Anda di halaman 1dari 37

MEMBERDAYAKAN ZAKAT UNTUK MENGURANGI PRAKTIK RIBA:

Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Zakat dan Riba dengan Pendekatan Tafsir
Ahkâm dan Makhârij Fiqhiyyah

Yaya Rosita
yahya1104@yahoo.com

ABSTRAK
Kemiskinan yang terstruktur dan ketimpangan kesejahteraan sosial
sedang berlangsung karena sistim sosial ekonomi ribawi dan dan belum
diberdayakannya zakat secara maksimal. Riba jahiliyah kini telah berganti
kemasan menjadi berbagai macam bentuk riba, mulai dari kredit perbankan,
riba on line, rentenir di pasar tradisional dan atau pembiayaan terselubung.
Mufassir dan fuqaha harus dapat menganalisanya secara cermat dengan
menggunakan kaidah tafsir dan fikih untuk berijtihad menentukan keputusan
hukum yang jelas sebagai solusi untuk mereduksi riba, sehingga roda ekonomi
ummat dapat berjalan lancar tanpa terjerumus ke dalam samudra riba, agar
prinsip : Islam sesuai untuk segala waktu dan tempat, dapat terealisir.
Sistim ribawi ini menyebabkan debitur terus terperangkap oleh hutang
hingga tidak sanggup melunasinya. Khusus tentang hasil investasi di Bank
yang menjadi polemik antar ‘Ulama, adalah bagian dari hukum zhanniy yang
kondisional, solusinya adalah mengganti bunga investasi dengan sistim bagi
hasil (revenue sharing) yang lebih adil dan sesuai dengan maqashid syariah.
Temuan dari hasil penelitian adalah bahwa diperlukan telaah/pemahaman
ulang (I’adhatul Nadhar) terhadap penafsiran ayat-ayat zakat dan riba dalam
usaha melemahkan praktik riba dengan memberdayakan zakat (tepat
masharifnya). Penulis juga mengajukan perubahan kaidah “Setiap utang-
piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba”, apabila “manfaat tersebut
disyaratkan pada awal akad.” Untuk masa depan perlu dipertimbangkan
kaidah menjadi : “Tidak setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat
adalah riba”
Disertasi ini sependapat dengan Fatwa Majma’ Al-Buhûts Al-
Islamiyah tanggal 28 November 2002 tentang bolehnya menerima hasil
Investasi di Bank (sesuai juga dengan pendapat Alm. Prof. KH. Ibrahim
Hosen, LML) dengan syarat akadnya mudharabah (investasi), namun tidak
sependapat dengan bolehnya bunga pinjaman dari Bank kepada nasabah.
Penelitian ini menggunakan metode kajian kritis kepustakaan
(Library Critical Review) yang bersifat kualitatif kritis ditunjang oleh
pengamatan lapangan (Field Observation), dengan pendekatan Tafsir Ahkam
dan Makharij Fiqhiyyah. Disertasi ini mendukung Fatwa MUI dan Baznas
yang terus melakukan inovasi ijtihadiy dalam pengelolaan dana zakat, baik
berupa sarana produktif, investasi dan microfinance sistim keuangan inklusif.
Penulis mengusulkan menggiatkan zakat progresif dinamis yang terintegrasi
dalam program ZISWAF disertai tindakan hukum yang tegas kepada
Pinjaman on Line dan rentenir untuk mencapai tujuan penelitian ini.
Kata Kunci: Zakat, Riba, Makhârij Fiqhiyyah.
A. Pendahuluan
Kemiskinan struktural dan kesenjangan kesejahteraan masyarakat
makin melebar, salah satu penyebabnya adalah sistim ekonomi kapitalis yang
ribawi, pemberdayaan zakat yang belum optimal serta pemahaman ayat Al-
Quran yang tidak kontekstual dan tidak menyentuh makna. Riba jahiliyah
kini telah berganti baju menjadi berbagai bentuk riba, mulai dari kredit
perbankan, pinjaman on line, rentenir dan atau pembiayaan terselubung.
Permasalahan ekonomi sistim ribawi ini yang menyebabkan debitur terus
terperangkap oleh hutang, hingga tidak sanggup melunasinya.
Problem ini penulis rumuskan menjadi dua masalah : Pertama,
konsep dan kaidah baru apa yang ditawarkan dalam rangka memberdayakan
zakat untuk mengurangi praktik riba berdasarkan kajian kritis terhadap
pemahaman Tafsir Aḥkâm tentang ayat-ayat zakat dan riba serta pendekatan
Makhârij Fiqhiyyah ?. Kedua, bagaimana penerapan konsep yang
ditawarkan itu dalam rangka memberdayakan zakat untuk mengurangi
praktik riba ?. Masalah tersebut perlu dicari solusinya agar pemberdayaan
zakat dapat mengurangi praktik riba melalui kombinasi pemahaman kritis
tafsir ahkam dan aplikasi Makhârij Fiqhiyyah sehingga tujuan meningkatkan
status mustahiq menjadi muzaki khususnya dan mengentaskan kemiskinan
umumnya dapat tercapai dengan optimal.
B. Kajian Pustaka dan Kerangka Teori
Kajian pustaka oleh peneliti sebelumnya bersifat normatif, kajian
literatur tanpa didukung observasi lapangan dan tanpa solusi ketika terjadi
kebuntuan hukum karena tanpa pendekatan pemahaman kritis ayat–ayat zakat
dan riba serta makhârij fiqhiyyah sebagai solusinya, sedangkan pada kajian
ini bersifat kritis, argumentatif dan solutif. Kerangka teorinya menerangkan
tentang : Pertama, Teori Ekonomi Kapitalis yang ribawi dibandingkan dengan
teori Ekonomi Islam Berbasis Maqashid Bisnis Syariah. Kedua, tentang
metodologi makhârij fiqhiyyah sebagai solusi ketika terjadi kebuntuan hukum
karena perubahan ‘illat sesuai dengan kaidah ‫الحكم يدور مع العلّة وجودا و عدما‬
C. Metode dan Hipotesis Penelitian
Metodologi penelitian ini adalah Library Research and Critical
Review Analysis (kualitatif kritis) yang ditunjang oleh pengamatan lapangan
(Field Observation), dengan pendekatan Tafsir Aḥkâm dan Makhârij
Fiqhiyyah. Bahwa apabila dana zakat diberdayakan dengan baik
(managemen, pengumpulan dan distribusinya) maka akan mampu untuk
mengurangi praktik riba, karena kebutuhan mustahik fakir miskin untuk
hidup, pendidikan dan modal usaha sudah dapat terpenuhi dari dana zakat.
Bahwa bila terjadi kebuntuan hukum pada ranah aplikasi mengurangi praktik
riba dengan memberdayakan dana zakat maka salah satu solusinya adalah
dengan pemahaman ulang ‫( إع''ادة النظر‬I’adhatul Nazhar( dan‫تحقي''ق المن''اط‬
Tahqiqul Manath) terhadap ayat-ayat riba dan zakat.
D. PEMBAHASAN TENTANG ZAKAT DAN RIBA
Zaman dan teknologi informasi sedang terus berubah dengan cepat,
muncul berbagai persoalan baru yang belum terjadi pada masa-masa
Rasulullah, ‘illat hukum sudah banyak yang berubah, maka perlu ijtihad
dalam memecahkan kebuntuan hukum agar penafsiran dan pengamalannya
selalu aktual kontekstual agar Al-Quran ‫صالح لكل زمان و مكان‬
Revitalisasi Pemahaman serta Substansi Zakat dan Riba
Sebenarnya riba model apa yang diharamkan oleh Al-Quran ? apakah
nasabah investasi di Bank termasuk riba ? dan disamakan hukumnya apabila
Bank yang mengutangkan kepada nasabah ?, apakah semua kata “Riba” dalam
Al-Qur’an bermakna haram ?. Demikian juga dengan zakat, apakah yang
dimaksud dengan harta dan sedekah ‫ خ''ذ من أم''والهم ص''دقة‬dalam surah At-
Taubah/9 : 103 hanya objek harta yang tercantum dalam konteks masa itu ?,
bagaimana dengan harta berlebih milik pribadi yang tidak dikomersilkan
(Villa, Mobil, motor) bolehkah dijadikan objek Zakat Progresif ? , apakah
yang dimaksud dengan “sedekah” hanya zakat ?. Dari semua itu, apakah kita
akan terus mempertahankan pemahaman yang “tekstual” padahal pemahaman
“kontekstual” dan menggali “makna” yang terkandung dalam suatu nash juga
suatu keniscayaan.
Jelasnya riba yang diharamkan oleh Al-Quran adalah Riba Nasi’ah,
yaitu riba yang : akadnya hutang piutang, tambahan (bunga) disyaratkan baik
di awal atau ketika terlambat pelunasan, bunga berbunga (kecil atau besar
tetap saja riba) sehingga bersifat eksploitatif (zalim). Riba nasi’ah kini dapat
ditemukan dalam bentuk : Kredit Bank, Rentenir, Pinjaman on Line, Bank
Emok dan juga pembiayaan Syariah, murabahah, dan atau mudharabah yang
sebagian pada praktiknya juga berupa kredit uang. Dari Sunnah yang
diharamkan adalah jual beli komoditi ribawi yang tidak adil karena tidak
“mitslan bi mitslin” secara kualitas, tidak “sawa-an bi sawa- in” secara
kuantitas serta akad jual beli tangguh yang dikonversi menjadi akad hutang
piutang karena tidak “yaddan bi yaddin”. Di sisi zakat, masih banyak yang
belum bisa menerima kehadiran “Zakat Hasil Profesi”, “Zakat Progresif
Dinamis”, “Zakat Perusahaan” dan “Integrasi Harmonis Zakat dan Pajak”.
Berikut adalah matriks-matriks pemahaman kritis termaksud.
Ringkasan
Tafsir Kalimah ‫ ِّربًا‬Surah Ar-Rûm/30:39 (Makkiy)
ِ ‫َو َما آتَ ْيتُم ِّمن ِّربًا لِّيَ ْربُ َو فِي َأ ْم َوا ِل النَّا‬
]٣٠:٣٩[  ِ ‫س فَاَل يَ ْربُو ِعن َد هَّللا‬
TAFSIR ‫ِّربًا‬
‘Abdullah Ibnu Hadiah seseorang untuk mengharapkan sesuatu yang
Abbas (w. 68 H) lebih bagus. Inilah yang tidak meningkat dalam
pandangan Allah dan pelakunya tidak memperoleh
balasan dan juga tidak berdosa.1
Jâmi’ al-Bayân Maknanya adalah, hadiah-hadiah.” 2
(ath-Thabari)
Jami Li Aḥkâm Al- Kata (‫ )ربا‬ribâ berarti kelebihan.3 Mufassir dan
Qur’an (al-Qurthubi)
fuqaha berbeda pendapat tentang kata riba tanpa ‫و‬
pada ayat makiyyah ini, bahwa rente yang dituju
adalah rente yang halal.4 “Ini adalah riba yang halal.”
al-Maraghî Diriwayatkan dari Ad-Dahak (Tabi’in), riba yang
(Mustafa Al-Maragî) halal ini tidak ada pahala / dosa bagi pelakunya.5
al-Munîr Inilah yang dimaksud dengan riba yang halal atau
(Wahbah az-Zuhaili) hibah tsawâb (memberi dengan tujuan mendapatkan
imbalan yang lebih baik/ banyak).6
Az-Zarkasyi (w. 794 H), penulis al- Burhan fî
Al-Mishbâh ‘Ulumil Qur`an, menjadikan perbedaan penulisan ini
(M. Quraish sebagai suatu ciri mengenai kelainan makna.Ini ialah
Shihab) riba yang halal yaitu hadiah, sedangkan yang lainnya
adalah riba yang haram. Thabâthabâ’i (w. 1981 M)
memahami kata riba pada ayat tersebut di atas dalam
arti hadiah, tetapi dengan catatan bila ayat ini turun
sebelum hijrah, namun bila turun setelah hijrah, maka
mempunyai makna riba yang haram. Sayyid Quthb
(w. 1966 M): bahwa pada masa itu ada orang yang
mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-
hadiah kepada yang mampu agar memperoleh
imbalan yang lebih banyak, cara ini tidak dilarang tapi
tidak terhormat.7

Tafsir Kalimah ‫ الربوا‬Pada Surah Al-Baqarah/2 : 275 (Madaniy)


‫ال ِّربَوا َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َما‬
TAFSIR ‫الربوا‬
Imam Hanafi Terdapat idmar (kata yang tidak disebutkan tapi

1
Al- Qurthubî, al-Jami Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld 16, 437
2
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan dkk, h.671. Menukil dari Ibnu
Abu Hatim, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhîm, jld. 9, h. 391
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h 229.
4
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman dkk, h. 85. Menukil Atsar dari
Ikrimah yang disebut oleh an-Nuhas dalam Ma’ani Al-Qur’an, jld 5, h. 264
Mustafa Al-Marâghî,Tafsir Al-Marâghî, terj. Alhumam dkk, ed. ke. II, juz. 3, h. 75
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h 229-230. Berbeda pendapat ulama tentang maksud
kata ini ( ‫“ ) ربا‬riba tanpa wawu ‫ " و‬pada ayat diatas. Ulama pakar tafsir dan hukum : al-
Qurtubi ; Ibn al-‘Arabi ; al-Biqâ’i ; Ibn Katsîr ; Sayyid Quthub dan masih banyak yang lain –
semua itu berpendapat – bahwa riba yang dimaksud ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsîr
menamainya riba mubah.
5
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Marâghî , juz . 21, h. 78
6
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah-Syari’ah-Manhaj, h. 117.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h 229-231.
artinya tetap ada) dengan taqdir ‫وْ ا‬eَ‫َو َح َّر َم َأ ْخ َد ال ِّرب‬
(dan mengharamkan mengambil riba)8
Lafaz riba bukan berarti ziyadah menurut bahasa,
Imam Syafi’i tapi sudah dinaqalkan (dipindah artikan) kepada
arti akad yang mengandung ziyadah9
Jâmi’ al-Bayân “Ini riba yang tidak halal”.10
(ath-Thabari)
Jami’ Li Aḥkâm Al- Huruf alif dan lâm pada kata ‫ اَ ْل ِربَ'وا‬berguna untuk
Qur’an (al-Qurthubi) menentukan jenis ribanya, yakni seperti yang biasa
dikerjakan oleh orang Arab pada waktu itu.11
al-Maraghî Riba di sini adalah meminjamkan dirham (uang
(Mustafa Al-Maragî) sebagai komoditi), lalu sesuai dengan berputarnya
waktu ketika akan membayarnya dirham tersebut
menjadi berlipat ganda.12
Fi Zhilalil Qur’an Bisnis ribawi diharamkan karena memastikan
(Sayyid Quthb) keuntungan.13
al-Munîr Jual beli adalah penukaran barang dengan barang
(Wahbah az-Zuhaili) lain ( mata uang) dan tidak ada unsur eksploitasi
di dalamnya. Sedangkan riba adalah sebuah
bentuk eksploitasi atau pemanfaatan terhadap
keadaan sulit dan butuh seseorang.14
Riba menurut bahasa adalah ziyadah (kelebihan).
Kelebihan tidak dapat disifatkan dengan halal dan
haram karena ia bukan perbuatan mukallaf. Jadi
Ibrahim Hosen ‫وْ ا‬eeeeَ‫ َّر َم ال ِّرب‬eeee‫ َو َح‬harus ditakdirkan dengan kata
“mengambil riba”. Tegasnya, yang diharamkan
adalah mengambilnya. Berarti, kalau tidak
mengambilnya, hilanglah hukum haramnya.15
Al-Mishbâh Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan
(M. Quraish Shihab) kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan
salah satu pihak.16

Tafsir َ‫ اَل تَ ْظلِ ُمونَ َواَل تُ ْظلَ ُمون‬Surah Al-Baqarah/2 : 279


8
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2020), cet. II, h. 65
9
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, cet. II, h. 65
10
Ath-Thabari, Jami al Bayan an Ta’wili Ayi Al Quran, cet. I, jld II, h. 171
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan dkk, h. 731.
11
Al-Qurthubî, al-Jami Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld 4, h. 395-396
Al-Qurthubî, al- Jami Li Aḥkâm Al-Qur’an, terj. Fathurrahman, dkk, Tafsir al-
Qurthubî, h. 791.
12
Ahmad Mustafa Al-Maragî, Tafsir Al-Maragî, terj. Alhumam dkk, juz. 3, h. 89.
13
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah : M.Misbah, cet. I, jld. 1, h. 383.
14
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 116
15
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, cet. II, h. 65
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v. 1, h. 721.
TAFSIR َ‫اَل َت ْظلِ ُمونَ َواَل تُ ْظلَ ُمون‬
Jâmi’ al-Bayân ْ
َ‫وْ ن‬eee‫“ الَتَظلِ ُم‬Kalian tidak menganiaya” : tidak
(ath-Thabari) mengambil riba dari piutang. ‫وْ نَ َو‬ee‫ظلَ ُم‬ ْ ُ‫“ الَ ت‬Dan
juga tidak dianiaya” Jika orang yang berhutang
tidak membayar hutang pokok, berarti dia telah
berbuat zalim kepada kalian.17
َ‫ اَل تَ ْظلِ ُمون‬kalian tidak melakukan aniaya dengan
al-Munîr tidak mengambil tambahan dari debitur. ‫َواَل‬
(Wahbah az-Zuhaili) َ‫ تُ ْظلَ ُم''ون‬dan kalian tidak pula dianiaya dengan
dikuranginya sebagian dari harta pokok kalian.18
Fi Zhilalil Qur’an Menarik kembali modal pokok adalah suatu
(Sayyid Quthb) keadilan yang tidak menganiaya orang yang
berutang maupun yang berpiutang..19
kalian tidak menzalimi mereka dengan
Al-Mishbâh membebani mereka pembayaran utang yang
(M. Quraish Shihab) melebihi apa yang mereka terima, dan tidak pula
dianiaya oleh mereka karena mereka harus
membayar penuh sebesar jumlah utang yang
mereka terima.20

E. Analisa Tentang Diskursus Riba


Berdasarkan data sejarah yang tercatat, praktik riba sudah ada sejak
400 tahun sebelum masehi (zaman Plato Yunani Kuno), hingga sekarang
praktik riba berbeda-beda, namun substansinya tetap sama, yaitu eksploitasi
si kaya terhadap orang-orang miskin. Ciri utama riba antara lain : si miskin
menghutang kepada si kaya, uang menjadi komoditas (uang menghasilkan
uang) di mana kreditur tidak terlibat langsung ke dalam kerja nyata, akadnya
hutang-piutang dengan bunga tinggi yang disyaratkan di muka (usury), bila
terlambat membayar dikenakan denda sehingga bunga berbunga
(berlipat/ad’afan mudha’afatan).
Inilah penganiayaan manusia kuat terhadap manusia lemah
(exploitation der l’homme par l’homme) yang sekarang sedang berlangsung
menjadi “exploitation der l’nation par l’ination” (penjajahan ekonomi
negara/bangsa yang lemah oleh negara/bangsa yang kaya). Mengapa riba
(usury) dapat bertahan pada setiap zaman bahkan terus menerus berkembang
dengan berbagai bentuknya ? bahkan kini dalam bentuk Pinjaman on Line
dengan sarat mudah, tanpa jaminan namun dengan bunga sangat tinggi, 1 %
per hari (360 % per tahun) melebihi riba jahiliyah.

17
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, Tafsir ath-Thabari, h. 749.
18
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 114
19
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, terj. : M.Misbah dkk, jld. 1, h. 388.
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v. 1, h. 726 -727.
Penyebabnya antara lain adalah : Pertama, profesi rentenir dapat
menghasilkan uang dengan mudah, relatif tanpa risiko dan tanpa kerja berat,
sudah menjadi karakter fitrah manusia yang tamak. Kedua, tidak adanya
tindakan hukum kepada rentenir (amanah firman Allah SWT dalam surah Al-
Baqarah/2 : 279). Ketiga, kemiskinan yang terstruktur dan minimnya
pemahaman hukum riba yang dapat berakibat fatal pada kehidupan dunia dan
akhirat. Kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya riba ini menjadi modal
untuk melangkah kepada penelitian selanjutnya yaitu mengkritisi, mengkaji
dan membandingkan, sehingga diperoleh alternatif pemahaman sebagai solusi
hukum teoritis dan praktis.
F. Matriks Tafsir Ayat Zakat
َ ‫ ُخ ْذ ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْم‬Surah At-Taubah/9:103
Tafsir Kalimah ً‫ص َدقَة‬
َ ‫ُخ ْذ ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْ'م‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَ ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِّكي ِهم بِ َها َو‬
‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ْم‬
Tafsir َ ‫ُخ ْذ ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْم‬
ً‫ص َدقَة‬
Ibnu Abbas ; Ibnu Abbas berpendapat bahwa perintah ini adalah
perintah kewajiban zakat secara umum untuk seluruh
kaum muslimin.
Ulama Lain
Pendapat Ulama lain, perintah ini khusus untuk
mereka yang dituju oleh ayat ini, karena pada saat
itu Nabi SAW mengambil sepertiga dari harta
mereka, sedangkan kewajiban zakat tidak sejumlah
itu.
Imam Malik “Jika seseorang ingin mengeluarkan seluruh
hartanya untuk dizakatkan, maka yang
diperbolehkan baginya hanyalah sepertiganya”.
Dalilnya adalah hadis tentang Abu Lubabah.21
Jâmi’ al-Bayân “Hai Nabi, ambillah harta mereka yang sudah
(ath-Thabari) mengaku berdosa itu dan bertobat sebagai sedekah
yang bisa membersihkan dosa mereka.22
Jami’ Li Aḥkâm Al- “Ambillah zakat dari sebagian kekayaan mereka,
Qur’an (al- dengan zakat itu kamu membersihkan dan
Qurthubî) menyucikan mereka” Kata ً‫ص َدقَة‬ َ diambil dari kata
َّ ‫( اَل‬benar), maka zakat ini menjadi bukti tentang
ُ ‫ص ْد‬
‫ق‬
kebenaran keyakinan seseorang.23
al-Maraghî Ambillah hai Nabi, kekayaan yang diserahkan
(Mustafa Al-Maragî) mereka yang tidak ikut perang itu. Juga dari
21
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk, jld. 10, h. 356
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk, h. 613.
22
At-Thabari, Jami’ul Bayan an Ta’wili Ayi Al Quran, h.156
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari terj. Ahsan Askan, dkk, jld. 13, h. 202-203.
23
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk, jld. 10, h. 363
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk, h. 625.
kekayaan mu’minin, sebagai zakat fardu dengan
ukuran tertentu atau ukuran tidak tertentu dalam
zakat sunnah.24
Fi Zhilalil Qur’an Allah memerintahkan Rasul-Nya agar mengambil
(Sayyid Quthb) sebagian harta sebagai zakat mereka dan berdoa
untuk mereka.25
al-Munîr Wahai Rasul dan pemimpin Muslim, ambillah harta
(Wahbah az-Zuhaili) orang-orang yang bertobat dan muzaki sebagai zakat
dalam jumlah tertentu. Itu akan membersihkan
mereka dari sifat pelit, mengembangkan harta,
membersihkan jiwa, serta mengangkat ke derajat
mukhlisin.26
Al-Mishbâh Allah SWT memerintahkan Nabi SAW., mengambil
(M. Quraish Shihab) sebagian harta mereka untuk diberikan pada yang
berhak. Susunan ayat ini khitabnya Nabi SAW, tapi
bersifat umum, yaitu ditujukan kepada setiap
pemerintah.27

G. Analisa tentang Diskursus Zakat


Pemahaman terhadap ayat-ayat zakat sebagai objek kajian kritis
sungguh sangat beragam. Tabel-tabel di atas merupakan ringkasan dari
berbagai pemahaman tentang zakat. Pemahaman-pemahaman tersebut adalah
benar sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing mufassir. Namun kini
zaman sudah berubah, teknologi informasi sudah maju pesat, Lembaga ‘Amil
Zakat resmi maupun tidak resmi bermunculan, mereka mengintegrasikan
zakat dengan sedekah lainnya (ZISWAF), bahkan ada yang melangkah lebih
jauh dengan menginvestasikan dana zakat menjadi pembiayaan produktif
dengan skema bunga berselubung bagi hasil.
Di satu pihak ini adalah perkembangan yang baik untuk mendukung
program penghimpunan ZISWAF, namun di pihak lain terjadi disorientasi
distribusi karena masharif zakat menjadi tidak fokus dan kemungkinan terjadi
penyimpangan. Maka Badan/Lembaga ‘Amil yang resmi harus berbenah diri,
inovatif pelayanan jemput muzaki baik secara jemput bola konvensional
maupun dengan memanfaatkan fasilitas sistim digital on line. Sistim integrasi
ZISWAF ini selain tersirat dari perintah mengambil/ menghimpun sedekah
(surat At-Taubah/9 : 103) oleh penguasa dari kalangan mampu termasuk
perusahaan.
‫ك َسك ٌَن لَّهُ ۗ ْم َوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬
َ َ‫ص ٰلوت‬
َ ‫صلِّ َعلَ ْي ِه ۗ ْم اِ َّن‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُزَ ِّك ْي ِه ْم بِهَا َو‬

24
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Marâghî , terj. Alhumam dkk, juz. 11, h. 21.
25
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, Penerjemah : M.Misbah dkk, jld. 6, h. 417.
26
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 52
27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v. 5, h. 231.
“Ambillah sedekah dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan
mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah
ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS At-Taubah/9 : 103)
M. Quraish Shihab dan Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 M) memahami
lafaz sedekah pada ayat tersebut, tidak hanya zakat, tapi termasuk sedekah
lainnya. Pada sababun nuzul ayat tersebut juga Rasulullah mengambil 1/3 dari
harta Tsa’labah yang diserahkan karena merasa berdosa tidak ikut berjihad
perang, menandakan bahwa yang diambil tidak hanya zakat mâl yang hanya
2,5 % tapi juga ada unsur sedekah yang besarnya maksimal 1/3 dari kekayaan.
H. Makhârij Fiqhiyyah dan Fiqhul Hayât Sebagai Alat Membumikan
Pemahaman Kritis Ayat – Ayat Zakat dan Riba
Di antara metodologi solusi fikih adalah : Pertama, Taysîrul
Manhaj : Memilih pendapat yang ringan namun sesuai aturan dengan prinsip
menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat. Kedua, Tafriqul
Halal ‘anil Haram: Pemisahan harta halal dan haram. Ketiga, I’adhatul
Nadhar : Tela’ah ulang terhadap pendapat terdahulu. Keempat, Tahqiqul
Manath : Menganalisa ’illat hukum.28. Berdasarkan fakta-fakta tersebut,
penulis berusaha mencari solusi untuk mengatasi riba dan memberdayakan
zakat dengan menggunakan solusi hukum makharij fiqhiyyah dalam
perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Penyesuaian kaidah yang perlu
dipertimbangkan adalah:
“Tidak setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang
berpiutang / muqridh) adalah riba”
َ ‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَ ُه َو ِربَوا بَ ْل لَ ْي‬
‫س‬ ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬
Atau : ‫الربَوا‬ ْ ‫ض ُأ‬
ِّ ‫شتُ ِرطَ فِ ْي ِه النَّ ْف ُع ُمقَ َّد ًما فَ ُه َو‬ ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬
“Setiap transaksi qardh yang depersayaratkan adanya manfaat yang
disepakati di awal adalah riba”
‫ش ُر ْوطَ ٍة في َد ْي ٍن نَ ِظ ْي َر اَأل َج ِل فَ ُه َو ال ِّربَوا‬
ْ ‫ُك ُّل ِزيَا َد ٍة َم‬
“Setiap pertambahan yang dipersyaratkan dalam utang-piutang dengan
mempertimbangkan (waktu) tangguhnya adalah riba

Makhârij Fiqhiyyah, Al-Qawâ’id al-Asasiyah , Qawaid Tafsir


(Ilmu Alat Untuk Mencari Solusi Bila Terjadi Kebuntuan Hukum)
Dasar Hukum ً ‫ش ْر َعةً َو ِم ْن َه‬
‫اجا‬ ِ ‫لِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا ِمن ُك ْم‬
“..bagi setiap umat dari kalian , Kami jadikan
syariat (aturan) dan cara.“ (QS Al-Maidah [5] :
48)
Metodologi : 1. Memilih pendapat yang ringan, rajih dan
1. Taysiirul Manhaj maslahat
28
Ma’ruf Amin, Makharij Fiqhiyah Sebagai Pendorong Arus Baru Ekonomi
Syariah di Indonesia, (Malang, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2017), h. 19-21
2. Tafriqul Halal 2. Pemisahan harta halal dan haram
‘anil Haram
3. I’adhatul Nadhar 3. Telaah ulang terhadap pendapat terdahulu.
4. Tahqiqul Manath 4. Analisa penentuan alasan hukum/’illat.29
Al-Qawâ’id ِ ‫ح َو د َْر ُء ال َمفَا‬
‫س ِد‬ ِ ِ‫صال‬ َ ‫ب ال َم‬ ُ ‫َج ْل‬
al-Asasiyah “Meraih kemaslahatan dan menolak
(Qawâ’id Fiqh kemafsadatan”
Asasi) Seluruh syariah adalah untuk kemaslahatan.30
‫ح‬
ِ ِ‫صل‬َ ‫ب ال َم‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬ ِ َ‫ د َْر ُء ال َمف‬Menolak mafsadah
didahulukan daripada meraih maslahat
Kemashlahatan 1. Sesuai dengan maqashid syariah
Harus31 : 2. Meyakinkan (berdasarkan penelitian)
3. Membawa kemudahan
4. Bermanfaat untuk mayoritas
Al-Qawâ’id al- ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬َّ ‫ ال‬. ‫ش ِك‬ َّ ‫ اليَقِنُ اَل يُ َزا ُل ِبا ل‬. ‫ص ِدهَا‬ ِ ‫اُأل ُمو ُر ِب َمقَا‬
Khamsah ٌ‫ ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬. ‫س ْي ُر‬ َّ
ِ ‫ب الت ْي‬ ُ
ُ ِ‫شقة ت َْجل‬ َّ َ ‫ال َم‬
Madzhab Hanafi Ditambah satu kaidah ‫اب اِاَل ِبالنِّيَ ِة‬ َ ‫اَل ثَ َو‬
Kaidah Hukum َّ ْ
‫لح ْك ُم يَد ُْو ُر َم َع ال ِعل ِة ُو ُج ْودًا َو َع َد ًما‬ ُ َ‫ا‬
Al- Ibrah bi umumil Yang jadi patokan dalam memahami makna ayat adalah
lafdzi lâ bi khususis lafaznya yang bersifat umum bukan kekhususan sebab
sabab32
Al- Ibrah bi Yang jadi patokan dalam memahami makna ayat adalah
khususis sabab lâ bi kekhususan sebab bukan lafaznya yang bersifat umum
umumil lafdzi33

I. Tafsir dan Fiqhul Hayât Ayat – Ayat Riba


Pendapat Mufassir
Al-Qurthubî (w. 1273 M) dalam tafsirnya al-Jami’li Ahkamil Quran,
memberi keterangan bahwa surat Âli ‘Imrân /3:130 turun ketika terjadi perang
Uhud, di mana kaum Muslimin mengalami kekalahan padahal sebelumnya
dalam posisi menang, ini karena pasukan pemanah tidak disiplin dengan
meninggalkan posisinya turun dari gunung karena tergiur untuk mengambil
ghanimah yang belum menjadi hak bagiannya. Pesannya : Substansi riba

29
Ma’ruf Amin, Makharij Fiqhiyah Sebagai Pendorong Arus Baru Ekonomi
Syariah di Indonesia, (Malang, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2017), h. 19-21
30
H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang Praktis, cet. VI, h. 27
Menukil dari : Izzudin bin ‘Abd al-Salâm, Qawaid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anam,
(t.t : Dâr al-Jail, 1980), Juz. I, h. 11
31
H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang Praktis, cet. VI, h. 29
32
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet III, h. 239
33
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet III, h. 240
adalah keserakahan dan cinta dunia yang berlebih, mengambil harta yang
bukan miliknya dan menghadapi riba adalah bagaikan perang baik melawan
hawa nafsu atau perang ekonomi yang akan mengalahkan kita jika tidak dapat
mengendalikannya. Karena sesungguhnya musuh terbesar adalah hawa nafsu
kita sendiri, keserakahan dan ke tidak adilan sosial.
al-Maraghhî (w. 1954 M) menukil pendapat ath-Thabari dan Imam
ar-Razi bahwa riba yang terjadi pada zaman jahiliyah adalah riba yang
sifatnya berlipat ganda (ad’âfan mudhâ’afah), itulah yang disebut riba nasi’ah
(riba dengan akad hutang piutang dan penangguhan pembayaran sehingga
hutang menjadi berlipat ganda karena sistim bunga berbunga) yang
diharamkan oleh Al-Qur’an. Dzahirnya harta rentenir bertambah secara
kuantitas namun hakikatnya berkurang karena Allah SWT mencabut
keberkahannya.
Sayyid Quthb (w. 1966 M) dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’ân
menjelaskan bahwa “adh’âfan mudhâ’afah” itu adalah sebagai sifat
peristiwa, bukan sebagai syarat yang berkaitan dengan kasus hukum.
Sedangkan dalil pada surah Al-Baqarah ayat 278 secara qath’i ‘pasti’
mengharamkan rente secara fundamental tanpa ada ketentuan dan
pembatasan tertentu.34
َ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو َذ ُر ْوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّر ٰب ٓوا اِنْ ُك ْنتُ ْم ُّمْؤ ِمنِيْن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, berlindunglah pada Allah dan jangan
ambil sisa riba, jika kalian benar-benar mu’minin.” (QS. Al-Baqarah [2]:278)
Jika sudah ditentukan prinsip: “tinggalkan riba yang tersisa
bagaimanapun modelnya”, maka urusan tentang sifat riba selesai. Sistim riba
berarti memutar uang (uang menjadi komoditas) secara berulang-ulang hingga
berlipat ganda seiring dengan perputaran waktu, inilah yang dituju dengan
sifat “adh’âfan mudhâ’afah” (pelipat gandaan yang berulang-ulang) yang
tidak dapat dibantah lagi.35
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah :
َ‫ض َعفَةً ۖ َّواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو ۚن‬ ْ َ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّر ٰب ٓوا ا‬
ٰ ‫ض َعافًا ُّم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, kalian dilarang melakukan rente yang
berganda . . .” (QS. Âli ‘Imrân [3]:130)
Mengutip dari al-Biqâ’i (w. 1482 M) yang berpendapat bahwa harta
rampasan perang Uhud yang diambil oleh pasukan pemanah yang
meninggalkan posisinya sebelum perang usai ialah mirip dengan riba, sebab
keduanya ialah merupakan hiasan dunia. Mereka dituntun untuk berlindung
dari azab Allah di dunia dan akhirat dengan perintah-Nya berlindunglah pada
Allah agar kalian memperoleh keberkahan dunia akhirat.36 Riba yang
dilarang oleh ayat di atas adalah yang sifatnya “adh'âfan mudhâ'afatan”.
34
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, cet. I, jld. 2, h. 160
35
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, cet. I, jld. 2, h. 161
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h 257
Kata adh’âfan adalah jamak dari kata dhi’fun ٌ‫ ضِ عْ ف‬yang berarti
serupa sehingga yang satu menjadi dua, maka adh’âfan berarti berlipat ganda.
Kata “adh'âfan mudhâ'afatan” bukanlah syarat bagi larangan ini, tapi
menggambarkan kenyataan yang terjadi pada masa itu.37 Berikut ini adalah
matriks ringkasan penafsiran ayat riba Surah Al-Baqarah/2: 276.
Fiqhul Hayât (Aḥkâm)38 (Wahbah az-Zuhaili - Tafsir al-Munîr)
Ayat 130 sampai dengan ayat I32 surah Ali’Imran menjelaskan
tentang pengharaman riba dari empat sisi. Pertama, larangan bertransaksi
riba, ‫( اَل تَْأ ُكلُوا الرِّ بَوا‬janganlah kalian memakan riba) dan bertakwa kepada Allah
SWT dalam hal harta riba, oleh karena itu janganlah kalian memakan harta
riba. Kedua, ancaman siksa neraka bagi orang bagi orang yang menghalalkan
riba. Ketiga, perintah taat kepada Allah SWT di dalam pengharaman riba.
Keempat perintah taat kepada Rasul-Nya tentang pengharaman riba, supaya
mereka dirahmati Allah SWT. Al-Qurthubî berkata: “alasan kenapa yang
disebutkan di dalam ayat ini hanya riba tidak bentuk-bentuk kemaksiatan
lainnya adalah karena riba adalah bentuk kemaksiatan yang telah diumumkan
oleh Allah SWT untuk memeranginya”.39 Wahyu Allah SWT :
ٍ ْ‫ بِ َحر‬e‫فَِإن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا‬
]٢:٢٧٩[ ۖ ‫ب ِّمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah
[2]:279)
Memerangi mengandung isyarat membunuh : “jika kalian tidak
berhenti melakukan riba, maka kalian akan kalah dan dibunuh”. Oleh karena
itu, di sini yang disebutkan secara khusus oleh Allah SWT adalah perintah
meninggalkan riba. Ayat, “adh'âfan mudhâ'afatan” (secara berlipat ganda)
mengandung isyarat kejinya perbuatan mereka. Karena itu, di sini disebutkan
secara khusus bentuk riba yang berlipat ganda, karena mereka terus-menerus
meningkatkan jumlah tagihan sesuai dengan berjalannya waktu.40
ِ ‫ص َدقَا‬
Matriks Tafsir ‫ت‬ َّ ‫ق هَّللا ُ ال ِّربَوا َويُ ْربِي ال‬
ُ ‫ يَ ْم َح‬Surah Al-Baqarah/2: 276
TAFSIR ِ ‫ص َدقَا‬
‫ت‬ َّ ‫ق هَّللا ُ ال ِّربَوا َويُ ْربِي ال‬
ُ ‫يَ ْم َح‬
Jâmi’ al-Bayân Allah memusnahkan riba bermakna
(ath-Thabari) mengurangi / menghilangkannya”.41
Jami’ Li Ahkam Al- ‫ق‬ ُ '''‫ يَ ْم َح‬menghilangkan keberkahan hartanya di
Qur’an (al-Qurthubi) dunia, walaupun melimpah.42 Makna ‫''ربِي‬ ْ ُ‫َوي‬
“menyuburkan”. Memberikan hartanya di dunia
37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, cet. I, vol. 2, h 260-261
38
Wahbah az-Zuhaili,Tafsir al-Munîr: fî al-Aqîdah wasy Syari’ah wal Manhaj,h. 415
39
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 425
40
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 426
41
Ath-Thabari, Jami’ al Bayân an Ta’wili Ayi Al Quran, cet. i jld II, h. 173
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, Tafsir ath-Thabari, h. 734.
42
Ahmad al- Qurthubi, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld 4, h. 402
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk, h. 801-802.
penuh dengan keberkahan.43
al-Marâghî Allah akan mencabut keberkahan riba dan
(Mustafa Al-Maragi) menghancurkan kekayaan itu. Di balik itu Allah
menggandakan keberkahan sedekah dan
menumbuhkan kekayaan untuknya.44
Fi Zhilalil Qur’ân ‫ق‬
ُ ‫ يَ ْم َح‬memusnahkan keberkahan dari riba.45
(Sayyid Quthb)
al-Munîr ‫ق هَّللا ُ ال ِّربَوا‬
ُ ‫ يَ ْم َح‬membuatnya menjadi sedikit dan
(Wahbah az-Zuhaili) menghilangkan keberkahannya.46
ِ ‫الص''''''' َدقَا‬
‫ت‬ َّ ‫'''''''ربِي‬ْ ُ‫ َوي‬menjadikannya bertambah,
berkembang dan melipatgandakan pahalanya.47
Al-Mishbâh Kata ‫ َي ْم َح ُق‬: menghancurkan/memusnahkan
(M. Quraish Shihab) dipahami oleh ahli-ahli bahasa dengan arti
mengurangi secara bertahap sampai
habis. Allah SWT menyuburkan sedekah dari
48

segi material maupun spiritual.49

Munasabah Dengan Ayat - Ayat Sebelum dan Sesudahnya50


Dengan Al-Baqarah [2] : 275 ‫“ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَوا‬padahal Allah
sudah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan rente.” Substansi riba
adalah memperoleh harta dengan cara haram, oleh sebab itu Allah SWT akan
memusnahkannya secara perlahan tapi pasti ( ‫ق‬ ُ ‫ )يَ ْم َح‬dan memerintahkan untuk
meninggalkan pekerjaan dan sisa riba sebesar apa pun (Al-Baqarah [2] : 278
ٓ '‫ َو َذ ُر ْوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّر ٰب‬, apabila tidak meninggalkannya, maka Allah SWT dan
‫'وا‬
Rasul-Nya akan mengumumkan perang dengannya. Bagi siapa saja yang
bertobat dari perbuatan riba, maka dia berhak atas pokok modalnya, kalian
tidak boleh saling mengeksploitir (Al-Baqarah [2] : 279)
ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫ َوِإن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم اَل ت‬ ۖ‫ب ِّمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬ ٍ ْ‫فَِإن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر‬
Namun apabila debitur dalam kesulitan maka :
َ ‫َواِ ْن َكانَ ُذوْ ُع ْس َر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة ۗ َواَ ْن ت‬
َ‫َص َّدقُوْ ا خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang)
itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya)” (Al-Baqarah [2] :
280).
J. Tafsir dan Fiqhul Hayât Ayat- Ayat Zakat

43
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. i, jld 4, h. 402
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj : Fathurrahman, dkk, h. 802.
44
Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, ed. Ke. 2, juz. 3, h. 90.
45
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, terj. M.Misbah dkk , cet. I, jld. 1, h. 383.
46
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 113
47
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj, h. 113
48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 1, h. 723.
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 1, h. 723.
50
Ash-Shâbûni, Rawâ’i al-Bayân Tafsîr Āyât Aḥkâm, jld, I, h.274-275
‫سبِ ْي ِل‬ ِ ‫صد َٰقتُ لِ ْلفُقَ َر ۤا ِء َوا ْل َم ٰس ِك ْيهّٰللا ِن َواهّٰللا ْل ٰع ِملِيْنَ َعلَ ْي َها َوا ْل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُ ْوبُ ُه ْم َوفِى ال ِّرقَا‬
َ ‫ب َوا ْل ٰغ ِر ِميْنَ َوفِ ْي‬ َّ ‫اِنهّٰللاَّ َما ال‬
‫ضةً ِّمنَ ِ ۗ َو ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ َ ‫سبِ ْي ۗ ِل فَ ِر ْي‬
َّ ‫ِ َوا ْب ِن ال‬
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf),
untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-
orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang
dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari
Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana (QS At-Taubah [9] : 60).
Masharif Zakat
Ada delapan golongan muzaki : Pertama, ‫الص''' َدقَاتُ لِ ْلفُقَ''' َرا ِء‬ َّ ‫ِإنَّ َم'''ا‬
sesungguhnya zakat, hanya untuk fuqarâ karena mereka tidak memiliki
kekayaan yang mencukupi kebutuhannya. Kedua, ُ‫س ِكين‬ ْ ‫ اَ ْل ِم‬kondisi mereka lebih
jelek daripada fuqarâ. Ketiga, ‫ َوا ْل َعا ِملِينَ َعلَ ْي َها‬mereka adalah pengurus zakat.
Keempat, (‫)اَ ْل ُمَؤ لَّفَةُ قُلُوبُ ُه ْم‬: mereka yang hatinya cenderung atau baru memeluk
Islam,erbagi dalam dua golongan51: Pertama, Kâfirûn yang diharapkan akan
beriman dengan membujuk hatinya; Kedua, Kelompok yang keislamannya
belum kuat. Menurut Abu Hanifah (w. 767 M), golongan ‫ اَ ْل ُمَؤ لَّفَةُ قُلُوبُ ُه ْم‬ini telah
terputus, alasannya ‘Umar Bin Khaththab pernah menolak permintaan zakat
dari seorang musyrik dengan membacakan ayat : ‫فَ َمن شَا َء فَ ْليُْؤ ِمن َو َمن شَا َء فَ ْليَ ْكفُ ْر‬
(QS.al-Kahfi [18]: 29) “siapa saja yang menghendaki (beriman) hendaklah ia
beriman dan siapa saja yang menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Demikian
juga Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib tidak pernah memberi zakat
kepada golongan ini. 52
Kelima, ‫ب َو‬ِ ‫الرقَ''ا‬ ِّ ‫ ِفي‬untuk : menolong budak-budak ; membebaskan
(fakkun) mereka (dirinya sendiri) dari perbudakan; membeli budak lalu
dimerdekakan (itqun). Keenam, َ‫ َوا ْل َغا ِر ِمين‬mereka adalah gharimin yang tidak
mampu untuk membayarnya. Ketujuh, ِ ‫يل هَّللا‬ ِ ِ ‫سب‬
َ ‫ َوفِي‬di jalan Allah yang menuju
keridhaan-Nya. Maksudnya adalah orang-yang berperang, berjihad dan
membangun sarana untuk kemaslahatan umum kaum muslimin.53 Kedelapan,
‫يل‬
ِ ِ ‫سب‬
َّ ‫ َوا ْب ِن ال‬orang yang kehabisan harta dalam perjalanan. Karena kefakirannya
yang baru terjadi itu ia diberi sedekah agar dapat pulang kembali ke
negerinya, asalkan perjalanannya bukan untuk tujuan maksiat. ِ ‫يض 'ةً ِّمنَ هَّللا‬ َ ‫فَ ِر‬
sesungguhnya zakat-zakat yang diberikan kepada mustahik dan untuk
kemaslahatan umat, merupakan ketetapan dari Allah. ‫ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬Allah Maha
Mengetahui keperluan manusia serta Maha Bijaksana dalam syariat bagi
mereka, sebagai pembersih dan penyucian bagi dirinya juga sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.54
Munasabah Dengan Ayat Sebelum dan Sesudahnya

51
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Marâghî , terj. Alhumam dkk juz. 10, h. 188.
52
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Marâghî, terj. Alhumam dkk juz. 10, h. 189-190.
53
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Marâghî , terj. Alhumam dkk juz . 10, h. 191.
54
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Maraghî , terj. Alhumam dkk juz . 10, h. 192-193.
Di antara kaum munafikin ada yang mencela Rasulullah SAW tentang
pembagian zakat atau rampasan perang, jika mereka diberi bersenang hati, dan
jika tidak diberi mereka marah (QS. At-Taubah[9]:58), mereka adalah orang-
orang yang tidak rida dengan karunia Allah SWT (QS. At-Taubah[9]:59) dan
akan menerima azab yang pedih (QS. At-Taubah[9]:61). Perintah zakat lebih
tegas turun pada ayat (QS. At-Taubah[9]:103): “ambillah zakat dari harta
mereka (untuk) menyucikan dan membersihkan mereka.”55
Hikmatut Tasyri’ dan Fiqhul Hayât (Ahkâm)56
Dengan penegasan golongan mustahik, jelas tujuan ayat ini adalah
untuk keadilan dan kesejahteraan sosial, mengentaskan kemiskinan sekaligus
menjalin silaturahim harmonis dengan muzaki. Zakat adalah kewajiban syara’
yang bukan saja berupa ibadah mahdhah namun juga ibadah sosial. Penetapan
sifat mubalaghah ‫ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬karena Allah Maha Mengetahui dan Bijak tentang
kebutuhan makhluk-Nya.57 Ayat 60 surah At-Taubah di atas merupakan
penjelasan tentang delapan golongan mustahik. Tapi, saat ini pada umumnya
zakat diberikan oleh muzaki, tidak kepada semuanya, hanya kepada fakir dan
miskin saja. Jarang sekali diberikan kepada gharimin dan ibnu sabil. Adapun
mujahid fi sabilillah dan mu'allafah qulûbuhum, mereka tidak diberi bagian
dari zakat. Sedangkan bagian fir riqâb (untuk pembebasan budak) telah
berakhir dengan berakhirnya perbudakan di dunia ini.58
Adapun bagian untuk mujahid fi sabilillah, tentara telah dibiayai,
diberi senjata, dan digaji bulanan dari kas negara. Mereka tidak lagi
menunggu zakat. Zakat dapat dibagikan untuk pembelian alat militer atau
untuk mendanai para mujahidin. Dalam ayat ini terdapat tujuh ketentuan,
yakni: Pertama, wahyu Allah SWT ُ‫ص َدقَات‬
َّ ‫ ِإنَّ َما ال‬menentukan bahwa sedekah
wajib (zakat) hanya diberikan kepada delapan kelompok tersebut saja.
Dalilnya adalah bahwa Allah menetapkan hak semua sedekah ini dengan lam
tamlîk (lam kepemilikan) untuk delapan kelompok itu.59 Kedua, ayat di atas
menentukan bahwa kewenangan menghimpun dan membagikan zakat ada
pada pemimpin muslim atau badan yang dia tunjuk. Hujjah tentang hal ini
adalah ditetapkannya bagian dari zakat untuk ‘âmil. Ini menandakan bahwa
dalam mengelola zakat harus ada ‘âmil. Dengan demikian, nash di atas
menandakan bahwa Imam adalah orang yang berwenang mengatur zakat.60
Dalil ini diperkuat dengan wahyu Allah:
َ ‫ ُخ ْذ ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْم‬...
‫ص َدقَةً تُطَ ِّه ُر ُه ْم َوتُ َز ِّكي ِهم بِ َها‬
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan
mereka.” (QS At-Taubah [9] : 103)
55
Muhammad Ali ash-Shâbûni, Shafwatut Tafâsîr, terj. Yasin, cet. I, jld, 2, h.523
56
Wahbah az-Zuhaili,Tafsir al-Munîr fî al-Aqîdah wasy-Syari’ah wal-Manhaj,h. 630
57
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Aisar, terj. Zainuddin, cet. ke IV, jld. 3, h. 403
58
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr: Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, juz. 10, h. 519
59
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr: Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, juz. 10, h. 520
60
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr: Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, juz. 10, h. 521
Adapun zakat yang tidak tampak yang diberikan langsung oleh muzaki kepada
mustahik, ia disimpulkan dari firman Allah SWT :
]٧٠:٢٥[ ‫وم‬ِ ‫ساِئ ِل َوا ْل َم ْح ُر‬ ٌّ ‫َوالَّ ِذينَ فِي َأ ْم َوالِ ِه ْم َح‬
َّ ‫] لِّل‬٧٠:٢٤[ ‫ق َّم ْعلُو ٌم‬
“dan orang-orang yang pada hartanya ada bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan yang tidak meminta” (QS Al-Ma’arij [70]:24-25)
Ketiga, ‘amil zakat ada hak di dalam zakat walaupun dia orang
mampu. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Keempat, makna tersurat dari ayat
at-Taubah/9: 60 menunjukkan kewajiban memberikan zakat secara merata ke
seluruh delapan kelompok. Kelima, budak di zaman sekarang tidak ada.
Adapun fii sabiilillah, maksudnya untuk para mujahidin, mereka tidak lagi
memerlukan zakat sebab mereka telah digaji bulanan. Zakat untuk kelompok
ini diberikan kepada sukarelawan.61 Keenam, firman Allah : ‫س'ا ِكي ِن‬ َ ‫لِ ْلفُقَ' َرا ِء َوا ْل َم‬
Keumumannya meliputi orang kafir dan Muslimin. Namun keumuman ini
dikhususkan oleh sunnah Nabi SAW yang menandakan bahwa zakat hanya
diberikan kepada fuqarâ’ dan masâkîn yang Muslim. Ketujuh, maksud dari
firman Allah : ِ ‫يض 'ةً ِّمنَ هَّللا‬
َ ‫فَ ِر‬  adalah untuk mencegah adanya tindakan yang
menyalahi isi ayat ini dan pengharaman memberikan zakat kepada selain
delapan golongan ini.62 berikut adalah matriks dari penafsiran surah At-
Taubah/9 : 60.
Matriks Tafsir Kalimah ُ‫ص َدقَات‬ َّ ‫ ِإنَّ َما ال‬Surah At-Taubah/9 : 60
‫ب‬ ِّ ‫سا ِكي ِن َوا ْل َعا ِملِينَ َعلَ ْي َها َوا ْل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُ ُه ْم َوفِي‬
ِ ‫الرقَا‬ َ ‫ص َدقَاتُ لِ ْلفُقَ َرا ِء َوا ْل َم‬
َّ ‫ِإنَّ َما ال‬
‫يل‬
ِ ِ ‫سب‬ َ ‫َوا ْل َغا ِر ِمينَ َوفِي‬
َّ ‫سبِي ِل هَّللا ِ َوا ْب ِن ال‬
Tafsir ُ‫ص َدقَات‬
َّ ‫ِإنَّ َما ال‬
‘Abdullah Ibnu َ ‫ص َدقَاتُ لِ ْلفُقَ َرا ِء َوا ْل َم‬
‫سا ِكي ِن‬ َّ ‫“ ِإنَّ َما ال‬Sesungguhnya zakat-zakat itu,
Abbas hanyalah untuk fuqarâ, masâkin,. “Kepada golongan mana
(w. 68 H) pun dari delapan golongan ini zakat diberikan, maka
diperbolehkan bagimu”63
Jâmi’ al-Bayân Ash-Shadaqatu ( ُ‫)الص''' َدقَات‬
َّ : adalah zakat (sedekah
(ath-Thabari) wajib) (didahului َّ‫) ِإن‬
64

Jami’ Li Aḥkâm ‫ ِإنَّ َما‬pada ayat ini berfungsi pembatasan penyerahan


Al-Qur’an zakat hanya kepada delapan golongan saja.
(al-Qurthubi) َ َ‫الص'' َدقَاتُ لِ ْلفُق‬
‫''را ِء‬ َّ ‫“ ِإنَّ َم''ا‬Sungguh zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir,” menjelaskan bahwa ada orang
yang dikhususkan oleh Allah untuk menerima zakat.65

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr: Aqîdah -Syari’ah-Manhaj, juz. 10, h. 522


61

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr: Aqîdah -Syari’ah-Manhaj, juz. 10, h. 523


62

63
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld.10, h. 246
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman dkk, h. 406.
64
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîr Al-Quranul Azhîm , (TTP:
al-Hikmah, TT), jld. 1, h.162
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (4) : Zakat, h. 39.
65
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld.10, h.244
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman dkk, h. 403.
al-Marâghî َ َ‫الص'' َدقَاتُ لِ ْلفُق‬
‫''را ِء‬ َّ ‫ ِإنَّ َم''ا‬sesungguhnya zakat, hanyalah untuk
(Mustafa Al- fuqarâ karena mereka tidak memiliki kekayaan yang
Maragî) mencukupi kebutuhan dasarnya.66
al-Munîr ُ‫الص'''' َدقَات‬
َّ ‫ ِإنَّ َم''''ا‬zakat yang diberikan kepada delapan
(Wahbah az- golongan. Huruf lam dalam lafaz ini menunjukkan
Zuhaili) kewajiban memberikan zakat khusus untuk mereka.67
Al-Mishbâh Ayat ini merupakan dasar tentang golongan-golongan
Quraish Shihab yang berhak mendapat zakat. Ulama berbeda pendapat.68

Tafsir Kalimah ‫ين‬ َ ‫ لِ ْلفُقَ َرا ِء َوا ْل َم‬Pada Surah At-Taubah/9 : 60


ِ ‫سا ِك‬
Tafsir ‫ين‬ َ ‫لِ ْلفُقَ َرا ِء َوا ْل َم‬
ِ ‫سا ِك‬
Umar bin Khaththab, Bahwa harta zakat boleh diberikan kepada delapan
Ibnu Abbas, kelompok yang disebutkan, boleh juga diberikan
Hudzaifah, Tabi’in
kepada salah satunya saja.69
Jâmi’ al-Bayân Fakir yaitu mereka yang memerlukan namun ia
(ath-Thabari) tidak mengemis. Sedangkan miskin adalah mereka
yang kekurangan dan mengemis.70
Jami’ Li Ahkam Al- ‫ص َدقَاتُ لِ ْلفُقَ َرا ِء‬ َّ ‫“ ِإنَّ َما ال‬Sungguh zakat-zakat itu, hanya lah
Qur’an (al-Qurthubi) untuk orang-orang fakir,” bahwa ada orang yang
dikhususkan Allah untuk menerima zakat.71
al-Marâghî ‫ لِ ْلفُقَ' َرا ِء‬untuk fuqarâ karena mereka tidak memiliki
(Mustafa Al-Maragi) kekayaan yang mencukupi kebutuhan dasarnya.
‫س ِكينُ و‬ ْ ‫ اَ ْل ِم‬kondisinya lebih jelek daripada fuqarâ,72
Fi Zhilalil Qur’an Orang pertama yang berhak memperoleh zakat
(Sayyid Quthb) adalah orang fuqarâ’ dan masâkîn.73
al-Munîr ‫ لِ ْلفُقَ َرا ِء‬bentuk plural dari kata ‫( الفَقِ ْي ُر‬orang fakir). Orang
(Wahbah az- fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan
Zuhaili) penghasilan untuk mencukupi keperluannya. Kata ‫الفَقِ ْي ُر‬
ini berasal dari kata ‫ الفَقَ''ا ُر‬seakan-akan orang tersebut
tulang punggungnya sakit. ‫ين‬ ِ ‫سا ِك‬َ ‫ ا ْل َم‬adalah bentuk plural
dari kata ُ‫س''' ِكيْن‬ ْ ‫ال ِم‬. al-Miskîn adalah orang yang
mempunyai harta atau penghasilan tapi tidak
mencukupi kebutuhannya. Kata ini berasal dari kata
ُ‫الس''' ُك ْون‬
ُّ , seolah-olah dia dibuat diam oleh ketidak
66
Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Marâghî, terj. Alhumam dkk, juz . 10, h. 188.
67
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, h. 503
68
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v. 5, h 141.
69
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld.10, h. 246
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman dkk, h. 406.
70
Ath-Thabari, Jami’ al Bayan an Ta’wili Ayi Al Quran, cet. I, jld. 4, h.124
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan dkk, jld. 12, h.881.
71
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld.10, h.244
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman dkk, h. 403.
72
Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Marâghî, terj. Alhumam dkk, juz . 10, h. 188.
73
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, terj. M. Misbah dkk, jld. 5, h. 370.
mampuannya.74
Al-Mishbâh Allah menyebut golongan itu untuk menerangkan pada
(M. Quraish siapa sewajarnya zakat diberikan. Betapa pun beraneka
Shihab) pendapat, yang jelas fakir dan miskin keduanya
memerlukan bantuan, karena penghasilan yang tidak
mencukupi untuk hidup layak.75
Imam Malik dan huruf lam yang melekat pada lafaz ‫'را ِء‬ َ 'َ‫ لِ ْلفُق‬berfungsi
Imam Abu sebagai pilihan (tahyir), kepada siapa pun diberikan
Hanifah sama saja. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, orang
miskin lebih buruk dari orang fakir.
Imam Syafi’i Huruf lam pada lafaz ‫ لِ ْلفُقَ'' َرا ِء‬menunjukkan makna
kepemilikan (milki) maka semua golongan harus
mendapat bagian yang sama. Menurutnya diperkuat
oleh kata ‫ ِإنَّ َما‬hanyalah yang mengandung makna
pengkhususan. Ulama mazhab Syafi'i dan mazhab
Hambali berpendapat bahwa orang fakir kondisinya
lebih buruk daripada orang miskin.76

Tafsir Kalimah ‫ َوا ْل َعا ِملِينَ َعلَ ْي َها‬Pada Surah At-Taubah/9 : 60


Tafsir ‫َوا ْل َعا ِملِينَ َعلَ ْي َها‬
Jâmi’ al-Bayân Petugas mengelola zakat dari muzaki dan
(ath-Thabari) membagikannya kepada mustahik.77
Jami’ Li Ahkam maksudnya adalah orang-orang yang mengumpulkan
Al-Qur’an dan membagikan zakat sesuai dengan perintah seorang
(al-Qurthubi) Imam. Mereka adalah wakil dari Muzaki dan
Mustahik.78
Al-Marâghî adalah para pemungut dan penyalur zakat.79
Fi Zhilalil Qur’ân yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas untuk
(Sayyid Quthb) memungut dan menyalurkannya.80
Al-Munîr orang-orang yang bekerja untuk mengumpulkan dan
(Wahbah az-Zuhaili) mendistribusikan zakat.81
Al-Mishbâh Kata (‫‘ ) َعلَ ْي َها‬alaiha memberi kesan bahwa para
(M. Quraish pengelola itu bekerja dengan sungguh-sungguh. Ini
Shihab) karena kata ( ‫‘ ) على‬alâ mengandung makna
penguasaan atas sesuatu. Bagian ‘âmilin menurut
Imam Syafi’i adalah seperdelapan, sementara menurut
74
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, h. 503
75
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 5, h 142.
76
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, h. 507
77
Ath-Thabari, Jami’ al Bayan an Ta’wili Ayi Al Quran, cet. I, jld. 4, h.125
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan dkk, jld. 12, h.883.
78
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld.10, h. 260
79
Ahmad Mustafa Al-Maragî, Tafsir al-Margî , juz . 10, h. 188.
80
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’ân, terj. M. Misbah dkk, jld. 5, h. 370.
81
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr : Aqîdah -Syari’ah -Manhaj, h. 503
Imam Malik, disesuaikan dengan kerja mereka. Ada
pendapat yang lebih baik, yaitu tidak diambil dari
zakat, tapi dari kas negara.82

K. Melemahkan Riba Dengan Menguatkan Zakat


Substansi Riba dan Zakat
Pada bab ini dibahas tentang substansi riba dan zakat, data dan fakta
hasil temuan penelitian (Novelty), untuk menjadi dasar pertimbangan dalam
mengambil kesimpulan dan eksekusi nyata di lapangan. Substansi riba tidak
hanya dalam bentuk penambahan harta karena utang piutang dan jual beli
dengan pembayaran tangguh, tapi substansi riba adalah segala penambahan
kekayaan yang diperoleh dengan cara apa pun secara batil, termasuk di
dalamnya korupsi, menipu dan yang sejenisnya.83
1. Hadis tentang Riba dan Analisanya
ُ ‫ت قَالُوا يَا َر‬
ِ ‫سو َل هَّللا‬ ِ ‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَا‬ َّ ‫اجتَنِبُوا ال‬ ْ ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫عَنْ النَّبِ ِّي‬
‫ق َوَأ ْك ُل ال ِّربَا‬ ِّ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل ِبا ْل َح‬ِ ْ
‫ف‬ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ْ
‫ت‬ َ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ح‬ ‫س‬
ُ َ ُ ْ ِّ َ ِ ِ ْ‫ال‬ ‫و‬ ‫هَّلل‬‫ا‬‫ب‬ ‫ك‬
ُ ‫ِّر‬ ‫ش‬ ‫ال‬ ‫َو َما هُنَّ قَا َل‬
dari Abu Hurairah r a dari Nabi SAW bersabda: "Jauhilah tujuh urusan yang
membahayakan". Sahabat bertanya: "Wahai Nabi, apakah itu? Beliau
menjawab: "Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah,
melakukan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang dan
menuduh zina kepada mu’minat.”84 (Shahih Bukhari No. 2560)
Analisa tentang Hadits Shahih Bukhari No. 2560.
Matan dari hadis tersebut adalah tentang tujuh perbuatan yang
membinasakan, semuanya perbuatan yang bersifat zalim, bahkan
memakan/melakukan riba disamakan dengan memakan harta anak yatim yang
dilarang dalam surat An-Nisâ’/4 : 10.
. . . ۗ ‫اِنَّ الَّ ِذيْنَ يَْأ ُكلُ ْونَ اَ ْم َوا َل ا ْليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُ ْونَ فِ ْي بُطُ ْونِ ِه ْم نَا ًرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya ...” (QS An-Nisâ’/4 : 10).
Ini sejalan dengan hadis Nabi SAW, bahwa riba yang dilarang adalah riba
nasi’ah (baik dalam skema hutang piutang uang atau skema jual beli yang
akhirnya dikonversi menjadi hutang karena pembayaran yang terlambat).
Hadis
َ ‫الربَا َو ُمْؤ ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َوقَا َل ُه ْم‬
‫س َوا ٌء‬ ِّ ‫سلَّ َم آ ِك َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬
ُ ‫لَ َعنَ َر‬
"Rasulullah saw. melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba,
pencatatnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."85 (HR.
Shahih Muslim 2995)

82
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 5, h. 143.
83
Ahmad al- Qurthubî, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-Qur’an, cet. I, jld. 4, h. 382
Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, terj. Fathurrahman dkk, jld. 1, h. 770.
84
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (TTP, Dar Thauq al-Najah, 1422 H)
85
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Muslim, No. 2995, h. 694
Analisa tentang Hadits Shahih Muslim No. 2995.
Rasulullah melaknat pemakan riba, yang menyuruh memakan riba,
yang mencatat dan yang menyaksikannya. Substansi dari hadis ini adalah
betapa marahnya Rasulullah kepada rentenir, baik secara perorangan maupun
secara terorganisir, ini karena sangat berbahayanya dampak riba terhadap
aspek sosial ekonomi, antara lain : kekayaan bertumpuk hanya pada kreditur
sementara debitur makin miskin, terjadi disharmoni hubungan antara si miskin
dan si kaya, semangat kerja keras pada sektor real (produksi dan perdagangan)
akan menurun karena terlena dengan kerja ringan membungakan uang. Itulah
sebabnya Allah SWT mengancam dengan perang terhadap rentenir:
‫هّٰللا‬
‫س ْولِ ٖ ۚه‬ ٍ ‫فَاِنْ لَّ ْم تَ ْف َعلُ ْوا فَْأ َذنُ ْوا بِ َح ْر‬
ُ ‫ب ِّمنَ ِ َو َر‬
“Jika kamu tidak melaksanakannya (berhenti mengambil riba), ketahuilah
akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya.”(Al-
Baqarah[2]:279)
2. Prinsip Pengelolaan dan Penyaluran untuk Menguatkan Zakat
Pada zaman khalifah Umar bin Khaththab r.a., syariat zakat mampu
menyejahterakan rakyat di Yaman (dengan Gubernurnya Mu’az bin Jabal
r.a.), malah pada tahun ke tiga Yaman mampu mengirim semua hasil zakatnya
ke Madinah, karena di Yaman semuanya telah menjadi muzaki, tidak ada lagi
mustahik. Demikian juga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
(masa kekhalifahan Bani Umayah), hanya dalam tempo kurang dari tiga tahun
telah berhasil menyejahterakan rakyatnya dengan syariat zakat, sehingga tidak
ada lagi rakyat yang menjadi mustahik.86
Dalam buku “Islam sebagai Aqidah dan Syariah” karya Prof. Dr.
Syaikh Mahmoud Syaltout terdapat keterangan : zakat itu adalah ibadah
kekayaan, yang diprioritaskan dalam Islam supaya orang kaya menolong
orang miskin, sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.87 Sesuai dengan QS
At-Taubah: 60 dan tafsirnya menurut beberapa mufassir sebagaimana telah
dijelaskan di atas, juga berdasarkan amanah Undang - Undang No. 23 tahun
2011 tentang pengelolaan Zakat, maka pengelolaan zakat “berazaskan syariat
Islam” harus dilaksanakan oleh seluruh amil zakat.88 Dalam realisasi masharif
dan pendayagunaan zakat, ‘amil harus menerapkan prinsip kewilayahan,
(zakat yang dihimpun, dibagikan pada mustahik di daerah yang sama), tidak
sentralisasi. Azas pengelolaan zakat adalah : sesuai syariah, amanah,
kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas.89 Ini
sesuai dengan hadis Nabi saw., ketika mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman
dengan memberi tugas untuk menarik dan membagikan zakat dari dan untuk
penduduk setempat, sesuai skala prioritas dengan prinsip keadilan,
pemerataan, kewilayahan dan harus tersalurkan dalam tempo tidak lebih dari

86
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 4 – Zakat, cet. Nov 2017, h. 134
87
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 166
88
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 135
89
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 135 dan 212
satu tahun. Sepakat ‘ulama bahwa fuqarâ’ dan masâkîn wajib diutamakan
dalam masharif dan pendayagunaan zakat (baik bersifat konsumtif maupun
produktif). Sebab maksud utama pengelolaan zakat ialah untuk mengentaskan
kemiskinan dan mengangkat kesejahteraan umat.90
3. Zakat dan Keuangan Inklusif91
Salah satu isu penting yang berkembang cepat adalah masalah
keuangan inklusif, karena semakin menguatnya kesadaran untuk memberi
ruang dan akses keuangan kepada kelompok masyarakat yang selama ini
dianggap tidak bankable (tidak layak sebagai nasabah kredit perbankan).
Sebagai realisasi dari semangat keuangan inklusif, berkembanglah sejumlah
lembaga keuangan mikro yang dirancang khusus untuk memberi akses
kredit dan pembiayaan kepada usaha mikro dan kecil, seperti koperasi dan
BMT (Bayt al Mâl wat Tamwil). 92 Pada konteks tersebut, ada gagasan untuk
mengintegrasikan dan mensinergikan lembaga keuangan mikro syariah
(LKMS) dengan lembaga zakat, di mana zakat digunakan sebagai salah satu
sumber dana utama pembiayaan mikro syariah. Berdasarkan spirit tersebut
yang perlu dikembangkan adalah kerja sama antara LKS dan lembaga zakat,
fokus pada fungsinya masing-masing pada target yang sama yaitu pelayanan
keuangan kepada kaum miskin dalam mengembangkan usaha mikronya.93
4. Sinergi Pembayaran Zakat dan Pajak
Menurut Ibrahim Hosen (w. 2001 M)94 : Islam hadir ketika di
masyarakat telah hidup bermacam-macam budaya. Ketika ada masalah, sikap
Islam ada tiga macam :95 Pertama, perkara yang berseberangan dengan Islam
ditolak dengan tegas. Kedua, perkara yang berseberangan namun sudah
mengakar di masyarakat ditolak secara bijak, menuju kepada penghapusan.
Ketiga, yang tidak bertentangan dengan Islam dilanjutkan dan disempurnakan.
Umpama tentang Pajak (Islam telah mengenal Pajak/Kharaj
/Usyur/Jizyah sejak abad pertama hijriah)."96 Ibrahim Hosen menjelaskan,
"Pajak adalah aturan atau sistem yang dapat dibenarkan oleh Islam. Jauh
sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh umat
manusia. Setelah Islam datang, sistem pajak yang ternyata banyak manfaat
dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan.”

90
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 135-136
91
Keuangan inklusif didefinisikan kondisi ketika setiap anggota masyarakat
mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat
waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
92
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 189
93
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 193
94
Pendiri MUI ; PTIQ ; IIQ dan Ketua Komisi Fatwa MUI tahun 1990
95
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 199
Menukil dari Mimbar Ulama, ed. No. 150, Juli 1990
96
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 198
Menukil dari Mimbar Ulama, ed. No. 150, Juli 1990
Pemungutan pajak di samping zakat, tidak dilarang, sesuai dengan prinsip
kemaslahatan. Wewenang mengelola zakat dan pajak berada pada tangan
pemerintah.97 Menurut Dewan Penelitian Keislaman : Islamic Research
Assembly Universitas Al-Azhar Cairo memfatwakan bahwa pajak tidak dapat
menggantikan zakat.98
Fakta Sinergi Pembayaran Zakat dan Pajak : Sudah lebih dari lima
belas tahun memberlakukan zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena
Pajak, belum dirasakan akibatnya terhadap pencapaian penerimaan pajak
maupun peningkatan menunaikan zakat melalui ‘amil yang resmi. Ini
menandakan pentingnya perbaikan pada kebijakan tersebut.99 Perlu dilakukan
terobosan pembayaran zakat sebagai pengurang pajak yang dilakukan oleh
regulator dan operator pajak (Dirjen Pajak), bersama dengan regulator zakat
(Departemen Agama) dan (BAZNAS).100
Dilanjutkan dengan penyesuaian formulir SPT masa (form S 1770),
NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat), BSZ (Bukti Setor Zakat), Rekening
Khusus Zakat (Rekening Zakat Nasional) dan kesediaan lembaga terkait
diaudit laporan keuangannya, agar terjadi kerja sama yang harmonis, tidak ada
lagi ada anggapan bahwa zakat sebagai saingan pajak.101
5. Pendapat Penulis tentang Sinergi Zakat dan Pajak
Kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat akan tercapai bila negara
berlaku adil dalam kebijakan politik ekonominya. Dalam konteks zakat dan
pajak, negara hendaknya membuat keputusan hukum yang mewajibkan warga
muslim dan perusahaan membayar zakat yang nilainya dapat mengurangi
kewajiban membayar pajak. Jadi, membayar zakat tidak hanya sebagai
ketundukan individu dalam menjalankan syariat agama (hukum
diyani/mahdhoh) tapi juga merupakan kewajiban sebagai warga negara yang
taat kepada hukum negara (hukum qadhai’/sosial masyarakat), dengan
syarat negara mengelola keuangannya dengan jujur dan amanah.
Matriks Substansi Riba Dan Zakat
Riba Zakat
Penambahan yang diambil bersama Bukan hanya “tumbuh serta
hutang yang mengandung unsur menyucikan jiwa dan harta”, tapi
penganiayaan dan penindasan, substansi zakat adalah “keadilan
bukan sekadar kelebihan atau dan kesejahteraan sosial
penambahan jumlah hutang. ekonomi” bagi seluruh masyarakat.
Tidak hanya dalam bentuk Zakat adalah ibadah mâliyah

97
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 199-201
Menukil dari Mimbar Ulama, ed. No. 150, Juli 1990
98
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 200
99
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 202
100
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 203
101
Didin Hafidhuddin dkk, Fikih Zakat Indonesia, cet II, h. 204
penambahan harta karena utang ijtimaiyah. Membayar zakat, tidak
piutang, tapi segala penambahan hanya sebagai kepatuhan terhadap
harta yang diperoleh dengan cara hukum agama, tapi juga kepatuhan
batil, termasuk di dalamnya korupsi, terhadap hukum negara (hukum
menipu, perdagangan ilegal qadhai’/sosial masyarakat).
Riba adalah Imperialisme sosek, Zakat adalah pajak syariah ;
merusak tatanan keadilan membuat pungutan syariah ; sedekah wajib
orang terus berhutang sampai tidak yang bisa dipaksakan sesuai syariah
mampu untuk membayar. (agama dan sosial).
‫األصل في الربوا التّحريم‬ ‫األصل في الزكواة المصلحة‬

Matriks Melemahkan Praktik Riba dengan Menguatkan Zakat


ِ ‫ص َدقَا‬
‫ت‬ َّ ‫ق هَّللا ُ ال ِّربَا َويُ ْربِي ال‬
ُ ‫يَ ْم َح‬
Cara Tujuan
Mengubah Paradigma pemahaman Tidak mempersempit gerak usaha dan
tafsir dan kaidah Fiqh tentang Riba peluang usaha tidak diambil oleh non
dan Zakat dari hanya tekstual muslim (Imam Nawawi). Tafsir
menjadi tekstual kontekstual ‘Amaliyyah/Khuluqiyyah adalah tafsir
Tafsir ‘Amaliyyah/Khuluqiyyah tentang membangun sistim hukum dan
perilaku
Melemahkan Riba dengan ‫ا‬eeَ‫ت ِإلَ ٰى َأ ْهلِه‬ ِ ‫ا‬eeَ‫ اَأْل َمان‬e‫َؤ ُّدوا‬eeُ‫م َأن ت‬eْ ‫ْأ ُم ُر ُك‬eَ‫ِإ َّن هَّللا َ ي‬
menguatkan Zakat bukan hanya
urusan tafsir (Normatif Konseptual)
‫ بِ ْال َع ْد ِل‬e‫اس َأن تَحْ ُك ُموا‬ ِ َّ‫َوِإ َذا َح َك ْمتُم بَ ْينَ الن‬
tapi harus paralel dengan membangun Sungguh Allah menyuruh kalian
sistim SDM dan hukum yang adil dan menyampaikan amanat kepada yang
tegas. Mencontoh Rasulullah SAW berhak menerimanya, dan apabila
membangun sistim hukum dan akhlak menetap kan hukum di antara manusia
di Madinah. supaya kamu menetapkan dengan adil.
[٤:٥٨]
Memperbesar alokasi masharif Melemahkan rentenir karena: Alokasi
zakat untuk fakir miskin (63 90 untuk fakir miskin cukup dan modal
%) termasuk di dalamnya UM usaha untuk UMKM terpenuhi
Masharif untuk produktif. Hanya Agar memberdayakan zakat berhasil
untuk sebagian fakir saja yang melemahkan riba. ‫رْ بِي‬eeُ‫ َوي‬berarti juga
bersifat konsumtif menumbuhkan produktivitas
Dibentuk lebih banyak Lembaga Agar masyarakat mendapat akses
Keuangan Mikro Inklusif fasilitas keuangan non Bank
Zakat menjadi pengurang hutang Untuk mencapai target penerimaan
pajak (sesuai dengan pasal 22 UU : zakat 300 T/Th. Agar Zakat tidak lagi
23/2011 tentang Pengelolaan menjadi optional tapi kewajiban bagi
Zakat) muslimin (At-Taubah/9 : 103)
Amandemen UU No. 23/2011 UU 23/2011 tidak mampu
tentang Pengelolaan Zakat menjadi mendongkrak pengumpulan zakat,
UU Zakat maka harus di amademen, agar bisa
mengamalkan makna At-Taubah/9 :
103
Buka lebar pembentukan UPPZ Agar terbuka luas akses baik untuk
(Unit Pengumpul Pendistribusi Muzaki maupun untuk Mustahik
Zakat) secara On Line sampai tingkat Masjid, Mushala, MTI
Penyaliran KUR oleh Bank Agar fasilitas KUR tidak di manfaatkan
Pemerintah harus lebih selektif oleh rentenir untuk dijual kembali
kepada sasaran mereka yaitu : Duafa
Pinjol dan rentenir harus ditindak Untuk menutup peluang eksploitasi
secara hukum dengan tegas kaum duafa. Meninggalkan mafsadat
‫ح‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
َ ‫ب ال َم‬ ِ َ‫د َْر ُء ال َمف‬ lebih diprioritaskan dari pada
mengambil manfaat
Sangsi hukuman kepada Untuk membangun tanggung jawab
penunggak zakat kewajiban sosial
Alokasi zakat fithr Dipergunakan juga untuk membangun
sarana kegiatan usaha, setelah alokasi
untuk makanan pokok terpenuhi.
Makharij Fiqhiyyah Solusi Bila Terjadi Kebuntuan
Hukum

Fakta dan Data Sebagai Dasar Kesimpulan Akhir


Selain data-data dan fakta-fakta hukum pada bab-bab sebelumnya, berikut
adalah data real hasil observasi di lapangan tentang rentenir.
Hasil Observasi Lapangan Tentang Rentenir
(Tanpa Jaminan & Proses Mudah)
Kreditur Pinjaman Tenor Cicilan Rp Total %
/Rentenir (Rp) Minggu / Minggu (Rp)
Perus Modal Ventura 2.000.000 50 52.000 2.600.000 30
MBK
BTPN Syariah 3.000.000 50 150.000 / 3.750.000 25
2 Minggu
KOMIDA Kop Mitra 3.000.000 50 78.000 3.900.000 30
Duafa
Kop Syariah BMT 2.500.000 25 117.000 2.925.000 37
Itqan
PNM MEKAR 2.000.000 50 52.000 2.600.000 30
Pantura 2.000.000 50 52.000 2.600.000 30
KUM Kredit Usaha 2.500.000 50 75.000 3.750.000 50
Mikro
DMS Doc Mngmt Syst 2.000.000 50 52.000 2.600.000 30
YCAB YYSN Cinta 2.000.000 50 52.000 2.600.000 30
Anak Bangsa
BAZNAS Micro 2.500.000 50 50.000 2.500.000 0
Finance
PT. MBK (Mitra Bisnis Keluarga) adalah Perusahaan Modal Ventura yang
diawasi oleh OJK. KOMIDA (Koperasi Mitra Duafa) adalah koperasi
simpan pinjam yang membantu perempuan berpendapatan rendah untuk
mendapatkan modal usaha. Baitul Mâl wa Tamwil Itqan adalah Koperasi
Syariah yang menyalurkan dana sosial (ZISW). Permodalan Nasional
Madani (PNM) MEKAR (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) adalah
BUMN yang menjadikan Ibu rumah tangga sebagai nasabahnya. Yayasan
Cinta Anak Bangsa (YCAB) memberikan bantuan permodalan kepada anak
muda prasejahtera. BAZNAS Micro Finance adalah Lembaga Keuangan
Mikro Inklusif (untuk Nasabah yang tidak mempunyai akses ke Perbankan)
dengan memberikan bantuan permodalan kepada UMKM dari dana Zakat
Produktif (bergulir) tanpa bunga dan tanpa jaminan.
Hasil Observasi Lapangan Tentang Rentenir
(Kesenjangan Antara Teori/Das Sollen dan Kenyataan/Das Sein)
BADAN/KEGIATAN TEORI KENYATAAN
Koperasi Simpan - Pinjam Hutang - Piutang
BMT Mengelola Dana Hutang Berbunga
Sosial
PNM Permodalan Pembiayaan UMKM Kredit Uang
Nasional Madani
Mudharabah Bagi Hasil Investor Menerima Hasil
Tetap Tiap Bulan
Mudharabah Bagi Hasil Investor Menerima Hasil
Musstarakah Tetap Tiap Bulan
Murabahah Jual Barang Jual Uang
Pinjol Bridging Finance Lintah Darat (Lebih Kejam
dari pada Riba Jahiliah)

Hasil Penelitian
Temuan-temuan fakta dan data lainnya adalah sebagai berikut :
Pertama, kecepatan pertumbuhan usaha rentenir jauh lebih tinggi (kasus
Koperasi Mitra Bisnis Keluarga, Bank Keliling dan Riba PinJOL : Tenor =
1 minggu ; limit = rp 5 juta ; bunga = 1 %/hari ; proses = on line. Inilah
Riba Super Jahiliah yang harus diberantas karena sangat zalim terhadap
rakyat miskin) yang sudah menyentuh sampai tingkat RT/RW. Sementara
usaha pemberdayaan zakat sangat lamban karena birokrasi, mulai dari belum
adanya Undang - Undang Zakat (yang ada baru Undang - Undang
Pengelolaan Zakat dan Wakaf : UU No.. 23 / 2011), sampai status BAZNAS
yang sebagai Regulator sekaligus Operator sehingga terjadi benturan
kepentingan (Conflict of Interest) dalam pertumbuhan pengumpulan dan
pemberdayaan zakat.
Kedua, tentang QS. Ar-Rûm[30]: 39, ribâ (tanpa ‫( )و‬makiyyah) :
‫وم''ٓا ٰاتَيتُم منْ رب''ا لِّيرب'و ۟ا ف ٓي اَم' وال النَّاس فَاَل يرب''وا ع ْن' َد هّٰللا ۚوم''ٓا ٰاتَيتُم منْ ز َٰك' وة تُري'دُونَ وج' ه هّٰللا‬
ِ َ ْ َ ْ ِْ ٍ ِّ ْ ْ َ َ ِ ِ ْ ُ َْ ِ ِ َ ْ ْ ِ َ ُ ْ َ ً ِّ ِّ ْ ْ ۤ َ َ
َ‫ض ِعفُ ْون‬ ٰ ُ ‫فَا‬
ْ ‫ول ِٕى َك ُه ُم ا ْل ُم‬
“dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kalian berikan berupa zakat yang kalian maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”. (QS. Ar-Rûm[30]: 39)
Bukan ayat tentang riba jahiliyah yang diharamkan, tapi hadiah yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur yang tidak dijanjikan dan disyaratkan
dari awal. Sebagaimana Rasulullah SAW juga mencontohkannya :
‫س 'لَّ َم‬ َ ‫ َجابِ َر بْنَ َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل َكانَ لِي َعلَى النَّبِ ِّي‬:٢٩٠٥ ‫سنن أبي داوود‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ' ِه َو‬
َ َ‫َديْنٌ فَق‬
‫ضانِي َوزَا َدنِي‬
Jabir ibn ‘Abdullah mengatakan; aku pernah memiliki piutang pada
Rasulullah SAW, lalu Rasulullah membayar hutangnya kepadaku dengan
memberikan kelebihan. (Sunan Abu Daud No. 2905)
Yang dilarang adalah memakan harta orang lain secara batil :
ْٓ 'ُ‫ض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُل‬
‫'وا‬ ْ '‫'وا اَل تَ 'ْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم' َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط' ِل آِاَّل اَنْ تَ ُك‬
ٍ ‫'ونَ ِت َج' ا َرةً عَنْ تَ ' َرا‬ ْ 'ُ‫ٰ ٓيا َ ُّي َه''ا الَّ ِذيْنَ ٰا َمن‬
‫س ُك ْم ۗ اِنَّ هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
َ ُ‫اَ ْنف‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS An-Nisâ’ [4]: 29)
Ketiga, pemahaman tentang tafsir ayat-ayat riba beserta maqashid
pelarangannya belum dipahami secara baik dan menyeluruh, sehingga banyak
yang mengabaikannya. Demikian juga pemahaman tentang tafsir ayat-ayat
zakat beserta maqashid perintahnya belum dipahami secara utuh dan
kontekstual, sehingga pertumbuhannya lamban dan pendistribusiannya tidak
fokus kepada masharif zakat paling prioritas yaitu fakir miskin (dapat dilihat
dari analisa laporan keuangan lembaga-lembaga amil zakat). Keempat,
substansi riba tidak hanya dalam bentuk penambahan harta karena utang
piutang dan jual beli dengan pembayaran tangguh, tapi substansi riba adalah
segala penambahan harta yang diperoleh dengan cara batil, termasuk di
dalamnya korupsi, menipu dan yang sejenisnya. Sistim riba merusak
tatanan keadilan sosek, dia adalah sistem Imperialisme sosek, membuat
orang terus berhutang sampai tidak mampu membayar.
Substansi tentang riba pada masa turunnya Al-Quran adalah
kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur
penganiayaan dan penindasan, tidak hanya masalah kelebihan atau
penambahan jumlah utang.102 Kelima, substansi zakat adalah : bukan hanya
“tumbuh serta menyucikan jiwa dan harta”, tapi substansi zakat adalah
“keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi” bagi seluruh masyarakat.
Zakat adalah ibadah mâliyah ijtimaiyah. Membayar zakat, tidak hanya sebagai
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
102

Kehidupan Masyarakat, cet. X, h. 267.


kepatuhan terhadap hukum agama, tapi juga kepatuhan terhadap hukum
negara (hukum qadhai’/sosial masyarakat). Keenam, fakta dan data bahwa
tatanan sosial ekonomi dunia sedang berubah dengan cepat, perkembangan
ekonomi sedang mengalami resesi, sistim kapitalis ribawi telah merasuk
sampai strata sosial paling bawah, sehingga tingkat pengangguran dan
kemiskinan terus meningkat, jumlah muzaki, kontribusi zakat dan
pemberdayaannya semakin menurun.
ALERT (Tanda Bahaya yang Harus Diwaspadai)
(Hasil Penelitian dan Observasi Lapangan)
1 Pemahaman penafsiran yang menganggap enteng riba sehingga
menghalalkan segala cara demi keuntungan materi dan sebaliknya
pemahaman yang berlebihan terhadap riba, sehingga menghalangi
gerak usaha muslimin
2 Riba terselubung yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah
3 Bank Konven yang berlabel syariah, tapi aktifitasnya ribawi
4 Tidak ada tindakan hukum terhadap rentenir, Pinjol dan Bank Emok
5 Sikap oknum bisnis syariah yang selalu menyalahkan nasabah dan
tidak mau introspeksi untuk memperbaiki diri
6 Substansi riba pada korupsi : Politik (Pilkada), Sosial (Bansos),
Perpajakan, Perijinan (Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan) yang
dampak sosial ekonominya sangat berbahaya.
7 Enggan membayar zakat melalui ‘amil zakat pemerintah karena
manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar muzaki

Pendapat Penulis Tentang Pemahaman Surah Ar-Rûm/30 : 39


‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫َو َم ۤٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّمنْ ِّربًا لِّيَ ْربُ َو ۟ا فِ ْٓي اَ ْم َوا ِل النَّا‬
ِ َ‫س فَاَل يَ ْربُ ْوا ِع ْن َد ِ ۚ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّمنْ ز َٰكو ٍة تُ ِر ْيد ُْونَ َو ْجه‬
َ‫ض ِعفُ ْون‬ ٰ ُ ‫فَا‬
ْ ‫ول ِٕى َك ُه ُم ا ْل ُم‬
“Riba yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah
berkembang dalam pandangan Allah. Adapun zakat yang kamu berikan
dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti) merekalah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS. Ar-Rûm[30]: 39)

Sependapat dengan mayoritas mufassir bahwa QS. Ar-Rûm[30]: 39,


riba (tanpa ‫ ) و‬pada ayat makiyyah ini, bukan ayat tentang riba jahiliyah yang
diharamkan, tapi hadiah yang diberikan oleh debitur kepada kreditur yang
tidak dijanjikan dan disyaratkan dari awal. Sebagaimana Rasulullah SAW
juga mencontohkan :
َ َ‫سلَّ َم َديْنٌ فَق‬
‫ضانِي َوزَ ا َدنِي‬ َ ‫ َجابِ َر َقا َل َكانَ لِي َعلَى النَّبِ ِّي‬:٢٩٠٥ ‫سنن أبي داوود‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Jabir berkata; aku memiliki piutang pada Rasulullah SAW, kemudian beliau
membayar piutangku dan memberi lebih .103 (Sunan Abu Daud). Tidak
sependapat dengan Sayyid Qutb yang mengatakan bahwa semua lafaz riba
di dalam Al-Qur’an menuju kepada riba yang haram.104
103
Lidwa Pusaka, Ensiklopedi Hadis Kitab Sembilan Imam, Sunan Abu Daud 2905
104
Sayyid Quthb, Tafsir Ayat-Ayat Riba, terj. Ali Rahmat, (Jakarta : Wali Pustaka,
Tentang Pemahaman Surah Ali-‘Imran/3 : 130
َ‫ض َعفَةً ۖ َّواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو ۚن‬ ْ َ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّر ٰب ٓوا ا‬
ٰ ‫ض َعافًا ُّم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda105 dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS
Āli-‘Imran/3 : 130)
Sependapat dengan M. Quraish Shihab, substansi tentang riba pada
masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah
utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar
kelebihan atau penambahan jumlah utang. Pendapat di atas diperkuat oleh
praktik Nabi SAW., yang membayar utangnya dengan jumlah yang lebih.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi SAW., pernah
meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian
orang tersebut menagih kepada Nabi, ketika itu dicarikan unta yang sesuai
umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan
kecuali yang lebih tua.106 Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta
tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda :
‫ حدثنا يزيد بن هارون وعفان قاال حدثنا حماد بن سلمة قال أخبرنا‬:١٠٧١٦ ‫مسند أحمد‬
‫علي بن زيد عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
107
‫إن خير التجار من كان حسن القضاء‬
“Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dan 'Affan mereka
berkata: telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah berkata:
telah mengabarkan kepada kami Ali bin Zaid dari Abu Nadhr dari Abu Sa'id
Al Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda : “Dan sebaik-baik pedagang
adalah yang baik dalam membayar hutang . . .” (Musnad Ahmad No. 10716)
Tentang Pemahaman Surah At-Taubah/9 : 60
‫سبِ ْي ِل‬ ِ ‫صد َٰقتُ لِ ْلفُقَ َر ۤا ِء َوا ْل َم ٰس ِك ْيهّٰللا ِن َواهّٰللا ْل ٰع ِملِيْنَ َعلَ ْي َها َوا ْل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُ ْوبُ ُه ْم َوفِى ال ِّرقَا‬
َ ‫ب َوا ْل ٰغ ِر ِميْنَ َوفِ ْي‬ َّ ‫اِنهّٰللاَّ َما ال‬
‫ضةً ِّمنَ ِ ۗ َو ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ ‫ي‬‫ر‬ َ
َ ْ ِ ِ ْ ِ َّ ِ ‫ِ َوا ْب‬
‫ف‬ ‫ل‬ۗ ‫ي‬ ‫ب‬‫س‬ ‫ال‬ ‫ن‬
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf),
untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-
orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang
dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari
Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (QS At-Taubah [9] : 60)
Alokasi dana zakat untuk ashnaf fî sabîlillâh hanya untuk kategori
jihad fî sabîlillâh secara nash dan qiyas, tidak bisa secara hakikat. Jadi untuk

2018), cet. I, h. 157


105
Riba dalam ayat ini dimaksudkan sebagai utang-piutang yang ketika tidak bisa
dibayar pada waktu jatuh tempo, pengutang diberi tambahan waktu, tetapi dengan ganti
berupa penambahan jumlah yang harus dilunasinya. Menurut para ulama, riba nasiah ini
haram, walaupun jumlah penambahannya tidak berlipat ganda.
106
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, cet. X, h. 267.
107
Muhammad ‘Abdul Qadir ‘Atâ, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008), ed. 1, jld. 9, h. 624
modal kerja dan pemberdayaan ashnaf miskin, tidak boleh dari alokasi fî
sabîlillâh, tapi harus diambil dari alokasi “miskin”. Penulis sependapat
dengan Yusuf al Qardhawi bahwa fakir dan miskin adalah satu macam
kategori dari segi kekurangan / kebutuhan, tapi terdiri dari dua golongan
ditinjau dari kadar kekurangan dan kebutuhan untuk mencukupi keperluan
dasar diri dan keluarganya, merupakan golongan yang diutamakan dalam
menerima zakat.108
1. Tentang Zakatul Fithr serta Sinergi Zakat dan Pajak
Karena nilai zakat fithr cukup besar (rp 3.867.500.000.000,. Tiga
triliun delapan ratus enam puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah - data
perkiraan tahun 2018), sebaiknya tidak habis untuk konsumtif saja, tapi
alokasi zakat fitrah dipergunakan juga untuk meningkatkan taraf hidup
penduduk fakir miskin dengan membangun sarana-sarana kegiatan usaha
(pasar), setelah alokasi untuk konsumsi makanan pokok terpenuhi. Pengertian
Fithr (makanan) untuk zakat dan Fithrah (potensi kebaikan) untuk hari
rayanya.
Kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat akan tercapai bila negara
berlaku adil dalam kebijakan politik ekonominya. Dalam konteks zakat dan
pajak, negara hendaknya membuat keputusan hukum yang mewajibkan warga
muslim dan perusahaan membayar zakat yang nilainya dapat mengurangi
kewajiban membayar pajak. Jadi, membayar zakat tidak hanya sebagai
ketundukan individu dalam menjalankan syariat agama (hukum
diyani/mahdhoh) tapi juga merupakan kewajiban sebagai warga negara yang
taat kepada hukum negara (hukum qadhai’/sosial masyarakat), dengan
syarat negara mengelola keuangannya dengan jujur dan amanah.

L. PENUTUP
Kesimpulan. Berdasarkan uraian kajian, penelitian lapangan, fakta dan data
yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sekaligus menjawab
pertanyaan pada perumusan masalah sebagai berikut :
1. Konsep memberdayakan zakat untuk mengurangi praktik riba adalah
dengan revitalisasi pemahaman tafsir ayat-ayat zakat dan riba yang
diaplikasikan pada aktifitas kehidupan nyata dengan metode Makhârij
Fiqhiyyah yaitu Taysîrul Manhaj, Tafriqul Halal ‘anil Haram, I’adhatul
Nadhar dan Tahqiqul Manath, diharmoniskan dengan kombinasi dua kaidah :
‫ الحكم' يدر مع العلته وجودا و عدما‬serta ‫جلب المصالح و درء المفاسد‬

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk, cet. III, h.514
108

Lihat juga : Masdar Farid Mas’udi, “ Pajak itu Zakat – Uang Allah untuk
Kemaslahatan Rakyat”, cet. I. h. 92
Lihat juga : ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, jld. 12, h.875.
Dari segi tafsir perlu untuk memasyarakatkan konsep Tafsir
Amaliyyah bersama Fiqhul Hayât untuk mempersempit kesenjangan antara
Das Solen dan Das Sein dalam mengamalkan ayat-ayat zakat dan riba.
2. Penerapan konsep di atas pada ranah aplikasinya adalah dengan
memperbesar alokasi masharif zakat untuk fakir miskin, sesuai amanat At-
Taubah/9 : 60 dalam rangka meningkatkan kondisi mustahik menjadi muzaki.
Tingkatkan peran ‘Âmil dengan memperbanyak UPZ dan Lembaga Micro
Finance Inclusive. Gunakan dana zakat untuk kegiatan produktif bukan
konsumtif, sesuai dengan tuntunan Al-Baqarah/2:275. Kemudian mengganti
akad-akad hutang piutang menjadi akad-akad syariah dengan pengawasan
ketat sebagai pengamalan Al-Baqarah/2:279
Final Dissertation Statement:
“Well Systematized Zakah Law Destroy Giant Usury”
‫إدارة الزكوة المنظمة تدمر الربوا‬
Badan zakat yang terintegrasi dan dikelola dengan baik
dapat menghancurkan riba
Rekomendasi. Penulis telah melakukan kajian tentang konsep dan kaidah
cara memberdayakan zakat untuk mengurangi praktik riba berdasarkan
pemahaman kritis tafsir ahkâm dan pendekatan makhârij fiqhiyyah, yang
belum dikaji penulis tuangkan dalam bentuk rekomendasi di bawah ini.
1. Rekomendasi Teoritis : Untuk memberdayakan zakat adalah dengan
mengamandemen UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat menjadi UU
Zakat, agar bisa mengamalkan makna At-Taubah/9 : 103 sehingga mampu
mendongkrak pengumpulan zakat dan ‘amil menjadi organisasi yang Well
Systematized. Terapkan sistim zakat progresif dinamis dan sinergikan dengan
konsep ZISWAF sebagai pengamalan dari pemahaman kritis terhadap tafsir
surah At-Taubah/9 : 60 tentang shadaqah (membenarkan firman Allah SWT
dengan menunaikan infaq, sedekah sunnah dan wakaf) sehingga mampu
mengurangi praktik riba karena naiknya pengumpulan dan distribusi zakat.
2. Rekomendasi Praktis: Ditujukan kepada pemangku jabatan yang
mempunyai otoritas membuat keputusan. Pertama, berdasarkan kaidah ‫الغنم‬
‫بالغرم‬ al-ghunmu bil ghurmi (untung muncul bersama risiko) dan  ‫الخـرج‬
ُ
‫الـضـ َمـن‬
َ ِ ‫ـ‬‫ب‬  al-kharaj bidh dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya), maka
sebaiknya sistim bunga kredit di perbankan diganti dengan sistim bagi hasil
(rugi) yang amanah dan berkeadilan. Agar tepat guna, dana zakat fokus hanya
untuk sektor memberdayakan fakir miskin menjadi pelaku usaha UMKM
yang produktif kontributif dan untuk meningkatkan bidang pendidikan,
sehingga mustahik menjadi cerdas dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Isa, Wadh’u Riba Fî Bina al- Iqtishadi, TTp : Dârul I’tisham,
Cet. Kedua, 2003
, al-Faidah ‘alâ Ra’su al-Mâl, TTp : Dârul Fath, 2001
Abdullah, Hasan Mahmud, Masyail al-Mu’amalat al-Mâliyyah baina al-
Syar’ wa al-‘Urf, Beirut: Dâr al-Hadi, 2008
Abdul Wahhab ‘Abdus Salâm, Fiqh ar-Riba, Kairo: Dârus Salâm, 2016
Abu Ishaq Ibrahim asy-Syatibi, al-Muwafaqat fî Ushul asy- Syariah, Kairo
: Dârb Ibnul Jauzy, 2013
Abu Zahrah, Muhammad, Fiqh Islam Mazhab dan Aliran; penerjemah:
Nabhani Idris, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2014.
Adiwarman Karim dan Oni Sahroni. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah
Ekonomi Syari’ah: Analisis Fikih dan Ekonomi, Jakarta: Rajawali
Press, 2015.
Ahmad, Ali, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut: Darul Qalam, 1987.
Ahmad, Musthafa, Syarh al- Qawaid al- F iqhiyyah, Beirut: Dâr
Usyamiyah, 1989.
Al-Andalusi, ‘Abdul Mun’im, Ahkamul Quran, TTp : Dâr Ibn Hazm, TTh.
Al-Andalusi, Muhammad Ibn Ahmad, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-
Muqtashid, Bairut : Dâr al Kutub al-’Ilmiyah, 2010.
Al-‘Akk, Khalid Abdurrahman, Ushul at-Tafsir wa Qawa’iduhu, Bairut:
Dârun Nafais, 1986.
Al-‘Alamah, Syekh Muhammad, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-
A’immah, Jeddah, TTh.
Al-Baghawi, al-Imam, Tafsîr al-Baghawi Li Al-Quran, TTp : Dâr ‘Ibnu Jazi,
tth al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih
Al-Bukhari, Kairo, Dâr Ibnul Jauzy, 2009.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, TTp, Dar Thauq Al Najah, 1422 H
Al-Fadhl, Abu Jamaludddin Muhammad bin Mandzur, Lisan al-‘Arab,
Beirut: Dâr Shâdir, TTh.
Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustashfa , Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyyah,
2010.
Al-Ghuryani, ‘Abdur Rahmân, Ahkâm al-Mu’amalah al-Mâliyyah fî al-
Fiqh al-Islami, Tripoli : al-Jami’ al-Maftuhah, 2002.
Al Husaini, Hamzah, Ibnu, , Asbab al- Wurud, Penerjemah: Wijaya,
Suwarta dan Salim, Zafrullah, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Al-Mishri, Rafiq Yunus, Ushul al-Iqtishad al-Islami, Damaskus : Dâr al-
Qalam, 2005
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Ali, Nurrudin Muhammhad, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan
Fiskal, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
Al-Jashash, Ahmad bin Ali, Ahkâm Al-Qur’an, Beirut: Dâr Ihya’ut Turats
al- Arabi, 1999.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Kairo: al-Babi al-Halabi,
1974.
, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang:
Karya Toha Putra Semarang, 2010
Al-Nurrawi, Ahmad, Al Imam Asy-Syafi’i Fi Madzhabihi Al-Qadimu
wa al-Jadidu, TTp, 1994.
Al-Qaradâwi, Yusuf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyyah, Kuwait:
Dârul Qalam, 1999
, Fiqh az-Zakah, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993.
, Hukum Zakat, terjemahan oleh Salman Harun dkk,
Bogor : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1993.
, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam, Kairo : Maktabah
Wahbah, 1993
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Penerjemah: Mudzakir
AS, Bogor: Litera AntarNusa, 2016.
Al- Qurthubî, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad, al-Jami’ Li Aḥkâm Al-
Qur’an, Beirut : Muasasah ar-Risalah, 2006
, Tafsir al-Qurthubi, terjemahan, Fathurrahman, dkk, , Jakarta :
Pustaka Azzam, 2007
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, al -‘Alim biba’dhi Âyât al-Ahkâm,
Tafsiran wa Istimbathan, Riyadl: Min Ishdarat, 2017.
, Syarh al-Arbai’na an-Nawawiyah,
Penerjemah: Mujtahid Umar, Solo: Umul Quro, 2012.
, Fatwa-Fatwa Zakat, Jakarta:
Darus Sunnah, 2008.
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer, Depok: Gramata Publishing, 2015
Amin Suma, Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Amin, Ma’ruf, Era Baru Ekonomi Islam Indonesia, Jakarta: elSAS Jakarta,
2017.
, Himpunan Fatwa MUI – Sejak 1975, Jakarta : Erlangga, 2104
, Fatwa dalam Sistim Hukum Islam, Jakarta: eSLAS Jakarta,
2011.
Ansory, Isnan, Ilmu Ushul Fiqih Mengenal Dasar-Dasar hukum Islam,
Jakarta : Rumah Fikih Publishing, 2017.
Arabi, Abu Bakar Muhammad Ibnu, Ahkâm Al- Quran, Bairut : Dârul
Kutub ‘ Ilmiyah, TTh.
Ar-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât fi Gharibil Qur’an, Mesir, Dâr Ibnul
Jauzi 1438 H/2017 M
Arifin, Muhammad Bin Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah,
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2011.
Ar-Ruhaily, Sulaiman, Dhawabitu ar-Riba, al-Jazair, Dârul Mirats an-
Nabawi, 2015
Ash-Shabuni, Ali, at Tafsir al- Wadlhi al- Muyassar, Beirut: Maktabah
Adl- Dlairiyah, 2013.
, Tafsir bi Âyâti a l - Ahkâm, TTp, Maktabah asy-Syuruq
ad- Dauliyah, TTh.
, Shafwat at-Tafâsir, TTp : Dârul Fikri, Cet. Pertama, 2001
As-Suyûtî, Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulum Al- Qur’an, Beirut: Dârul Kutub
al- ’Ilmiyyah, 1971.
, Tarikh al-Khulafa, Penerjemah, Fachry, Jakarta:
PT. Mizan Publika, 2010.
Asy-Syafi’i, Imam, Ar-Risalah, Penerjemah: Masturi Irham dan Asmu’i
Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.
Asy-Syâtibî, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafaqat fî Ushul asy-Syariah, Kairo
: Dârb Ibnul Jauzy, 2013.
Asy-Syaukani, Al-Imam Muhammad, Nail al-Authar, Kairo: al-Quds, 2012
, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-
Akbar, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 2011
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan an Ta’wili Ayi
Al Quran, Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1994
, Tafsir ath-Thabari,
terjemahan Ahsan Askan, dkk, Jakarta : Pustaka Azzam, 2009.
Ath-Tarmidzi, Tahqiq Syakir, Sunan At-Tirmidzi, Mesir: Syirkah Maktabah
wa Mathba’ah Mushtafa Al-Babiy Al Hilabiy, 1395 H/1975 M
Atiyah, Jamaluddin, al-Bunuk al-Islamiyah, Bairut: al-Muasasah al-Jami’ah,
1993.
At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al Kamil. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2007.
Az-Zamakhsyari, Abul Qashim, Tafsir al-Kasyaf, Bairut : Darul Ma’rifah,
TTh
Az-Zarkasyi, al-Burhan fi ulum Al-Qur’an. Cairo: Syarikatul Quds, 2016
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Mu’alamat al-Maliyat al-Mu’ashirah, Suriah: Darul
Fikri, 2002.
, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Kuala Lumpur : Darul Fikri,
2016.
, Tafsir al-Munir, al-Aqîdah wa asy-Syari’ah wa al-
Manhaj, Damaskus: Dârul Fikr, 2009.
, Tafsir al-Munir : Aqîdah - Syari’ah –Manhaj,
terjemahan, Ahmad Ikhwani dkk, Jakarta Gema Insani, 2005
Bachrum, Qur’an Suci, Jakarta : Dârul Kutubil Islamiyah, 2005.
, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Hukum dan Keadilan,
Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Editor : Muchlis M.
Hanafi, 2013
, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Maqasid asy-Syari’ah,
Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Editor : Muchlis M.
Hanafi, 2013
, Tafsir Qur’an Per Kata, Jakarta : Maghfirah
Pustaka, 2011
Farid, Abdullah, Finance & Economics, Cairo : First edition, 1985
Farid, Ahmad Syekh, Min a’lam as-Salaf, Penerjemah: Masturi Irham,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah: Masturi Irham
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Fatah, Abdul, Fiqih Darurat, Pegangan Ilmiah Menjawab Persoalan
Khilafiah. Penerjemah: Abdul Majid, Jakarta, 2018.
Fathoni, Ahmad, Ilmu Rasm Utsmani, Jakarta, IIQ Jakarta Press, 2013
Hadi, Waqafat, Ma’a Fatwa Ibahatil Qurud Ribawiyah, Dârul Andalus al-
Khadirâ, TTh.
Hafidhuddin, Didin, Fiqih Zakat Indonesia, Jakarta : BAZNAS, 2015
Hanafi, Muchlis Muhammad, Asbabun Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun
Wahyu, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2015.
, Makkiy & Madaniy, Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2017.
Hosein, Imran, Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah, Kuala
Lumpur, Ummavision Sdn. Bhd, 1997
Hosen, Ibrahim, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, Bogor :
Makalah pada Lokakarya MUI tentang Bunga Bank dan Perbankan,
19-22 Agustus 1990
Husein, Muhammad, Ensiklopedia Tafsir, Jakarta: Kalam Mulia 2009.
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, Jakarta : Lingkar
Studi Al-Qur’an, 2013.
Ibnu Bakry, Qadhiyal, Ahkâmul Quran, Kaitro:Dâr Ibn Jauziy,1437 H
Ibnu Majah, tahqiq Al-Arnauth, Sunan Ibnu Majah, TTp:Dâr Ar-Risalah Al-
Alamiyah, 2013.
Ibnu Habib, ‘Abdul Malik, Kitâb ar-Ribâ, Dubay:Markaz Jami’ah, 1433 H
Ibnu Muhammad, Shalih Ibn ‘Abdul Aziz, at-Tafsir al-Muyassar, Madinah al-
Munawarah, 1430 H
Jabir, Abu Bakar Syekh, Minhaj al- Muslim, Penerjemah: Musthofa Aini
dkk, Jakarta: Dârul Haq, tth.
Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîr Al-Quran Al- Azhîm,
TTp: al-Hikmah, TTh
Jalaluddin, Abdurrahman, al-Asybah wa an-Nadzair, Daarussalam, 2013.
Jauhar, Ahmad al Mursi Husain, Maqashid Syariah, Jakarta, Penerbit
Amzah, 2009.
Karim, Adiwarman, dan Oni Sahroni. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah
Ekonomi Syari’ah: Analisis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali
Press, 2015.
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’ân Al-‘Azhîm, Kairo : al-Bulaq, 1952 M.
Lidwa Pusaka, Ensiklopedi Hadis Kitab Sembilan Imam, Sunan Abu Daud
2905
Majah, Ibnu dan Tahqiq Arnauth Al-, Sunan Ibnu Majah, ttp :Dâr Ar-Risalah
Al-Alamiyah, 2013.
Makiy, Muhammad, Al-kasyfu ‘an Wujuh al-Qira’at as-Sab’i wa
‘ilaha wa Wujajiha, ttp, Dârul Hadits Al-Qahirun, 2007.
Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup, TTh.
Mardani, Hukum Bisnis Syariah. Jakarta: Kencana, 2014.
Mubarak, Jaih, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Jual-Beli, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017.
, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad tabarru’, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017.
, Fikih Mu’amalah Maliyyah Prinsip-prinsip Perjanjian,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017.
Muhammad, Ibn ‘Abdullah, Shahih Bukhari, Kairo: Dârul Ibn Jauziy, 2009
Mukhtar, Nurudin, al-Muyassar fi ‘Ilmi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Beirut: Al-
Yamamah, 2007.
Mursi, Ahmad , Maqashid Syariah, Jakarta: Penerbit Amzah, 2009.
Muslim, Fadlil, al-Furuq al-Fiqhiyyah, Darul Garib al Islami, 2007.
Muslim, Husain, ash-Shahih al-Muslim, Pakistan: Bushra Publishers, 2011.
Muslim, Musthafa, Fi Tafsir al-Maudlui’, Riyadl: Al-Ma’arif, 2009. Muslim,
Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Ihya al-Turats al-Arabiy, TTh
Mustafa, Muhammad, at-Tafsir al-Mufasirun, ttp, Attarqimu Addauli, 2012.
Musyqil, Mahmud Isma’il Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf al-Fiqhi fi al-
Qawa’id al-Mukhtalaf Fiha, Kairo: Dâr as-Salam, 2007.
Nuruddin, Muhammad bin, Taisir al-Bayan Lî Ahkâm Al-Quran, Kuwait :
Dârun Nawadir, cet. Pertama, 2012
Pradja, Juhaya S, Ekonomi Syariah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Qohaf, Mundzir, an-Nushus al-Iqtisadiyyah min Al-Qur’an wa as-Sunnah,
Jeddah, TTh.
Quthb , Sayyid, Tafsîr Âyât Ribâ , Beirut, Dar el-Shorouq, 1995. Penerjemah
: Ali Rohmat, Tafsir Ayat-Ayat Riba, Jakarta, Wali Pustaka, 2018
, Fi Zhilal Al-Qur’ân, , Penerjemah : M.Misbah dkk,
Jakarta: Robbani Press, 2009
Ridlo, M. Taufik, Zakat Profesi & Perusahaan, Jakarta: Institut Manajemen
Zakat, 2007.
Rouf, Abdul, Bunga Bank Halal ?, Depok : Keira Publishing, September
2019. Terjemahan dari kitab Muamalat al-Bunuk asy-Syar’iyyah,
Karya Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi
Sahroni, Oni, dan Karim, Adiwarman Azhar, Maqashid Bisnis dan Keuangan
Islam, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2015.
Sarwat, Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan (4): Muamalat, Jakarta: Rumah Fikih
Publishing, 2017.
, Seri Fiqih Kehidupan (7): Zakat, Jakarta: Rumah Fikih
Publishing, 2017.
Sayyid asy-Syarif Abul Hasan Ali al-Husaini, at-Ta’rifah, Kairo: Dâru ibnul
Jauzy, cet. Pertama, 2018.
Shabri, Mas’ud, Bidayat al- Qashid ilâ ‘Ilmi Maqashid, TTp : cet. 2017
Shihab, Muhammad Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015
, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW,
Tangerang: Lentera Hati, 2014.
, Tafsir al-Mishbâh, Tangerang: Lentera Hati,
2016
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Sulaiman, Syaikh, Dlawabith ar-Ribâ, Madinah : Dâr al-Mîrâts an-Nabawiy,
1436 H
Syâkir, Ahmad Muhammad, ‘Umdat at-Tafsîr- Mukhtashar Tafsir Al-
Quran Al-‘Azhîm, Kairo: Dâr Ibnul Jauzy, cet. Pertama
Tahido, Huzaimah, Masail Fiqhiyyah, Bandung: Angkasa Bandung, 2005.
Thahir, Mastur Al-, Asbab al-Khata Fi Tafsir, ttp, Dar Ibnu Ajauziyah, 1425.
Thohir, Muhammad, Tafsir at- T ahrir wa at- T anwir, ttp, Ad-Daar At-
Tunisia Lin Nasyar, 1984
Tuwaijiri Muhammad, At-, Ensiklopedi Islam Al Kamil. Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2007.
Zahrah, Abu Muhammad, Fiqh Islam Mazhab dan Aliran; penerjemah:
Nabhani Idris, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2014.
Zahruddin, Abdurahman, , Maqasidu Asy Syari’ah Fii Ahkamil Buyu’i,
Lebanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 2009.
Zaid, ‘Abdul ‘Azhim Jalal Abu, Fiqh ar-Riba’ : Dirasat Muqaranah wa
Syamilahli at-Tathbiqat al-Mu’asirah, Beirut: Muasasah ar-Risalah,
2004
, Fiqh ar-Riba’ : Dirasat Muqaranah wa
Syamilahli at-Tathbiqat al-Mu’asirah. Penerjemah : Abdullah , Fiqih
Riba-Studi Komprehensif tentang Riba sejak Zaman Klasik hingga
Modern, Jakarta: Senayan Publishing, 2011

Anda mungkin juga menyukai