Anda di halaman 1dari 25

URGENSI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

TERHADAP TAFSIR QS AN-NISA’ AYAT 36-40


Makalah disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu: Hj. Any Mashlahah, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 4

1. Hikmatul Uli Chomsa NIM. 2011010006


2. Afrikha Dhihniya NIM. 2011010014
3. Siti Mardhiyah NIM. 2011010035
4. Faezal Indra Rukmana NIM. 2011010033

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2022
A. Tampilan Ayat dan Terjemah
1. QS. An-Nisa’ ayat 36
ِ ‫ار ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْال َج‬
‫ار‬ ِ ‫ين َو ْال َج‬ِ ‫َوا ْعبُدُوا هَّللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا ۖ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن ِإحْ َسانًا َوبِ ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِك‬
‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ِإ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْختَااًل فَ ُخورًا‬
ْ ‫ب َواب ِْن ال َّسبِي ِل َو َما َملَ َك‬ ِ ‫ب بِ ْال َج ْن‬
ِ ‫َّاح‬
ِ ‫ب َوالص‬ ِ ُ‫ْال ُجن‬
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”
2. QS. An-Nisa’ ayat 37
َ َّ‫الَّ ِذينَ يَ ْب َخلُونَ َويَْأ ُمرُونَ الن‬
‫اس بِ ْالب ُْخ ِل َويَ ْكتُ ُمونَ َما آتَاهُ ُم هَّللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ِه ۗ َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذابًا ُم ِهينًا‬
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir,
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”
3. QS. An-Nisa’ ayat 38
‫اس َواَل يُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۗ َو َم ْن يَ ُك ِن ال َّش ْيطَانُ لَهُ قَ ِرينًا فَ َسا َء قَ ِرينًا‬
ِ َّ‫َوالَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ َأ ْم َوالَهُ ْم ِرَئا َء الن‬
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena
riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi
temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”
4. QS. An-Nisa’ ayat 39
‫َو َما َذا َعلَ ْي ِه ْم لَوْ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر َوَأ ْنفَقُوا ِم َّما َر َزقَهُ ُم هَّللا ُ ۚ َو َكانَ هَّللا ُ بِ ِه ْم َعلِي ًما‬
Artinya: “Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada
Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan
Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.”
5. QS. An-Nisa’ ayat 40
‫ت ِم ْن لَ ُد ْنهُ َأجْ رًا َع ِظي ًما‬
ِ ‫ضا ِع ْفهَا َويُْؤ‬ ْ َ‫ِإ َّن هَّللا َ اَل ي‬
ُ َ‫ظلِ ُم ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة ۖ َوِإ ْن ت‬
َ ُ‫ك َح َسنَةً ي‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”
B. Asbabun Nuzul
1. Asbabun Nuzul QS. An-Nisa’ ayat 37
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Sa’id bin Jubair, dia telah menyebutkan
bahwa para ulama bani israil dahulu sangat kikir untuk mengajarkan ilmu mereka.
Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, “(yaitu) orang-orang yang
kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah
yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’:37)
Ibnu Abi Jarir, meriwayatkan melalui jalur Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin
Abi Muhammad dari Ikrimah atau Sa’id dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata,
“Dahulu, Kardum bin Zaid, sekutu Ka’ab bin al-asyraf, Bersama Usmah bin
Habib, Nafi bin Abi Nafi, Bahri bin Amr, Huyay bin Akhthab, dan Rif’ah bin Zaid
bin at-Tabut mendatangi beberapa orang Anshar dan memberi nasihat kepada
mereka, ‘Janganlah kalian menyedekahkan harta kalian karena kami khawatir
kalian akan menjadi fakir dengan hilangnya hart aitu. Jangan terburu-buru kalian
menyedekahkannya karena kalian tidak mengetahui apa yang akan terjadi.” Oleh
karena itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya kepada orang-orang Yahudi
tersebut (Hayyie, 2008).
C. Tafsiran Ayat
1. QS. An-Nisa’ ayat 36
َ ‫َوا ْعبُدُوا هَّللا‬
"Dan sembahlah olehmu akan Allah."

Hendaklah tegakkan ibadah, hendaklah engkau sadar selalu bahwa engkau ini
adalah 'abdun, yaitu hamba dari Allah dan Dia adalah ma'bud-mu, yaitu tempat
menghadapkan sembah. Kalau hal ini telah disadari, kelak dengan sendirinya
segala gerak-gerik kehidupan kita telah jelas tujuannya, yaitu mencapai ridha
Allah SWT. Sepintas lalu kita hanya mengenal bahwa yang dikatakan ibadah
hanya shalat, puasa, zakat, dan naik haji. Tetapi kalau kita telah menyadari bahwa
kita ini adalah hamba dan Allah yang jadi ma'bud, akan terasalah kelak bahwa
ibadah yang tersebut hanyalah sebagian dari ibadah. Dan segala perbuatan yang
baik, seumpama berdagang, bersawah, dan berladang, membelanjai istri dan
mendidik anak, sampai pun menjaga kesehatan sendiri, menjadi ibadah semua.
Dan ibadah akan kita kerjakan dengan penuh kesadaran karena selaku kita dzikir,
yaitu ingat kepada Allah. Dan dzikir itu menimbulkan thuma'ninah yaitu
ketenteraman hati, sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ra'd, ayat 38,
bahwasanya ingat akan Allah membawa tenteram bagi hati.
Maka kalau orang telah beribadah kepada Allah, dengan sendirinya tidaklah
lagi dia akan memakan harta anak yatim, atau memakan harta kamu di antara
kamu dengan batil, atau membagikan harta waris dengan curang, atau berlaku
zalim kepada istri, atau berlaku nusyuz kepada suami, atau syiqaq yang membawa
pecah rumah tangga.
Maka beribadah kepada Allah, hendaklah semata-mata kepada Allah, Esa
tujuan. Satu yang dicitakan sehingga dijelaskan pada terusan ayat,
‫َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا‬
"Dan jangan kamu persekutukan dengan Dia sesuatu jua pun."

Artinya jangan musyrik. Jangan memandang ada sesuatu yang lain dari Allah
mempunyai pula sifat-sifat ketuhanan, menolong melepaskan dari kesulitan dan
membawa kemanfaatan, lalu yang lain itu di-sembah dan dibesarkan pula. Padahal
tidak sesuatu pun yang selain Allah yang memberi manfaat atau mendatangkan
mudharat. Syirik sudahlah pasti mendatangkan mudharat bagi diri dan tidak ada
manfaatnya sama sekali. Syirik memecah belah tujuan jiwa. Zaman jahiliyyah
orang Arab menyembah berhala, tetapi setelah memeluk agama Islam, ada yang
tidak disadari telah mempersekutukan yang lain pula dengan Allah.
Mereka mengadakan tawassul, meminta supaya Tuan Guru menjadi orang
perantara buat menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Lebih syirik
lagi setelah Tuan Guru itu mati, meminta berkat pula kepada kuburan mereka.
Kadang-kadang sebagai di negeri kita ini, Islam telah diterima sebagai agama,
tetapi pusaka kepercayaan animisme nenek moyang masih dipegang teguh.
Sehingga ada orang yang mengasapi keris pusaka dengan kemenyan dan setanggi
tiap-tiap malam Jum'at dan dimandikan keris itu ke sungai pada tiap-tiap hari
Arba'a akhir dari bulan Shafar. Karena kata mereka itu, keris itu mengandung tuah
atau angker bisa membawa laba keuntungan dan bisa pula membawa marabahaya.
Malahan ada pula syirik yang lebih celaka lagi, yaitu menganggap ada di
antara anak kandung sendiri yang membawa untung; sejak dia lahir ke dunia
mendapat banyak laba dan kekayaan. Dan ada pula anak sial; sejak dia lahir
berturut-turut saja kesusahan yang menimpa sehingga perlulah nama yang anak itu
ditukar!
Banyaklah macam syirik yang garis besarnya sudah dapat kita rumuskan, yaitu
apabila ada sedikit saja kepercayaan kita bahwa ada sesuatu selain Allah yang
mempunyai pula kekuasaan membawa mudharat dan manfaat, memberi
keuntungan dan kerugian, mendatangkan rezeki dan kemiskinan sehingga puja,
sembah, dan hormati dia dengan cara yang tidak masuk akal, syirik itu namanya.
(Insyaa Allah pada ayat-ayat yang lain akan ada kesempatan lagi untuk kita
mengetahui hal syirik itu)
Kadang-kadang mulut sendiri tidaklah mengatakan bahwa dia mempertuhan
yang lain, tetapi dalam kenyataan, yang lain itu memang dipertuhankan. Ketika
Adi bin Hatim, seorang pemuja Nasrani masuk islam, Rasulullah SAW
menerangkan isi ayat bahwa orang keturunan Kitab (Yahudi dan Nasrani)
mengambil pendeta mereka jadi Tuhan selain Allah. Adi bin Hatim mengatakan
bahwa menurut pengalamannya sebagai bekas pemeluk Nasrani, orang Nasrani
tidaklah ada yang menuhankan pendetanya. Tetapi Rasulullah bertanya bukankah
mereka telah menganggap segala keputusan yang dikeluarkan oleh pendeta, sama
kuatnya dengan keputusan Allah sendiri? Salah atau benar wajib ditaati? Adi bin
Hatim mengaku, memanglah demikian kenyataannya. "Itu pun syirik!" kata Nabi
saw.
Maka untuk dasar kehidupan, menjadi umat Islam yang hidup dan
bersemangat, teguhkanlah ibadah kepada Allah yang Satu, dan jangan sekali-kali
diperserikatkan yang lain dengan Dia.
Ibadah atau Tauhid menyingkirkan segala sesuatu kemusyrikan atau yang
membawa kepada syirik adalah hubungan langsung dengan Allah. Kalau
hubungan ini telah disadari, akan ringanlah terasa segala peraturan yang
diturunkan Allah, tidak akan ada lagi pokrol-pokrolan atau helah, mencari jalan
selalu terjadi dalam masyarakat kesadaran hubungannya dengan Allah telah mulai
hilang atau samar. Setelah demikian teguh pertalian "ke atas" (ke Allah),
lanjutkanlah pertalian yang murni "ke bawah" yaitu kepada sesama manusia,
dimulai dari yang paling dekat. Tibalah lanjutan ayat,
‫َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن ِإحْ َسانًا‬
"Dan dengan kedua ibu bapak hendaklah berlaku baik."

Berlaku hormat dan khidmat, cinta dan kasih. Inilah ha dengan perantaraan kedua
beliaulah Allah yang kedua sesudah taat kepada Allah. Sebab telah memberimu
nikmat yang besar, yaitu sempat hidup di dalam dunia ini. Dengan adanya ibu
bapak, engkau merasakan bahwa engkau mempunyai urat tunggang dalam
kehidupan ini. Allah pun telah menakdirkan dan telah meniupkan rasa kasih
sayang di dalam hati kedua ibu bapak, kepada dirimu, sejak matamu terbuka
melihat dunia. Apabila engkau telah dianugerahi pula anak oleh Allah, barulah
akan engkau ketahui benar betapa kasih ibu bapak kepadamu. Jasa mereka
tidaklah akan dapat dibayar dengan uang, walaupun berapa banyaknya. Budi tidak
dapat diganti dengan harta. Ganti budi hanyalah budi pula. Di kala engkau kecil
tenaga mereka telah habis buat memelihara engkau dan mengasuh. Lalat seekor
pun diusirnya jika mendekat hendak menggigit kulitmu. Betapa pun nyenyak tidur
ibumu tengah malam, terdengar saja engkau menangis hendak menyusu, di saat
itu juga dia terbangun. Ayahmu pun pagi-pagi benar sudah bersiap keluar rumah
mencari makan. Ada orang makan gaji berpuluh tahun, menahankan derita
kepayahan kerja,menahankan hamun maki sang majikan, takut akan berhenti
sebab makan minummu amat bergantung kepada usaha dan pekerjaan itu.
Maka betapalah akan terebut hati mereka di hari tua, yang mengasuh anak
tidak menerima upah kalau mereka merasakan betapa khidmat anak-anak mereka
kepada mereka. Mereka akan merasa bangga dengan adanya engkau, bahkan
kadang-kadang memuji nama engkau dan menjunjung engkau apabila mereka
duduk bersama teman-temannya adalah kesukaan terakhir di hari tua.
Mohonkanlah usia ibu bapakmu panjang supaya mereka merasai khidmatmu
kepada mereka. Jika mereka meninggal lebih dahulu, jangan lupa mendoakan
semoga Allah mengasihi mereka seperti mereka mengasihimu di kalamu masih
kecil dan agar mereka diampuni dari segala dosa. Kononnya-menurut sabda Nabi
saw.-doa anak yang saleh adalah laksana "pensiun" yang diterima terus oleh ibu
bapak di alam barzakh. (Di dalam surah al-Israa' diterangkan lagi panjang lebar
hubungan anak dengan kedua orang tua)
Kemudian lanjutan ayat lagi,
‫َوبِ ِذي ْالقُرْ بَ ٰى‬
"Dan keluarga karib."

Yaitu saudara-saudara seibu sebapak, atau sebapak saja atau seibu saja, saudara
dari bapak laki-laki dan perempuan, saudara dari ibu laki-laki dan perempuan dan
lain-lain; berbuat baiklah selalu dengan mereka. Mereka itulah yang disebut juga
Ulul Arham, berarti kasih bertali sayang. Dengan adanya mereka kita merasa
rimbun-rampak hidup di dunia ini. Kasih sayang menimbulkan kode-kode,
kehormatan, kekeluargaan, tradisi yang tidak tertulis, kebiasaan yang istimewa
kepunyaan satu keluarga besar. Sebab tabiat pindah-memindah, perangai tiru-
meniru sehingga masyarakat luar dapat mengetahui budi baik istimewa kepunyaan
satu keluarga.
Memang, diakui bahwa percobaan dalam hubungan keluarga dekat itu banyak
pula, ada saja soal yang akan mengganggu, kadang-kadang soal-soal tetek bengek.
Tetapi Ajaib sekali! Bila datang suatu bahaya, semuanya turut merasakan. Robek
keluarga adalah laksana robek-robek bulu ayam, robek buat bertaut lagi. Sebab
itu, terutama di zaman sekarang, zaman urbanisasi orang kampung berdoyong
hidup ke kota, hendaklah orang tua mengenalkan kepada anak-anaknya yang lahir
di rantau siapa keluarganya, siapa mamaknya, pamannya, andungnya, dan
uncunya, sehingga sampai turun-temurun silaturahim tidak putus. Jangan sampai
terlepas kehidupan itu dari ikatan Islam, yaitu pertautan keluarga. Jangan
dipengaruhi oleh hidup zaman modern yang nafsi-nafsi sehingga ada yang merasa
takut didatangi keluarga.
‫َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِكي ِن‬
"Dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin."

Di ayat-ayat yang telah lalu sudah banyak dibicarakan yang khusus anak yatim,
jangan sampai harta bendanya termakan. Sekarang diperingatkan lagi bahwa anak-
anak yatim itu adalah beban bagi keluarganya yang dekat. Terutama jika ibu si
yatim itu bersuami lagi, hendaklah suami ibunya itu memandangnya sebagai anak
sendiri. Bukankah di dalam ayat-ayat menentukan mahram sudah dikatakan
bahwa anak tiri atau anak tepatan itu haram pula dinikahi jika dia perempuan
sebab dia sudah laksana anak sendiri? Keluarga dari si mati, saudaranya, atau
yang lain, berkewajiban membela anak itu sampai dia dewasa. Terutama
pendidikannya. Jangan sampai dia menjadi anak luntang-lantung karena tak ada
lagi ayahnya yang menjaga. Terutama kalau dia miskin, harta pusaka ayahnya
tidak banyak. Pendeknya, jika dia telah dewasa kelak jangan sampai dia merasa
jiwa kecil sebab tidak ada ayah. Bahkan banyak kali terjadi anak-anak yatim
menjadi orang berjiwa besar menghadapi hidup karena kebangkitan semangatnya.
Pelopor anak yatim yang paling besar selama dunia ini terkembang ialah Nabi
Muhammad saw.
Orang miskin pun demikian pula. Tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka.
Ingatlah bahwa dalam harta benda kita ada pula hak mereka. Lebih-lebih orang-
orang miskin yang tahu harga diri, yang tidak mau memperlihatkan
kemiskinannya kepada orang lain. Ini harus mendapat perhatian istimewa dari
Muslim yang mampu.
ِ ُ‫ار ْال ُجن‬
‫ب‬ ِ ‫ار ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْال َج‬
ِ ‫َو ْال َج‬
"Dan tetangga dekat dan tetangga jauh."
Hubungan yang baik dengan tetangga atau jiran adalah hal yang mempertinggi
budi dan memperluas pergaulan. Inilah yang kadang-kadang kita namai rukun
tetangga. Malahan di dalam hadits yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari
Abu Syuraih Khuzaa'i bahwa Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Di ayat ini disebut tetangga dekat dan tetangga jauh, namun keduanya
tetangga dan keduanya hendaklah sama-sama dihormati. Tetangga dekat kata
setengah ahli tafsir ialah tetangga yang seagama, tetangga jauh ialah tetangga
yang berlainan agama. Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut
taraf kelayakannya. Ziarah-menziarahi dalam suasana kegembiraan, lawat-
melawat ketika ada yang sakit, jenguk-menjenguk ketika ada kematian.
Apabila seorang Muslim Mukmin bertetangga dengan orang yang berlainan
agama, si Muslim wajib terlebih dahulu memperlihatkan ketentuan agama ini di
dalam hidupnya. Bukan hanya satu siasat mengambil muka, tetapi didorong oleh
perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib.
Rasulullah saw. bertetangga dengan orang Yahudi di Madinah. Apa saja hal-
hal yang terjadi dalam suasana bertetangga, Rasulullah menunjukkan kemuliaan
budi beliau. Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dari Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja selesai
mengulíti, dia sudah menyuruh khadam beliau menghantar dagingnya ke rumah
tetangga Yahudinya itu. Kemudian beliau tanyakan sampai dua tiga kali,
"Sudahkah engkau antarkan daging itu ke rumah tetangga kita Yahudi itu?"
ِ ‫ب بِ ْال َج ْن‬
‫ب‬ ِ ‫َوالصَّا ِح‬
"Dan sahabat di samping."
Ada ahli tafsir mengartikannya istri sendiri, sebab dialah sahabat di samping kita
siang dan malam, tetapi ahli tafsir lain mengatakan ini bukan buat istri meskipun
memang dia hidup di samping kita. Sebab ayat terkhusus tentang pergaulan
dengan istri sudah ada. Ash-Shaahib (sahabat) Bil janbi (di samping, di dekat diri)
Sebab itu kita condong kepada arti dari penafsir yang lain, yaitu teman sejawat
atau sahabat karib. Bukankah di samping anak dan istri kita, kaum keluarga kita
yang jauh ataupun dekat, kita pun mempunyai sahabat atau teman karib, yang
kadang-kadang dapat tempat menumpahkan rahasia hati kita. Teman
seperjuangan, sahabat sehaluan, kawan yang sama mata kehidupan, atau yang di
zaman sekarang kita namai relasi (relation)? Bukankah teman sahabat di samping
kita ini amat penting kedudukannya dalam pergaulan hidup kita sehari-hari? Maka
ayat ini mengkhususkan perhatian kita kepada sahabat di samping itu supaya
persahabatan Jangan diperkendur. Sehingga ada pula hadits shahih dari Nabi
Muhammad saw. Bahwa beliau sangat memujikan jika seorang anak menyambung
kembali persahabatan ayahnya yang telah wafat dengan anak-anak sahabat ayah
itu. Artinya anak sama anak. Di dalam kitab-kitab tasawuf banyak dibicarakan
tentang syarat-syarat memelihara persaudaraan dan persahabatan. Khusus oleh
Imam Ghazali di dalam Ihya.
‫َوا ْب ِن ال َّسبِي ِل‬
"Dan anak jalan."

Disebut Ibnu Sabil. Umum ahli tafsir memberinya tafsir orang yang sedang
musafir untuk maksud-maksud yang baik, menambah pengalaman dan ilmu, atau
mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu ke kota dan
negeri lain.
Kita sudah mengetahui amat banyak ayat dalam Al-Qur'an menganjurkan
supaya seorang Muslim keluar dari kampung halamannya, mengembara di atas
bumi, menambah pemandangan dan penglihatan, melihat kemajuan negeri orang
yang patut ditiru, dan yang buruk yang akan dijauhi, dan perbandingan dalam
sejarah. Maka ayat ini memberi perhatian yang khusus kepada mereka, bahkan
mereka pun berhak menerima bagian dari zakat. Dalam anak perjalanan ini
dimasukkan juga tamu yang datang dengan tiba-tiba. Sehingga menjadi
sambungan daripada hadits shahih Bukhari dan Muslim tadi yaitu, sabda Nabi
saw., "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah
dia memuliakan tamunya." (HR Bukhari dan Muslim).
Lantaran itu, dengan berpedoman kepada ayat ini, tidaklah akan telantar-in
syaa Allah-seorang musafir menuntut ilmu, menambah pengalaman,
memperbanyak sahabat, jika mereka memulai perjalanan misalnya dari Irian
Barat, melalui Flores, Sumbawa, Lombok, Bali, Madura, Jawa, Sumatera sampai
ke Malaysia sampai ke Siam, dan terus berlarat-larat melalui India, Pakistan,
Bashrah, Mekah dan Madinah sampai ke Mesir, Tunisia, Maroko, dan Aljazair.
Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu "Assalamu'alaikum" belanja dalam
perjalanan, makan dan minum, pakaian ala kadarnya, niscaya akan diterimanya
pada tiap negeri yang disinggahinya, asal ditunjukkannya bahwa dia orang Islam.
Di dalam tiap-tiap saku baju yang Mukmin ada sedia semua perbekalan untuk
melanjutkan perjalanannya.
Di dalam tafsir-tafsir lama tidaklah orang sampai menafsirkan kata Ibnu Sabil
itu kepada anak-anak bergelandangan di tepi jalan, yang disebut oleh orang
Belanda Kwayongen anak-anak yang terpelanting diempaskan gelombang
masyarakat, tidak tentu siapa bapaknya ataupun siapa ibunya. Anak zina, korban
dari hidup modern.
Memang tidak ada Ibnu Sabil diartikan demikian di dalam tafsir-tafsir lama,
yang berpuluh-puluh banyaknya, tetapi mulai diperkatakan oleh penafsir-penafsir
zaman terakhir karena kehidupan yang demikian pun meskipun belum merata di
negeri-negeri Islam, tetapi sudah mulai ada.
Saya lihat Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar telah mulai
menyinggung hal itu. Menurut beliau anak-anak yang malang itu pun termasuk di
dalam Ibnu Sabil. Rupanya beliau mengartikan ibnu (anak) dan sabil (jalan) jauh
lebih mendekati maksud kedua kalimat itu daripada jika diartikan musafir atau
anak dalam perjalanan maka beliau pujikanlah bagaimana kegiatan negeri-negeri
besar di Eropa dan Amerika mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak-anak
yang demikian sehingga jangan sampai mereka menjadi manusia malang yang
terlunta-lunta selama hidup. Beliau pujikan pula betapa orang-orang Barat
pemeluk Kristen telah berusaha menjalankan perintah agama mereka. Dan kita
orang Islam jangan mencap saja bahwa seluruh orang Barat tidak menjalankan
agama mereka.
Kita sebagai orang Islam, jika Kembali kepada pokok asli ajaran agama, sudah
mengetahui bahwa anak-anak itu tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah orang tua
mereka. Patutlah kita meniru badan-badan sosial agama Kristen baik katholik
maupun yang mengadakan usaha memelihara dan mendidik mereka dan kadang-
kadang juga menyerahkan mereka kepada suami istri yang mandul atau beranak
banyak, tetapi berhati rahim, lalu memelihara pula anak itu.
‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم‬
ْ ‫َو َما َملَ َك‬
"Dan orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan kamu."

Yaitu budak, hamba sahaya. Cita-cita yang tertinggi ialah agar mereka
dimerdekakan. Dan diberi dia kesempatan menebus kemerdekaannya sehingga
ada bagian zakat untuk penebusan itu yang dinamai Wafir Riqabi. Kalau belum
sanggup memerdekakan mereka, berlakulah pada mereka dengan jangan sampai
jiwa mereka tertekan. Dirawikan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan
Tirmidzi dari hadits Abu Dzar bahwa, Rasulullah saw. bersabda, "Mereka adalah
tolanmu dan saudaramu yang telah ditakdirkan Allah mereka di bawah tanganmu.
Maka barangsiapa saudara-saudara di bawah tangannya, beri makanlah mereka
dengan apa yang biasa kamu makan, dan beri pakaian dengan apa yang biasa
kamu pakai, dan jangan diberati mereka dengan pekerjaan yang berat bagi
mereka, kalau kamu memberati mereka dengan sesuatu pekerjaan, maka tolonglah
mereka." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).
Bahkan sampai telah dekat ajalnya, budak-budak ini juga yang jadi wasiat
beliau yang penghabisan. Menurut riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi, "Adalah
wasiat umum dari Rasulullah saw. Ketika dekat wafat ialah, 'Shalat dan hamba
sahaya kamu!" (HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi)
Syukurlah hamba sahaya tidak ada lagi sekarang. Tetapi dalam susunan
masyarakat zaman kini, kita pun mempunyai pembantu-pembantu rumah tangga,
bujang, kacung, koki, babu, khadam, pelayan. Dalam hal ini pun Rasulullah saw.
memesankannya pula. Sahabat beliau Anas bin Malik delapan tahun bekerja
menjadi khadam beliau. Sahabat Anas berkata, "Delapan tahun aku melayani
beliau, tidak pernah beliau bercakap yang menyinggung perasaan. Beliau tidak
pernah mengatakan, 'Hai khadamku, hai babuku!' Beliau hanya berkata, 'Wahai
orang muda, wahai gadis (Fataa-ya dan Fataa-ti)"
Di dalam penutup ayat, Allah berfirman,
‫ِإ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْختَااًل فَ ُخورًا‬
"Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang yang keadaannya sombong
sikap, dan sombong kata."

Sombong sikap, sombong lagak, laksana cerita Rancak di Labuah. "Bumi


serasa dilangkahi, langit serasa dipersunting, awak berasa tinggi benar, hina dan
mulia tak dikenal, tua dan muda tak disapa." Itulah gambaran orang yang sedang
sombong sikap hidup. Lalu diiringi lagi oleh cakap yang sombong, perkataan yang
selalu meninggi, memandang rendah orang lain, seakan-akan diri tidak ada
tandingan. Kesombongan karena jiwa yang "tidak tahu diri". Menurut satu riwayat
yang dirawikan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaihi, dari sahabat Rasulullah
saw. lalu beliau baca ayat ini, kemudian beliau terangkan tentang kejahatan
takabur dan bagaimana besar dosanya. Mendengar itu aku pun menangis.
Bertanyalah Rasulullah kepadaku, "Mengapa engkau menangis?" Tsabit
menjawab, "Ya Rasulullah! Aku ini suka sekali keelokan sehingga aku senang
sekali kalau ikatan terompaku pun indah." Berkata Rasulullah saw., "Kalau
demikian, engkau menjadi penghuni surga. Sebab takabur itu bukan karena indah
kendaraanmu atau langkah kakimu, tetapi takabur ialah membantah kebenaran dan
memandang rendah orang lain."
Ada dua tiga hadits yang sama arti dan maksudnya dengan itu. Mukhtaal:
melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Itulah
takabur pada sikap. Ulama-ulama mengecualikan sikap langkah yang tegap dan
gagah itu hanya ketika mengadakan latihan perang ataupun setelah berhadapan
dengan musuh di medan perang. Sebab itu jika tentara berbaris tegap janganlah di-
katakan sombong.
Ada pula sebuah hadits, Nabi saw. Memberi izin berlagak sebagai orang
takabur jika berhadapan dengan orang yang memang sikapnya takabur dan
sombong. Beliau katakan, "Takabur kepada orang yang takabur itu adalah sebagai
sedekah."
Artinya ialah jika orang takabur menghadapi engkau, janganlah engkau
merendah merunduk kepadanya. Sayyid Abdulqadir Jailani yang masyhur itu,
ketika Wazir Besar atau Khalifah datang menziarahinya dengan sikap angkuh
karena jabatan, mungkin segera beliau keluar dan ketika menghidangi orang itu
makan, beliau sendiri yang melayaninya, bahkan beliau duduk bersila di
hadapannya.
Fakhur: Bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling
pintar atau gagah berani, atau si anu telah pernah dibantunya. Atau
membanggakan keturunan, nenek moyang, kabilah, dan suku. Orang jahiliyyah
selalu membanggakan karena dia adalah ujung dari kebesaran orang dahulu, tetapi
tidak sanggup membanggakan bahwa pangkal dari kebesaran yang akan disambut
oleh anak cucu.
2. QS. An-Nisa’ ayat 37
َ َّ‫الَّ ِذينَ يَ ْب َخلُونَ َويَْأ ُمرُونَ الن‬
‫اس بِ ْالب ُْخ ِل‬
"(Yaitu) orang-orang yang bakhil dan menyuruh manusia agar bakhil pula."

Ini adalah manusia-manusia yang telah mulai keluar dari garis Allah.
Penyakitnya yang pertama ialah bakhil. Ini pun sudah mulai suatu bayangan dari
syirik. Dia telah mencintai harta lebih daripada mencintai Allah yang
mengaruniakan harta. Orang yang begini hendak mengambil sebanyak-banyaknya
dari masyarakat, tetapi memberi sangat sedikit. Kebakhilannya itu dianjurkan pula
kepada orang lain. Dia memujikan kesalahan dirinya, bahwa begitulah yang benar.
‫َويَ ْكتُ ُمونَ َما آتَاهُ ُم هَّللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ِه‬
"Dan menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka dari
kurnia-Nya."
Apa yang telah masuk ke pundi-pundinya jangan diharap keluar lagi. Nanti
barang itu akan keluar juga setelah dia mati untuk dibagi centang perenang oleh
orang lain. Mereka menjadi bakhil karena cinta mereka telah tertumpah kepada
harta itu saja. Kepada Allah yang mengaruniakan harta, mereka tidak cinta lagi.
Kepada ibu bapak, keluarga, tetangga dekat dan jauh, anak yatim dan orang
miskin, mereka pun tidak cinta lagi. Kalau mereka bersahabat di samping seperti
yang dikatakan di ayat tadi, hanyalah kalau sahabat itu akan mendatangkan
keuntungan dan harta kepada mereka. Bakhil mereka ini telah mendekati kepada
pintu gerbang kufur, amat berbahaya.
Menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah daripada kurnia-Nya, bukan
saja bakhil tidak mau mengeluarkan harta, malahan lebih luas dari: Misalnya
seorang yang telah mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam hal agama,
tinggal di dalam satu desa atau negeri yang penduduknya tidak mengerti agama,
tetapi si Alim tidak mau memberi ajaran kepada mereka itu. Ini pun bakhil
namanya!
Atau seorang dokter yang telah mendapat telepon tengah malam bahwa ada
orang sakit payah sangat mengharapkan pertolongannya, padahal halangannya
hanyalah karena dia mengantuk sehingga dia tidak mau datang, lalu orang itu
meninggal. Ini pun bakhil!
Atau perumpamaan-perumpamaan yang lain tentang keahlian, kurnia Allah
kepada seseorang, lalu didiamkan saja, padahal keahliannya itu amat diperlukan
oleh masyarakat. Itu pun bakhil!
Apabila iman telah mendalam, didoronglah orang yang hati sanubarinya
sendiri buat mendarmabaktikan kurnia Allah yang ada padanya bagi kepentingan
ummat. Kalau tidak, kemurkaan Allah-lah yang akan diterimanya.
Sebab itu sambungan ayat pun tegas,
‫َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذابًا ُم ِهينًا‬
"Dan telah kami sediakan untuk orang-orang yang kafir itu adzab yang
menghina."

Setelah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dituju dalam mencela kebakhilan
ini
ialah orang Yahudi, Syekh Mohammad Abduh jadi heran, mengapa setengah ahli
tafsir membawanya kepada orang Yahudi saja, padahal dia adalah sambungan dari
ayat sebelumnya, menyuruh orang Islam beribadah kepada Allah dan berbuat baik
kepada ibu bapak dan segala yang patut dibuat baik kepadanya, sampai pun
dikuatkan oleh hadits berbuat baik kepada tetangga jauh meskipun berlainan
agama, dan mencela orang yang angkuh dan sombong, tiba-tiba ujungnya menjadi
kepada orang Yahudi saja? Mengapa seruan yang baik-baik dikatakan buat kita
dan yang buruk dilemparkan ke Yahudi?
Lantaran itu beliau-Mohammad Abduh- tidak mau pemisahan ayat ini dengan
yang sebelumnya sebab dia bertali. Sebagai lawan dari ibadah dan ihsan ialah
sombong dan angkuh. Sombong dan angkuh mengandung juga perangai busuk
yang lain, yaitu bakhil. Bakhil dengan harta atau bakhil dengan ilmu. Orang
sombong memang bakhil dan orang bakhil memang sombong. Mereka
membentengi dirinya dengan dirinya sendiri. Mereka puji keburukan perangai
mereka di hadapan orang lain dan dianjurkan mereka pula agar orang lain meniru
mereka. Ini jangan hendaknya bertemu pada orang yang mengaku dirinya Muslim.
Pendeknya bakhil adalah perangai kufur dan untuk orang yang kufur adalah adzab
yang menghina. Kadang-kadang di kala matinya, yang akan datang menguruskan
jenazahnya hanyalah orang-orang yang terpaksa karena menjaga jangan
bangkainya busuk saja sebab tidak ada yang akan diingat orang dari dirinya dalam
masyarakat. Itu sudah penghinaan yang pertama dan penghinaan yang lebih besar
adalah adzab akhirat. Selain dari kejahatan bakhil, baik bakhil harta, bakhil
budi, maupun bakhil pada ilmu, menyembunyikan nikmat Allah, ialah beramal
karena riya!
3. QS. An-Nisa’ ayat 38
ِ َّ‫َوالَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ َأ ْم َوالَهُ ْم ِرَئا َء الن‬
‫اس‬
"Dan orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka karena ingin dilihat
orang."

Inilah yang dinamai riya. Ini pun sudah musyrik lagi. Kalau bakhil ialah
mempersekutukan Allah dengan harta itu sendiri, riya ialah mempersatukan
manusia dengan Allah. Dia mengeluarkan harta bukan karena ingat bahwa harta
itu pinjaman Allah kepadanya, nikmat yang wajib disyukurinya, melainkan karena
ingin akan dipuji-puji orang supaya dikatakan dia dermawan. Kalau puji tidak
datang, dia tidak akan mengeluarkan harta. Termasuk juga dalam riya yang hangat
yaitu memberikan harta hendak di atas atau hendak mengatur agar orang lain
tunduk kepadanya, agar namanya terpampang di atas sekali. Kalau kehendaknya
tidak diturutkan, dia pun surut laksana labi-labi tempo buat mengangkat-angkat
dia dan menanainya laksana menanai minyak penuh, pantang terlenggang,
pantang tersinggung.
‫َواَل يُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر‬
"Dan tidak mereka percaya kepada Allah dan tidak kepada hari yang akhir."

Meskipun mungkin hal itu tidak mereka katakan dengan mulut, tetapi tampak
dalam perbuatan dan sikap. Mereka tidak percaya bahwa walaupun harta yang
diberikannya tidak dipuji oleh manusia atau puji manusia itu tidak
memuaskannya, namun dia tercatat di sisi Allah, dan di akhirat akan mendapat
ganjaran dan pahala. Yang itu mereka tidak percaya. Sebab itu kalau
mengeluarkan harta itu akan disanjung-sanjung orang dan akan disiarkan dalam
surat-surat kabar, dia tidak berkeberatan mengeluarkan walau berjuta-juta. Kalau
hanya karena Allah atau karena ikhlas dan pahala di akhirat, mereka tidak mau
mengeluarkan dan kalau akan mereka keluarkan juga hanya sedikit sekali,
menyakitkan hati. Setanlah yang selalu membisikkannya sehingga sikap hidupnya
demikian.
Sebab itu, ujung ayat berkata,
‫َو َم ْن يَ ُك ِن ال َّش ْيطَانُ لَهُ قَ ِرينًا فَ َسا َء‬
"Dan barangsiapa yang setan menjadi temannya, maka itulah yang sejahat-jahat
teman."

Mungkin setan yang menjadi temannya itu setan halus, mungkin juga setan
kasar sehingga dia menjadi orang yang "balik belahan" hatinya jauh dari Allah,
tidak peduli hidup atau mati, yang dicarinya hanya fulus dan puji sebanyak-
banyaknya.
Sebab itu seharusnyalah orang laki-laki mencari teman, terutama kalau harta
sudah mulai banyak. Sebab harta itu pun membawa cobaan yang banyak. Inilah
suatu peringatan yang penting dalam kegunaan shalat jamaah tiap waktu. Kalau
sudah kaya biasanya orang sudah lalai berjamaah ke langgar, atau surau, atau
masjid sebab di sana memang banyak orang yang miskin. Lalu mencari teman
yang sama-sama mau menghabiskan harta kepadanya yang tidak berfaedah.
Teman-teman yang demikian itu pun setan yang nyata. Sebab teman amat besar
pengaruhnya di dalam menentukan arah hidup.
4. QS. An-Nisa’ ayat 39
‫َو َما َذا َعلَ ْي ِه ْم لَوْ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر َوَأ ْنفَقُوا ِم َّما َر َزقَهُ ُم هَّللا ُ ۚ َو َكانَ هَّللا ُ بِ ِه ْم َعلِي ًما‬

"Dan akan bagaimanalah atas mereka, jika mereka percaya kepada Allah dan hari
yang akhir, dan mereka belanjakan dari apa-apa yang telah diberi rezeki oleh
Allah kepada mereka? Dan Allah adalah Mahatahu akan mereka."

Suatu pertanyaan dari Allah yang mengandung penjelasan. Dapat diartikan,


apalah salahnya, apalah ruginya jika mereka beriman betul-betul, beribadah dan
berihsan, tidaklah mereka akan rugi, bahkan beruntunglah mereka dunia dan
akhirat. Orang yang riya kerap kali mengejar keuntungan cari nama dengan
terburu-buru. Tetapi kalau umat telah tahu harga diri, tidak akan lama mereka itu
dihargai orang.
Apa salahnya jika mereka insaf dan mengeluarkan harta dengan hati yang
ikhlas dan iman, mengharapkan ridha Allah dan pahala akhirat. Dadanya sendiri
kian lama kian merasa lapang dan dia pun akan merasai kasih cinta manusia, yang
tidak didapatnya selama ini, baik dari harta itu atau dan manusia yang lain. Kalau
dia riya, lama-lama dia akan merasakan sendiri bahwa dia hanya didatangi orang
ketika sangat perlu saja, sambil memuji-muji dan mengangkat-angkat. Di
belakang dia diperbisikkan orang, "Angkat-angkat dia,uangnya keluar!"
Alangkah baiknya demikian ini tanya sesalan Allah di ayat ini jika orang-
orang yang riya mengubah pendirian dan mengoreksi kesalahannya. Lalu dia
beriman betul-betul kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia. Dia
telah mendapat rezeki yang besar, yaitu harta dan kemegahan. Alangkah baiknya
jika keduanya itu dijadikan jembatan buat mendekatkan diri kepada Allah dan
berkhidmat dalam masyarakat. Karena mujur dan malang tidak akan cerai dari
badan. Akan datang suatu harta itu tidak akan dapat menolong. Yang dapat
menolong di waktu itu hanya iman masa yang dan kasih cinta sesama manusia.
Saya teringat seorang yang kaya raya, terkenal nama dan kekayaannya dan
megahlah hidupnya. Tiba-tiba dia ditimpa sakit berat. Dia terpaksa terbenam di
rumah sakit berbulan-bulan untuk berobat. Mobilnya yang mahal tidak dapat
dipakainya, rumahnya yang indah tidak dapat didiami, bertemu dengan istri dan
keluarga hanya waktu dokter mengizinkan melawat (besuk) Makanan diatur,
padahal selama ini bebas. Penyakit belum tentu akan sembuh, pulang ke rumah
tidak boleh. Siapakah yang dapat menolongnya di waktu itu dan apakah obat hati
yang murung karena terpencil, selain dari iman dan cinta kasih? Dia pernah
mengatakan, "Kekayaanku sekarang hanya iman!"
Apatah lagi kalau kekayaan tiba-tiba punah, laksana Paul Kruger, jutawan
korek api yang terkenal di Sweden. Sedang di puncak tiba-tiba hancur kekayaan
itu, datang kerugian dan bangkrut. Apatah lagi pertahanan batin, kalau selama ini
pertahanan hanya harta itu saja? Kepada Allah tidak percaya atau tidak
berkenalan? Jalan ke akhirat tidak pernah diterangi? Dalam saat inilah orang kerap
kali silap, lalu membunuh diri. Paul Kruger yang kaya raya menembak dirinya
sendiri. Padahal kalau orang ada beriman, dan telah pernah menanamkan cinta
kasih dan ihsan dengan sesama manusia, sisa hidupnya tidaklah akan kecewa,
sebab modalnya yang asli tidak habis.
Teringat pula saya seorang jutawan ternaik, dikenal di dunia dagang. Tetapi
karena kegedangan bergelar, nama perusahaannya terpaksa dijalankan orang lain
dan dia jatuh. Sebab namanya sendiri telah menjadi nama perusahaan setelah
perusahaan dipegang orang lain. Yang dirinya sendiri biasanya sudah urut hilang.
Tetapi dia tidak hilang. Dia susuk kembali mulai dari bawah, dibukanya sebuah
lepau nasi: Restoran!
Sejak dia membuka restoran, dia kelihatan tenang, mukanya berseri. Diaturnya
restoran itu sehingga di waktu Maghrib selesai. Malam hari dia pergi beribadah,
shalat, mengaji, tahajud. Pernah dia mengatakan bahwa nikmat rasa kehidupan
lebih dirasainya sekarang karena dia merasa lebih dekat kepada Allah. Dia
mengatakan bahwa baik dahulu ketika kekayaannya membubung naik atau
sekarang ketika dia memulai kembali dari bawah, sekali-kali dia tidak merasa
canggung sebab dia berpegang kepada ajaran agama. Yaitu sesudah beriman
kepada Allah hendaklah beramal artinya bekerja. Pekerjaan itu hendaklah yang
saleh dan baik. Jatuh pekerjaan yang lama, mulai lagi pekerjaan yang baru. Islam
melarang keras pengangguran. Dia senang dengan pendiriannya dan dia tidak
merasa jiwa-kecil karena perubahan.
Orang-orang yang saya ceritakan ini sudah sama-sama meninggal dunia.
Mereka telah meninggalkan pengajaran yang baik buat orang yang hidup. Mereka
meninggal dengan baik tidak karena membunuh diri.
Demikianlah isi pertanyaan Allah yang terkandung di dalam ayat ini. Apalah
salahnya jika orang-orang yang diberi Allah nikmat dan kurnia serta rezeki yang
berlimpah-limpah, jika mereka tetap memupuk iman kepada Allah dan hari
Akhirat, jangan berteman dengan setan-setan, padahal mereka sendiri jugalah
yang akan merasai ketenteraman di dalam jiwa mereka sendiri, sebab harta benda
dunia tidak mengikatkan mereka ke dunia dan insaf bahwa yang akan dibawa
menghadap Allah,
Sebab itu kembalilah ke ayat 36 tadi, beribadahlah kepada Allah, janganlah
yang lain kepada ibu bapak, keluarga, anak yatim, fakir dipersekutukan dengan
Dia, berbuat ihsanlah kepada ibu bapak, keluarga, anak yatim, fakir miskin,
tetangga dekat dan tetangga jauh, musafir dan tetamu, dan ketahuilah ada
kekayaan yang lebih dari segala kekayaan, yaitu rasa diri yang dekat kepada Allah
dan cinta kasih sesama manusia. Itulah yang tidak lekang di panas dan tidak lapuk
di hujan. Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan
menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap
sekalian hukum agama.
5. QS. An-Nisa’ ayat 40
ْ َ‫ِإ َّن هَّللا َ اَل ي‬
‫ظلِ ُم ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة‬
"Sesungguhnya Allah tidaklah akan menganiaya, walaupun seberat zarah."

Lantaran itu tak usahlah khawatir bahwa kebaikan yang diperbuat selama
hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Allah, bahkan seberat zarah
pun tidaklah manusia akan dirugikan. Sampai Allah mengambil perumpamaan
daripada yang sekecil-kecilnya yaitu zarah. Sebesar zarah pun yang diamalkan
akan diganjari juga.
Di zaman dahulu penyelidikan tentang zarah belum meluas sebagai sekarang.
Sebab itu dapatlah dimaklumi kalau Ibnu Abbas menafsirkan zarah ialah sebesar
kepala nyamuk. Atau juga yang menafsirkan sebesar yang melayang-layang lebih
halus daripada kapas kelihatan di lubang dinding yang ditembus panas matahari.
Sekarang ini tentu tafsiran zarah sudah lebih hebat lagi setelah orang memecahkan
rahasia atom. Bahkan atom (a= tidak, tom = terbagi) tetapi sekarang sudah nyata
terbagi. Atom disebut di dalam Bahasa Arab jauhar, ford, dan juga zarrah.
Sekarang bertambah imanlah kita, kalau kita mau beriman, bahwa jika Allah
mengambil perumpamaan dengan zarah untuk menunjukkan kehalusan, bukanlah
itu suatu perumpamaan yang sia-sia. Sekarang, dalam abad kedua puluh telah
mengertilah kita bahwa zarah yang kecil itu mempunyai tenaga yang sangat luar
biasa. Kalau Allah berfirman bahwa Dia tidaklah akan menganiaya atau tidaklah
akan mengurangi pahala seseorang walaupun seberat zarah, itu pun adalah besar.
Bagi Allah penilaiannya bukanlah kecil sebab zarah sendiri pun bukanlah kecil
tenaganya.
‫ت ِم ْن لَ ُد ْنهُ َأجْ رًا َع ِظي ًما‬
ِ ‫ضا ِع ْفهَا َويُْؤ‬
َ ُ‫ك َح َسنَةً ي‬
ُ َ‫وَِإ ْن ت‬
"Tetapi jika (amal itu) baik, niscaya diperganda-gandakan-Nya dan akan diberi
langsung dari Dia pahala yang besar."

Yang kecil tidak akan dianiaya dan tidak akan dikurangi, bahkan amal yang
baik
akan dilipatgandakan. Umpamakanlah dengan seseorang mendapat suatu ilmu
berfaedah bagi sesama manusia. Kadang-kadang datang seorang mencetuskan
sesuatu pendapat misalnya Edison tentang listrik atau Marconi tentang radio.
Pendapat itu pada yang mendapatnya pertama baru kecil saja, kemudian
berkembang biak dan berganda-ganda sehingga jika yang mencetuskan pendapat
yang pertama masih hidup, tentu akan heran dia melihat betapa Allah
menakdirkan perkembangan ilmu yang dia tinggalkan itu. Selama ilmu tadi masih
berkembang terus, niscaya yang mendapat pertama akan menerima juga pahala
yang berlipatganda dari bekas penyelidikan orang yang datang di belakang.
Apatah lagi karena manusia tidak mau melepaskan budi, nama pencipta pertama
masih tetap diingat orang bahwa dia yang memulai dahulunya.
Demikianlah perumpamaan di dunia dan niscaya lebih lagilah pahala yang
akan diterima langsung dari Allah kelak kemudian hari. Di dalam ayat ini kita
bertemu firman Allah min ladunhu, yang kita artikan langsung dari sisi-Nya.
Apabila cantuman kata min ladunhu ini kita camkan benar-benar di dalam hati,
dengan sendirinya akan terobatlah perasaan apabila setengah manusia tidak dapat
menghargai suatu jasa atau suatu amal. Tidak perlu diharapkan penghargaan
manusia, takut akan timbul riya. Kalau ada orang yang tidak menghargai, kita pun
kecewa. Lebih baik ditunggu ganjaran langsung dari Allah, terima kontan di
akhirat. Dengan pendirian yang demikian, hati pun akan terasa tenteram dalam
berbuat suatu kebajikan. Oleh sebab itu, sebagai lanjutan ayat yang sebelumnya
tadi sebagai orang yang telah mengaku beriman beribadahlah, beramallah, dan
janganlah usia dihabiskan percuma karena tidak ada yang akan lepas dari catatan
Allah walau seberat zarah (Hamka, 2015).
D. Kandungan Makna Ayat
1. QS. An-Nisa’ ayat 36
Melansir Aisarut Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi berikut ini
kandungan dari surat An Nisa ayat 36:
1) Dalam Surat An-Nisa Ayat 36 Allah memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk beribadah kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam segala ibadah,
berbuat ihsan kepada kedua orang tua dengan taat kepada keduanya dalam hal
makruf, melakukan kebaikan dan menahan dari melukai mereka.
2) Hal ini berlaku pula kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan para tetangga secara mutlak. Para kerabat yang dimaksud adalah
sahabat dekat, teman dalam safar, serta orang-orang yang selalu berada di
dekat kita.
3) Begitupula dengan ibnu sabil dan para hamba sahaya serta semua yang
disebutkan di dalam ayat adalah orang-orang yang paling utama untuk
diperlakukan secara ihsan (Kumparan, 2021).
4) Peringatan bahwa Allah tidak menyukai orang yang sombong.
2. QS. An-Nisa’ ayat 37
1) Orang bakhil/kikir
Orang yang kikir bisa disebut dengan perbuatan syirik karena dia lebih
mencintai hartanya dibandingkan mencintai Allah
2) Orang yang bakhil suka jika mendapatkan harta yang banyak tetapi ketika
disuruh mengeluarkan itu hanya sedikit
3) Orang yang bakhil mengajak orang lain berbuat yang sama dan menganggap
bahwa dirinya benar
4) Orang kikir itu menyembunyikan anugrah yang sudah Allah berikan.
5) Ancaman siksaan bagi orang yang kikir.
3. QS. An-Nisa’ ayat 38
1) Orang yang memiliki sifat riya hanya mau mengeluarkan hartanya jika
mendapatkan pujian dari manusia dan ketika ada maksud agar orang lain
tunduk kepadanya
2) Orang yang tidak beriman kepada Allah.
3) Orang yang tidak beriman kepada hari akhir.
4) Syetan adalah seburuk-buruknya teman.
4. QS. An-Nisa’ ayat 39
1) Penjelasan dari Allah bahwa orang yang beriman, rajin beribadah, dan
berihsan tidak akan rugi mereka akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
2) Perintah yang Allah berikan tidak akan melebihi kemampuan manusia tersebut
justru memberikan manfaat bagi manusia yang menjalankan perintah-Nya.
3) Seseorang yang insaf dari perbuatan riya dan dia beriman maka dia akan
merasa tenang dan mendapatkan kasih sayang yang sebelumnya belum pernah
ia dapatkan.
5. QS. An-Nisa’ ayat 50
1) Allah akan menyiksa bagi manusia yang tidak menjalankan perintah-Nya dan
melakukan yang menjadi larangan-Nya walaupun sebesar biji dzarrah, hal itu
bukan berarti bahwa Allah berbuat dzalim tetapi itu bentuk keadilan.
2) Rahmat Allah yang luas ditunjukkan dengan pembalasan berlipat dan pahala
yang besar bagi siapapun yang berbuat kebaikan walau sebesar zarrah.
E. Penerapan Ayat Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ajaran yang terkandung dalam surah An Nisa mnunjukkan adanya korelas erat
dengan proses pembentukan kepribadian umat manusia yang beradab, banyak umat
Islam sering berlebih-lebihan dalam beberapa hal, namun mengabaikan beberapa hal
yang lain. Contoh, kita melihat ada seorang muslim yang sangat tekun dalam
shalatnya bahkan hampir selalu berdiri di barisan paling depan, tetapi tidak
memperdulikan tali Silaturrahim. Atau, ia mencurahkan banyak waktunya untuk
beribadah dan menuntut ilmu, tetapi ia mengabaikan pendidikan anak-anaknya, tidak
memperhatikan yang mereka baca, siapa teman-teman mereka dan seterusnya.
Konteks kehidupan yang demikian tidak mencerminkan kepribadian muslim
yang berakhlak mulia. Dan hal tersebut bila ditinjau dari perspektif al-Qur'an surat an-
Nisa’ ayat 36 jelas sekali bertentangan dengan ciri individual yang menjadi tujuan
utama dalam memberikan bantuan psikologis dan sosial, yaitu terbentuknya sosok
individu yang hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT.
Konseling Islam sebagai bagian dari dakwah Islam menempatkan posisinya
dalam rangka membantu klien yaitu generasi muslim untuk dapat memecahkan
masalah mengenai perilaku-perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Upaya
konseling Islam ini diharapkan dapat mengarahkan generasi muslim secara utuh guna
memperoleh jati diri atau pribadi yang Islami (Jannah, 2017).
Peran konselor Islam dalam membimbing dan mengarahkan umat manusia
kepada pembentukan kepribadian muslim merupakan suatu bentuk kewajiban
bersama dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan misi dakwah Islam.
Usaha pemberian bantuan yang dilakukan konselor mengarah pada fungsi konseling
Islam, yang meliputi:
1) Usaha preventif, yaitu menjaga dan mencegah pribadi muslim yang telah
melanggar aturan agama untuk kembali pada ketentuan yang digambarkan dalam
surat an-Nisa’ ayat 36.
2) Usaha kuratif, yaitu membantu individu muslim agar dapat memecahkan dan
menyelesaikan masalah yang sedang dialami.
3) Usaha preservatif, yaitu membantu pribadi muslim menjaga agar situasi dan
kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik
(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama.
4) Developmental, yaitu memelihara pribadi muslim yang telah baik tidak menjadi
buruk kembali serta mengembangkan pribadi muslim yang sudah baik menjadi
lebih baik.
Usaha konseling Islam ini dijadikan sebagai rumusan guna membantu pribadi
dalam merubah dan membentuk kepribadian muslim yang mardhatillah, sehingga
memungkinkan tatanan kehidupan umat manusia menjadi selaras dengan apa yang
termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Dari keempat fungsi konseling tersebut,
mengacu pada tiga taraf dalam pembentukan kepribadian seseorang, yaitu:
a) Pembiasaan atau keteladanan.
b) Pembentukan pengertian, minat dan sikap.
c) Pembentukan keruhanian yang luhur. Ketiga taraf pembentukan kepribadian
tersebut merupakan sebagai upaya yang dilakukan oleh konselor Islam dalam
pembentukan kepribadian muslim, yang substansinya menekankan pada
proses untuk membantu individu (personality) agar tertanam kepribadian,
yaitu: memahami bagaimana ketentuan daan petunjuk Allah SWT tentang
kehidupan beragama, menghayati ketentuan Allah SWT dan petunjuk tersebut,
dan mampu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah SWT untuk beragama
dengan benar (beragama Islam) (Pratama, 1993).
F. Glosarium
1. ‘abdun, yaitu hamba Allah. Dalam bahasa Arab abdun dikenakan kepada setiap
manusia yang merelakan atau menggadaikan kebebasannya kepada sesuatu.
Orang yang rela melepaskan kebebasannya kepada orang lain disebut hamba
(Rahardjo, 2010).
2. Ma’bud artinya Allah adalah dzat satu-satunya yang pantas disembah dan
beribadah hanya kepada-Nya. Oleh karena itu tidak ada ibadah kecuali kepada-
Nya (Haryanto, 2014).
3. Thuma’ninah yaitu ketentraman hati/ketenangan hati.
4. Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada
suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul bila suami atau istri
atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya (Yunianto,
2020).
5. Nusyuz berarti sikap tidak tunduk kepada Allah SWT untuk taat kepada suami.
Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer
dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap suami
dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan (Takada, 2015).
6. Tawassul adalah mendekatkan diri dengan suatu perantaraan (wasilah) atau
menjadikan sesuatu yang menurut Allah mempunyai nilai, derajat dan kedudukan
yang tinggi, untuk dijadikan sebagai perantaraan (wasilah) agar doa dapat
dikabulkan (Muslih, 2020).
7. Ulul arham berarti Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan si
mati atau tergolong keluarga dekat tetapi tidak termasuk sebagai ahli waris.
8. Musafir adalah orang yang meninggalkan negerinya (Asmuni, 2007).
9. Fulus adalah mata uang kecil pelengkap dinar dan dirham.
10. Dzarrah adalah biji khardalah (tanaman mustard).

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni. (2007). Syarah Riyadhus Sholihin (Jilid: I). PT Darul Falah.


Hamka. (2015). TAFSIR AL-AZHAR: Jilid 2 (A. Anggoro (ed.); 1st ed.). Gema Insani.
Haryanto. (2014). Allah The Center of Live. Pustaka Al-Kautsar.
Hayyie, A. (2008). Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an (K. Rosa (ed.)). Gema
Insani.
Jannah, A. N. (2017). Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Surat An-Nisa’ Ayat 36-38.
Kumparan. (2021). Asbabun Nuzul dan Kandungan Surat An Nisa Ayat 36. 10 September
2021. https://kumparan.com/berita-hari-ini/asbabun-nuzul-dan-kandungan-surat-an-nisa-
ayat-36-1wV8a3nz8G6/full
Muslih, M. (2020). TINJAUAN UMUM TENTANG TAWASSUL. 18–29.
Pratama, A. (1993). BAB IV TELAAH SURAT AN-NISA ’ AYAT 36 TENTANG
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF. 75–98.
Rahardjo, mudjia. (2010). Menjadi Abdullah dan Kholifatullah lewat Puasa. 04 September
2010. https://uin-malang.ac.id/r/100901/menjadi-abdullah-dan-kholifatullah-lewat-
puasa.html#:~:text=Abdun berarti hamba.,kepada orang lain disebut hamba.
Takada, Y. (2015). WAWASAN UMUM SEPUTAR NUSYUZ. 33(1), 16–20.
Yunianto, E. (2020). URGENSI PENGANGKATAN HAKIM PADA PERKARA
PERCERAIAN DENGAN ALASAN SYIQAQ. 26 Juni 2020.
https://pa-pasarwajo.go.id/artikel-pengadilan/286-urgensi-pengangkatan-hakam-pada-
perkara-perceraian-dengan-alasan-syiqaq#:~:text=Syiqaq mengandung arti pertengkaran
%2C kata,melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya.

Anda mungkin juga menyukai