Anda di halaman 1dari 5

Psikologi Kognitif : Rekognisi Pola

Kelas : 3PA01

Kelompok 2 :

Adlyn Priscila (10517194)

Hanny Safwita H. (12517665)

Nuurbaity Y.A (14517634)

Shofa Sofwatun N. (15517672)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA

DEPOK
REKOGNISI POLA

Pencocokan Template
Sebuah teori mula-mula tentang cara otak mengenali pola dan objek
disebut teori pencocokan template. Sebuah template, dalam konteks pengenalan
pola pada mausia merujuk pada suatu konstruk internal yang ketika dicocokkan
dengan stimuli sensorik, menyebabkan terjadinya pengenalan terhadap objek.
Teori ini dapat kita analogikan dengan lubang kunci yang dimasuki kunci yang
tepat. Dengan demikian, prosesnya terjadi seperti ini : energi cahaya yang
dipantulkan oleh bentuk tersebut diterima retina dan ditransduksi ke energi neural
yang dikirim ke otak. Otak melakukan pencarian dalam arsip template untuk
mencari template yang cocok dengan pola neural yang diterima. Jika template itu
cocok dengan pola neural, orang akan mengenali pola atau objek tersebut (Solso,
Maclin, & Maclin, 2007).
Teori pencocokan template, memiliki kekuatan dan kelemahan.
Kekuatannya, jelaslah bahwa agar kita mampu mengenali suatu bentuk atau pola,
kita terlebih dahulu perlu melakukan pembandingan stimuli visual tersebut
dengan suatu bentuk internal yang tersimpan dalam memori. Kelemahannya
adalah suatu interpretasi harfiah dari teori pencocokan template akan menghadapi
suatu kesulitan. Andaikata pengenalan terhadap objek hanya terjadi ketika objek
eksternal diidentifikasikan 1:1 persis sama dengan representasi internal, maka jika
ada sedikit saja perbedaan, objek tersebut tidak akan dikenali. Jika demikian, otak
harus menyimpan jutaan template agar kita dapat mengenali objek-objek yang
beranekaragam di dunia ini (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah alternatif untuk mengatasi kekakuan teori pencocokan template
adalah sebuah teori yang mempostulatkan bahwa sistem pemrosesan informasi
manusia memiliki sejumlah bentuk geometric sederhana yang terbatas, yang dapat
diaplikasikan pada bentuk-bentuk yang rumit. Teori ini disebut dengan teori
Geon, yang merupakan kependekan dari geometrical ions. Teori tersebut
mengajukan gagasan bahwa seluruh bentuk-bentuk yang kompleks tersusun dari
geon-geon.
Pemahaman mengenai pengenalan objek diupayakan melalui dua
pendekatan. Sebuah pendekatan berfokus pada penjelasan domain-general, yakni
penjelasan yang menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki proses-
proses umum untuk mengenal sejumlah besar kategori objek. Pendekatan lain
berfokus pada penjelasan domain-spesific, yakni penjelasan yang menyatakan
bahwa otak dan sistem kognitif memiliki sistem-sistem fungsional yang berperan
dalam pengenalan kategori objek yang spesifik dan khusus (Solso, Maclin, &
Maclin, 2007).

Analisis Fitur
Sebuah pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring informasi
dari stimuli rumit disebut pendekatan analisis fitur. Teori ini menyatakan bahwa
pengenalan objek merupakan pemrosesan informasi tingkat tinggi yang didahului
oleh pengidentifikasian stimuli kompleks yang masuk ke retina sesuai dengan
fitur-fitur yang lebih sederhana. Menurut pendekatan ini, sebelum kita memahami
keseluruhan pola informasi visual, kita mereduksi dan menganalisis komponen-
komponen informasi visual. Sebuah kata PANAH tidak serta-merta diubah
menjadi representasi atau visual dalam memori kita, misalnya sebuah batang yang
berujung tajam yang ditembakkan dari sebuah busur, tidak pula kata tersebut kit
abaca “panah”, atau kita persepsikan huruf per huruf (P-A-N-A-H). Akan tetapi,
kita mendeteksi dan menganalisis fitur-fitur atau komponen-komponen dari
masing-masing huruf. Huruf A bisa kita pecah menjadi dua garis diagonal (/ \),
sebuah garis horizontal (-), sebuah ujung bersudut (^), dan seterusnya. Jika proses
pengenalan terjadi berdasarkan analisis fitur, maka tahap-tahap paling awal dalam
pemrosesan informasi sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada yang
sebelumnya kita perkirakan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah pendekatan langsung dalam analisis fitur adalah pengamatan
terhadap pergerakan dan fiksasi mata. Jenis penelitian ini mengasumsikan bahwa
mata membuat gerakan sakadik (gerakan mata yang meloncat dari satu titik
fiksasi/tatapan ke titik fiksasi lainnya) yang berhubungan dengan informasi visual
yang diindera. Diasumsikan bahwa ketika kita memandang suatu fitur dalam pola
tertentu dalam jangka waktu relatif lama, kita akan memperoleh semakin banyak
informasi dibandingkan apabila kita hanya mengamati fitur itu sekilas. Persepsi
terhadap fitur dalam pola-pola yang kompleks tampaknya tidak hanya bergantung
pada hakikat stimuli fisik, namun juga melibatkan proses-proses kognitif tingkat
tinggi, seperti atensi dan sasaran (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

Pencocokan Prototipe
Teori lain yang turut menjelaskan pengenalan objek adalah teori
pencocokan prototipe. Diasumsikan bahwa, alih-alih membentuk template yang
spesifik atau bahkan membentuk fitur-fitur berbagai ragam pola yang harus kita
identifikasikan, kita menyimpan sejumlah jenis pola-pola abstraksi dalam memori,
dan jika terdapat kesamaan antara keduanya, pola tersebut akan dikenali.
Pencocokan prototipe memungkinkan pengenalan pola-pola yang tidak lazim
namun tetap memiliki hubungan dengan prototipe. Terdapat banyak bukti di
sekeliling kita yang mendukung konsep pencocokan prototipe. Kita mengenali
sebuah mobil Volkswagen, meskipun mobil bermerek sama memiliki warna atau
pernak-pernik yang berbeda-beda (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Pencocokan template dapat terjadi pada suatu tahap
pengenalan/identifikasi visual, namun pada tahap yang lain, kita mungkin
menggunakan pencocokan prototipe. Gagasan ini menyatakan bahwa suatu
prototipe adalah sebuah abstraksi dari suatu rangkaian stimuli yang mencakup
sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang sama. Sebuah prototipe
memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola tersebut tidak identik
dengan prototipe yang bersangkutan. Sebagai contoh, kita mengenali berbagai
ragam huruf S, bukan hanya karena berbagai variasi huruf S tersebut cocok
dengan lubang kunci (template/prototipe) dalam memori kita, namun juga karena
beragam jenis huruf S tersebut memiliki karakteristik-karakteristik yang sama
(Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Solso dan McCarthy dalam sebuah eksperimen menemukan bahwa para
partisipan kerap kali melakukan suatu kekeliruan, yakni mengenali prototipe
sebagai suatu bentuk stimulus yang pernah ditampilkan sebelumnya (padahal
prototipe belum pernah ditampilkan sebelumnya). Bahkan para partisipan merasa
lebih yakin dibandingkan saat mereka mengidentifikasi bentuk-bentuk yang
memang sudah pernah mereka lihat sebelumnya. Fenomena ini disebut
pseudomemori atau memori semu. Solso dan McCarthy mengajukan hipotesis
bahwa sebuah prototipe dibentuk berdasarkan fitur-fitur yang sering dijumpai
partisipan. Secara umum, kekuatan memori dalam mengingat fitur ditentukan oleh
frekuensi pemaparan terhadap fitur yang bersangkutan. Pada umumnya, fitur-fitur
yang lazim dijumpai disimpan secara permanen dalam memori dibandingkan
fitur-fitur yang jarang dijumpai (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sejumlah eksperimen pada akhirnya memunculkan dua teori tentang
pembentukan prototipe, yaitu teori tendensi sentral dan teori frekuensi atribut.
Teori tendensi sentral menyatakan bahwa sebuah prototipe dikonseptualisasikan
mewakili rata-rata suatu set eksemplar. Prototipe adalah suatu abstraksi yang
tersimpan dalam memori yang mewakili tendensi sentral dari kategori yang
bersangkutan. Teori frekuensi atribut menunjukkan gagasan bahwa sebuah
prototipe mewakili mode atau kombinasi atribut-atribut yang paling sering
dialami seseorang. Setiap kali seseorang mengamati suatu pola, orang itu
merekam fitur sekaligus pola beserta hubungan antara tiap-tiap fitur (Solso,
Maclin, & Maclin, 2007).

Anda mungkin juga menyukai