Anda di halaman 1dari 15

CRITICAL BOOK RIVIEW

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

ADAT KARO (DARWIN PRINSIT, S.H.

DISUSUN OLEH:

NAMA MAHASISWA : JANTRI SYAH PUTRA SEMBIRING

NIM : 4212321002

DOSEN PENGAMPU : Drs. MUHAMAD ARIF, M.Pd

MATA KULIAH : ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

OKTOBER 2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR......................................................................................3
1.2 Tujuan CBR...................................................................................................................3
1.3 Manfaat CBR.................................................................................................................3
BAB II RINGKASAN ISI BUKU.....................................................................................4

2.1 Perkawinan Pada Masyarakat Karo...............................................................................4

2.2 Adat Untuk Anak-Anak dan Orang Tua........................................................................6

2.3 Rumah Adat Karo..........................................................................................................8

2.4 Adat Tanah dan Pertanian..............................................................................................9

2.5 Aneka Kebudayaan Karo...............................................................................................10

BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................11

3.1 Pembahasan...................................................................................................................11

3.2 Kelebihan dan Kekurangan...........................................................................................11

BAB IV PENUTUP............................................................................................................13

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................13

4.2 Saran..............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................14

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR


Keterampilan membuat CBR dapat menguji kemampuan dalam meringkas buku dan
menganalisis buku dan membandingkan yang dianalisis dengan buku yang lain, mengenal
dan memberi nilai serta mengkritik buku yang akan dianalisis.

Sering kali kita bingung memilih buku referensi yang akan kita baca dan pahami.
Biasasnya kita memilih satu buku, namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari segi
analisis bahasa dan pembahasan tentang kepemimpinan. Oleh karena itu penulis membuat
Critical Book Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi,
terkhusus pada pokok bahasan tentang ilmu sosial budaya dasar terlebih pada kebudayaan.

1.2 Tujuan Penulisan CBR


Tujuan CBR ini untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan isi dari kedua buku, menambah
wawasan baik bagi penulis maupun pembaca , menguji kualitas buku dengan
membandingkan hasil karya dari penulis dengan yang lainnya .

1.3 Manfaat CBR


Manfaat CBR yaitu meningkatkan kemampuan dalam menemukan inti dari buku yang akan
kita angkat , kemampuan membandingkan buku dengan buku lainnya dengan baik dan
memudahkan pembaca untuk memahami dan mengetahui isi buku dengan singkat.

1.4 Identitas Buku


1. Judul : Adat Karo

2. Edisi : Cetakan ke 3

3. Pengarang : Darwan Prinsit, S.H.

4. Penerbit : Bina Media Printis

5. Kota Terbit : Medan

6. Tahun terbit : 2012

7. ISBN : 979-3367-59-8

2
BAB II

RINGKASAN ISI BUKU

2.1 Perkawanan Pada Masyarakat Karo


A. Pengantar

1. Pengertian

Suku karo sebagaimana halnya dengan suku lainnya mempunyai tata cara perkawinan yang
khas. Namun, pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan perkenalan, pacaran,
pertunangan, meminang, pengesahan ( Perkawinan) , dan Upacara Pensaklaran . Perkawinan
pada masyarakat karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang
harus kawin dengan orang dari luar merga-nya, dengan kekecualian pada marga
Peranginangin dan Sembiring. Syifa religius dari perkawinan pada masyarakat karo terlihat
dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin
saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah leluhur
mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya.Prof. Dr.
Hazairin, S.H. mengemukakan peristiwa perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan menjamin ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan
kesuburan (vruchtbaarheid). Upacara-upacara ini tadi oleh A. Van Gennep, seorang ahli
sosiologi Perancis dinamakan" rites de passage" atau upacara-upacara peralihan ( Surojo
Wignjodipuro, 1973:40). Melambangkan peralihan status seseorang dalam hal ini kedua
mempelai. Setelah perkawinan ini kedua mempelai akan hidup bersama dalam satu rumah
tangga sendiri. Ketergantungan antara mereka menjadi sedemikian dekatnya sehingga seolah-
olah mereka adalah layaknya satu diri saja, Seperti tergambar dalam sebutan untuk istri pada
suku Jawa dengan "garwa" ( sigaraning nyawa) atau belahan jiwa.

2. Sistem perkawinan

Sistem perkawanan pada masyarakat karo terdiri dari :

A. Sistem perkawanan pada merga Ginting, Karo Karo dan Tarigan

Pada marga-marga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal
dari submarga Ginting, karo karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam marganya sendiri

3
tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luarnya. Misalnya antara Ginting karo
karo atau Tarigan dan lain-lainnya.

B. Sistem perkawinan pada marga Peranginangin dan Sembiring

Sistem perkawinan yang berlaku pada kedua marga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak
keterbatasannya adalah seseorang dari marga tertentu Peranginangin atau Sembiring
diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal submarganya(
lineagea) berbeda. Misalnya dalam olahraga Peranginangin, antara bangun dan Sebayang atau
antara Kuta buluh dan sebayang. Demikian juga dalam marga Sembiring, antara brahmana
dan Meliala, antara Pelawi dan Depari , dan sebagiannya.

3. Syarat - syarat perkawanian

Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan, maka para pihak harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu:

1. Tidak berasal dari satu marga, kecuali untuk marga Peranginangin dan Sembiring
2. Bukan mereka yang menurut adat dilarang untuk berkawin karena erturang( bersaudara) ,
sepemeren, erturang impal.
3. Sudah dewasa.

Dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti,
tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah
tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (metah mehuli). Sedangkan
untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, mengetahui adat (meteh tutur). Dan
sebagiannya.

4. Fungsi perkawinan

Perkawinan pada masyarakat karo berfungsi untuk:

a) Melanjutkan hubungan kekeluargaan.


b) Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan.
c) Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak-anak laki-laki dan perempuan.
d) Menjaga kemurnian suatu keturunan.
e) Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan dan menghindarkan
berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain.

4
5. Jenis - Jenis perkawanian

Berdasarkan status dari pihak yang perkawinan maka perkawinan pada masyarakat karena
dapat dibagi yaitu:

1. Gancih abu ( ganti tikar)


2. Lako man ( turun ranjang)
3. Piher Tendi/ Erbengkila

6. Proses Perkawinan

1. Erdemu bayu
2. Maba belo selambar
3. nganting manuk

2.2 Adat Untuk Anak-Anak , Remaja Dan Orang Tua


A. Mesur- mesuri

1. Pengertian

Mesur mesuri sering juga disebut maba manuk mbur , yaitu upacara 7 bulanan bagi seorang
perempuan yang sedang hamil. Untuk anak pertama, upacara ini bernama mesur-mesuri
sementara untuk anak kedua dan seterusnya disebut maba manuk mbur atau mecah-mecah
tinaruh.

Tujuan untuk mempersiapkan si ibu melahirkan anak. Oleh karena itu, masalah-masalah
psikis harus diselesaikan terlebih dahulu agar si ibu dapat melahirkan dengan selamat

Yang hadir pada acara ini adalah dari pihak perempuan:

 orang tua dari sembuyak


 kalimbubu singalo bere bere
 kalimbubu singalo perkempun
 kalimbubu sinngalo perbibun
 anak Beru

Dari pihak laki -laki adalah:

 orang tua/ sembuyak


 kalimbubu singalo ulu emas dan anak beru

5
2 . Peralatan

Untuk melaksanakan mesir-mesuri diperlukan alat-alat sebagai berikut:

a) Sebuah pinggan pasu tempa mukul.


b) Uis Teba / arintenang untuk lama pinggan pasu
c) Belo cawir, ditaruh di bawah pinggan
d) Amak cur, tempat duduk;
e) Ayam untuk Sungkep

Pihak laki-laki mempersiapkan bahan-bahan:

a. Beras
b. Gula
c. Garam
d. Kelapa
e. Uang Rp. 1.200,- Semua ini adalah untuk si mulih sumpit kalimbubu.

3. Jalanya Upacara

Ayam sangkep diletakkan di atas pinggan pasu beralaskan uis arintenang dan Belo
cawir. Setelah ayam sangkep selesai ditata, di mana seluruh bagian dari daging ayam itu
harus lengkap dan sebutir telur ayam. Suami / istri yang dibesur-besuri lalu dia dudukan di
atas tikar ( Amak cur) yang sudah disediakan. Mereka berdua lalu makan dan ini diperhatikan
oleh orang tua yang mengetahui maknanya, setelah mereka makan, barulah sangkep nggeluh
yang hadir makan bersama-sama.

B. Pengangkat Anak

Anak sangat penting artinya bagi setiap individu masyarakat keharatan dan titik karena anak
merupakan penerus kehidupan di dunia ini. Disamping itu, anak juga berfungsi untuk
mempertahankan dan mempererat hubungan kekeluargaan dengan kalimbubu dan anak baru.
Anak laki-laki diharapkan akan meneruskan ikatan hubungan dengan kalimbubu, sementara
anak perempuan mengikuti kekeluargaan dengan anak. Oleh karena itulah, dalam kehidupan
sehari-hari, ada kalanya suami istri yang tidak mempunyai anak mengangkat anak orang lain
menjadi anaknya.

6
 Jenis- jenis pengangkat Anak

Dalam masyarakat karo dikenal tiga macam atau bentuk pengangkatan anak, yaitu:

a. Anak angkat

Ya itu mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri melalui upacara adat Karo.
Pengangkatan ini menurut adat Karo di dapat dibagi dua, yaitu;

1) . Belum ada anak

Bila belum ada anak kandung, maka upacara pengesahan yang dilakukan dengan perkahkah
bohan. Anak itu akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

2). Sudah ada anak

Andakalanya juga pengangkatan anak itu dilakukan, walaupun sudah ada anak kandung.
Misalnya, karena belum mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. Dalam keadaan
demikian pengangkatannya tidak dilakukan dengan perkahkah bohan. Anak itu hanya sebagai
ahli waris terbatas sepanjang harta gona gini kedua orang tua angkatnya.

2.3 Rumah Adat Karo


Pada masyarakat karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang
penempatan jambunya di dalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan di dalam
rumah itupun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah
adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan
rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan
dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.

 Bentuk

Berdasarkan bentuk atap tanah, rumah adat Karo dapat dibagi dua bagian, yaitu

a. Rumah sianjung- anjung


b. Rumah mecu

Sementara menurut Binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

a. Rumah Sangka Manuk


b. Rumah Sendi
 Arah

7
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran
air pada suatu kampung.

 Jabu Dalam Rumah Adat Karo

Rumah adat biasanya dihuni oleh 4 atau 8 keluarga. Penempatan keluarga keluarga itu dalam
bagian rumah adat ( jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan elektron. Rumah adat Karo secara
garis besar dapat dibagi atas jabu jahe ( hilir) dan jabu julu ( hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu
Bena kayu dan jabu lepar benanan kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua , yaitu
jabu ujung kayu dan jabu Irumah Sendilar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut
dengan jabu adat . Rumah-rumah adat empat ruangan ini dahulunya terdapat di Kuta buluh ,
Buah raja, Limang, Perbesi, Pecren, Lingga dan lain lain.

2.4 Adat Tanah dan Pertanahan


A. Ngumbang Juma

Pada prinsipnya tanah menurut hukum adat Karo adalah milik Kuta ( desa) , yang
penguasanya di bawah kekuasaan penghulu ( si mantek Kuta ) . Oleh karena itu, hak
seseorang nginem ginemgem ( rakyat ) atas tanah hanyalah sekedar hak pihak . Untuk
pemakaiannya haruslah dengan seizin penglu, orang yang ingin memakai tanah itu ngumbung
( memberi tanda) di atas tanah tersebut sesuai dengan hukum adat Karo. Maksudnya
pertanda, sebagai pemberitahuan kepada penduduk kampung ( Kuta) tentang maksud untuk
mengusahakan lahan itu.

2. Peralatan

Adapun peralatan untuk ngumbung juma , adalah sebagai berikut:

a. Belo Bujur
b. Kadeng Pola ( Pelepah enau)
c. Janur ( lambe)
d. Cangkul

B. Merdang

Merdang berarti menanam, umumnya untuk pertanian di Karo yang ditanam adalah
padi. Akan tetapi, akhir-akhir ini kebiasaan demikian menjadi kurang dengan semakin
bervariasinya tanaman palawija yang ditanam di atas lahan pertanian. Di beberapa tempat di
daerah karo, seperti kecamatan Kuta Buluh , Kecamatan Munte , Kecamatan Lau Baleng,
Kecamatan Mardingding musim menanam ini diawali dengan acara merdang merdem.
8
2. Peralatan

Untuk memulai menanam padi ini diperlukan peralatan- peralatan sebagai berikut:

a. Belo bujur
b. Benih
c. Besi-besi sangka sempilet ( simalun- malu)
d. Onggokan tanah

2.5 Aneka Kebudayaan Karo


A. Erpangir Ku Lau

Erpangir berasal dari kata pangir, yang berarti langir. Oleh sebab itu erpangir, artinya adalah
berlangir . Pada tulisan ini penulis tidak membahas tentang pengertian berlangir dalam
keadaan biasa, misalnya: seperti menyamo rambut . Akan tetapi erpangir dalam arti upacara
religius menurut kepercayaan tradisional Karo. Jadi erpangir adalah suatu upacara religius
berdasarkan kepercayaan tradisional suku Karo ( Pemena) , di mana seseorang/sekeluarga
tertentu melakukan upacara belangir dengan/tanpa bantuan dari guru, dengan maksud
tertentu.

2. Alasan- Alasan erpangir

Ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan upacara erpangir.


Adapun alasan-alasan itu, adalah:

a. Upacara terimakasih kepada Dibata


b. Menghindari suatu malapetaka yang mungkin terjadi.
c. Menyembuhkan penyakit
d. Mencapai maksud tertentu dan lain sebagainya.

3 Jenis - jenis erpangir

Menurut bobotnya langit dibagi atas:

 Pangir silamsan
a. Pangir silamsan ini adalah pangir yang paling kecil bobotnya , pangir ini biasanya
diadakan karena mendapat mimpi buruk, akan kadar keburukannya masih diragukan .
b. Pangir sintengah
c. Pangir simbelin

9
d. Mantra ( tabas)

10
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Pada buku ini yang berjudul Adat karo , Karya Darwin Prinsit S.H. dimana didalam
buku ini membahasa tentang Perkawinan pada masyarakat karo dimana didalam
perkawinan masyarakat karo hal yang harus dilakukan yaitu maba belo selambar,
nganting manuk dan lain sebagianya , dibuku ini juga membahas tentang adat untuk
anak-anak remaja dan orang tua yang didalamnya terdiri atas mesur-mesuri (7 bulanan),
Nengget , Lentarken , Pengangkat anak dan sebagianya. Dan juga di buku ini membahas
tentang Rumah adat karo , Adat Tanah dan Pertanian, dan Aneka kebudayaan Karo.

3.2 Kelebihan Dan Kekurangan


 Kelebihan:
1. Bahasa yang digunakan sangatlah ilmiah, ini bagus untuk mahasiswa untuk
menambah wawasan dalam penggunaan bahasa keilmiahan.
2. Pada buku ini banyak hal yang pernah saya alami ketika menjadi siswa, dimana
menjelaskan bagaimana guru seharusnya dan bagaimana siswa seharusnya dalam
memajemen pembelajaran. Buku ini baik bagi saya karena saya adalah calon
pendidik anak bangsa.
3. Dalam buku ini dijabarkan dan membahas prinsip–prinsip pembelajaran. Sehingga
pembaca mengetahui prinsip apa saja yang termasuk dalam pembelajaran.
4. Berisikan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
5. Buku ini memiliki alur yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga tidak
membuat saya bingung dalam memahami hal hal yang disampaikan dari buku ini,
buku ini menjelaskan dengan detail. Apa yang disampaikan pun seimbang.
6. Beberapa pada bagian bab terdapat rangkuman yang berisiskan ringkasan materi
dari bab tersebut. Sehingga dapat memudahkan untuk mencari penjelasan yang
singkat dan mudah dimengerti.
7. Desain buku sangat menarik.
8. Keunggulan buku ini adalah mampu mengetahui tentang hal-hal mendasar yang
termasuk didalam sebuah manjemen pendidikan. Dimulai dari konsep, hingga ke
implementasiannya.

11
 Kekurangan:
1. Harga buku yang lumayan mahal sehingga sulit untuk dimiliki oleh semua orang
khususnya kalangan ekonomi menengah ke bawah.
2. Menggunakan bahasa yang sangat ilmiah sehingga membuat saya sulit dalam
memahami hal hal yang ingin disampaikan oleh penulis buku.
3. Isi materi terlalu ringkas dan pembahasannya kurang luas, sehingga para
mahasiswa terpaksa harus mencari referensi lagi di buku lain.
4. Buku ini tidak memaparkan secara rinci bagaimana pengimplementasian dari isi
buku dalam kegiatan langsung di lembaga pendidikannya, namun hanya terpaku
pada materi saja.
5. Penulisan di buku ini tidak menarik, yang mana tulisan tulisan dalam buku
hanya menggunakan warna hitam, sehingga kurang dapat menarik minat
mahasiswa untuk membacanya.

12
BAB IV

PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Suku karo sebagaimana halnya dengan suku lainnya mempunyai tata cara perkawinan
yang khas. Namun, pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan perkenalan,
pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan ( Perkawinan) , dan Upacara Pensaklaran .
Perkawinan pada masyarakat karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni
seseorang harus kawin dengan orang dari luar merga-nya, dengan kekecualian pada marga
Peranginangin dan Sembiring. Syifa religius dari perkawinan pada masyarakat karo terlihat
dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin
saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah leluhur
mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya.Prof. Dr.
Hazairin, S.H. mengemukakan peristiwa perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan menjamin ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan
kesuburan (vruchtbaarheid). Upacara-upacara ini tadi oleh A. Van Gennep, seorang ahli
sosiologi Perancis dinamakan" rites de passage" atau upacara-upacara peralihan ( Surojo
Wignjodipuro, 1973:40).

4.2 Saran
Dengan adanya tugas ini diharapkan mahasiswa tentunya akan dapat menemui informasi
yang berguna bagi seorang calon guru dalam memahami kajian majemen pendidikan yang
nantinya akan berguna untuk bekal sebagai guru sekolah. Dalam penulisan makalah Critical
Book Report ini, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
senantiasa penyusunan nanti dalam upaya evaluasi.

Penulis berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaannya penulisan dalam penyusunan


makalah ini mudah-mudahan ada ditemukan sesuatu yang bermanfaat atau bahkan hikmah
dari penulis dan pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prinst, Darwan. (2012). Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.

14

Anda mungkin juga menyukai