Anda di halaman 1dari 138

PUTRI MOHULINTOLI DAN PUTRI AMBALO

Cerita Rakyat Gorontalo

Armiati Rasyid
Efendi

KANTOR BAHASA GORONTALO


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2018
PUTRI MOHULINTOLI DAN PUTRI AMBALO
Cerita Rakyat Gorontalo

Penyunting
Sukardi Gau dan Darmawati M.R

Penata Letak
Siti Rahmatia Ntou

Sampul
Wisnu Wijanarko

Penerbit
Kantor Bahasa Gorontalo

Alamat Redaksi
KANTOR BAHASA GORONTALO
Jalan Dokter Zainal Umar Sidiki,
Tunggulo, Kecamatan Tilongkabila,
Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo
Telepon/Faksimile(0435)831336
Pos-el:bahasa.gorontalo@kemdikbud.go.id

ISBN: 978-602-53283-2-9

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dengan cara dan
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................... iii


Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa ................... v

Putri Mohulintoli...................................................... 1
1. Duka Nestapa Sang Putri ................................. 1
2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular ..................... 9
3. Gadis Jelita di Puncak Pohon............................ 17
4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri ....................... 35
5. Wuni-Wunia Menjadi Raja ............................... 49

Putri Ambalo ............................................................. 57

iii
iv
KATA PENGANTAR
KEPALA KANTOR BAHASA GORONTALO

Kearifan lokal sebuah daerah tersimpan dalam


cerita-cerita yang terserak dalam lisan sebuah masyarakat
tutur dari mulut ke mulut, dari masa ke masa. Kearifan
lokal itulah yang kemudian didata dan dikemas kembali
dalam rangkuman data dan informasi yang diterbitkan
oleh Kantor Bahasa Gorontalo. Penerbitan ini adalah
upaya untuk mempreservasi kearifan lokal tersebut agar
tetap terpelihara hingga nantinya dapat diwariskan ke
generasi penerus.
Kearifan lokal itu pula yang coba diceritakan
kembali oleh Armiati Rasyid dan Efendi. Melalui cerita
Putri Mohulintoli, Armiati mengisahkan kembali
bagaimana kasih sayang seorang kakak perempuan untuk
mengembalikan adiknya menjadi manusia setelah
berubah jadi ular. Kecerdasan Putri Mohulintoli berhasil
menyelamatkan mereka
Cerita kedua mengisahkan kearifan lokal yang
berbeda. Kali ini, dikisahkan oleh Efendi, kisah betapa

v
luasnya maaf yang bisa dimiliki oleh hati manusia. Kisah
Nou yang telah dibuang oleh orang tuanya karena
penyakit kulit yang ia derita sangat menyentuh. Meskipun
dibuang, Nou tetap bisa memaafkan kedua orang tuanya
bahkan menyelamatkan mereka dari hukuman.
Buku ini lahir sebagai upaya Kantor Bahasa
Gorontalo menanamkan pendidikan karakter pada
masyarakat, terutama anak-anak sekaligus turut
menyukseskan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang
telah dicanangkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Semoga buku ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan daya literasi
masyarakat Gorontalo.

Kepala Kantor Bahasa Gorontalo

Dr. Sukardi Gau, M. Hum.

vi
PUTRI MOHULINTOLI
Armiati Rasyid

1. Duka Nestapa Sang Putri


Pada sebuah dusun di Batudaa, di Negeri
Hulontalo, hiduplah seorang putri yang cantik jelita. Ia
bernama Mohulintoli. Wajahnya bersih, kulitnya kuning
langsat, mata yang selalu berbinar penuh semangat,
menandakan dia bukan gadis biasa. Selain wajahnya
yang cantik nan rupawan, gadis tersebut memiliki budi
pekerti yang luhur. Dia sangat menyayangi adik semata
wayangnya, Wuni-Wunia. Ia juga selalu menghormati
keluarga ibu dan bapaknya.
Mohulintoli lahir dari sebuah pasangan yang
sangat bahagia. Ayahnya seorang yang terpandang dan
terhormat di Negeri Batudaa. Ibunya pun seorang wanita
yang cantik jelita, sehingga tidak mengherankan jika
Mohulintoli memiliki paras yang cantik jelita pula.
Mereka tinggal di bele daa „sebuah rumah
panggung yang besar dan asri‟.
Kebahagiaan keluarga Mohulintoli semakin
lengkap setelah kelahiran adiknya, Wuni-Wunia. Ayah

1
dan ibu Mohulintoli sangat bersyukur karena telah
dikaruniai sepasang anak yang cantik dan tampan. Akan
tetapi, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.
Ayah Mohulintoli jatuh sakit.
Hari demi hari, kondisi ayah Mohulintoli
semakin memburuk. Penyakitnya semakin parah. Para
tabib pun sudah angkat tangan dan tidak mampu
menyembuhkan penyakitnya. Ibu Mohulintoli tidak bisa
berbuat banyak. Mohulintoli kecil pun sangat sedih
sekali karena tidak bisa bermain dan bermanja-manja
kepada ayahnya seperti dulu lagi. Hingga suatu saat,
ayah Mohulintoli memanggil istrinya, ibu Mohulintoli.
“Bu, kemarilah mendekat bawa Mohulintoli dan
Wunia,” terdengar suara ayah Mohulintoli yang semakin
melemah.
“Ya, Pak. Kami sudah di dekat, Bapak.”
“Maafkan bapak, Bu. Bapak sudah tidak kuat
lagi. Sepertinya waktu bapak tidak lama lagi.”Ayah
Mohulintoli dengan raut wajah sedih dan menahan rasa
sakit berusaha bicara pada keluarganya.
“Bapak harus kuat dan semangat. Bapak harus
sembuh!” Sambil menahan rasa sedih dan pilu, ibu

2
Mohilontoli terus menyemangati suaminya, “Mohulintoli
dan Wunia masih sangat membutuhkan Bapak. Jadi,
Bapak harus kuat dan bertahan.”
Ayah Mohulintoli mengumpulkan sisa- sisa
napasnya, lalu menoleh ke putrinya. Dia membelai
wajah putrinya dengan kasih sayang sambil
berkata,“Putriku, Mohulintoli.”
“Ya, Ayah. Ayah harus sembuh ya.” Mohulintoli
menciumi tangan ayahnya.
“Nak. Maafkan ayah. Jangan nakal ya, Nak.
Hormati ibumu dan sayangi Wunia, adikmu.” Suara ayah
Mohulintoli semakin kecil dan tersengal-sengal.
Setelah itu, tangan ayah Mohulintoli terlepas dari
genggaman putrinya. Mohulintuli kaget dan berteriak.
“Ayah, Ayah!” Mohulintoli mengguncang tubuh
ayahnya.“Ayah kenapa, Bu? Kenapa ayah diam dan
tidak bicara, Bu?” pekik Mohulintoli.
Ibu Mohulintoli memeriksa tangan dan hidung
suaminya. Dia tidak merasakan lagi hembusan napas
suaminya. Kemudian dia memeriksa nadi suaminya di
bagian leher. Dia pun tetap tidak merasakan denyut nadi
suaminya. Dengan rasa sedih dan pilu ibu Mohulintoli

3
memeluk kedua anaknya, dan menyampaikan bahwa
ayah mereka telah tiada.
“Mohulintoli, Puteriku dan Wunia, Puteraku.
Kalian harus sabar dan ikhlas ya, Nak. Ayah kalian telah
meninggalkan kita.”
Dengan wajah polos Mohulintoli bertanya.
“Ayah kemana, Bu?”
“Eya telah memanggil ayah kalian, Nak. Jadi,
ayah menghadap pada-Nya.”Ibu Mohulintoli dengan
suara sesak berusaha menenangkan dan membujuk
kedua anaknya.
“Apakah ayah akan kembali lagi ke kita, Bu?”
“Nak, ayahmu pergi untuk selamanya. Dia tidak
akan kembali lagi.”
Mohulintoni pun tunduk dan memeluk ayahnya.
Wuni-Wunia hanya diam dan bingung melihat ibu dan
kakaknya yang mulai menangisi kepergian ayahnya. Ibu
Mohulintoli tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
Ia menangis dan meratap. Ia sangat sedih karena kedua
anaknya masih kecil dan membutuhkan ayahnya untuk
melewati masa-masa sulit dalam kehidupannya.
Mohulintoli pun ikut menangis.

4
Ketika itu, Mohulintoli berusia tujuh tahun dan
adiknya, Wuni-Wunia berusia dua tahun. Usia yang
sangat belia untuk menjadi anak yatim.
Setelah ayahnya meninggal, Mohulintoli tinggal
bersama ibu dan adiknya di Bele Daa. Sebagai anak
pertama, Mohulintoli tumbuh menjadi gadis yang
mandiri. Sejak kecil dia diajari menenun oleh ibunya.
Setiap hari ia membantu ibunya menenun kain.
Meskipun jari-jemarinya masih kecil, dia sangat lincah
mengambil sabut kering untuk dipakai untuk membasahi
benang yg sedang ditenun. Dia pun sudah pintar
menyelipkan benang di antara alat-alat tenun.
Seiring dengan berjalannya waktu, Mohulintoli
tumbuh menjadi gadis remaja. Di usia empat belas tahun
tahun, tanpa dia sangka dan dia duga, ibunyatercinta pun
menyusul ayahnya menghadap Eya. Mohulintoli kembali
bersedih dan bermuram durja. Dia menjadi yatim piatu.
Ibunya yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, juga
telah pergi untuk selamanya. Seakan kehilangan
pegangan hidup, Molihuntoli hampir putus asa. Kini dia
hanya tinggal bersama adiknya Wuni-Wunia yang sangat
dicintainya, yang baru berusia sembilan tahun.

5
Ketika itu, ibu Mohulintoli sedang menenun dan
tiba-tiba kepalanya pening dan penglihatannya berputar.
Dia menghentikan pekerjaannya. Sambil merintih
kesakitan, dia memanggil Mohulintoli yang berada di
depan rumah.
“Mohulintoli, tolong ibu, Nak. Kepala ibu sakit
sekali.”
Sayup-sayup terdengar suara rintihan di telinga
Mohulintoli. “Sepertinya itu suara ibu memanggilku.Ada
apa ya ibu memanggilku?” Mohulintoli segera berlari ke
dalam rumah. Ia mendapati ibunya mengerang kesakitan
sambil memijit kepalanya. Ia sangat mencemaskan
keadaan ibunya.
“Ibu! Ibu kenapa?”
“Nak, Mohulinto...!” seketika itu ibu Mohulintali
tak sadarkan diri.
“Wunia! Wunia! Kamu di mana? Ibu, Wunia!
Tolong ibu, Dik!”
Wuni-Wunia datang menghampiri kakak dan
ibunya dan bertanya pada Mohulintoli.
“Kak, ibu kenapa?

6
“Tidak tahu, Dik. Tiba-tiba ibu memanggil kakak
dan tidak lama setelah kakak datang, ibu tak sadarkan
diri.
“Bu, bangun. Ibu kenapa?” Mohulintoli dan
Wuni-Wunia secara bersamaan memanggil nama ibu
mereka sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Sambil menangis terisak-isak Mohulintoli berusaha
menyadarkan ibunya.
“Ibu, bangun. Jangan tinggalkan kami! Jangan
tinggalkan Mohulintoli dan Wunia, Bu.”
Tiba-tiba, mata ibu Mohulintoli terbuka dan
menggerakkan tangannya lalu meraih tangan kedua
anaknya seraya berkata,
“Anakku Mohulintoli dan Wuni-Wunia. Kini
tiba saatnya ibu akan menyusul ayah kalian. Kalian harus
saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.
Maafkan ibu, Nak.” ibu Mohulintoli menatap wajah
kedua anaknya kemudian dia menutup mata dengan
meneteskan air mata kesedihan untuk yang terakhir
kalinya.
Air mata Mohulintoli dan adiknya pun
bercucuran melepas kepergian ibu mereka. Perih hati

7
Mohulintuli menatap wajah ibunya. Untung tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak. Dia dan adiknya tak
punya siapa-siapa lagi, kini mereka menjadi anak yatim
piatu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

8
2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular
Mohulintoli beranjak remaja. Parasnya semakin
cantik, hatinya lembut, sopan, dan semakin bertanggung
jawab. Perhatian dan kasih sayangnya pada Wuni-Wunia
melebihi dari apa pun. Mohulintoli selalu berusaha
memenuhi kebutuhan adiknya tanpa bergantung pada
keluarganya yang lain.
Pagi itu, ketika fajar menyingsing, burung-
burung mulai memberikan makan anaknya, ayam jantan
pun berkokok, Mohulintoli mulai membenahi rumahnya
yang besar dan asri. Rumah itu, satu-satunya harta
peninggalan orang tuanya yang ia miliki. Mohulintoli
sangat cekatan menata barang-barang peninggalan orang
tuanya sehingga rumahnya selalu tampak tertata rapi dan
bersih. Setelah selesai membersihkan rumahnya,
Mohulintoli kembali berbenah untuk menenun.
Layaknya gadis-gadis Batudaa lainya,
Mohulintoli kembali menekuni pekerjaan menenun
seperti ketika ibunya masih hidup. Pada awalnya, ia
menenun kain buat dirinya sendiri. Setelah semakin
mahir, ia pun menenun buat adiknya yang juga mulai
beranjak remaja. Pada suatu hari, Mohulintuli menenun

9
kain buat bibinya, Maputi dan sepupunya, Te Talenga,
yang selalu datang ke rumahnya dan melindunginya
sejak orang tuanya meninggal. Setelah selesai, kain
tenunan itu dia berikan kepada bibinya.
“Kain ini buat Bibi.”
“Wah, bagus sekali. Terima kasih, Nak. Beli di
mana? Bibi baru melihat kain tenun yang rapi dan halus
seperti ini.”
“Saya tidak beli, Bi. Itu hasil tenunan saya.”
“Nak, Bibi tidak menyangka kamu bisa menenun
sebagus itu. Bibi bangga padamu, Mohulintoli.”
“Yang ini buat Te Talenga.”
“Terima kasih Kak. Talenga senang sekali.”
“Sama-sama, Dik. Syukurlah kalau Maputi dan
Talenga menyukai hasil tenunan saya.”
Mohulintoli sangat puas melihat sinar
kegembiraan yang ditampakkan oleh bibi dan
sepupunya. Dia pun semakin bersemangat menenun.
Apalagi ketika ia tahu kain pemberiannya itu dijadikan
baju dan sering dipakai oleh bibi dan sepupunya. Setiap
kali memakai baju hasil tenunan Mohulintoli, Talenga
sering mendapatkan pujian dari teman-temannya.

10
“Talenga, kain bajumu bagus sekali. Beli di mana
kainnya?”
“Iya, kain ini memang bagus. Tenunannya rapi.
Itu hasil tenunan saudara sepupuku, Mohulintoli.”
“Wah, Mohulintoli hebat ya.”
Nama dan kerapian hasil tenunan Mohulintoli
semakin dikenal di seluruh kampung, sehingga banyak
orang yang meminta Mohulintoli menenun buat mereka.
Hari berganti hari, musim pun berganti.
Mohulintoli dan Wuni-Wunia beranjak dewasa.
Mohulintoli menjadi wanita cantik jelita nan rupawan.
Wuni-Wunia pun menjadi pria tampan, gagah, lagi
perkasa. Suatu hari, terbersit dalam hati Mohulintoli
untuk membuatkan ikat pinggang emas buat Wuni-
Wunia. Dia sangat berharap Wunia memakai ikat
pinggang itu menari Saronde di hari pernikahannya.
Keesokan harinya, Mohulintoli mulai menenun ikat
pinggang emas itu. Sementara itu, si tampan Wuni-
Wunia selalu meninggalkan kakaknya untuk memenuhi
undangan teman-temannya.
Silih berganti pemuda-pemudi datang ke Bele
Daa mengundang Mohulintoli dan Wuni-Wunia

11
bertandan ke rumah mereka. Karena ingin tenunannya
cepat selesai, Mohulintoli jarang menemani Wuni-Wunia
menghadiri undangan tersebut. Undangan para pemudi
itu dianggap biasa saja oleh Wuni-Wunia. Tidak lebih
sebagai undangan teman-teman saja. Akan tetapi, sikap
Wuni-Wunia itu sendiri akhirnya mencelakai dirinya
sendiri.
Suatu sore, seorang gadis mengundang Wuni-
Wunia bertandan ke rumahnya. Dengan sikap ramah
yang dibuat-buat, ia menyuguhkan makanan dan
minuman beserta daging buat Wuni-Wunia. Gadis itu
tahu betul Wuni-Wunia sangat menyukai daging.
“Wuni-Wunia, silakan minum dan makan!”
“Terima kasih. Saya disuguhi makanan yang
enak sekali.”
“Saya yang berterima kasih karena Wuni-Wunia
mau memenuhi undangan saya. Saya sangat bahagia.”
Wuni-Wunia pun makan dengan lahapnya tanpa
menyisakan sedikit pun makanan dan minumannya.
Setelah makan, dia pun merasakan sesuatu yang aneh
pada dirinya. Dia merasa seperti ingin merayap di lantai
dan meliuk-liukkan badannya, tapi tidak mengatakan itu

12
pada gadis yang mengundangnya. Akhirnya Wuni-
Wunia segera pamit pulang. Gadis itu pun merasa puas
sekali karena berhasil membalas dendam pada Wuni-
Wunia dengan menyuguhkan daging ular karena yang
tidak membalas perhatian dan kasih sayangnya. Wuni-
Wunia lalu menemui kakaknya yang sedang menenun di
rumah.
“Mohulintoli, kenapa perasaanku aneh sekali?”
“Ada apa denganmu, Wunia?”
“Seakan-akan aku ingin merayap di lantai sambil
meliuk-liukkan badanku. Lidahku juga seakan ingin
terjulur keluar.”
“Kenapa bisa begitu Wunia? Apa yang telah
kamu lakukan, Dik?”
“Tadi Wunia dari rumah seorang gadis dan
disuguhi makanan dan daging. Wunia makan dengan
lahap daging itu karena Wunia sangat suka.”
“Kamu tahu itu daging apa?”
“Tidak. Aduh Mohulintoli! Sepertinya aku akan
berubah menjadi seekor ular.”
“Wunia! Jangan-jangan daging yang kamu
makan tadi betul daging ular?”

13
“Entahlah! Kenapa jika betul daging ular, Kak?”
“Wunia, waktu kecil dulu ayah sering cerita
bahwa keluarga kita tidak boleh makan daging ular
karena nenek moyang kita memiliki perjanjian dengan
bangsa ular. Jika salah seorang anak cucu turunan
keluarga kita memakan daging ular, dia akan berubah
wujud menjadi ular. Nah, mungkin Wunialah yang
merasakan karma itu.”
“Kak. Wunia takut itu terjadi!”
Dengan berurai air mata, Mohulintuli merangkul
adiknya sambil berteriak histeris, “Mengapa derita kita
tidak berakhir? Mengapa derita ini menimpa kita?”.
Tiba-tiba Mohulintoli mendengar suara bisikan halus,
“Mohulintoli, setiap celaka, ada gunanya. Bersabarlah,
dan teruskan pekerjaanmu!”
Suara itu pun menghilang. Mohulintoli
melanjutkan pekerjaannya membuat ikan pinggang
emas. Ia ingin ikat pinggang emas itu segera dililitkan ke
pinggang adiknya sebelum berubah menjadi ular agar
kelak ketika Wunia berubah wujud menjadi ular dia
mengenalinya. Wunia pun mondar-mandir di dekat
Mohulintoli tapi tak sedetik pun di perhatikan oleh

14
kakaknya. Wunia hanya mendengar kakaknya bergumam
seolah menyampaikan pesan.
Nantikan aku, nantikan,
Nantikan di hulunya,
Nantikan di datarannya

Selang beberapa saat. Mohulintoli berteriak


kegirangan karena ikat pinggang buatannya telah selesai
dan akan diberikan pada adiknya.
“Wunia, kemarilah Dik!”
Wunia pun mendekati kakaknya, tetapi alangkah
kaget dan sedihnya Mohulintoli. Wunia telah berwujud
menjadi seekor ular. Wunia tidak tega melihat kakaknya
sedih. Dia pun pergi meninggalkan kakaknya sendiri.
Melihat adiknya pergi, Mohulintoli kembali histeris dan
berteriak.
Wuni-Wuni adikku,
Aku tunggu, tunggu
Tunggu aku di hulunya
Tunggu aku di datarannya.

Mohulintoli berlari mengejar adiknya yang telah


merayap perlahan. Ketika Wunia-Wunia akan terjun ke
sungai, dengan sigap, cermat, dan tepat, Mohulintoli
melilitkan ikat pinggang emas itu. Mohulintoli berdiri

15
sambil mengangkangi ekor Wuni-Wunia untuk mengikat
dengan erat ikat pinggang emas itu. Secepat kilat pun
Wuni-Wunia mengebaskan ekornya hingga Mohulintoli
tercampak ke atas puncak pohon di tepi sungai itu.
Dari puncak pohon, Mohulintoli menyaksikan
adiknya merayap ke daratan menuju sebuah liang yang
besar. Wuni-Wunia telah disambut oleh ular-ular besar
dan kecil di liang itu. Dengan ikat pinggang emas itu,
Mohulintoli pun dapat mengenal adiknya.
Rasa sepi dan sedih mulai merambah ke hati
Mohulintoli. Hatinya pun semakin sedih memikirkan
adiknya yang berubah wujud menjadi ular, sedih karena
ia tidak bisa turun dari pohon untuk kembali ke
rumahnya. Hari semakin gelap, senja mulai datang dan
malam pun tiba.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

16
3. Gadis Jelita di Puncak Pohon
Malam semakin kelam, bintang dan bulan tak
menampakkan cahayanya, suasana hutan pun semakin
sunyi. Sesekali terdengar suara jangkrik bersahutan
bergantian dengan suara burung hantu. Mohulintoli tidak
dapat memejamkan matanya. Dia berusaha melawan
hawa dingin angin malam. Untungnya tangkai pohon
yang diduduki bisa menahan dan melindungi tubuhnya
dari rasa dingin yang semakin menusuk-nusuk kulit
halusnya. Hawa dingin itu semakin merisaukan dirinya,
pikirannya selalu tertuju pada adiknya yang telah jauh
darinya, sampai dia terbawa mimpi bertemu dengan
adiknya.
“Aduhai Wunia, adikku sayang. Pasti kamu
kedinginan juga di luar sana. Kakak sangat
mengkhawatirkan kamu, Dik!”.
“Mohulintoli, kakakku. Bersabarlah. Aku tak
dapat menolak takdirku menjadi seekor ular. Di sini
banyak teman-temanku yang menjaga aku. Tidak usah
mengkhawatirkanku. Pulanglah ke rumah.”
“Tapi Wunia, kakak tidak bisa meninggalkanmu
di sini.”

17
“Tidak apa-apa, Kak. Semoga Eya menolong dan
menjaga kita, Kak.”
Tiba-tiba Wunia menghilang dari hadapan
Mohulintoli. Mohulintoli berusaha memanggil adiknya
kembali.
“Wuni-Wunia! Wunia! Kembalilah pada kakak.
Kakak masih ingin berbincang denganmu, Dik.”
Mohulintoli berusaha mengejar adiknya tapi ia
kehilangan jejak. Akhirnya Mohulintoli menangis sedih
lalu terbangun dari mimpinya.
Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda,
ketika menjelang senja, Istana Limboto sangat ramai.
Baginda Raja Walungo, Raja Limboto, mengundang
para pemuda dan pemburu pada jamuan makan malam.
Baginda sangat senang bergaul dengan mereka karena
raja sendiri masih muda dan belum menikah. Para bate
sudah lama menunggu titah untuk dicarikan pendamping
hidup, tetapi Baginda Raja Walungo belum pernah
menitahkannya.
Sore itu, tanpa sengaja salah seorang sahabat
Baginda Walungo berkelakar secara halus.

18
“Duhai,Baginda Raja. Alangkah semaraknya
sangkar ini bila lengkap penghuninya.”
“Eya pasti akan menurunkan burung yang
disenangi rakyat kepada rajanya.”
Para pemuda dan pemburu itu sangat senang
mendengar jawaban sang raja yang tampak gembira dan
bersemangat. Pada saat makan malam, tiba-tiba sang raja
berkata
“Alangkah enaknya bila makanan ini dilengkapi
dengan daging rusa.”
“Baginda, besok pagi kami semua ke hutan
berburu.” Serentak para pemuda dan pemburu menjawab
mendengar sindiran raja.
“Baiklah, kalau begitu, kalian harus berpencar.
Ada yang ke timur, ada yang ke barat. Sebagian ke utara,
dan sebagian lainnya ke selatan.”
“Daulat, Tuan Baginda Raja.”
Malam semakin larut. Satu per satu pemuda dan
pemburu berdatang sembah dan memohon diri kembali
rumah masing-masing.
Keesokan harinya ketika fajar menyingsing, para
pemuda dan pemburu berkumpul. Mereka sudah siap

19
dengan tombak, kelewang, dan sumpit. Sebelum
meninggalkan kampung, mereka membagi diri dalam
empat kelompok lalu berpencar sesuai dengan titah raja.
Para kelompok pemburu pun bergerak menuju hutan.
Di tengah hutan, mentari mulai menampakkan
sinarnya. Di sela-sela dedaunan pohon tinggi dan
rindang, tampak bayangan sinar mentari seakan
menembus setiap daun yang dilaluinya. Meskipun
matahari sudah bersinar, hutan masih terasa sangat sejuk.
Binatang-binatang hutan pun asyik menikmati pagi hari.
Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting
pohon sambil bersiul gembira. Monyet-monyet
bergelantungan lalu berlari di atas dahan. Rusa dan anoa
dengan lincah melompat kegirangan ke kiri dan ke sana
ketika mendapat makanan yang mereka cari. Tiba-tiba
suasana hutan berubah ketika burung-burung
memberikan tanda bahwa bahaya sedang mengancam
penghuni hutan.
“Cuit...cuit...cuit...cuit...cuit...cuit.”
“Kaok... kaok... kaok...kaok...kaok.”
Pekikan suara burung yang bersahutan itu
mendengar tanda-tanda alam bagi seluruh penghuni

20
hutan bahwa nyawa mereka terancam. Spontan seluruh
binatang berusaha menyelamatkan diri. Burung-burung
yang tadinya bermain dan bersiul di ranting pohon,
semuanya membisu dan bersembunyi di balik dedaunan.
Babi butan dan rusa lari mencari tempat yang aman.
Sekelompok monyet yang bergelantungan di pohon juga
tak nampak lagi. Dalam sekejap hutan menjadi dan
lengang. Suara binatang kecil pun tidak kedengaran.
Seakan mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka
menampakkan diri.
Para pemburu pun memasuki hutan. Mereka
heran mengapa hutan sangat sepi. Tak seekor binatang
pun yang tampak. Mereka pun mengatur strategi
pemburuan. Pemimpin pemburu menyuruh anggotanya
berjalan pelan-pelan sambil mengendap-ngendap dan
mengintai binatang buruan mereka.
“Siiit!” pemimpin pemburu meletakkan
telunjuknya di bibir lalu mengarahkan para pemburu
untuk mengintai binatang buruan. Mereka berusaha
menemukan binatang buruan agar Raja Walungo tidak
kecewa. Akhirnya, mereka menemukan persembunyian

21
binatang-binatang tersebut. Para pemburu itu pun berlari
dan mengejar binatang buruan sambil berteriak-teriak.
“Nah, itu rusa. Ayo kejar!”
“Kejar! Awas! Dia lari ke sana.”
“Itu anoa! Kejar! Kejar!”
Hutan pun menjadi ramai dengan suara hiruk
pikuk dari segala penjuru, binatang-binatang di hutan
berusaha menyelamatkan diri. Pada akhirnya mereka
berhasil memperoleh seekor rusa dan anoa.
Matahari mulai condong ke barat. Para pemburu
pun pulang ke kampung. Di tengah perjalanan, secara
kebetulan mereka melintasi sungai tempat si ular Wuni-
Wunia menyeberang. Air sungai itu sangat bening,
sebening kaca, sehingga bayangan kecil pun tampak
dalam air. Sejenak mereka berhenti beristirahat di tepi
sungai itu.
Salah seorang pemburu pun mengambil air di
sungai. Pada saat akan mengambil air, secara tak sengaja
ia melihat seorang puteri jelita sedang duduk di puncak
sebatang kayu dalam air. Ia kaget dan sontak berteriak ke
pemburu lainnya.
“Hei! Ada seorang gadis di lubuk sana!”

22
“Ah! Tidak mungkin!”
“Kalau kalian tidak percaya, kemarilah! Lihat
sendiri!”
Serentak para pemburu mendekat dan melihat
dengan jelas bahwa benar ada puteri cantik yang sedang
duduk di atas puncak pohon di lubuk. Salah seorang
pemburu memperhatikan tanda-tanda alami yang
dinampakkan sang puteri. Lalu ia berkata kepada
pemimpin pemburu.
“Tuan, menurut saya, puteri itu memperlihatkan
tanda baik dan bahagia.”
“Apa yang nampak padanya?”
“Tuan, puteri itu sedang menghadap ke Timur
Laut sementara berusaha memetik buah yang tidak bisa
dia jangkau. Itu sebuah pertanda baik. Andaikan dia
duduk termenung dengan rambut terurai, itu pertanda
buruk.”
“Baiklah, jika demikian, mari kita cari puteri itu.
Lalu kita persembahkan kepada Baginda Raja Walungo.”
Satu per satu para pemburu itu menyelam untuk
mencari sang puteri jelita. Mereka berusaha menemukan

23
puteri itu, tetapi tak seorang pun menemukannya.
Akhirnya, mereka pun kembali ke permukaan sungai.
Matahari semakin condong ke barat. Sinar
lembayung senja semakin memenuhi kaki langit.
Pemimpin pemburu pun memerintahkan semua
anggotanya mengangkat hasil buruan dan melanjutkan
perjalanan pulang ke kampung. Terbersit dalam pikiran
sang pemimpin pemburu bahwa berita tentang gadis itu
harus disampaikan kepada raja. Lalu dia diskusikan
kepada anggotanya.
“Tuan-tuan, berita ini harus segera kita
sampaikan kepada raja.”
“Ya, barangkali gadis itulah pemberian Eya yang
dimaksud oleh raja kemarin malam di istana,” sahut
pemburu yang mampu melihat tanda baik gadis itu.
Cahaya merah kekuningan telah menghilang.
Perlahan cahaya remang terang bulan mulai menerangi
langkah para pemburu. Tidak lama kemudian, mererka
tealh sampai di Istana Limboto. Pemimpin pemburu pun
menyampaikan penyesalannya karena hasil buruan
mereka sangat sedikit.

24
“Ampun, Baginda. Maafkan kami karena kami
tidak membawa hasil buruan yang banyak!”
“Tidak apa-apa. Yang penting kalian semua
pulang dengan selamat.”
“Ada satu berita penting lagi, Baginda.”
“Aada apa gerangan?”
“Dalam perjalanan pulang, kami singgah
beristrahat di tepi sungai. Tanpa sengaja salah seorang
dari kami melihat seorang puteri cantik jelita di lubuk.
Dia duduk di atas di puncak pohon. Dia menghadap ke
Timur Laut sambil berusaha memetik buah yang jauh
dari jangkauannya.”
“Lalu?”
“Kami sepakat untuk mencari puteri itu dan
membawanya pulang.”
“Di mana puteri itu sekarang?”
“Ampun, Yang Mulia. Setelah menyelam, kami
tak menemukan puteri itu. Akhirnya kami kembali ke
permukaan dan puteri itu masih tampak di lubuk. Karena
hari sudah mulai malam, kami memutuskan pulang ke
istana, untuk melaporkan hal ini kepada Baginda.”

25
Raja Walungo tersentak dari tempat duduknya
ketika mendengar berita tentang puteri jelita itu. Baginda
Raja Walungo seakan-akan tidak percaya dengan berita
tersebut. Beliau ragu dan bimbang. Terbersit tanya dalam
hatinya, “Apakah benar puteri jelita itu di atas pohon dan
sendirian di tengah hutan?” Lalu, Raja Walungo
menjawab sendiri pertanyaannya, “Tidak ada yang tidak
mungkin.” Saat itu pula Baginda Raja Walungo bertitah.
“Pengawal! Siapkan segala sesuatunya. Besok
menjelang fajar kita ke hutan bersama-sama.”
“Daulat, Tuanku Yang Mulia.”
Keesokan harinya, ketika fajar menyingsing dan
cahaya kekuningan mulai tampak di ufuk timur, para
pemburu kembali berkumpul di istana. Tiba-tiba muncul
seorang ibu hamil melintas di depan istana dan salah
seorang pemburu langsung bersin. Raja Walungo pun
segera bertitah.
“Ini pertanda baik. Ayo kita berangkat.”
Dengan wajah berseri dan bersemangat
rombongan raja menuju ke tepi sungai tempat puteri
ditemukan. Ketika melihat sungai itu Raja Walungo pun
bergumam.

26
“Air sungai ini benar-benar jernih dan bening. Di
manakah gerangan puteri jelita yang mereka ceritakan
semalam?”
Raja pun mendekati tepian sungai dan beliau
menyaksikan sendiri bayangan puteri jelita di atas
puncak pohon di dalam air. Raja pun menyuruh
rombongannya untuk menyelam mencari puteri itu.
“Temukan puteri itu. Bawalah ke hadapanku
sekarang!”
Dimulailah penyelaman ke dasar sungai untuk
mencari puncak pohon yang tampak di permukaan
sungai, namun tak seorang pun menemukan pohon dan
puteri jelita itu. Raja Walungo semakin penasaran dan
tanpa pikir panjang mahkotanya ditanggalkan lalu
menuju tepi sungai. Bayangan wajah sang puteri jelita
semakin tampak jelas di dalam air.
“Kasihan puteri itu. Aku harus menolongnya dan
membawanya pulang ke istana.”
Raja pun meloncat ke sungai dan menyelam
sampai ke dasarnya. Namun, usahanya sia-sia belaka.
Raja tak menemukan sang puteri. Raja tetap bersemangat
menyelam meskipun tenaganya sudah mulai menurun

27
dan perutnya minta diisi. Samar-samar terdengar suara
dari atas permukaan sungai.
“Telentang-telentang, miring selam, miring-
miring.”
Sejenak raja muncul ke permukaan dan melihat
siapa yang berbicara. Rupanya tidak ada orang di sekitar
sungai karena semua rombongannya sedang menyelam.
Yang ada hanya seekor katak betina. Raja pu
melanjutkan mencari sang puteri. Si kodok betina
bersuara lagi.
“Telentang-telentang, selam miring-miring,
miring-miring selam,”
Raja merasa bahwa katak tersebut mengarahkan
gaya selamnya. Raja seolah-seolah memperoleh
kekuatan baru lalu mengikuti arahan katak tersebut, lalu
menyelam dengan gaya telentang dan miring-miring.
Berulang kali dicobanya gaya tersebut, tetapi raja tak jua
menemukan sang puteri. Raja pun kehabisan tenaga dan
berusaha kembali ke tepi sungai. Raja semakin iba pada
puteri itu karena tidak berhasil ditolongnya. Raja mulai
berbicara pada dirinya sendiri.

28
“Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan
puteri itu. Kasihan dia. Dia membutuhkan
pertolonganku. Aku harus menyelamatkan nyawanya.”
Ketika raja sedang berbicara sendiri, seekor katak
jantan di dalam air juga bergumam seolah menyambung
kata-kata katak betina tadi.
“Miring-miring, telentang-telentang
selam miring-miring,
selam telentang-telentang.”

Suara katak itu bagaikan kilat menyentuh hati


Raja Walungo. Raja seakan meyakini bahwa itu bukan
suara katak, melainkan Eya memberikannya tanda. Tiba-
tiba sebuah kekuatan gaib menyusup ke dalam tubuhnya
dan membuatnya bergerak dengan cepat untuk
menyelam lagi.
Baginda Raja pun melemparkan dirinya ke
sungai dalam keadaan telentang lalu miring kemudian
telentang lagi di air. Secara tidak sengaja raja
menghadap ke atas. Sungguh tak diduga apa yang raja
lihat di atas ketinggian sana, seorang puteri jelita sedang
duduk di atas puncak pohon di tepi sungai. Raja pun

29
menertawakan dirinya sendiri, dengan napas terengah-
engah. Ia berhasil menangkan diri.
“Hampir mati aku menyelam mencarimu.
Padahal Engkau duduk manis di atas sana.”
Segera raja membalikkan badan dan berenang ke
tepian seraya memanggil rombongannya kembali ke
darat.
“Kalian semua, naiklah kalian ke darat.”
Seluruh anggota rombongan pun berkumpul dan
heran melihat tingkah laku raja mereka. Mereka sangat
kasihan pada raja yang telah bersusah payah mencari
sang puteri jelita namun tiada hasil.
“Lihatlah ke atas pohon itu. Pandang baik-baik!”
“Ada apa gerangan di atas pohon sana, Yang
Mulia?”
“Perhatikan puncak pohon besar itu!”
Seluruh mata terpaku memandang dan melihat ke
arah pohon besar itu. Di sana, tampak seorang puteri
jelita yang menyamping menghadap Timur Laut sambil
memetik buah seperti bayangan di sungai. Tiba-tiba
salah seorang pemburu bersuara.

30
“Rupanya Eya telah mempertemukan Baginda
dengan sang puteri jelita!”
“Betul! Hanya dengan kesabaran, ketekunan, dan
kepasrahan, yang baik itu dapat diperoleh,” sambung
pemburu lainnya.
“Ayo, turunkanlah puteri itu untukku!” Teriak
raja kepada semua anggota rombongan.
Semua anggota rombongan mulai berpikir
bagaimana cara menurunkan sang puteri dari atas puncak
pohon. Akhirnya, mereka menemukan cara yang tepat.
Mereka harus membuat tangga dengan berdiri sambung
menyambung hingga bisa mencapai tempat sang puteri.
Orang yang berdiri paling atas pun berusaha membujuk
sang puteri agar mau turun ke tanah.
“Wahai Tuan Puteri! Siapakah gerangan dirimu?”
“Hamba Mohulintoli.”
“Apa yang engkau lakukan di atas sini?”
“Hamba sedang menanti adik hamba dan
mengawasinya dari jauh.”
“Apa gerangan yang terjadi?”
“Adik hamba, Wuni-Wunia, sedang dalam
bahaya. Dia berubah wujud menjadi ular karena ulah

31
seorang yang tidak menyukainya. Ketika hamba
melilitkan ikat pinggang emas di tubuhnya, tanpa
sengaja adik hamba menendangku dengan ekornya
hingga hamba terpental jauh naik ke puncak pohon ini,
dan hamba takut turun sendiri. Akhirnya hamba
memutuskan untuk tetap di atas puncak pohon ini sambil
mengawasi adik hamba.”
“Sungguh malang nasibmu! Di sini sangat
bahaya. Kami akan menolongmu. Baginda Raja
Walunga memerintahkan kami untuk menolongmu,
Puteri Mohulintoli. Ikutlah dengan kami turun ke
bawah.”
“Hamba tidak mau ikut turun kecuali Baginda
Raja Walunga memenuhi permintaan hamba.”
Baginda Raja Walunga mendengar percakapan
mereka. Lalu Baginda Raja berteriak dengan lantang.
“Wahai Tuan Puteri yang cantik jelita! Apa
sajakah permintaanmu? Katakanlah! Akan kudengarkan
sekarang.”
“Permintaan hamba tidak banyak, Baginda.”

32
“Ya, Tuan Puteri. Apa pun permintaanmu akan
kukabulkan, asalkan Tuan Puteri mau turun dari pohon
besar itu.”
“Baiklah, Baginda. Permintaan hamba yang
pertama, hamba tidak mau turun jikalau Baginda tidak
berusaha membantu hamba mengubah adik hamba
menjadi manusia kembali. Kedua, kelak Wuni-Wunia
harus menjadi raja jika Baginda wafat.”
Tanpa berpikir panjang, Raja Walungo segera
menerima permintaan Puteri Mohulintoli. Raja hanya
mengingat pertolongan buat sang puteri lebih utama.
Akhirnya Puteri Mohulintoli turun dari puncak pohon
melalui pundak anggota rombongan yang berdiri
bersusun.
Raja Walungo bersama rombongan pun kembali
ke istana bersama Puteri Mohulintoli. Raja telah berpikir
untuk menikahi Putri Muhulintoli. Ketika mereka telah
tiba di istana, Raja pun berkata kepada Putri Mohulintoli.
“Bolehkah aku mempersuntingmu? Hanya itu
satu-satunya cara agar kau bisa tinggal di istana. Apa
kata orang nanti jika kita tinggal bersama?”

33
Tiba-tiba Puteri Mohulintoli bersembah di
hadapan Raja Walungo.
“Baginda, Yang Mulia.”
“Ya, Puteri. Mengapa Engkau tiba-tiba bersujud
di hadapanku?”
“Duli, Tuanku Yang Mulia. Apakah hamba boleh
mengajukan satu permintaan lagi?”
“Tentu saja boleh. Silakan!”
“Baginda, bukankankah Baginda junjungan adat
dan teladan bagi seluruh negeri? Hamba bersedia, tapi
hamba mohon agar acara pernikahan kita ditangguhkan
hingga adikku Wuni-Wunia kembali menjadi manusia
agar Baginda Raja dapat melaksanakan acara adat
pernikahan.”
Sang raja terkesima dengan permintaan Puteri
Mohulintoli. Raja merasa berat untuk menolak
permintaan sang puteri. Akan tetapi, sebagai junjungan
adat di daerah kerajaan, Raja pun mengiyakan keinginan
Puteri Mohulintoli. Akhirnya, Puteri Mohulintoli tidak
dibawa masuk ke istana, tetapi diantar ke bele daa
keluarga raja di sekitar istana.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

34
4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri
Berita tentang seorang puteri jelita di puncak
pohon yang ditemukan Raja Walungo tersebar ke seluruh
negeri malam itu juga. Rakyat Limboto di sekitar istana
pun gempar dan penasaran ingin melihat langsung wajah
Sang Puteri. Mereka berbondong-bondong menuju
istana. Istana menjadi ramai dengan cahaya gemerlap
dan penuh sesak dengan manusia.
Semua yang hadir di istana bertanya-tanya
mengapa raja mereka membawa pulang puteri jelita itu.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka menyeletuk.
“Siapa ya puteri jelita itu? dan kira-kira apa ya...
tujuan raja membawa puteri itu kemari?”
“Menurut salah seorang pengawal yang ikut
bersama raja ke hutan, gadis itu bernama Puteri
Mohulintoli. Karena kecantikannya, Raja Walungo ingin
menyunting puteri itu,” Jawab salah seorang pelayan
istana.
“Hhh! O...Eya terima kasih. Engkau telah
mengirimkan calon permaisuri bagi raja kami.”
Serempak yang hadir di istana bersyukur pada Eya.

35
Malam itu, Raja walungo sangat bersukacita
karena sebentar lagi akan memiliki pendamping hidup.
Sukacita Raja disambut riang gembira oleh rakyatnya
meskipun mereka tidak dapat melihat langsung wajah
Puteri Mohulintoli.
Pada waktu yang sama di bele daa, Mohulintoli
hanya boleh melihat kebahagiaan raja dan rakyatnya dari
balik jendela. Adat istana tak mengizinkan anak gadis
yang akan menikah tidak boleh keluar dari rumah.
Malam itu pula, berita keputusan Sang Raja
untuk mempersunting Sang Puteri Jelita pun tersebar ke
seluruh penjuru. Timbul desas desus di kalangan gadis-
gadis istana, tak terkecuali Minanga, puteri Panglima
Kerajaan Limboto. Dia bertanya pada para dayang-
dayangnya.
“Secantik apakah puteri itu hingga Baginda Raja
menjatuhkan pilihan padanya?”
“Wah, kami juga tidak tahu Tuan Puteri. Kami
belum melihat wajahnya karena Baginda Raja langsung
membawa puteri itu ke bele daa di samping istana.”
Puteri Minanga sangat kecewa dengan jawaban
dayang-dayangnya. Sebenarnya dia sangat marah dan

36
kecewa karena Raja Walungo lebih memilih gadis yang
baru dikenalnya daripada dirinya yang sejak kecil
tumbuh bersama dengan Sang Raja. Akhirnya dia hanya
memendam keinginannya untuk mendampingi sang raja.
Tiba-tiba muncul ide dalam pikiran Puteri Minanga
untuk bertemu dengan Puteri Mohulintoli di bele daa.
Malam semakin larut, bulan telah berlindung di
balik awan, temaram cahaya lampu mulai redup, rakyat
pun kembali ke rumah masing-masing. Istana perlahan
mulai sepi. Hanya pengawal istana yang sesekali
kelihatan mengitari istana.
Sementara itu, di bele daa, Mohulintoli berusaha
memejamkan matanya. Sudah dua hari ia tidak tidur
dengan nyaman. Sebenarnya ia pun tak menyangka akan
menjalani idup seperti sekarang. Akan tetapi, demi
adiknya Wuni-Wunia, dia rela melakukan apa saja
termasuk jika harus menikah dengan seorang raja yang
baru dikenalnya. Tak lama kemudian, Mohulintoli
tertidur pulas.
Keesokan harinya, menjelang pagi, Mohulintoli
terjaga dari tidurnya karena suara ayam jantan berkokok
yang saling bersahutan. Rasa lelah dan kantuknya

37
terbayarkan. Tubuhnya kembali segar. Mohulintoli
bergegas bangkit dan merapikan tempat tidurnya. Ketika
ia menyibak jendela kamar, tampak olehnya para petani
yang sudah menggiring sapinya ke sawah. Setelah
membersihkan dirinya, Mohulintoli pun membenahi bele
daa seperti kebiasaannya di rumahnya sendiri. Para
penghuni bele daa lainnya masih terlelap. Mohulintoli
dengan cekatan menata dan merapikan bele daa itu.
Setelah itu, Mohulintoli menyeduh kopi untuk anggota
keluarga bele daa.
Aroma kopi buatan Mohulintoli membangunkan
paman Baginda Raja Walungo, yang menemani
Mohulintoli di bele daa. Paman Raja sangat terkesima
karena bele daa sudah rapi dan bersih. Penghuni rumah
lainnya pun ikut terbangun.
“Uhhmm... wangi sekali! Siapa yang membuat
kopi?”
“Maafkan Mohulintoli, Paman. Saya sudah
lancang masuk ke dapur tadi dan menyeduh kopi buat
Paman.”
“Terima kasih, Nak. Kamu rajin sekali. Pasti Nak
Mohulintoli yang membereskan bele daa ini, kan?”

38
Mohulintoli hanya tersipu malu dipuji oleh
paman raja. Lalu Mohulintoli menjawab dengan sopan
dan lemah lembut.
“Paman, saya hanya melakukan yang seharusnya
saya lakukan. Terima kasih juga karena Paman telah
menjaga saya di rumah ini.”
“Mohulintoli, alangkah bahagianya ponakanku,
Baginda Walungo, bila kelak ia mempersunting kamu,
Nak. Parasmu tidak saja cantik, perilakumu pun sangat
sopan dan sabar. Kamu memang pantas untuk
ponakanku.”
Mohulintoli semakin tersipu malu dan beranjak
menuju kamarnya. Paman raja lalu memanggilnya untuk
tetap bersama keluarga bele daa menikmati pagi dengan
kopi dan pisang goreng.
“Mohulintoli, duduklah sebentar bersama kami di
sini, Nak.”
“Baiklah, Paman.”
“Nak. Paman akan menceritakan sesuatu padamu.
Sesungguhnya Pohalaa Limutu „Kerajaan Limboto‟
terdiri dari satu linula besar yang merupakan gabungan
dari lelaa-lelaa, termasuk lelaa Batu dan tempat

39
Mohulintoli dilahirkan. Perkawinan antara orang-orang
dari satu lelaa dan lelaa lainnya dalam satu linula adalah
hal yang biasa.”
Ucapan terakhir paman raja membuat hati
Mohulintoli semakin tak karuan dan ia pun berusaha
meninggalkan keluarga raja menuju kamarnya. Ketika
Mohulintoli sudah mulai beranjak, tiba-tiba beberapa
orang tua dan pengawal istana menaiki tangga bele daa.
“Tunggu! Mohulintoli, jangan beranjak dulu,
Nak. Tamu dari istana ini ingin bertemu denganmu.”
Tanpa sepatah kata pun, Mohulintoli mengikuti
keinginan paman raja. Dia merapikan duduknya lalu
menjemput tamu dari istana dengan senyuman yang
ramah. Paman raja pun membuka pembicaraan lagi.
“Nak, Negeri Limboto ini mempunyai adat.
Pertemuanmu dengan baginda dan ikatan janji yang telah
dimufakati di depan rakyat telah dianggap sebagai
peminangan resmi atas dirimu. Sambil menunggu
adikmu berubah menjadi manusia, hingga memasuki
pernikahan, kau telah resmi bertunangan dengan
baginda.”

40
Mohulintoli hanya tertunduk dan diam
mendengar perkataan paman raja. Dia tidak berani
menatap orang-orang yang hadir di bele daa itu. Paman
raja lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Nak, para tamu dari istana membawa wohiya
„hadiah pertunangan‟. Bungkusan kecil yang di atas baki
ini adalah tilamungo „bungkusan yang berisi perhiasan‟
dan bungkusan yang satu ini adalah putu „bungkusan
kain-kain bahan pakaian‟. Semua itu buat kamu, Nak.”
“Terima kasih, Paman.”
Hanya sepatah kata itu yang mampu keluar dari
mulut Mohulintoli di pagi hari yang cerah itu.
Tanpa disadari oleh Mohulintoli, sepasang mata
telah mengawasinya dari balik pintu bele daa sejak tamu
dari istana belum datang. Puteri Minanga telah
mendengar semua percakapan Mohulintoli dan paman
raja sejak awal. Dia tidak berdaya dan tidak bisa
berharap banyak lagi untuk menjadi permaisuri Raja
Walungo. Akhirnya, ia pun harus mengakui bahwa
Mohulintoli memang pantas menjadi permaisuri Raja
Walungo.

41
Hari pun mulai siang. Sinar matahari semakin
menyengat. Para tamu dari istana pun memohon pamit.
Sementara itu, di istana Raja Walungo sudah tidak sabar
ingin segera melangsungkan perkawinannya dengan
Mohulintoli. Raja pun mendapat ide dengan meminta
bantuan rakyat atau orang pintar di negerinyauntuk
mengubah adik Mohulintoli menjadi manusia lagi. Raja
mengumpulkan rakyat, para hulubalang, dan dukun-
dukun yang terkenal dari seluruh penjuru kampung. Tak
lama kemudian, Raja Walungo yang duduk di atas tahta
berdiri dan berteriak lantang.
“Wahai rakyatku dan seluruh dukun-dukun
penjuru negeri ini. Siapakah di antara kalian yang
mampu mengubah seekor ular menjadi manusia?”
Semua yang hadir saling berpandangan dan
seketika istana sepi. Tak seorang pun yang berani
mengangkat kepalanya, karena mereka pikir tidak
mungkin mengubah seekor ular menjadi manusia. Tiba-
tiba seorang dukun tua dan sakti memberanikan diri
berbicara pada raja.
“Baginda, hamba ini hanya manusia biasa.
Hamba akan berusaha melakukannya. Namun, hamba

42
mohon pada Baginda jangan hukum hamba jika usaha ini
tidak berhasil karena semua itu bergantung pada Eya.
Dialah Yang Mampu melakukan segalanya.”
“Baiklah, Paman. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita membutuhkan minyak tujuh tempayan.
Tuangkan minyak itu setempayan demi setempayan
hingga tempayan keenam ke dalam liang ular tersebut.
Tempayan ketujuh digunakan untuk menyiram tubuh
ular yang akan diubah itu.”
Raja Walungo memerintahkan para pengawalnya
untuk menyiapkan minyak tujuh tempayan. Setelah itu,
raja dan seluruh hulubalang, bate-bate, penghuni bele
daa termasuk Mohulintoli, menuju liang lahat tempat
Wuni-Wunia bersembunyi. Satu persatu tempayan yang
berisi minyak dituang ke dalam liang ular itu. Ketika
tempayan ketiga dituang, ular-ular kecil mulai merayap
keluar dari liang itu. Setelah minyak di tempayan
keenam dituang, keluarlah seekor ular besar yang
berlilitkan ikat pinggang emas.
“Lihat! Itu Wunia-Wunia, adikku. Ikat pinggang
emas yang melingkar di tubuhnya adalah hasil tenunanku
sendiri.”

43
Mohulintoli secara spontan berteriak kegirangan
memecahkan sepi dan tegangnya orang-orang
menyaksikan ular-ular yang keluar dari liang itu. Lalu,
dukun sakti itu pun mendekati Mohulintoli dan
menyerahkan tempayan ketujuh.
“Tuan Puteri, siramkanlah minyak ini pada
adikmu, dan berdoalah pada Eya agar adikmu berubah
wujud menjadi manusia kembali.”
“Baiklah, Paman.”
Mohulintoli pun menuangkan minyak dalam
tempayan itu ke tubuh adiknya dan perlahan-lahan ia
berkata:
“Wuni-Wunia, adikku
kembalilah kepadaku
engkaulah yang menjadi waliku
menikah dengan rajaku.
dalam sekejap mata
berdirilah bulu roma
ular merayap
menjadi manusia pastilah sudah.”

Tak lama kemudian, Wuni-Wunia berubah wujud


kembali menjadi manusia. Mohulintoli pun mendekap
dan merangkul adiknya. Semua yang hadir saat itu ikut

44
serta merasakan kegembiraan Mohulintoli dan adiknya.
Baginda Raja lalu bertitah.
“Kalian, rakyatku sekalian. Marilah ke istanaku
dengan adikku Wuni-Wunia mempersatukan bicara.”
Mohulintoli melihat adiknya kebingungan
melihat sikap dan titah Sang Raja. Dia pun membisiki
adiknya.
“Ssttt...Wuni-Wunia, adikku. Berterima kasihlah
pada Raja Walungo yang telah menolong kita. Baginda
Rajalah yang menolong kakak setelah kau tidak sengaja
menendangku hingga terlontar ke atas pohon. Baginda
pula yang menolong Wunia berubah menjadi manusia
kembali.”
“Maafkan Wunia, Kak. Wunia tidak sengaja
melakukannya.”
“Ya, tidak apa-apa Wunia. Satu lagi, Wunia. Raja
Walungo telah melamar kakak, tetapi kakak tidak mau
menikah hingga Wunia berubah wujud, menjadi manusia
lagi. Sekarang tiba saatnya kita membalas kebaikan
Baginda Raja Walungo, Dik.”
Wuni-Wunia pun mengerti dan memahami sikap
ramah raja kepadanya. Dia merasa simpati dan nyaman

45
atas sikap Raja Walungo padanya. Wuni-Wunia pun
menerima uluran tangan Baginda Raja Walungo dengan
penuh rasa persahabatan.Tidak terasa, sore menjelang.
Lembayung senja kembali menghias kaki langit
menyambut Wuni-Wunia memasuki bele daa bersama
kakaknya, Mohulintoli.
Beberapa hari setelah kembalinya Wuni-Wunia,
istana kembali sibuk dengan persiapan pesta adat
pernikahan Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli.
Keluarga Mohulintoli dari Batudaa juga turut hadir pada
acara tersebut. Setelah melalui berbagai rangkaian adat,
Raja Walungo mengumumkan kepada seluruh rakyatnya
bahwa Mohulintoli telah resmi menjadi permaisurinya.
“Rakyatku sekalian, hari ini Mohulintoli resmi
menjadi permaisuri negeri pohalaa Limboto. Jika aku
mangkat, iparku, Si Wuni-Wunia akan menggantikanku.
Inilah janjiku. Dan Eya akan murka terhadap orang-
orang yang ingkar akan janji.”
Setelah selesai mengumumkan hal tersebut di
atas, Raja Walungo kembali duduk di samping
permaisurinya yang mencerna setiap kata Baginda tadi.
Sekejap tampak rona wajah yang beraneka macam

46
mendengar titah sang raja. Keluarga raja yang merasa
berhak, tampak pucat pasi. Namun, situasi tegang itu tak
berlangsung lama karena tertelan oleh meriahnya pesta
selama 40 hari 40 malam.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

47
48
5. Wuni-Wunia Menjadi Raja
Setelah bertahun-tahun menikah, Raja Walungo
dan permaisurinya, Mohulintoli, tak kunjung dikaruniai
putera mahkota. Rakyat Limboto semakin risau karena
Baginda Raja semakin lanjut usia. Siapakah yang akan
melanjutkan kepimpinan kerajaan? Adat negeri Limboto
hanya membenarkan tahta kerajaan turun kepada
keluarga raja yang sedarah.
Di suatu sore, ketika hari sudah mulai senja,
Puteri Mohulintoli duduk termenung di taman istana.
Sang Permaisuri memikirkan mengapa sampai bertahun-
tahun dirinya tidak dapat memberikan keturunan bagi
Baginda Raja Walungo. Permaisuri memikirkan pula
bahwa negeri Limboto akan kacau balau karena
perebutan tahta kerajaan jika Baginda Raja mangkat.
Permaisuri pun berpikir bahwa mungkin Eya
mendengarkan permintaannya kepada Baginda Raja
dahulu. Tiba-tiba Baginda Raja menghampiri
permaisurinya dan bertanya apa yang membuatnya
termenung.

49
“Adinda, Mohulintoli. Mengapa engkau duduk
termenung seperti itu? Apa yang menghantui
pikiranmu?”
“Ampun, Baginda. Adinda memikirkan mengapa
sampai saat ini kita belum dikaruniahi keturunan?”
“Adinda. Jangan kau risaukan masalah itu.
Bukankah sejak dulu Kakanda katakan bahwa putera
bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Adinda
selalu sehat dan setia mendampingi Kakanda saja sudah
cukup membuat Kakanda bahagia.”
“Ya, Kakanda, tapi...”
“Sudahlah, Adinda. Mungkin ini ujian dari Eya
agar kakanda membuktikan janji Kakanda kepadamu
agar Wuni-Wunia kelak mengantikanku sebagai raja.”
Sebulan setelah berbincang dengan
permaisurinya, Baginda Raja Walungo terjatuh sakit.
Raja terbaring lemah dan tidak bisa berbuat banyak lagi.
Di istana telah berkumpul para hulubalang dan semua
perangkat kerajaan. Raja Walungo lalu memanggil
permaisurinya dengans suara perlahan.
“Adinda Mohulintoli, mungkin panggilan Eya
tidak lama lagi akan datang. Kelak Kakanda akan

50
bahagia di sana jika Adinda menyerahkan kerajaan ini
kepada Wuni-Wunia. Ini janjiku. Semoga Eya
menolongmu.”
Permaisuri Mohulintoli pun tidak sempat
menjawab titah Sang Raja karena pada saat itu pula
Baginda Raja Walungo menghembuskan napas
terakhirnya dengan senyuman tipis di bibirnya. Semua
yang hadir terhenyak dan meneteskan air mata melepas
kepergian sang raja yang begitu dicintai.
Alam pun seakan turut berduka. Langit menjadi
teduh, suasana semakin mengharu biru. Di hadapan
jenazah Baginda Raja Walungo, keluarga raja yang
merasa berhak mulai menuntut untuk segera dilantik
menjadi raja. Balairung sudah penuh dengan orang.
Namun para bate tidak berani menentukan siapa yang
paling berhak memakai mahkota raja.
Para bate tampak bingung, seluruh yang hadir
gelisah, bahkan para calon pengganti raja sudah
melongok ke kiri dan ke kanan sambil menggosok
dahinya yang tidak berkeringat. Rupanya mereka
menunggu Permaisuri Mohulintoli, yang paling bisa

51
menentukan siapakah yang akan menggantikan posisi
Raja Walungo.
Tak lama kemudian, Puteri Mohulintoli muncul
bersama adiknya Wuni-Wuni yang didampingi istrinya,
adik Raja Walungo. Mereka memakai pakaian biru,
warna kedukaan. Di depan permaisuri, berjejal rakyat
dengan pakaian berwarna putih sebagai tanda berkabung
atas kepergiaan raja mereka.
Suasana kembali hening. Tiba-tiba berdiri
seorang bate berdiri dan berkata.
“Wahai rakyat Limboto. Kita semua berduka atas
kepulangan Baginda Raja. Namun, hari ini pula kita
harus menentukan siapa yang berhak menggantikan
Baginda Raja. Kami para bate telah sepakat untuk
mencari calon pengganti raja yang memenuhi
persyaratan. Dia harus jujur, berilmu, cinta pada rakyat,
dan suka beramal.”
Para calon pengganti raja pun sudah mulai
berharap bahwa merekalah yang akan menggantikan
Raja Walungo. Tiba-tiba para bate berjalan mengitari
para calon pengganti raja tersebut. Tiba-tiba para bate

52
berhenti di depan Wuni-Wunia dan menuntunnya ke
depan.
“Inilah yang paling memenuhi syarat menjadi
Raja Limboto berikutnya. Kami telah melihat karakter
setiap calon. Akan tetapi, terdapat satu karakter Wuni-
Wunia yang tidak dimiliki oleh calon lainnya. Wuni-
Wunia selalu jujur, ikhlas, dalam bekerja, tegas, tidak
pemarah, dan selalu mendahulukan kepentingan rakyat
daripada kepentingan pribadinya. Dia selalu santun
terhadap siapa pun. Dia pun selalu mendampingi Raja
semasa hidupnya. Selain itu, pengangkatan Wuni-Wunia
menjadi raja merupakan perwujudan janji Raja Walungo
kepada Puteri Mohulintoli ketika pertama kali bertemu di
di puncak sebuah pohon, di tepi sungai, di tengah hutan.
Kemudian, janji itu dikuatkan pada saat pernikahan
Baginda Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli dan
disetujui oleh semua rakyat Limboto. ”
Belum sempat bate menutup pembicaraannya,
seluruh rakyat langsung berteriak.
“Hidup Baginda Raja Wuni-Wunia! Hidup Puteri
Mohulintoli! Hidup kesetiaan terhadap janji!”
“Sejahteralah seluruh negeri Limboto!”

53
Para calon pengganti raja lainnya langsung merah
padam mukanya mendengar teriakan seluruh rakyat
Limboto. Mereka pun meninggalkan istana dalam
keadaan kecewa dan malu sebelum pemakaman Raja
Walungo.
Mahkota raja pun diletakkan di kepala Wuni-
Wunia, Raja Limboto yang baru. Setelah itu, Raja
Walungo diantar ke peristirahatan terakhirnya.
Raja Wuni-Wunia memimpin Pohalaa Limboto
dengan adil dan jujur serta bijaksana. Dia sangat berhati-
hati mengucapkan janji dan sumpah karena Baginda Raja
menyadari bahwa dirinya menjadi raja karena sebuah
janji yang mengorbankan ketentuan yang telah
mengakar.

Daftar istilah
bate „pemangku adat‟
bele daa „rumah besar‟
Eya „Tuhan‟
kola-kola „usungan yang berbentuk perahu berisi seperangkat
buah-buahan yg biasa dibawa pada waktu mengantar harta
kepada pihak keluarga pengantin‟
linula „wilayah atau bagian dari kerajaan‟

54
lelaa„
pohalaa „kerajaan kecil‟

55
56
PUTRI AMBALO
Efendi

Dua ekor kucing, yang satu betina berbulu kuning-


putih dan yang satu lagi jantan berbulu hitam-belang
saling berebut makanan di dapur menimbulkan suara
gaduh. Dua piring berbahan tanah liat berisi beberapa
potong ayam dan ikan goreng terjatuh ke tanah dan
pecah, mengiringi bunyi dentingan gelas logam yang
menggelinding.

“Huss... huss... husshh...!” Seorang perempuan


berusia 50 tahun masuk ke dapur dan mengambil kain
taplak meja, lalu mengibas-ngibaskannya untuk
mengusir kedua kucing itu. Kedua kucing pembuat
gaduh langsung lari terbirit-birit menyelamatkan diri
melalui pintu belakang. Halijah, si perempuan separuh
baya segera membersihkan makanan yang berserakan di
lantai tanah dan merapikan meja makan. Pintu belakang
ia tutup rapat agar kucing-kucing tidak dapat masuk
kembali dan mengobrak-abrik makanan di dapur. Segera
setelah itu, Halijah kembali ke ruang tengah melanjutkan
perbincangannya bersama para tamu. Suara canda dan

57
tawa hampir tiada putusnya memenuhi ruang tengah
rumah kecil atau lebih tepat disebut gubuk itu.

Sementara itu, di halaman depan, duduk beberapa


orang pria berusia 50-an tahun. Sama dengan para wanita
yang berkumpul di ruang tengah, mereka juga sedang
asyik berbincang sambil sesekali mengangkat gelas
bambu ke bibirnya, menghabiskan isinya, kemudian
mengisinya kembali. Busa putih kadang-kadang
menyembul keluar melampaui tingginya gelas yang
terbuat dari bambu. Saguer adalah sejenis tuak yang
terbuat dari aren.

“Akhirnya kalian berhasil juga mendapatkan anak,


Madi. Tampaknya Eya sudah bosan mendengar doa-doa
kalian, sehingga mengabulkannya, hehehehe.” Salah
seorang tamu berumur lima puluhan dengan setengah
bercanda berkata kepada Madi.

“Iya. Sudah lama kami membina rumah tangga.


Segala daya dan upaya telah kami lakukan untuk
mendapatkan buah perkawinan kami, sampai hampir-
hampir kami putus harapan. Alhamdulillah, ternyata
EyaYang Maha berkehendak masih mengasihani kami.

58
Meskipun agak terlambat, kami tetap sangat
mensyukurinya.”

Rupanya di tempat itu sedang melaksanakan hajatan


tujuh hari kelahiran anak. Madi dan Haijah, pasangan
suami-istri yang sudah hampir memasuki 50 tahunan
yang melaksanakan hajatan. Sebuah hajatan sederhana
mereka lakukan untuk bayi mereka yang baru berumur
seminggu.

---*---

Pada zaman dahulu, terdapat sebuah perkampungan


yang letaknya cukup terpencil dari perkotaan. Kampung
yang sebagian besar wilayahnya dilalui aliran sungai
Bulango itu diperintah oleh seorang raja yang arif dan
bijaksana. Raja penguasa negeri Bulango.

Di dalam kampung terpencil tersebut tinggal


sepasang suami-istri. Mereka hidup sangat sederhana.
Namun, kesederhanaan dalam sebuah gubuk kecil yang
letaknya di ujung kampung itu mereka bingkai dengan
kebahagiaan bertopang kerja keras dan keikhlasan.

59
Ya, mereka sangatlah berbahagia. Namun, ada satu
hal yang mengurangi kebahagiaan mereka. Anak.Ya,
meskipun rumah tangga yang mereka bina sudah
memasuki hampir dua dasawarsa, namun sampai sejauh
ini mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal
menurut beberapa orang pintar, sebenarnya di antara
Madi dan Halijah tidak ada permasalahan ataupun
penyakit yang menjadi penghalang untuk mendapatkan
keturunan. “Mungkin hanya faktor waktu keberuntungan
saja. Teruslah kalian berusaha dan berdoa. Kelak,
jikalau waktunya tiba, kalian pasti akan dikarunai juga
keturunan. Tetaplah yakin.” Ucapan orang pintar terus
mengiang-ngiang di telinga mereka setiap kali
memikirkan tentang anak. Dorongan itulah yang menjadi
penyemangat bagi pasangan suami-istri tersebut,
sehingga mereka tidak putus asa dan terus berdoa kepada
Yang Mahakuasa agar dikaruniai anak.

Akhirnya, tiba juga waktu yang mereka nantikan.


Sang istri mengandung dan melahirkan seorang anak
perempuan. Setelah dikarunai anak, kebahagiaan mereka
semakin bertambah. Semangat hidup suami-istri itu kian

60
berkobar. Mereka pun lebih semangat dalam bekerja
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hanya canda dan
tawa yang terdengar dari dalam gubuk kecil itu sebagai
yang mengiringi tangisan si bayi sepanjang hari.

Sayangnya, hari-hari berbahagia itu mereka nikmati


tidak lama. Pada masa-masa ketika si kecil mulai
mempelajari alam, bayi mungil menggemaskan itu
terserang penyakit kulit yang tidak dapat disembuhkan.
Seiring waktu, penyakit kulit si kecil bertambah parah.
Keadaan tersebut menimbulkan pemikiran yang tidak
sehat di kepala Madi. Ia khawatir keadaan anaknya akan
memberi aib dan menjadi buah bibir bagi keluarganya.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, dan tahun-


tahun pun berganti penyakit si Nou terus memburuk.
Akhirnya, Madi, sang ayah tak tahan menganggung malu
dan aib yang akan muncul nantinya. Perselisihan antara
Madi dan istrinya, Halijah, sempat terjadi. Puncaknya,
Nou mereka tinggalkan saat melakukan pembalakan liar
di tengah hutan.

Beberapa hari setelah pembuangan si Nou, Madi dan


Halijah diadili. Berita hilangnya Nou menjadi bahan

61
cerita penduduk kampung dan penduduk kota. Berbagai
pendapat pun diutarakan orang-orang. Ada yang
mengatakan bahawa Nou dibunuh, ada yang mengira-
ngira Nou dikubur hidup-hidup, ada yang berpikir bahwa
Nou dibuang ke jurang, dihanyutkan ke sungai, dan
banyak lagi perkiraan lainnya yang menyebar dengan
cepat. Berita tersebut sampai juga ke telinga Raja
Penguasa Negeri. Sidang adat digelar dan terbuka untuk
diikuti oleh semua penduduk negeri. Jika Madi dan
Halijah terbukti bersalah, maka tiang gantungan siap
menjerat leher sampai mereka menghembuskan nafas
terakhir.

- - - *---

Lolongon panjang anjing hutan melengking sesekali


memecah dan menenggelamkan nyanyian kodok yang
bersahutan dalam kesunyian. Redup-temaram cahaya
bulan, tak sanggup memperlihatkan kawanan jangkrik
yang bersembunyi di balik rerumputan. Angin yang
cukup kencang seolah-olah mengiringi gelegar halilintar
ke bumi, menghadirkan bayangan-bayangan raksasa
beberapa pohon tua. Sungguh menambah kengerian

62
suasana desa terpencil itu kala memasuki musim
penghujan.

Sementara itu, di bagian ujung perkampungan,


terdengar sayup-sayup rintihan halus seorang
perempuan. Asalnya tidak lain dari sebuah rumah kecil
berdinding rumbia yang lebih pantas disebut gubuk. Nou
sang anak, akan memasuki usia yang kedua belas. Madi
dan Halijah adalah pemilik gubuk tersebut. Gubuk yang
menjadi tempat membesarkan putri mereka dengan
sepenuh hati.

“Aduuhh...aduuhh.., Mama…sakiiitt....,” rintih


perempuan di atas bale-bale.

“Tidak bisakah kau diam sedikit, Nou? Setiap hari


kau merintih saja...” sahut pria di luar gubuk. Bau saguer
tajam menyengat seolah-olah merontokkan bulu hidung.
Entah berasal dari gelas bambu dan potongan bambu
,tempat tuak yang isinya sebanyak hampir tiga liter yang
terletak di sampingnya, ataupun dari keluar mulutnya
yang sudah menenggak saguer sebanyak dua tempat
bambu.

63
“Sakit, Papa. Nou tidak tahan... gatalnya bukan
main” sahut Nou menjawab ucapan pria di luar gubuk
yang ternyata Madi, ayahnya.

“Mana obat yang papa ambil dari hutan kemarin?


Sudah habis?” tanya Madi kepada anaknya yang terus
meringis karena rasa gatal yang menjalari seluruh
badannya.

Sementara itu, Halijah segera keluar mendapati


suami dan anaknya dengan membawa sebuah mangkuk
berbahan dasar tanah liat berisi ramuan obat “Ini masih
ada. Dioleskan lagi ya, nou” Kata Halijah menjawab
pertanyaan suaminya, sekaligus meminta anaknya
bersedia diolesi ramuan obat yang dibawanya.

“Aduh..., jangan, Mama, perih sekali itu obat.


Sakit....” sambil meringis Nou membayangkan efek
perih dari ramuan obat yang akan dioleskan ke seluruh
badannya.

“Bersabar, Nou... tahan perihnya supaya kamu lekas


sembuh. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kamu bisa
kembali belajar dan bermain bersama teman-temanmu.”

64
Kata Halijah lembut, berusaha menghibur anaknya
sambil mengusapi sekujur badan Nou dengan obat
dedaunan ramuannya.

“Aduh, Mama... gatal dan perih sekali rasanya...!”


Nou meringis-ringis berusaha menahan rasa gatal dan
perih yang teramat sangat yang ia rasakan di sekujur
badannya.

Halijah terus berupaya mengajak Nou berbicara


untuk mengalihkan perhatian Nou pada rasa perih yang
menghinggapinya.

“Papa..., sebaiknya Nou kita bawa lagi ke dukun


untuk diobati.” Halijah mengalihkan pembicaraan
kepada suaminya.

Madi melepaskan gelas tanah liat yang menempel di


bibirnya, menyeka busa tuak saguer yang meleleh di
sudut bibinya sambil mendelikkan mata menatap
istrinya. “Aahhh... coba kau hitung-hitung, sudah berapa
dukun yang kita datangi, tetapi tidak ada satupun yang
bisa menyembuhkan penyakitnya. Malahan, lukanya
kian hari kian menjalar dan melebar.”

65
“Penyakitnya mungkin keras, Papa,” kata Halijah
berusaha membujuk suaminya agar yakin jika kelak
penyakit anak mereka akan sembuh seperti sedia kala.

“Mama... obat yang kemarin kucari katanya masih


ada?!” tanya Madi kemudian.

“Iya, masih ada. Tapi besok papa cari yang lain yang
lebih mujarab” pinta Halijah kepada suaminya.

“Ya, baiklah. Besok saya akan kembali ke hutan


mencari obat” dengan perasaan agak kesal karena
dilanda rasa putus asa, akhirnya Madi menyanggupi
permintaan istrinya.

Nou yang sedari tadi hanya mendengarkan


perbincangan kedua orang tuanya sedikit merasa risih
dijadikan bahan perbincangan. Di dalam hatinya, ia amat
sedih melihat penyakitnya yang kunjung sembuh juga,
apalagi keadaannya itu memaksa orang tuanya
memberikan perhatian yang lebih. Ia merasa telah
menyusahkan orang tuanya tanpa bisa berbuat apa untuk
membantu mereka.

66
“Mama kenapa harus bertengkar dengan papa? Nou
akhirnya bersuara.

“Tidak, Sayang, mama hanya meminta papamu


untuk mencari obat yang lebih mujarab, supaya
penyakitmu bisa disembuhkan dengan cepat.” hibur
Halijah memahami perasaan putrinya.

“Tapi, Ma... jangan obat yang lebih perih, Ma... Nou


tidak tahan,” pinta Nou.

“Perih atau tidak, tidak perlu kau pikirkan. Yang


penting kau bisa sembuh dan kita disini tidak ribut lagi.
Ayo masuk kau.” Dengan agak kesal, Madi menyuruh
anaknya masuk ke dalam gubuk beristirahat.”

Nou segera masuk mengindahkan perintah ayahnya.


Dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya, ia masuk
sambil memandangi wajah kedua orang tuanya secara
bergantian. Sementara itu, Madi kembali sibuk dengan
gelas tuaknya sambil sesekali merenung mencari jalan
keluar dari persoalan yang tengah mereka hadapi.

Madi mengambil gelas berisi penuh dengan tuak,


menghabiskan isinya sekaligus kemudian menarik nafas

67
panjang. Ia kemudian memandangi wajah istrinya,
seperti hendak mengatakan sesuatu. Gelas tuak ia
letakkan kembali, mengisinya sampai penuh, kemudian
ia habiskan lagi. Ia menimbang-nimbang apakah pikiran
yang ada di benaknya pantas untuk diutarakan kepada
istrinya atau tidak. “Kira-kira apa jawaban Halijah jika
apa yang aku pikirkan kusampaikan kepadanya? batin
Madi bertanya-tanya. Sekali lagi, ia menatap gelas tuak
di tangannya, mengisinya sampai penuh, kemudian
menghabiskannya lagi. Sejurus kemudian....

“Begini, Ma..., aku punya rencana. Aku harus


melakukan sesuatu, satu-satunya jalan... Nou harus kita
buang ke hutan.” sangat berhati-hati dan sedikit ragu
Madi mengutarakan isi pikirannya kepada istrinya.

“Apa? Membuangnya di hutan? Apa papa sudah


gila??! tanya Khadijah kepada suaminya. Ia tidak
percaya suaminya akan berpikir sejauh dan setega itu
kepada anak mereka satu-satunya.

“Daripada kita harus menanggung malu dan tak


punya kawan, tidak punya tamu yang datang kemari”
kata Madi

68
“Pa..., janganlah kita mau menanggung dosa dengan
bertindak seperti itu. Biarlah kalau orang-orang enggan
datang bertamu, ataupun tidak ada yang mau berkawan
sama kita, asalkan anak kita jangan sampai dibuang”
Halijah memohon terisak. Mendengar suaminya berkata
seperti itu membuat ia yakin jika suaminya akan betul-
betul membuang Nou, anak mereka.

“Apa kau bisa hidup dengan tenang jikalau orang-


orang membenci keluarga kita, bahkan akan
mengucilkan kita sekeluarga. Terus... apakah kau juga
bisa tahan jika mereka terus-terusan mengolok-olok
Nou?” Sergah Madi naik pitam.

“Kita tidak usahlah mendengarkan olokan mereka.


Saya yakin kita bisa bertahan, asalkan kita bertiga terus
bersama Pa.”

“Kau ini terlalu keras kepala, tidak mau mendengar


kata-kataku.Aku bertindak demikian karena untuk
kebaikan kita bertiga.” Madi naik pitam. Suaranya
meninggi.

69
“Ingatlah, Pa..., ketika kita sangat mendambakan
anak, siang dan malam kita berdoa agar dapat dikarunai
anak. Lebih sepuluh tahun lamanya kita berusaha baru
doa kita terkabul. Oh..., tetapi sekarang... papa akan
membuang anak kita. Itu sama saja akan
membunuhnya..., dimana kasih sayangmu sebagai
seorang ayah? Mana...? Mana ...?

“Jangan kau perlemah hatiku.” Bentak Madi kepada


istrinya.“Aku memang sayang kepada Nou, tetapi kita
akan sanggup bertahan terus-menerus dengan cemoohan
orang-orang terhadap keluarga kita? Apa kita sanggup?
Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku dan
mengikuti jalan pikiranku, maka aku akan pergi.” ancam
Madi serius.

“Papa, apa sudah tidak ada jalan lain untuk


membatalkan keputusan itu? Tolonglah, Pa,...
pikirkanlah dahulu jalan keluarnya, sambil menunggu
beberapa waktu lagi siapa tau Nou masih bisa
disembuhkan.” harap Halijah terisak berharap suaminya
masih memberi kesempatan kepada putrinya untuk
sembuh.

70
“Otakku sudah buntu sekarang! jawab Madi
setengah menggumam. Suara kecil tapi datar. Tiba-tiba
Madi berdiri. Ia berjalan bergegas mengambil beberapa
lembar pakaian yang masih tergantung di jemuran lalu
menghempaskannya ke balai-balai. Selanjutnya, ia
masuk ke dalam rumah, terdengar pintu lemari dibuka
dengan agak kasar. Sejurus kemudian, ia keluar lagi
dengan membawa bungkusan sarung kotak-kotak.
Pakaian yang ia hempaskan di balai-balai tadi
dimasukkan juga ke dalam bungkusan sarung.

Halijah yang sedari tadi masih duduk terisak di


balai-balai tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali
memerhatikan suaminya yang sedang sibuk dengan
pakaian dan bungkusannya.

“Tapi, Papa..., aku sangat kasihan sama Nou....”


tiba-tiba ia membuka suara. Suaranya datar seolah-olah
ditujukanpada pepohonan yang jauh, sejauh mana ia
menancapkan pandangan kosongnya.

Madi tetap diam mendengar kata-kata istrinya. Ia


tetap sibuk memasukkan lembaran pakaiannya ke dalam
bungkusan sarung. Bungkusan sarung selesai dengan

71
menyimpulkan keempat sudut sarung membentuk
bungkusan. Sesaat kemudian ia menoleh kepada istrinya,
“Kau boleh memilih, merelakan No‟u tidak bersama kita
lagi dan aku tetap bersamamu, atau aku yang pergi
meninggalkan rumah dan No‟u bisa tetap tinggal
denganmu.” katanya kepada istrinya.Tekanan suaranya
tidak tinggi lagi, tetapi tetap datar dan tegas. Suatu
pertanda bahwa keputusannya sudah tidak bisa ditawar-
tawar lagi.

Halijah hanya bisa menangis sesegukan mendengar


keputusan suaminya. Ibaratnya, ia sedang diperhadapkan
pada “buah simalaka”. Dua pilihan yang sama sulitnya.
Air matanya berderai membasahi pipinya yang sudah
mulai memperlihatkan keriput-keriput halus di beberapa
bagian. Di usianya kini, tentu tidak mudah untuk
mendapatkan buah hati lagi. Namun bukan hal itu yang
menjadi penyebab kesedihannya. Anaknya,
bagaimanapun juga, No‟u adalah darah daging mereka.
Sejelek apapun dia, seburuk apapun wajah dan bentuk
fisiknya, tidak akan mungkin dengan rela
melepaskannya. Apalagi jika harus membuangnya, tanpa

72
mengetahui nasib yang akan menimpa anaknya nanti.
Mati atau sanggup bertahan di dalam hutan sendirian.
Bagaimana mungkin No‟u mampu bertahan hidup
sendirian di dalam hutan di usia yang masih sangat
belia?

“Baik kalau begitu, kau tidak memberi jawaban atas


pertanyaanku, berarti kau lebih memilih
mempertahankan No‟u, dan aku akan pergi.” kata Madi
seraya melangkahkan kaki meninggalkan istrinya.
Sementara Halijah, kata-kata Madi barusan membuat
lamunannya buyar seketika. Ia diam seribu bahasa. Tidak
tahu harus berbuat apa, kecuali memandangi punggung
Madi yang melangkah pergi dengan linangan air mata.

Tiba-tiba....

“Papa...! Tunggu, Papa!” Halijah. Halijah terkesiap.


Madi sudah tidak berada di tempatnya berdiri tadi.
Setengah berlari ia mengejar suaminya yang sudah
berada di pagar terakhir halaman gubuknya. Halijah
menarik tangan suaminya, memeluknya. “Papa jangan
pergi.” pintanya dengan suara berat tertahan. “Aku akan
menuruti semua ucapan Papa. Meskipun Nou dan Papa

73
sama berharganya, tetapi, saya tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan hidup kami berdua.” sambungnya
di sela-sela isak tangisnya.

“Saya juga sebenarnya tidak mungkin tega


melakukannya kepada Nou, Mama. Tetapi usaha kita
selama bertahun-tahun sia-sia. Tidak kunjung ada
hasilnya.” ucap Madi membenarkan batin istrinya.

“Kalau begitu, segeralah siapkan bekal untuk


perjalanan sebentar. Kita berangkat ke hutan setelah
kokok pertama ayam jantan.” sambung Madi kemudian.
Nada suaranya berat terucap. Matanya menatap jauh
dengan kosong dan hampa.

Halijah membalikkan badan dan melangkah


mendahului suaminya. Langsung masuk ke dalam gubuk
dan memeriksa keadaan Nou.

Madi berjalan menuju dipan, di tempat saguer dan


gelas bambunya masih di posisinya semula. Masih dalam
keadaan berdiri ia menumpukan kedua telapak
tangannya di pinggiran dipan. Matanya menatap ke
dalam gelas bambu. Tetapi pikirannya jauh melayang.

74
Dadanya bergemuruh dan turun naik. Sedang terjadi
pertentangan batin yang sangat tidak terperikan. Hanya
cahaya dari lampu minyak yang terpantulkan dari kaca-
kaca di sudut-sudut matanya memberi sedikit gambaran.

Sejurus kemudian ia masuk ke dalam gubuk dan


langsung menuju dimana Nou tertidur. Ia menatapi
anaknya. Meneliti setiap garis di wajah si Nou. Sedang
di sudut dapur, Halijah menunggui nasi yang ia masak
sambil menatap punggung suaminya. Di kedua pipinya
masih basah oleh air mata. Batinnya masih berharap
kalau-kalau suaminya masih mau mengubah
keputusannya.

---***---

Malam itu, tepat pada kokok pertama ayam jantan,


Madi membangunkan istrinya dan menyuruhnya bersiap-
siap untuk melakukan perjalanan. Halijah yang masih
sembab dan bengkak matanya segera bangun dan
memeriksa barang-barang beserta bekal yang
akanmereka bawa malam itu. Setelah memastikan bekal
mereka siap, Halijah membangunkan Nou.

75
“Nou, bangunlah Nak.” panggilnya pelan dengan
suara berat tertahan.”

“Ada apa, Mama? Apakah ada hal yang penting


sehingga kita bangun selarut ini? Tanya Nou?

“Iya, Anaakku. Kita harus berjalan menuju hutan


malam ini” jawab Halijah singkat.

“Ke hutan mana, Mama.”

“Kamu tidak usah bertanya, Anakku, nanti kamu


akan tau juga.” Jawab Halijah tidak tega kepada
anaknya.

Nou menuruti perkataan ibunya. Mereka berdua


menuju balai-balai depat gubuk, tempat Madi menunggu
dengan perasaan was-was memenuhi rongga dadanya.

Perjalanan jauh pun dimulai. Di antara ketiganya,


tidak ada yang membuka suara.

Setelah melakukan perjalanan selama hampir sehari-


semalam, mereka tiba di suatu hutan gelap. Malam telah
berlalu sepenanakan nasi begitu Madi bersama istri dan
Nou tiba di sebuah goa. Madi mengajak Halijah dan Nou
memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam gua,

76
Madi memberi tahu istrinya bahwa disitulah Nou akan
ditinggalkan. Dengan berat hati dan air mata berderai di
pipinya, Halijah meletakkan bungkusan perbekalan
untuk Nou, kemudian memeluk Nou.

“Nou…, untuk sementara kau tinggal disini dulu.


Papa dan Mama akan tetap mencarikan obat untuk
penyakit. Papa dan Mama juga akan seing datang
menjengukmu disini. Jagalah dirimu baik-baik, Nak,”
kata Madi kepada anaknya, Nou.

Sedangkan Halijah tidak mampu lagi berkata-kata,


hanya air matanya saja yang berderai. Madi pun
mengajak Halijah meninggalkan tempat itu.

“Papa… Mama…, jangan tinggalkan Nou… Nou


takut sendirian disini,” Nou menangis penuh harap.Akan
tetapi, papa dan mamanya terus melangkah
meninggalkan dirinya di gua itu.

Dengan tersedu-sedu, Nou duduk bersandar pada


dinding goa. Ia meratapi nasibnya. Bertanya kepada
Tuhan, dan berdoa agar penyakitnya itu dapat segera
sembuh.

77
Cukup lama Nou merenungi nasibnya. Tiba-tiba ada
suara yang menegurnya.

“Wei, Nou... sedang apa kau disini”

“Tidak..., ampun..., jangan bunuh saya...” kata Nou


takut. Ia terkejut dengan panggilan perempuan yang
sedang melangkah pelan ke arahnya. Ia berpikir jangan-
jangan perempuan yang sedang berjalan ke arah itu
sebangsa jin atau nenek sihir penghuni hutan.

“Tidak usah takut...,Nou. Kau tidak kuapa-apakan.


Aku orang baik-baik.” Perempuan itu menimpali kata-
kata Nou dengan suara perlahan dan setengah ditekan. Ia
berhenti sekitar lima langkah dari hadapan Nou.
Ternyata seorang perempuan tua. “Kamu siapa dan apa
yang kamu lakukan disini seorang diri? Hutan ini adalah
tempat yang berbahaya, apalagi bagi anak gadis kecil
sepertimu.” Si perempuan tua melanjutkan
pertanyaannya. Ia heran mengapa ada seorang gadis
kecil di dalam hutan yang gelap begini.

“Nama saya Nou, Nek. Bukan kemauanku berada di


dalam hutan ini. Orang tuakulah yang membawaku

78
kemari. Ayah membuangku di tempat ini karena
penyakitku tidak bisa disembuhkan.” jawab Nou.

“Astaga!” Nenek itu terkejut mendengar jawaban


Nou. Ia mendekat untuk dapat melihat penyakit apa
gerangan yang diderita gadis kecil di hadapannya itu,
sejurus kemudian mengangguk-angguk. “Tapi mengapa
harus ke hutan ini? Apakah mereka tidak tahu hutan ini
dihuni oleh seorang raksasa?” sambung si nenek lagi.

“Haah... raksasa...? Saya takut. Tolonglah saya,


Nek.” Nou terkejut dan gemetaran mendengar kata-kata
si nenek.

“Tenanglah, Nenek akan berusaha menolongmu dari


raksasa itu asal kamu mau mengikuti kata-kata nenek.
Sebentar lagi dia akan datang. Kamu harus bersembunyi
dan tenang di tempat persembunyianmu. Jangan
membuat atau menimbulkan suara apapun supaya dia
tidak mengetahui keberadaanmu. Kalau dia tahu
keberadaanmu, maka nenek tidak akan mampu
menolongmu. Kamu paham ucapan nenek, Nou?”

79
“Nou paham, Nek. Terima kasih.” jawab Nou
sedikit lebih tenang karena merasa mempunyai teman di
hutan yang gelap dan sunyi itu.

Pembicaraan terjadi antara Nou dan si nenek dengan


panjang lebar. Tidak terasa suasana akrab terjalin antara
keduanya. Nou yang tadinya sudah putus asa merasa
sebatang kara merasa sangat bersyukur atas kehadiran si
nenek di samping. Rasa-rasanya ingin menganggap
perempuan tua itu sebagai neneknya sendiri. Apalagi si
nenek mau menerima dan sama sekali tidak
memperlihatkan sikap jijik kepadanya yang penyakitan.
Si sisi lain, si nenek tua sangat iba kepada nasib Nou.
Ingin rasanya mengajak Nou tinggal bersamanya jikalau
hutan itu tidak berbahaya bagi keselamatan si Nou. Ia
tidak habis pikir mengapa ada orang tua yang tega
membuang darah dagingnya sendiri. Tidak ikhlas
menerima keadaan fisik anaknya yang menderita
penyakit yang susah disembuhkan. Sedangkan penyakit
itu datangnya dari Allah SWT., sebagai ujian bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dengan taat, sebagai
peringatan bagi hamba-Nya yang beriman tetapi terlupa

80
dan terlena dengan kehidupan dunia, sebagai hukuman
bagi hamba-Nya yang gemar melakukan dosa dan
maksiat, dan sebagai azab bagi hamba-Nya yang
mengingkari kekuasaan-Nya.

Sedang asyiknya mereka berbincang, tiba-tiba tanah


yang mereka duduki bergetar. Pepohonan ikut bergetar.
Getaran itu semakin lama semakin keras, bahkan diikuti
suara mendentum.

“Bunyi apa itu, Nek?” Nou bertanya dalam


keterkejutannya. Seketika ia gemetar ketakutan.

“Itu langkah kaki si raksasa yang nenek bicarakan


tadi. Sekarang pergilah engkau bersembunyi di
rerimbunan pohon di sebelah sana. Ingat pesan nenek
tadi, jangan timbulkan suara apapun, tutup mata dan
telingamu seolah-olah sedang tertidur, supaya kamu
tidak melihat wajahnya yang mengerikan dan mendengar
suaranya yang menakutkan. Raksasa itu bisa merasakan
bau badan, detak jantung, dan bau darah manusia. Ia
memiliki kemampuan mengenali mangsa dengan baik.
Ayo cepat! Segeralah bersembunyi!” kata si nenek

81
kepada Nou. Nou pun segera bersembunyi di rumpunan
semak dan pohon yang ditunjuk oleh nenek tadi.

Tidak lama berselang tibalah si raksasa dan


langsung berdiri tepat di hadapan si nenek. Tampaklah
wajahnya yang sama dengan manusia, tapi sangat
mengerikan. Empat gigi taringnya, dua di bagian atas,
dan dua di bagian bawah menyembul keluar dari bibir
tebalnya hidungnya besar, kedua bola matanya menonjol
keluar besar dan merah. Kepalanya botak, tidak ada
selembarpun rambut yang tumbuh di atasnya. Hidung
dan telinganya memakai anting-anting yang terbuat dari
tulang. Dadanya ditumbuhi bulu lebat. Tingginya hampir
empat kali tinggi badan si nenek.

“Aku mencium bau manusia yang membusuk.


Wahai, Nenek Tua, apakah engkau yang
membawakannya buatku?” raksasa itu gembira melihat
si nenek datang ke tempatnya bersama ember kecil di
tangannya. Ia senang sekali karena menyangka si nenek
membawakannya daging manusia.

“Bukan daging manusia. Ini daging anoa yang kau


tangkap kemarin. Baunya sudah membusuk.” Jawab si

82
nenek kepada raksasa. Ia khawatir raksasa itu
mengetahui kehadiran Nou karena penyakit yang diderita
Nou memang mengeluarkan bau busuk. Makanya, si
nenek cepat-cepat memberikan alasan yang yang bagi
raksasa itu.

“Tetapi baunya seperti manusia ya?” Raksasa itu


masih penasaran dengan bau ia yang rasakan.

“Betul. Baunya memang seperti bau manusia yang


sudah membusuk, karena sisa daging anoa itu saya olah
dengan rempah-rempah lain supaya baunya mirip bau
daging manusia. Engkau kan suka dengan aroma daging
manusia.” Si nenek mencoba bersikap tenang. Ia
berusaha bersikap tenang untuk menutupi
kecemasannya. Kalau sampai raksasa itu tau kegelisahan
si nenek, Nou pasti ketahuan ada di sekitar situ.

“Engkau memang baik hati, Nenek Tua.” ucap


raksasa senang. Ia percaya betul bahwa nenek tua yang
baik hati dan jujur itu pandai mengolah makanan.
Selama ini, makanan apapun yang disediakan si nenek
selalu lezat di tenggorokannya. “Kalau begitu saya
istirahat dulu, sebentar saya akan menyantap habis

83
makanan itu setelah terbangun.” sambung raksasa lalu
beranjak keluar menuju ke gua kediamannya
yangletaknya tak jauh dari tempat itu.

Setelah raksasa itu pergi dan si nenek merasa sudah


aman, barulah ia memanggil Nou keluar dari tempat
persembunyiannya lalu mmberinya makanan.

“Keluarlah Nou, raksasa itu sudah pergi. Sekarang


duduklah di balok kayu di dekat persembunyianmu tadi.
saya akan mengambilkan makanan lalu meramu obat
untuk menyembuhkan penyakitmu itu.”

“Baik, Nek. Terima kasih.”

Si nenek segera mengambilkan makanan untuk Nou,


kemudian mencari dedaunan dan rerumputan di sekitar
gua untuk dijadikan obat. Setelah mendapatkan apa yang
ia cari, nenek itupun segera merebus dan meramunya
menjadikan obat.

“Bersyukurlah tempat istirahat raksasa itu luas dan


cukup panjang ke dalam gua. Tempatnya juga tidak
bersih, banyak tulang-tulang binatang berserakan,
sehingga bau badanmu tidak mudah ia kenali. Engkau

84
tinggallah untuk beberapa hari di tempatku ini. Nanti
kalau penyakitmu itu sudah sembuh barulah segera pergi
mencari tempat yang lebih aman.” Sambil berkata
panjang lebar, si nenek menggilas-gilas sampai halus
ramuan obat yang telah ia direbus. Sesekali ia meniup
asap yang mengepul dari obat tersebut.

“Minumlah dahulu obat ini, lalu gantilah pakaianmu


dengan gunakan sarung ini, setelah itu segeralah
berbaring. Nenek akan mengoleskan ramuan obat ke
sekujur tubuhmu, kamu harus tahan rasa panasnya, ya.”
kata nenek memperingatkan Nou.

“Baiklah, Nek.” Nou menjawab menyanggupi.

“Aduh. Panas sekali rasanya sekujur badanku, Nek.”


Nou ramuan si nenek.

“Tahanlah, Nou, rasa panas itu akibat obat ramuan


itu.”

“Hah? Lihatlah, Nek, penyakitku sudah sembuh,


benar-benar sudah sembuh. Terima kasih, Nek.” Nou
senang dan girang bukan main melihat penyakit kulitnya
berangsur-angsur sembuh.

85
“Syukurlah kalau begitu. Ternyata sesuai perkiraan
nenek, kalau penyakitmu itu masih bisa disembuhkan
oleh ramuan obat yang kubuat.” kata si nenek sambil
berjalan menuju balai-balai. Terlihat si nenek mengambi
dua bungkusan di atas balai-balai itu, kemudian kembali
menghampiri Nou menyerahkan kedua bungkusan tadi.

“Ini ada dua bungkusan saya berikan untukmu. Satu


berisi beberapa lembar pakaian, buka dan pakailah.
Sedangkan bungkusan yang ini berisi emas dan berlian,
gunakanlah sebagai bekalmu.”

Nou segera membuka bungkusan berisi pakaian dan


mengganti pakaiannya. Setelah selesai, Nou membuka
bungkusan yang satu lagi dan melihat isinya, “Waaah...,
Nek, ini banyak sekali. Mengapa Engkau memberikan
harta sebanyak ini, Nek. Bagaimana saya bisa membalas
budi dan jasa-jasa Nenek? Nou senang bukan main. Ia
tidak menyangka di tempat seperti ini, sebuah gua di
dalam hutan yang terpencil dan berbahaya, tinggal
seorang nenek tua yang sangat baik hati. Ia juga
mengasuh seorang raksasa yang bengis. Namun,

86
kebengisan raksasa itu langsung hilang jikalau di
hadapan si nenek.

“Jangan kau pikirkan itu, Nou. Bawalah harta itu,


kau lebih membutuhkannya daripada nenek. Hidupmu
masih panjang. Pesan nenek, cari dan temukan kembali
orang tuamu. Sebenarnya mereka tidaklah jahat. Jikalau
mereka jahat, dalam keputusasaannya mereka pasti
membunuhmu, atau membuangmu ke jurang dimana
tidak ada seorangpun yang bisa menemukanmu. Mereka
hanya lemah dan mudah putus asa, sehingga mereka
khilaf dengan mengucilkanmu di hutan yang terpencil
ini. Untuk itu, jikalau engkau sudah menemukan mereka,
berbaktilah kepada mereka. Anggap apa yang telah
mereka perbuat kepadamu tidak pernah ada. Semoga
orang tuamu menyadari kekhilafan mereka, dan semoga
hidup kalian di hari depan lebih beruntung. Berikan harta
itu kepada ibumu untuk dimanfaatkandi jalan yang baik.
Harta itu cukup untuk kau gunakan menuntut ilmu di
kota. Tuntutlah ilmu dan pengetahuan setinggi-
tingginya, karena orang yang berilmu dan
berpengetahuan luas sangat mudah meraih cita-citanya.

87
Ingat pula dua hal, Cucuku, “Ilmu dan pengetahuan lebih
berharga daripada emas dan berlian. Kasih sayang orang
tua lebih utama dibandingkan emas dan berlian.” pesan
si nenek panjang lebar dengan perasaan iba dan penuh
kasih sayang.

Si nenek sangat ingin mengajak Nou tinggal


bersamanya, tetap ia merasa keselamatan Nou bisa
terancam. Lagipula, si nenek sadar bahwa gadis kecil itu
masih memiliki orang tua kandung. Nou harus
menemukan orang tuanya dan berbakti sepenuhnya
kepada mereka. Sejahat-jahatnya orang tua kepada
anaknya, pasti masih lebih besar kasih sayangnya.
Seburuk dan sejelek apapun orang tua kita pasti masih
lebih baik daripada orang lain.

Nou terdiam dan memperhatikan dengan baik pesan-


pesan yang diucapkan si nenek kepadanya. Air matanya
menetes perlahan di kedua pipinya yang halus tanpa ia
rasakan. Seketika itu pula ia merasa sangat rindu kepada
kedua orang tuanya. Dia tidak dendam. Bahkan, Nou
merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan kedua
orang tuanya putus asa dalam mengasuhnya.

88
“Terima kasih, Nek. Terima kasih atas semua pesan
dan nasehat nenek. Pesan dan nasehat Nenek sangat
berharga. Nou akan selalu ingat pesan dan nasehat
Nenek. Nou akan mencari orang tua Nou, dan memohon
ampun kepada mereka. Suatu saat, kalau saya dan kedua
orang tua sudah bertemu dan berkumpul kembali. Nou
akan mengajak mereka mengunjungi Nenek.” kata Nou
kepada si nenek. Suaranya bergetar dan sedikit terbata-
bata lantaran terharu dengan nasehat si nenek. Ia juga
sangat terharu karena harus berpisah dengan nenek tua
yang sangat baik hati itu.

“Iya, Nou. Sekarang pergilah menuju matahari


terbenam. teruslah berjalan sampai engkau tiba di Sungai
Bulango. Lalu, ikuti terus aliran sungai itu sampai
engkau tiba di sebuah kampung. Mungkin itulah
kampung, karena hanya kampung itu yang paling dekat
jaraknya dengan hutan ini.”

Nou langsung memeluk si nenek tua dengan erat. Ia


terharu sekali. Ia sayang sekali kepada nenek yang baik
hati itu. Sangat berat rasanya berpisah dengan si nenek.
Ia berjanji dalam hati, jika dirinya sudah bertemu dengan

89
ibu dan ayahnya, keduanya akan diajak mengunjungi si
nenek. Cukup lama Nou memeluk si nenek yang sudah
ia anggap sebagai neneknya sendiri. Selanjutnya, Nou
segera berangkat mencari kedua orang tuanya. Ia
mengikuti jalan yang ditunjukkan si nenek. Nenek tua
itupun memandangi kepergian Nou sampai Nou tidak
terlihat lagi oleh kedua mata tuanya. Si nenek tua
mengusap wajah keriputnya dengan kedua tangannya,
lalu masuk ke dalam gua melanjutkan pekerjaannya.

Nou menempuh perjalanan dengan aman. Ia


mengikuti jalan yang ditunjukkan si nenek. Menurut si
nenek, di waktu siang yang cukup terik ini raksasa
penghuni hutan masih tertidur pulas. Lagipula, jalanan
yang dilaluinya bukanlah jalan yang biasa dilalui si
raksasa.

Sambil terus berjalan, Nou kembali teringat pesan


nenek tua itu. Ia merenungi semua pesan dan nasehat si
nenek dengan dalam-dalam. Di tengah-tengah
renungannya, muncul rasa rindu Nou kepada kedua
orang tuanya yang sudah cukup tua. Rindu kepada
ibunya yang sangat memanjakannya. Rindu kepada

90
ayahnya yang selalu menggendongnya, jikalau ayahnya
pulang dari bekerja di kota. Dulu, masih pagi-pagi
sekali, ayah sudah berangkat kota untuk bekerja dan
mencari nafkah buat kebutuhan keluarga. Hanya
berbekal nasi dan lauk secukupnya ayah berjalan kaki ke
kota yang jaraknya cukup jauh. Ibu menggendongnya
pergi mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan.
Buah-buahan dan kayu bakar itulah yang dikumpulkan
untuk dibawa oleh ayah untuk dijual di kota. Sebelum
siang, mereka kembali ke rumah. Ibu memasak makanan
buat mereka berdua, sedangkan Nou asyik bermain di
halaman.

Setelah makan siang, ibu beristirahat secukupnya,


lalu sore hari kembali lagi ke hutan mencari buah-
buahan dan kayu bakar. Mereka kembali sebelum senja.
Setiba di rumah, ibupun langsung merapikan buah-
buahan dan kayu bakar yang dibawa dari hutan.
Selanjutnya, ibu ke dapur dan memasak untuk makan
malam mereka bertiga. Adapun Nou, kembali asyik
dengan mainannya. Ia bermain sambil menunggu
ayahnya pulang. Sesampai di rumah, ayah tidak langsung

91
beristirahat, karena Nou pasti merengek minta digendong
kesana-kemari, lalu bermain kejar-kejaran.

Mereka berhenti bermain begitu magrib tiba.


Ayahnya pun dapat beristirahat dan mandi. Sedangkan
Nou segera dimandikan oleh ibu. Setelah itu, mereka
bertiga menantikan waktu makan malam. Begitulah
kehidupan mereka sehari-hari. Ibu dan ayah sangat
sayang kepadanya.

Nou tahu bahwa dirinya disayang. Ia menjadi sangat


manja dan pemalas. Nou tidak pernah membantu ibu
mengumpulkan buah-buahan dan kayu bakar. Ia malah
keasyikan bermain dengan boneka kayunya yang
dibuatkan ayahnya. Nou juga tidak pernah membantu ibu
memasak ataupun mencuci piring. Bahkan, ia selalu
membantah jika ibu dan ayahnya memintanya belajar.
Meskipin begitu, ibu dan ayahnya tetap sabar dan sayang
kepadanya.

Hingga tibalah bencana yang menyedihkan itu. Nou


tiba-tiba terkena penyakit kulit yang berbau dan menular.
Akibatnya penyakitnya itu, waktu bagi ayahnya untuk
mencari nafkah berkurang. Ibunya pun tidak lagi ke

92
hutan mencari buah-buahan dan kayu bakar. Mereka
sibuk mencarikan ramuan obat. Bahkan sering ayahnya
mencarikan orang yang pandai mengobati dan membayar
mereka untuk mengobati penyakit Nou. Namun,
berbagai usaha telah mereka lakukan tetapi penyakit Nou
tak kunjung sembuh.

Akhirnya, ayahpun menyerah dan putus asa. Dengan


sangat terpaksa ayah mengajak ibu membuangnya di
sebuah gua di dalam hutan. Hingga akhirnya, bertemulah
Nou dengan nenek tua yang baik hati itu. Ternyata,
nenek itu yang menghuni gua tempatnya dibuang. Si
neneklah yang merawat dan menyembuhkan penyakit
kulit Nou. Si nenek pula yang memberinya bekal berupa
makanan, pakaian, bahkan perhiasan. Semua ingatan itu
membuat dirinya sangat sedih. Ia merasa sangat berdosa
kepada kedua orang tuanya. Ia pun segera bertobat dan
memohon ampun kepada Yang Mahakuasa. Ia berdoa
masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kedua
orang tuanya. Ia berjanji dalam hati akan patuh dan
berbakti sebaik-baiknya kepada ibu dan ayahnya. Ia pun
berdoa semoga ibu dan ayahnya tetap diberi kesehatan.

93
Sepanjang jalan Nou tak henti-hentinya berdoa untuk
kedua ibu dan ayahnya.

---***---

Pagi itu, tidak seperti biasanya. Sepertinya ada


sebuah kejadian atau peristiwa yang bakal terjadi. Di
pagi hari seperti ini, penduduk setempat maupun orang-
orang yang datang dari berbagai tempat biasanya sibuk
dengan pekerjaan masing. Ada yang berdagang
campuran, berdagang ternak, menjual kain, ikan, dan
sebagainya. Akan tetapi, di pagi itu semua orang
berkumpul di sebuah lapangan besar yang letaknya tidak
jauh dari pasar.

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, hamba Teme Kadi


memberi hormat dan mengantarkan Tuanku ke kursi
kehormatan.” Seorang pria berumuran 50 tahunan
menjemput dan memberi hormat kepada pria yang tiba
bersama beberapa pengawal di belakangnya. Pakaiannya
sangat indah dan mewah, berwarna merah, hitam, dan
kuning keemasan. Ia memakai mahkota di kepalanya.
Mahkotanyapun sangat indah dan berkilauan karena
berhiaskan mutiara berbagai warna. Teme Kadi, pria

94
yang menjemputnya tadi segera berjalan di belakang
mengikuti dan mengantarnya ke panggung menuju ke
sebuah kursi yang telah disediakan sebelumnya.
Beberapa orang di belakangnya ikut menempati kursi-
kursi yang yang terletak di sisi kanan dan kiri kursinya.

Teme Kadi yang berdiri sambil membungkuk di


depannya kembali berkata, “Ampun, Tuanku, Raja
penguasa negeri. Dengan kehadiran izin Tuan, maka
sidang adat segera dimulai.” Selesai mengucapkan kata-
kata, Teme Kadi segera mengeluarkan selembar kertas
yang tergulung dan diikat rapih dengan benang berwarna
merah. Setelah ikatannya dilepaskan kertas bergulung itu
ia serahkan kepada pria yang ternyata raja penguasa di
negeri itu.

Sang Raja segera membuka gulungan kertas,


memerhatikan isinya, kemudian berkata dengan lantang.
“Atas nama Tuhan Yang Mahaesa, pengadilan adat
segera kita mulai. Sebelum kedua rakyatku yang
tertuduh, Madi dan Halijah dijatuhi hukuman adat, siapa
di antara rakyatku yang lain yang bersedia memberikan

95
kesaksian? Sang Raja memulai siang adat secara
bijaksana. Suaranya lantang dan penuh wibawa.

Salah seorang di antara kerumunan orang yang


berada di barisan depan naik ke atas panggung lalu
hormat membungkukkan badan, “Ampun, Tuanku
Yangmulia, saya Teme Sajapi mohon izin menceritakan
fakta. Sudah beberapa hari ini anak mereka, Nou, tidak
terlihat bermain di rumahnya. Setiap petang sepulang
bekerja di sawah, saya selalu melihatnya bermain di
halaman rumah mereka dan menegurnya. Setelah tiga
hari tidak melihatnya, sayapun bertanya-tanya dalam hati
dan khawatir jikalau telah terjadi sesuatu kepada
Nou.Saya mengira penyakit anak mereka, Nou,
bertambah parah. Jikalau benar demikian, saya sebagai
tetangga terdekatnya merasa berkewajiban
membantunya. Lalu saya mengunjungi rumah mereka
dan menanyakan perihal keadaan Nou kepada Madi dan
Halijah. Akan tetapi, mereka menghindar dan
mengatakan kalau Nou baik-baik saja. Nou hanya sedang
malas keluar rumah dan lebih senang bermain di dalam
rumah.” Teme Sajapi bercerita panjang lebar.

96
“Baik. Selanjutnya, apakah masih ada tuduhan
lain?” bertanya Sang Raja lagi kepada rakyatnya.

Seorang perempuan berumur 40 tahunan dari sudut


kiri naik ke panggung pengadilan adat, lalu
membungkukkan badannya untuk memberi hormat
kepada raja. “Ampun, Tuanku Yang Mulia. Nama saya
Hapusa mohon izin menceritakan fakta yang saya lihat,
bukan kabar yang saya dengar. Selama ini, pekerjaan
saya sama dengan pekerjaan Halijah, yaitu mencari
buah-buahan dan kayu bakar di hutan untuk dibawa ke
pasar dan dijual. Kami setiap hari bertemu jadi saling
kenal satu sama lainnya, begitu juga dengan anaknya,
Nou. Namun, selama empat hari lalu, saya melihat
Halijah tidak lagi membawa Nou bersamanya, ia
ditemani suaminya, Madi, tetapi bukan untuk mencari
buah-buahan dan kayu bakar. Mereka menebang kayu
yang ada di hutan. Sudah dua kali mereka menebang
kayu. Sepengetahuan saya, tanah di hutan itu bukan
milik mereka, tetapi saya tidak mau menuduh mereka
mencuri. Lalu, saya menanyakan perihal tersebut kepada
perwakilan dewan adat negeri. Oleh Dewan Adat

97
Perwakilan Negeri mengatakan bahwa perbuatan mereka
adalah tindakan pencurian yang bisa merugikan negeri
kita sendiri. Saya pun menyampaikan kepada Madi dan
Halijah, agar mereka menghentikan perbuatan tersebut.
Akan tetapi, mereka beralasan bahwa semua orang
berhak mengambil dan menebang pohon di hutan.
Mereka yakin bahwa pohon-pohon itu tumbuh secara liar
di hutan dan tidak ada seorang pun yang memilikinya.
Sayapun tidak berbuat apa-apa lagi. Sampai akhirnya,
orang-orang Dewan Adat Perwakilan Negeri sendirilah
yang melihat perbuatan mereka. Saya Hapusa
menceritakan yang sebenar-benarnya, saya tidak berani
menambah-nambah ataupun mengurangi kejadian
ataupun perbuatan yang saya lihat, Tuanku.” cerita
Hapusa lalu memberi hormat memohon izin kembali ke
tempatnya semula.

Raja mendengarkan cerita kedua rakyatnya tadi


dengan saksama. “Apakah masih ada tuduhan yang
lainnya.” tanya Raja kembali bertanya kepada penduduk
negeri yang berkumpul. Para penduduk saling pandang,
mengira-ngira jikalau masih ada lagi yang akan bersaksi.

98
Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi
seorangpun yang maju dan naik ke atas panggung, sang
raja mengarahkan pandangannya kepada Madi dan
Halijah, “Apakah kalian mendengar dengan jelas cerita
kedua penduduk tadi dan apakah mereka menceritakan
kebenaran perbuatan kalian?”

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, saya mendengar


dengan jelas semua cerita mereka dan yang mereka
ceritakan benar adanya, Tuanku.” jawab Madi dan
Halijah bersamaan sambil membungkukkan badan.

“Sekarang, saya mengizinkan kalian berbicara untuk


membela diri atau mengemukakan alasan kalian
mengapa melakukan perbuatan seperti itu.” Raja secara
bijaksana memberikan kesempatan kepada Madi dan
Halijah untuk berbicara. Meskipun, mereka berdua
mengakui kebenaran cerita kedua penduduk tadi, namun
sang raja tidak mau sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Siapapun dia dan apapun statusnya, sang raja tetap
menganggap bahwa rakyat harus diberi hak dan
kewajiban yang sama. Apalagi dalam perkara hukum

99
begini, mereka berhak memberi alasan atau membantah
untuk memberikan kebenaran yang sebenarnya.

“Terima kasih, Tuanku Yangmulia dan bijaksana.


Saya mewakili istri saya untuk berbicara. Sebelumnya,
saya mohon ampun, Tuanku. Ada dua kesalahan yang
telah kami perbuat, yaitu penebangan pohon di hutan dan
membuang anak sebagai pelanggaran malaksanakan
kewajiban sebagai orang tua.” Madi berbicara dengan
suara terbata-terbata. Sejenak ia terdiam, ia berpaling
kepada istrinya, memeluknya, menciumi dahinya, dan
menyeka air mata yang menetes di pipinya yang mulai
berkeriput. Lalu, iapun menyeka air matanya sendiri.
Madi menarik nafas panjang berusaha mendapatkan
kekuatan untuk bercerita kembali.

“Saya akan memulai dari dakwaan penebangan


pohon terlebih dahulu, Tuanku. Awalnya, pekerjaan
kami sehari-hari adalah mencari buah-buahan dan kayu
bakar. Adalah istri saya yang melakukan pekerjaan
tersebut, dan saya yang akan membawanya ke kota untuk
di jual. Setiap hari di waktu pagi-pagi sekali saya sudah
berangkat dengan berjalan kaki menuju kota yang

100
jaraknya cukup jauh dari kampung kami. Setiba di kota,
selain menjual, saya mencari pekerjaan sampingan di
sekitar pasar, yaitu membantu penempa besi membuat
pisau, parang, dan alat perkakas lainnya, sering juga saya
memperbaiki rumah penduduk jikalau ada yang rusak,
dan beberapa pekerjaan lainnya. Semua jenis pekerjaan
akan saya lakukan demi menghidupi keluarga kami,
sepanjang pekerjaan itu halal. Saya tidaklah pernah
mengeluh. Demikian pula dengan istri saya. Ia tidak
pernah berkeluh kesah terhadap kekurangan kami.
Meskipun kami sering mengalami kekurangan makanan,
tapi kami tidak pernah sekalipun mengharapkan welas
kasih dan bantuan orang lain untuk menalanginya.
Padahal, tetangga dan teman-teman sekampung sering
menawarkan bantuan makanan. Kami bukannya
sombong, melainkan menjaga diri dari sikap manja dan
malas bekerja. Sepanjang kaki masih bisa berdiri,
betapapun susahnya hidup biarlah kami pikul sendiri.
Itulah prinsip hidup kami, Tuanku Yangmulia. Hingga
terjadilah satu peristiwa yang luar biasa. Cobaan
mendatangi kami. Persediaan makanan dan keuangan
keluarga berkurang. Dengan sangat terpaksa kami

101
berutang kepada tetangga sekampung danteman-teman di
kota. Cukup lama uang mereka saya pinjam tanpa
pengembalian sepeser pun.” Madi berhenti sejenak, lalu
membungkukkan badan tanda meminta izin melanjutkan
ceritanya kembali. Sang Raja menganggukkan kepalanya
pertanda mengizinkan.

“Keadaan tersebut yaitu banyaknya utang memaksa


kami berpikir keras mencari jalan keluar agar bisa segera
mengatasinya. Satu-satunya jalan keluar yang saya
temukan adalah dengan cara menebang pohon di hutan,
hasilnya saya jual ke kota. Saya yakin hanya dengan
jalan itu utang-utang kami bisa segera kami lunasi.
Selama empat hari saya telah menebang empat pohon
dengan memilih jenis kayu yang terbaik. Pada hari ketiga
penebangan, Hapusa menemui istri saya dan
memberitahukan perihal larangan menebang pepohonan
yang berada di sekitar hutan. Akan tetapi, kami sudah
kepalan tanggung untuk menghentikannya.Kami
kekurangan makanan, keuangan kami habis, ditambah
lagi dengan sejumlah utang yang harus kami lunasi,
membuat saya tidak berikir lebih panjang untuk

102
memikirkan perihal larangan tersebut. Apalagi, saya
masih meyakini jikalu pohon-pohon itu tumbuh secara
liar dan tidak ada yang memilikinya. Sampai pada hari
keempat setelah selesai melakukan penebangan yang
keempat, Tuan-tuan dari Dewan Adat Perwakilan Negeri
datang menangkap kami. Begitulah jalan ceritanya untuk
dakwaan penebangan pohon, Tuanku Yangmulia.” Madi
kembali berhenti sesaat, lalu membungkukkan badannya
meminta izin kepada raja.

“Lanjutkan ceritamu.” perintah raja singkat seraya


mengangkat tangannya pertanda memberi izin.

“Beberapa tahun sebelumnya, kehidupan saya


bersama istri rukun dan sangat berbahagia. Meskipun
kami hanya sebuah keluarga miskin, namun kehidupan
kami mungkin lebih bahagia dibandingkan orang
kebanyakan. Apalagi setelah Eya mengaruniai kami
seorang putri yang sudah sejak lama kami dambakan.
Kebahagiaan kami bertambah tiadalah terkira. Semangat
kerja saya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
bertambah besar. Pekerjaan kami tidak berubah, tetapi
semangat kerja kami berlipat ganda. Setiap pagi sebelum

103
berangkat, Nou, putri mungil kami pasti merengek minta
digendong berkeliling halaman rumah. Sebelum sore hari
saya pulang, si Nou yang sudah hafal dengan waktu
kedatangan saya, pasti sudah menunggu di
halamandengan cerianya. Seperti itulah kebahagiaan
hidup kami jalani setiap hari. Kebahagiaan yang tiada
terkira. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak sepanjang
hidup kami. Terlalu singkat kebersamaan kami Eya
berikan. Namun, apalah daya seorang hamba. Eyalah
Yang Maha Berkehendak. Kami hanya bisa pasrah
dalam keputusasaan.” Madi menghentikan ceritanya.
Matanya mulai berkaca-kaca, mengenang beberapa hari
yang lalu saat-saat terakhir kebersamaan mereka dan
putrinya. Sejenak ia berpaling kepada istrinya,
memeluknya, dan menciumi dahinya, memberi ketegaran
kepada istrinya. Madi menarik napas panjang dua kali
kemudian melanjutkan ceritanya.

“Hingga pada suatu hari, datanglah sebuah ujian


yang sangat berat menimpa kami. Nou, putri kami
terkena penyakit kulit yang menular. Kami panik. Kami
berupaya melakukan segala cara untuk dapat

104
menyembuhkannya. Mulai orang-orang sekampung
sampai ke penduduk di kota kami tanyai jikalau ada di
antara mereka yang tahu obat penyembuhnya ataupun
tabib yang mampu mengobati dan menyembuhkan
penyakit Nou. Tidak sedikit saran yang kami dapatkan,
baik itu berupa ramuan, maupun tabib. Kami mencari
semua ramuan yang disarankan kepada kami,
mengolahnya menjadi obat. Di samping itu, beberapa
tabib kami datangi, tidak peduli harus berjalan selama
berhari-hari, melintasi sungai, ataupun menyeberangi
pulau, kami tetap lakukan asalkan penyakit putri kami
dapat disembuhkan. Setelah tabib pertama tidak mampu
menyembuhkannya, kami mendatangi tabib kedua. Tabib
kedua tidak mampu, kami mengunjungi tabib ketiga.
Begitu seterusnya, hingga kami tidak tahu lagi berapa
jumlah tabib yang telah kami datangi, tetapi hasilnya
masih sama. Penyakit Nou tidak sembuh-sembuh juga.
Selain itu,tidak sedikit pula tabib yang kami undang ke
rumah untuk mengobatinya. Namun, semua upaya kami
sia-sia. Bahkan, penyakit Nou kian hari semakin
memburuk. Penyakit kulit itu sudah menjangkiti ke
seluruh badannya. Hampir sepanjang siang dan malam ia

105
mengeluh dan menangis merasakan gatal dan perih yang
ditimbulkan oleh penyakitnya itu. Melihat kondisinya
yang semakin parah membuat saya putus asa. Namun,
istri saya tetap memberi dorongan dan kekuatan untuk
terus mencoba dan berupaya. Obat dan ramuan tetap
kami cari setiap hari, waktu kami banyak tercurahkan
untuk mencari ramuan obat. Kami sudah tidak sanggup
lagi memanggil tabib, karena uang persediaan hidup
keluarga kami telah habis kami gunakan untuk
membayar para tabib. Bahkan utang kami pun
bertumpuk. Saya sudah jarang ke kota berjualan dan
mencari nafkah. Halijah, istriku, juga sudah jarang
mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan oleh
karena waktu kami banyak tercurah untuk mencari
ramuan obat. Namun, dua bulan berupaya di tengah-
tengah keputuasaan membuat saya menyerah. Penyakit
Nou tetap bertambah parah, bahkan mengeluarkan bau
busuk. Rintihan dan tangisan Nou semakin menjadi-jadi
akibat gatal dan perih yang ia rasakan di sekujur
badannya. Saya tidak tahan lagi melihat penderitaan
putri kami. Ingin rasanya mengakhiri penderitaannya
dengan jalan membunuhnya saja. Namun, naluri sebagai

106
orang tua tidak sanggup melaksanakannya. Saya semakin
bingung dan putus asa. Akhirnya, saya menyerah.
Dengan hati yang hancur tak terkira, saya memaksa istri
saya, Halijah agar menyetujui usulan saya, yaitu
menelantarkannya ke hutan. Ya, anak kami satu-satunya.
Anak yang kehadirannya sangat lama kami damba-
dambakan, terpaksa kami buang dan kami telantarkan di
hutan.” Madi menghentikan ceritanya. Ia kembali
menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia berpaling
kepada istrinya yang juga tak henti-henti menyeka air
mata. Madi mangambil tangan Halijah, menggenggam
erat jari-jarinya.

“Maafkanlah saya, istriku.” ucapnya kepada istrinya


dengan perasaan sedih tiada terkira. Halijah, hanya
sanggup memeluk suaminya tanpa sanggup berkata
sepatah katapun. Cukup lama Madi terdiam. Badannya
bergetar berusaha menahan gejolak kesedihannya.
Beberapa kali ia menarik nafas panjang sekadar untuk
mengumpulkan kekuatan agar dapat bercerita lagi. Sang
Rajapun dengan sangat bijaksana tidak menyela kedua
rakyatnya yang terdakwa itu.

107
Akhirnya, Madi mendapatkan sedikit kekuatan batin
untuk melanjutkan ceritanya. “Setelah kami membuang
Nou, kami segera pulang. Sungguh tiada kata-kata yang
dapat melukiskan betapa hampa hati kami merasakan
suasana rumah tanpa suara si Nou. Kami mengingat-
ingat kembali semua peristiwa dan kejadian sejak Nou
lahir hingga di malam pembuangannya. Suara tangisan
pertamanya sampai tangisan terakhirnya di dalam gua,
terus terdengar dan menjadi bahan tangisan kami setiap
malam. Sampai detik ini kami seolah-olah masih tidak
percaya akan musibah yang menimpa kami. Sungguh,
Yang Mulia, sayalah yang pantas dihukum atas
kejahatan-kejahatan itu. Istri saya sama sekali tidak ada
niat untuk melakukannya. Ia terpaksa mengikutinya
lantaran sayalah yang memaksanya.” Madi
menghentikan ceritanya. Kembali jari-jari istrinya ia
genggam. Sedang Halijah hanya mampu bersandar di
bahunya.

“Papa jangan berkata begitu. Kesalahan kita berdua


haruslah kita berdua yang memikulnya. Lagipula, saya
tidak sanggup bertahan hidup jika tidak bersama Papa.”

108
bisik kata istrinya pelan dan lirih sambil menyeka air
matanya. Mendengar ucapan lirih istrinya membuat
Madi semakin erat menggenggam jemari istrinya yang
mulai mengeriput.

Raja mengangguk-angguk bijaksana mendengar


cerita Madi. Untuk sepintas, Raja memandangi para
Dewan Adat Perwakilan Negeri, penduduk negeri, dan
para penasehat yang mendampinginya, sebelum akhirnya
membuka suara dengan lantang dan berwibawa.

“Baiklah, wahai rakyatku sekalian. Kita telah


mendengar pengakuan yang disampaikan terdakwayang
bernama Madi. Dari ceritanya, mereka telah mengakui
kesalahannya. Sebelum hukuman diputuskan apakah
masih ada dakwaan lainnya atau pihak-pihak
berkeberatan permasalahan utang?” tanya raja kepada
seluruh rakyatnya yang berkumpul.

Setelah menunggu beberapa saat namun tidak ada


lagi yang engajukan tuntutan, maka raja segera
memutuskan hukuman perkara.

109
“Karena tidak ada lagi tuntutan maupun dakwaan
maka saya sebagai Raja Penguasa Negeri mewakili
seluruh rakyat memutuskan: untuk kesalahan yang
pertama, terdakwa melakukan pelanggaran pencurian
dan penebangan pohon secara liar. Alasan yang dia
kemukakan tidak bisa diterima oleh karena sudah diberi
peringatan berupa nasehat oleh Hapusa, tetapi mereka
tetap melanjutkan penebangan pohon. Hukumannya,
mereka akan penjara, dan harus ditanggung oleh pihak-
pihak yang bersalah sesuai dengan kadar kesalahannya
dan tidak bisa diwakilkan. Untuk Madi sebagai pelaku
utama hukumannya tiga kali lebih berat dan lebih lama
daripada Halijah. Mereka bisa dibebaskan dari hukuman
tersebut jika mampu mengganti ganti rugi yang sesuai
dengan kerugian yang telah timbulkan atau ada orang
yang bersedia menebus ganti rugi tersebut” Raja berhenti
sejenak dan memerhatikan kepada peserta sidang jikalau
ada yang keberatan dengan keputusan hukuman.

“Untuk tuntutan kedua, Madi dan Halijah didakwa


melakukan persekongkolan dalam hal menelantarkan
anak. Perbuatan tersebut sama dengan pelanggaran

110
terhadap hak hidup penduduk negeri. Hukumannya bisa
dilaksanakan hukuman mati. Akan tetapi, sebelum
kepeutusan sidang diumumkan, terlebih dahulu
dilakukan pencarian terhadap Nou selama seminggu.
Jika Nou ditemukan dalam keadaan masih hidup, maka
Madi dan Halijah sebagai orang tuanya akan dihukum
penjara seberat-beratnya. Akan tetapi, jika Nou tidak
bisa ditemukan, atau ditemukan dalam keadaan sudah
meninggal, maka Madi dan Halijah akan dihukum mati
di tiang gantungan.” Hukuman untuk kasus kedua akan
segera Madi dan Halijah jalani, selesai mereka menjalani
hukuman pada kasus pertama. Semoga keputusan sidang
ini dapat berjalan adil dan kita semoga kita dapat
mengambil hikmahnya.” Raja menutup sidang di siang
hari yang terik itu dengan mengetukkan palu tiga kali.

Selanjutnya, empat orang algojo berbadan kekar dan


tegap, memakai topeng hitam dan bersenjatakan golok
dipinggang segera bergerak. Mereka membagi diri
menjadi dua bagian. Dua orang menggiring Madi dan
dua orang lagi menggiring Halijah. Madi dan Halijah
tertunduk dengan air mata yang berlinang membasahi

111
pipi mereka. Mereka pasrah menjalani hukuman. Ya...,
apapun hukumannya mereka dengan ikhlas
menjalaninya. Mereka tidak takut. Mereka tidak
memikirkan beratnya hukumannya yang akan mereka
jalani. Yang mereka pikirkan adalah nasib putri mereka,
Nou. Ya, kesedihan atas nasib Nou tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata. Meskipun merekalah
yang membuang dan menelantarkan Nou, namun jauh di
lubuk hati Madi dan Halijah tetap tersimpan kasih
sayang sebagai orang tua. Semenjak di malam
pembuangan itu, Madi dan Halijah tak henti-hentinya
mendoakan keselamatan dan kesembuhan Nou. Berharap
terjadi keajaiban.

Raja penguasa negeri beserta para penasehat telah


berdiri dan bersiap-siap melangkah meninggalkan tempat
sidang. Sementara itu, para penduduk negeri yang
menyaksikan proses penggiringan Madi dan Halijah
terdiam seribu bahasa. Mereka merasa sangat iba atas
nasib yang derita keluarga miskin dan sederhana
tersebut. Mereka tak habis pikir, Madi yang dikenal
sebagai sosok yang ramah, pekerja keras, dan jujur itu,

112
harus menerima kenyataan yang memaksanya putus asa.
Begitupun Halijah, seorang ibu rumah tangga yang setia,
tabah, dan tidak kenal lelah, harus mengkuti rasa
keputuasaan. Dan berbagai macam pertanyaan muncul di
kepala para penduduk.

Pada saat Madi dan Halijah bersama para algojo


yang menggiringnya hendak melangkah turun dari
panggung pengadilan, “Tunggu!” sebuah suara jeritan
menghentikan langkah para algojo tersebut. Langkah
Madi dan Halijahpun terhenti. Suara seorang perempuan.
Para penduduk yang sibuk dengan berbagai pertanyaan
di kepala terkejut dan mendongakkan kepala mengira-
mengira asal suara itu. Sedang mereka yang berada di
sebelah utara panggung menolehkan kepalanya ke arah
seorang anak perempuan belasan tahun. Gadis kecil yang
sedari tadi sesegukan berusaha menahan suara
tangisannya agar tidak terdengar orang lain. Sedang Raja
beserta para penasehatnyapun berhenti, ikut
memalingkan kepala masing-masing ke arah gadis kecil
yang melangkah menuju panggung. Dengan langkah
tergesa-gesa, gadis itu menuju ke rombongan raja dan

113
penasehatnya. Beberapa orang pengawal yang berada di
sekitar panggung segera bergerak hendak menahan laju
gadis itu. Namun, niat mereka terhenti melihat raja
mengangkat tangannya sebagai isyarat agar membiarkan
gadis itu mendekat. Gadis kecil itu berhenti sekitar
sepuluh langkah di depan raja dan berlutut memberi
hormat.

“Mohon ampun, Tuanku Raja. Saya mohon


ampunilah ibu dan ayah saya.” Si gadis kecil yang
ternyata si Nou itu bermohon dengan suara terbata-bata.

Penduduk di sekitar panggung pengadilan terkesima


setelah mengetahui bahwa gadis kecil yang cantik itu
ternyata Nou. Memang Nou belum dikenali oleh
penduduk di kota. Sedangkan penduduk yang
sekampung dengannya saja sudah tidak ada yang
mengenalinya karena sejak menderita penyakit kulit
bertahun-tahun lalu, Nou tidak bermain lagi dengan
teman-temannya. Ia lebih banyak menghabiskan
waktunya di tempat tidur atau berbaring di bale-bale
bambu di depan rumahnya. Kalaupun ada, yang mereka
kenal adalah Nou yang buruk rupa, atau Nou yang

114
berpenyakit menular, bukan Nou yang ada sekarang,
cantik dan bersih kulitnya. Apalagi jika melihat
pakaiannya yang terbuat dari bahan halus pemberian
nenek tua di hutan, mereka sulit mempercayainya.

Lain halnya dengan Madi dan Halijah. Sejak


mendengar suara jeritan tadi, suasana hati mereka sudah
tidak menentu. Berdebar-debar dan tidak percaya dengan
apa yang didengarnya. Mereka khawatir suara yang
mereka dengar hanyalah khayalan mereka saja. Akan
tetapi, ketika melihat siapa yang sedang berlutut di
hadapan raja sekarang, gadis kecil yang sedang
memohonkan ampunan buat mereka, lutut mereka pun
jadi goyah, jatuh dan berlutut. Madi dan Halijah tak
mampu lagi berdiri akibat menahan gejolak haru yang
luar biasa di dalam dadanya. Mereka berpelukan dan
sesegukan tanpa mampu berkata sepatah katapun.
Memandangi lekat-lekat tahi lalat kecil di dahi si gadis,
tanda lahir yang sudah lama tidak terlihatkarena tertutupi
oleh penyakit. “Sungguh, Eya..., dia itu anakku, anak
yang dengan tega telah kami telantarkan.... betapa
terkutuknya kami sebagai orang tua. Terima kasih, Eya,

115
terima kasih telah menyebuhkan anak kami. Engkau
sungguh Maha Mendengar lagi Maha Pemurah, Engkau
masih juga mengabulkan doa-doa orang tua yang
durhaka ini. Sekarang, kami akan tenang dan ikhlas
menjalani hukuman yang berujung kematian ini..
Eya....” Seperti itulah suara batin Madi dan Halijah tak
henti-hentinya memuji kepada Yang Mahakuasa atas
kesembuhan Nou. Masih banyak lagi dan tak henti-
hentinya bantin mereka memuji.

Sementara itu, Sang Raja penguasa negeri


memandangi gadis kecil yang berlutut di hadapannya.
Dengan pandangan teduh ia mendekati Nou, mengangkat
kedua bahu si Nou untuk membantunya berdiri,
“Bangunlah.” perintahnya dengan lembut. Batinnya
tergetar juga melihat kepolosan anak kecil di hadapannya
itu. Nalurinya sebagai manusia sangat menyelesaikan
permasalahan dengan penuh damai. Namun, sebagai
seorang raja yang berkuasa, ia harus tetap menegakkan
hukum adat di negerinya,dan tidak boleh menunjukkan
perasaan itu di hadapan para rakyatnya.

116
“Terima kasih, Tuanku Yang Mulia.” Nou berdiri
tertunduk. Kepala tertunduk tidak berani menatap raja di
hadapannya. Matanya yang sembab karena air mata
ditancapkan ke lantai panggung sambil berharap semoga
sang raja mengabulkan permintaannya.

“Apakah betul gadis kecil ini anak kalian, Madi.,


Halijah?” tanya raja sambil mengarahkan pandangannya
kepada Madi Halijah yang masih terguncang jiwanya.
Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil
menjawab pertanyaan raja. Namun, hanya bibirnya saja
yang bergetar tanpa ada sepatah katapun yang keluar
bibir kedua orang tua itu. Hanya anggukan kepalanya
yanng jelas terlihat.

“Baik. Oleh karena pihak korban pada kasus


penelantaran anak dan pelanggaran hak hidup penduduk
negeri telah ada, maka sidang untuk kasus kedua dibuka
kembali.” Raja mengetukkan palu satu kali untuk
membuka ulang sidang.

“Nou, sekarang dengarkan dan pikirkan baik-baik


pertanyaan ini. Jawab kalau engkau siap menjawab, atau
mintalah waktu kalau engkau membutuhkan waktu untuk

117
berpikir. Apakah benar dan secara sungguh-sungguh
engkau memaafkan kedua orang tuamu yang atas
perbuatannya yang sengaja menelantarkan dan
membuang dirimu ke dalam hutan?” Raja mengajukan
bertanya kepada Nou.

“Saya bersungguh-sungguh, Tuanku Yang Mulia.”


jawab Nou seraya menganggukkan kepalanya berkali-
kali.

“Mengapa engkau memafkan mereka? Apakah ada


orang yang mengancam dirimu supaya engkau
memaafkan mereka?‟ Raja bertanya lagi untuk
memastikan keyakinan Nou.

“Tidak ada yang mengancam saya, Tuanku


Yangmulia. Saya menyayangi dan membutuhkan orang
tua saya. Apapun yang telah terjadi, itu karena mereka
terpaksa melakukannya. Lagipula, penyakit itu menimpa
saya atas kesalahan sendiri, bukan kesalahan ibu dan
ayah saya.Sewaktu sehat, saya bermain sesuka hati tanpa
melihat kebersihan tempat saya bermain. Meskipun,
dinasehati bahkan dilarang, saya tidak mengindahkannya
.Saya terlalu manja, malas, dan selalu membantah kata-

118
kata orang tua. Jadi, sayalah yang harus memohon maaf
kepada ibu dan ayah. Saya yang telah banyak
menyusahkan mereka yang selalu bekerja keras
mencarikan nafkah dan merawat saya, tanpa sedikitpun
ikut membantu.”

“Baik. Oleh karena pihak korban sendiri yang


meminta secara sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak
lain, maka tuntutan menelantarkan anak dan pelanggaran
atas hak hidup penduduk negeri dicabut. Madi dan
Halijah dinyatakan bebas.” Raja mengetuk palu tiga

“Selanjutnya, Madi dan Halijah akan menjalani


hukuman atas dakwaan melakukan penebangan liar yang
dapat merugikan kerajaan dan orang banyak.”

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, bisakah saya juga


memohon ampunan agar kedua orang tua saya
dibebaskan hukuman itu agar kami dapat berkumpul
bersama lagi.” Nou memohon, memelas agar
permohonannya dikabulkan Raja.

Raja tersenyum lembut tapi berwibawa mendengar


permohonan Nou.

119
“Nou, Saya paham dan mengerti isi hatimu, tetapi
ayah dan ibumu melakukan tindakan yang dapat
merugikan negeri beserta penduduknya. Perbuatannya
itu mengancam keselamatan kita semua jika diteruskan.
Jikalau ayah dan ibumu dibebaskan, maka orang-orang
akan menuntut untuk bisa juga menebang pohon agar
dapat memperoleh keuntungan pribadi. Jika hal itu
dibiarkan terjadi, maka hutan dalam waktu singkat akan
gundul. Sedangkan pepohonan itu berfungsi untuk
mencegah terjadinya banjir dan longsor.” Raja menjawab
secara mencoba memberi pengertian kepada Nou.

“Ampun, Yang Mulia, saya tidak berniat


membantah. Akan tetapi, apakah masih ada cara lain
yang dapat membebaskan orang tua saya dari hukuman
itu?”

“Ada. Seperti yang sudah dibacakan pada saat


sidang tadi, bahwa terdakwa Madi dan Halijah bisa
dibebaskan dari hukuman penjara jika sanggup
membayar sesuai dengan kerugian yang mereka
timbulkan. Atau jikalau ada orang yang bersedia

120
membayarkan sebagai tebusan sejumlah kerugian
tersebut.” jawab Sang Raja tenang dan bijaksana.

“Ampun, Tuanku Yangmulia. Saat di hutan, saya


ditolong, dirawat, dan diobati oleh seorang nenek tua
hingga sembuh. Setelah saya sembuh, beliau
mengizinkan saya kembali untuk mencari orang tua saya.
Nenek itu juga memberi saya pakaian serta harta berupa
emas. Katanya sebagai bekal buat saya manfaatkan di
jalan yang benar. Apakah emas itu dapat saya gunakan
juga untuk menebus kesalahan orang tua saya,
Yangmulia?”

“Tentu saja bisa, Gadis Pintar.” Jawab Sang Raja


tersenyum lembut seraya memuji Nou.

“Jika nilai emas yang engkau miliki sama dengan


kerugian yang diakibatkan kedua orang tuamu, maka
mereka dibebaskan. Jikalau nilai emasmu lebih sedikit,
maka engkau masih bisa menggunakannya untuk
mengurangi masa hukumannya. Akan tetapi, jika nilai
emasmu lebih besar, maka akan diambil secukupnya dan
selebihnya akan dikembalikan kepadamu.” dengan

121
tenang Raja menguraikan secara rinci tentang cara
penebusan Madi dan Halijah kepada Nou.

“Baik, Tuanku Yang Mulia.” Nou mengangguk


hormat lalu segera merogoh sesuatu di balik ikatan
selendang di pinggangnya. Setelah tangannya ia
keluarkan kembali, tampak ia memegang lipatan kain
lalu menyerahkannya kepada Raja dengan kedua
tangannya. “Tabik, Tuanku Raja, emas yang saya
ucapkan tadi ada di dalam kain ini, saya mohon
diampuni jika nilainya tidak cukup.”

Raja segera mengambil kain yang diserahkan Nou


kepadanya. Ketika Sang Raja membuka kain tersebut,
tampaklah oleh tiga batang emas pipih persegi. Sang
Raja memerhatikan dengan saksama batangan emas di
tangannya, lalu menoleh dan mengulurkan ketiga batang
emas itu kepada para penasehatnya. Para penasehat
secara bergantian ikut memeriksa dengan teliti batangan
emas tersebut.

“Betul, Tuanku Raja, ketiganya emas murni..., dan


jikalau saya tidak salah memperkirakan, satu batang
emas ini seharga dengan seratus ekor sapi dewasa.”

122
penasehat pertama mengemukakan pendapatnya perihal
batangan emas tersebut, lalu menyerahkannya kembali
kepada Raja. Ketiga penasehat yang lain mengangguk
membenarkan kata-kata penasehat pertama tadi.

“Emas ini memiliki nilai yang sangat besar. Satu


batang emas sudah melebihi nilainya untuk
membebaskan orang tuamu. Selebihnya saya kembalikan
kepadamu. Ambil dan simpanlah baik-baik.
Manfaatkanlah di jalan yang baik dan benar sesuai
amanah nenek penolongmu.” Rajapun mengembalikan
dua batang emas kepada Nou.

“Mohon ampun, Tuanku Raja. Kalau boleh emas ini


saya serahkan saja kepada Raja. Saya sudah sangat
bersyukur ibu dan ayah saya dapat dibebaskan dari
hukuman. Saya lebih membutuhkan ibu dan ayah saya
daripada emas-emas itu,” ucap Nou kepada Raja. Kata-
katanya yang polos membuat Raja tersenyum. Begitu
pula dengan keempat penasehatnya ikut tersenyum dan
saling pandang. Mereka sangat terharu oleh kepolosan
anak kecil seumur Nou, yang belum mengerti dengan
baik nilai harta kekayaan. Dibanding harta, anak kecil

123
seumur Nou pada umunya memang lebih membutuhkan
dekapan orang tua dibandingkan silaunya harta.

Rakyat negeri yang melihat emas-emas tersebut


seketika takjub, sampai-sampai beberapa di antara
mereka melelehkan air liur tanpa sadar. Madi dan
Halijah yang sedari tak henti-hentinya memandangi
putrinya hanya mampu mengucap puji syukur yang tak
henti-hentinya di dalam hati mereka. Bukan banyaknya
nilai emas yang mereka pikirkan, melainkan betapa
polos dan mulianya budi Nou, anak yang telah mereka
telantarkan beberapa hari sebelumnya.

“Wahai penduduk negeri, dengarkanlah baik-baik


yang akan saya ucapkan. Siang ini, Nou sebagai korban
telah memohon pembebasan atas diri pelaku Madi dan
Halijah. Untuk itu, hukuman atas pelanggaran
penelarantaran anak dan pelanggaran hak hidup yang
dijatuhkan atas diri Madi dan Halijah saya nyatakan
dicabut. Madi dan Halijah dibebaskan. Selanjutnya,
untuk kasus kedua yaitu penebangan pohon di hutan
secara liar akan ditebus dengan harta berupa emas yang
dimiliki Nou. Untuk itu, hukuman atas pelanggaran ini

124
saya nyatakan dicabut. Madi dan Halijah dibebaskan
sepenuhnya dan dikembalikan hak asuhnya atas diri
Nou, putrinya.” keputusan akhir persidangan yang
diumumkan Raja membuat seluruh penduduk yang hadir
menarik napas panjang. Mereka lega. Tidak tahan
dengan suasana haru yang terpampang di atas panggung
persidangan itu. Tidak sedikit di antara mereka yang
bahkan mengeluarkan air mata. Mereka yang membawa
anak, perempuan bahkan yang laki-laki, seketika
memeluk anaknya erat-erat karena larut dalam emosi.

Begitu mendengar keputusan yang diumumkan


Raja, Nou berlutut membungkukkan badannya, sebagai
tanda hormat dan ungkapan terima kasih kepada Raja.
Ucapan terima kasih berulang kali ia ucapkan, yang
mendapat balasan berupa elusan di kepalanya oleh Raja.

Tak jauh dari tempat Nou berdiri, Madi dan Halijah


yang mendengar pengumuman keputusan tersebut
seolah-olah tidak percaya. Mereka terpana, sesegukan,
bahkan semakin tak mampu berdiri. Kaki-kaki tua itu
roboh berlutut, sedangkan badannya yang sudah sangat
kurus menjatuhkan kepala mencium lantai persidangan.

125
Bersujud mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih. Tanpa mereka sadari dua kaki kecil
menghampiri dan meraih tangan kedua-duanya, lalu
menciumnya. Terasa ada air yang mengalir di tangannya,
kedua orang tua itu perlahan-lahan mengangkat kepala.
Nou yang menghampiri mereka. Gadis kecil itu yang
menempelkan tangan Madi dan Halijah ke pipinya yang
berderai air mata. Seketika itu pula ketiga berpelukan
erat. Sangat erat. Barulah mereka melepaskan pelukan
setelah menyadari bahwa Raja beserta empat
penasehatnya menghampiri mereka.

“Terima kasih, Tuanku Yang mulia. Terima kasih


Tuanku Raja. Terima kasih telah mengampuni dua orang
tua yang lemah dan bodoh ini.” Ucap Madi berulang-
ulang sambil membungkukkan badannya. Tidak berani
mengangkat wajahnya menghadap Sang Raja.

“Kalian jangan berterima kasih kepadaku. Saya


hanya melaksanakan kewajiban seadil-adilnya. Kepada
anakmulah kalian berterima kasih. Dan kepada Eyalah
kalian sepatutnya bersyukur.” berkata Raja dengan
santun dan bijak.

126
“Madi dan Halijah, kalian telah dinyatakan bebas
darin hukuman. Dengan demikian, tanggung jawab dan
hak mengasuh juga dikembalikan. Laksanakan tanggung
jawab itu sebaik-baiknya. Jangan mudah berputus asa
apalagi menyerah. Bagaimanapun buruknya anak yang
dipunyai, tetap menjadi bagian dari diri orang tuanya.
Mereka adalah amanah dari Yang Mahakuasa bagi orang
tua. Jangan lagi mengabaikan amanah tersebut.”

“Baik, Tuanku.” sahut Madi singkat dan hormat.

“Sekarang, masih ada satu hal lagi. Emas yang


dimiliki anak kalian jumlahnya sangatlah besar.
Sebatang dari emas itu akan kami bawa untuk dihitung
nilainya dan disesuaikan dengan nilai penebusanmu.
Yang dua batang selebihnya adalah hak Nou, yang juga
berarti amanah bagi kalian.” Kata Raja menjelaskan
kepada Madi dan Halijah.

“Mohon ampun, Tuanku Yangmulia. Kami sangat


bersyukur sudah bertemu kembali dengan putri kami.
Keberadaannya di sisi kami tidak bisa dibandingkan
dengan emas dan harta. Persoalan harta, dapat kami cari
kembali. Kami takut gelimangan harta emas itu justru

127
akan menyilaukan akal dan hati kami. Mohon izinkanlah
kami pulang secepatnya, Tuanku Raja.” Pinta Madi
dengan takzimnya kepada Sang Raja Penguasa Negeri.

“Baik. Oleh karena kalian sendiri yang meminta


begitu juga dengan Nou yang sebelumnya menyerahkan
emas ini kepada pihak kerajaan, maka emas-emas ini
akan kami bawa ke istana, sebagai gantinya, kebutuhan
hidup kalian bersama pendidikan Nou akan ditanggung
oleh pihak istana. Sekarang sidang ini sudah ditutup,
kalian silakan pulang dan berkumpul lagi.”

Diakhir kata-katanya Raja mengizinkan Madi dan


Halijah beserta Nou pulang ke rumahnya. Entah
mengapa, di dalam sanubarinya terbersit rasa lega.
Mungkin karena merasa telah melaksanakan suatu
persidangan secara arif dan bijaksana tanpa ada yang
harus terpidana. Atau mungkin juga karena telah
diperlihatkan satu hikmah dan kasih sayang Allah Swt.
yang tiada ternilai kepada hamba-hamba-Nya. Sejurus
kemudian, Raja Penguasa Negeri yang bijaksana itu
menghadapkan badannya ke peserta sidang.

128
“Wahai rakyatku, hari ini kita telah melaksanakan
persidangan dengan lancar. Saya Raja Penguasa Negeri
ini berharap pengadilan ini telah dijalankan secara
bijaksana dan tanpa melanggar hukum adat kita. Marilah
kita mengambil dan mempelajari hikmahnya, agar kita
semua bersama negeri kita senantiasa diberkahi dan
dilindungi oleh Penguasa Alam Semesta ini.” setelah
mengucapkan beberapa kata tersebut, Raja segera
menutup persidangan dengan mengetukkan palu sidang
sebanyak tiga kali.

Para penduduk negeri yang setia mengikuti jalannya


persidangan pun segera meninggalkan sidang secara
teratur, kembali pulang ke rumah masing-masing dan
menghayati hikmah yang didapatkan hari ini.

---***---

Senja itu, di atas bale-bale bambu di halaman sebuah


gubuk kecil, tampak seorang lelaki sedang berbaring
telentang. Dia bukan lain Madi. Matanya yang masih
sembab sesekali berkedip menatapi gumpalan awan
putih yang berarak di belakang awan hitam. Langit yang
tadinya gelap seolah-olah akan terjadi hujan badai kini

129
berganti dengan terang cemerlang. Hujan tak jadi turun
membanjiri bumi. Suasana itu seolah-olah
menggambarkan nasib Madi dan Halijah. Dia dan
istrinya yang sudah digiring ke penjara, secara tidak
terduga terbebaskan.

Sementara di dalam gubuk, seorang perempuan tua


sedang menyelimutkan sarung tua ke tubuh anaknya.
Nou, gadis kecil itu, baru saja selesai mandi ditemani
oleh ibunya, Halijah. Demi menyaksikan badan gadis
kecilnya, Halijah kembali mengucapkan rasa syukur di
dalam hatinya. Badan yang beberapa waktu lalu dipenuhi
tonjolan cacar yang mengeluarkan bau busuk. Kini sudah
bersih dan halus.

Setelah berpakaian, Nou mengajak ibunya keluar


gubuk untuk mendapati ayahnya yang sedang telentang
memerhatikan arakan awan. Menyadari kehadiran anak
dan istrinya, Madi segera bangkit duduk di pinggiran
bale-bale dan mempersilakan mereka duduk bersamanya.
Keluarga kecil dan sederhana itu terlibat pembicaraan
yang kembali meneteskan air mata. Akan tetapi, kali ini
bukan air mata duka, melainkan air mata haru, air mata

130
kebahagiaan, dan air mata kesyukuran. Sampai akhirnya
Nou membicarakan secara jelas perihal pertemuannya
dengan nenek tua berhati mulia di hutan. Tidak
ketinggalan pula raksasa pemakan manusia yang
menghuni hutan ia ceritakan. Mereka lalu merencanakan
akan berkunjung ke tempat si nenk tua berada.

“Nou, anakku, terima kasih telah memaafkan


tindakan ibu dan ayah. Terima kasih telah membebaskan
kami berdua dari hukuman pengadilan.” kata Madi
memohon seraya menggenggam jari-jemari putrinya itu.

“Mama. Papa. Nou yang sepatutnya berterima kasih


karena telah dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih
sayang. Dan, Nou pula yang harus memohon
ampunkarena telah memberikan kesusahan dan
penderitaan yang sangat lama kepada Mama dan Papa.”
Nou menimpali kata-kata ayahnya sambil bersandar di
bahu ibunya yang sedang duduk memangkunya. Lalu
ketiganya kembali berpelukan. Larut dalam kebahagiaan.
Hanyut dalam rasa syukur.

Tamat

131
Catatan
1. Sumber cerita Putri Mohulintoli berasal dari cerita
rakyat yang terdapat dalam sebuah buku kumpulan
cerita rakyat Sulawesi Utara yang berjudul Putri
Mohulintoli dan Tiga Cerita Rakyat Lainnya dari
Sulawesi Utara. Buku itu diterbitkan oleh Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977.
2. Cerita Putri Ambalo diadaptasi dari naskah teater
karya siswa SMA Negeri 3 Gorontalo saat Festival
Teater Kantor Bahasa Gorontalo Tahun 2016.

132

Anda mungkin juga menyukai