Anda di halaman 1dari 12

CRITICAL BOOK REVIEW

CRITICAL BOOK REVIEW

MK. ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PRODI S1 PENDIDIKAN FISIKA

SKOR/NILAI :

Disusun Oleh :

Nama : Loriana R. Nababan

NIM : 4212421017

Prodi : Pendidikan Fisika

` Dosen Pengampu : Drs. M. ARIF, M.Pd

Mata Kuliah : Ilmu Sosial Budaya Dasar

JURUSAN FISIKA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................................................ii


BAB I ......................................................................................................................................................................... 1
PENDAHULAN ......................................................................................................................................................... 1
1.1 Rasionalisasi Pembentukan CBR ..................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan CBR ..................................................................................................................................... 1
1.3 Manfaat CBR .................................................................................................................................................... 1
1.4 Identitas Buku ................................................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................................................ 3
RINGKASAN ISI BUKU .......................................................................................................................................... 3
A. BAB I (Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra) ..................................................................................... 3
B. BAB II ( Kebudayaan Penduduk Pantai Utara Irian Jaya) ................................................................................. 3
C. BAB III (Kebudayaan Batak) ............................................................................................................................ 3
D. BAB IV (Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah) ..................................................................................... 4
E. BAB V (Kebudayaan Minahasa)........................................................................................................................ 4
F. BAB VI (Kebudayaan Flores) ............................................................................................................................ 5
G. BAB VII (Kebudayaan Aceh)............................................................................................................................ 5
H. BAB VIII (Kebudayaan Minangkabau) ............................................................................................................. 5
I. BAB IX ( Kebudayaan Bugis Makassar) ............................................................................................................ 6
BAB III ....................................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................................ 7
3.1 Pembahasan Isi Buku ........................................................................................................................................ 7
3.2 Kelebihan dan Kelemahan Buku ...................................................................................................................... 8
BAB IV....................................................................................................................................................................... 9
PENUTUP .................................................................................................................................................................. 9
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................................... 9
4.2 Saran ................................................................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................... 10

ii
BAB I

PENDAHULAN
1.1 Rasionalisasi Pembentukan CBR
Melakukan Critical Book Review pada suatu buku dengan membandingkannya dengan buku lain sangat
penting untuk dilakukan, dari kegiatan inilah kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan suatu buku. Dari
mengkritik inilah kita jadi mendapatkan informasi yang kompeten dengan cara menggabungkan informasi dari
satu buku dengan buku yang lain. Seringkali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan pahami,
terkadang kita hanya memilih satu buku untuk dibaca tetapi hasilnya masih belum memuaskan misalnya dari segi
analisis bahasa dan pembahasan, oleh karena itu penulis membuat CBR ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR ini
untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi terkhusus pada pokok bahasan tentang Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia.

1.2 Tujuan Penulisan CBR


Adapun tujuan penulisan Critical Book Review ini untuk mahasiswa agar mahasiswa dapat mengkritis sebuah
buku dan meringkas menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga dapat dipahami oleh setiap mahasiswa dan untuk
menguatkan daya pikir dalam pemberian penjelasan atas pemaparan akan materi sekaligus untuk menyelesaikan
kewajiban tugas pada mata kuliah ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR di Universitas Negeri Medan.

1.3 Manfaat CBR


Manfaat yang dapat diperoleh dari dalam penyusunan CBR yaitu :

 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang bahan pelajaran mata kuliah Rangkaian Listrik.
 Pembaca dapat mengetahui segala materi yang tergantung dalam buku karena telah lengkapi dengan
kelebihan dan kelemahan buku.
 Melatih mahasiswa berfikir kritis dalam membuat kesimpulan terhadap buku yang dikritisi.

1.4 Identitas Buku


1. Judul Buku : MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA

2. Edisi : Dua Puluh Dua

3. Pengarang : Koentjoroningrat

4. Penerbit : DJAMBATAN

5. Kota dan Tahun Terbit : Jakarta / 2007

6. ISBN : 978-979-428-510-7

1
Cover Buku

2
BAB II

RINGKASAN ISI BUKU


A. BAB I (Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra)
 Kebudayaan Nias
Penduduk dari Pulau Nias telah suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan Megalithikyang
berdasarkan adat pengurbanan babi. Asal dari orang Nias atau Ono Niha secara lahiriah mempunyai
warna kulit lebih kuning dari orang Indonesia lainnya belum kita ketahui. Bahasa Nias juga termasuk
rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Orang Nias mendiami kabupaten Nias yang terdiri dari satu pulau
besar utama dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya. Bentuk rumah (omo) di Nias ada dua
macam, yaitu rumah adat (omo hada) dan rumah biasa (omo pasisir). Syarat nikah di Nias adalah
dengan emas kawin ( ̈ ̈ ).
 Kebudayaan Mentawai
Fungsi dari uma seperti masih tampak di berbagai desa di Seberut, adalah terutama sebagai balai
pertemuan umum untuk upacara-upacara bersama dan pesta-pesta suci bagi anggauta-anggautanya
yang semuanya masih terikat oleh suatu hubungan kekerabatan menurut adat.

B. BAB II ( Kebudayaan Penduduk Pantai Utara Irian Jaya)


Penempatan rumah baru menurut adat istiadat orang desa pantai utara pada umumnya membutuhkan suatu
pesta yang agak besar, bernama nuanyadedka. Mata pencaharian hidup yang terpenting dari orang Bgu
adalah meramu sagu (pom). Berburu adalah juga suatu mata pencaharian yang penting yang exklusif
dilakukan oleh laki-laki. Untuk perkawinan ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu mengumpulkan mas
kawin atau krae. Suatu krae terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang besar bundar, yang disebut
sebkos (bulan) dari rangkaian gigi anjing yang disebut kdraf , ikat pinggang dari manik (bitem), tali kulit
kayu yang disebut weimoki. Desa di daerah Pantai Utara dengan beberapa terkecualian umumnya
menunjukkan suatu kehidupan berkomuniti yang penuh kelesuan dan sifat apatis yang amat menyedihkan.

C. BAB III (Kebudayaan Batak)


Orang Batak mendiami Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi,
Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

 Karo, mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebgaian
dari dairi.
 Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun.
 Pakpak, mendiami daerah induk dairi.
 Toba, mendiami daerah induk tepi danau toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, daerah Asahan,
Silindung, daerah barus dan Sibolga, daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran.
 Angkola, mendimi daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari sibolga dan batang toru, bagian
utara padang lawas, Mandailing, Ulu,Pakatan, dan bagian selatan dari Padang Lawas.

Menurut cerita-cerita Suci (tarombo) orang Batak Toba, semua sub-suku-suku-bangsa Batak itu
mempunyai nenek moyang yang satu, yaitu Si Raja Batak. Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari,
3
orang batak mempergunakan beberapa logat, ialah (a) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo, (b) Logat
Pakpak yang dipakai oleh orang Pakpak, (c) Logat Simalungun yang dipakai oleh orang Simalungun, (d)
Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola, dan Mandailing.

Upacara mendirikan Huta. Suatu huta yang baru, hanya bisa diresmikan kalau sudah ada izin dari huta
yang lama (huta induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang
kepada huta induk. Dan untuk mendirikan sebuah huta tersebut membutuhkan ijin dari bius. Perkawinan.
Perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat Batak adalah perkawinan antara orang-orang rimpal
(marpariban dalam bahasa Toba). Stratifikasi Sosial. Statifikasi sosial orang Batak yang didalam
kehidupan sehari-hari mungkin tidak amat jelas terlihatnya, berdasarkan tiga prinsip ialah (a) perbedaan
tingkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.

D. BAB IV (Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah)


Provinsi Tengah terdiri dari lima kabupaten, yaitu : Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Kapuas,
Barito Utara dan Barito Selatan. Sebagian besar penduduknya terdiri dari orang Dayak, yang terbagi atas
beberapa suku-bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan dan
sebagainya. Rumah penduduk pada umumnya dibuat dari sirap (lempengan kayu) atau kulit kayu. Mata
pencaharian hidup adalah berladang, berburu, mencari hasil hutan, dan mencari Ikan. Adat melamar
terdapat pada suku-bangsa Dayak Ma’anyan yang menurut Hudson yang disebut pipakatan, yaitu
perkawinan yang diurus oleh orang tua, karena di-mapakat-i (dimufakati) oleh orang tuanya, dan dewasa
ini ada juga ijari atau kawin lari. Hukum adat Kalimantan menurut Hudson adalah hukum setempat yang
tidak tertulis. Sanksi dari hukum adat kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian (Ma’anyan danda).

E. BAB V (Kebudayaan Minahasa)


Orang Minahasa adalah suatu suku-bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur-laut jazirah
Sulawesi Utara. Dalam ucapan umum orang Manahasa menyebut diri mereka orang Manado atau
Touwenang (orang wenang), orang Minahasa, atau pula Kawanua. Malayu Manado adalah bahasa umum
yang dipergunakan dalam komunikasi antara orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun antara
mereka dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya, baik dalam lingkungan pergaulan desa.

Pada umumnya orang Minahasa membenarkan kebebsasan orang untuk menentukan jodohnya sendiri,
walaupun dulu katanya dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang tua sekalipun yang
bersangkutan belum saling kenal mengenal (Mandagi 1915). Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru
tinggal menurut aturan neolokal (tumampas) pada tempat kediaman yang baru dan tidak mengelompok
sekitar tempat kediaman kerabat suami maupun kerabat si Istri. Dan sekarang ini, neolokal tidak
diharuskan lagi.

Mapalus. Dalam menghadapi hal-hal yang penting seperti kematian dengan serangkaian upacara
perkabungan dan penghiburan, perkawinan, dan perayaan-perayaan lainnya, serta dalam mengerjakan
berbagai pekerjaan pertanian dan kepentingan rumah tangga maupun komunitas, tampak adanya gejala
solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama, terutama didasarkan pada prinsip resiprositas.
Kegiatan-kegiatan bantu-membantu dan kerjasama seperti ini disebut mapalus.

4
F. BAB VI (Kebudayaan Flores)
Penduduk Flores sebenarnya tidak merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang seluruhnya
seragam. Ada paling sedikit delapan sub-suku-bangsa di anatara mereka yang mempunyai logat-logat
bahasa yang berbeda-beda. 1. Orang Mangarai, 2. Orang Riung, 3. Orang Ngada, 4. Orang Nage-Keo, 5.
Orang Ende, 6. Orang Lio, 7. Orang Sikka, 8. Orang Larantuka. Di Manggarai misalnya masih ada sebutan
khusus untuk bagian depan dari desa ialah pa’ang, bagian tengah ialah beo (dalam arti khusus) dan bagian
belakang ialah ngaung.

Perkawinan. Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar dari warga masyarakat
pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda dan pemudi. Adat menetap
sesudah nikah di Mangarai pada khususnya dan di Flores pada umumnya adalah virilokal. Stratifikasi
Sosial. Dalam masyarakat sub-sub-suku-bangsa di Flores yang kuno ada suatu sistem stratifikasi sosial
kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Pada orang Mangarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang
ata lehe dan lapisan orang budak.

G. BAB VII (Kebudayaan Aceh)


Bahasa-bahasa Aceh seperti bahasa-bahasa lain di Indonesia termasuk rumpunan bahasa Austronesia. Ada
4 bahasa yang digunakan di aceh, yaitu : (a) Bahasa Gayo-Alas, (b) Bahasa Aneuk Jamee, (c) Bahasa
Tamiang (d) Bahasa Aceh. Sistem huruf yang khas kepunyaan orang-orang Aceh asli zaman dahulu tidak
ada. Tulisan-tulisan Aceh menggunakan huruf Arab Melayu. Orang Aceh menyebut huruf Arab-Melayu
itu huruf Jawoe. Pola perkampungan desa, desa bagi orang Aeh disebut gampong. Setiap gampong terdiri
atas kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain dan setiap desa mempunyai 50-100 buah
rumah.

Mata pencaharian hidup di Aceh yaitu, bercocok tanam di sawah, bercocok tanam di lading, petenakan
sapid dan kerbau serta berdagang. Menurut kepercayaan orang-orang Aceh, maka perkawinan itu
merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh Agama. Sistem perkawinan berbentuk matriolokal
(suami tinggal di rumah isteri). Mereka tinggal bersama-sama dengan orang tua isteri sampai mereka
diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak memiliki
tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah wanita).

Kedudukan wanita dalam keluarga dapat dikatakan tinggi. Mereka bekerja di sawah secara aktif dan tidak
lekas tunduk kepada kehendak suami. Mereka tampaknya cukup berkuasa dalam dalam rumah dan
kadang-kadang ibu lebih ditakuti daripada ayah. Mukim adalah gabungan dari gampong-gampong dan
merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama. Kepala mukim disebut imum. Ia mempunyai kekuasaan
duniawiah dalam pemerintahan karena diangkat oleh Ulee Balang.

H. BAB VIII (Kebudayaan Minangkabau)


Minangkabau, kecuali sebgai suatu daerah administratif dibawah pemerintahan modern, tidak dapat
dianggap sebagai suatu kesatuan yang benar-benar. Masing-masing orang Minangkabau dahulu, hanya
mempunyai kesetiaan pada nagari mereka sendiri dan tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang
Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama, yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah
bahasa yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu.

5
Desa yang disebut nagari dalam bahasa Minangkabau kadang-kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu
daerah nagari dan daerah taratak. Rumah adat Minangkabau adalah rumah-rumah panggung, karena
lantainya terletak jauh diatas tanah. Mata pencaharian hidup Minangkabau adalah bertani, penduduk yang
diam dipinggir laut atau dipinggir danau-danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan, ada juga
yang hidup dari kerajinan tangan.

Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis Matrilineal. Seorang
termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Dalam sebagian masyarakat Minangkabau, ada
kesatuan kampueng yang memisahkan parauik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari ketiga
macam kesatuan kekerabatan ini paruik yang betul-betul dapat dikatakan sebagai kesatuan yang benar-
benar bersifat genealogis. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan
jodoh harus dipilih diluar suku. Perkawinan dengan anak mamak dapat diperkirakan sebagai pola yang
lebih asli karena kesamaan istilah yang digunakan untuk memanggil dan menyebut istri mamak dan ibu
isteri. Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau sebenarnya tidak mengenal mas kawin. Dalam
masyarakat Minangkabau tidak ada larangan seseorang untuk mempunyai lebih dari satu orang isteri.

I. BAB IX ( Kebudayaan Bugis Makassar)


Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku-bangsa Bugis-Makassar yang mendiami bagian
terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat
suku bangsa ialah : Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Orang bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang
Makassar bahasa Mangasara. Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah
aksara lontara sebuah sistem huruf yang asal dari huruf Sansekerta. Adapun naskah-naskah kuno yang
ditulis di daun lontar sekarang sudah sukar untuk didapat. Sekarang naskah-naskah kuno dari orang-orang
Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang ditulis diatas kertas dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam
aksara lontara atau dalam aksara serang.

Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan satu kesatuan administratif, gabungan-gabungan


sejumlah kampong-kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampong lama dipimpin
oleh seorang matowa ( atau jannang, lompo, toddo) dengan kedua pembantunya yang disebut sariang atau
parennung. Suatu gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis dan
pa’rasangan atau bori dalam bahasa makkasar. Pada masa sekarang dalam struktur tata pemerintahan
negara Republik Indonesia, wanua menjadi kecamatan.

Perkawinan dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat Bugis-Makassar
menetapkan sebagai perkawinan yang ideal ;

(a) perkawinan yang disebut assialang marola ialah antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak
ayah maupun pihak ibu. (b) perkawinan yang disebut assialanna memang ialah perkawinan antara saudara
sepupu serajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu. (c) perkawinan antara ripaddeppe mabelae ialah
perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga dari kedua belah pihak.

6
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan Isi Buku
Penduduk kepulauan sebelah barat terdiri dari dua kebudayaan yaitu, kebudayaan Nias dan Kebudayaan
Mentawai. Kedua kebudayaan tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing persebaran kebudayaannya
berada ditempat yang berbeda. Kebudayaan Nias Penduduk dari Pulau Nias telah suatu kebudayaan sendiri,
ialah kebudayaan Megalithikyang berdasarkan adat pengurbanan babi. Asal dari orang Nias atau Ono Niha
secara lahiriah mempunyai warna kulit lebih kuning dari orang Indonesia lainnya belum kita ketahui. Bahasa
Nias juga termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Dan Kebudayaan Mentawai, Fungsi dari uma seperti
masih tampak di berbagai desa di Seberut, adalah terutama sebagai balai pertemuan umum untuk upacara-
upacara bersama dan pesta-pesta suci bagi anggauta-anggautanya yang semuanya masih terikat oleh suatu
hubungan kekerabatan menurut adat.

Selanjutnya adalah kebudayaan penduduk Pantai Utara Irian Jaya, Penempatan rumah baru menurut adat
istiadat orang desa pantai utara pada umumnya membutuhkan suatu pesta yang agak besar, bernama
nuanyadedka. Mata pencaharian hidup yang terpenting dari orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Berburu
adalah juga suatu mata pencaharian yang penting yang exklusif dilakukan oleh laki-laki.

Pada kebudayaan Batak, menurut cerita-cerita Suci (tarombo) orang Batak Toba, semua sub-suku-suku-
bangsa Batak itu mempunyai nenek moyang yang satu, yaitu Si Raja Batak. Dalam kehidupan dan pergaulan
sehari-hari, orang batak mempergunakan beberapa logat, ialah (a) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo,
(b) Logat Pakpak yang dipakai oleh orang Pakpak, (c) Logat Simalungun yang dipakai oleh orang
Simalungun, (d) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola, dan Mandailing.

Untuk menjelaskan aneka warna masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, dapat di kontruksikan paling
sedikit enam, tipe-tipe sosial budaya, yaitu :

1. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar
sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu.
2. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam diladang atau disawah dengan padi sebagai
tanaman pokok, sistem dasar kemasyarakatan berupa komuniti petani dengan diferensiasi dan
stratifikasi sosial yang sedang dan merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih
besar.
3. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebgai
tanaman pokoknya; sistem dasar kemasyaraktan berupa desa komunity petani dengan diferensiasi dan
stratifikasi sosial yang sedang dan masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya.
4. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam disawah dengan padi sebagai tanamam
pokoknya; sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunity petani dengan differensiasi dan
sratifikasi sosial yang agak kompleks, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami.
5. Tipe masyarakat kekotaan yang mempunyai cirri-ciri pusat pemerintahan dengan sector perdagangan
dan industry yang lemah.

7
6. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sector perdangan dan industry yang
agak berarti, tetapi yang toh masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu
sector kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik ditingkat daerah maupun nasional.

3.2 Kelebihan dan Kelemahan Buku

1. Dilihat dari aspek tampilan buku

Pada buku yang saya review dari aspek tampilan buku yang saya review, cover yang digunakan memang
bagus namun terlalu polos tidak ada gambar yang menunjukkan isi buku tersebut. Sehingga dari cover
buku saja dapat membuat kurang tertariknya pembaca untuk membaca buku.

2. Dari aspek layout dan tata letak, serta tata tulis, termasuk penggunaan font

Pada buku yang saya review layout dan tata letaknya cukup baik, pada tata tulisnya juga sudah baik,
beserta font yang digunakan sangat rapi tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil.

3. Dari aspek isi buku

Pada buku yang saya riview pembahasan setiap materi sudah lengkap, dan cakupan isi buku cukup luas
sehingga memudahkan pembaca dapat memahami isi buku. Penjelasan kebudayaan-kebudayaan setiap
daerah di Indonesia di muat juga gambar provinsi, data-data masyarakat yang akurat karena berdsarkan
riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya. Penyusunan isi buku, dijelaskan oleh tokoh-tokoh atau
penulis dari berbagai kampus di Indonesia. Dan referensi yang digunakan pada setiap bab yang dibahas
cukup banyak yang menambah keakuratan isi buku. Kelemahan dari buku yang saya review ini tidak
terdapat kesimpulan di setiap akhir bab, sehingga pembaca harus menarik kesimpulannya sendiri.

4. Dari aspek tata bahasa

Pada buku yang direview tata bahasa yang digunakan mudah dimengerti, karena bahasa yang digunakan
merupakan bahasa baku dan memenuhi EYD.

8
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kebudayaan merupakan bagian dari manusia karena budayalah yang membimbing nilai-nilai, keyakinan
perilaku, dan interaksi manusia dengan manusia lain. Istilah kebudayaan dapat digunakan untuk menjelaskan cara
hidup suatu masyarakat kolektif atau menjelaskan kebudayaan manusia secara keseluruhan. Inti kebudayaan
adalah kepemilikan tradisional yang bersumber dari historis. Kebudayaan merupakan suatu yang menembus dan
mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan bersifat dinamis. Kebudayaan itu berproses dan terus-menerus
berubah dan beradaptasi dengan konteks baru, tuntutan dan kebutuhan baru.

Jadi setelah melakukan review pada buku yang berjudul MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA
ini dapat di tarik kesimpulan bahwa kebudayaan-kebudayaan setiap daerah atau suku itu berbeda-beda dan
memiliki ciri khasnya masing-masing. Budaya-budaya yang lahir pada setiap suku di Indonesia dimulai dari
aturan-aturan atau norma-norma yang lahir dari nenek moyang terdahulu dan masih digunakan secara turun-
temurun sampai sekarang. Namun kebudayaan itu sebagian hadir karena adanya budaya-budaya yang dibawa oleh
bangsa penjajah ke tanah Indonesia dan menjadi tertanam di suku Indonesia. Setelah adanya agama-agama di
Indonesia yang dibawa oleh bangsa penjajah ke tanah Indonesia memberikan gambaran baru bagi budaya
tradisional di suku-suku yang ada di Indonesia. Ada adat-adat tradisional yang jika dipandang sangat bertolak
belakang dengan agama dan sosial manusia oleh karena itu Kebudayaan setiap daerah mulai dari Kebudayaan
Sabang sampai Merauke mulai melakukan perubahan atau penghapusan budaya yang kurang baik menjadi kearah
yang lebih baik.

4.2 Saran
Buku yang berjudul MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA oleh Koentjoroningrat, buku ini
cocok digunakan sebagai referensi dari mahasiswa di perkuliahan, karena buku ini memiliki identitas yang
lengkap, pembahasan dari setiap bab sangat jelas, luas dan lengkap, referensi yang digunakan sangat banyak
sehingga menambah keakuratan isi buku. Buku ini baik digunakan sebagai buku pegangan dan pembelajaran
khususnya untuk matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.

9
DAFTAR PUSTAKA

Koentjoroningrat. (2007). MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA. Jakarta: DJAMBATAN.

10

Anda mungkin juga menyukai