7.
Kita mengenal dua proses dalam pengenalan objek, yaitu proses bottom-up (data-
driven processing) dan proses top-down (conceptually driven processing). Bottom-up
menekankan pada pentingnya stimulus dalam pengenalan objek. Yakni lebih kepada
sensori resptor, dimana terjadi masuknya semua informasi dari objek terutama
informasi mengenai karakteristik objek tersebut. Informasi tersebut membentuk
sebuah pergerakan proses dari level yang paling bawah (bottom) dan bekerja dengan
cara up hingga mencapai proses kognitif di luar konteks visual primer. Jadi, proses ini
lebih menekankan pada feature seperti halnya pengenalan objek berdasarkan
komponen.
Lalu, proses selanjutnya yaitu proses top-down, yang menekankan pada bagaimana
konsep serta tingginya level mental seseorang berpengaruh dalam pengenalan sebuah
objek. Konsep, ekspektasi, dan memori lah yang membantu dalam pengenalan objek.
Dengan kata lain, proses ini mirip dengan proses global-to-local yang mengutamakan
konteks yang berkaitan dengan obyek tersebut dalam mengenalinya, misalnya dari
bentuk kombinasi geon 3 dan 5 (pada gambar sebelumnya dalam teori RBC), kita
akan lebih cepat mengenali bentuk kombinasi tersebut sebagai cangkir bila kita
sedang berada di Cafe, dan akan mengenali itu sebagai gayung jika berada di kamar
mandi. Hal itu terjadi karena pengalaman ataupun memori yang kita miliki. Jadi pada
dasarnya, ekspektasi kita berada pada level yang lebih tinggi (top) dari proses visual
yang bekerja dengan cara down mereka sehingga membantu kita dalam pemprosesan
awal proses visual.
Proses bottom-up dan top-down diperlukan untuk menjelaskan kekompleksitasan dari
pengenalan obyek.
Top-Down Processing and Reading
Salah satu fenomena terbesar dalam proses top-down ialah the word superiority
effect, yangmana kita dapat mengenali satu huruf lebih akurat dan cepat ketika
muncul dalam sebuah kata yang bermakna dibanding ketika muncul sendiri atau
dalam sebuah kata tidak bermakna. Banyak teori yang berusaha menjelaskan
bagaimana proses top-down dan bottom-up berinteraksi dalam menghasilkan efek
superioritas kata (the word superiority effect). Salah satu pendekatannya
adalah Parallel Distributed Process (PDP). PDP atau conetionism ini berpendapat
bahwa proses kognitif bisa dipahami dalam hal jaringan yang menghubungkan setiap
unit terkait. Model PDP ini ialah seseorang melihat features dalam kata,
lalu features ini mengaktifkan unit-unit letter. Unit letter ini lalu mengaktifkan unit-
unit kata di dalam kamus mental seseorang untuk pengkombinasian letter-
letter tersebut. Jadi, ketika unit kata itu aktif, maka rangsangan saraf umpan balik
akan membantu dalam mengidentifikasi huruf tunggal. Hasilnya orang-orang dapat
mengidentifikasi sebuah huruf relatif lebih cepat dibanding ketika melihat huruf
tersebut dalam kata yang tidak berkaitan karena tidak adanya rangsangan umpan
balik. Jadi, lebih mudahnya letter dikenali dalam sebuah kata yang berkonteks ini
merupakan ilustrasi penting dari proses top-down. Selain itu, kalimat yang berkonteks
juga akan memudahkan kita dalam mengenali sebuah kata.
Rueckl dan Oden mendemonstrasikan bahwa fitur dari stimulus dan konteks natural
memengaruhi pengenalan kata. Demonstrasi ini menggunakan koordinasi dari dua
proses. yaitu proses bottom-up dan top-down, misalnya, satu set stimulus
menggambarkan huruf a membentuk huruf r dan n. Dari beberapa stimulus, dihasilkan
kata antara bears dan beans. Setelah itu, peneliti menggabungkannya dengan kata
benda atau frase, seperti zookeeper, botanist. Hasilnya menunjukkan bahwa
zookeeper akan melihat kata bears dan botanist melihat kata beans.
Hal ini menggambarkan bahwa fitur-fitur dari stimulus sangat penting karena
pengenalan kata menggunakan proses bottom-up. Selain itu, konteks juga sangat
penting karena konteks memengaruhi kita dalam mengenal kata. Huruf sebelumnya
dalam kata membantu kita mengidentifikasi huruf-huruf lainnya lebih cepat dan kata-
kata dalam sebuah kalimat membantu kita mengidentifikasi kata tunggal lebih cepat.
Overactive Top-Down Processing & Occasional Errors in Word and Object
Recognition
Proses perceptual yang kita miliki menggunakan strategi rasional yang disebut dengan
proses top-down, tetapi terkadang mereka bekerja berlebihan. Sehingga, orang-orang
mungkin akan mengabaikan informasi penting yang dihadirkan oleh stimulus.
Mary Potter dan koleganya (1993) mengilustrasikan kelebihan kerja dari proses top-
down. Orang-orang diminta untuk membaca daftar stimulus, dimana setengah dari
stimulus tersebut adalah kata yang sebenarnya dan setengah lainnya adalah nonword
yang dibuat dengan cara mensubstitusi vokal baru pada kata sebenarnya. Misal, dream
menjadi droam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut
terbukti mengkonversi nonword menjadi kata sebenarnya dalam 42% dari percobaan.
Proses top-down mereka bekerja berlebihan, dan mereka membaca dream, padahal
kata sebenarnya adalah droam.
Overactive Top-Down Processing and Occasional Errors in Object Recognition
Kesalahan dalam pengenalan bukan hanya terjadi pada pengenalan kata, tapi juga
terjadi dalam pengenalan objek. Peneliti menemukan gejala change blindness yang
merupakan ketidakmampuan untuk mendeteksi perubahan di dalam objek atau
tempat. Simons dan Levin melakukan percobaan mengenai stranger-and-the-door.
Misal orang A menanyakan arah ke orang B, tiba-tiba ada seorang laki-laki membawa
papan diantara mereka berdua sehingga papan tersebut menutupi orang A, lalu orang
A diganti dengan orang C. Ternyata, hanya setengah yang menyadari bahwa orang A
telah berganti menjadi orang C.
Secara umum, psikolog menggunakan istilah change blindness ketika seseorang gagal
menyadari perubahan beberapa bagian dari stimulus. Selain itu, mereka juga
menggunakan istilah inattentional blindness ketika seseorang gagal menyadari bahwa
ada objek baru yang muncul.
Dalam kedua kasus diatas, kita sebenarnya menggunakan proses top-down ketika
berkonsentrasi terhadap beberapa objek. Sehingga, ketika objek yang muncul tidak
sesuai dengan konsep, ekspektasi, dan memori, orang-orang akan gagal untuk
mengenali perubahan objek (change blindness) dan objek baru yang muncul
(inattentional blindness).
Pencocokan template
Sebuah teori pada awalnya tentang cara otak megenali suatu pola dan objek yang
disebut pencocokan template. Sebuah template, dalam konteks pengenalan suatu pola
pada manusia, merujuk pada suatu konstruk internal yang ketika disesuaikan atau
dicocokkan dengan stimuli sensorik menyebabkan terjadinya pengenalan
terhadap objek.Teori pencocokan template, sebagai sebuah teori pengenalan pola pun
juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teori ini jelaslah bahwa agar kita
mampu mengenali suatu bentuk, huruf maupun objek-objek wujud visual. Akan tetapi
kekurangan teori ini adalh suatu interpreasi harfiahnya akan menghadapisuatu
kesulitan.
Pencocokan template
Sebuah teori pada awalnya tentang cara otak megenali suatu pola dan objek yang
disebut pencocokan template. Sebuah template, dalam konteks pengenalan suatu pola
pada manusia, merujuk pada suatu konstruk internal yang ketika disesuaikan atau
dicocokkan dengan stimuli sensorik menyebabkan terjadinya pengenalan
terhadap objek.Teori pencocokan template, sebagai sebuah teori pengenalan pola pun
juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teori ini jelaslah bahwa agar kita
mampu mengenali suatu bentuk, huruf maupun objek-objek wujud visual. Akan tetapi
kekurangan teori ini adalh suatu interpreasi harfiahnya akan menghadapisuatu
kesulitan.
Sebuah template dalam konteks pengenalan, pola pada manusia merujuk pada
suatu konstruk internal yang ketika disesuaikan atau dicocokan dengan stimuli
sensorik, menyebabkan terjadinya pengenalan terhadap objek.
Kelemahan dari teori ini adalah, suatu interpretasi harafiah dari teori pencocokan
template akan menghadapi suatu kesulitan.
Teori Gen
Sebuah alternatif untuk mengatasi kekauan teori pencocokan template adalah
sebuah teori yang mempostulatkan bahwa sistem pemrosesan informasi manusia
memiliki sejumlah bentuk geometrik sederhana yang terbatas, yang dapat
diaplikasikan pada bentuk-bentuk yang rumit.
Sebuah teori yang memiliki kemiripan dengan analisis fitur yang dikembangkan
oleh Irving Biederman dari Universitas Southern California, mengadopsi gagasan
tersebut. Konsep Biederman mengenai persepsi bentuk disusun berdasarkan
konsep geon, yang merupakan kependekatan dari geometrical ions.