Anda di halaman 1dari 19

MASA BANI UMAYYAH

MAKALAH

Oleh :

Kelompok 4

1. M. Chairunnafsi
2. Nur Indah Sari
3. Shafriza Zahara

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

PROGRAM STUDI

S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen Pengampu : Sopian Lubis M. A

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

AL - HIKMAH KOTA TEBING TINGGI

T.A. 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

PEMBAHASAN

A. Kebijakan dan Orientasi Politik


B. Kedudukan Amirul Mukminin
C. Ikatan Tali Persaudaraan (Politik dan Ekonomi Sistem sosial, Militer, dan Fiskal)
D. Kekuasaan Bani Umayyah di Timur dan Barat Serta Capaiannya

DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN

A. Kebijakan dan Orientasi Politik

Semenjak berkuasa, Muawiyah (661-680) memulai langkah-langkah untuk


merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan paham golongan
bersama dengan elite pemerintah. Muawiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi
sebuah sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasaan
administratif negara dan merancang alasan-alasan moral dan politik yang baru demi kesetiaan
terhadap khalifah.

Pertama, ia berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan


panglima-panglima Arab yang mengepalai pasukan kesukuan Arab. Untuk memenuhi interes
pemimpin suku, sejumlah penaklukkan diarahkan ke Afrika Utara dan Iran timur. Pada front
Syria, Muawiyah mempertahankan perdamaian dengan imperium Bizantium sehingga ia
dapat mengerahkan kekuatan pasukan Syria untuk tujuan perlindungan kebijakan internal.
Selanjutnya ia berusaha memantapkan pendapatan negara dari penghasilan pribadi dan lahan
pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania dan dari investasi pembukaan tanah
baru dan irigasi.

Muawiyah juga menerapkan aspek aspek patriakal khilafah. Kebijakan politik dan
kekuatan fi nancial yang ditempuhnya berasal dari nilai-nilai tradisi Arab: Konsiliasi,
konsultasi, kedermawanan dan penghormatan terhadap bentuk-bentuk tradisi kesukuan.

Sifat-sifat dan kemampuan Muawiyah sebagai sebuah pribadi adalah lebih berarti
daripada institusi manapun. Ia sangat terkenal dengan sifat santunnya, sebuah bakat untuk
memperlakukan pengikutnya sehingga mereka bekerja sama tanpa rasa bahwa kedudukan
mereka sedang diperdaya.

Jika khalifah Umar secara fundamental merupakan tokoh yang terkenal kedekatannya
dengan Nabi Muhammad dan karena integritas agamanya, maka Muawiyah merupakan
pribadi yang tidak tertandingi dalam melestarikan tradisi (patriarch) kesukuan Arab.
Pemerintahannya ditandai dengan upaya sentralisasi kekuasaan negara dan sejumlah seruan
khilafah non Islam, bahkan pemerintahannya didasarkan pada jaringan kerja (networks)
pribadi dan ikatan kekerabatan.
Pada periode akhir dinasti Umayyah, yang mampu bertahan bukan karena konsensus
melainkan karena kekuatan militer. Khalifah Abdul Malik (685-705), dengan didukung
militer Syria Yaman, berhasil menghancurkan musuh-musuh Umayyah. Khalifah Abdul
Malik dan penggantinya, al-Walid (705-715) yang sekarang menghadapi oposisi yang
bermisi keagamaan yang sedang mewabah, yakni oposisi dari kalangan Syi'ah, Kharijiah dan
beberapa aliran kesukuan yang terpicu oleh tekanan pembahan sosial di beberapa
perkampungan militer, harus memikirkan sebuah altematif strategi pemerintahan. Respon
yang ditempuh oleh kedua khalifah tersebut adalah mempercepat proses sentralisasi negara,
bahkan menjadikan negara sebagai sebuah rezim dari pada sekedar sentralisasi pribadi
seorang khalifah, fokus loyalitas politik dan idiologis.

Meskipun rezim Muawiyah pada dasarnya adalah keluarga penguasa dan militernya,
serta suku-suku yang bernaung di bawahnya, sekelompok elite kecil memerintah sebuah
imperium yang desentralisasi, sementara ini khalifah berusaha keras menegakkan sentralisasi
kekuasaan pemerintah.

Khalifah Hisyam (724-743) berusaha menerapkan kebijakan Umar II di wilayah


Khurasan, Mesir, dan Mesopotamia. Administrasi Umayyah juga mengembangkan sebuah
identitas organisasional. Pada dekade pertama im perium Arab, hal-hal yang berkenaan
dengan administrasi diselenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa Yunani dan Persia
yang merupakan warisan imperium sebelumnya. Sekalipun demikian, sekitar tahun 700,
sebuah generasi baru dari klien-klien Arab yang mencapai kekuasaan berpengaruh, sekalipun
mereka telah dididik menjadi pegawai dan agar setia kepada khilafah. Kelompok elite dari
kalangan juru tulis dan ketuanya memperkuat tulang punggung kesekretariatan imperium
Arab-muslim sampai abad ke-10. Sejalan dengan perkembangan administrasi, ke hidupan
istana kekhalifahan juga diorganisir. Hari-harinya, Muawiyah dikerumuni oleh tokoh-tokoh
Arab telah berakhir. Sekarang seorang pembantu istana mendampingi pengunjung dalam
rangka penertiban kesibukan sehari-hari.

Pegawai-pegawai administrasi, pejabat sekretaris raja, para pengawal dan juru tulis
mengerumuni raja sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan tokoh-tokoh Arab se
belumnya. Pos-pos penting dalam pemerintahan masih dijabat oleh tokoh Arab, tetapi
aktifitas pemerintahan tidak lagi bergantung kepada dewan-dewan tokoh Arab, melainkan
bergantung pada pejabat-pejabat profesional. Dari pemerintahan pariarkal, khilafah telah
beralih menuju sebuah pemerintahan kerajaan.
Kebijakan konsolidasi rezim kekhilafahan yang terpenting adalah melanjutkan
gerakan penaklukkan yang berskala dunia. Serangkaian penaklukkan tahap awal adalah
dilatarbetakangi sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan kekuatan Aranb yang berpusat
pada beberapa perkampungan militer. Penaklukkan baru tahap berikutnya berlatar belakang
ambisi kerajaan dan melibatkan sejumlah penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil
yang dilaksanakan oleh sejumlah kekuatan tambahan non Arab. Maka perang yang tedadi
berikutnya bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang
untuk meraih dominasi dunia. Dalam sejumlah peperangan tersebut menjadikan negeri-negeri
seperti Afrika Utara, Spanyol, Transoxania dan Sindh menjadi bagian dari wilayah impe rium
muslim.

Sekalipun administrasi Umayyah bernuansa Islami, namun inspirasi yang sebenamya


berasal dari praktek Bizantium dan Sasania. Di Syria dan Mesir, seluruh perangkat
administratifnya termasuk di dalamnya administrasi, pendapatan negara dan bahkan juga
dokumen-dokumen administrasi berasal dari tradisi Bizantium. Organisasi kemiliteran Syria,
mengikuti kemiliteran Bizantium. Di Iraq pola organisaasi administrasi Sasania, yakni dibagi
menjadi 4 bidang, Badan Keuangan, kemiliteran, bagian surat menyurat dan bidang kedutaan,
diberlakukan oleh admi nistrator Arab. Kejayaan khalifah, dengan mendapat dukungan resmi
negara atau pembangunan sejumlah mesjid diinspirasi oleh kebijakan Bizantium. kemiliteran
Syria, mengikuti kemiliteran Bizantium. Di Iraq pola organisasi administrasi Sasania, yakni
dibagi menjadi 4 bidang, Badan Keuangan, kemiliteran, bagian surat menyurat dan bidang
kedutaan, diberlakukan oleh admi nistrator Arab. Kejayaan khalifah, dengan mendapat
dukungan resmi negara atau pembangunan sejumlah mesjid diinspirasi oleh kebijakan
Bizantium.

Prestasi yang lebih besar dicapai oleh wali satu, dia sangat berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang, baik politik (tata pemerintahan) maupun sosial
kebudayaan. Dalam bidang politik disusun tata pemerintahan berdasarkan tuntutan
perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain
mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh
beberapa orang al-Kutta (sekretaris) untuk membantu pelaksaman tugas yang meliputi

1. Katib ar-Rasail: sekretaris yang bertugas menye lenggarakan administrasi dan Surat
menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
2. Katib al-Kharraj: sekretaris yang bertugas menye lenggarakan penerimaan dan
pengeluaran negara
3. Katib al-Jundi: sekretaris yang bertugas menye lenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan ketentaraan.
4. Katib as-Syurtah: sekretaris yang bertugas menye lenggarakan pemeliharaan
keamanan dam ketertiban umum.
5. Katib al-Qudat sekretaris yang bertugas menye lenggarakan tertib hukum melalui
badan-badan peradilan dan hakim setempat.

B. Kedudukan Amir al-Mu'minin


Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Amirul Mu'minin bertugas hanya sebagai khalifah
dalam bidang temporar (politik), sedangkan urusan keagamaan diserahkan kepada para
ulama. Hal ini berbeda dengan Amirul Mu'minin pada masa Khulafah al Rasyidun yang mana
khalifah disamping kepala politik juga kepala agama. Selain itu, pada masa ini pula, Khalifah
lebih mengandalkan para gubernur dan tangan kanannya untuk terjun langsung dalam urusan
kemiliteran. Para khalifah hanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang dalam kasus
ini kebanyakan ditentang oleh masyarakat karena dinilai terlalu dictator dan otoritatif serta
tidak membuka ruang demokrasi, maka tak pelak banyak bermunculan pemberontakan pada
masa Daulah Umayah ini.

C. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat


1. Politik dan Ekonomi

Di kalangan bangsa Arab, pertempuran sengit antara kelompok terus berlanjut.


Setelah perang sipil kedua, kelompok kesukuan berkembang semakin jelas dengan orientasi
politik dan ekonomi. Kalangan Yaman mewakili demi literisasi Arab yang berasimilasi
dengan mata pencaharian sipil dan yang menjadi penghuni perkotaan dengan kesibukan
perdagangan atau menjadi tuan tanah atau sebagai petani di wilayah perkampungan. Orang-
orang Arab ini menerima asimilisasi antara Arab dan non Arab dalam kemiliteran dan
memberikan akomodasi terhadap kepen tingan pemeluk Islam yang baru.

Mereka lebih menginginkan kehidupan damai daripada terus menerus dalam


peperangan ekspansional. Mereka menghendaki persamaan finansial antara Arab dan
pemeluk Islam yang baru dan mereka menghendaki desentralisasi kekuasaan khilafah.
Mereka lebih menekankan corak Islami daripada identifikasi corak yang khas Arab.

Sebaliknya Qays mewakili kalangan Arab yang tetap aktif dalam militer dan
menggantungkan pendapatannya pada kegiatan penaklukan, administrasi kepemerintahan dan
pendapatan pajak. Mereka cenderung kepada sistem sentralisasi kekuasaan politik, ekspansi
militer dan pelestarian privilise Arab.

Dalam periode Abdul Malik sampai Hisyam, khilafah mempertahankan sebuah


keseimbangan yang nyaris kritis ditengah-tengah persaingan inter tersebut dan peperangan
pun akhirnya berkobar juga pada masa pemerintahan Umar II (717 – 720) . Umar II cukup
genius dalam menghadapi situasi ini secara realistis dan mengajukan solusi yang terbaik.
Umar II menyadari bahwa dominasi sebuah etnis terhadap etnis lainnya adalah suatu yang
anakronistik, orang-orang yang menjalani tugas kemiliteran, sekaligus staf pe merintahan,
atau kelompok pedagang dan seniman yang memprakasai penyebaran Islam, haruslah diakui
kesetaraan mereka dalam pemerintahan imperium.

Antagonisme antara Arab dan Non Arab harus dihapuskan menjadi sebuah kesatuan
muslim yang univer sal. Dalam pandangan Umar II, problem ini bukanlah semata mata untuk
kepentingan muslim sambil mempertahankan supremasi kelompok Arab, tapi sebaliknya
imperium ini tidak akan bertahan bila merupakan imperium Arab saja. Tetapi ia harus
menjadi sebuah imperium bagi seluruh warga muslim.

2. Sistem Sosial (Arab dan Mawali)

Beberapa kebijakannya yang aktual, Umar II memperlihatkan sebuah pendekatan


pragmatis yang disinari oleh prinsip tertentu. Tujuan yang hendak dicapai tidak sekedar untuk
memenuhi klaim penduduk Islam baru (mawali) melainkan juga untuk mendamaikan tuntutan
mereka dalam kepentingan negara. Umar II bermaksud memenuhi gugatan kelompok mawali
yang turut berperang bersama dengan kelompok Arab dengan menerima sepenuhnya tuntutan
mereka bahwa seluruh pasukan muslim yang aktif, baik Arab maupun Mawali, berhak terlibat
peran dalam diwan diwan.

Di Khurasan, Umar II menetapkan keterlibatan 2000 Mawali. Ia juga memberlakukan


sebuah prinsip baru dalam sistem perpajakan yang didasarkan pada azas persamaan antar
muslim, bahkan menerapkan prinsip tersebut sedemikian rupa sehingga menjaga kepentingan
rezim.

Sementara itu mengenai tuntutan muslim non Arab (Mawali) terhadap pembebasan
pajak jiwa dan pajak tanah sebagai bentuk persamaan dengan kelompok Arab, khalifah Umar
II menetapkan bahwa pajak bukan sebuah fungsi dari status individual.

Kelompok Mawali diharapkan membayar pajak tanah dan demikian pula tuan-tuan
tanah Arab harus membayarnya secara penuh. Jadi, beban pungutan pajak dipersamakan,
bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni pada sebuah biaya yang dikeluarkan oleh
tuan-tuan tanah Arab. Mengenai pajak jiwa, Umar II menetapkan sebuah prinsip, yang sering
kali tidak diperhatikan bahwasanya pajak tersebut hanya dipungut pada Mawali saja.
Penghuni tetap dari kalangan Arab dan Mawali dibebaskan dari pungutan pajak ini, namun
pada saat yang bersamaan mereka semua dianjurkan mengeluarkan sedekah atau apa yang
dikenal sebagai zakat (pajak muslim), yang merupakan bagian dari konvensasi terhadap
berkurangnya pendapatan negara dari sektor pajak jiwa.

Khalifah-khalifah berikutnya berusaha menerapkan prinsip ini, namun hanya


membawa kemajuan yang sangat kecil. Selama periode akhir dinasti Umayyah, interes
perdamaian dan keadilan bertentangan dengan interes umuk mempertahankan status quo dan
kebijakan kekhalifahan berkisar antara konsesi pajak dan pembatalan konsesi tersebut.

Penyusupan warga non Arab ini menimbulkan reaksi penting pada masyarakat Arab.
Orang-orang Arab berusaha menyerap kalangan pendatang baru ke dalam struktur klan lama
sebagai klien. Konsep klien ini merupakan warisan Arabia pra Islam, dimana seorang klien
merupakan sekutu inferior dari sebuah klan Arab; keturunan mereka juga berstatus sebagai
klien. Mawali menerima sokongan dan perlindungan dan harus dibantu dalam perkawinan.
Perlindungan pihak Arab yang berkuasa mesti ditukar dengan loyalitas Mawali yang
berstatus lebih rendah. Sekalipun demikian, lantaran mereka menampung kelompok Mawali.

Klan-klan Arab semakin melemah unit kekerabatannya dan semakin banyak terbentuk
kelompok politik dan ekonomi yang dibangun mengitari sebuah kerabat inti. Gap antara
kalangan aristokratik dan klan-klan kampung semakin meluas. Sebagai contoh, di dalam suku
Tamin, klan bangsawan menerima orang-orang yang semula sebagai kesatria Persia sebagai
klien mereka, sedang suku lainnya menerima pekerja budak dan tukang tenun sebagai klien
mereka.
Perwalian ini juga menimbulkan konflik kelas antara Mawali dan tuan-tuan mereka.
Bahkan Mawali yang menjalankan tugas secara profesional di medan perang, di bidang
administrasi, perdagangan, obat-obatan dan di bidang kehidupan keagamaan berkedudukan
sebagai kelas sosial yang inferior. Mereka dikerahkan secara ekonomis dan tidak dapat
menikah dengan warga Arab, demikian pula keturunan mereka. Tentara-tentara Mawali yang
sangat gigih menentang pengucilan dari urusan keuangan militer (diwan), sebab peran
menanganan urusan keuangan bukan saja sangat me nguntungkan secara finansial, tetapi
tugas ini merupakan sebuah simbol privilise sosial kelompok Mawali menghendaki terlibat
penuh sebagai kalangan elite, tetapi bagi kalangan Arab keinginan seperti ini sungguh-
sungguh tidak dapat dipertimbangkan. Mereka bersikeras terhadap status dan privilise mereka
dan menenteng peran penting klien dalam bidang militer dan administrasi, ketekunan mereka
beragama dan kemahiran dalam berdagang dan berpegang teguh terhadap bayangan
keunggulan bangsa Arab

Di dalam pusat-pusat perkampungan militer sebuah elite baru keagamaan melepaskan


diri dari otonomi yang dijalankan khilafah. Berbagai perkampungan tersebut meleburkan
warga Arab dan non Arab menjadi komunitas baru yang terdiri dari klas menengah, dari
kalangan pedagang, seniman, guru dan sarjana yang mengabdikan diri kepada sebuah
identitas Islam yang khas. Sebagian dari warga tersebut adalah keturunan Badui Arab, tetapi
setelah satu abad dari proses pengapungan ini mereka sepenuhnya telah menjadi masyarakat
perkotaan. Sebagian lainnya adalah warga non Arab, pemeluk Islam baru dan klien bangsa
Arab, yang berbahasa Arab dan mengasimilasikan diri mereka ke dalam kesukuan, tradisi,
keagamaan dan kesukuan elite penakluk.

3. Sistem Militer

Beberapa khalifah Umayyah masa akhir, sejak Abdul Malik sampai Hisyam (724-
743) membangun sebuah pemerintahan kerajaan yang tidak berdasarkan unsur Arab
melainkan berdasarkan kekuatan militer Syiria, peningkatan kekuatan dan rasionalisasi
pejabat-pejabat administratif dan berdasarkan sebuah ideologi kesetiaan terhadap negara. Jika
kekhalifahan pada awalnya merupakan serial pemerintahan individual yang sangat
bergantung kepada pribadi khalifah yang saleh atau sifat-sifatnya yang terteladani, maka
khilafah yang baru merupakan sebuah institusi yang terlepas dari pejabat-pejabat yang
individual. Umayyah telah mengalihkan kekhilafahan menjadi sebuah rezim negara, namun
pada saat yang sama mereka juga tetap menjaganya, menjadi sebuah simbolisme imperium
yang merupakan warisan Islam yang jelas.

Rezim baru ini menekankan orientasinya kemiliteran dengan kader-kader baru di


bidang pemerintahan Abbasiyah melepaskan privilise kemiliteran bangsa Arab dan menum
buhkan sebuah kekuatan militer baru yang direkrut dan diorganisasikan sedemikian rupa
sehingga mereka harus loyal kepada dinasti semata dan tidak kepada kepentingan kesukuan
atau kasta tertentu, sekalipun pasukan Arab tetap berperan di dalamnya. Pihak Umayyah telah
menggantikan kedudukan kekuatan utama Arab dengan tentara Syria, yakni kelompok non
Arab yang telah memeluk Islam atau sebagai kelompok Mawali, dan bahkan beberapa
kekuatan lokal yang non Arab, non muslim. Namun Umayyah tidak pernah mampu
menyatakan secara jelas peralihan dari kemiliteran bangsa Arab kepada pola kemiliteran
profesional, baik secara prinsip maupun dalam praktik yang penuh. Sepanjang periode
Umayyah kekuatan Arab tetap membutuhkan penaklukan dunia sepanjang mereka mampu
mengerjakannya.

Dengan kematian Hisyam pada 743 rezim Umayyah menjadi goncang dan kelompok
keluarga Ali, Abbasiyah, Kharijiyah, kelompok-kelompok kesukuan dan para gubernur yang
tersisihkan, semuanya dalam keadaan percekcokan. Faktor-faktor kegoncangan ini antara lain
karena faktor kepayahan atau keletihan militer pemerintahan dari kalangan warga Syria.
Beberapa khalifah Umayyah masa belakangan berusaha meningkatkan peranan militer Syria
untuk menguasai kelompok Arab lainnya. Dan memperkuat pasukan tempur pada beberapa
wilayah perbatasan impe rium dengan tentara-tentara yang cakap, profesional dan tentara
yang tangguh dan pantang mengeluh.

Pusat-pusat militer mengirimkan tentara Syria ke wilayah-wilayah tersebut bersiaga


dalam peperangan dimana ketika itu pasukan Arab tengah menarik mundur. Pasukan bangsa
Turki mendesak bangsa Arab keluar dari Transoxiana. Khazars, masyarakat nomadik yang
tinggal di Caucasus, mengalahkan pasukan Arab di Ardabil, menyerbu Armenia dan
menguasai wilayah-wilayah sampai sejauh Mosul pada tahun 730. Pada tahun 740
kemenangan gemilang Yunani atas serbuan Arab di Acrazas, Anatolia dan berhasil
menghancurkan sebagian besar militer Syria yang terdiri dari 27.000 laki-laki. Sisa dari
pasukan ini melarikan diri ke Spanyol, di mana kelompok pasukan kecil ini turut menegakkan
kekuasaan dinasti Umayyah di Spanyol. Sejumlah kekalahan ini mengakhiri face imperial
dari bangunan imperium Arab dan menjadikan militer Syria dalam keadaan yang parah.
Marwan ibn Muhammad (744-750), yang semula menjadi gubernur Armenia,
menerima, dukungan kalangan atasan dan mengklaim gelar khalifah, sekalipun demikian,
selain dari kalangan militer yang setia kepadanya, tidak ada seorangpun yang menerima
klaim Marwan sebagai pemerintah yang sah. Otoritasnya berpengaruh sebatas kalangan
militer.

4. Sistem Fiskal

Abdul Malik dan al-Walid menyusun peralihan pejabat pejabat pajak dari orang-orang
yang berbahasa Yunani dan Syria kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Catatan-catatan
ringkas, penyalinan dan laporan sekarang muncul dalam bahasa Arab. Perubahan-perubahan
ini berlangsung di Iraq pada 697, di Syria dan Mesir pada 700, setelah beberapa tahun
berlangsung di Khurasan, Selanjutnya khalifah mengadakan pengorganisasi keuangan di
berbagai daerah.

Pada masa khalifah Umar II (717-720), khalifah mengusulkan sebuah revisi yang
penting mengenai aturan dan beberapa prinsip perpajakan untuk menghilangkan
ketidakseragaman yang lebih besar dan demi persamaan. Khalifah Hisyam (724 743)
berusaha menerapkan kebijakan Umar II di wilayah Khurasan, Mesir, Mesopotamia.
Administrasi Umayyah juga mulai mengembangkan sebuah identitas organisasional. Pada
dekade pertama imperium Arab, hal-hal yang berkenaan dengan administrasi di
selenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa Yunani dan. Persia, merupakan warisan dari
imperium sebelumnya. Sekalipun demikian pada sekitar tahun 700, sebuah generasi baru dari
klien-klien Arab yang mencapai kekuasaan berpengaruh, sekalipun mereka telah dididik
menjadi pegawai dan agar setia kepada khilafah.

Khalifah juga menunjuk seorang wazir yang bertugas untuk menyita kekayaan
pejabat. Sejumlah harta kekayaan itu harus dikembalikan ke negara. Dewan khusus yang
menangani penyitaan harta kekayaaan, yaitu Diwan al Mushadarat untuk menangani
penyitaan tanah dan Diwan al-Marafiq untuk menangani harta kekayaan hasil suap. Untuk
mengatasi hasil korupsi, pemerintah pusat dipaksa menyediakan sarana administratif yang
baru, untuk memulihkan kerugian politik dan financial yang disebabkan oleh sistem birokrasi
yang korup. Sebuah metode yang diterapkan adalah dengan mendistribusikan iqtha' kepada
tentara, pegawai-pegawai istana dan para pejabat yang terlibat dalam pengumpulan pajak dari
hasil pertanian.
Pelelangan hak iqtha' merupakan dari awal kepemilikan tanah yang luas yang dapat
menyerap sejumlah pemilik tanah kecil dan kelompok petani bebas. Kaum petani di bawah
tekanan biro perpajakan berharap dapat berlindung kepada pemegang hak iqtha' yang
berpengaruh dan melepaskan tanah-tanah mereka. Praktek semacam ini disebut Talija
(harapan) atau bimaya (proteksi).

Selain petani kecil yang dikenai pajak, relatif semakin sedikit, pada sisi lain
pemerintah berhadapan dengan bangsawan pemilik tanah lokal yang mereduksi kewajiban
administrasi kepada kewajiban mengumpulkan pajak, berdasarkan pembayaran atas
kesepakatan bersama.

D. Masa Dinasti Umayyah Timur Dan Barat Serta Capaiannya

Salah satu dinasti penting yang ikut mewarnai sejarah perdaban islam adalah Dinasti
Umayyah. Dinasti ini berdiri pada tahun 661-750 M. Meskipun Dinasti ini kurang dari satu
abad tetapi capaian ekspansi sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari
pusat kekuasaan islam dilakukan dalam waktu kurang dari setengah abad. Ini tentu
merupakan kemenangan yang sangat menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak
pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai

Berdirinya Dinasti Umayyah tidak bisa dilepaskan dari sosok Mua’wiyah ibn Abi
Sofyan. Ia memeluk agama islam pada usia yang masih muda, jauh sebelum keluarga Abu
Sofyan lainnya memeluk agama islam. Mu’awiyah lahir empat tahun menjelang Muhammad
diangkat menjadi Rasul, ada juga yang mengatakan dua tahun sebelum Rasul diangkat atau
15 tahun sebelum hijrah. Mu’awiyah termasuk sahabat dekat dengan Rasulullah.

Mu’awiyah mendapat kepercayaan dari Rasul untuk menulis al-Qur’an dan pernah
ikut bersama Rasul hijrah ke Madinah. Kesetiaan yang diperlihatkan oleh Mu’awiyah
terhadap islam, adalah mempertaruhkan nyawanya di beberapa medan pertempura dan
bahkan berhadapan dengan ayahnya sendiri, yaitu pada saat penaklukan Mekkah. Prestasi
Mu’awiyah dari ke hari yang semakin menjadikan dirinya dijadikan sebagai gubernur
Damaskus di zaman khalifah Usman. Pengaruh yang dimiliki Mu’awiyah di Damaskus ini,
sangat mendukung usahanya untuk menjadi khalifah. Hal ini terlihat dari dukungan
Damaskus diperolehnya untuk melawan kekhalifah Ali bin Abi Thalib.
Awal pendirian dinasti ini, berawal dari masalah tahkim yang menyebabkan
perpecahan di kalangan pengikut Ali, yang berakhir denga kematiannya. Sepeninggal Ali itu
sebenarnya masyarakat secara beramai-ramai membaiat Hasan, putra Ali, menjadi khalifah.
Tetapi Hasan memang kurang berminat untuk menjadi khalifah. Karena itu setelah Hasan
berkuasa beberapa bulan, Mu’awiyah meminta agar jabatan khalifah diberikan kepadanya,
Hasan dengan memberikan beberapa persyaratan, dengan rela itu dilimpahkan kepada
Mu’awiyah. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah amul jama’ah atau tahun persatuan
umat islam.

Sejak peristiwa amul jama’ah itu, Mu’awiyah resmi menjadi khalifah baru umat islam
yang berpusat di Damaskus. Perbedaan yang mencolok dinasti ini dengan Khulfaur Rasyidin
adalah terletak pada pergantian pemimpin yang dilakukan  secara turun menurun. Ini trrlihat
seblum Mu’awiyah meninggal, dia sudah menyiapkan Yazid ibn Mu’awiyah, sebagai putra
mahkota menggantikan dirinya. Mu’awiyah sebagai khalifah pertama dinasti ini dan dialah
yang dianggap sebagai pendiri dan pembina dari dinasti Umayyah.

1. Para Khalifah Dinasti Umayyah Timur (661-750 M)

Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun,
dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara meeka ada
pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak
zamannya, sebaliknya adapula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah
Umayyah adalah sebagai berikut:

a. Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (86 - 96 H / 705 - 714 M)


(41 - 60 H / 661 - 679 M) g. Sulaiman bin Abdul Malik
b. Yazid I bin Mu’awiyah (96 - 99 H / 714 - 717 M)
(60 - 64 H / 679 - 683 M) h. Umar bin Abdul Aziz
c. Mu’awiyah II bin Yazid (99 - 101 H / 717 - 719 M)
(64 H / 683 M) i. Yazid II bin Abdul Malik
d. Marwan I bin Ahkam (101 - 105 H / 719 - 723 M)
(64 - 65 H / 683 - 684 M) j. Hisyam bin Abdul Malik
e. Abdul Malik bin Marwan (105 - 125 H / 723 - 142 M)
(65 - 86 H/684-705 M) k. Al-Walid II bin Yazid II
f. Al-Walid I bin Abdul Malik (125 - 126 H / 742 - 723 M)
l. Yazid bin Walid bin Malik (126 - 127 H / 743 - 744 M)
(126 H / 7 M) n. Marwan II bin Muhammad
m. Ibrahim bin Al-Walid II (127 - 132 H / 744 - 750 M)

2. Pencapaian Bidang Peradaban


Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah
dilakukan masa kekuasaan sebelumnnya, yaitu masa kekuasaan khulafaur rasyidin. Dalam
bidang peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah
pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab
sebagai media utamanya. Menurut Jurji Zaidan beberapa kemajuan dalam bidang
pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:

a. Pengembangan Bahasa Arab f. Ilmu Fiqh


b. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu g. Ilmu Nahwu
c. Ilmu Qiraat h. Ilmu Jughari dan Tarikh
d. Ilmu Tafsir i. Usaha Penerjemahan
e. Ilmu Hadits

3. Masa Dinasti Umayyah Barat (711-1492 M)

Sejak pertama kali islam menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga masa jatuhnya,
islam memainkan peran yang sangat besar. Islam di Spanyol telah berkuasa selama tujuh
setengan abad. Menurut Dr. Badri Yatim, sejarah panjang islam di Spanyol dibagi dalam
enam periode, yaitu:

a. Periode Pertama (711-755 M)


Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh
khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini politik negeri
Spanyol belum tercapai secara sempurna. Karena adanya gangguan dari dalam yaitu
berupa perselisihan di antara penguasa elite. Disamping itu, terdapat perbedaan
pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di
Kairawan. Adapun gangguan yang datang dari luar yaitu datangnya sisa-sisa musuh
islam di Spanyol yang tinggal di daerah pegunungan.
b. Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol, tahun 138
H/755 M dan diberi gelar Abdurrahman Ad-Dakhil. Abdurrahman Ad-Dakhil adalah
keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kerajaan Bani Abbasiyah ketika
Bani Abbasiyah berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya Ad-
Dakhil berhasil mendirikan Dinastu Umayyah di Spanyol. Saat periode ini, umat
islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan baik dalam bidang politik maupun
peradaban. Abdurrahman Ad-Dakhil mendirikan Masjid Cordova dan sekolah-sekolah
di kota-kota besar Spanyol.
c. Periode Ketiga (912-1013 M)
Pada periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar
“An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok”. Pada periode ini Spanyol
diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah. Pada periode ini umat islam di
Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi daulah Abbasiyah di
Baghdad. Abdurrahman An-Nashir mendirikan Universitas Cordova.
Perpustakaannya memiliki ratusan ribu buku. Pada masa ini, masyarakat dapat
menikmati kesejahteraan dan kemakmuran yang tinggi.
d. Periode Keempat (1013-1086)
Pada masa ini Spanyol sudah terpecah-pecah menjadi beberapa negara kecil yang
terpusat di kota-kota tertentu. Bahkan pada periode ini Spanyol terpecah menjadi
lebih dari 30 negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-
Mulukuth Thawaif yang berpusat disuatu kota seperti Sevilla, Cordova, Toledo, dan
sebagainya. pada periode ini umat islam di Spanyol kembali memasuki pertikaian
intern. Ironisnya jika terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai
itu yang meminta bantuan kepada raja-raja kristen. Namun, walupun demikian,
kehidupa intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para
sarajana dan sastrwn untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
e. Periode kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara,
tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan yakni kekusaan Dinasti Murabithun
(1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada
mulanya adalah sebuah agama yang didirikan oleh Yusuf bin Tasyfin  di Afrika Utara.
Pada tahun 1062 M. Ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di
Marakesy. Dan akhirnya dapat memasuki Spanyol dan menguasainya. Dalam
perkembangan selanjutnya, pada periode ini kekuasaan islam di Spanyol dipimpin
oleh penguasa-penguasa lemah sehingga mengakibatkan beberapa wilayah islam
dikuasai oleh kaum kristen. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa kristen
dan Sevilla jatuh pada tahun 1248 M. Hampir seluruh wilayah Spanyol islam lepas
dari penguasa islam.
f. Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, islam hanya berkuasa di Granada di bawah Dinasti Ahmar (1232-
1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman
An-Nashi. Akan tetapi, sacara politik Dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang
kecil. Kekuasaan islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini karena
perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah
Muhammad merasa tidak senang dengan ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain
sebagai penggantinya menjadi raja. Ia memberontak dan berusaha merampas
kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh
Muhammad bin Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta kepada ferdinand dan
Ishabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa kristen ini dapat mengalahkan
penguasa yang sah, dan abu Abdullah naik tahta.
Ferdinand dan Ishabella akhirnya mempersatukan dua kerajaan besar kristen melalui
perkawinan, dan akhirnya mereka menyerang balik terhadap kekuatan Abu Abdullah.
Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan penguasa kristen tersebut
sehingga akhirnya kalah. Abu Abdullah akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada
Ferdinand dan Ishabella, sedangkan Abu Abdullah hujrah ke Afrika Utara. Dengan
demikian berakhirlah kekuasaan islam di Spanyol pada tahun 1492 M. Pada tahun
1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat islam di wilayah ini. Walaupun islam
telah berjaya dan dapat berkuasa di Spanyol selama hampir tujuh setengah abad
lamanya.
4. Beberapa pencapaian dalam berbagai bidang
a. Kemajuan Intelektual

1) Filsafat
Perkembangan filsafat di Andalusia dimulai sejak abad ke-8 hingga abad ke-
10. Manuskrip-manuskrip Yunani telah diteliti dan diterjemahkan ke dalam
bahasa arab. Pada masa khalifah Abbasiyah, Al-Manshur (754-755 M) telah
dimulai aktifitas penerjemahan hingga masa khalifah Al-Makmun (813-833
M).
2) Sains
Sains yang terdiri dari ilmu-ilmu kedokteran, fisika, matematika, astronomi,
kimia, botani, zoology, geologi, ilmu obat-obatan juga berkembang dengan
baik. Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat
melahirkan banyak pemikir terkenal.
3) Bahasa dan Sastra
4) Music dan Kesenian
Music dan kesenian pada masa Islam di Spanyol sangat masyhur. Music dan
seni banyak memperoleh apresiasi dari para tokoh penguasa istana.

b. Bidang keilmuan keagamaan


1) Tafsir
Salah satu musafir yang terkenal dari Andalusia adalah Al-Qurtubi Nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad in Ahma bin Abu Bakr bin Farh
Al-Anshari Al- Khazraji Al-Andalusi (wafat 1273 M).
2) Fiqih
Dalam bidang fiqih, Spanyol Islam dikenal sebagai pusat penganut madzhab
maliki. Adapun yang memperkenalkan madzhab ini di Spanyol adalah Ziyad
bin Abd Ar-Rahman.

c. Kemajuan dibidang arsitektur


Kemegahan bangunan fisik Islam Spanyol sangat maju, dan mendapat perhatian umat
dan penguasa. Umumnya bangunan-bangunan di Andalusia memiliki nilai arsitekstur
yang tinggi.

1) Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam yang kemudian diambil alih
oleh dinasti umayyah. Jembatan besar dibangun diatas sungai yang mengalir
di tengah kota. Taman-taman untuk mengisi ibu kota Spanyol Islam itu.
2) Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat islam di Spanyol. Disini
berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir islam.
3) Sevila
Kota sevila dibangun pada masa pemerintahan al muwahidin, Sevila pernah
menjadi ibu kota yang indah bersejarah.

  
DAFTAR PUSTAKA

Achsin. Mohamad, Sumbangan Kebudayaan Islam Kepada Ilmu dan kebudayaan, Bandung:
pustaka, 1986.

Armand, Abet, Dalam Islam Kesatuan dan Keberagaman, : Jakarta Yayasan Perhidmatan,
1993, Cet ke 1.

AI-Askandari, Umar dan Savidji Ag, Tarikh Meir, Kairo: Maktabah Madbuli, 1996.

Al-Basya, Hasan, Dirasat Fi Tarihk al-Daulah al-Abbasiyah, Kairo Dar al-Nandlah al-
Arabiyah, 1975.

Al-Jahrani, Muhammad, Musshfar, Nizaam al-Wuzarah fi al Daulah al-Abbasiyah, Beirut:


Muwassa'ah al-Risalah, 1980.

Amin. Ahmad, Dhuha al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt, Jilid II.

AJ-Din. Jamal, Surur, Al-Hayat al Siyasaah fi al-Daulah al Arabiyah, Kairo: Dar al-Fikr,
1975.

Al-Thabary, Tarikh al-Umam wal al-Mulk, Beirut: Dar al Fikr, 1979, Jilid IV.

Abidin, Zainal, Ahmad, Sejarah Islam dan Ummat nya, Jakarta : Bolan Bintang, 1977, Jilid
III.

Abdullah, Taufik (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia,
1991.

Ali. A. Mukti dkk, (Ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Depag, RI, 1988.

Anda mungkin juga menyukai