Anda di halaman 1dari 18

Kelompok III

DINAMIKA PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Metodeologi Studi Islam
Dosen: Muhammad Rasyidi, M.Pd.I

Oleh:

ADHITYA
NIM 2214120140
HARMUNITA
NIM 2214120087
DEWI QURROTUL AINY
NIM 2214120136

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur atas ijin Allah SWT, dengan berkat rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya kami selaku kelompok 3 dapat menyelesaikan makalah ini
sedemikian rupanya yang berjudul DINAMIKA PERKEMBANGAN STUDI
ISLAM.

shalawat serta salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kepada Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya yang berjuang dalam mengembangkan
serta menyebarkan ajaran agama islam kepada seluruh umat muslimin di seluruh
penjuru dunia.

Dengan penuh rasa hormat kami kelompok 3 mengucapkan terimakasih


kepada dosen pengajar khususnya Bapak Muhammad Rasyidi, M.Pd.I selaku
dosen pengampu mata kuliah Metodeologi Studi Islam, yang telah membimbing
kami hingga terwujudnya makalah ini walau makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karna sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
makalah selanjutnya bisa lebih baik.

Wassalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh.

Palangka Raya, 26 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ........................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan dan Kegunaan............................................................................ 2
D. Metode Penulisan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Dinamika Sejarah awal Perkembangan Studi Islam.............................. 3
B. Sejarah awal Studi Islam di daerah Timur............................................. 3
C. Sejarah awal Studi Islam di daerah Barat.............................................. 7
D. Sejarah awal Studi Islam di daerah Indonesia....................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................
...............................................................................................................
14
B. Saran.....................................................................................................
...............................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi Islam akan selalu berkembang di seluruh penjuru dunia, baik dari
lingkup Islam itu sendiri ataupun Negara yang non-muslim, perkembangan
studi islam pun erat kaitannya dengan perkembangan pendidikan islam itu
sendiri yang mencakup kurikulum dan kelembagaannya di dunia islam, barat,
timur ataupun indonesia. Bagi tradisi pendidikan islam, institusi pendidikan
tinggi di kenal dengan nama al-jami’ah, yang tidak jauh dari kelembagaan
masjid jami.
Dalam catatanya Azyumardi Azra, lembaga pendidikan islam seperti
madrasah sampai al-jami’ah yang pendidikanya tergolong tinggi ternyata
tidak pernah menjadikan tempat tersebut sebagai Universitas yang bebas
berpenelitian berdasarkan nalar para mahasiswa, seperti eropa pada masa
modern yang Universitasnya dapat di lacak dari al-jamia’ah, ditegaskan oleh
Stanton yang didasarkan dengan penelitian al-makdisi (1981 dan 1990)
sampai ke abad 18 juga tidak dibebaskan sepenuhnya dalam berpenelitian.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkaji Dinamika
Perkembangan Studi Islam yang penulis tuangkan dalam bahasan makalah
pada mata kuliah Metodeologi Studi Islam sebagai salah satu tugas kuliah
yang diampu oleh Bapak Muhammad Rasyidi, M.Pd.I pada Program Studi
Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam
Negeri Palangka Raya.
B. Rumusan Masalah
Untuk menguraikan beberapa hal terkait Dinamika Perkembangan Studi
Islam maka rumusan masalah yang digunakan untuk pembahasan makalah
adalah sebagai berikut:
1. Seperti apakah Sejarah awal Perkembangan Studi Islam?
a. Di Barat
b. Di Timur
c. Di Indonesia
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami Sejarah awal Perkembangan Studi Islam?
a. Di Barat
b. Di Timur
c. Di Indonesia
D. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kajian pustaka
(library research) terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema
makalah yang dibuat, dan juga bersumber dari beberapa artikel.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Sejarah awal Perkembangan Studi Islam


Secara etimologis, sinonim dari studi islam adalah Islamic Studies, dirasah
Islamiyah, dan islamologi. Sedangkan secara substantif, studi islam atau biasa di
sebut dengan islamologi yang mengkaji islam hanya sebatas ilmu pengetahuan
yang di pelajari untuk kepentingan penelitian atau kajian keislaman. Namun
terkadang menyebabkan beberapa efek keagamaan yang seharusnya bukan atas
kehendak formal tanggung jawab dalam studi islam.
Dengan mengkaji sejarah peradaban Islam, ditemukan ragam model
diseminasi dan internalisasi nilai keislaman melalui proses pengkajian yang
berlaku di masyarakat muslim. Diseminasi dan internalisasi nilai keislaman
melalui beragam pusat pembelajaran, seperti kittab, masjid, observatorium,
perpustakaan, madrasah, khanqah, pesantren hingga sekolah dan perguruan tinggi
dikenal pada masa kini.
Dalam perspektif Mahmud Yunus, pusat-pusat studi Islam klasik dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu Mekkah dan Madinah di
Hijaz, Bashrah dan Kufah di Irak, Damaskus dan Palestina di Syam, dan Fustat di
Mesir. Kelompok Mekkah dipelopori oleh Mu'adz bin Jabal; Madinah oleh Abu
Bakr al-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Uts man bin 'Affan; Bashrah oleh Abu
Musa al-Asya'ari dan Anas bin Malik; Kufah oleh Ali bin Abi Thalib dan Abd.
Allah bin Mas'ud; Damaskus oleh 'Ubadah, dan Abu Darda': dan Fustat oleh Abd.
Allah bin Amr bin Ash.1

B. Sejarah awal Perkembangan Studi Islam di daerah Timur


Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal
dengan nama al-jami'ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan
masjid jami' (tempat berkumpul jemaah untuk menunaikan salat Jumat). 2Al-
1
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandung; Remaja Rosdakarya,
1999), hlm 9-10
2
Hafez Munir ud-Din Ahmed, 2002: 8

3
Jami'ah yang paling awal dengan pretensi sebagai lembaga pendidikan tinggi dan
diakui sebagai universitas tertua di muka Bumi, lebih tepat disebut "madrasah
tinggi" dari pada "universitas".
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jamah diabdikan,
terutama untuk ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada bidang figh, tafsir, dan
hadis. Ijtihad, walaupun diberikan ruang gerak, tetapi tidak dimaksudkan berpikir
sebebas-bebasnya, kecuali sekedar memberikan penafsiran "baru" atau pemikiran
"independen" yang tetap berada dalam kerangka doktrin yang mapan dan
disepakati. Dengan demikian, ilmu-ilmu nonagama, terutama yang eksakta yang
merupakan akar pengembangan sains dan teknologi sejak awal telah
termarjinalkan.3 Kondisi tersebut berbeda dengan dasar ajaran Islam yang
memisahkan ilmu agama dengan non agama seperti yang di katakan Al-Ghazali
(1085-1111 M) yaitu wajib menuntut ilmu agama bagi muslim, sedangkan wajib
kifayah untuk ilmu non agama atau ilmu umum.
Sebenarnya, sebelum kehancuran Muktazilah pada masa Makmun (198-
218/813-833), ilmu umum yang berlandaskan kajian-kajian empiris telah
dipelajari di madrasah. Dengan kesan mencurigai ilmu-ilmu umum yang
berbasiskan nalar itulah maka ilmu-ilmu tersebut dihapuskan dari madrasah. Para
peminat ilmu-ilmu umum tersebut akhirnya belajar sendiri-sendiri, karena ilmu-
ilmu agama dipandang sebagai yang dapat mengguga kemapanan doktrin Sunni,
terutama dalam bidang kalam dan fiqih.
Jadi, pada masa sebelum khalifah al-Makmun, sains mencapai puncaknya,
hampir dipastikan ini bukan muncul dari madrasah, tetapi hasil kegiatan ilmiah
individu-individu ilmuwan Muslim yang disemangati oleh scientific inquiry
(penyelidikan ilmiah) untuk membuktikan kebenaran-kebenaran Alquran,
terutama yang bersifat kauniyah (kealaman).

Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan tinggi yang disebut-sebut


sebagai kiblat bagi pengembangan studi Islam di dunia Muslim, yang selanjutnya
diikuti oleh para orientalis dalam studi Islam di kalangan sarjana Barat. Pertama,

3
Khozin, 2001. 56

4
Madrasah Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini, menurut Ibnu Khalikan (w.
681-1282) dibangun oleh Nizham al-Mulk untuk al-Juwaini, tokoh Asy'ariah, dan
sekaligus guru besar di madrasah ini selama tiga dekade hingga wafatnya pada
478/1085, 4
Madrasah ini terdiri dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid,
dan perpustakaan (bayt al-maktab). Madrasah ini memiliki beberapa staf, yaitu
seorang guru besar (mudarris) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
pengajaran, seorang ahli Alquran (muqri), ahli hadis (muhaddits), dan pengurus
perpustakaan, yang bertanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing.
Tercatat nama-nama seperti al-Juwaini, Abu al-Qasim, al-Kiya al-Harrasi, al-
Ghazali dan Abu Sa'id sebagai mudarris, Abu al-Qasim, al-Hudzali dan Abu
Nasyar al-Ramsyi sebagai mugri, Abu Muhammad al-Samarqandi sebagal
muhaddits, dan Abu Amir al-Jurjani sebagai pustakawan. Al-Ghazali pernah
tercatat sebagai asisten al-Juwaini.
Kedua, madrasah di Baghdad berdiri tahun 455/1063 yang dibangun oleh
khalifah al-Makmun (813-833 M), yang dilengkapi dengan perpustakaan
termasyhur, Bayt al-Hikmah. Berbeda dengan madrasah Nizhamiyyah di
Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki masjid. Sebagai madrasah terbesar di
zamannya, madrasah ini diajar oleh para guru besar yang memiliki reputas tinggi,
seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476/1083), al-Kiya al-Hara dan al-Ghazali (1058-
1111 M) yang tercatat sebagai pemik terbesar dengan sebutan Imam al-Ghazali
dan pengaruhny cukup kuat di Timur. Madrasah yang berdiri hampir dua abad
akhirnya hancur, sekaligus melambangkan kehancuran Islam pada masa
pemerintahan Abbasiah, setelah Hulagu Khan (1256-134 M) melakukan
penyerbuan besar-besaran ke Baghdad.
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir
ini tidak terlepas dari eksistensi Abbasiah-Syah yang pengaruh kekuatan
politiknya mulai melemah. Di sinilah wilayah-wilayah kekuasaan Daulat
Abbasiah seperti Thahiriyah, Safawiyah, Samawiyah, Thuluniyah, Fathimiyah,
Ghaznawiah, dan lain-lain menuntut otonomisasi. Daulah Fathimiyah (909-1171
M misalnya, segera bangkit di Tunis. Ubaidillah al-Mahdi diangk sebagai khalifah

4
Hasan Asari, 1994:57

5
pertama Fathimiyah yang beraliran Syiah. Pada masa pemerintahan Muiz li
Dinillah (952-975 M), khalifah dari Fathimiyah, Libia, dan Mesir berhasil
ditaklukkan di bawah panglima besarnya, Jauhar al-Siqili (362 H/972 M) dari
Daulas Abbasiah, yang dikenal sebagai pendiri ibukota baru Mesir, Kairo (dulu
Fustat). Kemudian ibu kota Syiria dipindahkan dari Tunisk Kairo, Mesir. Al-Siqili
pula yang membangun perguruan tingg Azhar berdasarkan ajaran sekte Syiah.
Selanjutnya, pada masa khalifah al-Hakim bin Amrillah (96 1020 M),
dibangun perpustakaan terbesar di Kairo, Bait al-Hikinan yang disebut-sebut
sebagai corong propaganda kesyiahan. Ko al-Hakim mengeluarkan dana 275 dinar
untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang den
bangkan lebih banyak berorientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi,
dan kedokteran, Ali ibn Yunus, Allal Has dan Ibnu al-Haitam, tercatat sebagai
tokoh yang mengembangkan mu astronomi. Dalam masa ini kurang lebih seratus
karya tentang matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran telah dihasilkan
Bahkan, pada masa al-Muntasir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi
200.000 buku. Pada tahun 567 H/1171 M Shalahuddin al-Ayyubi (1171-1193 M)
berhasil merebut Daulah Fathimiyah dan mendirikan Daulat Ayubiyyah (1171-
1269 M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Abbasiah. Al-Azhar saat itu
beralih kurikulum dari orientasi Syi'ah ke Sunni, dan Al-Azhar tetap berdiri tegak
hingga abad ke-21 ini.5
Di Universitas Al-Azhar ini, rektor (syekh Al-Azhar), selain merupakan
jabatan akademis, juga merupakan kedudukan politis yang berwibawa vis avis
kekuasaan politik. Tetapi, sejak Dinasti Usmaniah (1517-1798) pamor Al-Azhar
mulai menurun, sehingga Muhammad Ali mengintervensi Al-Azhar dalam
membenahi Al-Azhar sejak paruh abad ke-19. Kenyataan ini pula yang membawa
preseden lenyapnya "independensi" Al-Azhar sebagai lembaga akademis, yang
pada gilirannya mempengaruhi otoritas dan pamornya, terutama dalam
hubungannya dengan kekuasaan politik hingga kini.
Keempat, Universitas Cordova di Spanyol, Pemerintahan Abdurrahman I
dipandang sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di Cordova Spanyol.

5
Karim: 2011

6
Sejarah mencatat bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar di Cordova pada
tahun 1120 M yang mendalami geometri, aljabar dan matematika.

C. Sejarah awal Perkembangan Studi Islam di daerah Barat


Jayannya Islam pada konteks Ilmu Pengetahuan perguruan tinggi sangat di
banjiri mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, termasuk mereka yang menjadi
tokoh terkenal pada dunia Barat, dan begnilah kontrak antara dunia Barat dan
Dunia Islam (Muslim). Terkenalnya perguruan tinggi pada masa kejayaan salah
satunya berpusat di Irak (dunia Musilim belahan Timur) dan juga Mesir serta
Cordova (dunia Muslim bagian Barat). Masa ini di sebut dengan Renaisence
(Masa Kebangkitan) Barat yang perlahan mencapai kemajuan.
Namun tidak terlepas dengan keluarnya hasil terjemahan-terjemahan
manuskrip arab ke bahasa Latin sejak abad ke-13 M hingga masa Renaisance
pada eropa abad ke-14 oleh para ilmuan Barat dan orientalis yang didukung oleh
kaisar Dinasti Romawi (1198-1212), Raja Federic dari Sicilia.
Dengan ketangguhan sang raja terbangunlah beberapa perguruan tinggi di
Italia, Seperti Padua, Florence, Milano, Venezia, di susul oleh Sorbone di Prancis,
Oxford dan Cambride di Inggris, dan Tumbingen di Jerman. Dalam bidang
Filsafat Ilmu merupakan yang sangat menonjol daripadad penerjemahan
manuskrip tersebut sehingga terlahirnya aliran Skolastik, Rasionalisme,
Empirisme, dll. Dengan adanya penerjemahan ini membuat dunia barat untuk
mengembangkan penelitianya dalam bidang ilmu pengetahuan di Barat.
Tercatat dalam sejarah salah satu tokoh yang menerjemahkan manuskrip
tersebut Gerbert d’Auvergne (999-1003 M) di bidang kedokteran dan matematika
di abad ke-11 M. dan di bentuk sekelompok para penerjemah pada abad ke-12
yang diketuai oleh Archdeacon Dominicues Gundasalvi. Kelompok ini
merupakan kelompok yang pertama berhasil menerjemahkan himpunan komentar
Ibnu Sina dan Al-Ghazali dengan bahasa Latin yang berjudul Canon of Medicine
oleh Cromena (w. 1187 M). Setelah ilmu pengetahuan Islam yang berpindah ke
Dunia Barat dan dikembangkan oleh para sarjana, namun karena dirasuki oleh
paham sekuler banyak ajaran islam yang menjadi menyimpang dari ajaran

7
asalnya. Inilah yang menyebabkan para sarjana Muslim melakukan upaya
pemurnian ajaran. Ismail Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Ali Ashraf, Ziauddin
Sardar, dll. dipanggil untuk upaya ini. Tokoh-tokoh ini aka memberikan gagasan
Islamisasi pengetahuan, yakni melakukan penulisan ulang terhadap ilmu-ilmu
modern (produk Barat) dan menanggalkan ciri-ciri sekularismenya. Upaya lainnya
mendirikan universitas universitas Islam seperti di Pakistan salahsatunya,
International Islamic University, di Washington DC, Islamic of Advanced Studies,
atau The International Institut of Islamic Thought and Civilization (biasa disebut
ISTAC) yang dipelopori oleh Naquib al-Attas.
Perkembangan selanjutnya, studi Islam di Barat sedikit berbeda. Di
Universitas Chicago, studi Isfam berfokus pada pemikiran Islam, bahasa Arab,
teks klasik dan bahasa Islam non-Arab. Studi Islam berada di bawah Pusat Studi
Timur Tengah dan Departemen Bahasa dan Budaya Timur Dekat, di Amerika,
studi Islam umumnya menekankan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain
bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, yang berada di bawah Pusat untuk Studi
Timur Tengah atau Timur Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat
komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk pemikiran
Islam. Kedua, teks Arab dan klasik tentang sejarah, hukum, dan lain-lain. Ketiga,
bahasa non-Arab yang beragama Islam, seperti bahasa Urdu, Persia, Turki, bahasa
yang telah melahirkan kebudayaan. Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah Arab,
bahasa-bahasa Islam, sosiologi, dan lain-lain.6
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African
Studies, fakultas studi Timur dan Afrika, yang memiliki berbagai departemen
Bahasa dan Budaya Asia dan Afrika. Salah satu program studi di mana program
MA tentang masyarakat dan budaya Islam dapat dilanjutkan ke jenjang doktor. Di
Kanada studi Islam fokus pada studi budaya dan Islam dari zaman Nabi
Muhammad hingga zaman kontemporer, memahami ajaran Islam dan masyarakat
Muslim di seluruh dunia, dan mempelajari berbagai bahasa Muslim, seperti
Persia, Urdu, dan Turki. Sementara di Belanda yang dulunya dianggap tabu untuk

6
Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2010: 165

8
mempelajari Islam, ternyata kajian Islam di Indonesia masih tetap ada, meski
tidak menekankan aspek historis Islam itu sendiri.

D. Sejarah awal Perkembangan Studi Islam di daerah Indonesia


Ada beberapa versi tulisan sejarah tentang perkembangan studi Islam di
Indonesia, namun yang sering dijadikan acuan utama setidaknya ada tiga versi.
Versi Pertama, menyebutkan bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para
pedagang dari Persia sekitar abad ke-13 Masehi. Kawasan Samudra Pasai (Aceh),
dipercaya sebagai pijakan pertama. Menurut versi ini, kesamaan tradisi beberapa
kelompok masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat Persia merupakan bukti
kuat pengaruh Persia dalam Islam Indonesia.
Versi kedua, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-12 atau awal abad ke-13
Masehi. Pada masa ini, Islam dibawa oleh para pedagang dari anak benua India
dari Gujarat, Malabar, dan Bengali. Versi ini dijelaskan oleh Pijnappel, seorang
sarjana dari Universitas Leiden, yang kemudian diadopsi oleh Snouck Hurgronje.
Berbeda dengan dua versi di atas, versi ketiga, menyatakan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada awal abad ke-7 Masehi. Penyebarannya tidak dilakukan oleh
pedagang dari Persia atau India, melainkan langsung dari Arab7.
Menurut H.J. de Graaf, Islam disebarkan di Asia Tenggara dengan tiga cara 8.
Pertama, melalui dakwah para pedagang Muslim di jalur perdagangan yang
damai; kedua, melalui dakwah para mubaligh dan orang-orang suci yang berasal
dari India atau Arab yang sengaja ingin mengislamkan orang-orang kafir; dan
ketiga, melalui kekuasaan atau perang dengan negara-negara kafir.
Salah satu tradisi pembelajaran yang berkembang saat itu adalah
pengembaraan intelektual: para guru dan sebagian besar santri belajar dan
bepergian dari satu surau ke surau lainnya atau dari satu pesantren ke pesantren
lainnya untuk menambah ilmu keislaman mereka. Mereka mengembara tidak
hanya di sekitar Asia Tenggara, tetapi juga sangat mungkin ke India, Mekah,
Madinah, dan Kairo atau tempat-tempat lain di Timur Tengah.9
7
Ajid Thohir, 2009: 394-395
8
Azyumardi Azra (ed.), 1989: 2
9
Azyumardi Azra (ed.), 1989: xv-vi, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2010: 170

9
Salah satu perkembangan intelektual yang cukup menarik adalah dimulainya
tradisi menulis. Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu antara lain buku
Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry (1685) dari Aceh. Kitab ini
kemudian ditulis oleh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dari
Kalimantan Selatan menjadi kitab Sabil al-Muhtadin. Kitab Sabil al-Muhtadin
kemudian ditulis ulang oleh Daud al-Fatani (1847) dari Thailand dan diberi nama
Bughyatat-Thullab.10
Maka dari itu, perkembangan studi Islam di Indonesia dapat dilihat dari
perkembangan lembaga pendidikan, mulai dari sistem pendidikan langgar, sistem
pesantren (di Aceh disebut Dayah), sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam,
hingga munculnya dari sistem kelas. Pesantren dan madrasah sangat menonjol
dalam studi Islam di Indonesia.
Selain pesantren, perguruan tinggi Islam tentu saja merupakan lembaga yang
paling diminati untuk studi Islam yang komprehensif. Perguruan tinggi Islam di
Indonesia, seperti STAIN IAIN, dan UIN, dapat dijadikan referensi untuk
pengembangan studi Islam. Munculnya ide pendirian perguruan tinggi Islam
seperti IAIN/STAIN tidak lepas dari kesadaran kaum muslimin yang
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama, mengakomodir mereka yang tidak
berkesempatan melanjutkan ke Timur Tengah. Kedua, keinginan untuk
mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan dari pondok pesantren
dan madrasah. Keinginan untuk menyeimbangkan jumlah orang berpendidikan
yang lulus dari sekolah eluter dengan lulusan sekolah agama. Ide ini datang dari
kalangan ahli agama, juga muncul dari kalangan Muslim terpelajar di sekolah-
sekolah “sekuler”.11 Dr. Satiman termasuk yang mengajukan gagasan universitas
Islam: Beliau pernah mendirikan Yayasan Pesantren Luhur pada tahun 1938, yang
kandas karena campur tangan penjajah. Di Sumatera Barat, pada tahun 1940,
sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STI) meskipun
hanya bertahan dua tahun karena pendudukan Jepang.

10
Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, 1984: 20, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok,
2010: 170
11
Husni Rahim, 2001: 178

10
Upaya yang sama juga dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional seperti
Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkar, dan
KH. Pak Mansur. Setelah disetujui oleh Pemerintah Jepang, Sekolah Tinggi
Agama Islam (STI) resmi dibuka pada 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan 8 Juli
1945 di Jakarta di bawah pimpinan Kahar Mudzakir.
Ketika terjadi agresi Belanda terhadap Indonesia untuk menjadikan Indonesia
sebagai jajahannya kembali, ibu kota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta
ke Yogyakarta. Seiring dengan pemindahan ibu kota, Perguruan Tinggi Islam
dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946. Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Moh. Hatta.
Untuk meningkatkan efektivitas dan pengembangan yang lebih luas, muncul
ide untuk menjadikan STI sebagai universitas. Dalam konteks itu, dibentuklah
panitia untuk mengembangkan STI menjadi universitas pada tahun 1947 yang
terdiri dari Fathurrahman, Kafrawi, Farid Ma'ruf, Kahar Muzakhir, dan lain-lain.
Keputusan terpenting panitia adalah mengubah STI menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII) dengan mendirikan empat fakultas, yaitu fakultas Agama,
Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan, dan Fakultas Hukum.
Ilmu Ekonomi yang resmi dibuka pada 27 Rajab 1367 H bertepatan dengan
10 Maret 1948. Dalam perkembangan selanjutnya Fakultas Agama diturunkan
oleh pemerintah dan dipisahkan dari Ull menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950 14
Agustus 1950 dan peresmiannya pada 26 September 1951.
Pada saat yang sama, pemerintah mengubah status Universitas Gadjah Mada
menjadi universitas negeri sesuai dengan PP. 37 Tahun 1950 yang Dibentuk
Untuk Nasionalis Belum lama ini Departemen Agama mendirikan Akademi Ilmu
Pengetahuan Agama (AIDA) di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1957, sebagai lembaga
yang disiapkan untuk mendidik pegawai negeri sipil dengan kemampuan
akademik dan semi-akademik di jenjang diploma sebagai guru agama di sekolah
menengah pertama (SMP).12

12
Husni Rahim, 2001; 178

11
Jumlah mahasiswa PTAIN dalam satu dekade mengalami peningkatan,
termasuk yang berasal dari negara tetangga, Malaysia. Berdasarkan
perkembangan tersebut dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada
tanggal 24 Agustus 1960 presiden mengeluarkan PP. 11 yang menggabungkan
PTAIN dan AIDA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak itu, secara
berturut-turut di beberapa provinsi di Indonesia, IAIN didirikan sebagai sarana
bagi masyarakat muslim untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Seiring dengan tuntutan zaman, orientasi kelembagaan dan kurikulum
perguruan tinggi Islam tersebut mengalami berbagai inovasi. Namun, inovasi ini
belum diimbangi dengan ketersediaan dosen yang ahli di bidang ilmunya. Seperti
yang dikatakan Atho Mudzhar, bahwa dalam upaya mengembangkan pendidikan
tinggi untuk masa depan, Yang perlu dibenahi antara lain adalah positioning
disiplin ilmu mana yang menjadi ilmu inti dan mana ilmu bantu.
Selama ini beberapa IAIN/STAIN belum mampu memetakan berbagai
keilmuan ke dalam dua kategori tersebut. Di sini dibutuhkan dosen-dosen yang
ahli dalam ilmu bantu, seperti Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi
Agama, dan sebagainya. Namun sebagian IAIN/STAIN telah mampu
mengembangkan ilmu dalam berbagai disiplin ilmu (interdisipliner), tidak hanya
ilmu-ilmu agama, tetapi termasuk ilmu eksakta, ilmu sosial, humaniora, dan lain-
lain. Selain itu, beberapa IAIN/STAIN telah membuka program studi umum,
bahkan fakultas umum.
Tampaknya IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga di
Yogyakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung, IAIN Alauddin di Makassar,
dan STAIN Malang di Jawa Timur, lebih maju dalam mengembangkan berbagai
disiplin ilmu dibandingkan IAIN/STAIN lain di Indonesia. Kajian Islam
interdisipliner di beberapa IAIN/STAIN telah mendorong lembaga-lembaga
tersebut menjadi perguruan tinggi, yang kemudian disusul oleh lembaga-lembaga
lain yang mempelajari tidak hanya ilmu-ilmu agama, seperti yang dipikirkan
masyarakat, tetapi juga ilmu-ilmu umum. duniawi.
Dengan demikian, hingga tahun 2013 telah ada delapan Perguruan Tinggi
Islam Negeri (UIN) di Indonesia, yaitu; 1) Universitas Islam Negeri Syarif

12
Hidayatullah Jakarta; 2) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta; 3)
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung; 4) Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang; 5) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim, Riau; 6) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar; 7) Universitas
Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh; dan 8) Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya.(5)

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulanya kita jadi mengetahui bahwa perkembangan Studi Islam di
Timur sudah sangat baik dan maju sehingga banyaknya kelembagaan-lembagaan
yang masih berdiri hingga sekarang walaupun di dunia barat studi islam banyak di
revisi dan tidak sesuai ajaran dasarnya islam sehingga cukup berefek pada
keagamaan. Serta mengenal betapa besarnya perkembangan islam di negara kita
sendiri yang sungguh sangat efisien dan terencana walau masih dikembangkan.
s
B. Saran
Hendaknya dalam memahami Sejarah Studi Islam dalam konteks hukum
Islam, tidak secara parsial yang dapat memunculkan paradigma bahwa Studi Islam
merupakan ajaran yang berdasar pada agama Islam dengan dalih mengikuti
sunnah Nabi Muhammad SAW.

14
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

ZA. Tabrani, Arah Baru: Metodeologi Islam, (Yogyakarta; Penerbit Ombak,


2015).
Susanto. Edi, Dimensi Studi Islam Kontemporer Edisi Pertama, (Jakarta;
Prenamedia Group, 2016.0621)
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandung;
Remaja Rosdakarya, 1999).
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Azyumardi Azra (ed.), 1989: xv-vi,
2010: 170.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Syamsul Wahidin dan Abdurrahman,
1984: 20, 2010: 170.
Hafez Munir ud-Din Ahmed, 2002: 8, Khozin, 2001. 56, Hasan Asari,
1994:57, Karim: 2011, Ajid Thohir, 2009: 394-395, Azyumardi
Azra (ed.), 1989: 2, Husni Rahim, 2001: 178, dalam Tabrani. ZA,
Arah Baru: Metodeologi Islam, (Yogyakarta; Penerbit Ombak,
2015).

Anda mungkin juga menyukai