DISUSUN OLEH:
NIM : 4212321002
OKTOBER 2022
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR......................................................................................3
1.2 Tujuan CBR...................................................................................................................3
1.3 Manfaat CBR.................................................................................................................3
BAB II RINGKASAN ISI BUKU.....................................................................................4
3.1 Pembahasan...................................................................................................................11
BAB IV PENUTUP............................................................................................................13
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................13
4.2 Saran..............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................14
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sering kali kita bingung memilih buku referensi yang akan kita baca dan pahami.
Biasasnya kita memilih satu buku, namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari segi
analisis bahasa dan pembahasan tentang kepemimpinan. Oleh karena itu penulis membuat
Critical Book Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi,
terkhusus pada pokok bahasan tentang ilmu sosial budaya dasar terlebih pada kebudayaan.
2. Edisi : Cetakan ke 3
7. ISBN : 979-3367-59-8
2
BAB II
1. Pengertian
Suku karo sebagaimana halnya dengan suku lainnya mempunyai tata cara perkawinan yang
khas. Namun, pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan perkenalan, pacaran,
pertunangan, meminang, pengesahan ( Perkawinan) , dan Upacara Pensaklaran . Perkawinan
pada masyarakat karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang
harus kawin dengan orang dari luar merga-nya, dengan kekecualian pada marga
Peranginangin dan Sembiring. Syifa religius dari perkawinan pada masyarakat karo terlihat
dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin
saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah leluhur
mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya.Prof. Dr.
Hazairin, S.H. mengemukakan peristiwa perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan menjamin ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan
kesuburan (vruchtbaarheid). Upacara-upacara ini tadi oleh A. Van Gennep, seorang ahli
sosiologi Perancis dinamakan" rites de passage" atau upacara-upacara peralihan ( Surojo
Wignjodipuro, 1973:40). Melambangkan peralihan status seseorang dalam hal ini kedua
mempelai. Setelah perkawinan ini kedua mempelai akan hidup bersama dalam satu rumah
tangga sendiri. Ketergantungan antara mereka menjadi sedemikian dekatnya sehingga seolah-
olah mereka adalah layaknya satu diri saja, Seperti tergambar dalam sebutan untuk istri pada
suku Jawa dengan "garwa" ( sigaraning nyawa) atau belahan jiwa.
2. Sistem perkawinan
Pada marga-marga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal
dari submarga Ginting, karo karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam marganya sendiri
3
tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luarnya. Misalnya antara Ginting karo
karo atau Tarigan dan lain-lainnya.
Sistem perkawinan yang berlaku pada kedua marga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak
keterbatasannya adalah seseorang dari marga tertentu Peranginangin atau Sembiring
diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal submarganya(
lineagea) berbeda. Misalnya dalam olahraga Peranginangin, antara bangun dan Sebayang atau
antara Kuta buluh dan sebayang. Demikian juga dalam marga Sembiring, antara brahmana
dan Meliala, antara Pelawi dan Depari , dan sebagiannya.
Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan, maka para pihak harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu:
1. Tidak berasal dari satu marga, kecuali untuk marga Peranginangin dan Sembiring
2. Bukan mereka yang menurut adat dilarang untuk berkawin karena erturang( bersaudara) ,
sepemeren, erturang impal.
3. Sudah dewasa.
Dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti,
tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah
tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (metah mehuli). Sedangkan
untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, mengetahui adat (meteh tutur). Dan
sebagiannya.
4. Fungsi perkawinan
4
5. Jenis - Jenis perkawanian
Berdasarkan status dari pihak yang perkawinan maka perkawinan pada masyarakat karena
dapat dibagi yaitu:
6. Proses Perkawinan
1. Erdemu bayu
2. Maba belo selambar
3. nganting manuk
1. Pengertian
Mesur mesuri sering juga disebut maba manuk mbur , yaitu upacara 7 bulanan bagi seorang
perempuan yang sedang hamil. Untuk anak pertama, upacara ini bernama mesur-mesuri
sementara untuk anak kedua dan seterusnya disebut maba manuk mbur atau mecah-mecah
tinaruh.
Tujuan untuk mempersiapkan si ibu melahirkan anak. Oleh karena itu, masalah-masalah
psikis harus diselesaikan terlebih dahulu agar si ibu dapat melahirkan dengan selamat
5
2 . Peralatan
a. Beras
b. Gula
c. Garam
d. Kelapa
e. Uang Rp. 1.200,- Semua ini adalah untuk si mulih sumpit kalimbubu.
3. Jalanya Upacara
Ayam sangkep diletakkan di atas pinggan pasu beralaskan uis arintenang dan Belo
cawir. Setelah ayam sangkep selesai ditata, di mana seluruh bagian dari daging ayam itu
harus lengkap dan sebutir telur ayam. Suami / istri yang dibesur-besuri lalu dia dudukan di
atas tikar ( Amak cur) yang sudah disediakan. Mereka berdua lalu makan dan ini diperhatikan
oleh orang tua yang mengetahui maknanya, setelah mereka makan, barulah sangkep nggeluh
yang hadir makan bersama-sama.
B. Pengangkat Anak
Anak sangat penting artinya bagi setiap individu masyarakat keharatan dan titik karena anak
merupakan penerus kehidupan di dunia ini. Disamping itu, anak juga berfungsi untuk
mempertahankan dan mempererat hubungan kekeluargaan dengan kalimbubu dan anak baru.
Anak laki-laki diharapkan akan meneruskan ikatan hubungan dengan kalimbubu, sementara
anak perempuan mengikuti kekeluargaan dengan anak. Oleh karena itulah, dalam kehidupan
sehari-hari, ada kalanya suami istri yang tidak mempunyai anak mengangkat anak orang lain
menjadi anaknya.
6
Jenis- jenis pengangkat Anak
Dalam masyarakat karo dikenal tiga macam atau bentuk pengangkatan anak, yaitu:
a. Anak angkat
Ya itu mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri melalui upacara adat Karo.
Pengangkatan ini menurut adat Karo di dapat dibagi dua, yaitu;
Bila belum ada anak kandung, maka upacara pengesahan yang dilakukan dengan perkahkah
bohan. Anak itu akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.
Andakalanya juga pengangkatan anak itu dilakukan, walaupun sudah ada anak kandung.
Misalnya, karena belum mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. Dalam keadaan
demikian pengangkatannya tidak dilakukan dengan perkahkah bohan. Anak itu hanya sebagai
ahli waris terbatas sepanjang harta gona gini kedua orang tua angkatnya.
Bentuk
Berdasarkan bentuk atap tanah, rumah adat Karo dapat dibagi dua bagian, yaitu
Sementara menurut Binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
7
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran
air pada suatu kampung.
Rumah adat biasanya dihuni oleh 4 atau 8 keluarga. Penempatan keluarga keluarga itu dalam
bagian rumah adat ( jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan elektron. Rumah adat Karo secara
garis besar dapat dibagi atas jabu jahe ( hilir) dan jabu julu ( hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu
Bena kayu dan jabu lepar benanan kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua , yaitu
jabu ujung kayu dan jabu Irumah Sendilar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut
dengan jabu adat . Rumah-rumah adat empat ruangan ini dahulunya terdapat di Kuta buluh ,
Buah raja, Limang, Perbesi, Pecren, Lingga dan lain lain.
Pada prinsipnya tanah menurut hukum adat Karo adalah milik Kuta ( desa) , yang
penguasanya di bawah kekuasaan penghulu ( si mantek Kuta ) . Oleh karena itu, hak
seseorang nginem ginemgem ( rakyat ) atas tanah hanyalah sekedar hak pihak . Untuk
pemakaiannya haruslah dengan seizin penglu, orang yang ingin memakai tanah itu ngumbung
( memberi tanda) di atas tanah tersebut sesuai dengan hukum adat Karo. Maksudnya
pertanda, sebagai pemberitahuan kepada penduduk kampung ( Kuta) tentang maksud untuk
mengusahakan lahan itu.
2. Peralatan
a. Belo Bujur
b. Kadeng Pola ( Pelepah enau)
c. Janur ( lambe)
d. Cangkul
B. Merdang
Merdang berarti menanam, umumnya untuk pertanian di Karo yang ditanam adalah
padi. Akan tetapi, akhir-akhir ini kebiasaan demikian menjadi kurang dengan semakin
bervariasinya tanaman palawija yang ditanam di atas lahan pertanian. Di beberapa tempat di
daerah karo, seperti kecamatan Kuta Buluh , Kecamatan Munte , Kecamatan Lau Baleng,
Kecamatan Mardingding musim menanam ini diawali dengan acara merdang merdem.
8
2. Peralatan
Untuk memulai menanam padi ini diperlukan peralatan- peralatan sebagai berikut:
a. Belo bujur
b. Benih
c. Besi-besi sangka sempilet ( simalun- malu)
d. Onggokan tanah
Erpangir berasal dari kata pangir, yang berarti langir. Oleh sebab itu erpangir, artinya adalah
berlangir . Pada tulisan ini penulis tidak membahas tentang pengertian berlangir dalam
keadaan biasa, misalnya: seperti menyamo rambut . Akan tetapi erpangir dalam arti upacara
religius menurut kepercayaan tradisional Karo. Jadi erpangir adalah suatu upacara religius
berdasarkan kepercayaan tradisional suku Karo ( Pemena) , di mana seseorang/sekeluarga
tertentu melakukan upacara belangir dengan/tanpa bantuan dari guru, dengan maksud
tertentu.
Pangir silamsan
a. Pangir silamsan ini adalah pangir yang paling kecil bobotnya , pangir ini biasanya
diadakan karena mendapat mimpi buruk, akan kadar keburukannya masih diragukan .
b. Pangir sintengah
c. Pangir simbelin
9
d. Mantra ( tabas)
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Pada buku ini yang berjudul Adat karo , Karya Darwin Prinsit S.H. dimana didalam
buku ini membahasa tentang Perkawinan pada masyarakat karo dimana didalam
perkawinan masyarakat karo hal yang harus dilakukan yaitu maba belo selambar,
nganting manuk dan lain sebagianya , dibuku ini juga membahas tentang adat untuk
anak-anak remaja dan orang tua yang didalamnya terdiri atas mesur-mesuri (7 bulanan),
Nengget , Lentarken , Pengangkat anak dan sebagianya. Dan juga di buku ini membahas
tentang Rumah adat karo , Adat Tanah dan Pertanian, dan Aneka kebudayaan Karo.
11
Kekurangan:
1. Harga buku yang lumayan mahal sehingga sulit untuk dimiliki oleh semua orang
khususnya kalangan ekonomi menengah ke bawah.
2. Menggunakan bahasa yang sangat ilmiah sehingga membuat saya sulit dalam
memahami hal hal yang ingin disampaikan oleh penulis buku.
3. Isi materi terlalu ringkas dan pembahasannya kurang luas, sehingga para
mahasiswa terpaksa harus mencari referensi lagi di buku lain.
4. Buku ini tidak memaparkan secara rinci bagaimana pengimplementasian dari isi
buku dalam kegiatan langsung di lembaga pendidikannya, namun hanya terpaku
pada materi saja.
5. Penulisan di buku ini tidak menarik, yang mana tulisan tulisan dalam buku
hanya menggunakan warna hitam, sehingga kurang dapat menarik minat
mahasiswa untuk membacanya.
12
BAB IV
PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Suku karo sebagaimana halnya dengan suku lainnya mempunyai tata cara perkawinan
yang khas. Namun, pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan perkenalan,
pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan ( Perkawinan) , dan Upacara Pensaklaran .
Perkawinan pada masyarakat karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni
seseorang harus kawin dengan orang dari luar merga-nya, dengan kekecualian pada marga
Peranginangin dan Sembiring. Syifa religius dari perkawinan pada masyarakat karo terlihat
dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin
saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah leluhur
mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya.Prof. Dr.
Hazairin, S.H. mengemukakan peristiwa perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan menjamin ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan
kesuburan (vruchtbaarheid). Upacara-upacara ini tadi oleh A. Van Gennep, seorang ahli
sosiologi Perancis dinamakan" rites de passage" atau upacara-upacara peralihan ( Surojo
Wignjodipuro, 1973:40).
4.2 Saran
Dengan adanya tugas ini diharapkan mahasiswa tentunya akan dapat menemui informasi
yang berguna bagi seorang calon guru dalam memahami kajian majemen pendidikan yang
nantinya akan berguna untuk bekal sebagai guru sekolah. Dalam penulisan makalah Critical
Book Report ini, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
senantiasa penyusunan nanti dalam upaya evaluasi.
13
DAFTAR PUSTAKA
14