45 Penentuan Asal dan


Perlakuan Tarif Preferensial
Pasal 46 Kerahasiaan

Pasal 47 Hukuman dan Tindakan terhadap Salah


Pernyataan
Pasal 48 Aneka ragam

Pasal 49 Sub-Komite Aturan Asal Pasal 50

Operasional Tata Cara Tata Tertib


Asal
Bab 4 Prosedur Kepabeanan

Pasal 51 Cakupan

Pasal 52 Definisi
Pasal 53 Transparansi

Pasal 54 Bea cukai Izin

Pasal 55 Kerjasama dan Pertukaran Informasi

Pasal 56 Sub-Komite tentang Prosedur Kepabeanan

Bab 5 Investasi
Pasal 57 Cakupan
Pasal 58 definisi

Pasal 59 Nasional Perlakuan

Pasal 60 Perawatan Bangsa Terfavorit

Pasal 61 Umum Perlakuan

Pasal 62 Mengakses ke Pengadilan Pasal 63

Larangan Persyaratan KinerjaPasal 64

Reservasi dan Pengecualian

Pasal 65 Pengambilalihan dan Kompensasi

Pasal 66 Perlindungan dari Strife

3
Pasal 67 Transfer

Pasal 68 Subrogasi

Pasal 69 Hunian Sengketa Investasi


antara suatu Pihak dan Penanam Modal
dari Pihak Lain

Pasal 70 SementaraTindakan Pengamanan

Pasal 71 Kehati-hatian Pengukuran

Pasal 72 Penyangkalan Manfaat


Pasal 73 Tindakan Perpajakan sebagai Pengambilalihan

Pasal 74 Lingkungan Pengukuran

Pasal 75 Sub-Komite Investasi

Bab 6 Berdagang di Layanan

Pasal 76 Cakupan
Pasal 77 definisi

Pasal 78 Pasar Mengakses


Pasal 79 Nasional Perlakuan

Pasal 80 Tambahan Komitmen

Pasal 81 Jadwal Komitmen KhususPasal 82

Perawatan Bangsa Terfavorit

Pasal 83 Otorisasi, Lisensi atau


Kualifikasi
Pasal 84 Mutual Pengakuan
Pasal 85 Transparansi

Pasal 86 Monopoli dan Layanan Eksklusif


Pemasok
Pasal 87 Pembayaran dan Transfer

Pasal 88 Pembatasan untuk Menjaga Saldo


pembayaran
Pasal 89 Keadaan darurat Tindakan Pengamanan

4
Pasal 90 Penyangkalan Manfaat

Pasal 91 Sub-Komite Perdagangan JasaBab 7

Pergerakan Orang Alami

Pasal 92 Cakupan
Pasal 93 Definisi

Pasal 94 Spesifik Komitmen Pasal 95

Persyaratan dan Prosedur


Pasal 96 Sub-Komite tentang Gerakan Alami
orang
Bab 8 Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 97 definisi

Pasal 98 Promosi dan Fasilitasi


Investasi

Pasal 99 Pembatasan Impor dan Ekspor

Pasal 100 Ekspor Prosedur Perizinan dan


administrasi
Pasal 101 Energi dan Peraturan Sumber Daya
Mineral
Pengukuran
Pasal 102 Aspek Lingkungan

Pasal 103 Pengembangan Masyarakat

Pasal 104 Kerjasama

Pasal 105 Sub-Panitia Energi dan Mineral


Sumber daya
Bab 9 Hak milik intelektual

Pasal 106 Umum Ketentuan

Pasal 107 definisi

Pasal 108 Perlakuan Nasional dan Most-Favoured-


Perlakuan Bangsa
Pasal 109 Prosedural Hal-hal

5
Artikel 110 Transparansi

Artikel 111 Promosi Kesadaran Publik tentang


Perlindungan Kekayaan Intelektual

Artikel 112 Paten

Artikel 113 Desain Industri

Artikel 114 Merek Dagang

Artikel 115 Hak Cipta dan Hak Terkait

Artikel 116 Varietas Tanaman Baru

Artikel 117 Tindakan Persaingan Tidak Sehat

Artikel 118 Perlindungan Informasi yang


Dirahasiakan
Artikel 119 Penegakan – Tindakan Perbatasan

Artikel 120 Penegakan – Pemulihan Sipil

Artikel 121 Penegakan – Remedies Kriminal

Artikel 122 Kerja sama

Artikel 123 Sub-Komite Kekayaan Intelektual


Bab 10 Pengadaan Pemerintah

Pasal 124 Menukarkan Informasi

Pasal 125 Sub-Komite Pengadaan PemerintahBab 11

Kompetisi
Pasal 126 Promosi Kompetisi dengan Mengatasi
Kegiatan Anti-persaingan
Pasal 127 Kerja sama pada Promosi
Kompetisi
Pasal 128 Tanpa diskriminasi

Pasal 129 Prosedural Keadilan


Pasal 130 Non-Aplikasi Paragraf 2 dari
Pasal 9
Bab 12 Peningkatan Lingkungan Bisnis dan
Promosi Keyakinan Bisnis

6
Pasal 131 Dasar Prinsip

Pasal 132 Sub-Komite pada Peningkatan


Lingkungan Bisnis dan Promosi
Keyakinan Bisnis

Pasal 133 Hubungan Kantor Peningkatan


Lingkungan bisnis
Bab 13 Kerja sama Pasal

134 Dasar Prinsip

Pasal 135 Bidang dan Bentuk Kerjasama

Pasal 136 Biaya Kerjasama

Pasal 137 Sub-Komite KerjasamaBab 14

Perselisihan Hunian

Pasal 138 Cakupan


Pasal 139 Umum Prinsip

Pasal 140 Konsultasi

Pasal 141 Jasa Baik, Konsiliasi atau Mediasi

Pasal 142 Pembentukan Pengadilan Arbitrase

Pasal 143 Fungsi Majelis Arbitrase

Pasal 144 Prosiding Pengadilan Arbitrase

Pasal 145 Penangguhan dan Pemutusan


Prosiding
Pasal 146 Pelaksanaan Penghargaan

Pasal 147 Modifikasi Periode Waktu

Pasal 148 Pengeluaran

Bab 15 Ketentuan akhir


Pasal 149 Daftar Isi dan JudulPasal 150

lampiran dan Catatan

Pasal 151 Umum Tinjauan

7
Artikel 152 Amandemen

Artikel 153 Berlakunya

Artikel 154 Penghentian

Lampiran 1 mengacu pada Jadwal sehubungan dengan


di Bab 2 Artikel 20

Lampiran 2 mengacu pada Aturan Khusus Produkdi


Bab 3

Lampiran 3 mengacu pada Persyaratan Data Minimum


untukdi Bab 3 Sertifikat asli

Lampiran 4 mengacu pada Reservasi untuk Tindakan dimaksud


di Bab 5 ke dalam Sub-paragraf 1(a) Pasal
64
Lampiran 5 mengacu pada Reservasi untuk Tindakan dimaksud
di Bab 5 ke dalam Paragraf 3 Pasal 64
Lampiran 6 mengacu pada Ketentuan Tambahan dengan hormatdi
Bab 5 ke Penyelesaian Investasi
Sengketa sebagaimana dimaksud dalam
Ayat
21 Pasal 69
Lampiran 7 mengacu pada Layanan Keuangandi
Bab 6

Lampiran 8 mengacu pada Jadwal Komitmen Khususdi Bab 6


di kaitannya dengan Pasal 81

Lampiran 9 mengacu pada Daftar dari Most-Favoured-Nation


di Bab 6 Pengecualian Perawatan sehubungan
denganPasal 82

Lampiran 10 mengacu pada Komitmen Khusus untukdi


Bab 7 Pergerakan Orang Alami

Lampiran 11 mengacu pada Daftar Energi dan Sumber Daya


Mineraldi Bab 8 Barang

Lampiran 12 mengacu pada Tambahanal Ketentuan


sehubungan dengan Bab 8 ke Promosi dan Fasilitasi
Penanaman Modal di Bidang Energi
dan Sumber Daya Mineral sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 Paragraf 2

8
Pembukaan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya


disebut sebagai
“Indonesia”) dan Jepang,
Sadarpersahabatan lama mereka dan ikatan politik dan
ekonomi yang kuat yang telah berkembang selama bertahun-
tahun kerjasama yang bermanfaat dan saling menguntungkan
antara Para Pihak;

Percayabahwa hubungan bilateral tersebut akan


ditingkatkan dengan menjalin kemitraan ekonomi yang
saling menguntungkan melalui, antara lain, kerjasama,
fasilitasi perdagangan dan investasi, serta
liberalisasi perdagangan;

Menegaskan kembalibahwa kemitraan ekonomi akan


memberikan kerangka kerja yang berguna untuk meningkatkan
kerjasama dan melayani kepentingan bersama Para Pihak di
berbagai bidang sebagaimana disepakati dalam Persetujuan
ini dan mengarah pada peningkatan efisiensi ekonomi dan
pengembangan perdagangan, investasi dan sumber daya
manusia;

Mengenalibahwa kemitraan tersebut akan menciptakan


pasar yang lebih besar dan baru, dan meningkatkan daya
saing, daya tarik dan semangat pasar mereka;

Mengakuibahwa lingkungan global yang dinamis dan


cepat berubah yang disebabkan oleh globalisasi dan
kemajuan teknologi menghadirkan berbagai tantangan dan
peluang ekonomi dan strategis bagi Para Pihak;

mengingatPasal XXIV dari Perjanjian Umum tentang


Tarif dan Perdagangan 1994 dan Pasal V dari Perjanjian
Umum tentang Perdagangan Jasa dalam Lampiran 1A dan
Lampiran 1B, masing-masing, pada Perjanjian Marrakesh
Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia, dilakukan di
Marrakesh, 15 April 1994;

bantalanmengingat Kerangka Kerja Kemitraan Ekonomi


Komprehensif antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara (selanjutnya disebut “ASEAN”) dan Jepang yang
ditandatangani di Bali, Indonesia pada tanggal 8 Oktober
2003;

Yakinbahwa Persetujuan ini akan membuka era baru bagi


hubungan antara Para Pihak; dan

Bertekaduntuk menetapkan kerangka hukum untuk


kemitraan ekonomi antara Para Pihak;
TELAH SETUJU sebagai berikut:

9
Bab 1
Ketentuan Umum

Pasal 1
Tujuan

Tujuan dari Perjanjian ini adalah untuk:

(a) memfasilitasi, mempromosikan dan meliberalisasi


perdagangan barang dan jasa antara Para Pihak;

(b) meningkatkan peluang investasi dan


mempromosikan kegiatan penanaman modal
melalui penguatan perlindungan penanaman
modal dan kegiatan penanaman modal di Para
Pihak;

(c) memastikan perlindungan kekayaan intelektual


dan mempromosikan kerja sama di bidangnya;

(d) meningkatkan transparansi rezim pengadaan


pemerintah Para Pihak, dan mempromosikan kerja
sama untuk saling menguntungkan Para Pihak di
bidang pengadaan pemerintah;

(e) mempromosikan persaingan dengan mengatasi


kegiatan anti-persaingan, dan bekerja sama
dalam mempromosikan persaingan;

(f) meningkatkan lingkungan bisnis di Para Pihak;

(g) menetapkan kerangka kerja untuk


meningkatkan kerja sama yang lebih erat
di bidang-bidang yang disepakati dalam
Persetujuan ini; dan

(h) membuat prosedur yang efektif untuk pelaksanaan


dan penerapan Perjanjian ini dan untuk
penyelesaian perselisihan.

Pasal 2
Definisi Umum

1. Untuk tujuan Perjanjian ini:


(a) yang dimaksud dengan “daerah” adalah:

(i) sehubungan dengan Jepang, wilayah Jepang,


dan semua wilayah di luar laut
teritorialnya, termasuk dasar laut dan
tanah di bawahnya, di mana Jepang
menjalankan hak berdaulat atau yurisdiksi
sesuai dengan hukum internasional dan hukum
dan peraturan Jepang; dan

10
(ii) mengenai Indonesia, wilayah darat, laut
teritorial termasuk dasar laut dan tanah di
bawahnya, perairan kepulauan, perairan
pedalaman, ruang udara di atas wilayah, laut
dan perairan tersebut, serta landas kontinen
dan zona ekonomi eksklusif, yang di dalamnya
Indonesia berdaulat, hak berdaulat atau
yurisdiksi, sebagaimana didefinisikan dalam
undang-undangnya, dan sesuai dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut, dilakukan di Teluk Montego, 10
Desember 1982;

(b) yang dimaksud dengan "otoritas pabean" adalah


otoritas yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan dan penegakan peraturan
perundang-undangan kepabeanan. Untuk Indonesia,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan untuk
Jepang, Kementerian Keuangan;

(c) istilah "GATS" berarti Perjanjian Umum tentang


Perdagangan Jasa dalam Lampiran 1B Perjanjian
Marrakesh Pendirian Organisasi Perdagangan
Dunia, dilakukan di Marrakesh, 15 April 1994;

(d) istilah "GATT 1994" berarti Persetujuan Umum


tentang Tarif dan Perdagangan 1994 dalam Lampiran
1A pada Persetujuan Marrakesh Pendirian
Organisasi Perdagangan Dunia, dilakukan di
Marrakesh, 15 April 1994. Untuk tujuan
Persetujuan ini, referensi ke pasal-pasal dalam
GATT 1994 menyertakan catatan interpretatif;

(e) istilah "Sistem Harmonisasi" atau "HS" berarti


Deskripsi Komoditas yang Diharmoniskan dan
Sistem Pengkodean yang ditetapkan dalam Lampiran
Konvensi Internasional tentang Sistem Pengkodean
dan Deskripsi Komoditas yang Diharmonisasi, dan
diadopsi dan diterapkan oleh Para Pihak dalam
hukum masing-masing;

(f) istilah “Para Pihak” berarti Indonesia dan Jepang


dan istilah “Pihak” berarti Indonesia atau
Jepang; dan

(g) istilah "Perjanjian WTO" berarti Perjanjian


Marrakesh Pendirian Organisasi Perdagangan
Dunia, dilakukan di Marrakesh, 15 April 1994.

2. Tidak ada ketentuan dalam sub-ayat 1(a) yang akan


mempengaruhi hak dan kewajiban Para Pihak berdasarkan
hukum internasional, termasuk yang berdasarkan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, yang
dilakukan di Teluk Montego, 10 Desember 1982.

11
Pasal 3
Transparansi

1. Setiap Pihak wajib membuat tersedia bagi publik hukum


dan peraturannya serta perjanjian internasional di mana
Pihak tersebut menjadi salah satu pihak, sehubungan dengan
masalah apa pun yang tercakup dalam Perjanjian ini.

2. Setiap Pihak wajib mengumumkan kepada publik, nama


dan alamat pejabat yang berwenang yang bertanggung
jawab atas peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.

3. Masing-masing Pihak wajib, atas permintaan Pihak


lainnya, dalam jangka waktu yang wajar, memberikan
informasi kepada Pihak lainnya sehubungan dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

4. Ketika memperkenalkan atau mengubah undang-undang dan


peraturannya yang secara signifikan mempengaruhi
pelaksanaan dan pelaksanaan Persetujuan ini, masing-masing
Pihak harus berusaha untuk mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk memungkinkan orang-orang yang berkepentingan
untuk mengetahui pengenalan atau perubahan tersebut.

Pasal 4
Prosedur Komentar Publik
Pemerintah masing-masing Pihak wajib, sesuai dengan
undang-undang dan peraturan Pihak, berusaha untuk
mengumumkan terlebih dahulu peraturan yang berlaku umum
yang mempengaruhi setiap hal yang tercakup dalam
Persetujuan ini dan untuk memberikan kesempatan yang wajar
untuk memberikan komentar oleh publik sebelum adopsi
peraturan seperti itu.

Pasal 5 Tata Cara


Administrasi

1. Apabila keputusan administratif yang berkaitan dengan


atau mempengaruhi pelaksanaan dan pengoperasian Persetujuan
ini diambil oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah
suatu Pihak, otoritas yang berwenang harus, sesuai dengan
hukum dan peraturan Pihak, berusaha untuk:

(a) memberi tahu pemohon tentang keputusan tersebut


dalam jangka waktu yang wajar setelah pengajuan
permohonan yang dianggap lengkap berdasarkan
hukum dan peraturan Pihak, dengan
mempertimbangkan jangka waktu standar yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3; dan

(b) memberikan, dalam jangka waktu yang wajar,


informasi mengenai status permohonan, atas
permintaan pemohon.

12
2. Pejabat yang berwenang dari Pemerintah suatu Pihak
wajib, sesuai dengan hukum dan peraturan Pihak, menetapkan
kriteria untuk mengambil keputusan administratif dalam
menanggapi permohonan yang diajukan. Pejabat yang berwenang
akan berusaha untuk:

(a) membuat kriteria tersebut sespesifik mungkin; dan

(b) membuat kriteria tersebut tersedia untuk umum


kecuali jika hal itu akan menimbulkan kesulitan
administratif bagi Pemerintah Partai.

3. Pejabat yang berwenang dari Pemerintah suatu Pihak


wajib, sesuai dengan hukum dan peraturan Pihak, berusaha
untuk:

(a) menetapkan jangka waktu standar antara


penerimaan aplikasi oleh otoritas yang berwenang
dan keputusan administratif yang diambil sebagai
tanggapan atas aplikasi yang diajukan; dan

(b) membuat periode waktu tersebut tersedia untuk


umum, jika ditetapkan.

4. Pejabat yang berwenang dari Pemerintah suatu Pihak


harus, sesuai dengan undang-undang dan peraturan Pihak
tersebut, sebelum keputusan akhir yang membebankan
kewajiban pada atau membatasi hak seseorang, berusaha untuk
menyediakan orang tersebut dengan:

(a) pemberitahuan yang wajar, termasuk uraian


tentang sifat tindakan tersebut, ketentuan
khusus yang menjadi dasar tindakan tersebut,
dan fakta-fakta yang mungkin menjadi penyebab
dilakukannya tindakan tersebut; dan

(b) kesempatan yang wajar untuk menyajikan fakta dan


argumen untuk mendukung posisi orang tersebut,

asalkan waktu, sifat tindakan dan kepentingan umum


memungkinkan.

Pasal 6
Peninjauan Kembali
dan Banding

1. Setiap Pihak harus, sesuai dengan hukum dan


peraturannya, menyelenggarakan pengadilan atau prosedur
peradilan untuk tujuan peninjauan segera dan, jika
diperlukan, koreksi atas tindakan yang diambil oleh
Pemerintahnya mengenai hal-hal yang tercakup dalam
Perjanjian ini. Pengadilan atau prosedur tersebut harus
tidak memihak dan independen dari otoritas yang
dipercayakan dengan penegakan administratif tindakan
tersebut.

13
2. Setiap Pihak harus memastikan bahwa para pihak dalam
pengadilan atau prosedur tersebut diberikan hak untuk:

(a) kesempatan yang wajar untuk mendukung atau


mempertahankan posisi mereka masing-masing;
dan

(b) keputusan berdasarkan bukti dan pengajuan


catatan.

3. Setiap Pihak harus memastikan, dengan mengajukan


banding atau peninjauan lebih lanjut sebagaimana diatur
dalam undang-undang dan peraturannya, bahwa keputusan
tersebut dilaksanakan oleh otoritas terkait sehubungan
dengan tindakan yang dipermasalahkan yang diambil oleh
Pemerintahnya.

Pasal 7 Pembinaan
Administratif

1. Untuk tujuan Pasal ini, istilah "bimbingan


administratif" berarti setiap bimbingan, rekomendasi atau
nasihat oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah suatu
Pihak yang mengharuskan seseorang untuk melakukan atau
menahan diri dari melakukan tindakan apa pun tetapi tidak
menciptakan, memaksakan pembatasan pada atau dengan cara
apapun mempengaruhi hak dan kewajiban orang tersebut untuk
mencapai tujuan administratif.

2. Apabila pejabat yang berwenang dari Pemerintah suatu


Pihak memberikan bimbingan administratif berkenaan dengan
masalah apa pun yang tercakup dalam Persetujuan ini,
pejabat yang berwenang tersebut harus memastikan bahwa
bimbingan administratif tersebut tidak melebihi ruang
lingkup kompetensinya dan tidak akan mengharuskan orang
yang bersangkutan untuk mematuhi bimbingan administratif
tanpa kerjasama sukarela dari orang tersebut.

3. Pejabat yang berwenang tersebut harus memastikan,


sesuai dengan hukum dan peraturan Pihaknya, bahwa orang
yang bersangkutan tidak diperlakukan secara tidak baik
semata-mata karena ketidakpatuhan orang tersebut terhadap
pedoman administratif tersebut.

4. Pejabat yang berwenang tersebut harus, sesuai dengan


hukum dan peraturan dari Pihaknya, memberikan kepada orang
yang bersangkutan secara tertulis, atas permintaan orang
tersebut, tujuan dan isi dari bimbingan administratif.

Pasal 8
Tindakan terhadap Korupsi dan Penyuapan
Setiap Pihak wajib, sesuai dengan hukum dan
peraturannya, mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
mencegah dan memerangi korupsi dan penyuapan mengenai hal-
hal yang tercakup dalam Perjanjian ini.

14
Pasal 9 Informasi Rahasia

1. Masing-masing Pihak harus, sesuai dengan hukum dan


peraturannya, menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan
secara rahasia oleh Pihak lainnya sesuai dengan Perjanjian
ini.

2. Kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian ini, tidak


ada dalam Perjanjian ini yang mengharuskan suatu Pihak
untuk memberikan informasi rahasia kepada Pihak lainnya,
yang pengungkapannya akan menghalangi penegakan hukum dan
peraturan dari Pihak sebelumnya, atau sebaliknya
bertentangan dengan publik. kepentingan Pihak sebelumnya,
atau yang akan merugikan kepentingan komersial yang sah
dari perusahaan tertentu, publik atau swasta.

Pasal 10
Perpajakan

1. Kecuali ditentukan lain dalam Persetujuan ini,


ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini tidak berlaku
untuk setiap tindakan perpajakan.

2. Tidak ada ketentuan dalam Persetujuan ini yang akan


mempengaruhi hak dan kewajiban salah satu Pihak
berdasarkan konvensi perpajakan yang berlaku di antara
Para Pihak. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara
Perjanjian ini dan konvensi semacam itu, konvensi tersebut
akan berlaku sejauh ketidakkonsistenan tersebut.

3. Pasal 3 dan 9 berlaku untuk tindakan perpajakan,


sejauh ketentuan Persetujuan ini berlaku untuk tindakan
perpajakan tersebut.

Pasal 11
Pengecualian Umum dan Keamanan
1. Untuk keperluan Bab 2, 3, 4, 5 selain Pasal 66, dan 8
Persetujuan ini, Pasal XX dan XXI GATT 1994 dimasukkan ke
dalam dan merupakan bagian dari Persetujuan ini, mutatis
mutandis.

2. Untuk keperluan Bab 5 selain Pasal 66,


6 dan 7 dari Persetujuan ini, Pasal XIV dan XIV bis dari
GATS dimasukkan ke dalam dan merupakan bagian dari
Persetujuan ini, mutatis mutandis.

15
3. Dalam kasus di mana suatu Pihak mengambil tindakan
apa pun sesuai dengan paragraf 1 atau 2, yang tidak sesuai
dengan kewajiban berdasarkan Bab 5 selain Pasal 66, Pihak
tersebut harus melakukan upaya yang wajar untuk memberi
tahu Pihak lainnya tentang uraian tindakan tersebut baik
sebelum tindakan diambil atau sesegera mungkin setelahnya.

4. Untuk tujuan Bab 9 Persetujuan ini, Pasal 73


Persetujuan tentang Aspek-Aspek yang Terkait dengan
Perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual dalam
Lampiran 1C Persetujuan WTO (selanjutnya disebut
sebagai “Perjanjian TRIPS”) dimasukkan ke dalam dan
merupakan bagian dari Persetujuan ini. Kesepakatan,
mutatis mutandis.

Pasal 12
Kaitannya dengan Perjanjian Lainnya
1. Para Pihak menegaskan kembali hak dan kewajiban
mereka berdasarkan Perjanjian WTO atau perjanjian lain
di mana kedua Pihak menjadi pihak.

2. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara


Persetujuan ini dan Persetujuan WTO, Persetujuan WTO
yang berlaku sejauh ketidakkonsistenan tersebut.

3. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara Persetujuan


ini dan persetujuan apapun selain Persetujuan WTO, dimana
kedua Pihak merupakan pihak, Para Pihak harus segera
berkonsultasi satu sama lain dengan maksud untuk menemukan
solusi yang memuaskan bersama, dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip umum internasional. hukum.

Pasal 13 Pelaksanaan
Perjanjian

Pemerintah Para Pihak wajib membuat perjanjian


terpisah yang menetapkan rincian dan prosedur pelaksanaan
Persetujuan ini (selanjutnya disebut sebagai “Perjanjian
Pelaksanaan”).

Pasal 14 Komite
Bersama

1. Sebuah komite bersama (selanjutnya disebut sebagai


"Komite Bersama") akan dibentuk.

2. Fungsi Komite Bersama adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Perjanjian ini;

16
(b) mempertimbangkan dan merekomendasikan kepada
Para Pihak setiap amandemen terhadap Perjanjian
ini;

(c) mengawasi dan mengoordinasikan pekerjaan semua


Sub-Komite yang dibentuk berdasarkan Perjanjian
ini;

(d) mengadopsi:

(i) Tata Cara Pelaksanaan Perdagangan Barang


dan Tata Cara Pelaksanaan Ketentuan Asal
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dan Pasal 50 masing-masing; dan

(ii) setiap keputusan yang diperlukan; dan

(e) melaksanakan fungsi lain sebagaimana disetujui


oleh Para Pihak.

3. Panitia Bersama:

(a) harus terdiri dari perwakilan Pemerintah


Para Pihak; dan

(b) dapat membentuk dan mendelegasikan tanggung


jawabnya kepada Sub-Komite.

4. Komite Bersama harus menetapkan aturan dan


prosedurnya.

5. Komite Bersama akan bertemu pada waktu yang disepakati


oleh Para Pihak. Tempat pertemuan akan dilakukan secara
bergantian di Indonesia dan Jepang, kecuali Para Pihak
menyepakati lain.

Pasal 15
Sub-Komite

1. Sub-komite berikut dengan ini akan dibentuk:


(a) Sub-Komite pada Perdagangan Barang;

(b) Sub-Komite pada Aturan Asal;

(c) Sub-Komite pada Prosedur Kepabeanan;

(d) Sub-Komite pada Investasi;

(e) Sub-Komite pada Perdagangan Jasa;

(f) Sub-Komite pada Pergerakan Orang Perorangan;

17
(g) Sub-Komite pada Energi dan Sumber Daya
Mineral;
(h) Sub-Komite pada Hak milik intelektual;

(sa Sub-Komite pada Pengadaan Pemerintah;


ya)
(j) Sub-Komite pada Peningkatan Bisnis
Lingkungan dan Promosi Kepercayaan Bisnis; dan

(k) Sub-Komite Kerjasama.

2. Sub-Komite harus:

(a) terdiri dari perwakilan Pemerintah Para Pihak dan


dapat, dengan persetujuan bersama Para Pihak,
mengundang perwakilan dari entitas terkait selain
Pemerintah Para Pihak dengan keahlian yang
diperlukan yang relevan dengan masalah yang akan
dibahas; dan

(b) diketuai bersama oleh pejabat Pemerintah Para


Pihak.

3. Sub-Komite akan bertemu pada waktu dan tempat yang


disepakati oleh Para Pihak.

4. Sub-Komite dapat, jika perlu, menetapkan aturan dan


prosedurnya.

5. Sub-Komite dapat membentuk dan mendelegasikan


tanggung jawabnya kepada Kelompok Kerja.

Pasal 16
Komunikasi

Masing-masing Pihak harus menunjuk titik kontak untuk


memfasilitasi komunikasi antara Para Pihak mengenai masalah
apa pun yang berkaitan dengan Perjanjian ini.

Bab 2
Perdagangan
Barang

Pasal 17 Definisi
Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah "tindakan pengamanan bilateral"


berarti tindakan pengamanan bilateral yang
diatur dalam ayat 1 Pasal 24;

18
(b) istilah "nilai pabean barang" adalah nilai barang
dalam rangka pengenaan bea masuk ad valorem atas
barang impor;

(c) istilah "industri dalam negeri" berarti para


produsen secara keseluruhan dari barang-barang
sejenis atau barang-barang yang bersaing
langsung yang beroperasi di suatu Pihak, atau
mereka yang output kolektif dari barang-barang
serupa atau barang-barang yang secara langsung
bersaing tersebut merupakan proporsi utama dari
total produksi dalam negeri barang-barang
tersebut;

(d) yang dimaksud dengan “subsidi ekspor” adalah


ekspor
subsidi yang tercantum dalam sub-paragraf 1 (a)
melalui
(f) Pasal 9 Persetujuan Pertanian dalam Lampiran
1A Persetujuan WTO (selanjutnya disebut dalam
Bab ini sebagai “Persetujuan Pertanian”);

(e) istilah "barang asal" adalah barang yang memenuhi


syarat sebagai barang asal menurut ketentuan Bab
3;

(f) istilah "bea atau pungutan lain dalam bentuk


apapun" berarti yang diatur dalam sub-paragraf
1(b) Pasal II GATT 1994;

(g) istilah "tindakan pengamanan bilateral


sementara" berarti tindakan pengamanan bilateral
sementara yang diatur dalam sub-paragraf 9(a)
Pasal 24;

(h) istilah "kerugian serius" berarti penurunan


posisi industri dalam negeri yang signifikan
secara keseluruhan; dan

(i) istilah "ancaman cedera serius" berarti cedera


serius yang, berdasarkan fakta dan bukan hanya
atas tuduhan, dugaan atau kemungkinan yang jauh,
jelas akan segera terjadi.

Pasal 18 Klasifikasi
Barang

Klasifikasi barang dalam perdagangan antara Para Pihak


harus sesuai dengan Sistem Harmonisasi.

Pasal 19 Perlakuan
Nasional

Setiap Pihak wajib memberikan perlakuan nasional


terhadap barang-barang Pihak lainnya sesuai dengan Pasal
III GATT 1994.

19
Pasal 20 Penghapusan Bea Masuk

1. Kecuali ditentukan lain dalam Persetujuan ini, masing-


masing Pihak wajib menghapuskan atau mengurangi bea
pabeannya atas barang asal Pihak lain yang ditunjuk untuk
tujuan tersebut dalam Lampirannya dalam Lampiran 1, sesuai
dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam Lampiran
tersebut.

2. Atas permintaan salah satu Pihak, Para Pihak akan


merundingkan isu-isu seperti peningkatan kondisi akses
pasar pada barang asal yang ditunjuk untuk negosiasi dalam
Lampiran 1, sesuai dengan syarat dan ketentuan yang
ditetapkan dalam Jadwal tersebut.

3. Setiap Pihak wajib menghapuskan bea atau pungutan lain


dalam bentuk apapun yang dikenakan pada atau sehubungan
dengan impor barang dari Pihak lainnya, jika ada. Tidak ada
Pihak yang akan mengenakan bea atau pungutan lain dalam
bentuk apa pun yang dikenakan pada atau sehubungan dengan
impor barang dari Pihak lainnya.

4. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang dapat


mencegah suatu Pihak untuk, setiap saat, pada
pengimporan barang apa pun dari Pihak lainnya:

(a) suatu biaya yang setara dengan pajak dalam


negeri yang dikenakan secara konsisten dengan
ketentuan-ketentuan ayat 2 Pasal III GATT 1994,
sehubungan dengan barang dalam negeri yang
serupa atau sehubungan dengan barang dari mana
barang impor tersebut telah dibuat atau
diproduksi seluruhnya atau dalam bagian;

(b) bea anti-dumping atau countervailing yang


diterapkan secara konsisten dengan ketentuan
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Pelaksanaan Pasal
VI Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan
1994 dalam Lampiran 1A Persetujuan WTO, dan
Persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan
Penyeimbang dalam Lampiran 1A Perjanjian WTO; dan

(c) biaya atau pungutan lain yang sepadan dengan


biaya jasa yang diberikan.

5. Jika, sebagai akibat dari penghapusan atau


pengurangan bea pabeannya yang dikenakan atas barang
tertentu atas dasar negara yang paling disukai, tarif yang
diterapkan oleh negara yang paling disukai menjadi sama
dengan, atau lebih rendah dari, tarif bea masuk ke
diterapkan sesuai dengan ayat 1 pada barang asal yang
diklasifikasikan di bawah garis tarif yang sama dengan
barang tertentu itu, masing-masing Pihak harus memberitahu
Pihak lainnya tentang penghapusan atau pengurangan tersebut
tanpa penundaan.

20
6. Dalam kasus di mana tarif bea masuk yang diterapkan
negara yang paling disukai untuk barang tertentu lebih
rendah dari tarif bea masuk yang akan diterapkan sesuai
dengan paragraf
1 atas barang asal yang diklasifikasikan di bawah garis
tarif yang sama dengan barang tertentu itu, masing-masing
Pihak wajib menerapkan tarif yang lebih rendah sehubungan
dengan barang asal itu.

Pasal 21
Penilaian
Kepabeanan

Untuk tujuan menentukan nilai pabean barang yang


diperdagangkan antara Para Pihak, ketentuan Bagian I
Persetujuan Pelaksanaan Pasal VII Persetujuan Umum tentang
Tarif dan Perdagangan 1994 dalam Lampiran 1A Persetujuan
WTO (selanjutnya disebut sebagai Perjanjian tentang
Penilaian Pabean”), berlaku mutatis mutandis.

Pasal 22 Subsidi
Ekspor

Tidak ada Pihak yang akan memperkenalkan atau


mempertahankan subsidi ekspor apa pun untuk barang
pertanian apa pun yang tercantum dalam Lampiran
1 dengan Perjanjian Pertanian.
Pasal 23
Tindakan Non-tarif
Masing-masing Pihak tidak boleh memberlakukan atau
mempertahankan tindakan non-tarif apa pun atas impor barang
apa pun dari Pihak lain atau atas ekspor atau penjualan
untuk ekspor barang apa pun yang ditujukan untuk Pihak lain
yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan
Persetujuan WTO.

Pasal 24 Tindakan
Pengamanan Bilateral

1. Tunduk pada ketentuan Pasal ini, masing-masing Pihak


dapat, sebagai tindakan pengamanan bilateral, sampai batas
minimum yang diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki
kerugian serius pada industri dalam negeri Pihak tersebut
dan untuk memfasilitasi penyesuaian:

(a) menangguhkan pengurangan lebih lanjut dari setiap


tarif bea masuk atas barang asal yang diatur
dalam Bab ini; atau

(b) menaikkan tarif bea masuk atas barang asal ke


tingkat yang tidak melebihi yang lebih rendah
dari:

21
(i) tarif bea masuk yang diterapkan oleh negara
yang paling disukai yang berlaku pada saat
tindakan pengamanan bilateral diambil; dan

(ii) tarif bea masuk yang diterapkan di negara-


negara yang paling disukai yang berlaku pada
hari segera sebelum tanggal berlakunya
Persetujuan ini,

jika suatu barang asal dari Pihak lainnya, sebagai akibat


dari penghapusan atau pengurangan bea pabean sesuai dengan
Pasal 20, sedang diimpor ke Pihak sebelumnya dalam jumlah
yang meningkat, secara absolut atau relatif terhadap
produksi dalam negeri, dan di bawah kondisi sedemikian rupa
sehingga impor barang asal tersebut merupakan penyebab
substansial kerugian serius, atau ancaman kerugian serius,
terhadap industri dalam negeri Pihak sebelumnya.

2. Setiap Pihak tidak boleh menerapkan tindakan


pengamanan bilateral atas barang asal yang diimpor sampai
batas jumlah kuota yang diberikan berdasarkan kuota
tingkat tarif yang diterapkan sesuai dengan Jadwalnya
dalam Lampiran 1.

3. (a) Suatu Pihak dapat mengambil tindakan pengamanan


bilateral hanya setelah penyelidikan telah
dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak
tersebut sesuai dengan Pasal 3 dan ayat 2 Pasal 4
Persetujuan Pengamanan dalam Lampiran 1A
Persetujuan WTO ( selanjutnya disebut dalam Pasal
ini sebagai “Perjanjian Pengamanan”).

(b) Investigasi sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat


(a) dalam semua kasus harus diselesaikan dalam
waktu satu tahun setelah tanggal dimulainya.

4. Kondisi dan batasan berikut akan berlaku sehubungan


dengan tindakan pengamanan bilateral:

(a) Suatu Pihak harus segera menyampaikan


pemberitahuan tertulis kepada Pihak lainnya
atas:

(i) memulai penyelidikan sebagaimana dimaksud


dalam sub-ayat 3(a) yang berkaitan dengan
cedera serius, atau ancaman cedera serius,
dan alasannya; dan

(ii) mengambil keputusan untuk menerapkan


atau memperluas tindakan pengamanan
bilateral.

22
(b) Pihak yang membuat pemberitahuan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a) harus
memberikan kepada Pihak lainnya semua informasi
terkait, yang meliputi:

(i) dalam pemberitahuan tertulis sebagaimana


dimaksud dalam sub-ayat (a)(i), alasan
dimulainya penyelidikan, deskripsi yang
tepat tentang barang asal yang menjadi
subjek penyelidikan dan subposnya dari
Sistem Harmonisasi, jangka waktu untuk
penyelidikan dan tanggal dimulainya
penyelidikan; dan

(ii) dalam pemberitahuan tertulis sebagaimana


dimaksud dalam sub-ayat (a)(ii), bukti
kerugian serius atau ancaman kerugian serius
yang disebabkan oleh peningkatan impor
barang asal, deskripsi yang tepat tentang
barang asal yang tunduk pada tindakan
pengamanan bilateral yang diusulkan dan
subjudul Sistem Harmonisasi, deskripsi yang
tepat dari tindakan pengamanan bilateral,
tanggal yang diusulkan untuk diperkenalkan
dan durasi yang diharapkan.

(c) Suatu Pihak yang mengusulkan untuk menerapkan


atau memperluas tindakan pengamanan bilateral
harus memberikan kesempatan yang memadai untuk
konsultasi sebelumnya dengan Pihak lainnya
dengan maksud untuk meninjau informasi yang
timbul dari penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam sub-paragraf 3(a), bertukar pandangan
tentang tindakan pengamanan bilateral dan
mencapai kesepakatan tentang kompensasi yang
diatur dalam ayat 5.

(d) Tidak ada tindakan pengamanan bilateral yang


harus dipertahankan kecuali sejauh dan untuk
waktu yang mungkin diperlukan untuk mencegah atau
memperbaiki cedera serius dan untuk memfasilitasi
penyesuaian, dengan ketentuan bahwa waktu
tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu empat
tahun. Namun, dalam keadaan yang sangat luar
biasa, tindakan pengamanan bilateral dapat
diperpanjang, asalkan total periode tindakan
pengamanan bilateral, termasuk perpanjangan
tersebut, tidak boleh melebihi lima tahun. Untuk
memfasilitasi penyesuaian dalam situasi di mana
durasi yang diharapkan dari tindakan pengamanan
bilateral lebih dari satu tahun, Pihak yang
mempertahankan tindakan pengamanan bilateral
harus secara progresif meliberalisasi tindakan
pengamanan bilateral secara berkala selama
periode penerapan.

23
(e) Tidak ada tindakan pengamanan bilateral yang
akan diterapkan lagi terhadap impor barang asal
tertentu yang telah dikenakan tindakan
pengamanan bilateral tersebut, untuk jangka
waktu yang sama dengan durasi tindakan
pengamanan bilateral sebelumnya atau satu tahun,
mana yang lebih lama.

(f) Setelah penghentian tindakan pengamanan


bilateral, tarif bea pabean akan menjadi tarif
yang akan berlaku tetapi untuk tindakan
pengamanan bilateral.

5. (a) Suatu Pihak yang mengusulkan untuk menerapkan atau


memperluas tindakan pengamanan bilateral harus
memberikan kepada Pihak lainnya sarana kompensasi
perdagangan yang memadai dalam bentuk konsesi bea
pabean yang tingkatnya secara substansial setara
dengan nilai bea pabean tambahan yang diharapkan
hasil dari tindakan pengamanan bilateral.

(b) Jika Para Pihak tidak dapat menyepakati kompensasi


dalam waktu 30 hari setelah dimulainya konsultasi
sesuai dengan sub-ayat 4(c), Pihak yang barang
asalnya diambil tindakan pengamanan bilateral
harus bebas untuk menangguhkan penerapan konsesi
bea kepabeanan berdasarkan Persetujuan ini, yang
secara substansial setara dengan tindakan
pengamanan bilateral. Pihak yang melaksanakan hak
penangguhan dapat menangguhkan penerapan konsesi
bea pabean hanya untuk jangka waktu minimum yang
diperlukan untuk mencapai efek yang secara
substansial setara dan hanya selama tindakan
pengamanan bilateral dipertahankan.

6. Tidak ada satu pun dalam Bab ini yang dapat


mencegah suatu Pihak untuk menerapkan tindakan
pengamanan terhadap barang asal sesuai dengan:

(a) Pasal XIX GATT 1994 dan Persetujuan Pengamanan;


atau

(b) Pasal 5 Perjanjian tentang Pertanian.

7. Setiap Pihak harus memastikan administrasi yang


konsisten, tidak memihak dan wajar dari undang-undang dan
peraturannya yang berkaitan dengan tindakan pengamanan
bilateral.

24
8. Setiap Pihak wajib mengadopsi atau memelihara
prosedur yang adil, tepat waktu, transparan dan efektif
terkait dengan tindakan pengamanan bilateral.

9. (a) Dalam keadaan kritis, di mana penundaan akan


menyebabkan kerusakan yang akan sulit untuk
diperbaiki, suatu Pihak dapat mengambil tindakan
pengamanan bilateral sementara, yang akan
mengambil bentuk tindakan yang ditetapkan dalam
sub-ayat 1(a) atau (b) berdasarkan penetapan
pendahuluan bahwa terdapat bukti yang jelas bahwa
peningkatan impor barang asal telah menyebabkan
atau mengancam akan menimbulkan kerugian serius
bagi industri dalam negeri.

(b) Suatu Pihak wajib menyampaikan pemberitahuan


tertulis kepada Pihak lainnya sebelum menerapkan
tindakan pengamanan bilateral sementara.
Konsultasi antara Para Pihak mengenai penerapan
tindakan pengamanan bilateral sementara harus
dimulai segera setelah tindakan pengamanan
bilateral sementara diambil.

(c) Durasi tindakan pengamanan bilateral sementara


tidak boleh melebihi 200 hari. Selama periode
itu, persyaratan yang relevan dari ayat 3 harus
dipenuhi. Durasi tindakan pengamanan bilateral
sementara harus dihitung sebagai bagian dari
periode sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat 4(d).

(d) Sub-ayat 4(f) dan paragraf 7 dan 8 harus


diterapkan secara mutatis mutandis pada tindakan
pengamanan bilateral sementara. Bea pabean yang
dikenakan sebagai akibat dari tindakan pengamanan
bilateral sementara harus dikembalikan jika
penyelidikan selanjutnya sebagaimana dimaksud
dalam sub-ayat 3(a) tidak menentukan bahwa
peningkatan impor barang asal telah menyebabkan
atau mengancam akan menyebabkan kerugian serius
pada industri dalam negeri. .

10. Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam


sub-paragraf 4(a) dan 9(b) dan komunikasi lainnya antara
Para Pihak harus dilakukan dalam bahasa Inggris.

11. Para Pihak wajib meninjau kembali ketentuan-


ketentuan Pasal ini, jika perlu, lima tahun setelah
tanggal berlakunya Persetujuan ini, kecuali disepakati
lain oleh Para Pihak.

25
Pasal 25
Pembatasan untuk Menjaga Neraca Pembayaran
1. Tidak ada dalam Bab ini yang dapat ditafsirkan untuk
mencegah suatu Pihak mengambil tindakan apa pun untuk
tujuan neraca pembayaran. Suatu Pihak yang mengambil
tindakan tersebut harus melakukannya sesuai dengan kondisi
yang ditetapkan berdasarkan Pasal XII GATT 1994 dan
Kesepahaman tentang Ketentuan Neraca Pembayaran dari
Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan 1994 dalam
Lampiran 1A Persetujuan WTO.

2. Tidak ada satu pun dalam Bab ini yang akan


menghalangi penggunaan oleh suatu Pihak atas kontrol
pertukaran atau pembatasan pertukaran sesuai dengan
Pasal-Pasal Persetujuan Dana Moneter Internasional.

Pasal 26
Sub-Komite Perdagangan Barang
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Perdagangan Barang
(selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-
Komite”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;
(b) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab
ini;

(c) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama;

(d) mengkaji dan memberikan rekomendasi yang sesuai,


sebagaimana diperlukan, kepada Komite Bersama
tentang Tata Cara Operasional Perdagangan Barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Pasal 27
Tata Cara Operasional Perdagangan Barang
Pada tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini, Komite
Bersama akan mengadopsi Prosedur Operasional untuk
Perdagangan Barang yang memberikan peraturan rinci yang
sesuai dengan otoritas yang relevan dari Para Pihak akan
melaksanakan fungsi mereka di bawah Bab ini.

26
Bab 3 Aturan Asal

Pasal 28 Definisi

Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah "otoritas pemerintah yang kompeten"


berarti otoritas yang, menurut undang-undang
masing-masing Pihak, bertanggung jawab atas
penerbitan sertifikat asal atau penunjukan badan
atau badan sertifikasi. Dalam hal Indonesia,
Kementerian Perdagangan dan dalam hal Jepang,
Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri;

(b) istilah “eksportir” berarti seseorang yang berada


di Pihak pengekspor yang mengekspor suatu barang
dari Pihak pengekspor sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Pihak
pengekspor;

(c) istilah "kapal-kapal pabrik dari Pihak" atau


"kapal-kapal Pihak" masing-masing berarti kapal-
kapal atau kapal-kapal pabrik:

(i) yang terdaftar di Pihak;

(ii) yang berlayar di bawah bendera Partai;

(iii) yang dimiliki hingga tingkat paling sedikit


50 persen oleh warga negara Para Pihak, atau
oleh badan hukum yang berkantor pusat di
salah satu Pihak, di mana perwakilan, ketua
dewan direksi, dan mayoritas anggota dari
dewan adalah warga negara dari Para Pihak,
dan yang paling sedikit 50 persen dari
kepentingan ekuitas dimiliki oleh warga
negara atau badan hukum dari Para Pihak; dan

(iv) yang paling sedikit 75 persen dari jumlah


nakhoda, perwira dan awak kapal adalah warga
negara dari Para Pihak;

(d) istilah "barang asal yang dapat dipertukarkan


dari suatu Pihak" atau "bahan asal yang dapat
dipertukarkan dari suatu Pihak" masing-masing
berarti barang atau bahan asal dari suatu Pihak
yang dapat dipertukarkan untuk tujuan komersial,
yang sifat dasarnya identik;

27
(e) istilah "Prinsip Akuntansi yang Diterima Secara
Umum" berarti konsensus yang diakui atau dukungan
otoritatif substansial dalam suatu Pihak pada
waktu tertentu mengenai sumber daya dan kewajiban
ekonomi mana yang harus dicatat sebagai aset dan
kewajiban, perubahan aset dan kewajiban mana yang
harus dicatat, bagaimana aset dan kewajiban serta
perubahannya harus diukur, informasi apa yang
harus diungkapkan dan bagaimana hal itu harus
diungkapkan, dan laporan keuangan mana yang harus
disiapkan. Standar-standar ini dapat berupa
pedoman luas untuk penerapan umum serta praktik
dan prosedur yang terperinci;

(f) istilah “importir” berarti orang yang mengimpor


suatu barang ke Pihak pengimpor sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Pihak pengimpor;

(g) istilah "bahan tidak langsung" berarti barang


yang digunakan dalam produksi, pengujian atau
pemeriksaan barang lain tetapi tidak secara fisik
digabungkan ke dalam barang, atau barang yang
digunakan dalam pemeliharaan bangunan atau
pengoperasian peralatan yang terkait dengan
produksi barang lain, termasuk:

(i) bahan bakar dan energi;

(ii) alat, cetakan dan cetakan;

(iii) suku cadang dan barang yang digunakan


dalam pemeliharaan peralatan dan
bangunan;

(iv) pelumas, gemuk, bahan peracikan dan barang


lain yang digunakan dalam produksi atau
digunakan untuk mengoperasikan peralatan
dan bangunan;

(v) sarung tangan, kacamata, alas kaki,


pakaian, perlengkapan dan perlengkapan
keselamatan;

(vi) peralatan, perangkat dan perlengkapan


yang digunakan untuk pengujian atau
inspeksi;

(vii) katalis dan pelarut; dan

(viii) setiap barang lain yang tidak dimasukkan


ke dalam barang lain tetapi penggunaannya
dalam produksi barang tersebut dapat
dibuktikan secara wajar sebagai bagian
dari produksi itu;

28
(h) istilah "materi" berarti barang yang digunakan
dalam
produksi barang lain;
(i) istilah "bahan asal suatu Pihak" berarti barang
asal dari suatu Pihak yang digunakan dalam
produksi barang lain di Pihak tersebut, termasuk
yang dianggap sebagai bahan asal Pihak tersebut
sesuai dengan ayat 1 Pasal 30;

(j) istilah "bahan pengemas dan peti kemas untuk


pengapalan" adalah barang yang biasa digunakan
untuk melindungi suatu barang selama
pengangkutan, selain bahan pengemas dan peti
kemas untuk penjualan eceran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38;

(k) istilah "perlakuan tarif preferensial" berarti


tarif bea masuk yang berlaku untuk barang asal
Pihak pengekspor sesuai dengan ayat 1 Pasal
20; dan

(l) istilah “produksi” berarti suatu cara untuk


memperoleh barang termasuk pembuatan, perakitan,
pengolahan, pemeliharaan, penanaman, pembiakan,
penambangan, penggalian, pemanenan, penangkapan
ikan, penjeratan, pengumpulan, pengumpulan,
perburuan dan penangkapan.

Pasal 29 Barang Asal

1. Kecuali ditentukan lain dalam Bab ini, suatu barang


akan memenuhi syarat sebagai barang asal suatu Pihak di
mana:

(a) barang tersebut seluruhnya diperoleh atau


diproduksi seluruhnya di Pihak tersebut,
sebagaimana didefinisikan dalam ayat 2;

(b) barang diproduksi seluruhnya di Pihak secara


eksklusif dari bahan asal Pihak; atau

(c) barang memenuhi aturan khusus produk yang


ditetapkan dalam Lampiran 2, serta semua
persyaratan lain yang berlaku dari Bab ini, bila
barang diproduksi seluruhnya di Pihak dengan
menggunakan bahan bukan asal.

2. Untuk keperluan sub-paragraf 1(a), barang-barang


berikut harus dianggap diperoleh atau diproduksi
seluruhnya di suatu Pihak:

(a) hewan hidup yang lahir dan dibesarkan di Partai;

29
(b) hewan yang diperoleh dengan berburu, menjebak,
memancing, mengumpulkan atau menangkap di
Pihak;

(c) barang yang diperoleh dari hewan hidup di Pihak;

(d) tanaman dan produk tanaman yang dipanen,


dipetik atau dikumpulkan di Pihak;

(e) mineral dan zat alami lainnya, tidak termasuk


dalam sub-ayat (a) sampai (d), diekstraksi
atau diambil di Pihak;

(f) barang-barang penangkapan ikan di laut dan


barang-barang lainnya yang diambil oleh
kapal-kapal Pihak dari laut di luar Pihak
lainnya;

(g) barang-barang yang diproduksi di atas kapal-


kapal pabrik Pihak di luar Pihak lainnya
dari barang-barang sebagaimana dimaksud
dalam sub-ayat (f);

(h) barang-barang yang diambil dari dasar laut atau


tanah di bawahnya di bawah dasar laut di luar
Pihak, dengan ketentuan bahwa Pihak tersebut
memiliki hak untuk mengeksploitasi dasar laut
atau tanah di bawahnya tersebut;

(i) barang-barang yang dikumpulkan di Pihak yang


tidak dapat lagi melakukan tujuan aslinya di
Pihak atau tidak dapat dipulihkan atau
diperbaiki dan yang hanya layak untuk dibuang
atau untuk pemulihan bagian atau bahan mentah;

(j) skrap dan limbah yang berasal dari operasi


manufaktur atau pemrosesan atau dari konsumsi di
Pihak tersebut dan hanya layak untuk dibuang
atau untuk pemulihan bahan mentah;

(k) bagian-bagian atau bahan-bahan mentah yang


diperoleh kembali di Pihak dari barang-barang
yang tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana
mestinya dan tidak dapat dipulihkan atau
diperbaiki; dan

(l) barang-barang yang diperoleh atau


diproduksi di Pihak secara eksklusif dari
barang-barang sebagaimana dimaksud dalam
sub-ayat (a) sampai (k).

3. Untuk keperluan subparagraf 1(c), aturan khusus produk


yang ditetapkan dalam Lampiran 2 yang mensyaratkan bahwa
bahan yang digunakan mengalami perubahan dalam klasifikasi
tarif atau operasi manufaktur atau pemrosesan tertentu
hanya berlaku untuk bahan bukan asal.
30
4. (a) Untuk keperluan subparagraf 1(c), aturan khusus
produk yang ditetapkan dalam Lampiran 2 dengan
menggunakan metode nilai tambah mensyaratkan
bahwa kandungan nilai kualifikasi suatu barang,
yang dihitung sesuai dengan subparagraf (b),
tidak kurang dari dari persentase yang ditentukan
oleh aturan untuk barang tersebut.

(b) Untuk keperluan penghitungan kandungan nilai


kualifikasi suatu barang, rumus berikut harus
diterapkan:
FOB – VNM
QVC = x 100
FOB
Di mana:

QVC adalah konten nilai kualifikasi suatu barang,


yang dinyatakan sebagai persentase;

FOB adalah, kecuali sebagaimana diatur dalam


paragraf 5, nilai barang di atas kapal yang
dibayar oleh pembeli barang kepada penjual
barang, terlepas dari cara pengirimannya, tidak
termasuk pajak cukai internal yang dikurangi,
dibebaskan, atau dilunasi pada saat barang
diekspor; dan

VNM adalah nilai bahan bukan asal yang digunakan


dalam produksi barang.

5. FOB sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat 4(b) adalah


nilai:

(a) disesuaikan dengan harga yang dapat dipastikan


pertama yang dibayarkan untuk suatu barang dari
pembeli kepada produsen barang tersebut, jika
ada nilai barang tersebut di atas kapal secara
cuma-cuma, tetapi tidak diketahui dan tidak
dapat dipastikan; atau

(b) ditentukan sesuai dengan Pasal 1 sampai dengan


8 Perjanjian tentang Penilaian Pabean, jika tidak
ada nilai barang yang diangkut secara bebas.

6. Untuk tujuan penghitungan kandungan nilai yang


memenuhi syarat dari suatu barang berdasarkan sub-paragraf
4(b), nilai bahan bukan asal yang digunakan dalam produksi
barang di suatu Pihak:

31
(a) akan ditentukan sesuai dengan Persetujuan tentang
Penilaian Pabean, dan harus mencakup
pengangkutan, asuransi jika sesuai, pengepakan
dan semua biaya lain yang timbul dalam
pengangkutan bahan ke pelabuhan pengimporan di
Pihak tempat produsen barang berada; atau

(b) jika nilai tersebut tidak diketahui dan tidak


dapat dipastikan, akan menjadi harga yang dapat
dipastikan pertama yang dibayarkan untuk bahan di
Pihak, tetapi dapat mengecualikan semua biaya
yang dikeluarkan di Pihak dalam mengangkut bahan
dari gudang pemasok bahan ke tempat tersebut. di
mana produsen berada seperti pengangkutan,
asuransi dan pengepakan serta biaya lain yang
diketahui dan dapat dipastikan yang dikeluarkan
di Pihak.

7. Untuk tujuan menghitung kandungan nilai kualifikasi


suatu barang berdasarkan sub-paragraf 4(b) dalam
menentukan apakah barang tersebut memenuhi syarat sebagai
barang asal suatu Pihak, VNM barang tersebut tidak boleh
memasukkan nilai bahan bukan asal yang digunakan dalam
produksi. bahan asal Pihak yang digunakan dalam produksi
barang.

8. Untuk keperluan sub-paragraf 5(b) atau 6(a), dalam


menerapkan Persetujuan Penilaian Pabean untuk menentukan
nilai suatu barang atau bahan bukan asal, Persetujuan
Penilaian Kepabeanan berlaku mutatis mutandis untuk
transaksi domestik atau untuk kasus di mana tidak ada
transaksi barang atau bahan bukan asal.

Pasal 30
Akumulasi

1. Untuk tujuan menentukan apakah suatu barang memenuhi


syarat sebagai barang asal suatu Pihak, suatu barang asal
dari Pihak lain yang digunakan sebagai bahan dalam produksi
barang di Pihak sebelumnya dapat dianggap sebagai bahan
asal dari Pihak sebelumnya. Berpesta.

2. Untuk tujuan menghitung kandungan nilai kualifikasi


suatu barang menurut subparagraf 4(b) Pasal 29 dalam
menentukan apakah barang tersebut memenuhi syarat sebagai
barang asal suatu Pihak, nilai bahan bukan asal yang
diproduksi di salah satu Pihak dan yang digunakan dalam
produksi barang dapat dibatasi pada nilai bahan bukan asal
yang digunakan dalam produksi bahan bukan asal tersebut,
dengan ketentuan bahwa barang tersebut memenuhi syarat
sebagai barang asal Pihak tersebut berdasarkan sub-
paragraf 1(c) Pasal 29 .

32
Pasal 31
De Minimis
Untuk penerapan aturan khusus produk yang ditetapkan
dalam Lampiran 2, bahan bukan asal yang digunakan dalam
produksi barang yang tidak memenuhi aturan yang berlaku
untuk barang tersebut, harus diabaikan, asalkan totalitas
bahan tersebut tidak melebihi persentase tertentu dalam
nilai, berat atau volume barang dan persentase tersebut
ditetapkan dalam aturan khusus produk untuk barang
tersebut.

Pasal 32
Operasi Non-kualifikasi
Suatu barang tidak akan dianggap memenuhi persyaratan
perubahan dalam klasifikasi tarif atau operasi manufaktur
atau pemrosesan tertentu yang ditetapkan dalam Lampiran
2 semata-mata karena:
(a) operasi untuk memastikan pengawetan produk dalam
kondisi baik selama transportasi dan penyimpanan
(seperti pengeringan, pembekuan, penyimpanan
dalam air garam) dan operasi serupa lainnya;

(b) perubahan kemasan dan pemecahan dan perakitan


kemasan;
(c) membongkar;

(d) menempatkan dalam botol, kotak, kotak dan operasi


pengemasan sederhana lainnya;

(e) kumpulan suku cadang dan komponen yang


diklasifikasikan sebagai barang sesuai dengan
Aturan 2(a) Aturan Umum untuk Interpretasi Sistem
Harmonisasi;

(f) hanya pembuatan set barang; atau

(g) setiap kombinasi operasi yang dirujuk dalam


sub-paragraf (a) sampai (f).

Pasal 33 Kriteria
Pengiriman

1. Barang asal dari Pihak lain akan dianggap memenuhi


kriteria konsinyasi apabila:

(a) diangkut langsung dari Pihak lain; atau

33
(b) diangkut melalui satu atau lebih non-Pihak untuk
tujuan transit atau penyimpanan sementara di
gudang di non-Pihak tersebut, dengan ketentuan
bahwa ia tidak menjalani operasi selain
pembongkaran, pemuatan ulang dan operasi lain
untuk menjaganya dalam kondisi baik.

2. Jika suatu barang asal dari Pihak lain tidak memenuhi


kriteria pengiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
barang tersebut tidak akan dianggap sebagai barang asal
dari Pihak lainnya.

Pasal 34 Barang Belum


Dirakit atau Dibongkar

1. Apabila suatu barang memenuhi persyaratan ketentuan


yang relevan dari Pasal 29 sampai 32 dan diimpor ke suatu
Pihak dari Pihak lainnya dalam bentuk belum dirakit atau
dibongkar tetapi diklasifikasikan sebagai barang rakitan
sesuai dengan Aturan 2(a) Aturan Umum untuk Interpretasi
Sistem Harmonisasi, barang tersebut akan dianggap sebagai
barang asal Pihak lainnya.

2. Barang yang dirakit di suatu Pihak dari bahan yang


belum dirakit atau dibongkar, yang diimpor ke Pihak
tersebut dan diklasifikasikan sebagai barang rakitan sesuai
dengan Aturan 2(a) Aturan Umum untuk Interpretasi Sistem
Harmonisasi, harus dianggap sebagai barang asal. Pihak,
dengan ketentuan bahwa barang tersebut akan memenuhi
persyaratan yang berlaku dari ketentuan yang relevan dari
Pasal 29 sampai 32 seandainya masing-masing bahan bukan
asal di antara bahan yang belum dirakit atau dibongkar
telah diimpor ke Pihak secara terpisah dan bukan sebagai
bahan yang belum dirakit atau dibongkar. membentuk.

Pasal 35 Barang dan


Bahan yang Dapat
Dipertukarkan

1. Untuk tujuan menentukan apakah suatu barang memenuhi


syarat sebagai barang asal suatu Pihak, di mana bahan asal
yang dapat dipertukarkan dari Pihak dan bahan bukan asal
yang dapat dipertukarkan yang dicampur dalam inventaris
digunakan dalam produksi barang, asal bahan dapat
ditentukan sesuai dengan metode manajemen persediaan
berdasarkan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di Pihak
tersebut.

34
2. Apabila barang-barang asal yang dapat dipertukarkan
dari suatu Pihak dan barang-barang bukan asal yang dapat
dipertukarkan dicampur dalam suatu inventaris dan, sebelum
diekspor, tidak menjalani proses produksi atau operasi apa
pun di Pihak tersebut di mana barang-barang tersebut
bercampur selain dari pembongkaran, pemuatan ulang, dan
operasi lainnya untuk melestarikan mereka dalam kondisi
baik, asal barang dapat ditentukan sesuai dengan metode
manajemen persediaan berdasarkan Prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum di Pihak tersebut.

Pasal 36 Bahan
Tidak Langsung

Bahan tidak langsung harus, tanpa memperhatikan di


mana mereka diproduksi, dianggap sebagai bahan asal dari
suatu Pihak di mana barang tersebut diproduksi.

Pasal 37 Asesoris,
Suku Cadang, dan Perkakas

1. Dalam menentukan apakah semua bahan bukan asal yang


digunakan dalam produksi suatu barang mengalami perubahan
yang berlaku dalam klasifikasi tarif atau operasi
manufaktur atau pemrosesan tertentu yang ditetapkan dalam
Lampiran 2, aksesori, suku cadang atau peralatan yang
dikirimkan dengan barang yang merupakan bagian dari
asesoris, suku cadang atau perkakas standar barang
tersebut, harus diabaikan, dengan ketentuan bahwa:

(a) asesoris, suku cadang atau perkakas tidak


ditagihkan secara terpisah dari barang, tanpa
memperhatikan apakah barang-barang tersebut
diuraikan secara terpisah dalam faktur; dan

(b) jumlah dan nilai aksesori, suku cadang, atau


alat adalah kebiasaan untuk barang tersebut.

2. Jika suatu barang tunduk pada persyaratan kandungan


nilai kualifikasi, nilai aksesori, suku cadang, atau
perkakas harus diperhitungkan sebagai nilai bahan asal dari
suatu Pihak di mana barang tersebut diproduksi atau bahan
bukan asal, sebagaimana halnya mungkin, dalam menghitung
konten nilai kualifikasi barang.

35
Pasal 38
Bahan Kemasan dan Wadah untuk Penjualan Eceran
1. Dalam menentukan apakah semua bahan bukan asal yang
digunakan dalam produksi suatu barang mengalami perubahan
yang berlaku dalam klasifikasi tarif atau operasi
manufaktur atau pemrosesan tertentu yang ditetapkan dalam
Lampiran 2, bahan pengemas dan wadah untuk penjualan
eceran, yang diklasifikasikan dengan barang sesuai dengan
Aturan 5 Aturan Umum untuk Interpretasi Sistem
Harmonisasi, harus diabaikan.

2. Jika suatu barang tunduk pada persyaratan kandungan


nilai yang memenuhi syarat, nilai bahan pengemas dan wadah
untuk penjualan eceran harus diperhitungkan sebagai nilai
bahan asal dari suatu Pihak di mana barang tersebut
diproduksi atau bahan bukan asal, sebagaimana yang
terjadi. mungkin, dalam menghitung konten nilai
kualifikasi barang.

Pasal 39
Bahan Pengemasan dan Wadah untuk Pengiriman
Bahan pengepakan dan wadah untuk pengiriman harus:
men
jad
i: (a) diabaikan dalam menentukan apakah semua bahan
bukan asal yang digunakan dalam produksi suatu
barang mengalami perubahan klasifikasi tarif yang
berlaku atau operasi manufaktur atau pemrosesan
tertentu yang ditetapkan dalam Lampiran 2; dan

(b) tanpa memperhatikan di mana mereka diproduksi,


dianggap sebagai bahan asal dari suatu Pihak di
mana barang tersebut diproduksi, dalam menghitung
kandungan nilai kualifikasi dari barang tersebut.

Pasal 40
Klaim untuk Perlakuan Tarif Preferensial
1. Pihak pengimpor wajib meminta surat keterangan asal
untuk barang asal dari Pihak pengekspor dari importir yang
menuntut perlakuan tarif preferensial untuk barang
tersebut.

2. Menyimpang dari ayat 1, Pihak pengimpor tidak akan


memerlukan surat keterangan asal dari importir untuk
pengimporan barang kiriman asal dari Pihak pengekspor yang
nilai pabeannya tidak melebihi 200 dolar Amerika Serikat
atau jumlah yang setara dalam mata uang Pihak, atau jumlah
yang lebih tinggi seperti yang mungkin terbentuk.

36
3. Apabila suatu barang asal dari Pihak pengekspor
diimpor melalui satu atau lebih non-Pihak, Pihak
pengimpor dapat meminta importir, yang mengklaim
perlakuan tarif preferensial untuk barang tersebut,
untuk menyerahkan:

(a) salinan melalui bill of lading; atau

(b) sertifikat atau informasi lain yang diberikan


oleh otoritas pabean dari non-Pihak atau entitas
terkait lainnya, yang membuktikan bahwa barang
tersebut tidak menjalani operasi selain
pembongkaran, pemuatan ulang, dan operasi lain
apa pun untuk menjaganya dalam kondisi baik di
non-Pihak tersebut .

Pasal 41 Surat
Keterangan Asal

1. Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam ayat


1 Pasal 40 harus diterbitkan oleh pejabat pemerintah yang
berwenang dari Pihak pengekspor atas permintaan yang
dibuat secara tertulis oleh eksportir atau agen resminya.
Sertifikat asal tersebut harus mencakup data minimum yang
ditentukan dalam Lampiran 3.

2. Untuk keperluan Pasal ini, pejabat pemerintah yang


berwenang dari Pihak pengekspor dapat menunjuk badan atau
badan lain untuk bertanggung jawab atas penerbitan surat
keterangan asal, di bawah kewenangan yang diberikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari Pihak
pengekspor.

3. Apabila otoritas pemerintah yang berwenang dari Pihak


pengekspor menunjuk entitas atau badan lain untuk
melaksanakan penerbitan surat keterangan asal, Pihak
pengekspor harus memberitahukan secara tertulis Pihak lain
tentang pihak yang ditunjuknya.

4. Untuk tujuan Bab ini, pada saat berlakunya


Persetujuan ini, Para Pihak wajib menetapkan format surat
keterangan asal dalam bahasa Inggris dalam Prosedur
Operasional Negara Asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50.

5. Surat keterangan asal harus dilengkapi dalam


bahasa Inggris.

6. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang


diterbitkan wajib berlaku untuk impor tunggal barang asal
dari Pihak pengekspor ke Pihak pengimpor dan berlaku untuk
12 bulan sejak tanggal penerbitan.

37
7. Dalam hal eksportir suatu barang bukan merupakan
produsen barang di Pihak pengekspor, eksportir dapat
meminta Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) atas
dasar:

(a) pernyataan yang diberikan oleh eksportir kepada


pejabat pemerintah yang berwenang dari Pihak
pengekspor atau pihak yang ditunjuknya
berdasarkan informasi yang diberikan oleh
produsen barang kepada eksportir tersebut; atau

(b) pernyataan yang secara sukarela diberikan oleh


produsen barang secara langsung kepada pejabat
pemerintah yang berwenang dari Pihak pengekspor
atau yang ditunjuknya atas permintaan eksportir
sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku
dari Pihak pengekspor.

8. Surat keterangan asal akan diterbitkan hanya setelah


eksportir yang meminta surat keterangan asal, atau produsen
barang di Pihak pengekspor sebagaimana dimaksud dalam sub-
paragraf 7(b), membuktikan kepada otoritas pemerintah yang
berwenang dari Pihak pengekspor atau yang ditunjuk. bahwa
barang yang akan diekspor memenuhi syarat sebagai barang
asal Pihak pengekspor.

9. Pejabat pemerintah yang berwenang dari Pihak


pengekspor wajib memberikan kepada Pihak lainnya contoh
tanda tangan dan cap stempel yang digunakan di kantor
instansi pemerintah yang berwenang atau yang ditunjuknya.

10. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pejabat pemerintah


yang berwenang atau yang ditunjuk harus menyimpan catatan
sertifikat asal yang diterbitkan untuk jangka waktu lima
tahun setelah tanggal diterbitkannya sertifikat. Catatan
tersebut akan mencakup semua pendahuluan, yang disajikan
untuk membuktikan kualifikasi sebagai barang asal dari
Pihak pengekspor.

Pasal 42 Kewajiban
Ekspor

Setiap Pihak wajib, sesuai dengan peraturan perundang-


undangannya, memastikan bahwa eksportir yang kepadanya
sertifikat asal telah diterbitkan, atau produsen barang di
Pihak pengekspor sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf
7(b) Pasal 41:

38
(a) wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pejabat pemerintah yang berwenang dari Pihak
pengekspor atau yang ditunjuknya tanpa penundaan
ketika eksportir atau produsen tersebut
mengetahui bahwa barang tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai barang asal dari Pihak pengekspor;
dan

(b) harus menyimpan catatan yang berkaitan dengan


asal barang selama lima tahun setelah tanggal
diterbitkannya surat keterangan asal.

Pasal 43
Permintaan Pengecekan Surat Keterangan Asal
1. Untuk tujuan menentukan apakah suatu barang yang
diimpor dari Pihak pengekspor dengan perlakuan tarif
preferensial memenuhi syarat sebagai barang asal dari Pihak
pengekspor, otoritas pabean dari Pihak pengimpor dapat
meminta informasi yang berkaitan dengan asal barang
tersebut dari otoritas pemerintah yang berwenang di negara
tersebut. Pihak pengekspor berdasarkan surat keterangan
asal.

2. Untuk tujuan ayat 1, pejabat pemerintah yang berwenang


dari Pihak pengekspor wajib, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Pihak tersebut, memberikan informasi
yang diminta dalam jangka waktu tidak lebih dari enam bulan
setelah tanggal diterimanya permintaan tersebut.

Jika otoritas pabean dari Pihak pengimpor menganggap


perlu, mungkin diperlukan informasi tambahan yang berkaitan
dengan asal barang. Jika informasi tambahan diminta oleh
otoritas pabean dari Pihak pengimpor, otoritas pemerintah
yang berwenang dari Pihak pengekspor wajib, sesuai dengan
hukum dan peraturan Pihak pengekspor, memberikan informasi
yang diminta dalam jangka waktu tidak lebih dari empat
bulan setelah tanggal dari penerimaan permintaan.

3. Untuk keperluan ayat 2, pejabat pemerintah yang


berwenang dari Pihak pengekspor dapat meminta eksportir
yang kepadanya sertifikat asal telah diterbitkan, atau
produsen barang di Pihak pengekspor sebagaimana dimaksud
dalam sub-paragraf 7(b) Pasal 41 , untuk memberikan
informasi yang diminta kepada mantan.

Pasal 44 Kunjungan
Verifikasi

1. Jika otoritas pabean dari Pihak pengimpor tidak puas


dengan hasil permintaan pemeriksaan sesuai dengan Pasal 43,
Otoritas pabean dapat meminta Pihak pengekspor:

39
(a) mengumpulkan dan memberikan informasi yang
berkaitan dengan asal barang dan memeriksa, untuk
tujuan itu, fasilitas yang digunakan dalam
produksi barang, melalui kunjungan pejabat
pemerintah yang berwenang dari Pihak pengekspor
bersama dengan otoritas pabean dari Pihak
pengimpor , yang dapat didampingi oleh pejabat
pemerintah lainnya dengan keahlian yang
diperlukan dari Pihak pengimpor, ke tempat
eksportir yang kepadanya sertifikat asal telah
diterbitkan, atau produsen barang di Pihak
pengekspor sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat
7(b). ) dari Pasal 41; dan

(b) selama atau setelah kunjungan, untuk memberikan


informasi yang berkaitan dengan asal barang yang
dimiliki oleh pejabat pemerintah yang berwenang
dari Pihak pengekspor atau yang ditunjuknya.

2. Ketika meminta Pihak pengekspor untuk melakukan


kunjungan sesuai dengan ayat 1 atau 6, otoritas pabean dari
Pihak pengimpor harus menyampaikan komunikasi tertulis
dengan permintaan tersebut kepada Pihak pengekspor
setidaknya 40 hari sebelum tanggal kunjungan yang
diusulkan, penerimaannya harus dikonfirmasikan oleh Pihak
pengekspor. Pejabat pemerintah yang berwenang dari Pihak
pengekspor wajib meminta persetujuan tertulis dari
eksportir, atau produsen barang di Pihak pengekspor, yang
tempat-tempatnya akan dikunjungi.

3. Komunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2


meliputi:

(a) identitas otoritas pabean dari Pihak


pengimpor yang menerbitkan komunikasi;

(b) nama eksportir, atau produsen barang di Pihak


pengekspor, yang lokasinya diminta untuk
dikunjungi;

(c) tanggal dan tempat kunjungan yang diusulkan;

(d) tujuan dan ruang lingkup kunjungan yang


diusulkan, termasuk referensi khusus untuk
subjek yang baik dari verifikasi yang dirujuk
dalam surat keterangan asal; dan

(e) nama dan jabatan pejabat otoritas pabean dan


pejabat pemerintah lainnya dengan keahlian yang
diperlukan dari Pihak pengimpor untuk hadir
selama kunjungan.

40
4. Pihak pengekspor harus menanggapi secara tertulis
kepada Pihak pengimpor, dalam waktu 30 hari sejak
diterimanya komunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2,
jika Pihak pengekspor menerima atau menolak untuk
melakukan kunjungan yang diminta sesuai dengan ayat 1 atau
6.

5. Otoritas pemerintah yang kompeten dari Pihak


pengekspor wajib, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan Pihak tersebut, memberikan dalam waktu 45 hari
atau periode lain yang disepakati bersama sejak hari
terakhir kunjungan, kepada otoritas pabean dari Pihak
pengimpor informasi yang diperoleh sesuai dengan paragraf 1
atau 6.

6. (a) Dalam hal otoritas pabean dari Pihak pengimpor


menganggap sebagai pengecualian, otoritas
pabean dapat, sebelum atau selama permintaan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43, mengajukan kepada Pihak pengekspor
permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

(b) Apabila permintaan sebagaimana dimaksud dalam sub-


ayat (a) dibuat, Pasal 43 tidak akan diterapkan.

Pasal 45 Penetapan Asal


dan Perlakuan Tarif Preferensi
1. Otoritas pabean dari Pihak pengimpor dapat menolak
perlakuan tarif preferensial untuk barang yang mana
importir mengklaim perlakuan tarif preferensial di mana
barang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai barang asal
dari Pihak pengekspor atau di mana importir gagal memenuhi
salah satu persyaratan yang relevan. dari Bab ini.

2. Otoritas pemerintah yang berwenang dari Pihak


pengekspor wajib, ketika membatalkan keputusan untuk
menerbitkan surat keterangan asal, segera memberitahukan
pembatalan kepada eksportir yang kepadanya surat keterangan
asal telah diterbitkan, dan kepada otoritas pabean dari
Pihak pengimpor kecuali jika sertifikat telah dikembalikan
ke otoritas pemerintah yang berwenang. Otoritas pabean dari
Pihak pengimpor dapat menentukan bahwa barang tersebut
tidak memenuhi syarat sebagai barang asal dari Pihak
pengekspor dan dapat menolak perlakuan tarif preferensial
apabila otoritas pabean tersebut menerima pemberitahuan.

3. Otoritas pabean dari Pihak pengimpor dapat menentukan


bahwa suatu barang tidak memenuhi syarat sebagai barang
asal dari Pihak pengekspor dan dapat menolak perlakuan
tarif preferensial, dan penetapan tertulisnya harus
dikirimkan kepada otoritas pemerintah yang berwenang dari
Pihak pengekspor:

41
(a) dimana pejabat pemerintah yang berwenang dari
Pihak pengekspor gagal untuk menanggapi
permintaan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 Pasal 43 atau ayat 5 Pasal
44;

(b) dimana Pihak pengekspor menolak untuk


melakukan kunjungan, atau Pihak tersebut gagal
menanggapi komunikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 Pasal 44 dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 Pasal 44;
atau

(c) dimana informasi yang diberikan kepada otoritas


pabean dari Pihak pengimpor sesuai dengan Pasal
43 atau 44, tidak cukup untuk membuktikan bahwa
barang tersebut memenuhi syarat sebagai barang
asal dari Pihak pengekspor.

4. Setelah melakukan prosedur yang diuraikan dalam Pasal


43 atau 44 tergantung kasusnya, otoritas pabean dari Pihak
pengimpor harus memberikan penetapan tertulis kepada
otoritas pemerintah yang berwenang dari Pihak pengekspor
apakah barang tersebut memenuhi syarat atau tidak sebagai
barang asal dari Pihak pengekspor, termasuk temuan fakta.
dan dasar hukum penetapannya. Pejabat pemerintah yang
berwenang dari Pihak pengekspor wajib menginformasikan
penetapan tersebut oleh otoritas pabean dari Pihak
pengimpor kepada eksportir, atau produsen barang di Pihak
pengekspor, yang tempat-tempatnya menjadi sasaran kunjungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.

Pasal 46
Kerahasiaan

1. Setiap Pihak wajib menjaga, sesuai dengan hukum dan


peraturannya, kerahasiaan informasi yang diberikan
kepadanya sebagai rahasia menurut Bab ini, dan harus
melindungi informasi tersebut dari pengungkapan yang dapat
merugikan posisi kompetitif orang yang memberikan informasi
tersebut.

2. Informasi yang diperoleh oleh otoritas pabean dari


Pihak pengimpor sesuai dengan Bab ini:

(a) hanya dapat digunakan oleh otoritas


tersebut untuk tujuan Bab ini; dan

(b) tidak boleh digunakan oleh Pihak pengimpor dalam


setiap proses pidana yang dilakukan oleh
pengadilan atau hakim, kecuali informasi tersebut
diminta kepada Pihak pengekspor dan diberikan
kepada Pihak pengimpor, melalui saluran
diplomatik atau saluran lain yang dibentuk sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. hukum Pihak
pengekspor.

42
Pasal 47
Hukuman dan Tindakan terhadap Pernyataan Palsu
1. Setiap Pihak wajib menetapkan atau mempertahankan,
sesuai dengan undang-undang dan peraturannya, hukuman yang
sesuai atau sanksi lain terhadap eksportirnya kepada siapa
sertifikat asal telah diterbitkan dan produsen barang di
Pihak pengekspor sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf
7(b) Pasal 41, untuk memberikan pernyataan atau dokumen
palsu kepada pejabat pemerintah yang berwenang dari Pihak
pengekspor atau yang ditunjuknya sebelum penerbitan surat
keterangan asal.

2. Setiap Pihak wajib, sesuai dengan peraturan perundang-


undangannya, mengambil tindakan yang dianggap tepat
terhadap eksportirnya yang kepadanya sertifikat asal telah
diterbitkan dan produsen barang di Pihak pengekspor
sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf 7(b) Pasal 41,
karena tidak memberitahukan secara tertulis kepada pejabat
pemerintah yang berwenang dari Pihak pengekspor atau yang
ditunjuknya tanpa penundaan setelah mengetahui, setelah
diterbitkannya sertifikat asal, bahwa barang tersebut tidak
memenuhi syarat sebagai barang asal dari Pihak pengekspor.

Pasal 48 Lain-
lain

1. Komunikasi antara Pihak pengimpor dan Pihak pengekspor


harus dilakukan dalam bahasa Inggris.

2. Untuk penerapan aturan khusus produk terkait yang


ditetapkan dalam Lampiran 2 dan penentuan asal, Prinsip
Akuntansi yang Berlaku Umum di Pihak pengekspor harus
diterapkan.

Pasal 49
Sub-Komite Aturan Asal
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Negara Asal (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-Komite”) yang
dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan membuat rekomendasi yang sesuai,


sebagaimana diperlukan, kepada Komite Bersama
tentang:

(i) pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini;

(ii) setiap amandemen terhadap Lampiran 2 atau


3, yang diusulkan oleh salah satu Pihak;
dan

43
(iii) Tata Cara Pelaksanaan Ketentuan Asal
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50;

(b) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab


ini;

(c) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(d) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Pasal 50
Prosedur Operasional Aturan Asal
Pada tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini, Komite
Bersama wajib mengadopsi Prosedur Operasional Negara Asal
yang memberikan peraturan rinci sesuai dengan otoritas
pabean, otoritas pemerintah yang kompeten dan otoritas
terkait lainnya dari Para Pihak akan melaksanakan fungsi
mereka di bawah Bab ini.

Bab 4 Prosedur
Kepabeanan

Pasal 51
Ruang Lingkup

1. Bab ini akan berlaku untuk prosedur kepabeanan


yang diperlukan untuk pengurusan barang yang
diperdagangkan antara Para Pihak.

2. Bab ini wajib dilaksanakan oleh Para Pihak sesuai


dengan hukum dan peraturan masing-masing Pihak dan dalam
kompetensi dan sumber daya yang tersedia dari otoritas
pabean masing-masing.

Pasal 52
Pengertian

Untuk tujuan Bab ini, istilah "hukum kepabeanan"


berarti ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang
berkaitan dengan impor, ekspor, pergerakan atau
penyimpanan barang, yang administrasi dan pelaksanaannya
secara khusus dibebankan kepada otoritas pabean dari
masing-masing Pihak, dan setiap peraturan yang dibuat oleh
otoritas pabean dari masing-masing Pihak di bawah kekuatan
hukumnya.

44
Pasal 53
Transparansi

1. Setiap Pihak harus memastikan bahwa semua informasi


yang relevan dari penerapan umum yang berkaitan dengan
undang-undang kepabeannya tersedia untuk umum.

2. Ketika informasi yang telah tersedia harus diubah


karena perubahan dalam undang-undang kepabeannya, masing-
masing Pihak harus berusaha untuk membuat informasi yang
direvisi tersedia cukup sebelum berlakunya perubahan untuk
memungkinkan orang-orang yang berkepentingan untuk
memperhitungkannya, kecuali pemberitahuan sebelumnya
dihalangi.

3. Setiap Pihak wajib, bilamana sesuai, memberikan,


secepat dan seakurat mungkin, informasi yang berkaitan
dengan masalah kepabeanan khusus yang diajukan oleh setiap
orang yang berkepentingan dari Para Pihak dan berkaitan
dengan undang-undang kepabeannya. Pihak tersebut akan
berusaha untuk memberikan informasi terkait lainnya yang
dianggapnya harus diketahui oleh orang yang berkepentingan.

Pasal 54 Bea Cukai

1. Kedua Pihak wajib menerapkan prosedur pabean


masing-masing dengan cara yang dapat diprediksi,
konsisten dan transparan.

2. Untuk pencapaian tujuan ayat 1, masing-masing Pihak


harus:

(a) memanfaatkan teknologi informasi dan


komunikasi;

(b) menyederhanakan prosedur kepabeannya;

(c) menyelaraskan prosedur kepabeannya, sejauh


mungkin, dengan standar internasional yang
relevan dan praktik yang direkomendasikan
seperti yang dilakukan di bawah naungan Dewan
Kerjasama Kepabeanan; dan

(d) mempromosikan kerjasama, bilamana sesuai,


antara otoritas pabean dan:

(i) otoritas nasional lainnya dari Pihak; dan

(ii) komunitas perdagangan Partai.

45
3. Setiap Pihak wajib memberikan kepada pihak-pihak yang
terkena dampak proses tinjauan administratif dan peradilan
yang dapat diakses sehubungan dengan tindakan mengenai
masalah kepabeanan yang diambil oleh Pihak tersebut.

Pasal 55
Kerjasama dan Pertukaran Informasi
1. Para Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi
satu sama lain, di bidang prosedur kepabeanan, termasuk
penegakannya terhadap perdagangan barang yang dibatasi
dan dilarang serta impor dan ekspor barang yang diduga
melanggar hak kekayaan intelektual.

2. Kerja sama dan pertukaran informasi tersebut wajib


dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Perjanjian
Pelaksanaan.

Pasal 56
Sub-Komite Tata Cara Kepabeanan
1. Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite tentang Prosedur
Kepabeanan (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai
“Sub-Komite”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau pelaksanaan dan pengoperasian Bab


ini;

(b) mengidentifikasi bidang-bidang, yang berkaitan


dengan Bab ini, untuk ditingkatkan guna
memfasilitasi perdagangan antara Para Pihak;

(c) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(d) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

2. Selanjutnya pada ayat 2 Pasal 15, komposisi Sub-Komite


akan ditentukan dalam Perjanjian Pelaksanaan.

46
Bab 5 Investasi

Pasal 57
Ruang Lingkup

1. Bab ini akan berlaku untuk tindakan yang


diadopsi atau dipertahankan oleh suatu Pihak terkait
dengan:

(a) penanam modal Pihak lain; dan

(b) penanaman modal dari para penanam modal Pihak


lainnya di Wilayah Pihak sebelumnya.

2. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara Bab ini dan


Bab 6:

(a) sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam


Pasal 59,
60 dan 63, Bab 6 akan berlaku sejauh
inkonsistensi; dan

(b) sehubungan dengan hal-hal yang tidak termasuk


dalam sub-ayat (a), Bab ini akan berlaku sejauh
inkonsistensi.

3. Bab ini tidak berlaku untuk tindakan-tindakan yang


mempengaruhi pergerakan orang perseorangan dari suatu
Pihak.

Pasal 58 Definisi

Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah "perusahaan" berarti setiap badan hukum


atau badan lainnya yang didirikan atau
diorganisasikan berdasarkan hukum dan peraturan
yang berlaku, baik untuk mencari keuntungan atau
sebaliknya, dan apakah dimiliki atau
dikendalikan oleh swasta atau dimiliki atau
dikendalikan oleh pemerintah, termasuk setiap
perusahaan, perwalian, kemitraan , usaha
patungan, kepemilikan tunggal, organisasi atau
perusahaan;

(b) sebuah perusahaan adalah:

(i) “dimiliki” oleh penanam modal jika lebih


dari 50 persen kepentingan ekuitas di
dalamnya dimiliki secara menguntungkan
oleh penanam modal; dan

(ii) “dikuasai” oleh investor jika investor


memiliki kekuasaan untuk menunjuk mayoritas
direkturnya atau secara hukum mengarahkan
tindakannya;

47
(c) istilah "perusahaan dari Pihak lain" berarti
suatu perusahaan yang didirikan atau diorganisir
berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku dari
Pihak lainnya;

(d) istilah "jasa keuangan" berarti jasa keuangan


sebagaimana didefinisikan dalam sub-paragraf
2(a)(i) Bagian 1 dari Lampiran 7;

(e) istilah "mata uang yang dapat ditukar secara


bebas" berarti mata uang yang, pada
kenyataannya, digunakan secara luas untuk
melakukan pembayaran untuk transaksi
internasional dan diperdagangkan secara luas di
pasar pertukaran utama;

(f) istilah "investasi" berarti setiap jenis aset


yang diinvestasikan oleh investor, sesuai dengan
hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk,
meskipun tidak eksklusif:

(i) suatu perusahaan dan cabang dari suatu


perusahaan;

(ii) saham, saham atau bentuk penyertaan modal


lainnya dalam suatu perusahaan, termasuk
hak-hak yang berasal darinya;

(iii) obligasi, surat utang, pinjaman dan bentuk


utang lainnya, termasuk hak-hak yang
berasal darinya;

(iv) hak berdasarkan kontrak, termasuk kontrak


turnkey, konstruksi, manajemen, produksi
atau bagi hasil;

(v) klaim atas uang dan klaim atas


kinerja apa pun berdasarkan kontrak
yang memiliki nilai finansial;

(vi) hak kekayaan intelektual, termasuk hak


cipta, hak paten dan hak yang berkaitan
dengan model utilitas, merek dagang, desain
industri, desain tata letak sirkuit
terpadu, varietas tanaman baru, nama
dagang, indikasi sumber atau indikasi
geografis dan informasi yang tidak
diungkapkan;

(vii) hak yang diberikan berdasarkan undang-


undang dan peraturan atau kontrak seperti
konsesi, lisensi, otorisasi dan izin; dan

48
(viii) setiap properti berwujud dan tidak
berwujud, bergerak dan tidak bergerak
lainnya, dan setiap hak properti terkait,
seperti sewa, hipotek, hak gadai dan gadai;

Catatan 1: Investasi juga mencakup jumlah yang


dihasilkan oleh investasi, khususnya, laba,
bunga, keuntungan modal, dividen, royalti,
dan biaya. Perubahan bentuk di mana aset
diinvestasikan tidak mempengaruhi karakter
mereka sebagai investasi.

Catatan 2: Untuk tujuan sub-paragraf (ii) dan (iii),


suatu Pihak dapat, atas dasar non-
diskriminatif, mengecualikan investasi
portofolio yang ditentukan dengan menggunakan
kriteria non-diskriminatif dan objektif yang
diadopsi oleh Pihak tersebut.

(g) istilah "kegiatan investasi" berarti pendirian,


perolehan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan,
pengoperasian, pemeliharaan, penggunaan,
penikmatan dan penjualan atau disposisi investasi
lainnya;

(h) istilah "penanaman modal Pihak lain" berarti


warga negara atau perusahaan dari Pihak
lainnya;

(i) istilah "warga negara Pihak lain" berarti


orang perseorangan yang memiliki
kewarganegaraan Pihak lain sesuai dengan hukum
dan peraturan yang berlaku di Pihak lainnya;

(j) istilah "Konvensi New York" berarti Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengakuan
dan Penegakan Putusan Arbitrase Asing,
dilakukan di New York, 10 Juni 1958; dan

(k) istilah "transfer" berarti transfer dan


pembayaran internasional.
Pasal 59 Perlakuan
Nasional

1. Masing-masing Pihak harus memberikan kepada penanam


modal dari Pihak lainnya dan perlakuan penanaman modal
mereka yang tidak kurang menguntungkan daripada perlakuan
yang diberikan dalam keadaan yang sama kepada penanam
modalnya sendiri dan penanaman modal mereka sehubungan
dengan kegiatan penanaman modal.

49
2. Menyimpang dari ayat 1, masing-masing Pihak dapat
menetapkan formalitas khusus sehubungan dengan kegiatan
investasi penanam modal Pihak lainnya di Wilayahnya, dengan
ketentuan bahwa formalitas tersebut tidak secara material
merusak perlindungan yang diberikan oleh Pihak sebelumnya
kepada penanam modal Pihak lainnya dan investasi mereka.
sesuai dengan Bab ini.

Pasal 60
Perawatan Bangsa Terfavorit
Masing-masing Pihak harus memberikan kepada penanam
modal dari Pihak lainnya dan perlakuan penanaman modal
mereka yang tidak kurang menguntungkan daripada perlakuan
yang diberikan dalam keadaan yang sama kepada penanam modal
dari suatu Pihak dan penanaman modal mereka sehubungan
dengan kegiatan penanaman modal.

Pasal 61
Perlakuan Umum

Masing-masing Pihak wajib memberikan kepada penanam


modal dari Pihak lainnya perlakuan yang adil dan setara
serta perlindungan dan keamanan penuh.

Pasal 62
Akses ke Pengadilan
Setiap Pihak di Wilayahnya akan memberikan kepada
penanam modal dari Pihak lainnya perlakuan yang tidak
kurang menguntungkan daripada yang diberikan dalam keadaan
yang sama kepada penanam modalnya sendiri atau penanam
modal dari suatu non-Pihak, sehubungan dengan akses ke
pengadilan dan pengadilan administratif serta badan-
badannya. di semua tingkat yurisdiksi, baik dalam mengejar
dan membela hak-hak investor tersebut.

Pasal 63
Larangan Persyaratan Kinerja
1. Tidak ada Pihak yang akan memaksakan atau
memberlakukan persyaratan berikut, sehubungan dengan
kegiatan penanaman modal di Wilayahnya dari penanam modal
Pihak lainnya:

(a) untuk mengekspor suatu tingkat atau persentase


tertentu dari barang atau jasa;

(b) untuk mencapai tingkat atau persentase


tertentu dari kandungan dalam negeri;

(c) untuk membeli, menggunakan atau memberikan


preferensi pada barang yang diproduksi atau jasa
yang disediakan di Areanya, atau untuk membeli
barang atau jasa dari perorangan atau badan
hukum atau entitas lain di Areanya;

50
(d) untuk menghubungkan dengan cara apapun volume
atau nilai impor dengan volume atau nilai ekspor
atau dengan jumlah arus masuk valuta asing yang
terkait dengan investasi penanam modal;

(e) untuk membatasi penjualan barang atau jasa di


Wilayahnya yang dihasilkan atau disediakan oleh
investasi penanam modal dengan menghubungkan
penjualan tersebut dengan cara apa pun dengan
volume atau nilai ekspornya atau pendapatan
valuta asingnya;

(f) untuk menunjuk, sebagai eksekutif atau anggota


dewan direksi, individu dari kebangsaan
tertentu;

(g) untuk menempatkan kantor pusat penanam modal


untuk wilayah tertentu atau pasar dunia di
Wilayahnya;

(h) untuk mencapai tingkat atau nilai tertentu dari


penelitian dan pengembangan di Wilayahnya; atau

(i) untuk memasok ke wilayah tertentu atau pasar


dunia secara eksklusif dari Wilayahnya, satu
atau lebih barang yang diproduksi oleh penanam
modal atau jasa yang diberikan oleh penanam
modal.

2. Paragraf 1 tidak menghalangi salah satu Pihak untuk


mengkondisikan penerimaan atau penerimaan lanjutan atas
suatu keuntungan, sehubungan dengan kegiatan penanaman
modal di Wilayahnya dari seorang penanam modal Pihak
lainnya, dengan memenuhi salah satu persyaratan yang
ditetapkan dalam sub-ayat 1 (g) melalui (saya).

Pasal 64 Reservasi dan Pengecualian

1. Pasal 59, 60 dan 63 tidak berlaku untuk:

(a) setiap tindakan yang tidak sesuai yang


dipertahankan oleh berikut ini pada tanggal
berlakunya Persetujuan ini, sehubungan dengan
sektor-sektor atau hal-hal yang ditentukan dalam
Lampiran 4:

(i) pemerintah pusat suatu Pihak; atau

(ii) provinsi Indonesia atau prefektur Jepang;

(b) setiap tindakan yang tidak sesuai yang dikelola


oleh pemerintah daerah selain provinsi dan
prefektur sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat
(a)(ii) pada tanggal berlakunya Persetujuan ini;

51
(c) kelanjutan atau pembaruan segera dari setiap
tindakan yang tidak sesuai sebagaimana dimaksud
dalam sub-paragraf
(a) dan (b); atau
(d) amandemen atau modifikasi untuk setiap tindakan
yang tidak sesuai sebagaimana dimaksud dalam
sub-paragraf
(a) dan (b), asalkan amandemen atau modifikasi
tidak mengurangi kesesuaian tindakan, seperti
yang ada segera sebelum amandemen atau
modifikasi, dengan Pasal 59, 60 dan 63.

2. Masing-masing Pihak wajib, pada tanggal mulai


berlakunya Persetujuan ini, memberitahukan Pihak lainnya
informasi berikut tentang tindakan yang tidak sesuai
sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf 1(a):

(a) sektor atau hal, sehubungan dengan tindakan


yang dipertahankan;

(b) kode klasifikasi industri domestik atau


internasional, jika dapat diterapkan, yang
terkait dengan tindakan tersebut;

(c) tingkat pemerintah yang mempertahankan ukuran


tersebut;

(d) kewajiban berdasarkan Perjanjian ini yang tidak


sesuai dengan tindakan tersebut;

(e) sumber hukum dari tindakan tersebut; dan

(f) deskripsi singkat tentang tindakan tersebut.

3. Pasal 59, 60 dan 63 tidak berlaku untuk tindakan apa


pun yang diadopsi atau dipertahankan oleh suatu Pihak
sehubungan dengan sektor-sektor atau hal-hal yang
ditentukan dalam Lampiran 5.

4. Apabila suatu Pihak mempertahankan tindakan yang tidak


sesuai pada tanggal berlakunya Persetujuan ini sehubungan
dengan sektor-sektor atau hal-hal yang ditentukan dalam
Lampiran 5, Pihak tersebut harus, pada tanggal yang sama,
memberi tahu Pihak lainnya tentang informasi berikut
tentang ukuran:

(a) sektor atau hal, sehubungan dengan tindakan


yang dipertahankan;

(b) kode klasifikasi industri domestik atau


internasional, jika dapat diterapkan, yang
terkait dengan tindakan tersebut;

52
(c) kewajiban berdasarkan Perjanjian ini yang tidak
sesuai dengan tindakan tersebut;

(d) sumber hukum dari tindakan tersebut; dan


(e) deskripsi singkat tentang tindakan tersebut.

5. Tidak satu pun Pihak, berdasarkan tindakan apa pun


yang diambil setelah tanggal berlakunya Persetujuan ini
sehubungan dengan sektor-sektor atau hal-hal yang
disebutkan dalam Lampiran 5, mewajibkan penanam modal dari
Pihak lainnya, dengan alasan kewarganegaraannya, untuk
menjual atau dengan cara lain melepaskan investasi yang ada
pada saat tindakan tersebut menjadi efektif, kecuali
ditentukan lain dalam persetujuan awal oleh otoritas
terkait.

6. Dalam kasus di mana suatu Pihak membuat amandemen atau


modifikasi untuk setiap tindakan yang tidak sesuai yang
diberitahukan sesuai dengan paragraf 2 atau 4, atau di mana
suatu Pihak mengadopsi tindakan baru sehubungan dengan
sektor atau hal-hal yang ditentukan dalam Lampiran 5,
setelah tanggal masuk berlakunya Persetujuan ini, Pihak
harus, sesegera mungkin:

(a) memberi tahu Pihak lain tentang informasi


terperinci tentang amandemen, modifikasi, atau
tindakan baru tersebut; dan

(b) menanggapi, atas permintaan Pihak lainnya,


pertanyaan spesifik dari Pihak lain sehubungan
dengan amandemen, modifikasi atau tindakan baru
tersebut.

7. Setiap Pihak wajib berusaha, jika perlu, untuk


mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang tidak
sesuai yang diadopsi atau dipertahankan sehubungan dengan
sektor-sektor atau hal-hal yang ditentukan masing-masing
dalam Lampiran 4 dan 5.

8. Pasal 59 dan 60 tidak berlaku untuk tindakan apa pun


yang tercakup dalam pengecualian, atau pengurangan dari,
kewajiban berdasarkan Pasal 3 dan 4 Perjanjian TRIPS,
sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 3 sampai 5
Perjanjian TRIPS.

9. Pasal 59, 60 dan 63 tidak berlaku untuk tindakan apa


pun yang diadopsi atau dipertahankan oleh suatu Pihak
sehubungan dengan pengadaan pemerintah.

53
Pasal 65
Pengambilalihan dan Kompensasi

1. Masing-masing Pihak tidak boleh mengambil alih atau


menasionalisasi penanaman modal di Wilayahnya dari penanam
modal Pihak lain atau mengambil tindakan apa pun yang sama
dengan pengambilalihan atau nasionalisasi (selanjutnya
disebut dalam Bab ini sebagai "pengambilalihan") kecuali:

(a) untuk tujuan umum;

(b) atas dasar non-diskriminatif;

(c) sesuai dengan proses hukum dan Pasal 61; dan


(d) setelah pembayaran kompensasi yang cepat,
memadai dan efektif sesuai dengan paragraf 2
sampai 4.

2. Kompensasi harus setara dengan nilai pasar wajar dari


investasi yang diambil alih pada saat pengambilalihan
diumumkan kepada publik atau pada saat pengambilalihan
terjadi, mana yang lebih dulu. Nilai pasar wajar tidak
mencerminkan perubahan nilai pasar yang terjadi karena
pengambilalihan telah diketahui publik sebelumnya.

3. Kompensasi harus dibayarkan tanpa penundaan dan harus


termasuk bunga pada tingkat yang wajar secara komersial
dengan mempertimbangkan lamanya waktu dari waktu
pengambilalihan sampai waktu pembayaran. Ini harus dapat
direalisasikan secara efektif dan dapat dipindahtangankan
secara bebas dan harus dapat dikonversi secara bebas, pada
nilai tukar pasar yang berlaku pada tanggal
pengambilalihan, ke dalam mata uang Pihak penanam modal
yang bersangkutan dan mata uang yang dapat ditukar secara
bebas.

4. Tanpa mengurangi Pasal 69, penanam modal yang


terkena pengambilalihan harus memiliki hak akses ke
pengadilan atau pengadilan administratif atau lembaga
Pihak yang melakukan pengambilalihan untuk meminta
peninjauan segera atas kasus penanam modal dan jumlah
kompensasi dalam sesuai dengan prinsip-prinsip yang
diatur dalam Pasal ini.

54
Pasal 66
Perlindungan dari Perselisihan

1. Setiap Pihak harus memberikan kepada penanam modal


dari Pihak lainnya yang telah menderita kerugian atau
kerusakan yang berkaitan dengan penanaman modal mereka di
Wilayah Pihak sebelumnya karena konflik bersenjata atau
keadaan darurat seperti revolusi, pemberontakan, gangguan
sipil atau peristiwa serupa lainnya di Wilayah Pihak
sebelumnya, perlakuan, sehubungan dengan restitusi, ganti
rugi, kompensasi atau penyelesaian lainnya, yang tidak
kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada penanam
modalnya sendiri atau penanam modal dari bukan Pihak.

2. Setiap pembayaran sebagai sarana penyelesaian


sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dapat
direalisasikan secara efektif, dapat dialihkan secara
bebas dan dapat dikonversi secara bebas pada nilai tukar
pasar ke dalam mata uang Pihak penanam modal yang
bersangkutan dan mata uang yang dapat ditukar secara
bebas.

Pasal 67 Transfer

1. Masing-masing Pihak harus memastikan bahwa semua


transfer yang berkaitan dengan penanaman modal di
Wilayahnya dari seorang penanam modal Pihak lain dapat
dilakukan secara bebas ke dalam dan ke luar Wilayahnya
tanpa penundaan. Transfer tersebut harus mencakup transfer
dari:

(a) modal awal dan jumlah tambahan untuk


mempertahankan atau meningkatkan investasi;

(b) keuntungan, keuntungan modal, dividen,


royalti, bunga, biaya dan pendapatan lancar
lainnya yang diperoleh dari investasi;

(c) hasil dari seluruh atau sebagian penjualan


atau likuidasi investasi;

(d) pembayaran yang dilakukan berdasarkan kontrak


termasuk pembayaran pinjaman sehubungan
dengan investasi;

(e) penghasilan dan remunerasi personel dari Pihak


lain yang bekerja sehubungan dengan penanaman
modal di Wilayah Pihak sebelumnya;

(f) pembayaran yang dilakukan sesuai dengan Pasal 65


dan 66; dan

(g) pembayaran yang timbul dari penyelesaian


sengketa berdasarkan Pasal 69.
2. Masing-masing Pihak selanjutnya harus memastikan
bahwa transfer tersebut dapat dilakukan dalam mata uang
55
yang dapat ditukar secara bebas dengan nilai tukar pasar
yang berlaku pada tanggal setiap transfer.

3. Menyimpang dari paragraf 1 dan 2, suatu Pihak dapat


menunda atau mencegah transfer tersebut melalui penerapan
hukumnya yang adil, non-diskriminatif dan dengan itikad
baik yang berkaitan dengan:

(a) kepailitan, kepailitan atau perlindungan hak-


hak kreditur;

(b) menerbitkan, memperdagangkan atau menangani


sekuritas;

(c) tindak pidana atau pidana; atau

(d) memastikan kepatuhan dengan perintah atau


penilaian dalam proses peradilan.

Pasal 68
Subrogasi

1. Jika suatu Pihak atau agen yang ditunjuknya melakukan


pembayaran kepada salah satu penanam modalnya berdasarkan
ganti rugi, jaminan atau kontrak asuransi yang diberikan
sehubungan dengan penanaman modal penanam modal tersebut di
dalam Wilayah Pihak lainnya, Pihak lainnya harus:

(a) mengakui pengalihan, kepada Pihak sebelumnya


atau agen yang ditunjuknya, setiap hak atau
tuntutan penanam modal yang menjadi dasar
pembayaran tersebut; dan

(b) mengakui hak Pihak sebelumnya atau lembaga


yang ditunjuknya untuk menggunakan hak atau
tuntutan subrogasi tersebut pada tingkat yang
sama dengan hak atau tuntutan awal penanam
modal.

2. Pasal 65 sampai 67 berlaku mutatis mutandis sehubungan


dengan pembayaran yang harus dilakukan kepada Pihak atau
agen yang ditunjuknya yang disebutkan dalam ayat 1
berdasarkan pengalihan hak atau klaim tersebut, dan
pengalihan pembayaran tersebut.

56
Pasal 69
Penyelesaian Sengketa Investasi
antara suatu Pihak dan Penanam Modal dari Pihak Lain
1. Untuk tujuan Bab ini, “sengketa investasi” adalah
perselisihan antara suatu Pihak dan penanam modal dari
Pihak lainnya yang telah menimbulkan kerugian atau
kerusakan karena, atau timbul dari, dugaan pelanggaran
kewajiban berdasarkan Perjanjian ini dengan menghormati
investor dan investasinya.

2. Sengketa penanaman modal sedapat mungkin diselesaikan


secara damai melalui konsultasi atau perundingan antara
penanam modal yang merupakan pihak dalam sengketa penanaman
modal (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “penanam
modal yang bersengketa”) dan Pihak yang merupakan pihak
dalam sengketa penanaman modal tersebut. sengketa penanaman
modal (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Pihak
yang bersengketa”).

3. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang dapat


ditafsirkan untuk mencegah penanam modal yang bersengketa
untuk mencari penyelesaian administratif atau yudisial di
dalam Pihak yang bersengketa sesuai dengan hukum dan
peraturan dari Pihak yang bersengketa.

4. Jika sengketa penanaman modal tidak dapat diselesaikan


melalui konsultasi atau perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 dalam waktu lima bulan sejak tanggal penanam
modal yang bersengketa meminta konsultasi atau perundingan
secara tertulis dan penanam modal yang bersengketa belum
mengajukan sengketa penanaman modal untuk diselesaikan di
pengadilan. pengadilan atau badan-badan peradilan atau
administratif, penanam modal yang bersengketa dapat
mengajukan sengketa penanaman modal ke salah satu
konsiliasi atau arbitrase internasional berikut:

(a) konsiliasi atau arbitrase sesuai dengan Konvensi


Penyelesaian Sengketa Investasi antara Negara dan
Warga Negara dari Negara Lain (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “Konvensi
ICSID”), selama Konvensi ICSID berlaku antara
Para Pihak;

(b) konsiliasi atau arbitrase berdasarkan Aturan


Fasilitas Tambahan dari Pusat Internasional untuk
Penyelesaian Sengketa Investasi, selama Konvensi
ICSID tidak berlaku di antara Para Pihak;

(c) arbitrase di bawah Aturan Arbitrase Komisi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Perdagangan Internasional, diadopsi oleh Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Perdagangan Internasional pada tanggal 28 April
1976; dan

57
(d) jika disepakati dengan Pihak yang bersengketa,
arbitrase apapun sesuai dengan aturan arbitrase
lainnya.

5. Aturan konsiliasi atau arbitrase yang berlaku akan


mengatur konsiliasi atau arbitrase yang ditetapkan dalam
ayat 4 kecuali sejauh diubah dalam Pasal ini.

6. Penanam modal yang berselisih yang bermaksud untuk


mengajukan sengketa penanaman modal ke konsiliasi atau
arbitrase sesuai dengan ayat 4 harus memberikan
pemberitahuan tertulis kepada Pihak yang berselisih
tentang niat untuk melakukannya selambat-lambatnya 90 hari
sebelum sengketa penanaman modal diajukan. Pemberitahuan
niat harus menentukan:

(a) nama dan alamat penanam modal yang bersengketa;

(b) langkah-langkah khusus dari Pihak yang


bersengketa yang dipermasalahkan dan ringkasan
singkat tentang dasar faktual dan hukum dari
sengketa penanaman modal yang cukup untuk
menyajikan masalah dengan jelas, termasuk
ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian ini yang
diduga telah dilanggar; dan

(c) konsiliasi atau arbitrase sebagaimana


dimaksud dalam ayat 4 yang akan dipilih oleh
penanam modal yang bersengketa.

7. (a) Masing-masing Pihak dengan ini menyetujui


pengajuan sengketa penanaman modal oleh penanam
modal yang bersengketa kepada konsiliasi atau
arbitrase yang diatur dalam ayat 4.

(b) Persetujuan yang diberikan oleh sub-ayat (a) dan


pengajuan oleh penanam modal yang bersengketa
tentang sengketa penanaman modal ke konsiliasi
atau arbitrase harus memenuhi persyaratan:

(i) Bab II Konvensi ICSID atau Aturan Fasilitas


Tambahan dari Pusat Internasional untuk
Penyelesaian Sengketa Investasi, untuk
persetujuan tertulis dari para pihak yang
bersengketa; dan

(ii) Pasal II Konvensi New York untuk persetujuan


tertulis.

58
8. Menyimpang dari paragraf 7, tidak ada sengketa
penanaman modal yang dapat diajukan ke konsiliasi atau
arbitrase yang ditetapkan dalam paragraf 4, jika lebih dari
tiga tahun telah berlalu sejak tanggal investor yang
bersengketa memperoleh atau seharusnya pertama kali
memperoleh, mana yang lebih dulu, pengetahuan bahwa penanam
modal yang bersengketa telah mengalami kerugian atau
kerusakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

9. Menyimpang dari paragraf 4, penanam modal yang


bersengketa dapat memulai atau melanjutkan suatu
tindakan yang meminta ganti rugi sementara yang tidak
melibatkan pembayaran ganti rugi di hadapan pengadilan
atau badan administratif atau pengadilan menurut hukum
Pihak yang bersengketa.

10. Kecuali penanam modal yang bersengketa dan Pihak yang


bersengketa (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai
“para pihak yang bersengketa”) menyepakati lain, suatu
majelis arbitrase yang dibentuk berdasarkan ayat 4 akan
terdiri dari tiga arbiter, satu arbiter yang ditunjuk oleh
masing-masing pihak yang berselisih dan yang ketiga, yang
akan menjadi ketua arbiter, yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan para pihak yang bersengketa. Jika penanam modal
yang bersengketa atau Pihak yang bersengketa gagal untuk
menunjuk seorang arbiter atau para arbiter dalam waktu 60
hari sejak tanggal sengketa penanaman modal diajukan ke
arbitrase, Sekretaris Jenderal Pusat Internasional untuk
Penyelesaian Perselisihan Investasi (selanjutnya disebut
dalam Pasal sebagai “ICSID”), dapat diminta oleh salah satu
pihak yang bersengketa,

11. Kecuali para pihak yang bersengketa menyetujui


sebaliknya, arbiter ketiga tidak boleh warga negara salah
satu Pihak, juga tidak memiliki tempat tinggalnya yang
biasa di salah satu Pihak, atau dipekerjakan oleh salah
satu pihak yang bersengketa, atau tidak pernah menangani
sengketa investasi di kapasitas apapun.

12. Dalam hal arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat 4,


masing-masing pihak yang bersengketa dapat menunjukkan
hingga tiga kebangsaan, penunjukan arbiter yang tidak dapat
diterima olehnya. Dalam hal ini, Sekretaris Jenderal ICSID
dapat diminta untuk tidak menunjuk sebagai arbiter siapa
pun yang kewarganegaraannya ditunjukkan oleh salah satu
pihak yang bersengketa.

13. Kecuali para pihak yang bersengketa menyetujui


sebaliknya, arbitrase akan diadakan di negara yang
merupakan pihak dalam Konvensi New York.

59
14. Suatu pengadilan arbitrase yang dibentuk berdasarkan
ayat 4 akan memutuskan masalah yang disengketakan sesuai
dengan Persetujuan ini dan aturan hukum internasional yang
berlaku.

15. Pihak yang bersengketa harus menyampaikan kepada Pihak


lainnya:

(a) pemberitahuan tertulis tentang sengketa


penanaman modal yang diajukan ke arbitrase
selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal
sengketa penanaman modal diajukan; dan

(b) salinan semua pembelaan yang diajukan dalam


arbitrase.

16. Dengan pemberitahuan tertulis kepada para pihak yang


bersengketa, Pihak yang bukan merupakan Pihak yang
bersengketa dapat mengajukan kepada majelis arbitrase
mengenai pertanyaan tentang penafsiran Perjanjian ini.

17. Majelis arbitrase dapat memerintahkan tindakan


perlindungan sementara untuk melindungi hak investor yang
bersengketa, atau untuk memfasilitasi pelaksanaan proses
arbitrase, termasuk perintah untuk menyimpan bukti yang
dimiliki atau dikendalikan oleh salah satu pihak yang
bersengketa. Majelis arbitrase tidak akan memerintahkan
lampiran atau melarang penerapan tindakan yang diduga
merupakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

18. Putusan yang diberikan oleh majelis arbitrase


harus mencakup:

(a) keputusan apakah telah terjadi pelanggaran atau


tidak oleh Pihak yang bersengketa atas kewajiban
apa pun berdasarkan Perjanjian ini sehubungan
dengan investor yang bersengketa dan
investasinya; dan

(b) pemulihan jika telah terjadi pelanggaran


tersebut. Pemulihan harus dibatasi pada salah
satu atau kedua hal berikut:

(i) pembayaran ganti rugi moneter dan bunga


yang berlaku; dan

(ii) restitusi properti, dalam hal ini putusan


harus menetapkan bahwa Pihak yang
bersengketa dapat membayar ganti rugi
moneter dan setiap bunga yang berlaku
sebagai pengganti restitusi.

Biaya juga dapat diberikan sesuai dengan aturan


arbitrase yang berlaku.

60
19. Putusan yang diberikan sesuai dengan ayat 18 bersifat
final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Pihak yang
berselisih harus segera melaksanakan ketentuan-ketentuan
putusan dan menyediakan di Wilayahnya untuk pelaksanaan
putusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
relevan.

20. Tidak ada Pihak yang akan memberikan perlindungan


diplomatik, atau mengajukan klaim internasional, sehubungan
dengan sengketa penanaman modal yang telah disetujui oleh
Pihak lainnya dan penanam modal dari Pihak sebelumnya untuk
diajukan atau diajukan ke arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam ayat 4, kecuali Pihak lainnya harus memiliki gagal
untuk mematuhi dan mematuhi putusan yang diberikan dalam
sengketa penanaman modal tersebut. Perlindungan diplomatik,
untuk tujuan paragraf ini, tidak termasuk pertukaran
diplomatik informal dengan tujuan semata-mata untuk
memfasilitasi penyelesaian sengketa penanaman modal.

21. Lampiran 6 memberikan ketentuan tambahan sehubungan


dengan penyelesaian sengketa penanaman modal.

Pasal 70 Tindakan
Pengamanan Sementara

1. Suatu Pihak dapat mengadopsi atau mempertahankan


tindakan yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan
Pasal 59 yang berkaitan dengan transaksi modal lintas
batas dan Pasal 67:

(a) dalam hal neraca pembayaran yang serius dan


kesulitan keuangan eksternal atau ancamannya;
atau

(b) dalam kasus di mana, dalam keadaan luar biasa,


pergerakan modal menyebabkan atau mengancam
menyebabkan kesulitan serius bagi manajemen
ekonomi makro khususnya, kebijakan moneter dan
nilai tukar.

2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam paragraf 1:

(a) harus konsisten dengan Pasal-pasal


Persetujuan Dana Moneter Internasional;

(b) tidak boleh melebihi yang diperlukan untuk


menangani keadaan yang ditetapkan dalam ayat 1;

(c) bersifat sementara dan dihilangkan segera


setelah kondisi memungkinkan; dan

(d) harus segera diberitahukan kepada Pihak lainnya.

61
3. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang dapat dianggap
mengubah hak yang dinikmati dan kewajiban yang dilakukan
oleh suatu Pihak sebagai pihak dalam Pasal-pasal
Persetujuan Dana Moneter Internasional.

Pasal 71 Tindakan
Kehati-hatian

1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lain dari Bab ini,


suatu Pihak tidak boleh dicegah untuk mengambil tindakan
yang berkaitan dengan jasa keuangan untuk alasan kehati-
hatian, termasuk tindakan untuk melindungi investor,
deposan, pemegang polis atau orang-orang yang kepadanya
kewajiban fidusia terutang oleh perusahaan pemasok jasa
keuangan, atau untuk menjamin integritas dan stabilitas
sistem keuangan.

2. Apabila tindakan tersebut tidak sesuai dengan


ketentuan Bab ini, tindakan tersebut tidak boleh digunakan
sebagai sarana untuk menghindari komitmen atau kewajiban
Pihak berdasarkan Bab ini.

Pasal 72
Penolakan Manfaat

1. Suatu Pihak dapat menolak manfaat Bab ini bagi penanam


modal dari Pihak lainnya yang merupakan perusahaan dari
Pihak lainnya dan terhadap penanaman modalnya, dimana Pihak
yang menyangkal tersebut menetapkan bahwa perusahaan
tersebut dimiliki atau dikendalikan oleh penanam modal dari
suatu Pihak dan bukan Pihak dan pihak yang menolak:

(a) tidak memelihara hubungan diplomatik dengan


bukan Pihak; atau

(b) mengadopsi atau mempertahankan langkah-langkah


sehubungan dengan non-Pihak yang melarang
transaksi dengan perusahaan atau yang akan
dilanggar atau dielakkan jika manfaat dari Bab
ini diberikan kepada perusahaan atau
investasinya.

2. Dengan tunduk pada pemberitahuan dan konsultasi


sebelumnya, suatu Pihak dapat menolak manfaat Bab ini bagi
penanam modal dari Pihak lainnya yang merupakan perusahaan
dari Pihak lainnya dan terhadap penanaman modalnya, di mana
Pihak yang menyangkal menetapkan bahwa perusahaan tersebut
dimiliki atau dikendalikan oleh suatu investor dari non-
Pihak dan perusahaan tidak memiliki kegiatan bisnis yang
substansial di Wilayah Pihak lainnya.

62
Pasal 73
Tindakan Perpajakan sebagai Pengambilalihan
1. Pasal 65 berlaku terhadap tindakan perpajakan,
sepanjang tindakan perpajakan tersebut merupakan
pengambilalihan sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 65.

2. Dimana Pasal 65 berlaku untuk tindakan perpajakan


sesuai dengan ayat 1, Pasal 62 dan 69 berlaku juga
sehubungan dengan tindakan perpajakan.

3. Menyimpang dari ayat 2, tidak ada penanam modal


yang dapat menggunakan Pasal 65 sebagai dasar sengketa
penanaman modal berdasarkan Pasal 69, di mana telah
ditentukan menurut ayat 4 bahwa tindakan perpajakan
bukanlah pengambilalihan.

4. Penanam modal harus merujuk masalah tersebut, pada


saat ia memberikan pemberitahuan tertulis tentang niat
berdasarkan paragraf 6 Pasal 69, kepada pejabat yang
berwenang dari kedua Pihak, melalui titik kontak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, untuk menentukan
apakah tindakan tersebut tidak sebuah pengambilalihan. Jika
pejabat yang berwenang dari kedua Pihak tidak
mempertimbangkan masalah tersebut atau, setelah
mempertimbangkannya, gagal untuk menentukan bahwa tindakan
tersebut bukan merupakan pengambilalihan dalam jangka waktu
lima bulan sejak penyerahan tersebut, penanam modal dapat
mengajukan sengketa penanaman modal ke konsiliasi atau
arbitrase berdasarkan Pasal 69.

5. Paragraf 2 sampai dengan 4 hanya berlaku untuk


tindakan perpajakan yang diambil dalam bentuk atau dalam
penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
diubah setelah berlakunya Persetujuan ini.

Catatan: Di Indonesia, tindakan perpajakan yang dimaksud


dalam ayat ini tidak termasuk tindakan yang
diambil oleh otoritas administrasi perpajakan
dalam penerapan peraturan perundang-undangan
terkait.

6. Untuk tujuan ayat 4, istilah "pejabat yang


berwenang" berarti:

(a) sehubungan dengan Jepang, Menteri Keuangan atau


wakilnya yang sah, yang akan mempertimbangkan
masalah tersebut dengan berkonsultasi dengan
Menteri Luar Negeri atau wakilnya yang sah; dan

(b) di Indonesia, Menteri Keuangan atau wakilnya


yang sah.

63
Pasal 74 Tindakan Lingkungan

Masing-masing Pihak mengakui bahwa tidak pantas


untuk mendorong investasi oleh investor dari Pihak
lainnya dengan melonggarkan langkah-langkah
lingkungannya. Untuk itu setiap Pihak tidak boleh
mengesampingkan atau dengan cara lain mengurangi
tindakan-tindakan lingkungan tersebut sebagai dorongan
untuk pendirian, akuisisi atau perluasan investasi di
Wilayahnya.

Pasal 75
Sub-Komite Investasi
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Investasi (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-Komite”) yang
dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(b) meninjau reservasi dan pengecualian


khusus berdasarkan Pasal 64;

(c) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab


ini;

(d) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Bab 6
Perdagangan Jasa

Pasal 76
Ruang Lingkup

1. Bab ini akan berlaku untuk tindakan oleh suatu


Pihak yang mempengaruhi perdagangan jasa.

2. Bab ini tidak berlaku untuk:

(a) sehubungan dengan layanan transportasi udara,


tindakan yang mempengaruhi hak lalu lintas,
bagaimanapun diberikannya; atau tindakan yang
mempengaruhi layanan yang secara langsung
berkaitan dengan pelaksanaan hak lalu lintas,
selain tindakan yang mempengaruhi:

64
(i) jasa perbaikan dan perawatan pesawat udara;

(ii) penjualan dan pemasaran jasa angkutan


udara; dan

(iii) layanan sistem reservasi komputer;

(b) cabotage dalam pelayanan angkutan laut;

(c) subsidi yang diberikan oleh suatu Pihak atau


perusahaan negaranya, termasuk hibah, pinjaman
yang didukung pemerintah, penjaminan dan
asuransi;

(d) tindakan yang mempengaruhi pergerakan orang


perseorangan dari suatu Pihak, kecuali
ditentukan lain dalam Daftar Komitmen Khusus
dalam Lampiran 8;

(e) tindakan yang mempengaruhi orang perseorangan


dari suatu Pihak yang mencari akses ke pasar
kerja Pihak lain, atau tindakan mengenai
kewarganegaraan, atau tempat tinggal atau
pekerjaan secara permanen; dan

(f) pengadaan pemerintah.

3. Lampiran 7 memberikan ketentuan tambahan pada Bab


ini tentang jasa keuangan, termasuk ruang lingkup dan
definisi.

Pasal 77 Definisi

Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah "jasa perbaikan dan pemeliharaan


pesawat udara" berarti kegiatan-kegiatan
tersebut bila dilakukan di atas pesawat udara
atau bagiannya pada saat ditarik dari dinas dan
tidak termasuk apa yang disebut pemeliharaan
jalur;

(b) istilah "kehadiran komersial" berarti semua jenis


usaha atau pendirian profesional, termasuk
melalui:

(i) konstitusi, perolehan atau pemeliharaan


badan hukum; atau

(ii) pembuatan atau pemeliharaan cabang atau


kantor perwakilan,

dalam Wilayah suatu Pihak untuk tujuan


penyediaan jasa;

65
(c) istilah "layanan sistem reservasi komputer"
berarti layanan yang disediakan oleh sistem
komputerisasi yang berisi informasi tentang
jadwal, ketersediaan, tarif dan aturan tarif
maskapai penerbangan, melalui mana reservasi
dapat dilakukan atau tiket dapat diterbitkan;

(d) istilah "badan hukum" berarti setiap badan hukum


yang dibentuk atau diatur menurut hukum yang
berlaku, baik untuk keuntungan atau sebaliknya,
dan apakah milik pribadi atau milik pemerintah,
termasuk setiap perusahaan, kepercayaan,
kemitraan, usaha patungan, kepemilikan tunggal
atau asosiasi ;

(e) istilah “badan hukum Pihak lainnya”


berarti badan hukum yang:
(i) dibentuk atau diatur menurut hukum Pihak
lainnya; atau

(ii) dalam hal penyediaan layanan melalui


kehadiran komersial, dimiliki atau
dikendalikan oleh:

(A) orang perseorangan dari Pihak lainnya;


atau

(B) badan hukum dari Pihak lain yang


diidentifikasi berdasarkan sub-
paragraf (i);

(f) badan hukum adalah:

(i) “dimiliki” oleh orang-orang dari suatu Pihak


atau non-Pihak jika lebih dari 50 persen
kepentingan ekuitas di dalamnya dimiliki
secara menguntungkan oleh orang-orang
tersebut;

(ii) “dikuasai” oleh orang-orang dari suatu Pihak


atau non-Pihak jika orang tersebut memiliki
kekuasaan untuk menunjuk mayoritas
direkturnya atau secara hukum mengarahkan
tindakannya; dan

(iii) "berafiliasi" dengan orang lain ketika


mengendalikan, atau dikendalikan oleh,
orang lain itu; atau ketika itu dan orang
lain keduanya dikendalikan oleh orang yang
sama;

(g) istilah "ukuran" berarti setiap tindakan, baik


berupa undang-undang, peraturan, aturan,
prosedur, keputusan, tindakan administratif,
atau bentuk lainnya;

66
Catatan: Istilah "ukuran" harus mencakup
tindakan perpajakan sejauh yang dicakup
oleh GATS.

(h) istilah "tindakan oleh suatu Pihak" berarti


setiap tindakan yang diambil oleh:

(i) pemerintah pusat atau daerah dan otoritas


dari suatu Pihak; dan

(ii) badan-badan non-pemerintah dalam menjalankan


kekuasaan yang didelegasikan oleh pemerintah
pusat atau daerah atau otoritas dari suatu
Pihak;

(i) istilah "tindakan oleh suatu Pihak yang


mempengaruhi perdagangan jasa" termasuk tindakan
oleh suatu Pihak sehubungan dengan:

(i) pembelian, pembayaran, atau penggunaan


layanan;

(ii) akses ke dan penggunaan, sehubungan dengan


penyediaan layanan, layanan yang diperlukan
oleh Pihak untuk ditawarkan kepada publik
secara umum; dan

(iii) kehadiran, termasuk kehadiran komersial,


orang-orang dari Pihak lain untuk penyediaan
layanan di Wilayah Pihak sebelumnya;

(j) istilah "pemasok monopoli layanan" berarti


setiap orang, publik atau swasta, yang di pasar
yang relevan dari suatu Pihak diberi wewenang
atau ditetapkan secara resmi atau berlaku oleh
Pihak tersebut sebagai pemasok tunggal layanan
tersebut;

(k) istilah "orang perseorangan dari suatu


Pihak" berarti orang perseorangan yang
bertempat tinggal di suatu Pihak atau di
tempat lain dan yang merupakan warga negara
Pihak berdasarkan hukum Pihak tersebut;

(l) istilah "orang" berarti orang perseorangan atau


badan hukum;

(m) istilah "layanan" mencakup layanan apa pun di


sektor apa pun kecuali layanan yang diberikan
dalam pelaksanaan wewenang pemerintah;

(n) istilah “konsumen jasa” berarti setiap orang yang


menerima atau menggunakan layanan;
(o) istilah "layanan Pihak lain" berarti
layanan yang disediakan:

67
(i) dari atau di Area Pihak lainnya, atau dalam
hal layanan transportasi laut, oleh kapal
yang terdaftar berdasarkan hukum Pihak
lainnya, atau oleh orang dari Pihak lain
yang memasok layanan tersebut melalui
pengoperasian kapal atau penggunaannya
secara keseluruhan atau sebagian; atau

(ii) dalam hal penyediaan jasa melalui


kehadiran komersial atau melalui kehadiran
orang perseorangan, oleh pemasok jasa dari
Pihak lainnya;

(p) istilah "jasa yang diberikan dalam pelaksanaan


wewenang pemerintah" berarti setiap jasa yang
diberikan baik secara komersial maupun dalam
persaingan dengan satu atau lebih pemasok jasa;

(q) istilah "pemasok jasa" berarti setiap orang yang


berusaha untuk memasok atau memasok jasa;

Catatan: Apabila jasa tidak diberikan secara


langsung oleh badan hukum tetapi melalui
bentuk-bentuk lain dari kehadiran
komersial seperti cabang atau kantor
perwakilan, pemasok jasa (yaitu badan
hukum), bagaimanapun, melalui kehadiran
tersebut harus diberikan perlakuan yang
diberikan. untuk pemasok layanan di bawah
Bab ini. Perlakuan tersebut harus
diperluas ke keberadaan di mana layanan
diberikan dan tidak perlu diperluas ke
bagian lain dari pemasok yang terletak di
luar Area Pihak di mana layanan diberikan.

(r) istilah "perusahaan negara" berarti suatu


perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh
Pemerintah suatu Pihak;

(s) istilah "penyediaan layanan" mencakup


produksi, distribusi, pemasaran, penjualan,
dan pengiriman layanan;

(t) Yang dimaksud dengan “penjualan dan pemasaran


jasa angkutan udara” adalah kesempatan bagi
perusahaan angkutan udara yang bersangkutan untuk
menjual dan memasarkan secara bebas jasa angkutan
udaranya termasuk segala aspek pemasaran seperti
riset pasar, periklanan dan distribusi. Kegiatan
ini tidak termasuk penetapan harga jasa angkutan
udara maupun ketentuan yang berlaku;

68
(u) istilah “perdagangan jasa” berarti penyediaan
jasa:
(i) dari Area suatu Pihak ke Area Pihak
lainnya (“mode pasokan lintas batas”);

(ii) di Area suatu Pihak kepada konsumen


layanan Pihak lainnya (“mode konsumsi di
luar negeri”);

(iii) oleh pemasok layanan dari suatu Pihak,


melalui kehadiran komersial di Area Pihak
lainnya (“mode kehadiran komersial”); dan

(iv) oleh pemasok layanan dari suatu Pihak,


melalui kehadiran orang perseorangan dari
Pihak tersebut di Wilayah Pihak lainnya
(“kehadiran orang perseorangan”); dan

(v) istilah "hak lalu lintas" berarti hak untuk


layanan terjadwal dan tidak berjadwal untuk
mengoperasikan dan/atau mengangkut penumpang,
kargo, dan surat untuk mendapatkan imbalan atau
menyewa dari, ke, di dalam, atau di atas suatu
Pihak, termasuk titik yang akan dilayani, rute
yang akan dioperasikan, jenis lalu lintas yang
akan diangkut, kapasitas yang akan disediakan,
tarif yang dikenakan dan syarat-syaratnya, dan
kriteria penunjukan maskapai penerbangan,
termasuk kriteria seperti jumlah, kepemilikan,
dan pengendalian.

Pasal 78
Akses Pasar

1. Sehubungan dengan akses pasar melalui mode pasokan


yang ditentukan dalam sub-paragraf (u) Pasal 77, masing-
masing Pihak harus memberikan layanan dan pemasok layanan
dari Pihak lainnya perlakuan yang tidak kurang
menguntungkan dari yang disediakan berdasarkan syarat,
batasan dan kondisi yang disepakati.
dan dirinci dalam Jadwal Komitmen Spesifiknya dalam
Lampiran 8.

69
Catatan: Jika suatu Pihak melakukan komitmen akses pasar
sehubungan dengan penyediaan layanan melalui cara
penyediaan sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf
(u)(i) Pasal 77 dan jika pergerakan modal lintas
batas merupakan bagian penting dari layanan itu
sendiri, Pihak tersebut dengan demikian berkomitmen
untuk mengizinkan pergerakan modal tersebut. Jika
suatu Pihak melakukan a
komitmen akses pasar sehubungan dengan penyediaan
suatu jasa melalui cara penyediaan sebagaimana
dimaksud dalam sub-paragraf (u)(iii) Pasal 77,
dengan demikian berkomitmen untuk mengizinkan
pemindahan modal terkait ke dalam Wilayahnya.

2. Di sektor-sektor di mana komitmen akses pasar


dilakukan, tindakan-tindakan di mana suatu Pihak tidak
boleh mempertahankan atau mengadopsi baik berdasarkan
subdivisi regional atau atas dasar seluruh Areanya, kecuali
ditentukan lain dalam Jadwal Komitmen Khususnya dalam
Lampiran 8, didefinisikan sebagai:

(a) pembatasan jumlah penyedia jasa baik berupa


kuota numerik, monopoli, pemasok jasa
eksklusif maupun persyaratan uji kebutuhan
ekonomi;

(b) pembatasan nilai total transaksi jasa atau aset


berupa kuota numerik atau persyaratan uji
kebutuhan ekonomi;

(c) pembatasan jumlah total operasi layanan atau


jumlah total output layanan yang dinyatakan dalam
unit numerik yang ditentukan dalam bentuk kuota
atau persyaratan uji kebutuhan ekonomi;

Catatan: Subparagraf ini tidak mencakup tindakan


suatu Pihak yang membatasi masukan untuk
penyediaan jasa.

(d) pembatasan jumlah total orang perseorangan yang


dapat dipekerjakan di sektor jasa tertentu atau
yang dapat dipekerjakan oleh pemasok jasa dan
yang diperlukan untuk, dan terkait langsung
dengan, penyediaan jasa tertentu dalam bentuk
kuota numerik atau persyaratan tes kebutuhan
ekonomi;

(e) tindakan yang membatasi atau mengharuskan jenis


badan hukum atau usaha patungan tertentu yang
melaluinya pemasok layanan dapat menyediakan
layanan; dan

70
(f) pembatasan penyertaan modal asing dalam hal
batas persentase maksimum kepemilikan saham
asing atau nilai total investasi asing individu
atau agregat.

Pasal 79 Perlakuan
Nasional

1. Di sektor-sektor yang tercantum dalam Jadwal Komitmen


Spesifiknya dalam Lampiran 8, dan tunduk pada setiap
kondisi dan kualifikasi yang ditetapkan di dalamnya,
masing-masing Pihak harus memberikan layanan dan pemasok
layanan dari Pihak lainnya, sehubungan dengan semua
tindakan yang mempengaruhi penyediaan layanan, perlakuan
yang tidak kalah menguntungkan dari yang diberikannya
sendiri seperti layanan dan pemasok layanan.

Catatan: Komitmen khusus yang diasumsikan berdasarkan


Pasal ini tidak boleh ditafsirkan untuk
mengharuskan salah satu Pihak untuk
mengkompensasi kerugian kompetitif yang melekat
yang dihasilkan dari karakter asing dari layanan
atau pemasok layanan yang relevan.

2. Suatu Pihak dapat memenuhi persyaratan paragraf 1


dengan menurut penyedia jasa dan jasa dari Pihak
lainnya, baik perlakuan yang sama secara formal atau
perlakuan yang secara formal berbeda dengan yang
diberikan kepada pemasok jasa dan jasanya sendiri.

3. Perlakuan yang secara formal identik atau berbeda


secara formal akan dianggap kurang menguntungkan jika
mengubah kondisi persaingan demi jasa atau pemasok jasa
dari Pihak yang memberikan perlakuan tersebut dibandingkan
dengan jasa atau pemasok jasa serupa dari Pihak lainnya.

4. Suatu Pihak tidak boleh menggunakan paragraf


sebelumnya berdasarkan Bab 14 sehubungan dengan tindakan
Pihak lainnya yang termasuk dalam ruang lingkup perjanjian
internasional antara Para Pihak yang berkaitan dengan
penghindaran pajak berganda.

Pasal 80 Komitmen
Tambahan

Para Pihak dapat merundingkan komitmen sehubungan


dengan tindakan yang mempengaruhi perdagangan jasa yang
tidak tunduk pada penjadwalan berdasarkan Pasal 78 dan 79,
termasuk yang berkaitan dengan kualifikasi, standar atau
masalah perizinan. Komitmen tersebut harus dicantumkan
dalam Daftar Komitmen Spesifik Pihak dalam Lampiran 8.

71
Pasal 81
Jadwal Komitmen Khusus
1. Sehubungan dengan sektor atau sub-sektor di mana
komitmen khusus dilakukan oleh masing-masing Pihak, Jadwal
Komitmen Khususnya dalam Lampiran 8 harus menetapkan:

(a) syarat, batasan, dan ketentuan akses pasar;

(b) kondisi dan kualifikasi perlakuan


nasional;

(c) usaha yang berkaitan dengan komitmen tambahan;


dan

(d) jika sesuai, kerangka waktu untuk


implementasi komitmen tersebut.

2. Tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal 78


dan Pasal 79 harus dituliskan dalam kolom yang berkaitan
dengan Pasal 78. Dalam hal ini prasasti akan dianggap
memberikan syarat atau kualifikasi untuk Pasal 79 juga.

3. Sehubungan dengan sektor atau sub-sektor di mana


komitmen khusus dilakukan dalam Lampiran 8 dan yang
ditandai dengan “SS”, setiap persyaratan, batasan, kondisi
dan kualifikasi, sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf
1(a) dan (b), harus dibatasi untuk mereka yang didasarkan
pada tindakan yang tidak sesuai, yang berlaku pada tanggal
berlakunya Persetujuan ini.

4. Sehubungan dengan sektor atau sub-sektor di mana


komitmen khusus dilakukan oleh suatu Pihak dalam Lampiran
8 dan yang ditandai dengan “S”, setiap syarat, batasan,
kondisi dan kualifikasi pada akses pasar atau perlakuan
nasional, diterapkan pada pemasok layanan dari Pihak lain
pada tanggal mulai berlakunya Perjanjian ini, tidak boleh
diubah atau dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi
lebih membatasi pemasok layanan tersebut.

Catatan: Berkenaan dengan hak-hak yang diberikan


kepada pemasok jasa berdasarkan syarat, batasan,
kondisi dan kualifikasi yang disebutkan di atas,
paragraf ini akan berlaku pada tingkat yang sama
dengan hak yang telah dilaksanakan oleh pemasok
jasa.

72
Pasal 82
Perawatan Bangsa Terfavorit
1. Masing-masing Pihak harus memberikan layanan dan
pemasok layanan dari Pihak lainnya perlakuan yang tidak
kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada
penyedia layanan dan layanan serupa dari non-Pihak mana
pun.

2. Paragraf 1 tidak berlaku untuk tindakan apa pun oleh


suatu Pihak sehubungan dengan sektor, sub-sektor atau
kegiatan, sebagaimana tercantum dalam Lampirannya dalam
Lampiran 9.

Pasal 83
Otorisasi, Lisensi atau Kualifikasi
Dengan maksud untuk memastikan bahwa setiap tindakan
oleh suatu Pihak yang berkaitan dengan otorisasi, lisensi
atau kualifikasi pemasok layanan dari Pihak lainnya tidak
merupakan hambatan yang tidak perlu untuk perdagangan jasa,
setiap Pihak harus berusaha untuk memastikan bahwa tindakan
tersebut:

(a) didasarkan pada kriteria yang objektif dan


transparan, seperti kompetensi dan kemampuan
memberikan layanan;

(b) tidak lebih memberatkan dari yang diperlukan


untuk menjamin kualitas layanan; dan

(c) bukan merupakan pembatasan terselubung pada


penyediaan layanan.

Pasal 84
Saling Pengakuan

1. Suatu Pihak dapat mengakui pendidikan atau pengalaman


yang diperoleh, persyaratan yang dipenuhi, atau lisensi
atau sertifikasi yang diberikan di Pihak lainnya untuk
tujuan pemenuhan, secara keseluruhan atau sebagian,
standar atau kriterianya untuk otorisasi, lisensi, atau
sertifikasi pemasok layanan dari Pihak lainnya.

2. Pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, yang


dapat dicapai melalui harmonisasi atau sebaliknya, dapat
didasarkan pada kesepakatan atau pengaturan antara Para
Pihak atau dapat diberikan secara sepihak.

3. Apabila suatu Pihak mengakui, melalui kesepakatan


atau pengaturan antara Pihak dan non-Pihak atau secara
sepihak, pendidikan atau pengalaman yang diperoleh,
persyaratan yang dipenuhi atau lisensi atau sertifikasi
yang diberikan di non-Pihak:

73
(a) tidak ada dalam Pasal 82 yang dapat ditafsirkan
untuk mengharuskan Pihak untuk memberikan
pengakuan tersebut atas pendidikan atau
pengalaman yang diperoleh, persyaratan yang
dipenuhi atau lisensi atau sertifikasi yang
diberikan di Pihak lainnya; dan

(b) Pihak tersebut harus memberi Pihak lainnya


kesempatan yang memadai untuk menunjukkan bahwa
pendidikan atau pengalaman yang diperoleh,
persyaratan yang dipenuhi atau lisensi atau
sertifikasi yang diberikan di Pihak lainnya juga
harus diakui.

Pasal 85
Transparansi

Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat


2 Pasal 3 harus, atas permintaan pemasok jasa dari Pihak
lainnya, segera menanggapi pertanyaan spesifik dari, dan
memberikan informasi kepada, pemasok jasa sehubungan dengan
hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal 3 melalui
titik kontak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Catatan: Informasi yang diberikan oleh Para Pihak


berdasarkan Pasal ini akan diberikan semata-mata
untuk tujuan transparansi dan tidak akan ditafsirkan
untuk mempengaruhi hak dan kewajiban Para Pihak
berdasarkan Bab ini.

Pasal 86
Monopoli dan Pemasok Layanan Eksklusif
1. Setiap Pihak harus memastikan bahwa pemasok jasa
monopoli mana pun di Wilayahnya tidak, dalam penyediaan
jasa monopoli di pasar terkait, bertindak dengan cara yang
tidak sesuai dengan komitmen Pihak berdasarkan Bab ini.

2. Apabila pemasok monopoli suatu Pihak bersaing, baik


secara langsung atau melalui badan hukum yang berafiliasi,
dalam penyediaan layanan di luar cakupan hak monopolinya
dan yang tunduk pada komitmen khusus Pihak tersebut, Pihak
tersebut harus memastikan bahwa pemasok tersebut tidak
menyalahgunakan posisi monopolinya untuk bertindak di
Wilayah Pihak dengan cara yang tidak sesuai dengan
komitmen tersebut.

3. Ketentuan Pasal ini juga berlaku untuk kasus


pemasok layanan eksklusif, di mana suatu Pihak, secara
resmi atau berlaku:

74
(a) memberi wewenang atau menetapkan sejumlah
kecil pemasok jasa; dan

(b) secara substansial mencegah persaingan di


antara para pemasok tersebut di Areanya.

Pasal 87
Pembayaran dan Transfer

1. Kecuali dalam keadaan yang diatur dalam Pasal 88,


suatu Pihak tidak boleh menerapkan pembatasan transfer
internasional dan pembayaran untuk transaksi saat ini yang
berkaitan dengan perdagangan jasa.

2. Tidak ada dalam Bab ini yang akan mempengaruhi hak dan
kewajiban Para Pihak sebagai anggota Dana Moneter
Internasional berdasarkan Anggaran Dasar Dana Moneter
Internasional, termasuk penggunaan tindakan pertukaran yang
sesuai dengan Anggaran Dasar Perjanjian Moneter
Internasional. Dana, dengan ketentuan bahwa suatu Pihak
tidak akan memberlakukan pembatasan pada setiap transaksi
modal yang tidak sesuai dengan komitmennya berdasarkan Bab
ini mengenai transaksi tersebut, kecuali berdasarkan Pasal
88, atau atas permintaan Dana Moneter Internasional.

Pasal 88
Pembatasan untuk Menjaga Neraca Pembayaran
1. Dalam hal neraca pembayaran yang serius dan kesulitan
keuangan eksternal atau ancamannya, suatu Pihak dapat
mengadopsi atau mempertahankan pembatasan perdagangan
jasa, termasuk pembayaran atau transfer untuk transaksi.

2. Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1:

(a) harus memastikan bahwa Pihak lainnya


diperlakukan sama baiknya dengan non-Pihak mana
pun;

(b) harus konsisten dengan Pasal-pasal


Persetujuan Dana Moneter Internasional;

(c) harus menghindari kerusakan yang tidak perlu pada


kepentingan komersial, ekonomi dan keuangan Pihak
lainnya;

(d) tidak boleh melebihi yang diperlukan untuk


menangani keadaan yang dijelaskan dalam ayat 1;
dan

(e) harus bersifat sementara dan dihapus secara


bertahap ketika situasi yang ditentukan
dalam ayat 1 membaik.

75
3. Dalam menentukan timbulnya pembatasan tersebut, suatu
Pihak dapat memberikan prioritas pada penyediaan layanan
yang lebih penting bagi program ekonomi atau
pembangunannya. Namun, pembatasan tersebut tidak boleh
diadopsi atau dipertahankan untuk tujuan melindungi sektor
jasa tertentu.

Pasal 89 Tindakan
Pengamanan Darurat

1. Para Pihak harus memperhatikan negosiasi multilateral


mengenai masalah tindakan pengamanan darurat berdasarkan
prinsip non-diskriminasi sesuai dengan Pasal X GATS.
Setelah berakhirnya negosiasi multilateral tersebut, Para
Pihak wajib melakukan peninjauan untuk tujuan membahas
amandemen yang sesuai terhadap Persetujuan ini berdasarkan
hasil negosiasi multilateral tersebut.

2. Dalam hal pelaksanaan Persetujuan ini menyebabkan


dampak merugikan yang substansial terhadap suatu Pihak di
sektor jasa tertentu sebelum kesimpulan dari negosiasi
multilateral sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Pihak
tersebut dapat meminta konsultasi dengan Pihak lainnya
untuk tujuan mengambil keputusan yang sesuai. langkah-
langkah untuk mengatasi dampak buruk tersebut. Para Pihak
harus mempertimbangkan keadaan kasus tertentu dalam
konsultasi tersebut.

Pasal 90
Penolakan Manfaat

1. Suatu Pihak dapat menolak manfaat dari Bab ini


kepada pemasok jasa dari Pihak lainnya yang merupakan
badan hukum dari Pihak lainnya, dimana Pihak yang
menyangkal menetapkan bahwa badan hukum tersebut
dimiliki atau dikendalikan oleh orang-orang bukan
Pihak, dan menolak pihak:

(a) tidak memelihara hubungan diplomatik dengan


bukan Pihak; atau

(b) mengadopsi atau mempertahankan tindakan


sehubungan dengan non-Pihak yang melarang
transaksi dengan badan hukum atau yang akan
dilanggar atau dielakkan jika manfaat Bab ini
diberikan kepada badan hukum.

76
2. Tunduk pada pemberitahuan dan konsultasi sebelumnya,
suatu Pihak dapat menolak manfaat Bab ini kepada pemasok
layanan dari Pihak lain yang merupakan badan hukum dari
Pihak lainnya, di mana Pihak yang menyangkal menetapkan
bahwa badan hukum tersebut dimiliki atau dikendalikan oleh
orang-orang dari bukan Pihak dan tidak memiliki kegiatan
bisnis yang substansial di Wilayah Pihak lainnya.

Pasal 91
Sub-Komite Perdagangan Jasa
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Perdagangan Jasa
(selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-Komite”)
yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(b) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab


ini;

(c) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(d) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Bab 7 Pergerakan
Orang Alami

Pasal 92
Ruang Lingkup

1. Bab ini berlaku untuk tindakan-tindakan yang


mempengaruhi pergerakan orang perseorangan dari suatu
Pihak yang memasuki Pihak lainnya dan termasuk dalam salah
satu kategori yang dirujuk dalam Lampiran 10.

2. Bab ini tidak berlaku untuk tindakan-tindakan yang


mempengaruhi orang perseorangan dari suatu Pihak yang
mencari akses ke pasar kerja Pihak lain, juga tidak
berlaku untuk tindakan-tindakan mengenai kewarganegaraan,
atau tempat tinggal atau pekerjaan secara permanen.

77
3. Bab ini tidak akan menghalangi suatu Pihak untuk
menerapkan langkah-langkah untuk mengatur masuknya orang
perseorangan dari Pihak lainnya ke, atau tinggal sementara
mereka di, Pihak sebelumnya, termasuk langkah-langkah yang
diperlukan untuk melindungi integritas, dan untuk
memastikan pergerakan yang tertib dari orang perseorangan
melintasi, perbatasannya, dengan ketentuan bahwa tindakan
tersebut tidak diterapkan sedemikian rupa untuk meniadakan
atau merusak manfaat yang diperoleh Pihak lain berdasarkan
ketentuan komitmen khusus yang ditetapkan dalam Lampiran
10.

Catatan: Satu-satunya fakta yang mengharuskan visa


atau yang setara dengannya untuk orang
perorangan dari kebangsaan atau kewarganegaraan
tertentu dan bukan untuk orang lain tidak akan
dianggap sebagai meniadakan atau mengurangi
manfaat berdasarkan komitmen khusus yang
ditetapkan dalam Lampiran 10.

Pasal 93
Pengertian

Untuk tujuan Bab ini, istilah "orang perseorangan


dari suatu Pihak" berarti orang perseorangan yang tinggal
di suatu Pihak atau di tempat lain dan yang menurut hukum
Partai adalah warga negara dari Pihak tersebut.

Pasal 94 Komitmen Khusus

1. Masing-masing Pihak harus memberikan izin masuk dan


tinggal sementara kepada orang perseorangan dari Pihak
lainnya sesuai dengan Bab ini termasuk ketentuan kategori
dalam Lampiran 10, dengan ketentuan bahwa orang
perseorangan mematuhi undang-undang dan peraturan yang
berkaitan dengan pergerakan orang perorangan dari mantan
Pihak yang berlaku untuk masuk dan tinggal sementara yang
tidak bertentangan dengan ketentuan Bab ini.

2. Setiap Pihak harus, sesuai dengan hukum dan


peraturannya, menerbitkan dokumen perjalanan yang tepat
yang diperlukan untuk segera kembali ke Pihak, kepada
orang-orang dari Pihak yang tinggal di Pihak lain
berdasarkan izin masuk dan tinggal sementara berdasarkan
ayat 1, dimana orang-orang tersebut diharuskan untuk
meninggalkan Pihak lainnya sesuai dengan hukum dan
peraturan Pihak lainnya yang tidak bertentangan dengan
ketentuan Bab ini.

3. Masing-masing Pihak dapat meminta orang perseorangan


dari Pihak lainnya untuk memperoleh visa yang sesuai atau
yang setara sebelum masuk dan tinggal sementara berdasarkan
ayat 1.

4. Tidak ada Pihak yang akan memaksakan atau


mempertahankan batasan apa pun pada jumlah pemberian izin
masuk dan izin tinggal sementara berdasarkan ayat 1,
78
kecuali ditentukan lain dalam Lampiran 10.

Pasal 95 Persyaratan dan Tata Cara

1. Setiap Pihak wajib menetapkan dan menyediakan


persyaratan dan prosedur untuk umum bagi permohonan
pembaruan masa tinggal sementara, perubahan status tinggal
sementara atau penerbitan izin kerja untuk orang
perseorangan dari Pihak lain yang telah diberikan izin
masuk. dan tinggal sementara berdasarkan ayat 1 Pasal 94.

2. Setiap Pihak wajib berusaha untuk memberikan, atas


permintaan orang perseorangan dari Pihak lainnya,
informasi tentang persyaratan dan prosedur sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.

3. Masing-masing Pihak harus, sesuai dengan hukum dan


peraturannya, memastikan bahwa biaya yang dibebankan oleh
otoritas yang berwenang atas penerapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 tidak dengan sendirinya merupakan
hambatan yang tidak dapat dibenarkan untuk pergerakan
orang perseorangan dari Pihak lainnya berdasarkan Bab ini.

Pasal 96
Sub-Komite Pergerakan Orang Asli
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Pergerakan Orang Alami
(selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-
Komite”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(b) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab


ini;

(c) mengadopsi pedoman sebagaimana dimaksud dalam


Lampiran 10;

(d) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

79
Bab 8
Energi dan Sumber Daya Mineral
Pasal 97 Definisi

Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah “barang energi dan sumber daya mineral”


berarti setiap barang yang tercantum dalam
Lampiran 11;

(b) istilah "badan pengatur energi dan sumber daya


mineral" adalah badan pemerintah yang mengatur
dan mengendalikan eksplorasi, eksploitasi,
produksi, operasi, pengangkutan, transmisi atau
distribusi, pembelian atau penjualan barang
energi dan sumber daya mineral;

(c) istilah "tindakan pengaturan energi dan sumber


daya mineral" berarti setiap tindakan oleh badan
pengawas energi dan sumber daya mineral yang
secara langsung mempengaruhi eksplorasi,
eksploitasi, produksi, operasi, transportasi,
transmisi atau distribusi, pembelian atau
penjualan barang energi dan sumber daya mineral;

(d) istilah "sektor energi dan sumber daya mineral"


berarti sektor yang berkaitan dengan
eksplorasi, eksploitasi, produksi, operasi,
pengangkutan, transmisi atau distribusi,
pembelian atau penjualan barang-barang energi
dan sumber daya mineral;

(e) istilah "prosedur perizinan ekspor" berarti


prosedur administratif, baik disebut sebagai
"perizinan" maupun tidak, yang digunakan oleh
suatu Pihak untuk pengoperasian rezim perizinan
ekspor yang memerlukan pengajuan permohonan atau
dokumentasi lain, selain yang dipersyaratkan
untuk prosedur kepabeanan, ke badan administratif
yang relevan sebagai syarat awal untuk ekspor
dari Pihak tersebut; dan

(f) istilah "orang dari Pihak lain" berarti orang


perseorangan atau perusahaan dari Pihak lainnya.

Pasal 98
Promosi dan Fasilitasi Investasi
1. (a) Kedua Pihak wajib bekerja sama dalam
mempromosikan dan memfasilitasi investasi
antara Para Pihak di sektor energi dan sumber
daya mineral melalui cara-cara seperti:
(i) membahas cara-cara efektif dalam kegiatan
promosi investasi dan peningkatan
kapasitas;
80
(ii) memfasilitasi penyediaan dan pertukaran
informasi investasi termasuk informasi
tentang undang-undang, peraturan dan
kebijakan Para Pihak;

(iii) mendorong dan mendukung kegiatan promosi


investasi masing-masing Pihak atau bidang
usaha Para Pihak, khususnya yang berkaitan
dengan eksplorasi, eksploitasi dan produksi
barang energi dan sumber daya mineral serta
fasilitas infrastruktur di sektor energi dan
sumber daya mineral; dan

(iv) membahas cara-cara efektif untuk


menciptakan kondisi yang stabil,
adil, menguntungkan dan transparan
bagi investor.

(b) Pelaksanaan dan pelaksanaan ayat ini harus tunduk


pada ketersediaan dana dan hukum dan peraturan
yang berlaku dari masing-masing Pihak.

2. Lampiran 12 memberikan ketentuan tambahan sehubungan


dengan promosi dan fasilitasi investasi di sektor energi
dan sumber daya mineral.

Pasal 99
Pembatasan Impor dan Ekspor
1. Para Pihak menegaskan kembali kewajiban mereka untuk
mematuhi ketentuan yang relevan dari GATT 1994,
sehubungan dengan larangan atau pembatasan impor atau
ekspor barang energi dan sumber daya mineral.

2. Setiap Pihak, ketika memberlakukan larangan atau


pembatasan lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan-
ketentuan GATT 1994 yang relevan, sehubungan dengan ekspor
ke atau impor dari Pihak lain suatu barang energi dan
sumber daya mineral, harus memberikan informasi yang
relevan mengenai larangan atau pembatasan tersebut sebagai
sedini mungkin kepada Pihak lainnya dan menjawab, atas
permintaan Pihak lainnya, atas pertanyaan spesifik tentang
larangan atau pembatasan tersebut dari Pihak lainnya,
dengan tujuan untuk menghindari gangguan kegiatan bisnis
biasa di Para Pihak.

81
Pasal 100
Prosedur dan Administrasi Perizinan Ekspor
Jika suatu Pihak mengadopsi atau mempertahankan
prosedur perizinan ekspor sehubungan dengan barang energi
dan sumber daya mineral:

(a) aturan tata cara perijinan ekspor bersifat


netral dalam penerapannya dan diatur secara
adil dan merata;

(b) aturan dan semua informasi mengenai prosedur


pengajuan aplikasi, termasuk kelayakan orang dari
Pihak lain untuk membuat aplikasi tersebut, badan
administratif yang akan didekati, dan daftar
produk yang tunduk pada persyaratan lisensi harus
dipublikasikan, segera mungkin, sedemikian rupa
sehingga memungkinkan Pihak lain dan pedagang
dari Pihak lain untuk mengenal mereka.
Pengecualian, pengurangan atau perubahan dalam
atau dari aturan tentang prosedur perizinan
ekspor atau daftar produk yang tunduk pada
perizinan ekspor juga harus dipublikasikan dengan
cara yang sama seperti yang ditentukan di atas;

(c) dalam hal persyaratan perizinan untuk tujuan


selain penerapan pembatasan kuantitatif, Pihak
tersebut harus mempublikasikan informasi yang
cukup bagi Pihak lain dan pedagang dari Pihak
lainnya untuk mengetahui dasar pemberian
dan/atau pengalokasian lisensi;

(d) dimana Pihak memberikan kemungkinan bagi orang-


orang dari Pihak lainnya untuk meminta
pengecualian atau pengurangan dari persyaratan
perizinan, Pihak sebelumnya harus memasukkan
fakta ini dalam informasi yang dipublikasikan di
bawah ayat (b) serta informasi tentang bagaimana
membuat permintaan tersebut dan , sejauh mungkin,
indikasi keadaan di mana permintaan tersebut akan
dipertimbangkan;

(e) Pihak tersebut harus memberikan, atas permintaan


Pihak lainnya, semua informasi yang relevan
mengenai pelaksanaan pembatasan sesuai dengan
hukum dan peraturannya;

82
(f) ketika mengelola kuota melalui lisensi ekspor,
Pihak tersebut harus menginformasikan Pihak
lainnya tentang jumlah keseluruhan kuota yang
akan diterapkan dan setiap perubahannya;

(g) Pihak tersebut akan mengadakan konsultasi atas


permintaan Pihak lainnya, mengenai aturan
prosedur tersebut dengan Pihak lainnya; dan

(h) setiap orang dari Pihak lain yang memenuhi


persyaratan hukum dan administratif dari Pihak
sebelumnya harus sama-sama memenuhi syarat untuk
mengajukan dan dipertimbangkan untuk mendapatkan
lisensi. Jika permohonan lisensi tidak
disetujui, pemohon dari Pihak lainnya, atas
permintaan, harus diberikan alasannya dan
memiliki hak untuk mengajukan banding atau
peninjauan kembali sesuai dengan perundang-
undangan atau prosedur domestik dari Pihak
sebelumnya.

Pasal 101
Langkah-langkah Pengaturan Energi dan Sumber Daya
Mineral
1. Setiap Pihak wajib berusaha untuk memastikan bahwa,
dalam penerapan setiap tindakan pengaturan energi dan
sumber daya mineral, badan pengatur energi dan sumber daya
mineral Pihak harus menghindari gangguan hubungan
kontraktual yang ada pada saat penerapan energi dan sumber
daya mineral. tindakan pengaturan semaksimal mungkin dan
melaksanakan tindakan pengaturan energi dan sumber daya
mineral secara tertib dan merata.

2. Jika badan pengatur energi dan sumber daya mineral


dari suatu Pihak mengadopsi setiap tindakan pengaturan
energi dan sumber daya mineral baru, Pihak tersebut harus,
sesegera mungkin, memberi tahu Pihak lainnya atau
mempublikasikan tindakan pengaturan energi dan sumber daya
mineral, dan menanggapi, atas permintaan Pihak lainnya,
untuk pertanyaan spesifik tentang tindakan pengaturan
energi dan sumber daya mineral dari Pihak lainnya.

Pasal 102 Aspek


Lingkungan

1. Setiap Pihak, dalam mengejar pembangunan berkelanjutan


dan dengan mempertimbangkan kewajibannya berdasarkan
perjanjian internasional mengenai lingkungan di mana ia
menjadi salah satu pihak, menegaskan pentingnya menghindari
atau meminimalkan, dengan cara yang efisien secara ekonomi,
dampak lingkungan yang berbahaya dari semua kegiatan yang
berkaitan dengan energi. dan sumber daya mineral di
Wilayahnya.

83
2. Setiap Pihak harus:

(a) memperhatikan pertimbangan lingkungan hidup


sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
energi dan sumber daya mineral;

(b) mendorong kondisi yang menguntungkan untuk


transfer dan penyebaran teknologi yang
berkontribusi pada perlindungan lingkungan,
konsisten dengan perlindungan hak kekayaan
intelektual yang memadai dan efektif; dan

(c) mempromosikan kesadaran publik tentang dampak


lingkungan dari kegiatan yang terkait dengan
energi dan sumber daya mineral dan ruang lingkup
dan biaya yang terkait dengan pencegahan atau
pengurangan dampak tersebut.

Pasal 103
Pengembangan
Masyarakat

Masing-masing Pihak menyambut baik setiap kontribusi


investor dari Pihak lainnya untuk pengembangan
komunitasnya ketika investor tersebut melakukan investasi
di sektor energi dan sumber daya mineral di Wilayahnya.

Pasal 104
Kerjasama

1. Kedua Pihak wajib bekerja sama di bidang energi dan


sumber daya mineral Indonesia.

2. (a) Para Pihak akan berusaha untuk menyediakan dana


dan sumber daya lain yang diperlukan untuk
pelaksanaan kerja sama berdasarkan Pasal ini
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
masing-masing.

(b) Biaya kerjasama berdasarkan Pasal ini harus


ditanggung dengan cara yang adil untuk
disepakati bersama oleh Para Pihak.

3. (a) Bidang kerja sama berdasarkan Pasal ini


meliputi pengembangan kebijakan, peningkatan
kapasitas, dan alih teknologi.

(b) Bentuk-bentuk kerjasama berdasarkan Pasal ini


diatur dalam Persetujuan Pelaksanaan.

84
Pasal 105
Sub Komite Energi dan Sumber Daya Mineral
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub Komite Energi dan Sumber Daya
Mineral (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub
Komite”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) bertukar informasi tentang hal-hal yang


berkaitan dengan Bab ini;

(b) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(c) membahas setiap masalah yang terkait dengan Bab


ini, termasuk masalah yang terkait dengan
lingkungan bisnis, kerjasama, ketahanan energi,
dan pengembangan pasar yang terbuka dan
kompetitif;

(d) melaporkan temuan Sub-Komite dan, jika perlu,


membuat rekomendasi, kepada Komite Bersama; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Bab 9 Kekayaan
Intelektual

Pasal 106
Ketentuan Umum

1. Para Pihak, yang bertujuan untuk lebih memajukan


perdagangan dan investasi, harus memberikan dan memastikan
perlindungan kekayaan intelektual yang memadai, efektif dan
non-diskriminatif, meningkatkan efisiensi dan transparansi
dalam administrasi sistem perlindungan kekayaan
intelektual, dan menyediakan langkah-langkah untuk
penegakan kekayaan intelektual. hak terhadap pelanggaran,
pemalsuan dan pembajakan, sesuai dengan ketentuan Bab ini
dan perjanjian internasional di mana kedua Pihak menjadi
pihak.

2. Para Pihak menegaskan kembali komitmen mereka untuk


mematuhi kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian
internasional yang berkaitan dengan kekayaan intelektual di
mana kedua Pihak menjadi pihak.

85
3. Setiap Pihak wajib berusaha untuk menjadi pihak, jika
bukan merupakan pihak, pada perjanjian internasional
berikut ini sesuai dengan prosedur yang diperlukannya:

(a) Protokol yang Berkaitan dengan Persetujuan


Madrid Tentang Pendaftaran Merek
Internasional 27 Juni 1989, sebagaimana telah
diubah;

(b) Konvensi Internasional untuk Perlindungan


Pelaku, Produser Fonogram dan Organisasi
Penyiaran 26 Oktober 1961; dan

(c) Undang-Undang Konvensi Internasional 1991 untuk


Perlindungan Varietas Baru Tanaman (selanjutnya
disebut dalam Bab ini sebagai “Konvensi UPOV
1991”).

Pasal 107
Definisi
Untuk tujuan Bab ini:

(a) istilah "kekayaan intelektual" berarti


semua kategori kekayaan intelektual:

(i) yang tunduk pada Pasal 112 sampai dengan


118; dan/atau

(ii) yang berada di bawah Perjanjian TRIPS


dan/atau perjanjian internasional terkait
sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian
TRIPS; dan

(b) istilah "Klasifikasi Bagus" berarti klasifikasi


yang ditetapkan oleh Perjanjian Nice Tentang
Klasifikasi Barang dan Jasa Internasional untuk
Tujuan Pendaftaran Merek pada tanggal 15 Juni
1957, sebagaimana telah diubah.

Pasal 108
Perlakuan Nasional
dan Perlakuan Bangsa Terfavorit
1. Setiap Pihak wajib memberikan perlakuan yang tidak
kurang menguntungkan bagi warga negara dari Pihak lainnya
daripada yang diberikan kepada warga negaranya sendiri
berkenaan dengan perlindungan kekayaan intelektual sesuai
dengan Pasal 3 dan 5 Perjanjian TRIPs.

86
2. Setiap Pihak harus memberikan perlakuan yang tidak
kurang menguntungkan bagi warga negara dari Pihak lainnya
daripada yang diberikan kepada warga negara dari non-Pihak
sehubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual sesuai
dengan Pasal 4 dan
5 Perjanjian TRIPs.
3. Untuk tujuan Pasal ini:

(a) istilah "warga negara" memiliki arti yang sama


seperti dalam Perjanjian TRIPS; dan

(b) istilah "perlindungan" mencakup hal-hal yang


mempengaruhi ketersediaan, perolehan, ruang
lingkup, pemeliharaan dan penegakan hak kekayaan
intelektual serta hal-hal yang mempengaruhi
penggunaan hak kekayaan intelektual yang secara
khusus dibahas dalam Bab ini.

Pasal 109 Masalah


Prosedur

1. Untuk tujuan memberikan administrasi yang efisien dari


sistem perlindungan kekayaan intelektual, masing-masing
Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
meningkatkan prosedur administrasinya mengenai hak kekayaan
intelektual sesuai dengan standar internasional.

2. Tidak ada Pihak yang dapat meminta pengesahan tanda


tangan atau cara identifikasi diri lainnya pada dokumen
untuk diserahkan kepada otoritas yang berwenang dari Pihak
tersebut, termasuk aplikasi, terjemahan ke dalam bahasa
yang diterima oleh otoritas tersebut dari aplikasi
sebelumnya yang prioritasnya diklaim, kuasa pengacara dan
sertifikasi penugasan, dalam proses aplikasi atau prosedur
administrasi lainnya pada paten, model utilitas, desain
industri, atau merek dagang.

3. Menyimpang dari paragraf 2, suatu Pihak dapat meminta:

(a) pengesahan tanda tangan atau cara identifikasi


diri lainnya, jika undang-undang Pihak
mengaturnya, di mana tanda tangan atau cara
identifikasi diri lainnya menyangkut penyerahan
paten atau pendaftaran model utilitas, desain
industri atau merek dagang; dan

87
(b) penyerahan bukti jika ada keraguan yang wajar
mengenai keaslian tanda tangan atau cara lain
untuk mengidentifikasi diri pada dokumen yang
diserahkan kepada pejabat yang berwenang dari
Pihak tersebut. Apabila pejabat yang berwenang
memberi tahu orang tersebut bahwa penyerahan
bukti diperlukan, pemberitahuan itu harus
menyatakan alasan untuk meminta penyerahan itu.

4. Tidak ada Pihak yang dapat meminta sertifikasi


terjemahan dari aplikasi sebelumnya yang prioritasnya
diklaim.

5. Setiap Pihak wajib memperkenalkan dan menerapkan


sistem di mana surat kuasa untuk prosedur aplikasi atau
prosedur administrasi lainnya pada paten, model utilitas,
desain industri, atau merek dagang sebelum otoritas yang
berwenang dari Pihak dapat berhubungan dengan satu atau
lebih aplikasi dan/atau pendaftaran. diidentifikasi dalam
surat kuasa atau, tunduk pada pengecualian yang ditunjukkan
oleh orang yang menunjuk, untuk semua aplikasi dan/atau
pendaftaran orang tersebut yang ada dan yang akan datang.

6. Masing-masing Pihak tidak akan mengharuskan


penyerahan surat kuasa dilengkapi dengan pengajuan
permohonan sebagai syarat menurut tanggal pengajuan
permohonan.

7. Masing-masing Pihak harus berusaha untuk meningkatkan


sistem pengacara paten atau konsultan hak kekayaan
intelektual terdaftar dengan maksud untuk lebih
memfasilitasi perolehan dan pemanfaatan hak kekayaan
industri.

8. Permohonan dan pemberian paten dan publikasinya harus


diklasifikasikan sesuai dengan sistem klasifikasi paten
internasional yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian
Strasbourg Mengenai Klasifikasi Paten Internasional tanggal
24 Maret 1971, sebagaimana telah diubah. Permohonan untuk
pendaftaran, dan pendaftaran, merek dagang untuk barang dan
jasa dan publikasinya harus diklasifikasikan sesuai dengan
Klasifikasi Nice.

Pasal 110
Transparansi

Untuk tujuan lebih meningkatkan transparansi dalam


administrasi sistem perlindungan kekayaan intelektual,
masing-masing Pihak harus, sesuai dengan hukum dan
peraturannya, mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:

88
(a) mempublikasikan informasi sekurang-kurangnya
tentang permohonan dan pemberian paten,
pendaftaran model utilitas dan desain industri,
dan permohonan pendaftaran, dan pendaftaran,
merek dagang dan varietas tanaman baru, serta
menyediakan bagi publik informasi yang terkandung
dalam berkas-berkasnya;

(b) menyediakan kepada publik informasi tentang


aplikasi untuk penangguhan oleh otoritas pabean
dari pelepasan merek dagang palsu atau barang hak
cipta bajakan sebagai tindakan perbatasan; dan

(c) menyediakan kepada publik informasi (termasuk


informasi statistik) tentang upayanya untuk
memberikan penegakan yang efektif atas hak
kekayaan intelektual dan informasi lain yang
berkaitan dengan sistem perlindungan kekayaan
intelektual (termasuk standar atau pedoman
pemeriksaan permohonan paten dan permohonan
pendaftaran hak atas kekayaan intelektual).
desain industri dan merek dagang).

Pasal 111 Promosi


Kesadaran Publik
Perlindungan Kekayaan Intelektual
Para Pihak akan berusaha untuk meningkatkan kesadaran
publik tentang perlindungan kekayaan intelektual termasuk
proyek pendidikan dan diseminasi tentang penggunaan
kekayaan intelektual serta penegakan hak kekayaan
intelektual.

Pasal 112 Paten

1. Setiap Pihak harus memastikan bahwa setiap permohonan


paten tidak ditolak semata-mata atas dasar bahwa pokok
bahasan yang diklaim dalam permohonan tersebut terkait
dengan program komputer.

2. Setiap Pihak harus memastikan bahwa pemohon dapat,


atas inisiatifnya sendiri, membagi permohonan paten yang
berisi lebih dari satu penemuan ke dalam sejumlah
permohonan paten divisi dalam batas waktu yang ditentukan
dalam undang-undang dan peraturan Pihak tersebut.

89
3. Masing-masing Pihak harus memastikan bahwa suatu
permohonan paten diperiksa atas permintaan pemohon, jika
sesuai, lebih diutamakan daripada permohonan lain, jika
pemohon telah mengajukan permohonan paten atas penemuan
yang sama atau secara substansial sama di Pihak lainnya.
atau di non-Pihak mana pun. Setiap Pihak dapat meminta
pemohon untuk memberikan, bersama dengan permintaan, hasil
pencarian sebelumnya yang relevan, atau salinan keputusan
akhir oleh otoritas administratif untuk paten Pihak lain
atau non-Pihak (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai
“keputusan akhir”) atas permohonan yang diajukan di Pihak
lain atau non-Pihak.

4. Menyimpang dari paragraf 3, suatu Pihak yang


mengharuskan, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan
yang relevan, pemohon yang mengajukan permohonan paten di
Pihak tersebut untuk memberikan salinan keputusan akhir
atas permohonan paten yang sama atau secara substansial
invensi yang sama yang diajukan oleh pemohon di Pihak lain
atau di luar Pihak mana pun, akan memeriksa permohonan
tersebut dibandingkan dengan permohonan lain, jika pemohon
memberikan salinan tersebut di atas.

5. Masing-masing Pihak harus memastikan bahwa setiap


orang dapat memberikan informasi tertulis kepada otoritas
administratif untuk paten yang dapat menolak langkah
kebaruan atau inventif dari penemuan yang diklaim dalam
permohonan paten selama penundaan permohonan tersebut.
Setiap Pihak wajib mempertimbangkan informasi tersebut,
sebagaimana mestinya, untuk memeriksa permohonan
tersebut.

6. Setiap Pihak harus memastikan bahwa pemohon dapat


membuat perubahan atas permohonan patennya dalam jangka
waktu tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Pihak tersebut, setelah pengajuan permohonan bandingnya
sehubungan dengan penolakan permohonan tersebut oleh
otoritas administratif untuk paten.

7. Masing-masing Pihak harus menetapkan bahwa


setidaknya tindakan-tindakan berikut akan dianggap
sebagai pelanggaran hak paten jika dilakukan tanpa
persetujuan dari pemilik paten:

(a) dalam hal paten untuk penemuan produk, tindakan


pembuatan, pengalihan, penyewaan, pengimporan,
atau penawaran untuk pengalihan atau sewa, untuk
tujuan komersial, hal-hal yang akan digunakan
secara eksklusif untuk pembuatan produk; dan

90
(b) dalam hal paten untuk proses penemuan, tindakan
pembuatan, pengalihan, penyewaan, pengimporan,
atau penawaran untuk penugasan atau sewa, untuk
tujuan komersial, hal-hal yang akan digunakan
secara eksklusif untuk pengerjaan penemuan
tersebut.

Pasal 113 Desain


Industri

1. Setiap Pihak wajib memberikan perlindungan terhadap


desain industri yang dibuat secara independen yang baru
atau asli. Setiap Pihak harus menetapkan bahwa desain
bukanlah baru atau asli jika tidak berbeda secara
signifikan dari desain yang diketahui.

2. Setiap Pihak wajib menjamin bahwa apabila lebih dari


satu permohonan pendaftaran Desain Industri yang berkaitan
dengan Desain Industri yang sama atau serupa diajukan pada
tanggal yang berbeda, hanya pemohon yang mengajukan
terlebih dahulu yang dapat memperoleh pendaftaran Desain
Industri yang bersangkutan.

3. Setiap Pihak harus menjamin perlindungan yang memadai


dan efektif terhadap desain industri dari suatu bagian dari
suatu barang maupun suatu barang secara keseluruhan.

4. Setiap Pihak wajib menjamin bahwa pemilik desain


industri yang dilindungi mempunyai hak untuk mencegah pihak
ketiga yang tidak mendapat persetujuan pemilik untuk
membuat, menjual atau mengimpor barang yang memuat atau
mewujudkan suatu desain yang identik atau serupa dengan
desain yang dilindungi, apabila tindakan tersebut
dilakukan. untuk tujuan komersial.

5. Setiap Pihak wajib berusaha untuk menetapkan sistem


banding di mana banding dapat diajukan kepada otoritas
administratif desain industri terhadap keputusan
penolakannya atas permohonan pendaftaran desain industri.

Pasal 114 Merek


Dagang

1. Setiap Pihak harus memastikan bahwa pemilik merek


dagang terdaftar memiliki hak eksklusif untuk mencegah
semua pihak ketiga yang tidak memiliki izin pemilik untuk
menggunakan tanda-tanda yang identik atau serupa dalam
perdagangan untuk barang atau jasa yang identik atau serupa
dengan yang terkait dengannya. merek dagang terdaftar, di
mana penggunaan tersebut akan mengakibatkan kemungkinan
kebingungan.

91
2. Masing-masing Pihak harus menolak atau membatalkan
pendaftaran merek dagang, yang identik atau mirip dengan
merek dagang yang terkenal di salah satu Pihak sebagai
indikasi barang atau jasa orang lain, jika penggunaan merek
tersebut untuk maksud yang tidak adil, antara lain, maksud
untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil atau niat
untuk menyebabkan kerusakan pada orang tersebut apakah
penggunaan tersebut akan mengakibatkan kemungkinan
kebingungan atau tidak.

3. Setiap Pihak harus memastikan bahwa, apabila lebih


dari satu permohonan pendaftaran merek yang berkaitan
dengan merek dagang yang identik atau serupa yang akan
digunakan pada barang atau jasa yang identik atau
serupa diajukan pada tanggal yang berbeda, hanya
pemohon yang mengajukan pertama yang dapat memperoleh
pendaftaran untuk merek dagang yang bersangkutan.

4. Setiap Pihak harus memastikan bahwa satu dan aplikasi


yang sama untuk pendaftaran merek dagang dapat berhubungan
dengan beberapa barang dan/atau jasa, terlepas dari apakah
mereka termasuk dalam satu kelas atau beberapa kelas dari
Klasifikasi Nice.

5. Masing-masing Pihak harus memastikan bahwa periode di


mana permintaan pembaruan pendaftaran merek dapat diajukan
dan biaya pembaruan dapat dibayarkan harus dimulai
setidaknya enam bulan sebelum tanggal jatuh tempo pembaruan
dan akan berakhir paling cepat enam bulan. bulan setelah
tanggal tersebut.

Pasal 115 Hak Cipta


dan Hak Terkait

1. Setiap Pihak wajib memberikan kepada pencipta semua


hak eksklusif yang dilindungi di bawah Konvensi Berne
untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni pada tanggal 9
September 1886, sebagaimana telah diubah dan Perjanjian
Hak Cipta WIPO pada tanggal 20 Desember 1996 (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “the Perjanjian Hak Cipta
WIPO”).

2. Setiap Pihak wajib memberikan kepada para pemain dan


produser rekaman suara semua hak eksklusif yang dilindungi
di bawah Perjanjian Pertunjukan dan Rekaman Suara WIPO
tertanggal 20 Desember 1996, (selanjutnya disebut dalam
Pasal ini sebagai “Perjanjian Pertunjukan dan Rekaman Suara
WIPO”).

3. Setiap Pihak harus memberikan kepada organisasi


penyiaran dan siaran kabel hak untuk mengesahkan atau
melarang fiksasi siaran dan siarannya masing-masing,
sesuai dengan undang-undang dan peraturannya.

92
4. Setiap Pihak harus memberikan upaya hukum yang memadai
dan efektif terhadap setiap orang yang dengan sengaja
melakukan salah satu tindakan berikut dengan mengetahui,
atau sehubungan dengan upaya hukum perdata yang memiliki
alasan yang masuk akal untuk mengetahui, bahwa tindakan
tersebut akan menyebabkan, memungkinkan, memfasilitasi atau
menyembunyikan pelanggaran hak cipta atau hak terkait. :

(a) untuk menghapus atau mengubah informasi


manajemen hak elektronik tanpa wewenang; dan

(b) untuk mendistribusikan, mengimpor untuk


didistribusikan, menyiarkan, mengomunikasikan
atau menyediakan kepada publik, tanpa izin,
karya, salinan karya, pertunjukan, salinan
pertunjukan tetap atau rekaman suara dengan
mengetahui bahwa informasi manajemen hak
elektronik telah dihapus atau diubah tanpa izin.

5. Setiap Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang


diperlukan untuk mempromosikan pengembangan organisasi
manajemen kolektif untuk hak cipta dan hak terkait di
Pihak.

6. Untuk tujuan Pasal ini:

(a) sehubungan dengan hak pencipta, istilah


"informasi manajemen hak" memiliki arti yang
sama seperti dalam Pasal 12 Perjanjian Hak
Cipta WIPO; dan

(b) sehubungan dengan hak-hak pemain dan produser


rekaman suara, istilah "informasi manajemen hak"
memiliki arti yang sama seperti dalam Pasal 19
Perjanjian Pertunjukan dan Fonogram WIPO.

Pasal 116
Varietas Tanaman Baru
Setiap Pihak wajib menyediakan perlindungan bagi
semua genera dan spesies tanaman dengan sistem
perlindungan varietas tanaman yang efektif yang
konsisten dengan Konvensi UPOV 1991.

Pasal 117
Tindakan Persaingan Tidak Sehat
1. Setiap Pihak wajib memberikan perlindungan yang
efektif terhadap tindakan persaingan tidak sehat.

2. Setiap tindakan persaingan yang bertentangan dengan


praktik jujur dalam masalah industri atau komersial
merupakan tindakan persaingan tidak sehat.

93
3. Tindakan berikut, khususnya, dilarang sebagai tindakan
persaingan tidak sehat:

(a) semua tindakan yang sedemikian rupa sehingga


menimbulkan kebingungan dengan cara apa pun
dengan pendirian, barang, jasa, atau kegiatan
industri atau komersial, pesaing;

(b) tuduhan palsu dalam perdagangan yang bersifat


mendiskreditkan pendirian, barang, jasa, atau
kegiatan industri atau komersial, pesaing;

(c) indikasi atau dugaan yang penggunaannya dalam


perdagangan dapat menyesatkan masyarakat mengenai
sifat, sifat, kesesuaian peruntukannya, atau
jumlah, barang atau jasa, atau proses pembuatan
barang; dan

(d) tindakan oleh agen atau perwakilan dari pemilik


hak yang berkaitan dengan merek dagang, tanpa
alasan yang sah dan persetujuan dari pemilik hak
tersebut, menggunakan merek dagang yang identik
atau mirip dengan merek dagang yang berkaitan
dengan hak tersebut sehubungan dengan barang atau
jasa identik atau serupa dengan yang berkaitan
dengan hak tersebut; memindahtangankan,
menyerahkan, menampilkan untuk tujuan penugasan
atau penyerahan, mengekspor, mengimpor, atau
menyediakan melalui saluran telekomunikasi,
barang-barang dengan menggunakan merek dagang
yang identik atau serupa yang identik atau serupa
dengan barang-barang yang berkaitan dengan hak
tersebut; atau memberikan layanan dengan
menggunakan merek dagang yang identik atau serupa
yang identik atau serupa dengan layanan yang
berkaitan dengan hak tersebut.

4. Tindakan berikut juga dapat dilarang sebagai


tindakan persaingan tidak sehat:

(a) perbuatan menggunakan suatu indikasi barang


atau indikasi lain sebagai milik sendiri yang
identik atau mirip dengan indikasi barang atau
indikasi lain yang terkenal; atau tindakan
menugaskan, menyerahkan, menampilkan untuk
tujuan penugasan atau penyerahan, mengekspor,
mengimpor, atau menyediakan melalui jalur
telekomunikasi, barang dengan menggunakan
indikasi tersebut;

94
(b) tindakan mengalihkan, menyewakan, menampilkan
untuk tujuan pengalihan atau sewa, mengekspor
atau mengimpor, barang yang meniru konfigurasi
barang orang lain kecuali sebagaimana diatur
dalam undang-undang dan peraturan masing-masing
Pihak; dan

(c) tindakan memperoleh atau memegang hak untuk


menggunakan nama domain yang identik atau mirip
dengan indikasi tertentu barang atau jasa orang
lain, atau menggunakan nama domain tersebut,
dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang
tidak adil atau niat untuk menyebabkan kerusakan
pada orang tersebut.

5. Setiap Pihak harus menetapkan pemulihan yang tepat


untuk mencegah atau menghukum tindakan persaingan tidak
sehat. Secara khusus, masing-masing Pihak harus memastikan
bahwa setiap orang yang menganggap kepentingan bisnisnya
terpengaruh oleh tindakan persaingan tidak sehat dapat
mengajukan tindakan hukum dan meminta perintah terhadap
tindakan tersebut, penghancuran barang-barang yang
merupakan tindakan tersebut, pemindahan fasilitas yang
digunakan untuk tujuan tersebut. tindakan, atau kerugian
yang diakibatkan oleh tindakan tersebut, kecuali
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
Pihak.

Pasal 118
Perlindungan Informasi yang Dirahasiakan
Setiap Pihak harus memastikan dalam undang-undang
dan peraturannya perlindungan yang memadai dan efektif
atas informasi yang tidak diungkapkan sesuai dengan
Pasal 39 Perjanjian TRIPs.

Pasal 119 Penegakan –


Tindakan Perbatasan

1. Setiap Pihak wajib mengadopsi prosedur untuk


memungkinkan pemegang hak, yang memiliki alasan yang sah
untuk mencurigai bahwa impor atau ekspor merek dagang
palsu atau barang hak cipta bajakan dapat terjadi, untuk
mengajukan permohonan secara tertulis kepada otoritas
yang berwenang, administratif atau yudisial, untuk
penangguhan. oleh otoritas pabean untuk pelepasan ke
peredaran bebas barang-barang tersebut.

2. Dalam hal penangguhan sehubungan dengan impor sesuai


dengan ayat 1, importir dan pemegang hak harus segera
diberitahu tentang penangguhan tersebut. Dalam hal
penangguhan sehubungan dengan ekspor sesuai dengan ayat 1,
eksportir dan pemegang hak harus segera diberitahu tentang
penangguhan tersebut.

95
3. Setiap Pihak harus memastikan bahwa otoritas yang
berwenang tidak mengizinkan ekspor ulang merek dagang palsu
atau barang hak cipta bajakan selain dalam keadaan luar
biasa.

Pasal 120 Penegakan –


Pemulihan Sipil

1. Masing-masing Pihak harus memastikan bahwa pemegang


hak atas kekayaan intelektual memiliki hak untuk menuntut
terhadap pelanggar ganti rugi yang cukup untuk mengganti
kerugian yang diderita pemegang hak karena pelanggaran hak
kekayaan intelektual orang tersebut oleh pelanggar yang
dengan sengaja, atau dengan alasan yang wajar. alasan untuk
mengetahui, terlibat dalam aktivitas pelanggaran.

2. Setiap Pihak harus berusaha, sebagaimana


diperlukan, untuk meningkatkan sistem peradilannya
dengan tujuan untuk memberikan pemulihan perdata yang
efektif terhadap pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Pasal 121 Penegakan –


Pemulihan Pidana

Setiap Pihak wajib menetapkan prosedur pidana dan


hukuman yang akan diterapkan dalam kasus pelanggaran hak
paten, hak yang berkaitan dengan model utilitas, desain
industri, merek dagang atau desain tata letak sirkuit
terpadu, hak cipta atau hak terkait, atau hak pemulia
tanaman, yang dilakukan dengan sengaja dan dalam skala
komersial. Upaya pemulihan yang tersedia harus mencakup
hukuman penjara dan/atau denda uang yang cukup untuk
memberikan efek jera, sesuai dengan tingkat hukuman yang
diterapkan untuk kejahatan dengan tingkat keparahan yang
sesuai.

Pasal 122
Kerjasama

1. Para Pihak, menyadari semakin pentingnya perlindungan


kekayaan intelektual dalam mengejar promosi lebih lanjut
perdagangan dan investasi antara Para Pihak, sesuai dengan
hukum dan peraturan masing-masing dan tunduk pada sumber
daya yang tersedia, harus bekerja sama di bidang kekayaan
intelektual. Biaya kerjasama berdasarkan Pasal ini harus
ditanggung dengan cara yang setimpal mungkin.

2. Bidang dan bentuk kerja sama berdasarkan Pasal


ini diatur dalam Persetujuan Pelaksanaan.

96
Pasal 123
Sub-Komite Kekayaan Intelektual
Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite tentang Kekayaan
Intelektual (selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai
“Sub-Komite”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(b) membahas setiap masalah yang berkaitan dengan


kekayaan intelektual dengan tujuan untuk
meningkatkan perlindungan kekayaan intelektual
dan penegakan hak kekayaan intelektual dan
untuk mempromosikan administrasi sistem
perlindungan kekayaan intelektual yang efisien
dan transparan;

(c) bertukar pandangan tentang masalah-masalah


berikut:

(i) perlindungan sumber daya genetik,


pengetahuan tradisional, dan cerita rakyat;
dan

(ii) tanggung jawab penyedia layanan internet;

(d) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

Bab 10 Pengadaan
Pemerintah

Pasal 124
Pertukaran Informasi

1. Setiap Pihak harus, dengan tunduk pada hukum dan


peraturannya, menanggapi secara tepat waktu atas permintaan
yang wajar dari Pihak lain untuk informasi tentang hukum
dan peraturannya, kebijakan dan praktik pengadaan
pemerintah, serta setiap reformasi terhadap rezim pengadaan
pemerintah yang ada.

2. Pertukaran informasi berdasarkan ayat 1 harus


difasilitasi melalui otoritas pemerintah berikut:

(a) untuk Jepang, Kementerian Luar Negeri; dan

97
(b) untuk Indonesia, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Pasal 125
Sub-Komite Pengadaan Pemerintah
1. Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Panitia Pengadaan Pemerintah
(selanjutnya disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-
Panitia”) yang dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) meninjau dan memantau pelaksanaan dan


pengoperasian Bab ini;

(b) bertukar pandangan tentang undang-undang dan


peraturan, kebijakan dan praktik, dan masalah
lain yang disepakati bersama mengenai pengadaan
pemerintah;

(c) membahas cara-cara untuk memfasilitasi


kerjasama antara entitas Para Pihak terkait di
bidang pengadaan pemerintah;

(d) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(e) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

2. Keputusan oleh masing-masing Pihak tentang komposisi


perwakilan Pemerintah Pihak pada Sub-Komite, harus
difasilitasi oleh otoritas pemerintahannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal 124.

Bab 11 Kompetisi

Pasal 126 Promosi


Kompetisi
dengan Mengatasi Aktivitas Anti-persaingan
Setiap Pihak harus, sesuai dengan hukum dan
peraturannya, mempromosikan persaingan dengan
menangani kegiatan anti persaingan, untuk
memfasilitasi fungsi pasarnya secara efisien.

Catatan: Untuk tujuan Bab ini, istilah “aktivitas


anti persaingan” berarti setiap tindakan atau
transaksi yang dapat dikenakan sanksi atau
keringanan berdasarkan undang-undang dan
peraturan persaingan dari salah satu Pihak.

98
Pasal 127
Kerjasama dalam Promosi Kompetisi
1. Para Pihak harus, sesuai dengan hukum dan peraturan
masing-masing, bekerja sama dalam mempromosikan persaingan
dengan menangani kegiatan anti persaingan, dan dalam
pengembangan kapasitas untuk memperkuat kebijakan
persaingan dan implementasi undang-undang dan peraturan
persaingan, dengan tunduk pada sumber daya masing-masing
yang tersedia.

2. Rincian dan prosedur kerja sama berdasarkan Pasal


ini akan ditetapkan dalam Perjanjian Pelaksanaan.

Pasal 128 Non-


Diskriminasi

Setiap Pihak wajib menerapkan undang-undang dan


peraturan persaingannya dengan cara yang tidak membeda-
bedakan orang-orang dalam keadaan yang sama berdasarkan
kewarganegaraan mereka.

Pasal 129 Keadilan


Prosedural

Setiap Pihak wajib menerapkan prosedur administratif


dan yudisial dengan cara yang adil untuk menangani kegiatan
anti persaingan, sesuai dengan undang-undang dan
peraturannya yang relevan.

Pasal 130
Tidak Berlakunya Ayat 2 Pasal 9
Paragraf 2 Pasal 9 tidak berlaku untuk Bab ini.

Bab 12
Peningkatan Lingkungan Bisnis dan
Promosi Keyakinan Bisnis

Pasal 131
Prinsip Dasar

1. Para Pihak, yang menegaskan minat mereka dalam


menciptakan lingkungan bisnis yang lebih menguntungkan
dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan perdagangan dan
investasi oleh perusahaan Para Pihak, dari waktu ke waktu
harus berkonsultasi untuk mengatasi masalah-masalah
mengenai peningkatan lingkungan bisnis di Para Pihak. dan
untuk memfasilitasi promosi kepercayaan bisnis di antara
perusahaan Para Pihak.

99
2. Masing-masing Pihak wajib, sesuai dengan undang-undang
dan peraturannya, mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk lebih meningkatkan lingkungan bisnis untuk
kepentingan perusahaan Para Pihak yang melakukan kegiatan
bisnis mereka di Para Pihak.

3. Para Pihak wajib, sesuai dengan hukum dan peraturan


masing-masing, mempromosikan kerja sama untuk lebih
meningkatkan lingkungan bisnis di masing-masing Pihak dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk
membangun mekanisme seperti yang diatur dalam sub-paragraf
1(j) Pasal 15 dan Pasal 133.

Pasal 132
Sub-Komite Peningkatan Lingkungan Bisnis dan Promosi
Kepercayaan Bisnis

1. Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini


secara efektif, fungsi Sub-Komite Peningkatan Lingkungan
Usaha dan Peningkatan Kepercayaan Usaha (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-Komite”) dibentuk
sesuai dengan Pasal 15 akan menjadi:

(a) menangani masalah yang berkaitan dengan


peningkatan lingkungan bisnis dan peningkatan
kepercayaan bisnis yang dianggap tepat oleh Sub-
Komite, dengan mempertimbangkan, jika perlu,
temuan yang dilaporkan oleh Kantor Penghubung
untuk Peningkatan Lingkungan Bisnis yang
ditetapkan sesuai dengan Pasal 133 , dan bekerja
sama dengan Sub-Komite lain yang relevan atau
mekanisme yang ada dengan tujuan untuk
menghindari tumpang tindih yang tidak perlu
dengan pekerjaan Sub-Komite atau mekanisme
tersebut;

(b) melaporkan temuan dan membuat rekomendasi kepada


Para Pihak, termasuk langkah-langkah yang akan
diambil oleh Para Pihak, mengenai fungsi-fungsi
sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (a). Para
Pihak wajib mempertimbangkan rekomendasi
tersebut. Sub-Komite dapat berkonsultasi dengan
Komite Bersama sebelum pengajuan rekomendasi
kepada Para Pihak;

(c) bila perlu, meninjau pelaksanaan rekomendasi


sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (b);

100
(d) menyediakan, jika perlu, kepada perusahaan-
perusahaan Para Pihak rekomendasi-rekomendasi
sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat (b) dan
hasil-hasil tinjauan sebagaimana dimaksud dalam
sub-ayat (c) dengan cara yang tepat;

(e) melaporkan rekomendasi-rekomendasi sebagaimana


dimaksud pada sub-ayat (b) dan temuan-temuan
lain sehubungan dengan pelaksanaan dan
pengoperasian Bab ini kepada Komite Bersama;
dan

(f) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

2. Rincian lain dari Sub-Komite dapat diatur dalam


Perjanjian Pelaksanaan.

Pasal 133
Kantor Penghubung Peningkatan Lingkungan Bisnis
1. Setiap Pihak harus menunjuk dan memelihara Kantor
Penghubung untuk Peningkatan Lingkungan Bisnis untuk
tujuan Bab ini.

2. Fungsi dan rincian lain dari Kantor Penghubung untuk


Peningkatan Lingkungan Bisnis dapat diatur dalam
Perjanjian Pelaksanaan.

Bab 13 Kerjasama

Pasal 134
Prinsip Dasar
Para Pihak wajib memajukan kerja sama berdasarkan
Persetujuan ini untuk keuntungan bersama dalam rangka
meliberalisasi dan memfasilitasi perdagangan dan investasi
antara Para Pihak dan untuk memajukan kesejahteraan rakyat
Para Pihak.
Untuk tujuan ini, Para Pihak wajib bekerja sama antara
Pemerintah Para Pihak dan, jika perlu dan sesuai,
mendorong dan memfasilitasi kerja sama antara para pihak
selain Pemerintah Para Pihak, di bidang-bidang berikut:

(a) industri manufaktur;

(b) pertanian, kehutanan dan perikanan;

(c) promosi perdagangan dan investasi;

101
(d) pengembangan sumber daya manusia;

(e) pariwisata;
(f) teknologi Informasi dan Komunikasi;

(g) jasa keuangan;

(h) pengadaan pemerintah;

(i) lingkungan; dan

(j) bidang lain yang akan disepakati bersama oleh


Para Pihak.

Catatan: Kerjasama di bidang prosedur kepabeanan, energi


dan sumber daya mineral, kekayaan intelektual dan
persaingan diatur dalam Bab 4, 8, 9 dan 11.

Pasal 135
Bidang dan Bentuk Kerjasama
Bidang dan bentuk kerjasama dalam Bab ini dapat
diatur dalam Persetujuan Pelaksanaan.

Pasal 136 Biaya


Kerjasama

1. Para Pihak akan berusaha untuk menyediakan dana dan


sumber daya lain yang diperlukan untuk pelaksanaan
kerjasama berdasarkan Bab ini sesuai dengan peraturan
perundang-undangan masing-masing.

2. Biaya kerjasama berdasarkan Bab ini akan ditanggung


dengan cara yang adil untuk disepakati bersama oleh Para
Pihak.

Pasal 137
Sub-Komite Kerjasama
1. Untuk tujuan pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini
secara efektif, fungsi Sub-Komite Kerjasama (selanjutnya
disebut dalam Pasal ini sebagai “Sub-Komite”) yang
dibentuk sesuai dengan Pasal 15 adalah:

(a) bertukar informasi tentang kerjasama;

(b) meninjau, memantau dan memberikan bimbingan


tentang pelaksanaan dan pengoperasian Bab ini;

102
(c) mengidentifikasi cara untuk kerjasama lebih
lanjut;

(d) membahas masalah apa pun yang terkait dengan Bab


ini;

(e) melaporkan temuan Sub-Komite kepada Komite


Bersama; dan

(f) melaksanakan fungsi lain yang dapat didelegasikan


oleh Komite Bersama sesuai dengan Pasal 14.

2. Sub-Komite akan menghormati mekanisme konsultasi


untuk Bantuan Pembangunan Resmi dan skema kerjasama
lainnya antara Para Pihak dan, jika sesuai, berbagi
informasi dan berkoordinasi dengan mekanisme dan skema
tersebut untuk memastikan pelaksanaan kegiatan dan
proyek kerjasama yang efektif dan efisien.

Bab 14
Penyelesaian
Sengketa

Pasal 138
Ruang Lingkup

1. Bab ini berlaku sehubungan dengan penyelesaian


perselisihan antara Para Pihak yang timbul dari
penafsiran dan/atau penerapan Perjanjian ini.

2. Menyimpang dari ayat 1, Bab ini kecuali Pasal 139


tidak berlaku untuk Pasal 104 dan 122, dan Bab 10 sampai
13.

3. Tidak ada satu pun dalam Bab ini yang dapat


mengurangi hak Para Pihak untuk meminta bantuan pada
prosedur penyelesaian sengketa yang tersedia di bawah
perjanjian internasional lainnya di mana kedua Pihak
menjadi pihak.

4. Menyimpang dari ayat 3, sekali prosedur penyelesaian


sengketa telah dimulai berdasarkan Bab ini atau di bawah
perjanjian internasional lainnya di mana kedua Pihak adalah
pihak sehubungan dengan sengketa tertentu, prosedur itu
harus digunakan dengan mengesampingkan prosedur lain untuk
sengketa tertentu. .

Pasal 139 Prinsip


Umum

Setiap perselisihan antara Para Pihak yang timbul


dari penafsiran dan/atau penerapan Perjanjian ini, sejauh
mungkin, akan diselesaikan secara damai dan damai.

103
Pasal 140
Konsultasi

1. Salah satu Pihak dapat meminta konsultasi secara


tertulis kepada Pihak lainnya mengenai setiap masalah
yang timbul dari interpretasi dan/atau penerapan
Perjanjian ini.

2. Ketika suatu Pihak meminta konsultasi sesuai dengan


ayat 1, Pihak lainnya harus menjawab permintaan tersebut
dan mengadakan konsultasi dengan itikad baik dalam waktu 60
hari setelah tanggal diterimanya permintaan tersebut. Dalam
hal konsultasi mengenai barang yang mudah rusak, Pihak
lainnya harus mengadakan konsultasi dalam waktu 20 hari
setelah tanggal penerimaan permintaan.

3. Kecuali disepakati lain oleh Para Pihak, konsultasi


akan diperlakukan sebagai rahasia. Konsultasi harus tanpa
mengurangi hak salah satu Pihak dalam proses lebih lanjut.

Pasal 141
Jasa Baik, Konsiliasi atau Mediasi
1. Jasa baik, konsiliasi atau mediasi dapat diminta
setiap saat oleh salah satu Pihak. Mereka dapat dimulai
kapan saja dengan persetujuan Para Pihak, dan diakhiri
kapan saja atas permintaan salah satu Pihak.

2. Jika Para Pihak setuju, jasa baik, konsiliasi atau


mediasi dapat dilanjutkan selama prosedur majelis
arbitrase yang diatur dalam Bab ini sedang berlangsung.

3. Proses yang melibatkan jasa baik, konsiliasi atau


mediasi dan posisi yang diambil oleh Para Pihak selama
proses ini, harus diperlakukan sebagai rahasia, dan tanpa
mengurangi hak salah satu Pihak dalam proses lebih lanjut.

Pasal 142 Pembentukan


Pengadilan Arbitrase

1. Pihak pengadu yang meminta konsultasi berdasarkan


Pasal 140 dapat meminta secara tertulis pembentukan
majelis arbitrase kepada Pihak yang digugat:

(a) jika Pihak yang dikeluhkan tidak mengadakan


konsultasi tersebut dalam waktu 60 hari, atau
dalam
20 hari dalam hal konsultasi mengenai barang
yang mudah rusak, setelah tanggal diterimanya
permintaan konsultasi tersebut; atau

104
(b) jika Para Pihak gagal menyelesaikan
perselisihan melalui konsultasi tersebut dalam
waktu 90 hari, atau dalam waktu 50 hari dalam
kasus konsultasi mengenai barang yang mudah
rusak, setelah tanggal diterimanya permintaan
konsultasi tersebut,

dengan ketentuan bahwa Pihak yang mengajukan keluhan


menganggap bahwa setiap keuntungan yang diperolehnya
berdasarkan Perjanjian ini dibatalkan atau dirugikan
sebagai akibat dari kegagalan Pihak yang dikeluhkan untuk
melaksanakan kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini, atau
sebagai akibat dari penerapan oleh Pihak mengeluhkan
tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan
Perjanjian ini.

2. Setiap permintaan untuk membentuk majelis arbitrase


sesuai dengan Pasal ini harus mengidentifikasi:

(a) dasar hukum pengaduan termasuk ketentuan dalam


Perjanjian ini yang diduga telah dilanggar dan
ketentuan terkait lainnya; dan

(b) dasar faktual atas pengaduan tersebut.

3. Majelis arbitrase terdiri dari tiga arbiter, yang


harus memiliki keahlian teknis atau hukum yang relevan.

4. Masing-masing Pihak harus, dalam waktu 45 hari setelah


tanggal diterimanya permintaan pembentukan majelis
arbitrase, menunjuk seorang arbiter yang mungkin warga
negaranya dan mengusulkan hingga tiga orang calon untuk
menjadi arbiter ketiga yang akan menjadi ketua majelis.
pengadilan arbitrase. Arbiter ketiga tidak boleh warga
negara salah satu Pihak, juga tidak memiliki tempat
tinggalnya yang biasa di salah satu Pihak, atau
dipekerjakan oleh salah satu Pihak, juga tidak pernah
menangani sengketa dalam kapasitas apa pun.

5. Para Pihak akan menyepakati dan menunjuk arbiter


ketiga dalam waktu 60 hari setelah tanggal diterimanya
permintaan pembentukan majelis arbitrase, dengan
mempertimbangkan calon yang diajukan sesuai dengan ayat 4.

6. Jika suatu Pihak belum menunjuk seorang arbiter sesuai


dengan ayat 4 atau jika Para Pihak gagal untuk menyepakati
dan menunjuk arbiter ketiga sesuai dengan ayat 5, arbiter
atau arbiter yang belum ditunjuk harus dipilih dalam waktu
15 hari dengan undian dari calon yang diusulkan berdasarkan
ke paragraf 4.

105
7. Tanggal pembentukan majelis arbitrase adalah tanggal
penunjukan ketua.

Pasal 143 Fungsi


Majelis Arbitrase

1. Majelis arbitrase yang dibentuk berdasarkan Pasal


142:

(a) harus berkonsultasi dengan Para Pihak


sebagaimana mestinya dan memberikan kesempatan
yang memadai untuk pengembangan resolusi yang
saling memuaskan;

(b) akan membuat keputusannya sesuai dengan


Persetujuan ini dan aturan hukum internasional
yang berlaku; dan

(c) harus menetapkan, dalam putusannya, temuan hukum


dan fakta, bersama dengan alasan-alasannya.

2. Majelis arbitrase dapat mencari, dari Para Pihak,


informasi relevan yang dianggap perlu dan sesuai. Para
Pihak harus segera dan sepenuhnya menanggapi setiap
permintaan oleh majelis arbitrase untuk informasi yang
dianggap perlu dan sesuai oleh majelis arbitrase.

3. Majelis arbitrase dapat mencari informasi dari sumber


yang relevan dan dapat berkonsultasi dengan para ahli untuk
memperoleh pendapat mereka tentang aspek-aspek tertentu
dari masalah tersebut. Sehubungan dengan masalah faktual
mengenai masalah ilmiah atau teknis lainnya yang diangkat
oleh suatu Pihak, majelis arbitrase dapat meminta laporan
nasihat secara tertulis dari para ahli.

4. Majelis arbitrase dapat, atas permintaan suatu Pihak


atau atas inisiatifnya sendiri, memilih, dengan
berkonsultasi dengan Para Pihak, tidak kurang dari dua
ahli ilmiah atau teknis yang akan membantu majelis
arbitrase selama prosesnya, tetapi yang tidak berhak untuk
memberikan suara sehubungan dengan setiap keputusan yang
akan dibuat oleh majelis arbitrase, termasuk putusannya.

Pasal 144 Proses


Pengadilan Arbitrase

1. Majelis arbitrase akan bertemu dalam sesi tertutup.

2. Tempat untuk proses pengadilan arbitrase harus


diputuskan dengan persetujuan bersama Para Pihak, jika
tidak, harus bergantian di antara Para Pihak.

106
3. Pertimbangan majelis arbitrase dan dokumen yang
diserahkan kepadanya harus dijaga kerahasiaannya.

4. Menyimpang dari paragraf 3, salah satu Pihak dapat


membuat pernyataan publik mengenai pandangannya mengenai
sengketa, tetapi akan memperlakukan sebagai rahasia,
informasi dan penyerahan tertulis yang disampaikan oleh
Pihak lainnya kepada majelis arbitrase yang telah
ditetapkan oleh Pihak lain sebagai rahasia. Apabila
suatu Pihak telah memberikan informasi atau pengajuan
tertulis yang ditetapkan sebagai rahasia, Pihak tersebut
harus, atas permintaan Pihak lainnya, memberikan
ringkasan non-rahasia dari informasi atau pengajuan
tertulis yang dapat diungkapkan kepada publik.

5. Para Pihak akan diberikan kesempatan untuk menghadiri


salah satu presentasi, pernyataan atau sanggahan dalam
persidangan. Setiap informasi atau pengajuan tertulis yang
disampaikan oleh suatu Pihak kepada majelis arbitrase,
termasuk setiap komentar pada bagian deskriptif dari
rancangan putusan dan tanggapan atas pertanyaan yang
diajukan oleh majelis arbitrase, harus tersedia bagi Pihak
lainnya.

6. Putusan majelis arbitrase wajib dibuat tanpa


kehadiran Para Pihak, dan berdasarkan informasi yang
diberikan dan pernyataan yang dibuat.

7. Majelis arbitrase wajib, dalam waktu 90 hari setelah


tanggal pendiriannya, menyerahkan rancangan putusannya
kepada Para Pihak, termasuk bagian deskriptif serta temuan
dan kesimpulannya, untuk tujuan memungkinkan Para Pihak
meninjau aspek yang tepat dari rancangan putusan. Ketika
majelis arbitrase menganggap bahwa ia tidak dapat
mengajukan rancangan putusannya dalam jangka waktu 90 hari
tersebut, ia dapat memperpanjang jangka waktu tersebut
dengan persetujuan Para Pihak. Suatu Pihak dapat mengajukan
komentar secara tertulis kepada majelis arbitrase atas
rancangan putusan dalam waktu 15 hari setelah tanggal
penyerahan rancangan putusan.

8. Majelis arbitrase akan mengeluarkan putusannya, dalam


waktu 30 hari setelah tanggal penyerahan rancangan putusan.

9. Majelis arbitrase akan berusaha untuk membuat


keputusannya, termasuk putusannya, melalui konsensus
tetapi juga dapat membuat keputusannya, termasuk
putusannya, dengan suara terbanyak.

10. Putusan majelis arbitrase bersifat final dan mengikat


Para Pihak.

107
Pasal 145
Penangguhan dan Penghentian Proses
1. Dimana Para Pihak setuju, majelis arbitrase dapat
menangguhkan pekerjaannya setiap saat untuk jangka waktu
tidak lebih dari 12 bulan. Dalam hal penangguhan seperti
itu, jangka waktu yang ditetapkan dalam paragraf 7 dan 8
Pasal 144 dan paragraf
8 Pasal 146 akan diperpanjang dengan jangka waktu
pekerjaan dihentikan. Proses pengadilan arbitrase akan
dilanjutkan setiap saat atas permintaan salah satu Pihak.
Jika pekerjaan majelis arbitrase telah ditangguhkan selama
lebih dari 12 bulan, wewenang untuk pembentukan majelis
arbitrase akan berakhir kecuali Para Pihak menyetujui
sebaliknya.

2. Para Pihak dapat setuju untuk menghentikan proses


sidang arbitrase setiap saat sebelum dikeluarkannya
putusan kepada Para Pihak dengan cara bersama-sama
memberitahukan kepada ketua majelis arbitrase.

Pasal 146
Pelaksanaan Penghargaan

1. Pihak yang digugat harus segera mematuhi putusan


majelis arbitrase yang dikeluarkan sesuai dengan Pasal
144.

2. Pihak yang digugat harus, dalam waktu 20 hari setelah


tanggal dikeluarkannya putusan, memberitahukan kepada
Pihak yang mengajukan pengaduan tentang jangka waktu
pelaksanaan putusan. Jika Pihak yang mengajukan keluhan
menganggap jangka waktu yang diberitahukan tidak dapat
diterima, Pihak yang mengajukan keluhan dapat meminta
konsultasi dengan maksud untuk mencapai periode
implementasi yang saling memuaskan. Jika tidak ada periode
implementasi yang memuaskan telah disepakati dalam waktu
30 hari setelah tanggal penerimaan permintaan, Pihak yang
mengajukan keluhan dapat merujuk masalah tersebut ke
pengadilan arbitrase.

3. Jika Pihak yang digugat menganggap tidak praktis untuk


mematuhi putusan dalam jangka waktu pelaksanaan sebagaimana
ditentukan sesuai dengan ayat 2, Pihak yang digugat harus,
selambat-lambatnya setelah berakhirnya jangka waktu
pelaksanaan itu, mengadakan konsultasi dengan Pihak
pengadu, dengan pandangan untuk mengembangkan resolusi yang
saling memuaskan melalui kompensasi atau pengaturan
alternatif. Jika tidak ada penyelesaian yang memuaskan
telah disepakati dalam waktu 30 hari setelah tanggal
berakhirnya periode implementasi tersebut, Pihak yang
mengajukan keluhan dapat memberi tahu Pihak yang mengajukan
keluhan bahwa pihaknya bermaksud untuk menangguhkan
aplikasi kepada Pihak yang dikeluhkan tentang konsesi atau
kewajiban lain berdasarkan Perjanjian ini.

108
4. Jika Pihak yang mengajukan pengaduan menganggap bahwa
Pihak yang diadukan telah gagal untuk mematuhi putusan
dalam jangka waktu pelaksanaan sebagaimana ditentukan
sesuai dengan ayat 2, ia dapat merujuk masalah tersebut ke
pengadilan arbitrase.

5. Jika majelis arbitrase dimana masalah tersebut


dirujuk sesuai dengan ayat 4 menegaskan bahwa Pihak yang
dikeluhkan telah gagal untuk mematuhi putusan dalam jangka
waktu pelaksanaan sebagaimana ditentukan sesuai dengan
ayat 2, Pihak yang mengajukan pengaduan dapat, dalam waktu
30 hari setelah tanggal konfirmasi tersebut oleh majelis
arbitrase, memberitahukan Pihak yang dikeluhkan bahwa
pihaknya bermaksud untuk menangguhkan permohonan kepada
Pihak yang dikeluhkan tentang konsesi atau kewajiban lain
berdasarkan Perjanjian ini.

6. Penangguhan penerapan konsesi atau kewajiban lain


berdasarkan paragraf 3 dan 5 hanya dapat dilaksanakan
paling lambat 30 hari setelah tanggal pemberitahuan
sesuai dengan paragraf tersebut. Penangguhan tersebut
harus:

(a) tidak berlaku jika, sehubungan dengan


perselisihan yang terkait dengan penangguhan,
konsultasi atau proses di hadapan majelis
arbitrase sedang berlangsung;

(b) bersifat sementara, dan dihentikan ketika Para


Pihak mencapai resolusi yang saling memuaskan
atau di mana kepatuhan terhadap putusan asli
dilakukan;

(c) dibatasi pada tingkat pembatalan atau penurunan


nilai yang sama yang disebabkan oleh kegagalan
untuk mematuhi putusan asli; dan

(d) dibatasi pada sektor atau sektor yang sama yang


terkait dengan pembatalan atau penurunan nilai,
kecuali tidak praktis atau efektif untuk
menangguhkan penerapan konsesi atau kewajiban
lain di sektor atau sektor tersebut.

109
7. Jika Pihak yang mengajukan keluhan menganggap bahwa
persyaratan untuk penangguhan penerapan konsesi atau
kewajiban lain berdasarkan Perjanjian ini oleh Pihak yang
mengajukan keluhan yang ditetapkan dalam paragraf 3, 5 atau
6 belum terpenuhi, Pihak tersebut dapat meminta konsultasi
dengan pihak yang mengajukan keluhan. Berpesta. Pihak yang
mengajukan keluhan harus mengadakan konsultasi dalam waktu
10 hari setelah tanggal diterimanya permintaan tersebut.
Jika Para Pihak gagal untuk menyelesaikan masalah tersebut
dalam waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya permintaan
konsultasi sesuai dengan paragraf ini, Pihak yang
dikeluhkan dapat merujuk masalah tersebut ke pengadilan
arbitrase.

8. Majelis arbitrase yang dibentuk untuk tujuan Pasal


ini, sedapat mungkin, harus memiliki, sebagai arbiternya,
para arbiter dari majelis arbitrase asli. Jika hal ini
tidak memungkinkan, maka para arbiter pada majelis
arbitrase yang dibentuk untuk tujuan Pasal ini akan
ditunjuk sesuai dengan ayat 4 sampai 6 Pasal 142. Majelis
arbitrase yang dibentuk untuk tujuan Pasal ini akan
mengeluarkan putusannya dalam waktu 60 hari setelah tanggal
ketika masalah itu dirujuk. Putusan tersebut wajib mengikat
Para Pihak.

Pasal 147 Perubahan


Jangka Waktu

Setiap jangka waktu yang ditentukan dalam Bab ini


dapat diubah dengan persetujuan bersama Para Pihak.

Pasal 148 Biaya

Kecuali Para Pihak menyetujui sebaliknya, biaya


majelis arbitrase, termasuk remunerasi para arbiternya,
akan ditanggung oleh Para Pihak dalam porsi yang sama.

Bab 15 Ketentuan
Akhir

Pasal 149
Daftar Isi dan Judul
Daftar isi dan judul dari Bab dan Pasal dari
Perjanjian ini disisipkan untuk kemudahan referensi saja
dan tidak akan mempengaruhi interpretasi dari Perjanjian
ini.

110
Pasal 150
Lampiran dan Catatan

Lampiran dan Catatan Persetujuan ini merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini.

Pasal 151
Tinjauan Umum

Para Pihak wajib melakukan tinjauan umum atas


pelaksanaan dan pelaksanaan Persetujuan ini pada tahun
kalender kelima setelah tahun kalender di mana Persetujuan
ini mulai berlaku, dan setiap lima tahun setelahnya,
kecuali disepakati lain oleh Para Pihak.

Pasal 152
Amandemen

1. Perjanjian ini dapat diubah dengan kesepakatan antara


Para Pihak.

2. Amandemen tersebut harus disetujui oleh Para Pihak


sesuai dengan prosedur hukum masing-masing, dan akan mulai
berlaku pada tanggal yang akan disepakati oleh Para Pihak.

3. Menyimpang dari paragraf 2, amandemen yang hanya


berkaitan dengan Lampiran 2 atau 3 dapat dibuat melalui
nota diplomatik yang dipertukarkan antara Pemerintah Para
Pihak.

Pasal 153 Mulai


Berlaku

Persetujuan ini akan mulai berlaku pada hari ketiga


puluh setelah tanggal dimana Pemerintah Para Pihak saling
bertukar nota diplomatik yang saling memberitahukan bahwa
prosedur hukum masing-masing yang diperlukan untuk
pemberlakuan Persetujuan ini telah diselesaikan. Ini akan
tetap berlaku kecuali dihentikan sebagaimana diatur dalam
Pasal 154.

Pasal 154
Penghentian

Salah satu Pihak dapat mengakhiri Perjanjian ini dengan memberikan


pemberitahuan satu tahun sebelumnya secara tertulis kepada Pihak
lainnya.

111
SEBAGAI BUKTI, yang bertanda tangan di bawah ini, yang
diberi kuasa untuk itu, telah menandatangani Perjanjian
ini.

DIBUAT di Jakarta pada tanggal dua puluh Agustus tahun


2007 dalam rangkap dua dalam bahasa Inggris.

Untuk Republik Indonesia: Untuk Jepang:

Dr Susilo Bambang Yudhoyono Tuan Shinzo Abe


Presiden Perdana Menteri Jepang
Republik Indonesia

112

Anda mungkin juga menyukai