Anda di halaman 1dari 20

A.

Isi Kebijakan Anti Korupsi


1. Pengertian kebijakan

Pengertian kebijakan, dimana menurut Winarno (2007:31) mengartikan istilah


kebijakan sebagai arah tindakan yang mempunyai tujuan yang diambil oleh Seorang actor
dalam mengatasi suatu persoalan atau permasalahan. Menurut Harbani Pasolong (2007:38)
mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu hasil analisis yang mendalam terhadap
berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik.

Menurut Anderson dalam buku Dr. Arifin Tahir (2015:21) kebijakan adalah suatu
tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau Sejumlah pelaku
untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Anderson mengklasifikasi kebijakan, policy,
menjadi dua yaitu substantif dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana
kebijakan tersebut diselenggarakan.

Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi


berkembangnya korupsi (Maheka,t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana
meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan bagaimana
menyelamatkan uang dan aset negara. ( Handoko, 2013:32)

Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup dengan menangkap dan
menjebloskan koruptor ke penjara, sebab peluang untuk berbuat korupsi terhampar luas di
hadapan para calon koruptor, terlebih lagi banyak tersedia arena bagi koruptor-Koruptor baru
untuk melampiaskan hasrat korupsinya. Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima
korupsi ,Ke sikap tegas menolak korupsi tidak akan pernah terwujud jika Generasi sekarang
yang masih memiliki hati nurani tidak mau dan mampu membina generasi muda untuk
mengevaluasi dan memperbarui nilai-nilai yang diwarisi dari generasi terdahulu dan sekarang
sesuai dengan tuntutan, perkembangan dan Kebutuhan bangsa. Nilai yang dimaksudkan di
sini adalah sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu
yang disukai atau sesuatu yang baik (Bertens, 2001: 139).

1
Nilai-nilai antikorupsi yang perlu disemaikan kepada generasi muda, terutama mereka
yang masih duduk di bangku TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi antara lain: (
Handoko, 2013:35-43)

a. Kejujuran

Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral
(Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat maju selangkah pun, karena ia
tidak berani menjadi diri sendiri.Lingkungan yang jujur menggelinding Terus tak tertahankan
akan membentuk masyarakat yang jujur dan masyarakat jujur seperti itu pada akhirnya akan
mampu membangun karakter bangsa yang jujur.

b. Tanggung jawab

Setiap orang harus Bertanggung jawab terhadap apa yang diniatkan, dikatakan, dan
Dilakukan, terlebih mereka yang mengaku dirinya pemimpin. Seorang pemimpin yang
bertanggung jawab terlahir dari individu yang bertanggung jawab. Seorang belum dapat
memimpin orang lain kalau ia tidak mampu memimpin dirinya sendiri.

c. Keberanian

Orang yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,
merupakan Agen penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Mengatakan
kebenaran adalah pahit dan buahnya adalah manis, yaitu terwujudnya pribadi dan masyarakat
yang baik dan benar.

d. Keadilan

Kata keadilan juga memiliki makna yang beragam. Cephalus, seorang hartawan
terkemuka Athena, memaknai keadilan sebagai bersikap fair dan jujur dalam membuat
kesepakatan (Rasuanto, 2005: 8).

e. Keterbukaan

Terbuka tidak berarti bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab Selengkap-
lengkapnya atau orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita.

f. Kedisiplinan

Hidup disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola militer dengan hidup di barak
bagai robot, tetapi hidup disipilin dipahami siswa atau mahasiswa dengan cara mengatur dan

2
mengelola waktu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Manfaat hidup
disiplin adalah Siswa atau mahasiswa dapat mencapai tujuan atau mengejar kepentingan
secara lebih efisien dan efektif.

g. Kesederhanaan

Hidup sederhana berarti hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang didasari oleh
suatu sikap mental rendah hati

h. Kerja keras

Pribadi Pekerja keras akan muncul dari sosok yang memiliki motivasi tinggi untuk
berubah dan pantang menyerah dalam segala keadaan. Pribadi pekerja keras dapat
diwujudkan dengan selalu melakukan Tanggung jawab secara sungguh-sungguh serta
melakukan segala Sesuatu dengan upaya terbaik, sekuat tenaga, penuh kecerdasan tinggi, dan
sepenuh hati

i. Kepedulian

Peduli merupakan sifat yang dapat membuat segala kesulitan dapat dihadapi, segala
keadaan dapat ditanggung bersama, dan keterbatasan pun dapat dicarikan solusinya

2. Kebijakan- Kebijakan yang sering terjadi Pada perusahaan :


a. Kebijakan Menerima Hadiah

Pengurus dan Karyawan dilarang menerima hadiah dari pihak lain yang berhubungan
dengan perusahaan karena dapat merusak atau memengaruhi pertimbangan bisnis yang baik,
sebagai Contoh:

 Memengaruhi pengambilan keputusan oleh yang bersangkutan


 Diperolehnya suatu jasa/keuntungan bagi pihak lain tersebut;
 Sebagai imbalan atas suatu jasa/keuntungan bagi pihak lain tersebut, baik di masa
lalu, masa kini maupun masa datang;
 Dan lain-lai

Penerimaan Hadiah sebagai imbalan atas aktivitas yang dilakukan selama jam kerja
prinsipnya adalah milik Perusahaan dan wajib diserahkan ke Perusahaan atau dapat
dikembalikan ke pihak yang memberikan.

b. Kebijakan Menerima Hiburan

3
Karyawan diperbolehkan menerima undangan sesekali untuk kegiatan olahraga,
hiburan atau Makan jika:

 Kegiatan itu tidak memengaruhi pertimbangan bisnis yang baik;


 Kegiatan itu mengikuti aturan Perusahaan pemberi hadiah;
 Kegiatan tidak diminta;
 Kegiatan jarang dengan nilai yang wajar, tidak berlebihan, dan masuk akal;
 Penerimaan undangan secara terbuka tidak memalukan Perusahaan dan pribadi terkait;
 Atasan menyetujui kegiatan itu sebelumnya.
c. Kebijakan Menerima Suap dan Kickback (Komisi Tidak Resmi)

Suap atau kickback adalah menerima uang, fee, selisih mark-up harga, komisi tidak
resmi, kredit, Hadiah, bantuan atau segala sesuatu yang bernilai, yang secara langsung atau
tidak langsung memengaruhi pertimbangan bisnis yang baik atau memperkaya diri sendiri,
keluarga atau pihak tertentu. Pengurus dan Karyawan tidak boleh menerima segala bentuk
suap dan kickback.

d. Tata Laku terhadap Pemasok

Perusahaan menjaga hubungan baik dengan para pemasok. Mereka adalah mitra
usaha.Hal-hal yang dilakukan:

 Memilih Pemasok secara Adil dan Objektif


 Negosiasi Kontrak secara Jujur dan Transparan
 Menghindari Penerimaan Suap, Komisi Tidak Resmi, Hadiah, dan Sejenisnya

Tujuan dari penerapan kebijakan Anti Korupsi ini adalah untuk mencegah kerugian
baik materil maupun immateriil, meningkatkan ketaatan peraturan, Kedisiplinan dan etika
Perseroan terhadap hukum, dalam melakukan kegiatan Operasional Perseroan sehari-hari
yang berhubungan dengan pihak eksternal, mitra kerja, dan instansi Pemerintah.Seluruh
karyawan dan Dewan Komisaris, Direksi wajib memastikan bahwa Aktivitas dan bisnis
Perseroan terhindar dari tindakan-tindakan korupsi sebagaimana didefinisikan dalam UU No.
31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yaitu terkait dengan kegiatan:

1. Merugikan Keuangan Negara


2. Suap-Menyuap

4
3. Penggelapan
4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang
6. Benturan Kepentingan
7. Gratifikasi

B. Pembuat Kebijakan Anti Korupsi

1. Pengetian Pembuat Kebijakan

Pembuat kebijakan ialah mereka yang mempunyai wewenang legal untuk terlibat
pada perumusan kebijakan publik maupun sosial. Pembuat kebijakan ini terdiri atas legislatif;
eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota
kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada
Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan administratif merujuk kepada
lembaga- lembaga pelaksana kebijakan. Pengadilan juga merupakan actor yang memainkan
peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview
kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. menggunakan kewenangan
ini, keputusan pengadilan mampu menghipnotis isi serta bentuk dari sebuah kebijakan publik
dan sosial. Selain pembuat kebijakan, ada juga peserta lain yang terlibat pada proses
kebijakan yg mencakup antara lain kelompok kepentingan, partai politik, organisasi
penelitian, media komunikasi, dan individu warga.

Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik merupakan hasil interaksi intensif antara
para aktor pembuat kebijakan berdasarkan pada fenomena yang harus dicarikan solusinya.
Menurut pendapat subarsono kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan
Keputusan Walikota/Bupati. Selain itu partisipasi masyarakat diikut sertakan agar dapat
menghasilkan keputusan yang terbaik.
Thomas R. Dye dalam Dunn memiliki 3 elemen dalam pembentukannya yaitu
kebijakan publik (public policy), pelaku kebijakan (policy stakeholders), dan lingkungan
kebijakan (policy environment). Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling
mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan,
namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan
kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik
itu sendiri.
5
Pengambilan keputusan untuk sebuah kebijakan tidak semata hanya melihat pada ketiga
elemen itu saja. Namun juga dipengaruhi terhadap tahap-tahap pembuatannya. Menurut Dunn
tahapan pembuatan kebijakan terbagi menjadi 5 tahap yaitu :

a. Penyusunan Agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, perlu adanya penyusunan agenda


dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah atau isu-isu mana saja yang akan
dijadikan prioritas untuk dibahas kemudian dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi
Kriteria permasalahan yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik diantaranya : a) Telah
mencapai titik kritis tertentu yang apabila diabaikan menjadi ancaman yang serius, b) Telah
mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis, menyangkut emosi
tertentu dari sudut kepentingan orang banyak, c) Mendapat dukungan media massa,
menjangkau dampak yang amat luas, d) Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat serta menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah
dirasakan kehadirannya)

b. Formulasi Kebijakan

Formulasi kebijakan bisa disebut juga dengan perumusan kebijakan yang merupakan
tahap awal pembuatan kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan
selanjutnya dibahas oleh para pembuat kebijakan kemudian dikelompokkan untuk mencari
hasil pemecahan masalah yang ada. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Namun, perumusan kebijakan tidak selalu
menghasilkan peraturan atau perintah eksekutif maupun aturan administrasi yang diusulkan.
Menetapkan suatu kebijakan diantara beberapa pilihan merupakan proses untuk memutuskan
kebijakan publik yang terbaik dan dalam hal inilah sebenarnya inti dari proses formulasi
kebijakan publik. Dalam formulasi kebijakan perlu diperhatikannya aspek-aspek yang
melingkupi prosesnya seperti aspek publik, aspek teknokrtis, dan aspek politis.

c. Adopsi/legitimasi Kebijakan

Adopsi/legitimasi kebijakan merupakan langkah lanjut setelah formulasi kebijakan


yang bertujuan untuk memberikan otorisasi atau kekuasaan pada proses dasar pemerintah.
Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah adalah sah. Proses legitimasi kebijakan membutuhkan sepenuhnya
kepercayaaan untuk
6
menentukan kebijakan seperti apa yang kemudian akan di sah kan oleh pemerintah. Ini adalah
tahap akhir dari sebuah keputusan pemilihan kebijakan kemudian secara pasti di ambil
kepastian dan penetapan kebijakan.

d. Implementasi Kebijakan

Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada tataran
implementasinya. Secara sederhana implementasi kebijakan merupakan tindakan dalam
proses pembuktian dari sebuah kebijakan. Untuk menganalisis proses implementasi kebijakan
dilakukannya beberapa pendekatan salah satunya adalah top-down. Pendekatan tersebut
bertitik-tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan atau kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pihak-pihak pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh seluruh aparatur,
administratur, atau birokrat di semua tingkatan yang terutama pada tingkatan bawah. Fokus
analisis pada pendekatan ini ada pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal kebijakan
yang telah ditentukan.

Dalam mengimplementasikan kebijakan terdapat beberapa model yang perlu


digunakan untuk menjadi pedoman agar pada saat pelaksanaan, kebijakan tersebut tidak akan
menyimpang dari yang telah dirumuskan. Model pendekatan implementasi kebijakan publik
yang dikemukakan Thomas R. Dye dikenal dengan istilah “Model Implementasi Interaktif”
yang menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis karena setiap pihak
yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai tahap pelaksanaan ketika terdapat
program yang dianggap kurang memenihi harapan stakeholders. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa setiap tahap implementasi dari kebijakan akan secara langsung dievaluasi
oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan dari setiap tahap pelaksanaan
dapat diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan yang di harapkan.

e. Penilaian/Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Pelaksanaan
evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam
seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Pelaksanaan evaluasi kebijakan pada dasarnya harus memperhatikan tiga hal yang menjadi
pokok yaitu : 1) Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberi informasi yang valid tentang

7
kinerja kebijakan, 2) Evaluasi kebijakan

8
berusaha untuk menilai kepantasan tujuan atau target dengan masalah yang dihadapi, 3
Evaluasi kebijakan berusaha juga untuk memberi sumbangan pada kebijakan lain terutama
dari segi metodologi.

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

Menurut Suharno (2010: 52-53) proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan


yang rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para
administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan
kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko
yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks).
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang turut diwaspadai
dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan
umum. Faktor- faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah:

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar tidak jarang pembuat kebijakan harus
memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari
luar.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama, kebiasaan lama dalam organisasi yang
sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan
investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan terkadang amat
birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun
keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut di kritik, karena sebagai
suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-
menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut di
pandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh
para pembuat keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya.
Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan
keputusan/kebijakan.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar lingkungan sosial dari para pembuat
keputusan/kebijakan juga berperan besar.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman
latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada
pembuatan kebijakan atau keputusan. Misalnya, orang mengkhawatirkan pelimpahan
wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan
9
(Suharno, 2010: 52-53).

10
C. Pelaksana Kebijakan Anti Korupsi

Dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantaran korupsi sebagaimana


diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang (2012-2015) dan
Jangka Menengah (2012-2014), yang diimplementasikan melalui aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (PPK), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Maret 2014
telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014.Instruksi ini ditujukan kepada para menteri Kabinet
Indonesia Bersatu II; Sekretaris Kabinet; Jaksa Agung; Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri); Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4); para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK); para
Sekretaris Jendral pada Lembaga Tinggi Negara; para Gubernur; dan para Bupati/Walikota.
Terkait dengan kebijakan pendidikan anti korupsi diantara 22 rencana aksi yang
dipaparkan terdapat 4 rencana aksi yang melibatkan peran Perguruan Tinggi dalam
pengimplementasiannya, baik implementasi dalam konten pembelajaran, interaksi antar
lembaga, sosialisasi, sampai pada pendidikan non formal. Di era reformasi seperti sekarang
ini, masih jarang dijumpai masyarakat secara individual yang memiliki keberanian
mengungkap kasus korupsi. Korupsi yang sudah dilakukan secara sistematis dan terorganisir
mungkin adalah salah satu penyebab ketakutan setiap orang untuk membedah tindak korupsi.
Siapa yang ‘berontak’ akan sangat mungkin malah tersisihkan. Hal ini tentunya akan
berujung pada keterbatasan ruang gerak si pembedah korupsi. Salah satu contoh praktek
korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan calon pegawai negeri.

Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit untuk


dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor penegak
hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus ini. Ironisnya,
pelajar yang dalam hal ini dikategorikan sebagai orang terdidik tidak mampu berbuat banyak.
Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Ketakutan dan kecemasan tentunya muncul
ketika seseorang dihadapkan pada sebuah sistem yang kukuh. Ketakutan dan kecemasan itu
muncul karena adanya ancaman terhadap nilai eksistensi dasar manusia (Teori Rollo May
dalam Friedman dan Schustack). Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga
hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan
‘kesetiaan’ akan kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling
disoroti.

11
Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja. Pendidikan
ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga mata pelajarannya
didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih pada aspek afektif dan
psikomotorik. Menekankan bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu, atau menghindari
sesuatu untuk mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses
penalaran moralberkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari
lingkungan. Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan
internalisasi nilai-nilai.

Peran Guru dan Dosen, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi kunci. Mereka
harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku jujur sebagai dasar
pembentukan karakter secara dini. Program Pendidikan Anti Korupsi bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan
kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian harapannya berdampak
pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat untuk bisa menyuarakan kearifannya
mengenai penyimpangan korupsi. Di samping itu juga bertujuan untuk membentuk kesadaran
publik terhadap setiap kegiatan yang mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para
penguasa atau pengambil kebijakan yang tidak mempedulika rakyat.

Strategi dan implementasi satuan pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Perlu adanya kebijakan Pendidikan Antikorupsi bangsa pada satuan pendidikan SMP.
2. Peningkatan kemampuan guru melalui pelatihan khusus dan dalam kegiatan di
MGMP mengenai pengintegrasian muatan kurikulum yang memuat nilainilai
kejujuran.
3. Keteladanan guru/orangtua: model atau teladan (kata dan perbuatan) sangat
diperlukan bagi berkembangnya karakter yang baik.
4. Pengintegrasian Pendidikan Antikorupsi bangsa dalam materi pelajaran (Pend.
Agama, Kewarganegaraan (PKn), IPS, IPA, Matematika, dan sebagainya.
5. Pengintegrasian Pendidikan Antikorupsi bangsa dalam kegiatan kokurikuler dan
ekstra- kurikuler (Pramuka, pencinta alam, Palang Merah Remaja atau PMR,
outbound, OSIS, dsb).
6. Kerja sama antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat mutlak dan perlu ada
pendidikan untuk orangtua dalam hal pendidikan nilai dan karakter karena orang tua
adalah pendidik pertama dan utama.
7. Kontrak pribadi/komitmen: komitmen dari setiap peserta didik akan menjadi bahan
12
pengembangan karakter jujur.

13
8. Pengembangan budaya sekolah melalui Morning Assembly: penegasan dari pimpinan
lembaga kepada anggota komunitas pendidikan atas nilai-nilai atau keutamaan yang
akan diarah dijadikan landasan berproses pada hari itu Refleksi sehabis kegiatan dan
harian.
9. Ekstra-kurikuler: ekstra-kurikuler menyediakan ruang dan kesempatan bagi peserta
didik untuk menampilkan diri secara orisinal. Orisinalitas dan kebiasaan penegasan
dan konsistensi tata-tertib: penegasan dan konsistensi dalam menegakkan tata tertib
dan disiplin akan menjadi daya dorong untuk merealisasikan Pendidikan Antikorupsi.
10. Pelibatan aktif dalam kegiatan nonakademik: melalui keterlibatan ini berbagai
keutamaan seperti jujur, tanggung jawab, setia, kerja sama, saling menghargai dapat
dikembangkan.

Strategi dan implementasi satuan pembelajaran dapat dilakukan dalam dua tataran,
yaitu sebagai berikut. Strategi Makro Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi (bekerja
sama dengan pemerintah dan masyarakat)

a. Perlu komitmen dari seluruh jajaran pendidikan di Perguruan Tinggi, pemerintah, dan
lembaga legislatif untuk melaksanakan Pendidikan Antikorupsi;
b. Penerapan Pendidikan Antikorupsi dari pendidikan dasar, menengah dan PT perlu
dilaksanakan secara konsisten dan keberlanjutan;
c. Perlu rule of conduct Pendidikan Antikorupsi yang disepakati berbagai pihak dan
dapat diterapkan di berbagai jenjang pendidikan secara konsisten dan berkelanjuta;
d. Perlu dukungan pemerintah yang nyata terhadap perguruan tinggi dalam pelaksanaan
Pendidikan Anti-korupsi. Dengan memasukkan Pendidikan Antikorupsi bangsa ke
dalam rencana strategi perguruan tinggi;
e. Dikembangkan kebijakan tentang Pendidikan Antikorupsi di setiap perguruan tinggi
(sistem reward & punishment);
f. Penyusunan rencana kegiatan (action plan) Pendidikan Antikorupsi bangsa untuk
setiap tahunnya, lengkap dengan indikator pencapaian;
g. Penyusunan sistem penjaminan mutu Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi.

Strategi Mikro Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi 1akikat Pendidikan


Antikorupsi di setiap PT:

a) Pengasahan inner capacity (Moral Knowing, Moral Feeling, Moral Action)

14
b) pendekatan: Penanaman Nilai, Perkembangan Kognitif, Analisis Nilai, Klarifikasi
Nilai, Pembelajaran Berbuat (dialog, diskusi, problem solving, dan berbagai
pengalaman dan penemuan).
c) Ciri kurikulum: keterpaduan (kognitif, afektif, psikomotor), kesinambungan dan
holistik (continuity, holistic, sustainability), sinkronisasi (antar dosen, ma-najemen
PT, mahasiswa, masyarakat sekitar, dan orang tua).
d) Strategi Pelaksanaan: pembiasaan, keteladanan, sentuhan kalbu, kedisiplinan dari
seluruh komponen perguruan tinggi.
e) Penyampaian: dalam satu mata kuliah, inherent dalam setiap mata kuliah (lintas
kurikulum), menjadi salah satu kompetensi dalam kelompok mata kuliah dasar
kepribadian.
f) Sistem evaluasi (multiple representation of understanding), asesmen, dan indikator
pencapaian Pendidikan Antikorupsi.
g) SDM : perlu dibangun keteladanan dari dosen, pimpinan, serta civitas akademika
lainnya agar dapat mendukung pelaksanaan Pendidikan Antikorupsi, sebagai contoh
konkret dan membangun konsistensi sikap dan perilaku dan utamakan pemberdayaan
dosen dan pimpinan perguruan tinggi dalam hal pengetahuan dan keterampilan
tentang Pendidikan Antikorupsi yang terintegrasi dengan bidang ilmu (pendidikan,
penelitian, pelatihan, sarasehan, forum dosen, dialog interaktif dan diskusi ilmiah).

Strategi dan Implementasi Pendidikan Antikorupsi di Masyarakat Strategi dan


implementasi pendidikan antikorupsi di masyarakat dapat dilakukan sebagai berikut.

 Perlu adanya kebijakan secara nasional dengan memasukan Pendidikan Antikorupsi


ke dalam kurikulum pendidikan di setiap PKBM.
 Semua lembaga pendidikan nonformal perlu menanamkan dan mengimplementasikan
kembali konsep dan nilai-nilai Pendidikan Antikorupsi baik yang bersumber dari
ideologi negara (Pancasila), agama, adat istiadat setempat yang relevan, maupun
norma susila lainnya.
 Perlu memberdayakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dengan
mengintegrasikan Pendidikan Antikorupsi, seperti: Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B dan C), Taman Bacaan Masyarakat
(TBM), berbagai kursus dan pelatihan keterampilan dengan berbasis pada pengelolaan
kearifan budaya masing-masing daerah.

15
 Perlu memberikan pembiayaan opersional PKBM melalui APBN atau program
Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan, agar strategi dan
implementasi Pendidikan Antikorupsi dapat disosialisasikan dan dibudayakan lebih
luas kepada berbagai lapisan masyarakat.

D. Evaluasi Kebijakan Anti Korupsi

Evaluasi merupakan salah satu bagian penting dalam siklus analisis kebijakan. Hal
mendasar yang dilakukan tahap evaluasi adalah mencermati apakah kebijakan yang
diimplementasi telah menghasilkan dampak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak
(Santoso, 2010) yang dikutip oleh (Oktavianto & Abheseka, 2019, p. 120).
Terdapat 3 pendekatan evaluasi, yakni evaluasi semua yang menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tanpa menanyakan manfaat, nilai dan
hasil-hasil kebijakan pada individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Evaluasi
formal yang mengevaluasi hasil berdasar pada tujuan kebijakan yang diumumkan secara
formal oleh pembuat kebijakan (Dunn, 2014). Dan evaluasi teoritis yang mengkaji hasil-hasil
kebijakan yang dilakukan oleh pelaku kebijakan (Oktavianto & Abheseka, 2019, p. 120).

Menurut Dunn (2003), terdapat 6 kriteria evaluasi, yakni efektivitas, efisiensi,


kecukupan, pemerataan, responsivitas dan ketepatan. Efektivitas terkait erat dengan
ketercapaian hasil sesuai tujuan kebijakan. Efisiensi berkenaan dengan jumlah usaha yang
diperlukan untuk mencapai tujuan kebijakan. Kecukupan terkait dengan seberapa jauh hasil
kebijakan memberi kepuasan terhadap pencapaian. Pemerataan, membahas tentang
pemerataan dampak kebijakan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat.
Responsivitas terkait tentang seberapa jauh kebijakan mendapat respon dari publik.
Sementara itu ketetapan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Kriteria-kriteria ini menjadi tolok
ukur untuk menjustifikasi berhasil atau tidaknya penerapan kebijakan terhadap target yang
sudah dibuat diawal (Oktavianto & Abheseka, 2019, p. 121).

Evaluasi kebijakan publik (public policy evaluation) merupakan salah satu tahapan
dari proses kebijakan publik (public policy process). Oleh karena itu, dibahas evaluasi
kebijakan di kemukakan Jones (2007: 60), bahwa “...suatu manfaatnya penting, dengan
indicator specification, techniques, and methods” (Suyatna, 2020, p. 326). The specification
of object, spesifikasi objeknya berarti mengevaluasi hasil berbagai macam kebijakan pidana
korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah sesuai dengan masalah- masalah yang dihadapi

16
oleh masyarakat.

17
The techniques of measurement, teknik pengukurannya yaitu cara-cara untuk mengevaluasi
kebijakan tindak pidana korupsi dengan teknik ilmiah dan sistematis dengan ukuran-ukuran
tepat. The methods of analysis, dari sudut metode analisisnya yaitu menunjukan hasil akhir
dari kegiatan mengevaluasi kebijakan tindak pidana korupsi: Apakah kebijakan itu
memberikan dampak positif yang lebih besar (Suyatna, 2020, p. 326).

1. Cara Evaluasi Pendidikan Antikorupsi

Cara evaluasi pendidikan antikorupsi seperti evaluasi objektif tentang kehadiran


siswa, selain dapat dipakai untuk menilai dampak pendidikan antikorupsi dalam sertiap
individu, juga bisa dipakai sebagai evaluasi bagi peningkatan kualitas sekolah. Pada
dasarnya, apa yang dilakukan individu akan memengaruhi kinerja komunitas. Transformasi
sikap ini bukan hanya sebuah prestasi bagi siswa sebagai individu, tetapi juga sebuah prestasi
bagi sekolah secara keseluruhan. Apa yang dilakukan individu memiliki makna dan
berpengaruh bagi perkembangan sekolah. Inilah prinsip dasar pendidikan antikorupsi di
sekolah (Manurung, 2012, p. 239).

Evaluasi pendidikan antikorupsi diatas sebenarnya masih memiliki sudut


pandang yang sifatnya kuratif-negatif, dalam arti, pendidikan antikorupsi dinilai dari kriteria
berkurangnya perilaku buruk yang terjadi dalam sekolah atau berkurangnya ketidakdisiplinan
dan dalam diri siswa di dalam kegiatan sekolah. Misalnya, kriteria tentang jumlah siswa yang
tidak bolos, tidak terlibat tindak kejahatan, narkoba, tidak lulus/ tidak naik kelas, tidak
terlibat tawuran pelajar, tidak mencontek, tidak terlambat menyerahkan tugas, dll, yang
semuanya dimulai dengan kata kunci “tidak” (Manurung, 2012, p. 239).

Evaluasi seperti ini, sesungguhnya baru merupakan langkah awal sebab penghayatan
nilai bukan semata-mata memiliki unsur kuratif, melainkan juga secara positif mampu
meningkatkan kreativitas siswa secara keseluruhan. Kalau di sekolah tidak ada lagi yang
membolos, tidak ada lagi yang terlibat tawuran pelajar, tidak ada lagi yang terlambat
menyerahkan tugas, tidak ada lagi yang tidak naik kelas, tidak ada lagi yang menyontek,
kriteria apa yang bisa kita pakai untuk menilai keberhasilan pendidikan antikorupsi? Kriteria
ini tidak lain adalah kreativitas, yaitu inisiatif yang akan tampil secara keseluruhan peforma
yang dimiliki sekolah yang lazim kita sebut sebagai prestasi. Sekolah yang berprestasi pasti
mampu mengatasi persoalan seputar perilaku tidak disiplin dan tidak jujur dalam diri siswa
dan semakin mengarahkan diri siswa kepada hal positif yang semakin menyempurnakan
kinerja pendidikan (Manurung, 2012, p. 239).

18
19
DAFTAR PUSTAKA

Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Presindo

Tahir, Arifin. 2015. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah


Daerah.Bandung: Alfabeta

http://www.riaumandiri.net

Tim MCW dalam http://niamw.wordpress.com

Friedman, Howard S. dan Mariam W. Schustrack. 2006. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset
Modern. Jakarta: Erlangga.

Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter dan Humanistik Jurnal


Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012

Eko Handoko, 2013. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta. Ombak

Dr. Suharno, M. S. (2013). Dasar-Dasar Kebijakan Publik . Yogyakarta : Penerbit Ombak


Dua .

Nugrohu, Riant D, (2003). Kebijakan Publik Evaluasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta,
Elex Media Komputindo,

Ismail, M. H., & Sofwani, A. (2016). Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan
Publik. JRP (Jurnal Review Politik), 6(2), 195-224.

Manurung, R. T. (2012). Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter


dan Humanistik. Jurnal Sosioteknologi, 11(27), 227-239.

Oktavianto, R., & Abheseka, N. M. (2019). Evaluasi Operasi Tangkap Tangan KPK.
Integritas: Jurnal Antikorupsi, 5(2), 117-131.

Suyatna, U. (2020). Evaluasi Kebijakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Sosiohumaniora:


Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, 22(3), 325- 333.

20

Anda mungkin juga menyukai