Armiati Rasyid
Efendi
Penyunting
Sukardi Gau dan Darmawati M.R
Penata Letak
Siti Rahmatia Ntou
Sampul
Wisnu Wijanarko
Penerbit
Kantor Bahasa Gorontalo
Alamat Redaksi
KANTOR BAHASA GORONTALO
Jalan Dokter Zainal Umar Sidiki,
Tunggulo, Kecamatan Tilongkabila,
Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo
Telepon/Faksimile(0435)831336
Pos-el:bahasa.gorontalo@kemdikbud.go.id
ISBN: 978-602-53283-2-9
Putri Mohulintoli...................................................... 1
1. Duka Nestapa Sang Putri ................................. 1
2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular ..................... 9
3. Gadis Jelita di Puncak Pohon............................ 17
4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri ....................... 35
5. Wuni-Wunia Menjadi Raja ............................... 49
iii
iv
KATA PENGANTAR
KEPALA KANTOR BAHASA GORONTALO
v
luasnya maaf yang bisa dimiliki oleh hati manusia. Kisah
Nou yang telah dibuang oleh orang tuanya karena
penyakit kulit yang ia derita sangat menyentuh. Meskipun
dibuang, Nou tetap bisa memaafkan kedua orang tuanya
bahkan menyelamatkan mereka dari hukuman.
Buku ini lahir sebagai upaya Kantor Bahasa
Gorontalo menanamkan pendidikan karakter pada
masyarakat, terutama anak-anak sekaligus turut
menyukseskan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang
telah dicanangkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Semoga buku ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan daya literasi
masyarakat Gorontalo.
vi
PUTRI MOHULINTOLI
Armiati Rasyid
1
dan ibu Mohulintoli sangat bersyukur karena telah
dikaruniai sepasang anak yang cantik dan tampan. Akan
tetapi, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.
Ayah Mohulintoli jatuh sakit.
Hari demi hari, kondisi ayah Mohulintoli
semakin memburuk. Penyakitnya semakin parah. Para
tabib pun sudah angkat tangan dan tidak mampu
menyembuhkan penyakitnya. Ibu Mohulintoli tidak bisa
berbuat banyak. Mohulintoli kecil pun sangat sedih
sekali karena tidak bisa bermain dan bermanja-manja
kepada ayahnya seperti dulu lagi. Hingga suatu saat,
ayah Mohulintoli memanggil istrinya, ibu Mohulintoli.
“Bu, kemarilah mendekat bawa Mohulintoli dan
Wunia,” terdengar suara ayah Mohulintoli yang semakin
melemah.
“Ya, Pak. Kami sudah di dekat, Bapak.”
“Maafkan bapak, Bu. Bapak sudah tidak kuat
lagi. Sepertinya waktu bapak tidak lama lagi.”Ayah
Mohulintoli dengan raut wajah sedih dan menahan rasa
sakit berusaha bicara pada keluarganya.
“Bapak harus kuat dan semangat. Bapak harus
sembuh!” Sambil menahan rasa sedih dan pilu, ibu
2
Mohilontoli terus menyemangati suaminya, “Mohulintoli
dan Wunia masih sangat membutuhkan Bapak. Jadi,
Bapak harus kuat dan bertahan.”
Ayah Mohulintoli mengumpulkan sisa- sisa
napasnya, lalu menoleh ke putrinya. Dia membelai
wajah putrinya dengan kasih sayang sambil
berkata,“Putriku, Mohulintoli.”
“Ya, Ayah. Ayah harus sembuh ya.” Mohulintoli
menciumi tangan ayahnya.
“Nak. Maafkan ayah. Jangan nakal ya, Nak.
Hormati ibumu dan sayangi Wunia, adikmu.” Suara ayah
Mohulintoli semakin kecil dan tersengal-sengal.
Setelah itu, tangan ayah Mohulintoli terlepas dari
genggaman putrinya. Mohulintuli kaget dan berteriak.
“Ayah, Ayah!” Mohulintoli mengguncang tubuh
ayahnya.“Ayah kenapa, Bu? Kenapa ayah diam dan
tidak bicara, Bu?” pekik Mohulintoli.
Ibu Mohulintoli memeriksa tangan dan hidung
suaminya. Dia tidak merasakan lagi hembusan napas
suaminya. Kemudian dia memeriksa nadi suaminya di
bagian leher. Dia pun tetap tidak merasakan denyut nadi
suaminya. Dengan rasa sedih dan pilu ibu Mohulintoli
3
memeluk kedua anaknya, dan menyampaikan bahwa
ayah mereka telah tiada.
“Mohulintoli, Puteriku dan Wunia, Puteraku.
Kalian harus sabar dan ikhlas ya, Nak. Ayah kalian telah
meninggalkan kita.”
Dengan wajah polos Mohulintoli bertanya.
“Ayah kemana, Bu?”
“Eya telah memanggil ayah kalian, Nak. Jadi,
ayah menghadap pada-Nya.”Ibu Mohulintoli dengan
suara sesak berusaha menenangkan dan membujuk
kedua anaknya.
“Apakah ayah akan kembali lagi ke kita, Bu?”
“Nak, ayahmu pergi untuk selamanya. Dia tidak
akan kembali lagi.”
Mohulintoni pun tunduk dan memeluk ayahnya.
Wuni-Wunia hanya diam dan bingung melihat ibu dan
kakaknya yang mulai menangisi kepergian ayahnya. Ibu
Mohulintoli tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
Ia menangis dan meratap. Ia sangat sedih karena kedua
anaknya masih kecil dan membutuhkan ayahnya untuk
melewati masa-masa sulit dalam kehidupannya.
Mohulintoli pun ikut menangis.
4
Ketika itu, Mohulintoli berusia tujuh tahun dan
adiknya, Wuni-Wunia berusia dua tahun. Usia yang
sangat belia untuk menjadi anak yatim.
Setelah ayahnya meninggal, Mohulintoli tinggal
bersama ibu dan adiknya di Bele Daa. Sebagai anak
pertama, Mohulintoli tumbuh menjadi gadis yang
mandiri. Sejak kecil dia diajari menenun oleh ibunya.
Setiap hari ia membantu ibunya menenun kain.
Meskipun jari-jemarinya masih kecil, dia sangat lincah
mengambil sabut kering untuk dipakai untuk membasahi
benang yg sedang ditenun. Dia pun sudah pintar
menyelipkan benang di antara alat-alat tenun.
Seiring dengan berjalannya waktu, Mohulintoli
tumbuh menjadi gadis remaja. Di usia empat belas tahun
tahun, tanpa dia sangka dan dia duga, ibunyatercinta pun
menyusul ayahnya menghadap Eya. Mohulintoli kembali
bersedih dan bermuram durja. Dia menjadi yatim piatu.
Ibunya yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, juga
telah pergi untuk selamanya. Seakan kehilangan
pegangan hidup, Molihuntoli hampir putus asa. Kini dia
hanya tinggal bersama adiknya Wuni-Wunia yang sangat
dicintainya, yang baru berusia sembilan tahun.
5
Ketika itu, ibu Mohulintoli sedang menenun dan
tiba-tiba kepalanya pening dan penglihatannya berputar.
Dia menghentikan pekerjaannya. Sambil merintih
kesakitan, dia memanggil Mohulintoli yang berada di
depan rumah.
“Mohulintoli, tolong ibu, Nak. Kepala ibu sakit
sekali.”
Sayup-sayup terdengar suara rintihan di telinga
Mohulintoli. “Sepertinya itu suara ibu memanggilku.Ada
apa ya ibu memanggilku?” Mohulintoli segera berlari ke
dalam rumah. Ia mendapati ibunya mengerang kesakitan
sambil memijit kepalanya. Ia sangat mencemaskan
keadaan ibunya.
“Ibu! Ibu kenapa?”
“Nak, Mohulinto...!” seketika itu ibu Mohulintali
tak sadarkan diri.
“Wunia! Wunia! Kamu di mana? Ibu, Wunia!
Tolong ibu, Dik!”
Wuni-Wunia datang menghampiri kakak dan
ibunya dan bertanya pada Mohulintoli.
“Kak, ibu kenapa?
6
“Tidak tahu, Dik. Tiba-tiba ibu memanggil kakak
dan tidak lama setelah kakak datang, ibu tak sadarkan
diri.
“Bu, bangun. Ibu kenapa?” Mohulintoli dan
Wuni-Wunia secara bersamaan memanggil nama ibu
mereka sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Sambil menangis terisak-isak Mohulintoli berusaha
menyadarkan ibunya.
“Ibu, bangun. Jangan tinggalkan kami! Jangan
tinggalkan Mohulintoli dan Wunia, Bu.”
Tiba-tiba, mata ibu Mohulintoli terbuka dan
menggerakkan tangannya lalu meraih tangan kedua
anaknya seraya berkata,
“Anakku Mohulintoli dan Wuni-Wunia. Kini
tiba saatnya ibu akan menyusul ayah kalian. Kalian harus
saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.
Maafkan ibu, Nak.” ibu Mohulintoli menatap wajah
kedua anaknya kemudian dia menutup mata dengan
meneteskan air mata kesedihan untuk yang terakhir
kalinya.
Air mata Mohulintoli dan adiknya pun
bercucuran melepas kepergian ibu mereka. Perih hati
7
Mohulintuli menatap wajah ibunya. Untung tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak. Dia dan adiknya tak
punya siapa-siapa lagi, kini mereka menjadi anak yatim
piatu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
8
2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular
Mohulintoli beranjak remaja. Parasnya semakin
cantik, hatinya lembut, sopan, dan semakin bertanggung
jawab. Perhatian dan kasih sayangnya pada Wuni-Wunia
melebihi dari apa pun. Mohulintoli selalu berusaha
memenuhi kebutuhan adiknya tanpa bergantung pada
keluarganya yang lain.
Pagi itu, ketika fajar menyingsing, burung-
burung mulai memberikan makan anaknya, ayam jantan
pun berkokok, Mohulintoli mulai membenahi rumahnya
yang besar dan asri. Rumah itu, satu-satunya harta
peninggalan orang tuanya yang ia miliki. Mohulintoli
sangat cekatan menata barang-barang peninggalan orang
tuanya sehingga rumahnya selalu tampak tertata rapi dan
bersih. Setelah selesai membersihkan rumahnya,
Mohulintoli kembali berbenah untuk menenun.
Layaknya gadis-gadis Batudaa lainya,
Mohulintoli kembali menekuni pekerjaan menenun
seperti ketika ibunya masih hidup. Pada awalnya, ia
menenun kain buat dirinya sendiri. Setelah semakin
mahir, ia pun menenun buat adiknya yang juga mulai
beranjak remaja. Pada suatu hari, Mohulintuli menenun
9
kain buat bibinya, Maputi dan sepupunya, Te Talenga,
yang selalu datang ke rumahnya dan melindunginya
sejak orang tuanya meninggal. Setelah selesai, kain
tenunan itu dia berikan kepada bibinya.
“Kain ini buat Bibi.”
“Wah, bagus sekali. Terima kasih, Nak. Beli di
mana? Bibi baru melihat kain tenun yang rapi dan halus
seperti ini.”
“Saya tidak beli, Bi. Itu hasil tenunan saya.”
“Nak, Bibi tidak menyangka kamu bisa menenun
sebagus itu. Bibi bangga padamu, Mohulintoli.”
“Yang ini buat Te Talenga.”
“Terima kasih Kak. Talenga senang sekali.”
“Sama-sama, Dik. Syukurlah kalau Maputi dan
Talenga menyukai hasil tenunan saya.”
Mohulintoli sangat puas melihat sinar
kegembiraan yang ditampakkan oleh bibi dan
sepupunya. Dia pun semakin bersemangat menenun.
Apalagi ketika ia tahu kain pemberiannya itu dijadikan
baju dan sering dipakai oleh bibi dan sepupunya. Setiap
kali memakai baju hasil tenunan Mohulintoli, Talenga
sering mendapatkan pujian dari teman-temannya.
10
“Talenga, kain bajumu bagus sekali. Beli di mana
kainnya?”
“Iya, kain ini memang bagus. Tenunannya rapi.
Itu hasil tenunan saudara sepupuku, Mohulintoli.”
“Wah, Mohulintoli hebat ya.”
Nama dan kerapian hasil tenunan Mohulintoli
semakin dikenal di seluruh kampung, sehingga banyak
orang yang meminta Mohulintoli menenun buat mereka.
Hari berganti hari, musim pun berganti.
Mohulintoli dan Wuni-Wunia beranjak dewasa.
Mohulintoli menjadi wanita cantik jelita nan rupawan.
Wuni-Wunia pun menjadi pria tampan, gagah, lagi
perkasa. Suatu hari, terbersit dalam hati Mohulintoli
untuk membuatkan ikat pinggang emas buat Wuni-
Wunia. Dia sangat berharap Wunia memakai ikat
pinggang itu menari Saronde di hari pernikahannya.
Keesokan harinya, Mohulintoli mulai menenun ikat
pinggang emas itu. Sementara itu, si tampan Wuni-
Wunia selalu meninggalkan kakaknya untuk memenuhi
undangan teman-temannya.
Silih berganti pemuda-pemudi datang ke Bele
Daa mengundang Mohulintoli dan Wuni-Wunia
11
bertandan ke rumah mereka. Karena ingin tenunannya
cepat selesai, Mohulintoli jarang menemani Wuni-Wunia
menghadiri undangan tersebut. Undangan para pemudi
itu dianggap biasa saja oleh Wuni-Wunia. Tidak lebih
sebagai undangan teman-teman saja. Akan tetapi, sikap
Wuni-Wunia itu sendiri akhirnya mencelakai dirinya
sendiri.
Suatu sore, seorang gadis mengundang Wuni-
Wunia bertandan ke rumahnya. Dengan sikap ramah
yang dibuat-buat, ia menyuguhkan makanan dan
minuman beserta daging buat Wuni-Wunia. Gadis itu
tahu betul Wuni-Wunia sangat menyukai daging.
“Wuni-Wunia, silakan minum dan makan!”
“Terima kasih. Saya disuguhi makanan yang
enak sekali.”
“Saya yang berterima kasih karena Wuni-Wunia
mau memenuhi undangan saya. Saya sangat bahagia.”
Wuni-Wunia pun makan dengan lahapnya tanpa
menyisakan sedikit pun makanan dan minumannya.
Setelah makan, dia pun merasakan sesuatu yang aneh
pada dirinya. Dia merasa seperti ingin merayap di lantai
dan meliuk-liukkan badannya, tapi tidak mengatakan itu
12
pada gadis yang mengundangnya. Akhirnya Wuni-
Wunia segera pamit pulang. Gadis itu pun merasa puas
sekali karena berhasil membalas dendam pada Wuni-
Wunia dengan menyuguhkan daging ular karena yang
tidak membalas perhatian dan kasih sayangnya. Wuni-
Wunia lalu menemui kakaknya yang sedang menenun di
rumah.
“Mohulintoli, kenapa perasaanku aneh sekali?”
“Ada apa denganmu, Wunia?”
“Seakan-akan aku ingin merayap di lantai sambil
meliuk-liukkan badanku. Lidahku juga seakan ingin
terjulur keluar.”
“Kenapa bisa begitu Wunia? Apa yang telah
kamu lakukan, Dik?”
“Tadi Wunia dari rumah seorang gadis dan
disuguhi makanan dan daging. Wunia makan dengan
lahap daging itu karena Wunia sangat suka.”
“Kamu tahu itu daging apa?”
“Tidak. Aduh Mohulintoli! Sepertinya aku akan
berubah menjadi seekor ular.”
“Wunia! Jangan-jangan daging yang kamu
makan tadi betul daging ular?”
13
“Entahlah! Kenapa jika betul daging ular, Kak?”
“Wunia, waktu kecil dulu ayah sering cerita
bahwa keluarga kita tidak boleh makan daging ular
karena nenek moyang kita memiliki perjanjian dengan
bangsa ular. Jika salah seorang anak cucu turunan
keluarga kita memakan daging ular, dia akan berubah
wujud menjadi ular. Nah, mungkin Wunialah yang
merasakan karma itu.”
“Kak. Wunia takut itu terjadi!”
Dengan berurai air mata, Mohulintuli merangkul
adiknya sambil berteriak histeris, “Mengapa derita kita
tidak berakhir? Mengapa derita ini menimpa kita?”.
Tiba-tiba Mohulintoli mendengar suara bisikan halus,
“Mohulintoli, setiap celaka, ada gunanya. Bersabarlah,
dan teruskan pekerjaanmu!”
Suara itu pun menghilang. Mohulintoli
melanjutkan pekerjaannya membuat ikan pinggang
emas. Ia ingin ikat pinggang emas itu segera dililitkan ke
pinggang adiknya sebelum berubah menjadi ular agar
kelak ketika Wunia berubah wujud menjadi ular dia
mengenalinya. Wunia pun mondar-mandir di dekat
Mohulintoli tapi tak sedetik pun di perhatikan oleh
14
kakaknya. Wunia hanya mendengar kakaknya bergumam
seolah menyampaikan pesan.
Nantikan aku, nantikan,
Nantikan di hulunya,
Nantikan di datarannya
15
sambil mengangkangi ekor Wuni-Wunia untuk mengikat
dengan erat ikat pinggang emas itu. Secepat kilat pun
Wuni-Wunia mengebaskan ekornya hingga Mohulintoli
tercampak ke atas puncak pohon di tepi sungai itu.
Dari puncak pohon, Mohulintoli menyaksikan
adiknya merayap ke daratan menuju sebuah liang yang
besar. Wuni-Wunia telah disambut oleh ular-ular besar
dan kecil di liang itu. Dengan ikat pinggang emas itu,
Mohulintoli pun dapat mengenal adiknya.
Rasa sepi dan sedih mulai merambah ke hati
Mohulintoli. Hatinya pun semakin sedih memikirkan
adiknya yang berubah wujud menjadi ular, sedih karena
ia tidak bisa turun dari pohon untuk kembali ke
rumahnya. Hari semakin gelap, senja mulai datang dan
malam pun tiba.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
16
3. Gadis Jelita di Puncak Pohon
Malam semakin kelam, bintang dan bulan tak
menampakkan cahayanya, suasana hutan pun semakin
sunyi. Sesekali terdengar suara jangkrik bersahutan
bergantian dengan suara burung hantu. Mohulintoli tidak
dapat memejamkan matanya. Dia berusaha melawan
hawa dingin angin malam. Untungnya tangkai pohon
yang diduduki bisa menahan dan melindungi tubuhnya
dari rasa dingin yang semakin menusuk-nusuk kulit
halusnya. Hawa dingin itu semakin merisaukan dirinya,
pikirannya selalu tertuju pada adiknya yang telah jauh
darinya, sampai dia terbawa mimpi bertemu dengan
adiknya.
“Aduhai Wunia, adikku sayang. Pasti kamu
kedinginan juga di luar sana. Kakak sangat
mengkhawatirkan kamu, Dik!”.
“Mohulintoli, kakakku. Bersabarlah. Aku tak
dapat menolak takdirku menjadi seekor ular. Di sini
banyak teman-temanku yang menjaga aku. Tidak usah
mengkhawatirkanku. Pulanglah ke rumah.”
“Tapi Wunia, kakak tidak bisa meninggalkanmu
di sini.”
17
“Tidak apa-apa, Kak. Semoga Eya menolong dan
menjaga kita, Kak.”
Tiba-tiba Wunia menghilang dari hadapan
Mohulintoli. Mohulintoli berusaha memanggil adiknya
kembali.
“Wuni-Wunia! Wunia! Kembalilah pada kakak.
Kakak masih ingin berbincang denganmu, Dik.”
Mohulintoli berusaha mengejar adiknya tapi ia
kehilangan jejak. Akhirnya Mohulintoli menangis sedih
lalu terbangun dari mimpinya.
Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda,
ketika menjelang senja, Istana Limboto sangat ramai.
Baginda Raja Walungo, Raja Limboto, mengundang
para pemuda dan pemburu pada jamuan makan malam.
Baginda sangat senang bergaul dengan mereka karena
raja sendiri masih muda dan belum menikah. Para bate
sudah lama menunggu titah untuk dicarikan pendamping
hidup, tetapi Baginda Raja Walungo belum pernah
menitahkannya.
Sore itu, tanpa sengaja salah seorang sahabat
Baginda Walungo berkelakar secara halus.
18
“Duhai,Baginda Raja. Alangkah semaraknya
sangkar ini bila lengkap penghuninya.”
“Eya pasti akan menurunkan burung yang
disenangi rakyat kepada rajanya.”
Para pemuda dan pemburu itu sangat senang
mendengar jawaban sang raja yang tampak gembira dan
bersemangat. Pada saat makan malam, tiba-tiba sang raja
berkata
“Alangkah enaknya bila makanan ini dilengkapi
dengan daging rusa.”
“Baginda, besok pagi kami semua ke hutan
berburu.” Serentak para pemuda dan pemburu menjawab
mendengar sindiran raja.
“Baiklah, kalau begitu, kalian harus berpencar.
Ada yang ke timur, ada yang ke barat. Sebagian ke utara,
dan sebagian lainnya ke selatan.”
“Daulat, Tuan Baginda Raja.”
Malam semakin larut. Satu per satu pemuda dan
pemburu berdatang sembah dan memohon diri kembali
rumah masing-masing.
Keesokan harinya ketika fajar menyingsing, para
pemuda dan pemburu berkumpul. Mereka sudah siap
19
dengan tombak, kelewang, dan sumpit. Sebelum
meninggalkan kampung, mereka membagi diri dalam
empat kelompok lalu berpencar sesuai dengan titah raja.
Para kelompok pemburu pun bergerak menuju hutan.
Di tengah hutan, mentari mulai menampakkan
sinarnya. Di sela-sela dedaunan pohon tinggi dan
rindang, tampak bayangan sinar mentari seakan
menembus setiap daun yang dilaluinya. Meskipun
matahari sudah bersinar, hutan masih terasa sangat sejuk.
Binatang-binatang hutan pun asyik menikmati pagi hari.
Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting
pohon sambil bersiul gembira. Monyet-monyet
bergelantungan lalu berlari di atas dahan. Rusa dan anoa
dengan lincah melompat kegirangan ke kiri dan ke sana
ketika mendapat makanan yang mereka cari. Tiba-tiba
suasana hutan berubah ketika burung-burung
memberikan tanda bahwa bahaya sedang mengancam
penghuni hutan.
“Cuit...cuit...cuit...cuit...cuit...cuit.”
“Kaok... kaok... kaok...kaok...kaok.”
Pekikan suara burung yang bersahutan itu
mendengar tanda-tanda alam bagi seluruh penghuni
20
hutan bahwa nyawa mereka terancam. Spontan seluruh
binatang berusaha menyelamatkan diri. Burung-burung
yang tadinya bermain dan bersiul di ranting pohon,
semuanya membisu dan bersembunyi di balik dedaunan.
Babi butan dan rusa lari mencari tempat yang aman.
Sekelompok monyet yang bergelantungan di pohon juga
tak nampak lagi. Dalam sekejap hutan menjadi dan
lengang. Suara binatang kecil pun tidak kedengaran.
Seakan mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka
menampakkan diri.
Para pemburu pun memasuki hutan. Mereka
heran mengapa hutan sangat sepi. Tak seekor binatang
pun yang tampak. Mereka pun mengatur strategi
pemburuan. Pemimpin pemburu menyuruh anggotanya
berjalan pelan-pelan sambil mengendap-ngendap dan
mengintai binatang buruan mereka.
“Siiit!” pemimpin pemburu meletakkan
telunjuknya di bibir lalu mengarahkan para pemburu
untuk mengintai binatang buruan. Mereka berusaha
menemukan binatang buruan agar Raja Walungo tidak
kecewa. Akhirnya, mereka menemukan persembunyian
21
binatang-binatang tersebut. Para pemburu itu pun berlari
dan mengejar binatang buruan sambil berteriak-teriak.
“Nah, itu rusa. Ayo kejar!”
“Kejar! Awas! Dia lari ke sana.”
“Itu anoa! Kejar! Kejar!”
Hutan pun menjadi ramai dengan suara hiruk
pikuk dari segala penjuru, binatang-binatang di hutan
berusaha menyelamatkan diri. Pada akhirnya mereka
berhasil memperoleh seekor rusa dan anoa.
Matahari mulai condong ke barat. Para pemburu
pun pulang ke kampung. Di tengah perjalanan, secara
kebetulan mereka melintasi sungai tempat si ular Wuni-
Wunia menyeberang. Air sungai itu sangat bening,
sebening kaca, sehingga bayangan kecil pun tampak
dalam air. Sejenak mereka berhenti beristirahat di tepi
sungai itu.
Salah seorang pemburu pun mengambil air di
sungai. Pada saat akan mengambil air, secara tak sengaja
ia melihat seorang puteri jelita sedang duduk di puncak
sebatang kayu dalam air. Ia kaget dan sontak berteriak ke
pemburu lainnya.
“Hei! Ada seorang gadis di lubuk sana!”
22
“Ah! Tidak mungkin!”
“Kalau kalian tidak percaya, kemarilah! Lihat
sendiri!”
Serentak para pemburu mendekat dan melihat
dengan jelas bahwa benar ada puteri cantik yang sedang
duduk di atas puncak pohon di lubuk. Salah seorang
pemburu memperhatikan tanda-tanda alami yang
dinampakkan sang puteri. Lalu ia berkata kepada
pemimpin pemburu.
“Tuan, menurut saya, puteri itu memperlihatkan
tanda baik dan bahagia.”
“Apa yang nampak padanya?”
“Tuan, puteri itu sedang menghadap ke Timur
Laut sementara berusaha memetik buah yang tidak bisa
dia jangkau. Itu sebuah pertanda baik. Andaikan dia
duduk termenung dengan rambut terurai, itu pertanda
buruk.”
“Baiklah, jika demikian, mari kita cari puteri itu.
Lalu kita persembahkan kepada Baginda Raja Walungo.”
Satu per satu para pemburu itu menyelam untuk
mencari sang puteri jelita. Mereka berusaha menemukan
23
puteri itu, tetapi tak seorang pun menemukannya.
Akhirnya, mereka pun kembali ke permukaan sungai.
Matahari semakin condong ke barat. Sinar
lembayung senja semakin memenuhi kaki langit.
Pemimpin pemburu pun memerintahkan semua
anggotanya mengangkat hasil buruan dan melanjutkan
perjalanan pulang ke kampung. Terbersit dalam pikiran
sang pemimpin pemburu bahwa berita tentang gadis itu
harus disampaikan kepada raja. Lalu dia diskusikan
kepada anggotanya.
“Tuan-tuan, berita ini harus segera kita
sampaikan kepada raja.”
“Ya, barangkali gadis itulah pemberian Eya yang
dimaksud oleh raja kemarin malam di istana,” sahut
pemburu yang mampu melihat tanda baik gadis itu.
Cahaya merah kekuningan telah menghilang.
Perlahan cahaya remang terang bulan mulai menerangi
langkah para pemburu. Tidak lama kemudian, mererka
tealh sampai di Istana Limboto. Pemimpin pemburu pun
menyampaikan penyesalannya karena hasil buruan
mereka sangat sedikit.
24
“Ampun, Baginda. Maafkan kami karena kami
tidak membawa hasil buruan yang banyak!”
“Tidak apa-apa. Yang penting kalian semua
pulang dengan selamat.”
“Ada satu berita penting lagi, Baginda.”
“Aada apa gerangan?”
“Dalam perjalanan pulang, kami singgah
beristrahat di tepi sungai. Tanpa sengaja salah seorang
dari kami melihat seorang puteri cantik jelita di lubuk.
Dia duduk di atas di puncak pohon. Dia menghadap ke
Timur Laut sambil berusaha memetik buah yang jauh
dari jangkauannya.”
“Lalu?”
“Kami sepakat untuk mencari puteri itu dan
membawanya pulang.”
“Di mana puteri itu sekarang?”
“Ampun, Yang Mulia. Setelah menyelam, kami
tak menemukan puteri itu. Akhirnya kami kembali ke
permukaan dan puteri itu masih tampak di lubuk. Karena
hari sudah mulai malam, kami memutuskan pulang ke
istana, untuk melaporkan hal ini kepada Baginda.”
25
Raja Walungo tersentak dari tempat duduknya
ketika mendengar berita tentang puteri jelita itu. Baginda
Raja Walungo seakan-akan tidak percaya dengan berita
tersebut. Beliau ragu dan bimbang. Terbersit tanya dalam
hatinya, “Apakah benar puteri jelita itu di atas pohon dan
sendirian di tengah hutan?” Lalu, Raja Walungo
menjawab sendiri pertanyaannya, “Tidak ada yang tidak
mungkin.” Saat itu pula Baginda Raja Walungo bertitah.
“Pengawal! Siapkan segala sesuatunya. Besok
menjelang fajar kita ke hutan bersama-sama.”
“Daulat, Tuanku Yang Mulia.”
Keesokan harinya, ketika fajar menyingsing dan
cahaya kekuningan mulai tampak di ufuk timur, para
pemburu kembali berkumpul di istana. Tiba-tiba muncul
seorang ibu hamil melintas di depan istana dan salah
seorang pemburu langsung bersin. Raja Walungo pun
segera bertitah.
“Ini pertanda baik. Ayo kita berangkat.”
Dengan wajah berseri dan bersemangat
rombongan raja menuju ke tepi sungai tempat puteri
ditemukan. Ketika melihat sungai itu Raja Walungo pun
bergumam.
26
“Air sungai ini benar-benar jernih dan bening. Di
manakah gerangan puteri jelita yang mereka ceritakan
semalam?”
Raja pun mendekati tepian sungai dan beliau
menyaksikan sendiri bayangan puteri jelita di atas
puncak pohon di dalam air. Raja pun menyuruh
rombongannya untuk menyelam mencari puteri itu.
“Temukan puteri itu. Bawalah ke hadapanku
sekarang!”
Dimulailah penyelaman ke dasar sungai untuk
mencari puncak pohon yang tampak di permukaan
sungai, namun tak seorang pun menemukan pohon dan
puteri jelita itu. Raja Walungo semakin penasaran dan
tanpa pikir panjang mahkotanya ditanggalkan lalu
menuju tepi sungai. Bayangan wajah sang puteri jelita
semakin tampak jelas di dalam air.
“Kasihan puteri itu. Aku harus menolongnya dan
membawanya pulang ke istana.”
Raja pun meloncat ke sungai dan menyelam
sampai ke dasarnya. Namun, usahanya sia-sia belaka.
Raja tak menemukan sang puteri. Raja tetap bersemangat
menyelam meskipun tenaganya sudah mulai menurun
27
dan perutnya minta diisi. Samar-samar terdengar suara
dari atas permukaan sungai.
“Telentang-telentang, miring selam, miring-
miring.”
Sejenak raja muncul ke permukaan dan melihat
siapa yang berbicara. Rupanya tidak ada orang di sekitar
sungai karena semua rombongannya sedang menyelam.
Yang ada hanya seekor katak betina. Raja pu
melanjutkan mencari sang puteri. Si kodok betina
bersuara lagi.
“Telentang-telentang, selam miring-miring,
miring-miring selam,”
Raja merasa bahwa katak tersebut mengarahkan
gaya selamnya. Raja seolah-seolah memperoleh
kekuatan baru lalu mengikuti arahan katak tersebut, lalu
menyelam dengan gaya telentang dan miring-miring.
Berulang kali dicobanya gaya tersebut, tetapi raja tak jua
menemukan sang puteri. Raja pun kehabisan tenaga dan
berusaha kembali ke tepi sungai. Raja semakin iba pada
puteri itu karena tidak berhasil ditolongnya. Raja mulai
berbicara pada dirinya sendiri.
28
“Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan
puteri itu. Kasihan dia. Dia membutuhkan
pertolonganku. Aku harus menyelamatkan nyawanya.”
Ketika raja sedang berbicara sendiri, seekor katak
jantan di dalam air juga bergumam seolah menyambung
kata-kata katak betina tadi.
“Miring-miring, telentang-telentang
selam miring-miring,
selam telentang-telentang.”
29
menertawakan dirinya sendiri, dengan napas terengah-
engah. Ia berhasil menangkan diri.
“Hampir mati aku menyelam mencarimu.
Padahal Engkau duduk manis di atas sana.”
Segera raja membalikkan badan dan berenang ke
tepian seraya memanggil rombongannya kembali ke
darat.
“Kalian semua, naiklah kalian ke darat.”
Seluruh anggota rombongan pun berkumpul dan
heran melihat tingkah laku raja mereka. Mereka sangat
kasihan pada raja yang telah bersusah payah mencari
sang puteri jelita namun tiada hasil.
“Lihatlah ke atas pohon itu. Pandang baik-baik!”
“Ada apa gerangan di atas pohon sana, Yang
Mulia?”
“Perhatikan puncak pohon besar itu!”
Seluruh mata terpaku memandang dan melihat ke
arah pohon besar itu. Di sana, tampak seorang puteri
jelita yang menyamping menghadap Timur Laut sambil
memetik buah seperti bayangan di sungai. Tiba-tiba
salah seorang pemburu bersuara.
30
“Rupanya Eya telah mempertemukan Baginda
dengan sang puteri jelita!”
“Betul! Hanya dengan kesabaran, ketekunan, dan
kepasrahan, yang baik itu dapat diperoleh,” sambung
pemburu lainnya.
“Ayo, turunkanlah puteri itu untukku!” Teriak
raja kepada semua anggota rombongan.
Semua anggota rombongan mulai berpikir
bagaimana cara menurunkan sang puteri dari atas puncak
pohon. Akhirnya, mereka menemukan cara yang tepat.
Mereka harus membuat tangga dengan berdiri sambung
menyambung hingga bisa mencapai tempat sang puteri.
Orang yang berdiri paling atas pun berusaha membujuk
sang puteri agar mau turun ke tanah.
“Wahai Tuan Puteri! Siapakah gerangan dirimu?”
“Hamba Mohulintoli.”
“Apa yang engkau lakukan di atas sini?”
“Hamba sedang menanti adik hamba dan
mengawasinya dari jauh.”
“Apa gerangan yang terjadi?”
“Adik hamba, Wuni-Wunia, sedang dalam
bahaya. Dia berubah wujud menjadi ular karena ulah
31
seorang yang tidak menyukainya. Ketika hamba
melilitkan ikat pinggang emas di tubuhnya, tanpa
sengaja adik hamba menendangku dengan ekornya
hingga hamba terpental jauh naik ke puncak pohon ini,
dan hamba takut turun sendiri. Akhirnya hamba
memutuskan untuk tetap di atas puncak pohon ini sambil
mengawasi adik hamba.”
“Sungguh malang nasibmu! Di sini sangat
bahaya. Kami akan menolongmu. Baginda Raja
Walunga memerintahkan kami untuk menolongmu,
Puteri Mohulintoli. Ikutlah dengan kami turun ke
bawah.”
“Hamba tidak mau ikut turun kecuali Baginda
Raja Walunga memenuhi permintaan hamba.”
Baginda Raja Walunga mendengar percakapan
mereka. Lalu Baginda Raja berteriak dengan lantang.
“Wahai Tuan Puteri yang cantik jelita! Apa
sajakah permintaanmu? Katakanlah! Akan kudengarkan
sekarang.”
“Permintaan hamba tidak banyak, Baginda.”
32
“Ya, Tuan Puteri. Apa pun permintaanmu akan
kukabulkan, asalkan Tuan Puteri mau turun dari pohon
besar itu.”
“Baiklah, Baginda. Permintaan hamba yang
pertama, hamba tidak mau turun jikalau Baginda tidak
berusaha membantu hamba mengubah adik hamba
menjadi manusia kembali. Kedua, kelak Wuni-Wunia
harus menjadi raja jika Baginda wafat.”
Tanpa berpikir panjang, Raja Walungo segera
menerima permintaan Puteri Mohulintoli. Raja hanya
mengingat pertolongan buat sang puteri lebih utama.
Akhirnya Puteri Mohulintoli turun dari puncak pohon
melalui pundak anggota rombongan yang berdiri
bersusun.
Raja Walungo bersama rombongan pun kembali
ke istana bersama Puteri Mohulintoli. Raja telah berpikir
untuk menikahi Putri Muhulintoli. Ketika mereka telah
tiba di istana, Raja pun berkata kepada Putri Mohulintoli.
“Bolehkah aku mempersuntingmu? Hanya itu
satu-satunya cara agar kau bisa tinggal di istana. Apa
kata orang nanti jika kita tinggal bersama?”
33
Tiba-tiba Puteri Mohulintoli bersembah di
hadapan Raja Walungo.
“Baginda, Yang Mulia.”
“Ya, Puteri. Mengapa Engkau tiba-tiba bersujud
di hadapanku?”
“Duli, Tuanku Yang Mulia. Apakah hamba boleh
mengajukan satu permintaan lagi?”
“Tentu saja boleh. Silakan!”
“Baginda, bukankankah Baginda junjungan adat
dan teladan bagi seluruh negeri? Hamba bersedia, tapi
hamba mohon agar acara pernikahan kita ditangguhkan
hingga adikku Wuni-Wunia kembali menjadi manusia
agar Baginda Raja dapat melaksanakan acara adat
pernikahan.”
Sang raja terkesima dengan permintaan Puteri
Mohulintoli. Raja merasa berat untuk menolak
permintaan sang puteri. Akan tetapi, sebagai junjungan
adat di daerah kerajaan, Raja pun mengiyakan keinginan
Puteri Mohulintoli. Akhirnya, Puteri Mohulintoli tidak
dibawa masuk ke istana, tetapi diantar ke bele daa
keluarga raja di sekitar istana.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
34
4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri
Berita tentang seorang puteri jelita di puncak
pohon yang ditemukan Raja Walungo tersebar ke seluruh
negeri malam itu juga. Rakyat Limboto di sekitar istana
pun gempar dan penasaran ingin melihat langsung wajah
Sang Puteri. Mereka berbondong-bondong menuju
istana. Istana menjadi ramai dengan cahaya gemerlap
dan penuh sesak dengan manusia.
Semua yang hadir di istana bertanya-tanya
mengapa raja mereka membawa pulang puteri jelita itu.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka menyeletuk.
“Siapa ya puteri jelita itu? dan kira-kira apa ya...
tujuan raja membawa puteri itu kemari?”
“Menurut salah seorang pengawal yang ikut
bersama raja ke hutan, gadis itu bernama Puteri
Mohulintoli. Karena kecantikannya, Raja Walungo ingin
menyunting puteri itu,” Jawab salah seorang pelayan
istana.
“Hhh! O...Eya terima kasih. Engkau telah
mengirimkan calon permaisuri bagi raja kami.”
Serempak yang hadir di istana bersyukur pada Eya.
35
Malam itu, Raja walungo sangat bersukacita
karena sebentar lagi akan memiliki pendamping hidup.
Sukacita Raja disambut riang gembira oleh rakyatnya
meskipun mereka tidak dapat melihat langsung wajah
Puteri Mohulintoli.
Pada waktu yang sama di bele daa, Mohulintoli
hanya boleh melihat kebahagiaan raja dan rakyatnya dari
balik jendela. Adat istana tak mengizinkan anak gadis
yang akan menikah tidak boleh keluar dari rumah.
Malam itu pula, berita keputusan Sang Raja
untuk mempersunting Sang Puteri Jelita pun tersebar ke
seluruh penjuru. Timbul desas desus di kalangan gadis-
gadis istana, tak terkecuali Minanga, puteri Panglima
Kerajaan Limboto. Dia bertanya pada para dayang-
dayangnya.
“Secantik apakah puteri itu hingga Baginda Raja
menjatuhkan pilihan padanya?”
“Wah, kami juga tidak tahu Tuan Puteri. Kami
belum melihat wajahnya karena Baginda Raja langsung
membawa puteri itu ke bele daa di samping istana.”
Puteri Minanga sangat kecewa dengan jawaban
dayang-dayangnya. Sebenarnya dia sangat marah dan
36
kecewa karena Raja Walungo lebih memilih gadis yang
baru dikenalnya daripada dirinya yang sejak kecil
tumbuh bersama dengan Sang Raja. Akhirnya dia hanya
memendam keinginannya untuk mendampingi sang raja.
Tiba-tiba muncul ide dalam pikiran Puteri Minanga
untuk bertemu dengan Puteri Mohulintoli di bele daa.
Malam semakin larut, bulan telah berlindung di
balik awan, temaram cahaya lampu mulai redup, rakyat
pun kembali ke rumah masing-masing. Istana perlahan
mulai sepi. Hanya pengawal istana yang sesekali
kelihatan mengitari istana.
Sementara itu, di bele daa, Mohulintoli berusaha
memejamkan matanya. Sudah dua hari ia tidak tidur
dengan nyaman. Sebenarnya ia pun tak menyangka akan
menjalani idup seperti sekarang. Akan tetapi, demi
adiknya Wuni-Wunia, dia rela melakukan apa saja
termasuk jika harus menikah dengan seorang raja yang
baru dikenalnya. Tak lama kemudian, Mohulintoli
tertidur pulas.
Keesokan harinya, menjelang pagi, Mohulintoli
terjaga dari tidurnya karena suara ayam jantan berkokok
yang saling bersahutan. Rasa lelah dan kantuknya
37
terbayarkan. Tubuhnya kembali segar. Mohulintoli
bergegas bangkit dan merapikan tempat tidurnya. Ketika
ia menyibak jendela kamar, tampak olehnya para petani
yang sudah menggiring sapinya ke sawah. Setelah
membersihkan dirinya, Mohulintoli pun membenahi bele
daa seperti kebiasaannya di rumahnya sendiri. Para
penghuni bele daa lainnya masih terlelap. Mohulintoli
dengan cekatan menata dan merapikan bele daa itu.
Setelah itu, Mohulintoli menyeduh kopi untuk anggota
keluarga bele daa.
Aroma kopi buatan Mohulintoli membangunkan
paman Baginda Raja Walungo, yang menemani
Mohulintoli di bele daa. Paman Raja sangat terkesima
karena bele daa sudah rapi dan bersih. Penghuni rumah
lainnya pun ikut terbangun.
“Uhhmm... wangi sekali! Siapa yang membuat
kopi?”
“Maafkan Mohulintoli, Paman. Saya sudah
lancang masuk ke dapur tadi dan menyeduh kopi buat
Paman.”
“Terima kasih, Nak. Kamu rajin sekali. Pasti Nak
Mohulintoli yang membereskan bele daa ini, kan?”
38
Mohulintoli hanya tersipu malu dipuji oleh
paman raja. Lalu Mohulintoli menjawab dengan sopan
dan lemah lembut.
“Paman, saya hanya melakukan yang seharusnya
saya lakukan. Terima kasih juga karena Paman telah
menjaga saya di rumah ini.”
“Mohulintoli, alangkah bahagianya ponakanku,
Baginda Walungo, bila kelak ia mempersunting kamu,
Nak. Parasmu tidak saja cantik, perilakumu pun sangat
sopan dan sabar. Kamu memang pantas untuk
ponakanku.”
Mohulintoli semakin tersipu malu dan beranjak
menuju kamarnya. Paman raja lalu memanggilnya untuk
tetap bersama keluarga bele daa menikmati pagi dengan
kopi dan pisang goreng.
“Mohulintoli, duduklah sebentar bersama kami di
sini, Nak.”
“Baiklah, Paman.”
“Nak. Paman akan menceritakan sesuatu padamu.
Sesungguhnya Pohalaa Limutu „Kerajaan Limboto‟
terdiri dari satu linula besar yang merupakan gabungan
dari lelaa-lelaa, termasuk lelaa Batu dan tempat
39
Mohulintoli dilahirkan. Perkawinan antara orang-orang
dari satu lelaa dan lelaa lainnya dalam satu linula adalah
hal yang biasa.”
Ucapan terakhir paman raja membuat hati
Mohulintoli semakin tak karuan dan ia pun berusaha
meninggalkan keluarga raja menuju kamarnya. Ketika
Mohulintoli sudah mulai beranjak, tiba-tiba beberapa
orang tua dan pengawal istana menaiki tangga bele daa.
“Tunggu! Mohulintoli, jangan beranjak dulu,
Nak. Tamu dari istana ini ingin bertemu denganmu.”
Tanpa sepatah kata pun, Mohulintoli mengikuti
keinginan paman raja. Dia merapikan duduknya lalu
menjemput tamu dari istana dengan senyuman yang
ramah. Paman raja pun membuka pembicaraan lagi.
“Nak, Negeri Limboto ini mempunyai adat.
Pertemuanmu dengan baginda dan ikatan janji yang telah
dimufakati di depan rakyat telah dianggap sebagai
peminangan resmi atas dirimu. Sambil menunggu
adikmu berubah menjadi manusia, hingga memasuki
pernikahan, kau telah resmi bertunangan dengan
baginda.”
40
Mohulintoli hanya tertunduk dan diam
mendengar perkataan paman raja. Dia tidak berani
menatap orang-orang yang hadir di bele daa itu. Paman
raja lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Nak, para tamu dari istana membawa wohiya
„hadiah pertunangan‟. Bungkusan kecil yang di atas baki
ini adalah tilamungo „bungkusan yang berisi perhiasan‟
dan bungkusan yang satu ini adalah putu „bungkusan
kain-kain bahan pakaian‟. Semua itu buat kamu, Nak.”
“Terima kasih, Paman.”
Hanya sepatah kata itu yang mampu keluar dari
mulut Mohulintoli di pagi hari yang cerah itu.
Tanpa disadari oleh Mohulintoli, sepasang mata
telah mengawasinya dari balik pintu bele daa sejak tamu
dari istana belum datang. Puteri Minanga telah
mendengar semua percakapan Mohulintoli dan paman
raja sejak awal. Dia tidak berdaya dan tidak bisa
berharap banyak lagi untuk menjadi permaisuri Raja
Walungo. Akhirnya, ia pun harus mengakui bahwa
Mohulintoli memang pantas menjadi permaisuri Raja
Walungo.
41
Hari pun mulai siang. Sinar matahari semakin
menyengat. Para tamu dari istana pun memohon pamit.
Sementara itu, di istana Raja Walungo sudah tidak sabar
ingin segera melangsungkan perkawinannya dengan
Mohulintoli. Raja pun mendapat ide dengan meminta
bantuan rakyat atau orang pintar di negerinyauntuk
mengubah adik Mohulintoli menjadi manusia lagi. Raja
mengumpulkan rakyat, para hulubalang, dan dukun-
dukun yang terkenal dari seluruh penjuru kampung. Tak
lama kemudian, Raja Walungo yang duduk di atas tahta
berdiri dan berteriak lantang.
“Wahai rakyatku dan seluruh dukun-dukun
penjuru negeri ini. Siapakah di antara kalian yang
mampu mengubah seekor ular menjadi manusia?”
Semua yang hadir saling berpandangan dan
seketika istana sepi. Tak seorang pun yang berani
mengangkat kepalanya, karena mereka pikir tidak
mungkin mengubah seekor ular menjadi manusia. Tiba-
tiba seorang dukun tua dan sakti memberanikan diri
berbicara pada raja.
“Baginda, hamba ini hanya manusia biasa.
Hamba akan berusaha melakukannya. Namun, hamba
42
mohon pada Baginda jangan hukum hamba jika usaha ini
tidak berhasil karena semua itu bergantung pada Eya.
Dialah Yang Mampu melakukan segalanya.”
“Baiklah, Paman. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita membutuhkan minyak tujuh tempayan.
Tuangkan minyak itu setempayan demi setempayan
hingga tempayan keenam ke dalam liang ular tersebut.
Tempayan ketujuh digunakan untuk menyiram tubuh
ular yang akan diubah itu.”
Raja Walungo memerintahkan para pengawalnya
untuk menyiapkan minyak tujuh tempayan. Setelah itu,
raja dan seluruh hulubalang, bate-bate, penghuni bele
daa termasuk Mohulintoli, menuju liang lahat tempat
Wuni-Wunia bersembunyi. Satu persatu tempayan yang
berisi minyak dituang ke dalam liang ular itu. Ketika
tempayan ketiga dituang, ular-ular kecil mulai merayap
keluar dari liang itu. Setelah minyak di tempayan
keenam dituang, keluarlah seekor ular besar yang
berlilitkan ikat pinggang emas.
“Lihat! Itu Wunia-Wunia, adikku. Ikat pinggang
emas yang melingkar di tubuhnya adalah hasil tenunanku
sendiri.”
43
Mohulintoli secara spontan berteriak kegirangan
memecahkan sepi dan tegangnya orang-orang
menyaksikan ular-ular yang keluar dari liang itu. Lalu,
dukun sakti itu pun mendekati Mohulintoli dan
menyerahkan tempayan ketujuh.
“Tuan Puteri, siramkanlah minyak ini pada
adikmu, dan berdoalah pada Eya agar adikmu berubah
wujud menjadi manusia kembali.”
“Baiklah, Paman.”
Mohulintoli pun menuangkan minyak dalam
tempayan itu ke tubuh adiknya dan perlahan-lahan ia
berkata:
“Wuni-Wunia, adikku
kembalilah kepadaku
engkaulah yang menjadi waliku
menikah dengan rajaku.
dalam sekejap mata
berdirilah bulu roma
ular merayap
menjadi manusia pastilah sudah.”
44
serta merasakan kegembiraan Mohulintoli dan adiknya.
Baginda Raja lalu bertitah.
“Kalian, rakyatku sekalian. Marilah ke istanaku
dengan adikku Wuni-Wunia mempersatukan bicara.”
Mohulintoli melihat adiknya kebingungan
melihat sikap dan titah Sang Raja. Dia pun membisiki
adiknya.
“Ssttt...Wuni-Wunia, adikku. Berterima kasihlah
pada Raja Walungo yang telah menolong kita. Baginda
Rajalah yang menolong kakak setelah kau tidak sengaja
menendangku hingga terlontar ke atas pohon. Baginda
pula yang menolong Wunia berubah menjadi manusia
kembali.”
“Maafkan Wunia, Kak. Wunia tidak sengaja
melakukannya.”
“Ya, tidak apa-apa Wunia. Satu lagi, Wunia. Raja
Walungo telah melamar kakak, tetapi kakak tidak mau
menikah hingga Wunia berubah wujud, menjadi manusia
lagi. Sekarang tiba saatnya kita membalas kebaikan
Baginda Raja Walungo, Dik.”
Wuni-Wunia pun mengerti dan memahami sikap
ramah raja kepadanya. Dia merasa simpati dan nyaman
45
atas sikap Raja Walungo padanya. Wuni-Wunia pun
menerima uluran tangan Baginda Raja Walungo dengan
penuh rasa persahabatan.Tidak terasa, sore menjelang.
Lembayung senja kembali menghias kaki langit
menyambut Wuni-Wunia memasuki bele daa bersama
kakaknya, Mohulintoli.
Beberapa hari setelah kembalinya Wuni-Wunia,
istana kembali sibuk dengan persiapan pesta adat
pernikahan Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli.
Keluarga Mohulintoli dari Batudaa juga turut hadir pada
acara tersebut. Setelah melalui berbagai rangkaian adat,
Raja Walungo mengumumkan kepada seluruh rakyatnya
bahwa Mohulintoli telah resmi menjadi permaisurinya.
“Rakyatku sekalian, hari ini Mohulintoli resmi
menjadi permaisuri negeri pohalaa Limboto. Jika aku
mangkat, iparku, Si Wuni-Wunia akan menggantikanku.
Inilah janjiku. Dan Eya akan murka terhadap orang-
orang yang ingkar akan janji.”
Setelah selesai mengumumkan hal tersebut di
atas, Raja Walungo kembali duduk di samping
permaisurinya yang mencerna setiap kata Baginda tadi.
Sekejap tampak rona wajah yang beraneka macam
46
mendengar titah sang raja. Keluarga raja yang merasa
berhak, tampak pucat pasi. Namun, situasi tegang itu tak
berlangsung lama karena tertelan oleh meriahnya pesta
selama 40 hari 40 malam.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
47
48
5. Wuni-Wunia Menjadi Raja
Setelah bertahun-tahun menikah, Raja Walungo
dan permaisurinya, Mohulintoli, tak kunjung dikaruniai
putera mahkota. Rakyat Limboto semakin risau karena
Baginda Raja semakin lanjut usia. Siapakah yang akan
melanjutkan kepimpinan kerajaan? Adat negeri Limboto
hanya membenarkan tahta kerajaan turun kepada
keluarga raja yang sedarah.
Di suatu sore, ketika hari sudah mulai senja,
Puteri Mohulintoli duduk termenung di taman istana.
Sang Permaisuri memikirkan mengapa sampai bertahun-
tahun dirinya tidak dapat memberikan keturunan bagi
Baginda Raja Walungo. Permaisuri memikirkan pula
bahwa negeri Limboto akan kacau balau karena
perebutan tahta kerajaan jika Baginda Raja mangkat.
Permaisuri pun berpikir bahwa mungkin Eya
mendengarkan permintaannya kepada Baginda Raja
dahulu. Tiba-tiba Baginda Raja menghampiri
permaisurinya dan bertanya apa yang membuatnya
termenung.
49
“Adinda, Mohulintoli. Mengapa engkau duduk
termenung seperti itu? Apa yang menghantui
pikiranmu?”
“Ampun, Baginda. Adinda memikirkan mengapa
sampai saat ini kita belum dikaruniahi keturunan?”
“Adinda. Jangan kau risaukan masalah itu.
Bukankah sejak dulu Kakanda katakan bahwa putera
bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Adinda
selalu sehat dan setia mendampingi Kakanda saja sudah
cukup membuat Kakanda bahagia.”
“Ya, Kakanda, tapi...”
“Sudahlah, Adinda. Mungkin ini ujian dari Eya
agar kakanda membuktikan janji Kakanda kepadamu
agar Wuni-Wunia kelak mengantikanku sebagai raja.”
Sebulan setelah berbincang dengan
permaisurinya, Baginda Raja Walungo terjatuh sakit.
Raja terbaring lemah dan tidak bisa berbuat banyak lagi.
Di istana telah berkumpul para hulubalang dan semua
perangkat kerajaan. Raja Walungo lalu memanggil
permaisurinya dengans suara perlahan.
“Adinda Mohulintoli, mungkin panggilan Eya
tidak lama lagi akan datang. Kelak Kakanda akan
50
bahagia di sana jika Adinda menyerahkan kerajaan ini
kepada Wuni-Wunia. Ini janjiku. Semoga Eya
menolongmu.”
Permaisuri Mohulintoli pun tidak sempat
menjawab titah Sang Raja karena pada saat itu pula
Baginda Raja Walungo menghembuskan napas
terakhirnya dengan senyuman tipis di bibirnya. Semua
yang hadir terhenyak dan meneteskan air mata melepas
kepergian sang raja yang begitu dicintai.
Alam pun seakan turut berduka. Langit menjadi
teduh, suasana semakin mengharu biru. Di hadapan
jenazah Baginda Raja Walungo, keluarga raja yang
merasa berhak mulai menuntut untuk segera dilantik
menjadi raja. Balairung sudah penuh dengan orang.
Namun para bate tidak berani menentukan siapa yang
paling berhak memakai mahkota raja.
Para bate tampak bingung, seluruh yang hadir
gelisah, bahkan para calon pengganti raja sudah
melongok ke kiri dan ke kanan sambil menggosok
dahinya yang tidak berkeringat. Rupanya mereka
menunggu Permaisuri Mohulintoli, yang paling bisa
51
menentukan siapakah yang akan menggantikan posisi
Raja Walungo.
Tak lama kemudian, Puteri Mohulintoli muncul
bersama adiknya Wuni-Wuni yang didampingi istrinya,
adik Raja Walungo. Mereka memakai pakaian biru,
warna kedukaan. Di depan permaisuri, berjejal rakyat
dengan pakaian berwarna putih sebagai tanda berkabung
atas kepergiaan raja mereka.
Suasana kembali hening. Tiba-tiba berdiri
seorang bate berdiri dan berkata.
“Wahai rakyat Limboto. Kita semua berduka atas
kepulangan Baginda Raja. Namun, hari ini pula kita
harus menentukan siapa yang berhak menggantikan
Baginda Raja. Kami para bate telah sepakat untuk
mencari calon pengganti raja yang memenuhi
persyaratan. Dia harus jujur, berilmu, cinta pada rakyat,
dan suka beramal.”
Para calon pengganti raja pun sudah mulai
berharap bahwa merekalah yang akan menggantikan
Raja Walungo. Tiba-tiba para bate berjalan mengitari
para calon pengganti raja tersebut. Tiba-tiba para bate
52
berhenti di depan Wuni-Wunia dan menuntunnya ke
depan.
“Inilah yang paling memenuhi syarat menjadi
Raja Limboto berikutnya. Kami telah melihat karakter
setiap calon. Akan tetapi, terdapat satu karakter Wuni-
Wunia yang tidak dimiliki oleh calon lainnya. Wuni-
Wunia selalu jujur, ikhlas, dalam bekerja, tegas, tidak
pemarah, dan selalu mendahulukan kepentingan rakyat
daripada kepentingan pribadinya. Dia selalu santun
terhadap siapa pun. Dia pun selalu mendampingi Raja
semasa hidupnya. Selain itu, pengangkatan Wuni-Wunia
menjadi raja merupakan perwujudan janji Raja Walungo
kepada Puteri Mohulintoli ketika pertama kali bertemu di
di puncak sebuah pohon, di tepi sungai, di tengah hutan.
Kemudian, janji itu dikuatkan pada saat pernikahan
Baginda Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli dan
disetujui oleh semua rakyat Limboto. ”
Belum sempat bate menutup pembicaraannya,
seluruh rakyat langsung berteriak.
“Hidup Baginda Raja Wuni-Wunia! Hidup Puteri
Mohulintoli! Hidup kesetiaan terhadap janji!”
“Sejahteralah seluruh negeri Limboto!”
53
Para calon pengganti raja lainnya langsung merah
padam mukanya mendengar teriakan seluruh rakyat
Limboto. Mereka pun meninggalkan istana dalam
keadaan kecewa dan malu sebelum pemakaman Raja
Walungo.
Mahkota raja pun diletakkan di kepala Wuni-
Wunia, Raja Limboto yang baru. Setelah itu, Raja
Walungo diantar ke peristirahatan terakhirnya.
Raja Wuni-Wunia memimpin Pohalaa Limboto
dengan adil dan jujur serta bijaksana. Dia sangat berhati-
hati mengucapkan janji dan sumpah karena Baginda Raja
menyadari bahwa dirinya menjadi raja karena sebuah
janji yang mengorbankan ketentuan yang telah
mengakar.
Daftar istilah
bate „pemangku adat‟
bele daa „rumah besar‟
Eya „Tuhan‟
kola-kola „usungan yang berbentuk perahu berisi seperangkat
buah-buahan yg biasa dibawa pada waktu mengantar harta
kepada pihak keluarga pengantin‟
linula „wilayah atau bagian dari kerajaan‟
54
lelaa„
pohalaa „kerajaan kecil‟
55
56
PUTRI AMBALO
Efendi
57
tawa hampir tiada putusnya memenuhi ruang tengah
rumah kecil atau lebih tepat disebut gubuk itu.
58
Meskipun agak terlambat, kami tetap sangat
mensyukurinya.”
---*---
59
Ya, mereka sangatlah berbahagia. Namun, ada satu
hal yang mengurangi kebahagiaan mereka. Anak.Ya,
meskipun rumah tangga yang mereka bina sudah
memasuki hampir dua dasawarsa, namun sampai sejauh
ini mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal
menurut beberapa orang pintar, sebenarnya di antara
Madi dan Halijah tidak ada permasalahan ataupun
penyakit yang menjadi penghalang untuk mendapatkan
keturunan. “Mungkin hanya faktor waktu keberuntungan
saja. Teruslah kalian berusaha dan berdoa. Kelak,
jikalau waktunya tiba, kalian pasti akan dikarunai juga
keturunan. Tetaplah yakin.” Ucapan orang pintar terus
mengiang-ngiang di telinga mereka setiap kali
memikirkan tentang anak. Dorongan itulah yang menjadi
penyemangat bagi pasangan suami-istri tersebut,
sehingga mereka tidak putus asa dan terus berdoa kepada
Yang Mahakuasa agar dikaruniai anak.
60
berkobar. Mereka pun lebih semangat dalam bekerja
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hanya canda dan
tawa yang terdengar dari dalam gubuk kecil itu sebagai
yang mengiringi tangisan si bayi sepanjang hari.
61
cerita penduduk kampung dan penduduk kota. Berbagai
pendapat pun diutarakan orang-orang. Ada yang
mengatakan bahawa Nou dibunuh, ada yang mengira-
ngira Nou dikubur hidup-hidup, ada yang berpikir bahwa
Nou dibuang ke jurang, dihanyutkan ke sungai, dan
banyak lagi perkiraan lainnya yang menyebar dengan
cepat. Berita tersebut sampai juga ke telinga Raja
Penguasa Negeri. Sidang adat digelar dan terbuka untuk
diikuti oleh semua penduduk negeri. Jika Madi dan
Halijah terbukti bersalah, maka tiang gantungan siap
menjerat leher sampai mereka menghembuskan nafas
terakhir.
- - - *---
62
suasana desa terpencil itu kala memasuki musim
penghujan.
63
“Sakit, Papa. Nou tidak tahan... gatalnya bukan
main” sahut Nou menjawab ucapan pria di luar gubuk
yang ternyata Madi, ayahnya.
64
Kata Halijah lembut, berusaha menghibur anaknya
sambil mengusapi sekujur badan Nou dengan obat
dedaunan ramuannya.
65
“Penyakitnya mungkin keras, Papa,” kata Halijah
berusaha membujuk suaminya agar yakin jika kelak
penyakit anak mereka akan sembuh seperti sedia kala.
“Iya, masih ada. Tapi besok papa cari yang lain yang
lebih mujarab” pinta Halijah kepada suaminya.
66
“Mama kenapa harus bertengkar dengan papa? Nou
akhirnya bersuara.
67
panjang. Ia kemudian memandangi wajah istrinya,
seperti hendak mengatakan sesuatu. Gelas tuak ia
letakkan kembali, mengisinya sampai penuh, kemudian
ia habiskan lagi. Ia menimbang-nimbang apakah pikiran
yang ada di benaknya pantas untuk diutarakan kepada
istrinya atau tidak. “Kira-kira apa jawaban Halijah jika
apa yang aku pikirkan kusampaikan kepadanya? batin
Madi bertanya-tanya. Sekali lagi, ia menatap gelas tuak
di tangannya, mengisinya sampai penuh, kemudian
menghabiskannya lagi. Sejurus kemudian....
68
“Pa..., janganlah kita mau menanggung dosa dengan
bertindak seperti itu. Biarlah kalau orang-orang enggan
datang bertamu, ataupun tidak ada yang mau berkawan
sama kita, asalkan anak kita jangan sampai dibuang”
Halijah memohon terisak. Mendengar suaminya berkata
seperti itu membuat ia yakin jika suaminya akan betul-
betul membuang Nou, anak mereka.
69
“Ingatlah, Pa..., ketika kita sangat mendambakan
anak, siang dan malam kita berdoa agar dapat dikarunai
anak. Lebih sepuluh tahun lamanya kita berusaha baru
doa kita terkabul. Oh..., tetapi sekarang... papa akan
membuang anak kita. Itu sama saja akan
membunuhnya..., dimana kasih sayangmu sebagai
seorang ayah? Mana...? Mana ...?
70
“Otakku sudah buntu sekarang! jawab Madi
setengah menggumam. Suara kecil tapi datar. Tiba-tiba
Madi berdiri. Ia berjalan bergegas mengambil beberapa
lembar pakaian yang masih tergantung di jemuran lalu
menghempaskannya ke balai-balai. Selanjutnya, ia
masuk ke dalam rumah, terdengar pintu lemari dibuka
dengan agak kasar. Sejurus kemudian, ia keluar lagi
dengan membawa bungkusan sarung kotak-kotak.
Pakaian yang ia hempaskan di balai-balai tadi
dimasukkan juga ke dalam bungkusan sarung.
71
menyimpulkan keempat sudut sarung membentuk
bungkusan. Sesaat kemudian ia menoleh kepada istrinya,
“Kau boleh memilih, merelakan No‟u tidak bersama kita
lagi dan aku tetap bersamamu, atau aku yang pergi
meninggalkan rumah dan No‟u bisa tetap tinggal
denganmu.” katanya kepada istrinya.Tekanan suaranya
tidak tinggi lagi, tetapi tetap datar dan tegas. Suatu
pertanda bahwa keputusannya sudah tidak bisa ditawar-
tawar lagi.
72
mengetahui nasib yang akan menimpa anaknya nanti.
Mati atau sanggup bertahan di dalam hutan sendirian.
Bagaimana mungkin No‟u mampu bertahan hidup
sendirian di dalam hutan di usia yang masih sangat
belia?
Tiba-tiba....
73
sama berharganya, tetapi, saya tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan hidup kami berdua.” sambungnya
di sela-sela isak tangisnya.
74
Dadanya bergemuruh dan turun naik. Sedang terjadi
pertentangan batin yang sangat tidak terperikan. Hanya
cahaya dari lampu minyak yang terpantulkan dari kaca-
kaca di sudut-sudut matanya memberi sedikit gambaran.
---***---
75
“Nou, bangunlah Nak.” panggilnya pelan dengan
suara berat tertahan.”
76
Madi memberi tahu istrinya bahwa disitulah Nou akan
ditinggalkan. Dengan berat hati dan air mata berderai di
pipinya, Halijah meletakkan bungkusan perbekalan
untuk Nou, kemudian memeluk Nou.
77
Cukup lama Nou merenungi nasibnya. Tiba-tiba ada
suara yang menegurnya.
78
kemari. Ayah membuangku di tempat ini karena
penyakitku tidak bisa disembuhkan.” jawab Nou.
79
“Nou paham, Nek. Terima kasih.” jawab Nou
sedikit lebih tenang karena merasa mempunyai teman di
hutan yang gelap dan sunyi itu.
80
dan terlena dengan kehidupan dunia, sebagai hukuman
bagi hamba-Nya yang gemar melakukan dosa dan
maksiat, dan sebagai azab bagi hamba-Nya yang
mengingkari kekuasaan-Nya.
81
kepada Nou. Nou pun segera bersembunyi di rumpunan
semak dan pohon yang ditunjuk oleh nenek tadi.
82
nenek kepada raksasa. Ia khawatir raksasa itu
mengetahui kehadiran Nou karena penyakit yang diderita
Nou memang mengeluarkan bau busuk. Makanya, si
nenek cepat-cepat memberikan alasan yang yang bagi
raksasa itu.
83
makanan itu setelah terbangun.” sambung raksasa lalu
beranjak keluar menuju ke gua kediamannya
yangletaknya tak jauh dari tempat itu.
84
tinggallah untuk beberapa hari di tempatku ini. Nanti
kalau penyakitmu itu sudah sembuh barulah segera pergi
mencari tempat yang lebih aman.” Sambil berkata
panjang lebar, si nenek menggilas-gilas sampai halus
ramuan obat yang telah ia direbus. Sesekali ia meniup
asap yang mengepul dari obat tersebut.
85
“Syukurlah kalau begitu. Ternyata sesuai perkiraan
nenek, kalau penyakitmu itu masih bisa disembuhkan
oleh ramuan obat yang kubuat.” kata si nenek sambil
berjalan menuju balai-balai. Terlihat si nenek mengambi
dua bungkusan di atas balai-balai itu, kemudian kembali
menghampiri Nou menyerahkan kedua bungkusan tadi.
86
kebengisan raksasa itu langsung hilang jikalau di
hadapan si nenek.
87
Ingat pula dua hal, Cucuku, “Ilmu dan pengetahuan lebih
berharga daripada emas dan berlian. Kasih sayang orang
tua lebih utama dibandingkan emas dan berlian.” pesan
si nenek panjang lebar dengan perasaan iba dan penuh
kasih sayang.
88
“Terima kasih, Nek. Terima kasih atas semua pesan
dan nasehat nenek. Pesan dan nasehat Nenek sangat
berharga. Nou akan selalu ingat pesan dan nasehat
Nenek. Nou akan mencari orang tua Nou, dan memohon
ampun kepada mereka. Suatu saat, kalau saya dan kedua
orang tua sudah bertemu dan berkumpul kembali. Nou
akan mengajak mereka mengunjungi Nenek.” kata Nou
kepada si nenek. Suaranya bergetar dan sedikit terbata-
bata lantaran terharu dengan nasehat si nenek. Ia juga
sangat terharu karena harus berpisah dengan nenek tua
yang sangat baik hati itu.
89
ibu dan ayahnya, keduanya akan diajak mengunjungi si
nenek. Cukup lama Nou memeluk si nenek yang sudah
ia anggap sebagai neneknya sendiri. Selanjutnya, Nou
segera berangkat mencari kedua orang tuanya. Ia
mengikuti jalan yang ditunjukkan si nenek. Nenek tua
itupun memandangi kepergian Nou sampai Nou tidak
terlihat lagi oleh kedua mata tuanya. Si nenek tua
mengusap wajah keriputnya dengan kedua tangannya,
lalu masuk ke dalam gua melanjutkan pekerjaannya.
90
ayahnya yang selalu menggendongnya, jikalau ayahnya
pulang dari bekerja di kota. Dulu, masih pagi-pagi
sekali, ayah sudah berangkat kota untuk bekerja dan
mencari nafkah buat kebutuhan keluarga. Hanya
berbekal nasi dan lauk secukupnya ayah berjalan kaki ke
kota yang jaraknya cukup jauh. Ibu menggendongnya
pergi mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan.
Buah-buahan dan kayu bakar itulah yang dikumpulkan
untuk dibawa oleh ayah untuk dijual di kota. Sebelum
siang, mereka kembali ke rumah. Ibu memasak makanan
buat mereka berdua, sedangkan Nou asyik bermain di
halaman.
91
beristirahat, karena Nou pasti merengek minta digendong
kesana-kemari, lalu bermain kejar-kejaran.
92
hutan mencari buah-buahan dan kayu bakar. Mereka
sibuk mencarikan ramuan obat. Bahkan sering ayahnya
mencarikan orang yang pandai mengobati dan membayar
mereka untuk mengobati penyakit Nou. Namun,
berbagai usaha telah mereka lakukan tetapi penyakit Nou
tak kunjung sembuh.
93
Sepanjang jalan Nou tak henti-hentinya berdoa untuk
kedua ibu dan ayahnya.
---***---
94
yang menjemputnya tadi segera berjalan di belakang
mengikuti dan mengantarnya ke panggung menuju ke
sebuah kursi yang telah disediakan sebelumnya.
Beberapa orang di belakangnya ikut menempati kursi-
kursi yang yang terletak di sisi kanan dan kiri kursinya.
95
kesaksian? Sang Raja memulai siang adat secara
bijaksana. Suaranya lantang dan penuh wibawa.
96
“Baik. Selanjutnya, apakah masih ada tuduhan
lain?” bertanya Sang Raja lagi kepada rakyatnya.
97
Perwakilan Negeri mengatakan bahwa perbuatan mereka
adalah tindakan pencurian yang bisa merugikan negeri
kita sendiri. Saya pun menyampaikan kepada Madi dan
Halijah, agar mereka menghentikan perbuatan tersebut.
Akan tetapi, mereka beralasan bahwa semua orang
berhak mengambil dan menebang pohon di hutan.
Mereka yakin bahwa pohon-pohon itu tumbuh secara liar
di hutan dan tidak ada seorang pun yang memilikinya.
Sayapun tidak berbuat apa-apa lagi. Sampai akhirnya,
orang-orang Dewan Adat Perwakilan Negeri sendirilah
yang melihat perbuatan mereka. Saya Hapusa
menceritakan yang sebenar-benarnya, saya tidak berani
menambah-nambah ataupun mengurangi kejadian
ataupun perbuatan yang saya lihat, Tuanku.” cerita
Hapusa lalu memberi hormat memohon izin kembali ke
tempatnya semula.
98
Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi
seorangpun yang maju dan naik ke atas panggung, sang
raja mengarahkan pandangannya kepada Madi dan
Halijah, “Apakah kalian mendengar dengan jelas cerita
kedua penduduk tadi dan apakah mereka menceritakan
kebenaran perbuatan kalian?”
99
begini, mereka berhak memberi alasan atau membantah
untuk memberikan kebenaran yang sebenarnya.
100
jaraknya cukup jauh dari kampung kami. Setiba di kota,
selain menjual, saya mencari pekerjaan sampingan di
sekitar pasar, yaitu membantu penempa besi membuat
pisau, parang, dan alat perkakas lainnya, sering juga saya
memperbaiki rumah penduduk jikalau ada yang rusak,
dan beberapa pekerjaan lainnya. Semua jenis pekerjaan
akan saya lakukan demi menghidupi keluarga kami,
sepanjang pekerjaan itu halal. Saya tidaklah pernah
mengeluh. Demikian pula dengan istri saya. Ia tidak
pernah berkeluh kesah terhadap kekurangan kami.
Meskipun kami sering mengalami kekurangan makanan,
tapi kami tidak pernah sekalipun mengharapkan welas
kasih dan bantuan orang lain untuk menalanginya.
Padahal, tetangga dan teman-teman sekampung sering
menawarkan bantuan makanan. Kami bukannya
sombong, melainkan menjaga diri dari sikap manja dan
malas bekerja. Sepanjang kaki masih bisa berdiri,
betapapun susahnya hidup biarlah kami pikul sendiri.
Itulah prinsip hidup kami, Tuanku Yangmulia. Hingga
terjadilah satu peristiwa yang luar biasa. Cobaan
mendatangi kami. Persediaan makanan dan keuangan
keluarga berkurang. Dengan sangat terpaksa kami
101
berutang kepada tetangga sekampung danteman-teman di
kota. Cukup lama uang mereka saya pinjam tanpa
pengembalian sepeser pun.” Madi berhenti sejenak, lalu
membungkukkan badan tanda meminta izin melanjutkan
ceritanya kembali. Sang Raja menganggukkan kepalanya
pertanda mengizinkan.
102
memikirkan perihal larangan tersebut. Apalagi, saya
masih meyakini jikalu pohon-pohon itu tumbuh secara
liar dan tidak ada yang memilikinya. Sampai pada hari
keempat setelah selesai melakukan penebangan yang
keempat, Tuan-tuan dari Dewan Adat Perwakilan Negeri
datang menangkap kami. Begitulah jalan ceritanya untuk
dakwaan penebangan pohon, Tuanku Yangmulia.” Madi
kembali berhenti sesaat, lalu membungkukkan badannya
meminta izin kepada raja.
103
berangkat, Nou, putri mungil kami pasti merengek minta
digendong berkeliling halaman rumah. Sebelum sore hari
saya pulang, si Nou yang sudah hafal dengan waktu
kedatangan saya, pasti sudah menunggu di
halamandengan cerianya. Seperti itulah kebahagiaan
hidup kami jalani setiap hari. Kebahagiaan yang tiada
terkira. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak sepanjang
hidup kami. Terlalu singkat kebersamaan kami Eya
berikan. Namun, apalah daya seorang hamba. Eyalah
Yang Maha Berkehendak. Kami hanya bisa pasrah
dalam keputusasaan.” Madi menghentikan ceritanya.
Matanya mulai berkaca-kaca, mengenang beberapa hari
yang lalu saat-saat terakhir kebersamaan mereka dan
putrinya. Sejenak ia berpaling kepada istrinya,
memeluknya, dan menciumi dahinya, memberi ketegaran
kepada istrinya. Madi menarik napas panjang dua kali
kemudian melanjutkan ceritanya.
104
menyembuhkannya. Mulai orang-orang sekampung
sampai ke penduduk di kota kami tanyai jikalau ada di
antara mereka yang tahu obat penyembuhnya ataupun
tabib yang mampu mengobati dan menyembuhkan
penyakit Nou. Tidak sedikit saran yang kami dapatkan,
baik itu berupa ramuan, maupun tabib. Kami mencari
semua ramuan yang disarankan kepada kami,
mengolahnya menjadi obat. Di samping itu, beberapa
tabib kami datangi, tidak peduli harus berjalan selama
berhari-hari, melintasi sungai, ataupun menyeberangi
pulau, kami tetap lakukan asalkan penyakit putri kami
dapat disembuhkan. Setelah tabib pertama tidak mampu
menyembuhkannya, kami mendatangi tabib kedua. Tabib
kedua tidak mampu, kami mengunjungi tabib ketiga.
Begitu seterusnya, hingga kami tidak tahu lagi berapa
jumlah tabib yang telah kami datangi, tetapi hasilnya
masih sama. Penyakit Nou tidak sembuh-sembuh juga.
Selain itu,tidak sedikit pula tabib yang kami undang ke
rumah untuk mengobatinya. Namun, semua upaya kami
sia-sia. Bahkan, penyakit Nou kian hari semakin
memburuk. Penyakit kulit itu sudah menjangkiti ke
seluruh badannya. Hampir sepanjang siang dan malam ia
105
mengeluh dan menangis merasakan gatal dan perih yang
ditimbulkan oleh penyakitnya itu. Melihat kondisinya
yang semakin parah membuat saya putus asa. Namun,
istri saya tetap memberi dorongan dan kekuatan untuk
terus mencoba dan berupaya. Obat dan ramuan tetap
kami cari setiap hari, waktu kami banyak tercurahkan
untuk mencari ramuan obat. Kami sudah tidak sanggup
lagi memanggil tabib, karena uang persediaan hidup
keluarga kami telah habis kami gunakan untuk
membayar para tabib. Bahkan utang kami pun
bertumpuk. Saya sudah jarang ke kota berjualan dan
mencari nafkah. Halijah, istriku, juga sudah jarang
mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan oleh
karena waktu kami banyak tercurah untuk mencari
ramuan obat. Namun, dua bulan berupaya di tengah-
tengah keputuasaan membuat saya menyerah. Penyakit
Nou tetap bertambah parah, bahkan mengeluarkan bau
busuk. Rintihan dan tangisan Nou semakin menjadi-jadi
akibat gatal dan perih yang ia rasakan di sekujur
badannya. Saya tidak tahan lagi melihat penderitaan
putri kami. Ingin rasanya mengakhiri penderitaannya
dengan jalan membunuhnya saja. Namun, naluri sebagai
106
orang tua tidak sanggup melaksanakannya. Saya semakin
bingung dan putus asa. Akhirnya, saya menyerah.
Dengan hati yang hancur tak terkira, saya memaksa istri
saya, Halijah agar menyetujui usulan saya, yaitu
menelantarkannya ke hutan. Ya, anak kami satu-satunya.
Anak yang kehadirannya sangat lama kami damba-
dambakan, terpaksa kami buang dan kami telantarkan di
hutan.” Madi menghentikan ceritanya. Ia kembali
menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia berpaling
kepada istrinya yang juga tak henti-henti menyeka air
mata. Madi mangambil tangan Halijah, menggenggam
erat jari-jarinya.
107
Akhirnya, Madi mendapatkan sedikit kekuatan batin
untuk melanjutkan ceritanya. “Setelah kami membuang
Nou, kami segera pulang. Sungguh tiada kata-kata yang
dapat melukiskan betapa hampa hati kami merasakan
suasana rumah tanpa suara si Nou. Kami mengingat-
ingat kembali semua peristiwa dan kejadian sejak Nou
lahir hingga di malam pembuangannya. Suara tangisan
pertamanya sampai tangisan terakhirnya di dalam gua,
terus terdengar dan menjadi bahan tangisan kami setiap
malam. Sampai detik ini kami seolah-olah masih tidak
percaya akan musibah yang menimpa kami. Sungguh,
Yang Mulia, sayalah yang pantas dihukum atas
kejahatan-kejahatan itu. Istri saya sama sekali tidak ada
niat untuk melakukannya. Ia terpaksa mengikutinya
lantaran sayalah yang memaksanya.” Madi
menghentikan ceritanya. Kembali jari-jari istrinya ia
genggam. Sedang Halijah hanya mampu bersandar di
bahunya.
108
bisik kata istrinya pelan dan lirih sambil menyeka air
matanya. Mendengar ucapan lirih istrinya membuat
Madi semakin erat menggenggam jemari istrinya yang
mulai mengeriput.
109
“Karena tidak ada lagi tuntutan maupun dakwaan
maka saya sebagai Raja Penguasa Negeri mewakili
seluruh rakyat memutuskan: untuk kesalahan yang
pertama, terdakwa melakukan pelanggaran pencurian
dan penebangan pohon secara liar. Alasan yang dia
kemukakan tidak bisa diterima oleh karena sudah diberi
peringatan berupa nasehat oleh Hapusa, tetapi mereka
tetap melanjutkan penebangan pohon. Hukumannya,
mereka akan penjara, dan harus ditanggung oleh pihak-
pihak yang bersalah sesuai dengan kadar kesalahannya
dan tidak bisa diwakilkan. Untuk Madi sebagai pelaku
utama hukumannya tiga kali lebih berat dan lebih lama
daripada Halijah. Mereka bisa dibebaskan dari hukuman
tersebut jika mampu mengganti ganti rugi yang sesuai
dengan kerugian yang telah timbulkan atau ada orang
yang bersedia menebus ganti rugi tersebut” Raja berhenti
sejenak dan memerhatikan kepada peserta sidang jikalau
ada yang keberatan dengan keputusan hukuman.
110
terhadap hak hidup penduduk negeri. Hukumannya bisa
dilaksanakan hukuman mati. Akan tetapi, sebelum
kepeutusan sidang diumumkan, terlebih dahulu
dilakukan pencarian terhadap Nou selama seminggu.
Jika Nou ditemukan dalam keadaan masih hidup, maka
Madi dan Halijah sebagai orang tuanya akan dihukum
penjara seberat-beratnya. Akan tetapi, jika Nou tidak
bisa ditemukan, atau ditemukan dalam keadaan sudah
meninggal, maka Madi dan Halijah akan dihukum mati
di tiang gantungan.” Hukuman untuk kasus kedua akan
segera Madi dan Halijah jalani, selesai mereka menjalani
hukuman pada kasus pertama. Semoga keputusan sidang
ini dapat berjalan adil dan kita semoga kita dapat
mengambil hikmahnya.” Raja menutup sidang di siang
hari yang terik itu dengan mengetukkan palu tiga kali.
111
pipi mereka. Mereka pasrah menjalani hukuman. Ya...,
apapun hukumannya mereka dengan ikhlas
menjalaninya. Mereka tidak takut. Mereka tidak
memikirkan beratnya hukumannya yang akan mereka
jalani. Yang mereka pikirkan adalah nasib putri mereka,
Nou. Ya, kesedihan atas nasib Nou tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata. Meskipun merekalah
yang membuang dan menelantarkan Nou, namun jauh di
lubuk hati Madi dan Halijah tetap tersimpan kasih
sayang sebagai orang tua. Semenjak di malam
pembuangan itu, Madi dan Halijah tak henti-hentinya
mendoakan keselamatan dan kesembuhan Nou. Berharap
terjadi keajaiban.
112
harus menerima kenyataan yang memaksanya putus asa.
Begitupun Halijah, seorang ibu rumah tangga yang setia,
tabah, dan tidak kenal lelah, harus mengkuti rasa
keputuasaan. Dan berbagai macam pertanyaan muncul di
kepala para penduduk.
113
penasehatnya. Beberapa orang pengawal yang berada di
sekitar panggung segera bergerak hendak menahan laju
gadis itu. Namun, niat mereka terhenti melihat raja
mengangkat tangannya sebagai isyarat agar membiarkan
gadis itu mendekat. Gadis kecil itu berhenti sekitar
sepuluh langkah di depan raja dan berlutut memberi
hormat.
114
berpenyakit menular, bukan Nou yang ada sekarang,
cantik dan bersih kulitnya. Apalagi jika melihat
pakaiannya yang terbuat dari bahan halus pemberian
nenek tua di hutan, mereka sulit mempercayainya.
115
terima kasih telah menyebuhkan anak kami. Engkau
sungguh Maha Mendengar lagi Maha Pemurah, Engkau
masih juga mengabulkan doa-doa orang tua yang
durhaka ini. Sekarang, kami akan tenang dan ikhlas
menjalani hukuman yang berujung kematian ini..
Eya....” Seperti itulah suara batin Madi dan Halijah tak
henti-hentinya memuji kepada Yang Mahakuasa atas
kesembuhan Nou. Masih banyak lagi dan tak henti-
hentinya bantin mereka memuji.
116
“Terima kasih, Tuanku Yang Mulia.” Nou berdiri
tertunduk. Kepala tertunduk tidak berani menatap raja di
hadapannya. Matanya yang sembab karena air mata
ditancapkan ke lantai panggung sambil berharap semoga
sang raja mengabulkan permintaannya.
117
berpikir. Apakah benar dan secara sungguh-sungguh
engkau memaafkan kedua orang tuamu yang atas
perbuatannya yang sengaja menelantarkan dan
membuang dirimu ke dalam hutan?” Raja mengajukan
bertanya kepada Nou.
118
kata orang tua. Jadi, sayalah yang harus memohon maaf
kepada ibu dan ayah. Saya yang telah banyak
menyusahkan mereka yang selalu bekerja keras
mencarikan nafkah dan merawat saya, tanpa sedikitpun
ikut membantu.”
119
“Nou, Saya paham dan mengerti isi hatimu, tetapi
ayah dan ibumu melakukan tindakan yang dapat
merugikan negeri beserta penduduknya. Perbuatannya
itu mengancam keselamatan kita semua jika diteruskan.
Jikalau ayah dan ibumu dibebaskan, maka orang-orang
akan menuntut untuk bisa juga menebang pohon agar
dapat memperoleh keuntungan pribadi. Jika hal itu
dibiarkan terjadi, maka hutan dalam waktu singkat akan
gundul. Sedangkan pepohonan itu berfungsi untuk
mencegah terjadinya banjir dan longsor.” Raja menjawab
secara mencoba memberi pengertian kepada Nou.
120
membayarkan sebagai tebusan sejumlah kerugian
tersebut.” jawab Sang Raja tenang dan bijaksana.
121
tenang Raja menguraikan secara rinci tentang cara
penebusan Madi dan Halijah kepada Nou.
122
penasehat pertama mengemukakan pendapatnya perihal
batangan emas tersebut, lalu menyerahkannya kembali
kepada Raja. Ketiga penasehat yang lain mengangguk
membenarkan kata-kata penasehat pertama tadi.
123
seumur Nou pada umunya memang lebih membutuhkan
dekapan orang tua dibandingkan silaunya harta.
124
saya nyatakan dicabut. Madi dan Halijah dibebaskan
sepenuhnya dan dikembalikan hak asuhnya atas diri
Nou, putrinya.” keputusan akhir persidangan yang
diumumkan Raja membuat seluruh penduduk yang hadir
menarik napas panjang. Mereka lega. Tidak tahan
dengan suasana haru yang terpampang di atas panggung
persidangan itu. Tidak sedikit di antara mereka yang
bahkan mengeluarkan air mata. Mereka yang membawa
anak, perempuan bahkan yang laki-laki, seketika
memeluk anaknya erat-erat karena larut dalam emosi.
125
Bersujud mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih. Tanpa mereka sadari dua kaki kecil
menghampiri dan meraih tangan kedua-duanya, lalu
menciumnya. Terasa ada air yang mengalir di tangannya,
kedua orang tua itu perlahan-lahan mengangkat kepala.
Nou yang menghampiri mereka. Gadis kecil itu yang
menempelkan tangan Madi dan Halijah ke pipinya yang
berderai air mata. Seketika itu pula ketiga berpelukan
erat. Sangat erat. Barulah mereka melepaskan pelukan
setelah menyadari bahwa Raja beserta empat
penasehatnya menghampiri mereka.
126
“Madi dan Halijah, kalian telah dinyatakan bebas
darin hukuman. Dengan demikian, tanggung jawab dan
hak mengasuh juga dikembalikan. Laksanakan tanggung
jawab itu sebaik-baiknya. Jangan mudah berputus asa
apalagi menyerah. Bagaimanapun buruknya anak yang
dipunyai, tetap menjadi bagian dari diri orang tuanya.
Mereka adalah amanah dari Yang Mahakuasa bagi orang
tua. Jangan lagi mengabaikan amanah tersebut.”
127
akan menyilaukan akal dan hati kami. Mohon izinkanlah
kami pulang secepatnya, Tuanku Raja.” Pinta Madi
dengan takzimnya kepada Sang Raja Penguasa Negeri.
128
“Wahai rakyatku, hari ini kita telah melaksanakan
persidangan dengan lancar. Saya Raja Penguasa Negeri
ini berharap pengadilan ini telah dijalankan secara
bijaksana dan tanpa melanggar hukum adat kita. Marilah
kita mengambil dan mempelajari hikmahnya, agar kita
semua bersama negeri kita senantiasa diberkahi dan
dilindungi oleh Penguasa Alam Semesta ini.” setelah
mengucapkan beberapa kata tersebut, Raja segera
menutup persidangan dengan mengetukkan palu sidang
sebanyak tiga kali.
---***---
129
berganti dengan terang cemerlang. Hujan tak jadi turun
membanjiri bumi. Suasana itu seolah-olah
menggambarkan nasib Madi dan Halijah. Dia dan
istrinya yang sudah digiring ke penjara, secara tidak
terduga terbebaskan.
130
kebahagiaan, dan air mata kesyukuran. Sampai akhirnya
Nou membicarakan secara jelas perihal pertemuannya
dengan nenek tua berhati mulia di hutan. Tidak
ketinggalan pula raksasa pemakan manusia yang
menghuni hutan ia ceritakan. Mereka lalu merencanakan
akan berkunjung ke tempat si nenk tua berada.
Tamat
131
Catatan
1. Sumber cerita Putri Mohulintoli berasal dari cerita
rakyat yang terdapat dalam sebuah buku kumpulan
cerita rakyat Sulawesi Utara yang berjudul Putri
Mohulintoli dan Tiga Cerita Rakyat Lainnya dari
Sulawesi Utara. Buku itu diterbitkan oleh Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977.
2. Cerita Putri Ambalo diadaptasi dari naskah teater
karya siswa SMA Negeri 3 Gorontalo saat Festival
Teater Kantor Bahasa Gorontalo Tahun 2016.
132