Anda di halaman 1dari 11

POTENSI BAHAYA KERJA DAN PENILAIAN KESELAMATAN

LINGKUNGAN PERTAMBANGAN

Oleh: Dr. Sajidi Hadipoetro, MSc., Sp. KL.

I. Pendahuluan

Penambangan penting untuk mendukung kehidupan modern. Tanpa penambangan tidak


ada logam, tidak ada bangunan tinggi, tidak ada minyak, batubara, tidak ada kendaraan
bermotor, tidak ada listrik dan tentunya tidak ada kehidupan modern.

Alam telah menganugerahkan berbagai kekayaan tambang dalam jumlah cukup banyak
kepada Indonesia. Minyak bumi merupakan pilihan utama untuk sumber energi. Namun
menurunnya produksi minyak bumi di Indonesia menimbulkan krisis energi. Maka perlu
dicari pilihan lain sebagai sumber energi. Pilihan jatuh kepada batubara yang memang
merupakan sumber energi penting di masa lalu.

Pada masa lalu negara Eropa Barat dan Amerika merupakan penggerak industrialisasi.
Kandungan terukur yang dimiliki Indonesia sebesar 36 milyar Ton harus didayagunakan
dan diusahakan, salah satu caranya adalah dengan melakukan eksplorasi batubara.

Namun sudah dikenal bahwa penambangan juga mempunyai potensi merusak lingkungan
dan menimbulkan permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja. Oleh karena itu perlu
suatu kompromi yang langgeng antara kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja
produksi tambang.

Di masa lalu, pengendalian limbah merupakan fokus perhatian. Berbagai peraturan telah
dibuat untuk mengendalikan dampak tersebut. Di masa sekarang dan masa depan perlu
lebih ditekankan pada masalah kesinambungan kegiatan manusia; yang berarti kebaikan
generasi hari ini tidak boleh sampai mengorbankan kesempatan generasi masa depan
dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.

Tahap kegiatan pertambangan umumnya melalui 4 tahapan:


1. Kegiatan Eksplorasi Mineral
2. Kegiatan Konstruksi
3. Kegiatan Operasi pertambangan dan pemurnian
4. Penutupan tambang

Tahap tersebut di atas akan dibahas pada bab berikut.

Sebagai dasar hukum pembinaan dan pengawasan keselamatan kerja dan lingkungan
yaitu:
1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan pokok pertambangan.
2. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja.
3. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan.
4. UU Lingkungan Hidup Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
5. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

II. Tahap Kegiatan Pertambangan

Menambang adalah mengambil mineral dari dalam atau permukaan tanah. Di sini tanah
harus diartikan secara luas, yaitu meliputi juga dasar laut.

1
Sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan, kegiatan “seismic” yaitu kegiatan untuk
menemukan terlebih dahulu kandungan mineral baik lokasi maupun jumlahnya,
kelayakan dan ekonomis penambangan harus diyakini oleh investor pertambangan
melalui kajian teknis ekonomis.

Proses pertambangan melalui empat tahapan, yaitu :

A. Kegiatan Eksplorasi

1. Bila dirasa kandungan cukup ekonomis dilakukan eksplorasi berupa


pengeboran guna mengetahui struktur tanah dan batuan lapisan yang lebih
dalam. Tim seismic biasanya adalah SDM yang tidak besar, membawa
peralatan seismograf dan peralatan untuk menanam bahan ledak dinamit.
Dari rekaman seismograf dari ledakan bawah tanah dapat direkam prospek
dari lapangan yang disurvei.
2. Eksplorasi dilakukan biasanya di daerah terpencil yang belum memiliki
infrastruktur. Maka untuk mendatangkan peralatan harus dibuat jalan
eksplorasi yang cukup untuk keperluan operasi saja.

Tahap eksplorasi meliputi dua kegiatan penting yaitu:


 Kegiatan lapangan untuk menemukan lokasi serta
memperkirakan cadangannya
 Kegiatan meja untuk membuat kajian teknis dan ekonomis
penambangan mineral yang bersangkutan

B. Kegiatan Konstruksi Tambang

Menurut statistik kurang dari 10% wilayah yang dieksplorasi, layak untuk
dilanjutkan menjadi tambang. Pada sebagian eksplorasi tidak ditemukan cukup
banyak mineral yang secara ekonomis layak untuk dilakukan penambangan.
Jika eksplorasi berhasil menemukan cadangan mineral dan dari kajian kelayakan
menunjukkan cadangan mineral ekonomis untuk dikembangkan, maka dilanjutkan
dengan tahapan konstruksi tambang.

Untuk melakukan konstruksi tambang ini diperlukan investasi yang besar yang
digunakan untuk:
- Membangun fasilitas penambangan dan pengolahan biji
- Membangun bengkel peralatan
- Membangun fasilitas perkantoran dan pemukiman pegawai
- Mengembangkan jalur pemasaran,
- dll.

C. Operasi Penambangan dan Pemurnian

Pada tahapan ini telah dibangun pabrik pengolahan dan infra


struktur yang diperlukan seperti pelabuhan, stasiun kereta api, dan gudang.
Kegiatan ini membutuhkan SDM yang jumlahnya cukup banyak dan
memiliki sistim organisasi dan tata kerja, termasuk sistem keselamatan
dan kesehatan kerja. Hal ini tentu saja tidak dapat dipenuhi oleh penduduk
lokal.
Untuk menghasilkan 1 Ton logam/mineral tidak jarang digali 100
Ton batuan. Batuan tersebut harus digerus dan kemudian melalui proses
tertentu dihasilkan konsentrat, yaitu bahan yang sudah mempunyai
kandungan logam tinggi. Konsentrat kemudian dimurnikan dalam pabrik
pemurnian.

2
Dari jumlah 100 ton yang digali tersebut, 99 ton harus dibuang
kembali. Sisa gerusan berbentuk serbuk halus sering disebut “tailing”.
Pada penambangan logam, jumlah tailing yang dibuang sangat menonjol.
Namun pada umumnya dengan perencanaan yang baik, tailing dapat
dimasukkan kembali ke dalam lubang tambang, sehingga tidak
mengganggu lingkungan.
Karena pada umumnya tailing tidak merupakan bahan beracun,
maka di Amerika Serikat pembuangan tailing diatur dengan sub title D
peraturan EPA, bukan dengan sub title C untuk limbah beracun.
Tidak sebagaimana orang perkirakan operasi penambangan
dilaksanakan tahap demi tahap sesuai kemampuan produksi. Bukan seperti
perkiraan orang bahwa wilayah yang sudah diketahui ada cadangan
mineral lalu digali sekaligus.
Untuk pemurnian konsentrat di pabrik pemurnian dipakai
katalisator kimia, seperti air raksa, HCN disertai proses pemanasan.
Limbah pemurnian banyak mengandung racun.

D. Penutupan Tambang

Pada suatu saat mineral yang dikandung akan habis oleh proses
penambangan, maka lokasi tersebut harus ditutup. Penutupan tambang
harus disiapkan sebaik-baiknya sejak dari awal pengeksplorasian karena
memberikan dampak sosial dan lingkungan yang cukup besar. Pemerintah
daerah harus siap dalam menghadapi situasi ini.

III. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan


Pertambangan.

Industri pertambangan umum di Indonesia sudah berlangsung selama lebih dari


100 tahun. Awalnya, industri ini dikategorikan sebagai industri beresiko. Maka pada
tahun 1930 peraturan keselamatan kerja yang dikenal sebagai Mijn Politie Reglement
(MPR) Staatblad 1930 no. 341, berdasarkan teknis operasional maka ada 2 metoda
pertambangan umum:
- metoda tambang bawah tanah
- metoda tambang permukaan

Pengelolaan K3 dan lingkungan tidak dapat dilakukan secara “superficial”. Untuk


dapat mencukupi seluruh karakter dan memperoleh kinerja yang diharapkan memerlukan
pengelolaan kesistiman.
Manajemen K3 di pertambangan umum berkembang terutama setelah masuknya
pihak swasta asing seperti kesistiman NOSA dari Afrika Selatan, dan International Safety
Rating, International Loss Control Institute dari Amerika dan Australia.
Tidak diwajibkan untuk hanya menerapkan satu model sistem manajemen K3 dan
lingkungan yang seragam. Namun pada umumnya elemen-elemen manajemen K3 yang
harus dikandung dalam satu model sistem K3 relatif sama yang tertera seperti di bawah
ini:
1. Harus ada jajaran “top management” yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan K3.
2. Harus ada struktur organisasi yang bertanggungjawab terhadap program K3.
3. Harus ada orang-orang yang duduk dalam struktur manajemen dan orang
tersebut harus kompeten dalam mengelola K3, baik teori maupun praktek.
4. Adanya lembaga perwakilan karyawan yang independent sebagai tempat
manajemen berkonsultasi dan memberi masukan.
5. Adanya sistem dokumentasi dan administrasi K3.

3
6. Adanya program identifikasi dan pengendalian bahaya serta sistem evakuasi.
7. Tersedia peraturan, pedoman dan standar K3 yang relevan.
8. Tersedia program sertifikasi alat dan operator.
9. Tersedia program pelatihan bagi pelaksana maupun pengawas.
10. Tersedia program perawatan dan pemeliharaan peralatan/permesinan dan alat
proteksi diri.
11. Tersedia program pengawasan, pemeriksaan dan perawatan kesehatan.
12. Tersedia program pengawasan dan “compliance”
13. Adanya program audit secara berkala
14. Adanya mekanisme evakuasi, perbaikan dan peningkatan program K3.
15. Adanya pengawasan secara berkala dari pemerintah.
16. Adanya bench marking dan kinerja antar perusahaan pertambangan
17. Adanya komunikasi dalam bentuk pelaporan dari perusahaan.

A. Identifikasi Potensi Bahaya

Program keselamatan kerja harus sudah dilaksanakan dari tahap perencanaan operasi
pertambangan.

a. Tahap Seismik / Eksplorasi


Potensi bahaya yang dihadapi :
- Fisik : - tenggelam, tertimbun tanah
- bising, ledakan
- kecelakaan lalu lintas, dll.
- Kimia : - dinamit
- CO, CO2, SO2, CN
- Biologi : - Jamur, bakteri, kuman, virus, serangga beracun, ikan
beracun
- Psikososial : - tempat terpencil
- perilaku manusia

b. Tahap Konstruksi
Potensi bahaya yang dihadapi:
- Fisik : - operasi banyak menggunakan alat berat
- kendaraan ringan rawan dengan kecelakaan
- kedapatan mineral tidak merata dan tersebar.
- pertambangan umumnya padat karya
- bising
- Kimia : - masalah debu
- dinamit
- Biologi : - kimia, bakteri, virus, serangga, dll.
- Psikososial : - perubahan budaya K3.

Jumlah kecelakaan di Pertambangan Umum tahun 1993 – 2002.


Tahun
Sifat
1993 1994 1998 2002
Ringan 120 244 112 76
Berat 56 72 118 57
Fatal / Mati 10 34 23 24
Total 186 211 253 157

4
Realisasi dan Proyeksi Produksi Batubara
1997 1998 1999 2002 2003
54.825 61.100 72.641 105.500 109.600

Frekuensi Rate Kecelakaan 1992 – 2001

1,96 1,88

141
1,57 125 125

103

1992 1993 1995 2000

B. Potensi Hazard Kimia

Gas beracun
Gas beracun yang sering ditemukan dalam proses tambang adalah:
Metana (CH4), Karbon dioksida (CO2), Karbon Mono-oksida (CO),
Oksida-oksida Nitrogen (NO, N2O, NO2, N2O4, N2O2 dan N2O3);
Hidrogen Sulfida (H2S); Belerang dioksida (SO2); Ethana (C2H6);
Propana (C3H8); Butana (H4C10); dan Hidrogen (H2).

Sumber terjadinya gas racun:


1. proses pembakaran tidak sempuran
2. emisi gas buang dari mesin diesel
3. pernafasan manusia
4. peledakan
5. nyala lampu
6. oksidasi batu bara
7. pembusukan kayu penyangga
8. perlapisan batuan yang tertambang
9. dekomposisi bahan organik
10. reaksi asam dan batuan karbonat

5
Debu tambang

- Ukuran debu yang membahayakan 40 mikron efektif mengapung di


udara,
- Pada ukuran 210 mikron, debu akan mengendap

Pengaruh debu pada kesehatan:


- tergantung dari mineral
- konsentrasi, partikel, debu, satuan volume
- ukuran partikel waktu paparan tergantung dari konsentrasi partikelnya
- ketahanan tubuh

C. Potensi Hazard Biologi

Potensi hazard biologi:


- cacing
- arthropoda
- insekta

D. Potensi Psikososial

Potensi psikososial sudah mulai nampak pada tahap konstruksi penambangan.


Pekerjaan tampak diperlukan pada tahap ini sedang pada kenyataannya sulit
didapati pada sumber daya lokal. Kedatangan penduduk luar yang relatif lebih terampil
tidak jarang menimbulkan kecemburuan sosial. Penduduk setempat perlu dilibatkan
dalam kegiatan konstruksi. Bisa saja penduduk setempat sebagai pemasok barang-barang

6
produksi yang dibutuhkan proyek. Diperlukan koordinasi yang erat antara aparat
pemerintah daerah, perusahaan dan mereka yang dituakan oleh penduduk sekitar. Bila
perusahaan sibuk dengan jadwal pekerjaan dapat dipakai LSM yang benar-benar tulus
dalam melunakkan masalah ini. Kebanyakan LSM hanya bekerja di kota dan mencari
popularitas politik belaka.

E. Potensi Bahaya Kesehatan


Hasil penambangan seperti batubara memberikan potensi bahaya kesehatan. Di
luar negeri, pekerja yang menerima paparan debu selama 20 – 50 tahun menderita “black
lung disease”. Terdapat bukti debu batubara merupakan carcinogenic agent (memicu
pertumbuhan sel kanker).

Penelitian pekerja tambang batubara pada 9.343 dari 35 perusahaan tambang di


Amerika Serikat pada tahun 1972 – 1975 menghasilkan:
a. metoda pembacaan foto paru-paru dibagi dalam 4 kategori (0,1, 2, 3)
b. Hasil 4,9% kategori 1, sedang 1 % kategori PMF (Progressive Massive
Fibrosis)
c. Hasil diklasifikasikan antara lain menurut lama kerja di tambang dan tingkat
risiko penyakit pneumoconiosis.

Hubungan lama kerja dan risiko penyakit pneumoconiosis

Sumber: Michael Attfield; National Coal Study Prevalence of Coal Worker’s Pneumoconioses.

7
Pneumoconiosis Pekerja Tambang
- disebut simple CWP (Coal Worker Pneumoconiosis) bila terdapat gambaran
debu batu bara pada paru-paru.
- Bekerja di tambang > 10 tahun dan terdapat gambaran pada paru-paru disebut
“macula’ pada bronchole.
- Perkembangan progresif miacula dikelilingi jaringan kolagen dan retikulum.
- Perkembangan lanjut gambaran emphysema

Gambaran Complicated CWP / Progressive Massive Fibrosis:


- berbeda dengan simple CWP karena adanya proses immunologi.
- Biasanya pada kategori kelainan paru 2 atau 3.
- Terdapat gambaran jaringan kolagen dengan inti kalsium fosfat
- Gambaran klinis terjadi penurunan fungsi paru-paru.

IV. Dampak Lingkungan Pertambangan

A. Kepemilikan Bahan Galian Mineral

Status hukum lahan yang dipakai untuk penambangan harus jelas.


Tambang yang beroperasi di suatu wilayah selama 28 – 30 tahun harus mendapat
kepastian bahwa selama penambangan kepentingannya harus dilindungi.
Pengertian bahwa mineral yang ada dalam bumi dan air adalah milik Negara dan
bukan hak pemilik lahan diatasnya.
Beberapa kelompok masyarakat di daerah terpencil masih menganggap
bahwa merekalah pemilik bahan galian yang ada didaerahnya. Pengertian yang
salah mengenai siapa pemiliknya sering merupakan pemicu kerusuhan di sekitar
tambang. Pengertian kontak tambang sama sekali tidak memberikan hak atas
seluruh lahan yang tersebut di dalam kontrak.
Kekayaan yang ada di atas lahan yang terkena pertambangan harus diganti
rugi. Izin eksploitasi tidak berarti pemberian hak penuh oleh negara kepada
perusahaan sehingga pihak lain tidak dapat melakukan kegiatan sama sekali di
daerah kontak.
Daerah yang sudah selesai di tambang harus diperbaiki (direklamasi).
Lubang bekas tambang ditutup kembali dengan tailing dan diatasnya diberikan
lapisan tanah subur atau tanah pucuk. Pepohonan di tanam dan di rawat hingga
dalam beberapa tahun wilayah bekas tambang sudah dapat dimanfaatkan kembali
untuk kegiatan ekonomi lainnya. Penambang harus direklamasi kepada Negara.

B. Dampak Produksi dan Penggunaan Energi

Dampak penambangan batubara hampir sama dengan penambangan


mineral lainnya, dengan perbedaan perubahan panorama alam setelah
penambangan selesai. Penambangan batubara meninggalkan suatu ruang kosong
atau lubang di permukaan atau di dalam tanah.
Dampak penggunaan energi, kecuali energi nuklir, adalah terjadinya emisi
CO2, SOx, NOx, hidrokarbon, debu, dsb.
Sudah menjadi isu global adalah emisi CO 2 yang dianggap sebagai
penyebab pemanasan global dan SOx yang dianggap menimbulkan hujan asam.
Isu CO2 harus dilihat dari kacamata rasional kita, jangan sampai kita
terbawa arus dan kemudian mengambil sikap yang dapat menghambat
pembangunan.

8
Beberapa hal yang harus dicermati mengenai isu CO2:
- tidak dapat disangkal; bahwa pembangunan nasional dapat menyediakan
fasilitas modern.
- Pembangunan memerlukan penambahan energi.
- 58% produksi CO2 berasal dari negara maju dimana belum berhasil
menjadwalkan penurunan.
- Tidak perlu malu terhadap isu CO2

C. Penetapan Baku Mutu Lingkungan

Seyogyanya tiap negara harus memiliki standar nasional penetapan baku


mutu lingkungan. Namun sayangnya di negara berkembang, standar lingkungan
ditentukan dengan mencontoh baku lingkungan negara maju.
Harus diakui bahwa isu lingkungan digunakan oleh pihak tertentu untuk
menekan atau memenangkan persaingan atau perdagangan secara tidak
semestinya.
Perdagangan antar bangsa dihambat dengan dalih produksi tidak sesuai
dengan kaidah lingkungan. Karena itu perlu pemerintah mengatur dengan sebaik-
baiknya mengenai penetapan baku mutu lingkungan, misalnya: pembuangan
tailing dan serpihan pembakaran di banyak negara tidak termasuk bahan B3.
Tailing yang ditutup dengan tanah pucuk dan dikerjakan secara
engineering mampu meningkatkan nilai lahan dikarenakan topografi dan kontur
yang lebih menarik.

- Perlu ditingkatkan komunikasi dengan erat antara pemerintah, misalnya


departemen ESDM dan Menteri Negara Lingkungan Hidup, termasuk dengan
Asosiasi Pertambangan - Indonesian Mining Association (IMA) dan Asosiasi
Profesi Pertambangan sehingga baku mutu yag dipakai akan sungguh-sungguh
mencerminkan mutu yang dimaksud oleh kemampuan dunia bisnis.
- Hal ini diperlukan untuk menghindari pemerintah jalan sendiri, kemudian
asosiasi melakukan lobi dengan negara lain sehingga didapatkan peraturan
yang terlalu ketat atau tidak kendor.

V. UPAYA MENGURANGI KECELAKAAN

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meminimalkan terjadinya


kecelakaan dalam rangka menuju “zero-accident, antara lain dengan:

1. Kursus/pelatihan yang berkaitan dengan aspek K3.


Kursus/pelatihan ini terus dilakukan secara rutin, baik yang diadakan di
institusi pertambangan ataupun yang dilaksanakan di job site. Kursus ini
diikuti oleh semua lini manajemen guna mendukung berjalannya sistem
pengelolaan K3. Pelatihan semacam ini jelas, secara nyata memberi
kontribusi yang besar untuk menekan terjadinya kecelakaan yang ada.

2. Sistem Pengelolaan K3
Dengan diterapkan sistem pengelolaan K3 pada perusahaan-perusahaan di
bidang pertambangan umum, diharapkan bahwa K3 sudah terintegratif
lebih efektif dan optimal karena didukung oleh semua lapisan yang ada,
khususnya oleh pengelola.

3. Standar Kompetensi

9
Bahwa kegiatan/pekerjaan di pertambangan adalah penuh dengan resiko,
hal ini sesuai dengan sifat pekerjaan pertambangan yang spesifik: padat
investasi, padat teknlogi serta faktor lokasi yang memang penuh dengan
tantangan dan bahaya. Standar kompetensi diperlukan guna pemenuhan
standar pekerja tambang yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang
disyaratkan. Dengan diberlakukannya standar kompetensi, diharapkan
faktor-faktor resiko bahaya dapat dihilangkan atau dikurangi karena
pekerja-pekerja tambangnya yang sudah memenuhi kriteria kapabilitas
yang diisyaratkan.

Adapun rencana standar kompetensi sebagai tenaga khusus geologi dan pertambangan
yang akan dilakukan nantinya, adalah antara lain sebagai berikut:
- Manajer Tambang
- Superintendent Tambang
- Supervisor Tambang
- Juru Ledak
- Pengelola K3 Pertambangan
- Operator Crusher
- Surveyor Tambang
- Juru Bor
- Juru Ukur, dll.

VI. Kesimpulan

1. Kemitraan nasional menjadi kunci utama dalam pembangunan pertambangan.


Hubungan antara perencanaan pertambangan, pengendalian lingkungan dengan
operasi pertambangan tidak dapat dipisahkan pada strategi operasional
pertambangan.
2. Setiap Negara disarankan untuk menggali strategi pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
3. Pengetahuan terhadap dasar hukum pokok pertambangan, Keselamatan kerja,
pengelolaan lingkungan, lingkungan hidup dan Pemerintahan Daerah harus terus
disosialisasikan agar tidak saling tumpang tindih satu sama lainnya dikarenakan
kurangnya pemahaman latar belakang hukum
4. Pengendalian keselamatan kerja dan kerusakan lingkungan melalui kesistiman
cukup berhasil dengan adanya indikasi penurunan kecelakaan dan adanya
pengendalian lingkungan.
5. Belum ditemukan adanya masalah penyakit akibat kerja seperti penemuan yang
terjadi di AS (kasus black lung disease)

10
REFERENSI

Said, Umar,; Dampak Kegiatan Pertambangan dan Energi Pada Lingkungan;


Simposium Agenda 21 Indonesia, 1997
Willson, J.E.,; Technology of Coal Mining: Past, Present and Future; Health
Implications of New Energy Technologies; The Butterworth Group
Morgan, W. K. C.,; Pathophysiology of Coal Workers’ Respiratory Disease; Health
Implications of New Energy Technologies; The Butterworth Group.

11

Anda mungkin juga menyukai