HASIL PENELITIAN
46%
(52 Pasien)
Primigravida
54% Multigravida
(62 Pasien)
Gambar 5.1 Jenis Kehamilan Pasien KPP periode Januari – Desember 2017 di
Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya
Generasi III :
- Sefotaksim 1 gram tiap 8 1-2gram tiap 6 76 pasien
jam IV (a) sampai 12 jam (c) (67%)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
2 1 1 1
Cefazoline
Pasien Pasien Pasien Pasien
1
Cefadroxil
Pasien
5 4 11 7 12 14 16 3 2 1 1
Cefotaxime
Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien
1
Cefixime
Pasien
1
Ceftriakson
Pasien
3 8 6 8 5
Erytromycin
Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien
Keterangan :
(1%) golongan
- Sefotaksim 45 pasien Sefalosporin
30 pasien
(39%) maupun
(26%)
- Sefiksim
1 pasien Erytromisin
Keterangan :
- Pasien dapat mengalami 1 atau lebih kriteria infeksi
Keberhasilan terapi antibiotik pada pasien KPP dapat dilihat dari data
hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan
laboratorium yang dapat diamati yakni nilai WBC, sedangkan data klinik yang
dapat diamati yakni pemeriksaan suhu tubuh, denyut nadi, dan respiration rate
pasien saat MRS dan KRS. Nilai WBC normal wanita hamil yakni berkisar 1.000-
17.000/ mm3, apabila melebihi nilai normal tersebut maka hal ini merupakan salah
satu indikator adanya infeksi. Demikian pula dengan suhu tubuh dan denyut nadi.
Lain halnya dengan nilai respiration rate wanita hamil dibandingkan dengan
wanita normal (tidak hamil). Nilai respiration rate wanita dewasa pada kondisi
normal yakni 16-20x/menit, sedangkan pada wanita hamil lebih rendah yakni 14-
15x/menit. Hal ini disebabkan pada wanita hamil terjadi hiperventilasi, sehingga
pernafasan lebih dalam dan lebih panjang (Ghanavati, 2009; Canadian Pediatric
Society, 2010). Adapun keterkaitan pemberian antibiotik terkait dengan data lab,
data klinik serta outcome terapi pada pasien saat KRS ditunjukkan pada tabel 5.8
16%
(18
Pasien)
Normal (Pervaginam)
Operasi
84%
(96
Pasien)
Gambar 5.2 Jenis Kelahiran Pasien KPP periode Januari – Desember 2017 di
Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya
5.6 Kondisi Pasien KPP Pada Saat Keluar Rumah Sakit (KRS)
Kondisi pasien KPP yang mendapatkan terapi antibiotik pada saat Keluar
Rumah Sakit (KRS) pada penelitian ini yakni seluruhnya dinyatakan sembuh dari
infeksi. Adapun data yang menjelaskan kondisi pasien KPP pada saat KRS dapat
dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10 Kondisi Pasien KPP Pada Saat Keluar Rumah Sakit (KRS)
Kondisi KRS Jumlah Prosentase (%)*
Pasien
Sembuh 114 100 %
*=Prosentase dihitung berdasarkan jumlah total pasien yaitu 114 pasien
Berdasarkan hasil penelitian, dari total 114 sampel pasien KPP
dinyatakan sembuh dan tidak beresiko terjadi infeksi, walaupun lama pemberian
terapi antibiotika berdasarkan Pedoman Terapi RSUA tahun 2017 dihentikan
setelah terjadi persalinan dan tidak sesuai dengan pedoman terapi berdasarkan
literatur.
BAB VI
PEMBAHASAN
RSUA, 2017).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang “Pola Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Ketuban Pecah Prematur” di kamar bersalin lantai 5 Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya periode Januari – Desember 2017 dapat
disimpulkan bahwa :
a. Jenis antibiotik yang digunakan adalah golongan sefalosporin meliputi ;
sefazolin (4%), sefadroksil (1%), sefotaksim (66%), sefiksim (1%) dan
golongan makrolid yaitu eritromisin (27%). Serta pergantian seftriakson
menjadi eritromisin (1%).
b. Regimentasi dosis yang digunakan adalah :
- Sefazolin diberikan dalam dosis 500 mg dengan frekuensi pemberian
dua kali sehari melalui rute intravena.
- Sefadroksil diberikan dalam dosis 500 mg dengan frekuensi
pemberian dua kali sehari melalui rute per-oral.
- Sefotaksim diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari melalui rute intravena.
- Seftriakson diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
dua kali sehari melalui rute intravena.
- Sefiksim diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari melalui rute per-oral.
- Eritromisin diberikan dalam dosis 250 mg dengan frekuensi
pemberian empat kali sehari melalui rute per-oral.
c. Lama pemberian antibiotik di RSUA dihentikan setelah bayi dilahirkan,
rata-rata pemberian 1-2 hari. Hal ini disebabkan sangat jarang sekali
ditemukan pasien KPP yang mengalami infeksi korioamnionitis.
7.2. Saran
a. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut secara prospektif untuk
mengatahui efektifitas capaian terapi penggunaan antibiotika sebagai
terapi pasien KPP.
b. Diperlukan adanya kolaborasi antar tenaga kesehatan, dimana farmasis
memainkan perannya untuk terlibat dalam manajemen terapi dan dosis
yang diberikan sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan oleh dokter.
Selain itu untuk memonitoring kondisi pasien terkait terapi yang diberikan
sehingga outcome terapi dapat tercapai.