LINGKUNGAN PERTAMBANGAN
I. Pendahuluan
Alam telah menganugerahkan berbagai kekayaan tambang dalam jumlah cukup banyak
kepada Indonesia. Minyak bumi merupakan pilihan utama untuk sumber energi. Namun
menurunnya produksi minyak bumi di Indonesia menimbulkan krisis energi. Maka perlu
dicari pilihan lain sebagai sumber energi. Pilihan jatuh kepada batubara yang memang
merupakan sumber energi penting di masa lalu.
Pada masa lalu negara Eropa Barat dan Amerika merupakan penggerak industrialisasi.
Kandungan terukur yang dimiliki Indonesia sebesar 36 milyar Ton harus didayagunakan
dan diusahakan, salah satu caranya adalah dengan melakukan eksplorasi batubara.
Namun sudah dikenal bahwa penambangan juga mempunyai potensi merusak lingkungan
dan menimbulkan permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja. Oleh karena itu perlu
suatu kompromi yang langgeng antara kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja
produksi tambang.
Di masa lalu, pengendalian limbah merupakan fokus perhatian. Berbagai peraturan telah
dibuat untuk mengendalikan dampak tersebut. Di masa sekarang dan masa depan perlu
lebih ditekankan pada masalah kesinambungan kegiatan manusia; yang berarti kebaikan
generasi hari ini tidak boleh sampai mengorbankan kesempatan generasi masa depan
dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sebagai dasar hukum pembinaan dan pengawasan keselamatan kerja dan lingkungan
yaitu:
1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan pokok pertambangan.
2. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja.
3. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan.
4. UU Lingkungan Hidup Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
5. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Menambang adalah mengambil mineral dari dalam atau permukaan tanah. Di sini tanah
harus diartikan secara luas, yaitu meliputi juga dasar laut.
1
Sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan, kegiatan “seismic” yaitu kegiatan untuk
menemukan terlebih dahulu kandungan mineral baik lokasi maupun jumlahnya,
kelayakan dan ekonomis penambangan harus diyakini oleh investor pertambangan
melalui kajian teknis ekonomis.
A. Kegiatan Eksplorasi
Menurut statistik kurang dari 10% wilayah yang dieksplorasi, layak untuk
dilanjutkan menjadi tambang. Pada sebagian eksplorasi tidak ditemukan cukup
banyak mineral yang secara ekonomis layak untuk dilakukan penambangan.
Jika eksplorasi berhasil menemukan cadangan mineral dan dari kajian kelayakan
menunjukkan cadangan mineral ekonomis untuk dikembangkan, maka dilanjutkan
dengan tahapan konstruksi tambang.
Untuk melakukan konstruksi tambang ini diperlukan investasi yang besar yang
digunakan untuk:
- Membangun fasilitas penambangan dan pengolahan biji
- Membangun bengkel peralatan
- Membangun fasilitas perkantoran dan pemukiman pegawai
- Mengembangkan jalur pemasaran,
- dll.
2
Dari jumlah 100 ton yang digali tersebut, 99 ton harus dibuang
kembali. Sisa gerusan berbentuk serbuk halus sering disebut “tailing”.
Pada penambangan logam, jumlah tailing yang dibuang sangat menonjol.
Namun pada umumnya dengan perencanaan yang baik, tailing dapat
dimasukkan kembali ke dalam lubang tambang, sehingga tidak
mengganggu lingkungan.
Karena pada umumnya tailing tidak merupakan bahan beracun,
maka di Amerika Serikat pembuangan tailing diatur dengan sub title D
peraturan EPA, bukan dengan sub title C untuk limbah beracun.
Tidak sebagaimana orang perkirakan operasi penambangan
dilaksanakan tahap demi tahap sesuai kemampuan produksi. Bukan seperti
perkiraan orang bahwa wilayah yang sudah diketahui ada cadangan
mineral lalu digali sekaligus.
Untuk pemurnian konsentrat di pabrik pemurnian dipakai
katalisator kimia, seperti air raksa, HCN disertai proses pemanasan.
Limbah pemurnian banyak mengandung racun.
D. Penutupan Tambang
Pada suatu saat mineral yang dikandung akan habis oleh proses
penambangan, maka lokasi tersebut harus ditutup. Penutupan tambang
harus disiapkan sebaik-baiknya sejak dari awal pengeksplorasian karena
memberikan dampak sosial dan lingkungan yang cukup besar. Pemerintah
daerah harus siap dalam menghadapi situasi ini.
3
6. Adanya program identifikasi dan pengendalian bahaya serta sistem evakuasi.
7. Tersedia peraturan, pedoman dan standar K3 yang relevan.
8. Tersedia program sertifikasi alat dan operator.
9. Tersedia program pelatihan bagi pelaksana maupun pengawas.
10. Tersedia program perawatan dan pemeliharaan peralatan/permesinan dan alat
proteksi diri.
11. Tersedia program pengawasan, pemeriksaan dan perawatan kesehatan.
12. Tersedia program pengawasan dan “compliance”
13. Adanya program audit secara berkala
14. Adanya mekanisme evakuasi, perbaikan dan peningkatan program K3.
15. Adanya pengawasan secara berkala dari pemerintah.
16. Adanya bench marking dan kinerja antar perusahaan pertambangan
17. Adanya komunikasi dalam bentuk pelaporan dari perusahaan.
Program keselamatan kerja harus sudah dilaksanakan dari tahap perencanaan operasi
pertambangan.
b. Tahap Konstruksi
Potensi bahaya yang dihadapi:
- Fisik : - operasi banyak menggunakan alat berat
- kendaraan ringan rawan dengan kecelakaan
- kedapatan mineral tidak merata dan tersebar.
- pertambangan umumnya padat karya
- bising
- Kimia : - masalah debu
- dinamit
- Biologi : - kimia, bakteri, virus, serangga, dll.
- Psikososial : - perubahan budaya K3.
4
Realisasi dan Proyeksi Produksi Batubara
1997 1998 1999 2002 2003
54.825 61.100 72.641 105.500 109.600
1,96 1,88
141
1,57 125 125
103
Gas beracun
Gas beracun yang sering ditemukan dalam proses tambang adalah:
Metana (CH4), Karbon dioksida (CO2), Karbon Mono-oksida (CO),
Oksida-oksida Nitrogen (NO, N2O, NO2, N2O4, N2O2 dan N2O3);
Hidrogen Sulfida (H2S); Belerang dioksida (SO2); Ethana (C2H6);
Propana (C3H8); Butana (H4C10); dan Hidrogen (H2).
5
Debu tambang
D. Potensi Psikososial
6
produksi yang dibutuhkan proyek. Diperlukan koordinasi yang erat antara aparat
pemerintah daerah, perusahaan dan mereka yang dituakan oleh penduduk sekitar. Bila
perusahaan sibuk dengan jadwal pekerjaan dapat dipakai LSM yang benar-benar tulus
dalam melunakkan masalah ini. Kebanyakan LSM hanya bekerja di kota dan mencari
popularitas politik belaka.
Sumber: Michael Attfield; National Coal Study Prevalence of Coal Worker’s Pneumoconioses.
7
Pneumoconiosis Pekerja Tambang
- disebut simple CWP (Coal Worker Pneumoconiosis) bila terdapat gambaran
debu batu bara pada paru-paru.
- Bekerja di tambang > 10 tahun dan terdapat gambaran pada paru-paru disebut
“macula’ pada bronchole.
- Perkembangan progresif miacula dikelilingi jaringan kolagen dan retikulum.
- Perkembangan lanjut gambaran emphysema
8
Beberapa hal yang harus dicermati mengenai isu CO2:
- tidak dapat disangkal; bahwa pembangunan nasional dapat menyediakan
fasilitas modern.
- Pembangunan memerlukan penambahan energi.
- 58% produksi CO2 berasal dari negara maju dimana belum berhasil
menjadwalkan penurunan.
- Tidak perlu malu terhadap isu CO2
2. Sistem Pengelolaan K3
Dengan diterapkan sistem pengelolaan K3 pada perusahaan-perusahaan di
bidang pertambangan umum, diharapkan bahwa K3 sudah terintegratif
lebih efektif dan optimal karena didukung oleh semua lapisan yang ada,
khususnya oleh pengelola.
3. Standar Kompetensi
9
Bahwa kegiatan/pekerjaan di pertambangan adalah penuh dengan resiko,
hal ini sesuai dengan sifat pekerjaan pertambangan yang spesifik: padat
investasi, padat teknlogi serta faktor lokasi yang memang penuh dengan
tantangan dan bahaya. Standar kompetensi diperlukan guna pemenuhan
standar pekerja tambang yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang
disyaratkan. Dengan diberlakukannya standar kompetensi, diharapkan
faktor-faktor resiko bahaya dapat dihilangkan atau dikurangi karena
pekerja-pekerja tambangnya yang sudah memenuhi kriteria kapabilitas
yang diisyaratkan.
Adapun rencana standar kompetensi sebagai tenaga khusus geologi dan pertambangan
yang akan dilakukan nantinya, adalah antara lain sebagai berikut:
- Manajer Tambang
- Superintendent Tambang
- Supervisor Tambang
- Juru Ledak
- Pengelola K3 Pertambangan
- Operator Crusher
- Surveyor Tambang
- Juru Bor
- Juru Ukur, dll.
VI. Kesimpulan
10
REFERENSI
11