HIV-AIDS
LABORATORIUM FARMAKOTERAPI
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
JAKARTA
2021
BAB I
KASUS
A. KASUS (HIV)
Apoteker di Rumah Sakit sedang melakukan skrining resep pada pasien HIV
untuk 30 hari dengan resep berikut:
Identitas Pasien
Nama : An. Aljoko
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 10 tahun
BB/TB : 40 kg/120 cm
Alamat : Jalan Kemayoran, Jakarta Pusat
Riwayat Penyakit
Keluhan saat ini: sakit kepala dan demam.
Diagnosa: HIV
Riwayat penyakit dahulu /lainnya / kondisi khusus: kandidiasis dan TB
Riwayat penyakit keluarga: HIV
Riwayat lingkungan, sosial dan gaya hidup: -
Riwayat pengobatan: pasien patuh minum obat ABC + 3TC + LPV/r (selama 12 bulan)
Riwayat alergi obat: tidak ada
Informasi lain terkait pengobatan: pemeriksaan viral load tanggal 6 Maret 2021 dengan
hasil 1300 kopi/ mL
A. LATAR BELAKANG
a. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab penyakit Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan cara menyerang sel darah putih sehingga
dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Kasus HIV/AIDS merupakan fenomena
gunung es, dengan jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap
tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di seluruh dunia, setiap hari diperkirakan
sekitar 2000 anak di bawah 15 tahun tertular HIV dan sekitar 1400 anak di bawah usia 15
tahun meninggal dunia, serta menginfeksi lebih dari 6000 orang berusia produktif.
b. Etiologi
Beberapa teori diungkapkan tentang etiologi atau penyebab dari munculnya seorang
waria. Beberapa ahli mengungkapkan pada penyebab biologis dan penyebab secara
genetik, Sedangkan ahli yang lain mengungkapkan disebabkan oleh proses belajar sosial
dan disfungsi dari peran keluarga. Selain itu hal ini juga dapat disebabkan oleh besarnya
risiko perilaku seksual laki-laki yang bergantiganti pasangan terutama terhadap istrinya
sendiri. Hal ini semakin memperburuk kondisi perempuan, terutama ketika mereka
terinfeksi HIV/AIDS meskipun dari suaminya sendiri (Dalimoenthe, 2011). Data kasus
AIDS yang dilaporkan setiap 3 bulan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(RI) dalam 10 tahun terakhir (2003-2013), menunjukkan bahwa jumlah terbesar kasus
AIDS pada perempuan adalah ibu rumah tangga. Penularan pada ibu rumah tangga
dibandingkan dengan wanita pekerja seksual (WPS) cenderung meningkat sejak tahun
2003 sampai tahun 2013. Ibu rumah tangga lebih berisiko menderita AIDS dibanding
penjaja seks disebabkan oleh suami pengidap HIV dan menulari istrinya melalui
hubungan seks tanpa kondom. Pusat Komunikasi Publik Setjen Kementerian Kesehatan
RI tahun 2012 menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 1.103 kasus AIDS pada
perempuan, berdasarkan status pekerjaannya didominasi ibu rumah tangga, kejadian
tersebut melampaui kasus AIDS di kalangan wanita pekerja seks komersial (Sophian,
2013).
c. Cara penularan
Menggunakan jarum suntik bekas secara bergantian juga termasuk cara penularan
HIV/AIDS yang umum. Risiko ini tinggi khususnya di kalangan pengguna narkoba
suntik. Jarum yang telah digunakan oleh orang lain akan meninggalkan sisa-sisa
darah. Jika orang tersebut terinfeksi HIV, darah mengandung virus yang tertinggal
pada jarum dapat berpindah ke tubuh pemakai jarum selanjutnya melalui luka bekas
suntikan. Virus HIV nyatanya dapat hidup di dalam jarum suntik selama 42 hari
setelah kontak pertama kali tergantung pada suhu dan faktor lainnya. Ada
kemungkinan bahwa satu jarum bekas dapat menjadi perantara penularan HIV kepada
banyak orang yang berbeda. Maka dari itu, pastikan untuk selalu minta peralatan
seperti jarum atau alat kesehatan lainnya yang masih dalam kemasan baru tersegel
dan belum pernah dipakai sebelumnya.
Seks Oral
Semua bentuk hubungan seks oral dianggap berisiko rendah untuk penularan virus
HIV, tetapi bukan berarti mustahil. Risiko penularan dari seks oral masih tetap
ada. Bahkan, risiko tersebut bisa semakin besar jika Anda melakukan ejakulasi di
dalam mulut dan tidak menggunakan kondom maupun pelindung mulut lain
(seperti dental dan/kondom wanita). Penularan HIV dapat terjadi saat Anda
merangsang atau mengulum kelamin pasangan yang terinfeksi HIV dengan lidah
dan Anda sedang memiliki luka atau sariawan terbuka di dalam mulut. Jika
ciuman hanya terjadi pertukaran liur saja, virus HIV tidak akan menyebar.
Berbeda jika saat berciuman terdapat luka, sariawan, atau kontak darah antara
Anda dan pasangan yang memiliki virus HIV, penularan dapat terjadi. Hal yang
sama juga berlaku bila bibir atau lidah Anda tak sengaja tergigit oleh pasangan
selama berciuman, luka baru itu dapat menjadi gerbang masuk bagi virus HIV
melalui air liur pasangan.
Donor darah dan cangkok organ
Transfusi darah langsung dari donor darah yang terinfeksi berisiko tinggi untuk
menularkan virus HIV. Namun, penularan virus HIV melalui donor darah dan
cangkok organ termasuk kurang umum. Pasalnya, ada seleksi yang cukup ketat
bagi calon pendonor sebelum melakukan donor darah. Pendonor darah atau organ
biasanya menjalani pemeriksaan terlebih dahulu, termasuk tes darah HIV. Hal ini
bertujuan untuk meminimalisir penularan HIV dengan cara donor organ dan
darah.
Risiko lolosnya darah yang terinfeksi HIV hingga digunakan untuk transfusi
sebenarnya kecil. Ini karena pendonor darah dan organ cangkok wajib melalui
proses seleksi yang ketat. Jadi, transfusi darah yang diterima dan nantinya
diberikan kepada orang yang membutuhkan darah sebenarnya aman. Jika ternyata
ada satu saja donasi yang terlambat diketahui positif, darah akan langsung
dibuang sementara organ calon pencangkokan juga tidak akan dipakai.
Sayangnya, beberapa negara berkembang mungkin tidak memiliki teknologi atau
peralatan terkait untuk menguji semua darah dan mencegah penularan HIV/AIDS.
Mungkin ada beberapa sampel sumbangan produk darah yang telah diterima
ternyata mengandung HIV. Untungnya, kejadian ini terhitung langka.
Menurut sebuah penelitian tahun 2011 dari jurnal AIDS Research and Therapy,
ada kemungkinan biologis yang menyatakan gigitan sesama manusia dapat
menjadi cara penularan HIV yang tak terduga. Air liur selama ini diteliti kurang
efektif sebagai perantara pembawa virus HIV karena punya sifat penghambat
virus. Namun, kasus yang diteliti dalam jurnal tersebut terbilang unik. Dalam
jurnal tersebut diceritakan bahwa jari tangan seorang pria sehat non-HIV yang
memiliki diabetes digigit oleh anak angkatnya yang positif HIV. Jari tangan pria
tersebut digigit cukup keras dan dalam sehingga bagian dalam kukunya berdarah.
Beberapa waktu setelah digigit, pria tersebut dinyatakan positif HIV dan
terdeteksi memiliki viral load tinggi setelah mengalami demam HIV tinggi dan
berbagai infeksi. Para dokter dan peneliti pada akhirnya menyimpulkan sementara
bahwa air liur bisa menjadi media penyebaran HIV, meski belum yakin benar
bagaimana mekanisme pastinya. Diperlukan penelitian dan pemeriksaan lebih
lanjut untuk memastikan cara penularan HIV yang satu ini.
Penetrasi seks, entah itu lewat vaginal (penis ke vagina), oral (alat kelamin dan
mulut), atau anal (penis ke dubur), dengan pasangan yang mengidap HIV dan
AIDS bisa membuat Anda tertular. Tidak hanya lewat kelamin ke kelamin secara
langsung, penggunaan benda atau mainan seperti boneka seks berisiko
menularkan penyakit, termasuk HIV. Kondisi tersebut semakin berisiko jika
mainan seks yang Anda pakai tidak dilapisi pelindung. Penularan virus HIV dan
AIDS dari satu orang ke yang lainnya sering terjadi ketika mainan seks dipakai
bergantian. Bila Anda atau pasangan mengidap HIV, jangan menggunakan
mainan seks secara bergantian dalam satu sesi bercinta. Virus HIV memang
umumnya tidak bisa hidup lama-lama di permukaan benda mati. Namun, mainan
seks yang masih basah oleh sperma, darah, atau cairan vagina bisa saja menjadi
perantara virus berpindah ke orang lain.
Menindik bagian tubuh atau membuat tato juga dapat meningkatkan risiko
penularan HIV. Cara penularan HIV pada proses ini terjadi apabila saat proses
menindik dan membuat tato, kulit yang ditusuk kemudian terluka hingga
mengeluarkan darah. Jika alat dipakai secara bergantian, bisa saja orang yang
terinfeksi HIV meninggalkan bekas darahnya yang mengandung virus.
Sebenarnya melakukan sulam alis, tato alis, dan sulam bibir cukup aman untuk
kesehatan. Namun, tren kecantikan yang sedang naik daun ini juga dapat menjadi
cara penularan HIV dan AIDS.
Hal ini bisa terjadi jika proses tersebut dilakukan oleh pegawai yang tidak
berpengalaman dan tidak menggunakan peralatan steril. Pasalnya, prosedur sulam
atau tato wajah ini melibatkan pengirisan kulit terbuka. Untuk mencegah
penyebaran HIV, sebelum Anda duduk dan disulam alis atau bibirnya, pastikan
bahwa semua peralatan yang digunakan masih steril.
Mungkin sekilas Anda berpikir bahwa petugas medis adalah orang paling sehat
karena memiliki akses dan pengetahuan yang mumpuni tentang kesehatan.
Namun, selain pengguna narkoba yang berbagi jarum suntik secara sengaja, risiko
penularan HIV juga tinggi pada tenaga medis. Tenaga medis ini meliputi dokter,
perawat, petugas laboratorium, hingga petugas pembersih limbah fasilitas
kesehatan lewat perantara alat medis. Jarum suntik dapat menjadi perantara virus
HIV saat darah pasien yang positif HIV dapat berpindah kepada petugas
kesehatan jika mereka memiliki luka terbuka yang tidak terlindungi oleh pakaian.
- Jika jarum suntik yang telah dipakai oleh pasien positif HIV tidak sengaja
tertancap ke petugas kesehatan (disebut juga needle-stick injury).
- Jika darah yang terkontaminasi HIV mengenai membran mukosa, seperti mata,
hidung, dan mulut.
- Lewat peralatan kesehatan lain yang digunakan tanpa disterilkan.
Meski begitu, peluang penyebaran virus HIV di antara petugas medis di fasilitas
kesehatan melalui jarum suntik bekas tergolong kecil.
B. ALOGARITMA TERAPI
a. Kasus (HIV)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
No RM : 007
Rumah Sakit UHAMKA Nama Pasien : An. Aljoko
Jl. Delima 1 No 1, Jakarta Timur Tgl Lahir/Umur : 10 tahun
Telphone: (021) 0890909090 Jenis kelamin : laki-laki
Darah
Leukosit 9x 4-10 x
103/mm3 103/
mm3
Hb 11,0 11,0 -
g/dL 16,0
g/dL
CD4 81 sel/ >350
µL sel/ µL
Viral load 1500 < 1000
kopi/ kopi/
mL mL
Assessment :
DRP :
Dosis kurang tepat :
- dosis Zidovudine diresepkan 300
mg dalam resep 1 x sehari 1 tab.
Berdasarkan literature seharusnya
diberikan 300 mg 2 x sehari 1 tab
(ISO Farmakoterapi hal.709)
B. PEMBAHASAN
Jurnal 2: Pola Penggunaan Obat Antiretroviral (Arv) pada Resep Pasien Rawat
Jalan dari Klinik Hiv/Aids Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Kota Bandung
Human Immunodeficiency Virus (HIV) terus menjadi isu kesehatan masyarakat global
utama, yang telah menewaskan lebih dari 35 juta orang sejauh ini. Pada tahun 2016, satu juta
orang meninggal akibat HIV secara global. Ada sekitar 36,7 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2016 dengan 1,8 juta orang baru terinfeksi pada tahun 2016 secara global. HIV
menargetkan sistem kekebalan tubuh dan melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi
dan beberapa jenis kanker. Seiring virus menghancurkan dan merusak fungsi sel kekebalan
tubuh, individu yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi. Tahap paling lanjut dari
infeksi HIV adalah Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yang dapat memakan waktu
2 sampai 15 tahun untuk berkembang tergantung pada individu. AIDS didefinisikan oleh
perkembangan kanker, infeksi, atau manifestasi klinis berat lainnya (WHO, 2017).
Hasil:
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa pasien laki-laki lebih banyak dengan
persentase 87% bila dibandingkan dengan pasien HIV/AIDS perempuan yang hanya 13%. Hal
ini sama dengan pola penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia menurut laporan perkembangan
HIV/AIDS triwulan I tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, dimana laki-laki masih menempati persentase
tertinggi bila dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 2:1, dengan pola penularan
terbanyak melalui hubungan seks. Untuk perempuan, faktor risiko sebagian besar terjadi pada
ibu rumah tangga yang pasangannya tertular HIV/AIDS atau penularan dari ibu ke bayi. Menurut
Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan I Tahun 2017, faktor risiko penularan terbanyak
melalui heteroseksual (68%), pengguna Napza suntik (11%), diikuti homoseksual (4%), dan
penularan melalui perinatal (3%) (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017).
Dari jurnal tersebut terlihat bahwa dari 87 pasien yang diteliti, semua pasien (100%)
menggunakan obat ARV golongan Nucleoside / Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor
(NRTI) dan 86 pasien (99%) menggunakan obat ARV golongan Non Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dalam kombinasi dengan golongan NRTI. Sedangkan ada 1
pasien yang tidak menggunakan NNRTI sebagai kombinasi dengan golongan NRTI melainkan
menggunakan golongan Protease Inhibitor (PI) sebagai kombinasi. Berdasarkan Permenkes No.
87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral, dinyatakan bahwa pengobatan ARV
harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis teraupetik
dalam darah, atau dikenal dengan istilah ART (antiretroviral therapy). Untuk panduan lini
pertama yang dianjurkan biasanya menggunakan kombinasi dua obat golongan NRTI dan satu
obat golongan NNRTI (Permenkes RI No.87 Tahun 2014). NRTI bekerja berdasarkan
penghambat kompetitif dari reverse transcriptase HIV-1, dimana penggabungan ke dalam
pembentukan rantai DNA virus menyebabkan penghentian pembentukan rantai secara prematur
karena penghambatan proses pengikatan dengan nukleotida yang masuk. Golongan NRTI
disebut sebagai “tulang punggung” pada terapi ARV. Golongan NNRTI bekerja mengikat
langsung ke reverse transcriptase HIV-1, yang mengakibatkan penghambatan alosterik aktivitas
RNA dan DNA polimerase. Sedangkan untuk golongan PI bekerja dengan cara mencegah
pengolahan protein virus menjadi konformasi fungsional, menghasilkan produksi partikel virus
yang belum menghasilkan dan tidak menular. Tidak seperti NRTI, PI tidak memerlukan aktivasi
intraselular (Katzung, 2015).
Parameter keberhasilan terapi dapat dipantau dari peningkatan jumlah CD4 dan
penurunan perkembangan virus. Kriteria gagal terapi dilihat dari segi klinis, imunologis, dan
virologis. Dikatakan gagal klinis apabila muncul infeksi oportunistik baru atau berulang, gagal
imunologis apabila CD4 turun ke nilai awal atau lebih rendah lagi atau CD4 turun > 50% dari
jumlah CD4 tertinggi, sedangkan gagal virologis dilihat dari viral load > 1000 kopi/mL
berdasarkan pemeriksaan HIV RNA dengan jarak 3-6 bulan (Permenkes RI No. 87 tahun 2014).
Dari hasil analisis ketepatan kombinasi obat, dapat dikatakan bahwa kombinasi obat ARV yang
digunakan pada pasien rawat jalan dari Klinik HIV/AIDS yang berobat pada bulan April-
Desember 2017 sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan pada pedoman pengobatan
Antiretroviral Permenkes RI No.87 tahun 2014.
DAFTAR PUSTAKA