Anda di halaman 1dari 2

Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan?

 
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-,
maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas
dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama
dengan ditampakkan.

Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang
lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih
baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”

Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah
amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang
semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu
ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).

Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci.
Beliau berkata, “Ketaatan  (pada Allah) ada tiga:
Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat,
membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar
ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin
disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk
menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala
amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini
maslahatnya juga untuk orang lain.

Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya
seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat
secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia
kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka
amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu
lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.

Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan
sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.
Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik
karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia
telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya
untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang
kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”

Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud).
Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang
melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau
memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk
melirihkan suaranya.[

An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika
membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para
ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada
orang yang khawatir tertimpa riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak
mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”

Anda mungkin juga menyukai