Anda di halaman 1dari 4

RESUME BAB IJMA’

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Studi Fikih

Dosen Pengampu:
M. Alim Khoiri M.Sy

Disusun Oleh:
Muhammad Rifqi (22203085)

PBA Kelas C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
NOVEMBER 2022
Hukum

Hukum secara etimologi, bermakna Al-Man’u yakni mencegah. Hukum juga


memiliki pengertian qodho yang memiliki arti putusan. Dapat pula hukum
diartikan dengan ‘’Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu
daripadanya.’’

Menurut istilah ahli fikih, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah
atau sabda Rasulullah. Apabila disebut syara’, maka yang dikehendaki adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam
ilmu fikih, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlaq. Mayoritas
ulama’ membagi hukum kepada dua jenis, yaitu hukum taklifi dan hukum
wad’i.[1]

1. Hukum takhlifi

Hukum taklifi adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau hukum taklifi
adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf atau ,menuntut untuk
berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Hukum taklifi dapat diartikan pula sebagai titah Allah yang
berhubungan dengan mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan
untuk berbuat atau tidak berbuat.

1. Hukum wad’i

Hukum wad’i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab
bagi sesuatu yang lain atau menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang
baginya. Contohnya adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai
sebab sesuatu yang lain. Hukum wad’i dapat diartikan pula sebagai titah Allah
yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.

Pengertian Mahkum fih/objek hukum


Yang dimaksud sebagai objek hukum atau mahkum fih
adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia atau dibiarkan oleh
pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah
ulama’ ushul fiqih, yang disebut mahkum fih atau objek
hukum adalah ‘’Perbuatan’’ itu sendiri. Hukum itu berlaku
pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya ‘’daging
babi’’. Pada daging babi itu tidak berlaku haram, baik
suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah
pada ‘’memakan daging babi’’ yaitu sesuatu perbuatan
memakan, bukan pada zat daging babi itu.

Para ahli ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu


perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:

1. Perbuatan itu sah dan benar adanya, tiduk mungkin


memberatkan seorang melakukan sesuatu yang tidak
mungkin di lakukan seperti ‘’mencat langit’’.

2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh


orang yang akan mengerjakan serta dapat di bedakan
dengan perbuatan lainnya.

3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh


mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk
melakukannya.
Pengertian Mahkum ‘alaih
Subjek hhukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang
dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya
telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam
istilah Ushul Fiqh, subjek hukum itu disebut Mukkalaf atau
orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu
orang yang kepadanya diperlakukan hukum. [4]

Syarat taklif atau subjek hukum, penjelasannya sebagai


berikut :

1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang


menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham
itu sangat berkaitan dengan akal; karena akal itu adalah
alat untuk mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai
dengan sabda nabi:
Alladziina huwalaqlu laa diina liman laa ‘aqlulahu

“Agama itu didasarkan pada akal; tidak ada arti agama bagi
orang yang tidak berakal.”

2. Ia telah mampu menerima beban taklif dan beban hukum


yang dalam istilah ushul diseut ahlul al-taklif. Kecakapan
menerima taklif adalah kepantasan untuk menerima taklif.
Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk
dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.

3. Kepantasan dikenai hukum (ahliyah al-wujub) dibagi


menjadi :

4. Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum secara


lemah) yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima
hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau kebalikannya.
Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan karena hanya
salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan
yang harus ada padanya.

5. Ahliyah al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum


secara sempurna) yaitu, kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini
berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih
bernafas.

6. Ahliyah al-ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum)

Anda mungkin juga menyukai