Anda di halaman 1dari 21

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian yang berjudul “Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien


Ketuban Pecah Prematur” ini dilakukan di Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini telah melalui review dari Komite
Etika dan Hukum Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya dan telah
dinyatakan “Laik Etik” dengan surat keterangan lolos kaji etik nomor
120/KEH/2018 tanggal 1 Maret 2018 yang tertera pada lampiran 1. Berdasarkan
data pada buku registrasi, jumlah pasien KPP pada periode Januari – Desember
2017 sebanyak 183 pasien, tetapi DMK yang ditemukan sebanyak 114 pasien.
Dari 114 pasien KPP tersebut, semuanya berada pada usia produktif yaitu pada
rentang 15-45 tahun.

1.1 Demografi Pasien


5.1.1 Usia Pasien
Berdasarkan pada studi epidemiologi usia pasien KPP dalam penelitian
sebelumnya maka sebaran usia pasien KPP dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yakni usia ≤35 tahun dan >35 tahun. Pengelompokan ini hanya secara
karakteristik berdasarkan resiko usia pasien terhadap kehamilan secara umum,
sebab tidak ada pengaruh usia pasien terhadap resiko terjadinya KPP. Adapun
hasil sebaran usia pasien KPP tersebut terdapat dalam tabel 5.1 berikut :
Tabel 5.1 Sebaran Usia Pasien KPP pada periode Januari – Desember 2017 di
Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
Usia Pasien (Tahun) Jumlah Pasien Prosentase (%)*
≤35 98 86
>35 16 14
Total 114 100
*=Prosentase dihitung berdasarkan jumlah total pasien yaitu 114 pasien.
5.1.2 Perietas Kehamilan
Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa parietas kehamilan
diantaranya primigravida (hamil pertama kali) dan multigravida (hamil kedua
kali) merupakan salah satu faktor resiko terjadinya KPP pada kehamilan. Pada
penelitian ini, didapatkan hasil bahwa sebanyak 46% pasien mengalami KPP pada
kehamilan primigravida dan sebanyak 54% pasien mengalami KPP pada
kehamilan multigravida. Kejadian KPP lebih banyak terjadi pada kehamilan
multigravida, hal ini disebabkan oleh trauma sebelumnya pada serviks khususnya
pada persalinan pervaginam, dilatasi serviks dan kuretase (Cunningham, 2012).
Sebagaimana dijelaskan pada gambar 5.1.

46%
(52 Pasien)
Primigravida
54% Multigravida
(62 Pasien)

Gambar 5.1 Jenis Kehamilan Pasien KPP periode Januari – Desember 2017 di
Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya

1.2 Faktor Risiko KPP


Resiko kejadian KPP disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
parietas kehamilan, infeksi, peningkatan tekanan intrauterine yang ditandai
dengan bayi besar dengan berat >4000 gr, dan panggul sempit yang dapat
ditentukan dari tinggi badan ibu yang kurang dari 145 cm (Manauba, 2008).
Adapun faktor risiko dari kejadian KPP dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Faktor risiko KPP
No. Faktor Resiko Jumlah Pasien
1. Parietas Kehamilan
- Primigravida 52 pasien
- Multigravida 62 pasien
2. Infeksi 38 pasien
3. Peningkatan Tekanan Intrauterine
(TBJ >4000 gr) 13 pasien
4. Panggul Sempit (TB ibu <145cm) 9 pasien
Keterangan :
- Pasien dapat memiliki lebih dari 1 macam faktor resiko

1.3 Profil Penggunaan Antibiotik pada Pasien Ketuban Pecah Prematur,


Kaitannya dengan Data Lab / Data Klinik yang Menyertai dan Outcome
Terapi
Terapi obat pada pasien KPP di Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya disesuaikan berdasarkan gejala klinis yang dialami dan protap pada
Pedoman Diagnosa dan Terapi di Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya tahun 2017. Manajemen terapi secara umum
dilakukan dengan pemberian 3 jenis obat, yakni tokolitik yang digunakan untuk
menunda kelahiran, kortikosteroid untuk merangsang maturitas paru janin yang
dapat menurunkan insiden dari respiratory distress syndrome, dan antibiotika
untuk mengatasi infeksi akibat waktu latensi.

5.3.1. Jenis dan Regimen Antibiotik pada KPP


Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil penelitian penggunaan
antibiotika pada pasien KPP di Rumah Sakit Universitas Airlangga, terdapat
penggunaan 2 jenis antibiotika diantaranya golongan sefalosporin yang meliputi
sefazolin, sefadroksil, sefotaxim, seftriakson dan sefixim. Sedangkan antibotik
golongan makrolid yang digunakan yakni eritromisin (Pedoman Terapi RSUA,
2017). Adapun profil terapi obat yang diamati pada penelitian ini yakni
penggunaan antibiotik meliputi jenis, dosis, frekuensi pemakaian serta rute
pemakaian yang ditunjukkan pada pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Jenis, Frekuensi, Dosis, dan Rute Pemberian Antibiotik Pada Pasien
KPP
Golongan / Jumlah
Dosis RSUA Dosis Pustaka *
Macam Pasien

Sefalosporin 1 g tiap 8 jam


Generasi I : selama 2 hari IV 5 pasien
- Sefazolin 500 mg tiap 12
jam IV (a) (b) (4%)

500 mg tiap 12 jam


- Sefadroksil 500 mg tiap 12 selama 5 hari PO 1 pasien (1%)
jam PO (a)
(a)

Generasi III :
- Sefotaksim 1 gram tiap 8 1-2gram tiap 6 76 pasien
jam IV (a) sampai 12 jam (c) (67%)

1 gram tiap 12 1-4 gram tiap 24 jam


- Seftriakson 1 pasien (1%)
jam IV (a) (c)
1 gram tiap 8 200-400 mg tiap 12
- Sefiksim 1 pasien (1%)
jam PO (a) jam (c)

Makrolide : 250 mg tiap 6 jam


250 mg tiap 6 30 pasien
- Eritromisin selama 5 hari IV /
jam PO (a) (26%)
PO (d)
*Pustaka = a. Pedoman Terapi RSUA, 2017; b. ACOG, 2009; c. SOGC, 2013; d.
Syarif, 2007
KPP ditandai dengan merembesnya cairan ketuban dari jalan lahir
sebelum waktu kelahiran dan 1 jam kemudian tidak segera diikuti adanya tanda-
tanda kontraksi. Rembesan cairan ketuban didiagnosa dengan tes pH yang
menggunakan kertas Nitritazine test, adanya tanda cairan ketuban dapat diamati
dari perubahan kertas lakmus merah berubah menjadi biru. Sebab pH cairan
ketuban bersifat basa yaitu 7,0 – 7,5. Sedangkan kriteria terjadinya infeksi dapat
diamati dari data klinik dan data lab. Dari data klinik dapat ditinjau dengan
pemeriksaan suhu tubuh >37oC. Selain itu data lab yang mendukung adanya
infeksi yang ditunjukkan sebagian besar pasien KPP yaitu terjadi peningkatan dan
penurunan nilai WBC (Cunningham, 2001).
5.3.2. Perubahan Jenis Antibiotik
Mikroorganisme penyebab KPP tidak dapat diketahui karena tidak
dilakukan kultur peta medan kuman. Sehingga jenis antibiotik yang diberikan
berdasarkan antibiotik empiris. Adapun data jumlah pasien yang mendapatkan
terapi antibiotik maupun pergantian antibiotik dari golongan sefalosporin menjadi
golongan makrolide pada periode Januari – Desember 2017 ditunjukkan pada
tabel 5.4.
Tabel 5.4 Pergantian Jenis Antibiotika pada pasien KPP periode Januari –
Desember 2017
Jenis Antibiotika Prosentase*
Sefalosporin :
- Sefazolin 4%
- Sefadroksil 1%
- Sefotaksim 66%
- Sefiksim 1%
Makrolid :
- Eritromisin 27%
Pergantian :
- Seftriakson → Eritromisin 1%
Total 100%
*= Prosentase menunjukkan jumlah pasien yang menggunakan obat tersebut,
dihitung berdasarkan jumlah total 114 pasien.
Keterangan : → = Pergantian
5.3.3 Peta Pemberian Antibiotik Berdasarkan Waktu
Pemberian terapi antibiotika pada pasien KPP di Rumah Sakit
Universitas Airlangga periode Januari – Desember 2017 mengalami perubahan
dari pemberian antibiotik golongan Sefalosporin yang meliputi Sefazolin,
Sefadroksil, Sefotaksim, Sefiksim, dan Seftriakson menjadi golongan makrolid
yakni Eritromisin. Pergantian jenis antibiotika ini menyesuaikan perubahan
perkembangan peta medan kuman di Rumah Sakit Universitas Airlangga, seiring
dengan berjalannya waktu. Adapun peta penggunaan antibiotika yang didapatkan
dari hasil penelitian tersebut ditunjukkan pada tabel 5.5
Tabel 5.5 Peta Penggunaan Antibiotik pada Pasien KPP Periode Januari – Desember 2017

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des

2 1 1 1
Cefazoline
Pasien Pasien Pasien Pasien
1
Cefadroxil
Pasien

5 4 11 7 12 14 16 3 2 1 1
Cefotaxime
Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien

1
Cefixime
Pasien
1
Ceftriakson
Pasien
3 8 6 8 5
Erytromycin
Pasien Pasien Pasien Pasien Pasien
Keterangan :

: Penggunaan antibiotika golongan Sefalosporin berdasarkan Pedoman Terapi RSUA

: Penggunaan antibiotika Eritromisin berdasarkan Pedoman Terapi RSUA

: Penggunaan antibiotika golongan Sefalosporin

: Penggunaan antibiotika Eritromisin


Lama pemberian antibiotik golongan Sefalosporin dan Makrolid
berdasarkan literatur bervariasi, diantaranya Sefazolin diberikan selama 7 hari,
Sefadroksil diberikan selama 5 hari, Sefotaksim diberikan selama 7 hari, Sefiksim
selama 7 hari, dan Eritromisin diberikan selama 5 hari. Namun, berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa lama penggunaan antibiotika pada pasien KPP
bervariasi dan tidak sesuai dengan lama pemberian terapi berdasarkan literatur.
Adapun jarak lama pemberian antibiotik dengan lama persalinan dan jarak KRS
pada pasien KPP yang bervariasi, ditunjukkan pada tabel 5.6 dan lampiran 2.
Tabel 5.6 Lama Penggunaan Antibiotik Pada Pasien KPP
Jenis Antibiotika Lama Pemberian
Keterangan
Terapi (hari)
Sefalosporin : 1 hari 2 hari

- Sefazolin 1 pasien 4 pasien Lama waktu

(1%) (4%) pemberian


- Sefadroksil 1 pasien antibiotika baik

(1%) golongan
- Sefotaksim 45 pasien Sefalosporin
30 pasien
(39%) maupun
(26%)
- Sefiksim
1 pasien Erytromisin

(1%) dihentikan setelah

Makrolid : terjadi proses

- Erytromisin 18 pasien 13 pasien persalinan.


(16%) (11%)
Pergantian :
- Seftriakson → Erytromisin 1 pasien
(1%)
*= penggunaan jenis antibiotika berdasarkan jumlah pasien, yakni 114.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan dari 114 pasien dengan


diangnosa KPP, sebanyak 91 pasien dengan ketuban jernih dan 23 pasien dengan
warna ketuban putih keruh, kuning, hingga kehijauan. Adapun keterkaitan
pemberian antibiotik dengan data lab dan data klinik ditunjukkan pada tabel 5.7
Tabel 5.7 Pemberian Antibiotik pada Pasien KPP saat MRS keterkaitan dengan
data lab dan data klinik.

Kondisi Pasien MRS Jumlah Pasien

Dengan tanda - tanda infeksi 38 pasien

Tanpa tanda – tanda infeksi 76 pasien

Keterangan :
- Pasien dapat mengalami 1 atau lebih kriteria infeksi

Keberhasilan terapi antibiotik pada pasien KPP dapat dilihat dari data
hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan
laboratorium yang dapat diamati yakni nilai WBC, sedangkan data klinik yang
dapat diamati yakni pemeriksaan suhu tubuh, denyut nadi, dan respiration rate
pasien saat MRS dan KRS. Nilai WBC normal wanita hamil yakni berkisar 1.000-
17.000/ mm3, apabila melebihi nilai normal tersebut maka hal ini merupakan salah
satu indikator adanya infeksi. Demikian pula dengan suhu tubuh dan denyut nadi.
Lain halnya dengan nilai respiration rate wanita hamil dibandingkan dengan
wanita normal (tidak hamil). Nilai respiration rate wanita dewasa pada kondisi
normal yakni 16-20x/menit, sedangkan pada wanita hamil lebih rendah yakni 14-
15x/menit. Hal ini disebabkan pada wanita hamil terjadi hiperventilasi, sehingga
pernafasan lebih dalam dan lebih panjang (Ghanavati, 2009; Canadian Pediatric
Society, 2010). Adapun keterkaitan pemberian antibiotik terkait dengan data lab,
data klinik serta outcome terapi pada pasien saat KRS ditunjukkan pada tabel 5.8

Tabel 5.8 Outcome Terapi Pemberian Antibiotik saat Pasien KRS


Kondisi Pasien Kondisi Pasien Pada Saat KRS
Sembuh (Tidak Ada tanda- Tidak
Pada Saat MRS ada tanda- tanda infeksi dilakukan
tanda infeksi) Pemeriksaan
Ada tanda – tanda
38 pasien - -
infeksi (38 pasien)
Tidak ada tanda
71 pasien - 5 pasien
infeksi (76 pasien)

Dari tabel 5.8 dapat diketahui outcome terapi berdasarkan pemeriksaan


suhu tubuh, denyut nadi, dan respiration rate (RR) pada seluruh pasien KPP baik
saat MRS maupun KRS, namun untuk pemeriksaan WBC tidak dilakukan pada
setiap pasien KPP baik saat MRS maupun KRS, sehingga pemberian terapi
antibiotika diberikan secara profilaksis berdasarkan data empiris.

5.4. Problema Terkait Obat pada Pasien KPP


Problema terkait Obat (DRP) yang aktual terjadi pada pasien KPP dalam
penelitian ini ditunjukkan pada tabel 5.9.

Tabel 5.9 Problema terkait obat pada Pasien KPP


Jenis DRP Frekuensi Keterangan
Pasien
Lama pemberian terapi 114 Berdasarkan pedoman terapi
antibiotika tidak sesuai dengan (100%) RSUA, pemberian antibiotik
lama terapi yang pada sumber dihentikan setelah terjadi
data primer persalinan

5.5. Jenis Kelahiran Pasien dengan Diagnosa KPP


Jenis kelahiran pada pasien dengan diagnosa KPP ada dua macam. Yakni
kelahiran normal melalui rute pervaginam ibu dan kelahiran operasi atau biasa
disebut dengan caesar. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebanyak
96 pasien (84%) dengan diagnosa KPP menjalani proses kelahiran secara normal
(pervaginam) dan sebanyak 18 pasien (16%) menjalani kelahiran operasi. Adapun
jumlah pasien yang melakukan baik secara normal maupun operasi ditunjukkan
pada gambar 5.2.

16%
(18
Pasien)

Normal (Pervaginam)
Operasi
84%
(96
Pasien)

Gambar 5.2 Jenis Kelahiran Pasien KPP periode Januari – Desember 2017 di
Kamar Bersalin Lantai 5 Rumah Sakit Universitas Airlangga
Surabaya

5.6 Kondisi Pasien KPP Pada Saat Keluar Rumah Sakit (KRS)
Kondisi pasien KPP yang mendapatkan terapi antibiotik pada saat Keluar
Rumah Sakit (KRS) pada penelitian ini yakni seluruhnya dinyatakan sembuh dari
infeksi. Adapun data yang menjelaskan kondisi pasien KPP pada saat KRS dapat
dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10 Kondisi Pasien KPP Pada Saat Keluar Rumah Sakit (KRS)
Kondisi KRS Jumlah Prosentase (%)*
Pasien
Sembuh 114 100 %
*=Prosentase dihitung berdasarkan jumlah total pasien yaitu 114 pasien
Berdasarkan hasil penelitian, dari total 114 sampel pasien KPP
dinyatakan sembuh dan tidak beresiko terjadi infeksi, walaupun lama pemberian
terapi antibiotika berdasarkan Pedoman Terapi RSUA tahun 2017 dihentikan
setelah terjadi persalinan dan tidak sesuai dengan pedoman terapi berdasarkan
literatur.

BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian tentang pola penggunaan antibiotik pada pasien KPP periode


Januari sampai Desember 2017 dilakukan di Ruang Rekam Medik Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya selama bulan Maret sampai Mei 2018.
Berdasarkan data pada buku registrasi persalinan di kamar bersalin lantai 5 RSUA
didapatkan 183 pasien dengan diagnosa KPP, namun hanya 114 DMK pasien
yang ditemukan. Hal ini disebabkan karena jumlah pasien di RSUA overload
sedangkan ruang penyimpanan berkas rekam medik pasien kurang memadahi,
sehingga kemungkinan besar tercampurnya berkas pasien dengan diagnosa lain
terjadi. Dari 114 DMK tersebut seluruhnya masuk kedalam kriteria inklusi.
Berdasarkan penggolongan Wanita Usia Subur (WUS), seluruh pasien
yang mengalami KPP dalam penelitian ini berada pada usia produktif, yakni 15-
45 tahun. Usia ibu hamil tidak memiliki keterkaitan dengan KPP secara langsung,
namun usia ibu hamil yang berada diatas 35 tahun pada dasarnya memiliki
beberapa resiko diantaranya; meningkatnya kemungkinan keguguran sebab
kualitas sel telur mengalami penurunan sehingga janin tidak dapat berkembang
secara sempurna, lahirnya bayi pada kondisi prematur, berat badan bayi
berkurang, cacat atau kelainan kromosom, gangguan kesehatan ibu, dan diabetes
gestational. Pada penelitian ini, didapatkan data sebanyak 98 pasien (86%)
mengalami KPP pada usia ≤35 tahun dan 16 pasien dengan usia >35 tahun,
sebagaimana disebutkan pada tabel 5.1. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
kejadian KPP terbesar pada ibu hamil yang berusia <35 tahun, tetapi pada literatur
tidak ditemukan data usia pasien yang spesifik menjadi faktor resiko pada KPP
(Kemenkes RI, 2013).
Faktor resiko kejadian KPP pada ibu hamil diantaranya ; parietas
kehamilan, infeksi, peningkatan tekanan intrauterine, dan panggul sempit.
Pengaruh parietas kehamilan multigravida terhadap KPP disebabkan terjadinya
intradistensi rahim. Intradistensi rahim merupakan perubahan rahim menjadi besar
dan meregang yang menyebabkan iskemik otot-otot rahim sehingga menimbulkan
kontraksi untuk mengeluarkan isinya. Iskemik merupakan ketidakcukupan suplai
darah ke jaringan atau organ tubuh. Namun demikian, pada kehamilan
primigravida tidak menutup kemungkinan dapat terjadi KPP. Hal ini disebabkan
kurangnya pengalaman ibu hamil untuk menjaga kebersihan daerah kewanitaan
sehingga kemungkinan besar adanya infeksi oleh bakteri dapat terjadi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kejadian KPP terbesar terjadi pada kehamilan
multigravida. Pada penelitian ini, sebagaimana dijelaskan pada gambar 5.1 dan
tabel 5.2 didapatkan data bahwa kejadian KPP lebih banyak terjadi pada
kehamilan multigravida (hamil untuk kedua kali dan seterusnya) yakni 54%
dibandingkan dengan kehamilan primigravida (hamil pertama kali) yakni 46%.
Infeksi merupakan faktor resiko KPP. Hal ini disebabkan karena adanya infeksi
oleh bakteri pada traktus genitalis merambat kedalam rahim dan menginfeksi
selaput ketuban. Mikroorganisme yang menginfeksi ini berasal dari vagina ibu
dan serviks. Mikroorganisme pada vagina diantaranya Ureaplasma urealyticum,
Coagulase staphylococci, Candida albicans, Eschericia coli, Streptococcus milis,
Streptococcus intermedus, Staphylococcus epidermidis, Acinelobacter baumanii,
dan Candida tropicalis, sedangkan mikroorganisme yang ada di serviks antara
lain Candida trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, Tricomonas vaginalis, dan
Bacterial vaginosis. Karena adanya infeksi dari mikroorganisme, selaput amnion
dan kronion yang kuat melapisi janin tersebut mengalami perlemahan. Infeksi ini
dapat meningkatkan apoptosis sel amnion pada selaput ketuban, sehingga terjadi
peningkatan ekspresi dari protein bax dan protein p-53 (pro apoptosis) dan
penurunan ekspresi dari protein bcl-2 (antiapoptosis), yang menyebabkan induksi
matriksmetalloproteinase (MMP). Hal ini kemudian akan menyebabkan sintesis
matriks selaput ketuban menurun dan terjadi penurunan elastisitas selaput
ketuban. Penurunan kekuatan elastisitas selaput ketuban akan menyebabkan
terjadinya kerusakan selaput ketuban. Selain itu, kontraksi uterus dan peregangan
berulang, stimulasi paparan lokal matriksmetalloproteinase (MMP)-1, MMP-2,
MMP-9, peningkatan pembelahan ADP-Ribose juga mengakibatkan peradangan
akut pada membran korioamnion yang nantinya juga menjadi pemicu terjadinya
KPP. Tidak semua pasien mempunyai data lengkap terkait pemeriksaan kriteria
infeksi. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 26 pasien yang memiliki data
lengkap menunjukkan tanda-tanda infeksi. Faktor resiko peningkatan tekanan
intrauterine dapat terjadi apabila total berat janin (TBJ) diatas 4000 gram. Pada
penelitian ini didapatkan sebanyak 13 pasien KPP dengan TBJ >4000 gram. Sama
halnya dengan peningkatan tekanan intrauterin, faktor resiko KPP yang ditandai
dengan adanya panggul sempit ibu hamil ditentukan dengan pengukuran tinggi
badan ibu yang kurang dari 145 cm. Pada penelitian ini didapatkan data bahwa
sebanyak 9 pasien ibu hamil dengan panggul sempit. Dalam hal ini pasien dapat
mengalami lebih dari satu macam faktor resiko (Klein dan Gibbs, 2004; Manauba,
2008; Ghanavati, 2009; Cunningham, 2012; Klein dan Gibbs, 2004; Morgan,
2014).
KPP dapat meningkatkan resiko terjadinya korioamnionitis, endometritis,
bahkan kelahiran prematur. Korioamnionitis sangat berbahaya baik bagi ibu
maupun janin, bahkan beresiko besar menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan
oleh invasi mikroba pada cavum-amnion atau inflamasi selaput korioamniotik.
Terjadinya kelahiran prematur pada KPP dapat menyebabkan bayi mengalami
sindroma pernafasan atau biasa disebut dengan RDS (Respiratory Distress
Syndrom) dan penurunan skor APGAR. Skor APGAR ditentukan dengan
menghitung kuantitas dari tanda-tanda klinis depresi neonatal seperti; sianosis,
bradikardi, dan hipotonus. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi ini juga akan
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap sepsis dan pneumonia. Oleh karena itu
pemberian antibiotik menjadi penting pada kondisi KPP ini. Berdasarkan hasil
cochrane review, yang melibatkan 22 penelitian dengan 6872 pasien baik ibu
maupun bayi pemberian antibiotik pada preterm (<37 minggu) mampu
mengurangi resiko korioamnionitis, memperpanjang kehamilan, perbaikan
neonatal jangka pendek, serta menurunkan angka kematian baik ibu maupun bayi.
Sedangkan pada kehamilan near-aterm (mendekati 36 minggu) atau aterm (>37
minggu) didapatkan data bahwa tidak ada bukti manfaat penggunaan antibiotik
secara rutin mampu mengurangi resiko infeksi baik pada ibu maupun bayinya,
sehingga tidak ada anjuran penggunaan antibiotik secara rutin, kecuali didapatkan
tanda-tanda infeksi yang signifikan (Kenyon et. al., 2013; Wojcieszek et. al.,
2014; Sharp, 2014).

Berdasarkan literatur SOGC, terdapat dua jenis regimen pemberian


antibiotik terhadap pasien KPP. Regimen pertama, dengan pemberian 2 gram
ampisilin IV dan 250 mg eritromisin IV empat kali sehari, selama dua hari.
Setelah dua hari, dapat dilanjutkan regimen kedua dengan 250 mg amoksisilin per
oral atau 333 mg eritromisin per oral tiga kali sehari, selama 5 hari. Apabila
pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan antibiotika macrolide dosis
tunggal atau sefaleksin dengan dosis 500 mg per oral. Sama halnya dengan
menurut ACOG, antibiotik pilihan yang digunakan yakni antibiotik penisilin atau
antibiotik macrolide (eritromisin) dalam bentuk parenteral atau oral dengan dosis
dan regimen yang sama seperti SOGC. Menurut pedoman terapi di RSUA
pemberian antibiotik terhadap pasien KPP juga terbagi menjadi 2 regimen.
Regimen pertama, diberikan eritromisin 4 x 250 mg per oral dilanjutkan hingga
persalinan atau selama 5 hari jika konservatif. Regimen kedua, diberikan injeksi
sefazolin 3 x 1 gram IV selama dua hari atau hingga persalinan, dilanjutkan
sefadroksil atau sefaleksin 2x500 mg per oral selama 5 hari jika konservatif. Lama
pemberian antibiotik berdasarkan ACOG dan SOGC berbeda dengan lama
pemberian antibiotik di RSUA (SOGC, 2009; ACOG, 2013; Pedoman Terapi

RSUA, 2017).

Hasil penelitian di RSUA menunjukkan bahwa antibiotik diberikan pada


seluruh pasien KPP baik pada saat kehamilan aterm (≥37 minggu) maupun
preterm (<37 minggu). Sebagaimana dipaparkan pada tabel 5.3, jenis antibiotik
yang diberikan pada pasien KPP yaitu golongan sefalosporin yang meliputi ;
sefazolin 2x500 mg IV (4%), sefadroksil 2 x 500 mg PO (1%), sefotaksim
digunakan 3x1 gram IV (67%), seftriakson 2 x 1 gram IV (1%), sefiksim 3 x 1
(1%) gram PO dan golongan makrolide yakni eritromisin diberikan 4 x 250 mg
PO (26%) (Cipolle et al, 2012).
Sefalosporin termasuk kelas antibiotik yang paling penting yang dikenal
sebagai antibiotika ß-laktam, sebab antibiotika ini mempunyai cincin ß-laktam
pada setiap molekulnya. Antibiotik β-laktam bekerja dengan menghambat
biosintesis dinding sel di bakteri dan paling banyak digunakan sebagai anti
bakteri. Penelitian tentang antibiotik sefalosporin ini semakin berkembang seiring
dengan adanya peningkatan resistensi bakteri, oleh sebab itu golongan
sefalosporin berkembang hingga menjadi lima generasi. Sefazolin dan sefadroksil
merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama. Generasi pertama
sefalosporin memiliki spektrum yang sempit dan efektif bekerja pada gram positif
cocci, seperti Streptococci, Staphylococci, dan Enterococci. Spektrum generasi
pertama ini mencakup bakteri penyebab KPP. Berdasarkan literatur, dosis
pemberian sefazolin yakni 1-2 gram IV/IM tiap 8 jam dan sefadroksil 500 mg PO
tiap 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian, dosis pemberian sefazolin yakni 500 mg
tiap 12 jam IV dan sefadroksil 500 mg tiap 12 jam PO. Dengan demikian
pemberian dosis antibiotik generasi pertama pada pasien KPP sesuai dengan
literatur (Syarif, 2007; ACOG, 2009; Devansh, 2016).
Sefotaksim, seftriakson, dan sefiksim merupakan generasi ketiga
sefalosporin yang sebagian besar memiliki efektivitas pada bakteri gram negatif
seperti Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan
Proteus mirabilis yang tidak menghasilkan enzim ESBL. Sefalosporin generasi
ketiga ini lebih stabil terhadap ß-laktamase dan mampu menembus dinding sel
bakteri gram negatif sehingga mampu mencegah infeksi yang lebih berbahaya.
Sefalosporin generasi ketiga juga merupakan antibiotik berspektrum luas,
sehingga sesuai untuk pemberian terapi pada KPP. Berdasarkan literatur,
sefotaksim diberikan 1-2 gram IV tiap 6-12 jam, seftriakson diberikan 1-4 gram
IV tiap 12 jam dan sefiksim 1 gram PO tiap 8 jam. Berdasarkan hasil penelitian,
pemberian sefotaksim dengan dosis 1 gram IV tiap 8 jam, seftriakson 1 gram IV
tiap 12 jam, dan sefiksim 1 gram per-oral tiap 8 jam. Pemberian dosis sefotaksim,
seftriakson, dan sefiksim berdasarkan hasil penelitian sesuai dengan dosis yang
ditetapkan pada literatur (Syarif, 2007; Devansh, 2016).
Selain golongan sefalosporin, antibiotik golongan makrolid yang
digunakan untuk mengatasi infeksi pada pasien KPP yakni eritromisin.
Mekanisme kerja eritromisin ini dengan menghentikan pertumbuhan bakteri.
Bakteri yang dapat dihambat dengan eritromisin diantaranya Streptococcus
agalactiae, Escherichia coli, Bacteroides fragilis, Porphyromonas
asaccharolytica, Peptostreptococcus, atau Prevotella bivia. Berdasarkan literatur,
dosis yang dianjurkan untuk terapi infeksi pada pasien KPP yakni 250 mg tiap 6
jam selama lima hari, melalui rute per-oral. Berdasarkan hasil penelitian
pemberian eritromisin dengan dosis 250 mg tiap 6 jam PO. Pemberian dosis
eritromisin berdasarkan hasil penelitian sesuai dengan pedoman pemberian dosis
pada literatur (AHFS, 2011; SOGC, 2013).
Rute pemberian antibiotik pada penelitian ini yaitu melalui intravena dan
per-oral. Tidak ada hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa pemberian
antibiotik lebih baik diberikan secara intavena dibandingkan melalui rute per-oral.
Rute pemberian obat secara intravena tidak ada fase absorbsi, obat langsung
masuk ke vena, sehingga onset of action lebih cepat dan efisien. Sedangkan rute
per oral memiliki keterbatasan sebab absorbsi, distribusi dan metabolisme obat
melalui saluran pencernaan sehingga onset of action lebih lambat. Oleh karena itu
rute intravena umumnya diperlukan untuk kondisi infeksi berat, sedangkan untuk
infeksi ringan rute pemberian per oral ini menjadi pilihan terapi sebab
penggunaan lebih nyaman, aman, dan tidak mahal (Leon, 2005).
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa terdapat pasien yang mengalami
pergantian jenis antibiotik. Pergantian jenis antibiotik yang digunakan yakni dari
golongan sefalosporin menjadi eritromisin yang termasuk golongan makrolid. Hal
ini disebabkan adanya kebijakan baru terkait pemberian antibiotik pada pasien
KPP, bahwa golongan sefalosporin diganti menjadi eritromisin dimulai sejak
bulan Agustus 2017, sebagaimana disebutkan pada tabel 5.5. Namun dari hasil
penelitian didapatkan bahwa pada bulan Agustus ditemukan 1 pasien masih
menggunakan sefadroksil, 3 pasien menggunakan sefotaksime, dan 1 pasien
menggunakan seftriakson. Demikian juga pada bulan September, Oktober,
November juga ditemukan pasien yang masih mendapatkan terapi sefotaksim. Hal
ini kemungkinan disebabkan pasien mengalami infeksi lebih berat sehingga
memerlukan pemberian antibiotik golongan sefalosporin atau belum semua klinisi
mendapatkan sosialisasi tentang perubahan terkait penggunaan antibiotik tersebut
(Pedoman Terapi RSUA, 2017).
Berdasarkan literatur ACOG dan SOGC, lama pemberian antibiotik
untuk terapi pasien KPP selama 5-7 hari. Berbeda dengan ACOG dan SOGC,
pemberian antibiotik di RSUA adalah sampai bayi dilahirkan, sebagaimana
ditunjukkan data pada tabel 5.6 dan lampiran 2. Rata-rata lama penggunaan
antibiotik hanya dilakukan 1-2 hari. Alasan yang mendasari perbedaan ini yaitu
sangat jarang pasien KPP mengalami infeksi korioamnionitis. Korioamnionitis
atau infeksi intraamniotik merupakan peradangan akut membran dan korion
plasenta yang disebabkan adanya infeksi bakteri polimikroba. Hal ini ditandai
dengan timbulnya gejala seperti demam, takikardi, dan berkeringat.
Korioamnionitis ini merupakan komplikasi yang serius bagi ibu dan janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti ; infeksi pascapartum dan sepsis.
Sementara komplikasi yang merugikan pada bayi seperti ; lahir mati, kelahiran
prematur, sepsis neonatal, penyakit paru-paru kronis dan cedera otak yang
menyebabkan cerebral palsy (kelumpuhan otak), dan cacat perkembangan saraf
lainnya (ACOG, 2009; Andrews, et. al., 2010; SOGC, 2013; Pedoman Terapi
RSUA, 2017).
Parameter indikasi infeksi pada pasien KPP ditentukan dari peningkatan
nilai WBC, suhu tubuh, denyut nadi dan respiration rate pasien KPP yang berada
diatas nilai normal pada kondisi hamil. berdasarkan kelengkapan data lab dan
data klinik pada pasien dengan diagnosa KPP didapatkan sebanyak 38 pasien
MRS dengan tanda-tanda infeksi dan 76 pasien MRS tanpa disertai adanya tanda-
tanda infeksi. Dalam hal ini pasien dapat mengalami satu atau lebih kriteria
infeksi. Sebagaimana telah dijelaskan pada tabel 5.7.
Outcome terapi antibiotik ditunjukkan melalui penurunan nilai pada data
klinik yakni suhu tubuh atau data lab yakni WBC pasien dari saat MRS hingga
KRS. Berdasarkan literatur, nilai suhu tubuh normal bila 34,7 – 37,5oC.
Sedangkan untuk nilai normal WBC pada ibu hamil dan setelah melahirkan
berbeda dengan wanita dewasa tidak hamil. Nilai normal WBC pada wanita hamil
yakni 10,0 - 17,0 x 103 /mm3 dan melebihi normal apabila >17.103/mm3. Pada
DMK pasien dengan diagnosa KPP tidak semua pasien menjalani pemeriksaan
WBC dan tidak terdapat pemeriksaan WBC saat pasien KRS. Sehingga outcome
terapi antibiotika ditentukan berdasarkan kelengkapan data pemeriksaan lab
maupun klinik pasien pada saat KRS. Pada penelitian ini, didapatkan data bahwa
outcome terapi antibiotik pada pasien KPP saat MRS baik yang terdapat tanda-
tanda infeksi maupun tidak seluruhnya dalam kategori sembuh tidak ada tanda-
tanda infeksi. Namun ditemukan sebanyak 5 pasien KRS tidak dilakukan
pemeriksaan baik lab maupun klinis. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 5.8 dan
5.10 (Ghanavati, 2009; Canadian Pediatric Society, 2010).
Drug Related Problem (DRP) merupakan kejadian yang tidak diinginkan
yang dialami pasien terkait dengan pemberian terapi obat untuk mengatasi KPP
dengan pemberian antibiotika. Antibiotik yang diberikan kepada pasien KPP ini
bersifat profilaksis untuk menghindari resiko infeksi yang tidak diharapkan.
Adapun cara dan lama pemberian antibiotika harus sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan untuk menghindari resistensi penggunaan antibiotika terebut. Namun,
berdasarkan data pada DMK pasien dengan diagnosa KPP di Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya, ketidaksesuaian pasien terkait dengan lama
terapi antibiotika terjadi pada seluruh pasien KPP. Sebab pemberian antibiotika
ini disesuaikan dengan protap RSUA yang menyatakan “Pemberian antibiotika
dihentikan setelah terjadi persalinan” sebagaimana ditunjukkan pada tabel 5.9
(Cipolle et al, 2012).
Berdasarkan data rekam medik pasien KPP di RSUA jumlah pasien yang
menjalani kelahiran normal sebanyak 96 pasien sedangkan kelahiran operasi
sebanyak 18 pasien. Apabila diakumulasikan dalam prosentase kelahiran normal
(pervaginam) yakni 84%, sedangkan 16% nya kelahiran operasi (gambar 5.2).
Berdasarkan urian diatas, penelitian ini masih banyak keterbatasan
karena bersifat retrospektif yang mana memiliki kekurangan, diantaranya tidak
semua DMK dapat ditemukan berdasarkan buku registrasi pasien, tidak semua
DMK tercantum data klinik dan data lab yang lengkap, penulisan dosis yang
sesuai. Selain itu dalam pengelolaan dosis antibiotika bersifat individual yakni
hanya ditetapkan olah dokter yang berpraktek pada saat itu sehingga diperlukan
adanya kolaborasi antar tenaga kesehatan. Selain itu farmasis juga harus
memainkan perannya dalam membantu dokter terkait dalam pengkajian dosis dan
efek samping penggunaan obat, walaupun penggunaan antibiotik sangat minim
kemungkinannya menimbulkan efek samping. Serta memberikan edukasi kepada
pasien terkait terapi yang diberikan, sehingga outcome terapi yang diharapkan
dapat tercapai.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang “Pola Penggunaan Antibiotika Pada
Pasien Ketuban Pecah Prematur” di kamar bersalin lantai 5 Rumah Sakit
Universitas Airlangga Surabaya periode Januari – Desember 2017 dapat
disimpulkan bahwa :
a. Jenis antibiotik yang digunakan adalah golongan sefalosporin meliputi ;
sefazolin (4%), sefadroksil (1%), sefotaksim (66%), sefiksim (1%) dan
golongan makrolid yaitu eritromisin (27%). Serta pergantian seftriakson
menjadi eritromisin (1%).
b. Regimentasi dosis yang digunakan adalah :
- Sefazolin diberikan dalam dosis 500 mg dengan frekuensi pemberian
dua kali sehari melalui rute intravena.
- Sefadroksil diberikan dalam dosis 500 mg dengan frekuensi
pemberian dua kali sehari melalui rute per-oral.
- Sefotaksim diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari melalui rute intravena.
- Seftriakson diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
dua kali sehari melalui rute intravena.
- Sefiksim diberikan dalam dosis 1 gram dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari melalui rute per-oral.
- Eritromisin diberikan dalam dosis 250 mg dengan frekuensi
pemberian empat kali sehari melalui rute per-oral.
c. Lama pemberian antibiotik di RSUA dihentikan setelah bayi dilahirkan,
rata-rata pemberian 1-2 hari. Hal ini disebabkan sangat jarang sekali
ditemukan pasien KPP yang mengalami infeksi korioamnionitis.
7.2. Saran
a. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut secara prospektif untuk
mengatahui efektifitas capaian terapi penggunaan antibiotika sebagai
terapi pasien KPP.
b. Diperlukan adanya kolaborasi antar tenaga kesehatan, dimana farmasis
memainkan perannya untuk terlibat dalam manajemen terapi dan dosis
yang diberikan sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan oleh dokter.
Selain itu untuk memonitoring kondisi pasien terkait terapi yang diberikan
sehingga outcome terapi dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai