Puji dan syukur peserta panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tim penyusun dapat
menyelesaikan Modul Praktikum Perpajakan yang akan menjadi acuan dosen dan
mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Perpajakan di Program Studi
Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Teuku Umar.
Modul praktikum perpajakan ini mempelajari praktik perpajakan tentang
Akuntansi perpajakan
Pada kesempatan ini Tim Penyusun mengucakapkan terima kasih dan
penghargaan atas partisipasi aktif kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam
penyusunan modul ini. Semoga keberadaan modul ini dapat membantu pihak-
pihak yang berkepntingan dalam melaksanakan perkuliahan mata kuliah
perpajakan.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Pembukuan .............................................................................................................................................. 19
MODUL PRAKTIKUM
PERPAJAKAN
Oleh:
Mengetahui,
Ketua Program Studi,
PENDAHULUAN
1. P.J.A Adriani :
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
3. UU KUP
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakayat.
Dokumen
Dasar Perundangan-undangan
Neraca perpajakan dan peraturan
pelaksanaannya
Daftar Perhitungan
Rekonsiliasi Fiskal Laba Rugi Fiskal
Laba Rugi
Penghasilan Kena
Beda Waktu
Pajak
Atau:
Temporary
Differences
Deferred Tax
Expense
(Income)
Net Deferred
Income
Balance Sheet Tax
Statement
(Beginning)
HUBUNGAN AKUNTANSI KEUANGAN
DENGAN AKUNTANSI PAJAK
Contoh.
Pemberian dalam bentuk natura berupa pengobatan
karyawan ke dokter atau rumah sakit yang ditunjuk perusahaan
menurut Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh tidak boleh dikurangkan
dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, sedangkan
menurut akuntansi komersial boleh dikurangkan. Akibat adanya
perbedaan perlakuan tersebut, maka laba fiskal akan berbeda
dengan laba komersial sepanjang hidup perusahaan.
PEMBUKUAN
1. Pengertian
Setiap Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan, karena
pembukuan adalah sarana bagi wajib pajak untuk mencatat dan
melaporkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukannya sebagai
basis penghitungan dasar pengenaan pajak. Dalam Pasal 1 butir (29)
UU KUP, diberikan pengertian pembukuan yaitu “suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
tahun pajak berakhir”.
2. Penyelenggaraan Pembukuan.
Penyelengaraan pembukuan/pencatatan yang baik merupakan
hal yang esensial bagi pengusaha, demikian juga untuk keperluan
perpajakan. Karena demikian pentingnya pembukuan itu bagi
keperluan perpajakan, maka UU KUP mengatur tentang
penyelenggaraan pembukuan yang meliputi kewajiban
penyelengaraan, persyaratan, cakupan, sistem atau cara
penyelengaraan, penyimpanan , dan sanksi.
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP ditentukan bahwa setiap
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan.
Namun demikian perlu dimaklumi bahwa penyelengaraan
pembukuan membutuhkan kesiapan baik dilihat dari biaya maupun
tenaga yang untuk tingkat pengusaha tertentu masih dirasakan
cukup berat. Agar tidak membebani masyarakat di luar
kemampuannya undang-undang memberikan kemudahan bagi
kelompok Wajib Pajak yang belum siap tersebut. Kesiapan
pengusaha diukur dengan jumlah peredaran usaha (
turnover) selama setahun. Peredaran usaha yang menunjukkan
skala aktivitas pengusaha dianggap merupakan ukuran yang paling
dapat diterima untuk menentukan kesiapan pengusaha dalam
menyelenggarakan pembukuan. Dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP
ditentukan pengecualian dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan yaitu : (a) Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yaitu Wajib
Pajak yang peredaran usaha brutonya dalam setahun kurang dari
Rp 4.800.000.000 dan (b) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
3. Persyaratan Pembukuan.
Penyelengaraan pembukuan dan teknik pencatan sangat
bervariasi mulai dari yang paling sederhana atau konvesional
sampai dengan yang paling canggih. Juga skala kegiatan perusahaan
sangat bervariasi, ada dalam skala kecil, menengah dan besar.
Cakupan wilayah kegiatan usaha ada bersifat lokal, regional,
nasional, dan manca negara.Selain itu bidang usaha yang dijalankan
juga sangat bervariasi. Hal itu semua akan mengakibatkan
kompleksitas penyelenggaraan pembukuan. Untuk menghindarinya
agar tidak terjebak, maka ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tidak mengatur secara rinci teknik dan proses
penyelenggaraan, tetapi menyerahkannya kepada profesi. Untuk
mengamankan kebijakan dan tujuan sistem perpajakan, maka
ketentuan perundang-undangan perpajakan menentukan
persyaratan sebagai berikut :
a. Landasan Pokok
Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan
itikad baik dan mencerminkan kegiatan usaha. Dimensi itikad
baik merupakan landasan kebenaran pembukuan. Pembukuan
yang benar merujuk kepada penyelenggaraan sesuai
sebagaimana adanya atau seharusnya, betul, tidak
mengandung kesalahan, dan cocok dengan keadaan yang
sebenarnya dan andal ( reliable).
b. Persyaratan Teknis
(1) Diselenggarakan di Indonesia;
(2) Menggunakan huruf Latin dan angka Arab;
(3) Menggunakan mata uang rupiah dan mata uang asing selain
rupiah yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;
(4) Dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
533/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 196/PMK 03/
2007, Peraturan Dirjen Pajak Nomor : 11/PER/2010, dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 bahasa asing dan
mata uang asing yang diizinkan dalam penyelenggaraan
pembukuan adalah bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika
Serikat. Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika
Serikat adalah :
(a) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA)
yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundang-
undangan PMA;
(b) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi
berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan pertambangan selain pertambangan
minyak dan gas bumi;
(c) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan
pertambangan minyak dan gas bumi
(d) Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (5) UU PPh atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda ( P3B);
(e) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik
sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri
(f) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana
dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan
telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan
Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga
Keuangan;
(g) Wajib Pajak yang berafliasi dengan perusaan induk di luar
negeri yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang
dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent
company) di luar negeri yang mempunyai hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
huruf a dan huruf b UU PPh.
(h) Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata
uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia.
Catatan.Berdasarkan PSAK 10, yang dimaksud dengan mata uang
fungsional adalah mata uang pada lingkungan ekonomi
utama di mana entitas beroperasi. Lingkungan ekonomi
utama di mana entitas beroperasi adalah lingkungan entitas
tersebut utamanya menghasilkan dan mengeluarkan kas.
Entitas mempertimbangkan faktor berikut dalam
menentukan uang fungsionalnya:
a.mata uang :
(i.) yang paling mempengaruhi harga jual barang dan jasa (
mata uang ini seringkali menjadi mata uang yang harga
jual barang dan jasa didenominasikan dan
diseleselesaikan )
(ii) dari negara yang kekuatan persaingan dan peraturannya
sebagian besar menentukan harga jual barang dan jasa
entitas.
b.mata uang paling mempengaruhi biaya tenaga kerja,
bahan baku, dan biaya lain dari pengadaan barang atau
jasa ( mata
uang yang seringkali menjadi mata uang yang mana biaya
tersebut didenominasikan dan diselesaikan )
Mata uang penyajian adalah mata uang yang digunakan
dalam penyajian laporan keuangan.
.
. Selanjutnya ditentukan bahwa Wajib Pajak dalam rangka
Kontrak Karya dan Wajib Pajak Kotraktor Kerja Sama yang
akan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris
dan mata uang Dollar Amerika Serikat tidak perlu mendapat
izin secara tertulis dari Menteri Keuangan, tetapi cukup
memberitahukannya secara tertulis ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tiga bulan
sebelum tahun buku yang diselenggarakan dalam bahasa
Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat tersebut
dimulai. Sedangkan Wajib Pajak lainnya jika
menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan
mata uang Dollar Amerika Serikat harus terlebih dahulu
mendapat izin secara tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
atas nama Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan dan
lampirannya wajib disampaikan dalam bahasa Indonesia
kecuali lampirannya berupa laporan keuangan, dan dalam
mata uang Dollar Amerika Serikat.
4. Cakupan Pembukuan.
Dalam Pasal 28 ayat (7) UU KUP ditentukan bahwa
pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta pembelian
dan penjualan, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang
terutang. Sebenarnya perkataan atau istilah “sekurang-
kurangnya” dalam Pasal 28 ayat (7) tersebut kurang tepat
karena perkataan atau istilah “sekurang-kurangnya”
mengandung konotasi atau pengertian setidak-tidaknya sehingga
masih ada pencatatan yang belum tercakup, padahal jika
pencatatan sudah mencakup harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, pembelian dan penjualan , tidak ada lagi
yang luput dicatat. Perkataan atau istilah sekurang-kurangnya ini
tidak sejalan dengan pengertian pembukuan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 butir 29 UU KUP. Istilah sekurang-
kurangnya ini terbawa dari ketentuan yang terdapat dalam
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 UU KUP. Perkataan atau istilah sekurang-kurangnya
dalam kedua ketentuan tersebut adalah tepat karena digunakan
dalam konteks “ pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari
catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan
bank, daftar hutang piutang, dan daftar persediaan barang.
A. Pendapatan (Revenues)
1. Pengertian
2. Pengukuran
Pendapatan diukur dalam satuan nilai tukar produk/jasa dengan
nilai yang wajar yang diterima atau dapat diterima dalam suatu
transaksi yang wajar (arm’s length transactions). Nilai tukar
tersebut menunjukkan ekuivalen kas atau nilai diskonto tunai
dari uang diterima atau akan diterima dari transaksi penjualan.
Jika barang atau jasa dipertukarkan untuk barang atau jasa
dengan sifat dan nilai yang serupa, maka pertukaran tersebut
tidak dianggap sebagai transaksi yang menghasilkan pendapatan,
Hal ini sering terjadi pada komoditas seperti minyak atau susu
ketika penyalur menukarkan persediaan di beberapa lokasi untuk
memenuhi permintaan secara tepat waktu dalam suatu lokasi
tertentu. Jika barang dijual atau jasa diberikan dengan barang
atau jasa yang tidak serupa, maka pertukarn tersebut dianggap
sebagai transaksi yang menghasilkan pendapatan. Pendapatan
tersebut diukur pada nilai wajar dari barang atau jasa yang
diterima, disesuaikan dengan jumlah kas atau setara kas yang
dialihkan. Jika nilai barang atau jasa yang diterima tidak dapat
diukur secara andal, maka pendapatan tersebut diukur pada nilai
wajar dari barang atau jasa yang diserahkan, disesuaikan dengan
jumlah kas atau setara kas yang dialihkan.
Rp Pendapatan
Beban
.
b) Saat pengakuan :
Menurut Kieso Cs dalam bukunya“Intermediate Accounting”
pendapatan diakui jika besar kemungkinan ( probable)
manfaat ekonomik masa depan akan mengalir ke
perusahaan dan pengukuran jumlah pendapatan secara andal
mungkin dilakukan. Berdasarkan konsep fundamental
pengakuan pendapatan ini, maka dikembangkan pengkuan
berbagai jenis pendapatan sebagai berikut
1. Selama kegiatan produksi
Pendapatan dapat diakui selama kegiatan produksi,
meskipun produk yang dihasilkan perusahaan masih
dalam proses produksi.
→ Perusahaan konstruksi yang memerlukan
penyelesaian dalam beberapa periode akuntansi.
Taksiran pendapatan dilakukan dengan dua pendekatan :
Persentase Biaya
Persentase Penyelesaian Pisik
2. Saat produksi selesai
Saat pengakuan pendapatan ini pada umumnya dilakukan
terhadap produk yang memiliki harga yang sudah pasti
dan pemasarannya terjamin, misalnya emas, perak,
timah, gandum, dsb.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pengakuan
pendapatan saat produksi selesai yaitu :
a. Harga jual dapat ditentukan dengan cukup tepat.
b. Tidak diperlukan kegiatan/biaya pemasaran yang
cukup material untuk menjual produk tersebut.
c. Harga pokok produk sulit ditentukan.
d. Satuan-satuan persediaan dapat saling dipertukarkan
(barang tidak terpengaruh oleh perubahan bentuk
atau ukuran).
3. Saat penjualan
Pada umumnya perusahaan mengakui pendapatan pada
saat penjualan yang merupakan dasar yang paling jelas
dan objektif. Kapan saat yang tepat dijadikan dasar yang
menandai terjadinya penjualan?
Berdasarkan paragraf 13 PSAK 23 ditentukan bahwa
pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila
seluruh kondisi berikut dipenuhi :
a. entitas telah memindahkan risiko dan manfaat
kepemilikan barang secara signifikan kepada pembeli;
b. entitas tidak lagi melanjutkan pengelolaan yang
biasanya terkait dengan kepemilikan atas barang
ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang
yang dijual;
c. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan
andal;
d. kemungkinan besar manfaat ekonomik yang terkait
dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas;
dan.
e biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan
dengan transaksi penjualan tersebut dapat diukur
secara andal.
Penentuan kapan suatu entitas telah memindahkan
risiko dan manfaat kepemilikan secara signifikan kepada
pembeli memerlukan pengujian atas keadaan transaksi
tersebut. Pada umumnya, pemindahan risiko dan
manfaat kepemilikan terjadi pada saat bersamaan
waktunya dengan pemindahan hak milik atau penguasaan
atas barang tersebut kepada pembeli. Hal ini terjadi pada
kebanyakan penjualan eceran. Dalam kasus lain
pemindahan risiko dan manfaat kepemilikan terjadi pada
saat yang berbeda dengan pemindahan hak milik atau
penguasaan atas barang tersebut.
Jika entitas menahan risiko signifikan dari
kepemilikan, maka transaksi tersebut bukanlah
penjualan dan pendapatan tidak diakui. Entitas dapat
menahan risiko dan manfaat kepemilikan secara
signifikan dengan berbagai cara seperti :
a) bila entitas menahan kewajiban sehubungan dengan
pelaksanaan suatu hal yang tidak memuaskan yang
tidak dijamin oleh ketentuan jaminan normal;
b) bila penerimaan pendapatan dari suatu penjualan
bergantung pada pendapatan pembeli yang
bersumber dari penjualan barang yang bersangkutan;
c) bila pengiriman barang bergantung pada instalasinya,
dan instalasi tersebut merupakan bagian yang
signifikan dari kontrak yang belum diselesaikan oleh
perusahaan;
d) bila pembeli berhak membatalkan pembelian
berdasarkan alasan yang ditentukan dalam kontrak
dan perusahaan tidak dapat memastikan apakah akan
terjadi retur.
4. Saat kas diterima
Digunakan dalam hal terdapat ketidakpastian yang besar
mengenai kolektibilitas piutang yang timbul dari
penjualan barang dan jasa, atau biaya penagihan cukup
tinggi, atau apabila penjualan bukan merupakan
penyelesaian earning process secara substansial.
pengakuan pendapatan dapat ditunda sampai saat
diterimanya kas.
Menurut Ahmed Riahi Belkaoui bukunya “Accounting Theory”,
secara umum pendapatan diakui berdasarkan basis akrual atau
berdasarkan basis peristiwa kritis.
1. Basis Akrual
1.1. Selama kegiatan produksi
Sewa, bunga, dan komisi diakui sebagai pendapatan
berdasarkan perjanjian atau kontrak yang dibuat
sebelumnya yang menjelaskan tentang peningkatan secara
bertahap atas klaim kepada pelanggan.
1.2. Berdasarkan kemajuan kerja atau persentase selesai kontrak
jangka panjang.
1.3. Berdasarkan fee tetap ditambah biaya tertentu.
Pendapatan dari cost plus fixed fee contracts.
1.4. Berdasarkan perubahan aset karena pertumbuhan.
Pendapatan dari minuman keras atau anggur, tanaman
hutan industri, peternakan.
2. Basis Peristiwa Kritis
2.1. Saat penjualan
Digunakan apabila :
(a) Harga produk diakui secara pasti.
(b) Petukaran telah selesai dengan pengiriman barang,
sehingga sudah dapat diketahui biaya yang sudah
dikeluarkan.
(c) Dari segi realisasi, penjualan tersebut dianggap sebagai
kejadian penting.
2.2. Selesai produksi
Digunakan apabila keadaan pasar stabil dan harga
komoditas stabil, serta kejadian penting adalah kegiatan
produksi bukan penjualan, misalnya logam mulia seperti
emas, perak, dan sejenisnya yang harganya relatif stabil.
2.3. Saat pembayaran setelah dilakukan penjualan.
Digunakan apabila penjualan yang akan dilakukan dan
penilaian yang akurat tidak dapat dilakukan atas barang
yang diserahkan tersebut, misalnya penjualan angsuran.
Penjualan Angsuran
Metode pengakuan pendapatan dan/atau penghasilan bruto
yang paling banyak digunakan untuk mengatasi ketidakpastian
yang melingkupi penerimaan kas dari hasil penjualan adalah
metode penjualan angsuran. Dengan metode penjualan angsuran,
penghasilan ( bruto ) diakui pada saat atau dalam proses
terjadinya penerimaan kas dari hasil penjualan, dan tidak pada
saat atau dalam proses terjadinya penjualan. Metode penjualan
angsuran dikembangkan sebagai respon terhadap meningkatnya
kontrak-kontrak penjualan dengan masa pembayaran dalam
beberapa tahun, dengan penyerahan atau pemindahan hak milik
atas barang yang diperjual-belikan baru dilakukan setelah
pembayaran yang terakhir kalinya. Banyak barang-barang
konsumsi seperti misalnya peralatan elektronik, perhiasan,
otomotif, ditawarkan untuk dijual berdasarkan kontrak penjulan
angsuran. Akan tetapi, semakin populernya kontrak penjualan
dengan pembayaran angsuran dalam dunia bisnis, dan semakin
komprehensif-nya penilaian tentang kredibilitas pelanggan,
semakin kecil pula ketidakpastian penerimaan kas dari hasil
penjualan berdasar kontrak pembayaran angsuran. Penerimaan
kas bukan lagi merupakan hal yang krusial, tetapi peristiwa
terjadinya transaksi penjualanlah yang pada hakikatnya
merupakan saat yang secara substansial diselesaikannya proses
memperoleh pendapatan. Biaya kolektibilitas dan kerugian
piutang sudah dapat diestimasi pada saat terjadinya transaksi
penjualan. Di samping itu perlindungan atau proteksi atas tidak
tertagihnya piutang sudah didapat oleh pihak penjual, karena
pada umumnya pihak penjual mempunyai hak untuk menarik
kembali barang yang diperjual-belikan di samping uang muka yang
biasanya cukup signifikan jumlahnya. Oleh karena itu pada
dasarnya UU PPh tidak memperkenankan untuk digunakannya
metode penjualan angsuran sebagai dasar pengakuan
pendapatan dan/atau penghasilan bruto.
Namun dewasa ini, kontrak-kontrak penjualan dengan
pembayaran angsuran yang mencakup jangka waktu lebih panjang
lagi juga semakin populer, khususnya penjualan properti, seperti
real estat, tanah kavling siap bangun. Biasanya kontrak penjualan
dilakukan dengan uang muka yang relatif kecil, bahkan kadang-
kadang tanpa uang muka, dengan masa pembayaran yang
meliputi 15 sampai 20 tahun. Risiko menunggak pada tahun-
tahun awal biasanya relatif besar, karena bagi pembeli pada
tahun-tahun awal tersebut sedikit banyak merupakan suatu
investasi; dan sering kali harga properti terkait sering tidak stabil.
Penerapan metode akrual murni untuk kontrak penjualan
angsuran akan berakibat penghasilan diakui terlalu besar pada
tahun-tahun awal, karena kegagalan dalam mengakui secara
realistis biaya-biaya yang akan timbul dalam kaitannya dengan
kontrak penjualan, termasuk kerugian sebagai akibat adanya
piutang yang tertunggak dan pembatalan kontrak.
B. Beban (Expenses)
1. Pengertian
Menurut pragraf 70 butir b “Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan”, beban (expenses) adalah
“penurunan manfaat ekonomik selama suatu periode akuntansi
dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya
kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak
menyangkut pembagian kepada penanaman modal”. Beban
mencakup baik kerugian (loss) maupun beban yang timbul dalam
pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa. Beban yang timbul
dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa meliputi,
misalnya beban pokok penjualan, gaji, dan penyusutan. Beban itu
biasanya berbentuk arus keluar atau berkurangnya aset seperti
kas (dan setara kas), persediaan, dan aset tetap. Kerugian
mencerminkan pos lain yang memenuhi definisi beban yang
mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dari aktivitas
perusahaan yang biasa. Kerugian mencerminkan berkurangnya
manfaat ekonomik, dan pada hakikatnya tidak berbeda dari
beban lain.
Kerugian dapat timbul, misalnya dari bencana kebakaran,
banjir, seperti juga yang timbul dari pelepasan aset tidak lancar.
Definisi beban juga mencakup kerugian yang belum direalisasi,
misalnya kerugian yang timbul dari pengaruh kenaikan kurs
valuta asing dalam hubungannya dengan pinjaman perusahaan
dalam mata uang tersebut. jika kerugian diakui dalam laporan
laba rugi, biasanya disajikan secara terpisah karena pengetahuan
mengenai pos tersebut berguna untuk tujuan pengambilan
keputusan ekonomik. Kerugian sering kali dilaporkan dalam
jumlah bersih setelah dikurangi dengan penghasilan yang
bersangkutan.
2. Pengakuan (Recognition)
Beban diakui dalam laporan laba rugi kalau penurunan
manfaat ekonomik masa depan yang berkaitan dengan
penurunan aset atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan
dapat diukur dengan andal. Hal ini berarti bahwa pengakuan
beban terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan kewajiban
atau penurunan aset, misalnya akrual hak karyawan atau
penyusutan aset tetap.
Beban diakui dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan
langsung antara biaya yang timbul dan pos penghasilan tertentu
yang diperoleh. Proses yang biasanya disebut pengaitan biaya
dengan pendapatan (matching costs with revenues) ini
melibatkan pengakuan penghasilan dan beban secara gabungan
atau bersamaan yang dihasilkan secara langsung dan bersama-
sama dari transaksi atau peristiwa lain yang sama; misalnya
berbagai komponen beban yang membentuk beban pokok
penjualan ( cost or expense of goods sold ) diakui pada saat yang
sama sebagai penghasilan yang diperoleh dalam penjualan
barang.
Kalau manfaat ekonomik diharapkan timbul selama
beberapa periode akuntansi dan hubungannya dengan
penghasilan hanya dapat ditentukan secara luas atau tak
langsung, maka beban yang diakui dalam laporan laba rugi
adalah atas dasar alokasi yang rasional dan sistematis. Hal ini
sering diperlukan dalam pengakuan beban yang berkaitan
dengan penggunaan aset seperti aset tetap, goodwill, paten,
merek dagang. Dalam kasus semacam ini, beban ini disebut
penyusutan atau amortisasi. Prosedur alokasi ini dimaksudkan
untuk mengakui beban dalam periode akuntansi yang menikmati
manfaat ekonomik aset yang bersangkutan.
Beban segera diakui dalam laporan laba rugi kalau
pengeluaran tidak menghasilkan manfaat ekonomik masa depan
atau kalau sepanjang manfaat ekonomik masa depan tidak
memenuhi syarat, atau tidak lagi memenuhi syarat, untuk diakui
dalam neraca sebagai aset.
Beban juga diakui dalam laporan laba rugi pada saat timbul
kewajiban tanpa pengakuan aset, seperti apabila timbul
kewajiban akibat garansi produk.
3. Pengukuran
Dasar pengukuran yang lazimnya digunakan perusahaan
dalam penyusunan laporan keuangan adalah biaya historis
(historical cost). Ini biasanya digabungkan dengan dasar
pengukuran yang lain. Misalnya persediaan biasanya dinyatakan
sebesar nilai terendah dari biaya historis atau nilai realisasi bersih
(lower cost or net realizable value).
Menurut historical cost aset dicatat sebesar pengeluaran kas
(atau setara kas) atau nilai wajar dari imbalan yang diberikan
untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan. Liabilitas
dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari
kewajiban (obligation) atau keadaan tertentu (misalnya pajak
penghasilan), dalam jumlah kas atau setara kas yang diharapkan
akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan
usaha yang normal.
Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan tidak ada diberikan pengertian atau definisi
beban/biaya. Namun demikian jika diteliti lebih lanjut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat ditarik
kesimpulan bahwa biaya adalah “segala sesuatu yang dapat
dikurangkan dari penghasilan untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak yaitu biaya untuk mendapatkan ,
menagih, dan memelihara penghasilan (tidak termasuk kerugian
yang dapat dikompensasikan dan PTKP)”.
Tidak semua beban yang diakui dalam laporan laba rugi
komersial diakui dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak pada dasarnya
kriteria pengeluaran yang dapat dikurangkan dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah :
a) pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) dibebankan
pada tahun pengeluaran sedangkan pengeluaran kapital
(capital expenditure) dibebankan melalui penyusutan dan
amortisasi.
b) terdapat hubungan langsung dengan usaha dan kegiatan.
c) tidak terkait dengan penghasilan yang bukan objek pajak atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.
d) pengeluaran kas, bukan natura atau kenikmatan.
e) dalam batas kewajaran dan sesuai dengan adat pedagang
yang baik (sound business practice).
1. Pendahuluan
PSAK 46 adalah suatu metode akuntansi pajak penghasilan yang secara komprehensif
mencoba menerapkan pendekatan aset—liabilitas ( asset—liability approach ). Metode
akuntansi pajak penghasilan yang berorientasi pada neraca (oriented balance sheet) mengakui
adanya perbedaan waktu ( temporary atau timing diferences ) dan sisa kerugian yang masih
atau belum dikompensasikan. PSAK 46 mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak
penghasilan dalam :
(1) Mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode
mendatang untuk hal- hal :
a. Pemulihan (penyelesaian) nilai tercatat aset ( liabilitas) di masa depan yang diakui
pada laporan keuangan entitas.
b. Transasksi-transaksi atau kejadian lain dalam periode kini yang diakui dan pada
laporan keuangan entitas.
(2) Pengakuan aset pajak tangguhan yang berasal dari sisa kerugian yang belum
dikompensasikan, penyajian pajak penghasilan di dalam laporan keuangan, dan
pengungkapan informasi yang berhubungan dengan Pajak Penghasilan.
2. Definisi
a. Laba akuntansi adalah laba atau rugi selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak.
b. Laba Kena Pajak atau Laba Fiskal ( taxable profit) atau Rugi Pajak ( tax loss) adalah laba
atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan yang ditetapkan
otoritas perpajakan atas pajak penghasilan yang terutang ( dipulihkan )
c. Beban Pajak ( tax expense ) atau Penghasilan Pajak ( tax income ) adalah jumlah gabungan
pajak kini ( current tax ) dan pajak tangguhan ( deferred tax ) yang diperhitungkan dalam
menentukan laba rugi satu periode.
d. Pajak Kini ( current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang ( dipulihkan) atas laba
kena pajak (rugi pajak) untuk suatu periode
e. Liabilitas Pajak Tangguhan ( deferred tax liabilities ) adalah jumlah pajak penghasilan
terutang ( payable ) pada periode masa depan sebagai akibat adanya perbedaan
temporer kena pajak.
f. Aset Pajak Tangguhan ( deferred tax assets ) adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat
dipulihkan ( recoverable ) pada periode mendatang sebagai akibat adanya :
(a) perbedaan temporer dapat dikurangkan ;
(b) akumulasi rugi pajak belum dikompensasi dan
(c) akumulasi kredit pajak yang belum dimanfaatkan, dalam hal hal peraturan perpajakan
mengizinkan.
i. Perbedaan Temporer ( temporary differences ) adalah perbedaan antara jumlah tercatat
aset atau liabilitas dalam laporan posisi keuangan dan dasar pengenan pajaknya.
Perbedaan temporer dapat berupa :
(a) Perbedaan temporer kena pajak ( taxable temporary differences ) yaitu perbedaan
temporer yang menimbulkan jumlah kena pajak dalam penghitungan laba kena pajak
(rugi pajak) periode msasa depan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan
atau diselesaikan ( settled); atau
(b) Perbedaan temporer dapat dikurangkan ( deductible temporary differences ) yaitu
perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan ( deductible
amounts ) dalam penghitungan laba kena pajak (rugi pajak) periode masa depan
ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan ( recovered ) atau diselesaikan(
settled )
j. Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) aset atau liabilitas adalah nilai yang terkait dengan aset
atau liabilitas untuk tujuan pajak..
k. Nilai Tercatat Aset dan Liabilitas adalah nilai yang tercantum dalam laporan posisi
keuangan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
DPP liabilitas adalah jumlah tercatat liabilitas dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat
dikurangkan untuk tujuan pajak berkenaan dengan liabilitas tersebut pada periode masa
depan Dalam hal pendapatan diterima di muka, maka dasar pengenaan pajak yang
ditimbulkan liabilitas tersebut merupakan jumlah tercatat liablitas, dikurangi setiap jumlah
pendapatan yang tidak dikenakan pajak pada periode masa depan.
Contoh :
(a) Jumlah tercatat liabilitas jangka pendek mencakup beban terakru ( accrued expenses )
dengan nilai tercatat sebesar 100. Beban terkait akan dikurangkan untuk tujuan pajak
dengan dasar kas. DPP beban terakru adalah nihil.
(b) Jumlah tercatat liabilitas jangka pendek termasuk pendapatan bunga diterima di muka
sebesar 100. Pendapatan bunga tersebut dikenakan pajak dengan dasar kas, yang
berarti sudah seluruhnya diakui sebagai elemen penghasilan kena pajak tahun yang lalu.
DPP bunga diterima di muka adalah nihil.
(c) Jumlah tercatat liabilitas jangka pendek termasuk beban terakru ( accrued expense )
sebesar 100. Beban tersebut telah dikurangkan untuk tujuan fiskal. DPP atas beban
terakru adalah 100
(d) Jumlah tercatat libilitas jangka pendek termasuk denda dan pinalti terakrur sebesar 100.
Untuk tujuan pajak, beban tersebut tidak dapat dikurangkan.DPP denda atas denda dan
pinalti adalah 100.
Catatan : Dalam analisis ini tidak ada perbedaan temporer yang dapat dikkurangkan.
Analisis alternatif adalah utang denda dan pinalti terakru memiliki dpp nihil dan tarif
pajak nihil diterapkan untuk menghasilkan perbedaan temporer yang dapat
dikurangkan sebesar 100. Dari kedua analisis tersebut tidak ada aset pajak tangguhan.
(e) Jumlah tercatat utang pinjaman sebesar 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak
mempunyai konsekuensi pajak. DPP atas utang pinjaman adalah 100.
4. Prinsip-prinsip Dasar.
(1) PPh tahun berjalan yang kurang dibayar atau terutang diakui sebagai Liabilitas Pajak Kini
(current tax liabilities ) sedangkan PPh tahun berjalan yang lebih dibayar diakui sebagai
Aset Pajak Kini ( current tax asset )
(2) Konsekuensi pajak periode mendatang yang dapat diatribusikan dengan perbedaan
temporer kena pajak ( taxable temporary differences ) diakui sebagai Liabilitas Pajak
Tangguhan ( deferred tax liabilities ) , sedangkan efek perbedaan yang boleh
dikurangkan ( deductible temporary differences ) dan sisa kerugian yang belum
dikompensasikan diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (deferred tax assets )
(3) Pengukuran liabilitas dan aset didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan; efek perubahan peraturan perpajakan yang terjadi di masa depan tidak
boleh diantisipasi atau diestimasikan.
(4) Penilaian (kembali) Aset Pajak Tangguhan harus dilakukan pada setiap tanggal laporan
posisi keuangan, terkait dengan kemungkinan dapat atau tidaknya pemulihan aset pajak
tangguhan direalisasikan dalam periode mendatang.
Tarif Pajak
Liabilitas Aset
Pajak Pajak
Tangguhan Tangguhan
Gambar 1 : Pengaruh perbedaan antara nilai tercatat aset dengan DPP aset.
Nilai tercatat liabilitas mengandung makna bahwa liabilitas itu akan diselesaikan dengan
menggunakan sumber daya ekonomik perusahaan. Pada saat pelunasan/penyelesaian
liabilitas, mungkin sebagian atau seluruh sumber daya ekonomik tersebut dapat dikurangkan
dari laba pajak setelah pengakuan liabilitas. Hal ini akan menimbulkan perbedaan antara
jumlah nilai tercatat liabilitas dengan DPP liabilitas. Apabila nilai tercatat liabilitas lebih besar
daripada DPP liabilitas, maka perbedannya merupakan perbedaan boleh dikurangkan, yang
menimbulkan aset pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada
masa depan. Sebaliknya apabila nilai tercatat liabilitas lebih kecil daripda DPP liabilitas,
perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak yang menimbulkan liabilitas pajak
tangguhan ( lihat gambar 2)
Tarif Pajak
Liabilitas Aset
Pajak Pajak
Tangguhan Tangguhan
Gambar 2 : Pengaruh perbedaan antara nilai tercatat liabilita dengan DPP liabilitas.
Contoh 1 : Pencatatan Pajak Penghasilan Kini
PT Merapi untuk tahun pajak yang berakhir 31 Desember 2015 memperoleh laba sebelum pajak
sebesar Rp90.000.000.000. Hasil koreksi fiskal diketahui perbedaan permanen koreksi positif
sebesar Rp2.000.000.000. Koreksi perbedaan temporer sebesar Rp3.000.000.000 koreksi negatif
dan koreksi positif Rp5.000.000.000. Saldo liabilitas pajak tangguhan sebesar Rp1.700.000.000.
Pajak penghasilan yang telah dipotong oleh pihak lain adalah sebagai berikut:
• PPh final sebesar Rp1.500.000.000 atas penghasilan sewa bruto Rp15.000.000.000, PPh 23
tidak final sebesar Rp1.000.000.000 atas penghasilan sebesar Rp 50.000.000.000.
• Penghasilan diterima dari luar negeri sebesar Rp20.000.000.000. Pajak yang telah dipotong di
luar negeri sebesar Rp6.000.000.000, PPh Pasal 24 boleh dikreditkan terkait penghasilan luar
negeri sebesar Rp5.000.000.000.
• Angsuran pembayaran PPh 25 sebesar Rp10.000.000.000.
• Pajak yang dipungut oleh bea cukai, PPh 22 sebesar Rp2.000.000.000 atas impor.
Perusahaan mencatat pembayaran pajak dibayar di muka baik final maupun tidak final sebagai
pajak dibayar di muka. Buatlah jurnal pencatatan pembayaran pajak dan penyesuaian yang dibuat
untuk mengakui utang pajak penghasilan kini. Tarif pajak yang berlaku 25%.
Atas penerimaan penghasilan pajak yang dikenakan pajak final, akan dicatat penghasilan dan
pajak dibayar di muka. Dalam mencatat harus diberikan identitas final dan tidak final karena
dampaknya berbeda terhadap nilai liabilitas pajak kini (utang pajak). Sebagai alternatif dapat juga
langsung dicatat sebagai beban pajak.
Kas 13.500.000.000
Pajak Dibayar di Muka Final 1.500.000.000
Pendapatan 15.000.000.000
Kas 49.000.000.000
Pajak Dibayar di Muka (Tidak Final) 1.000.000.000
Pendapatan 50.000.000.000
Kas 14.000.000.000
Pajak Dibayar di Muka (LN) 6.000.000.000
Pendapatan 20.000.000.000
Pajak yang dibayar langsung oleh perusahaan ke kas negara, baik angsuran pajak dan pajak
yang dipungut akan dicatat sebagai pajak dibayar di muka. Dalam praktik jurnal ini akan dibuat
sesuai dengan waktu pembayarannya.
Pada akhir tahun, akan diperhitungkan pajak yang telah dibayar dengan jumlah pajak terutang.
Jika jumlah pajak terutang lebih besar daripada pajak yang telah dibayar, akan diakui sebagai
liabilitas pajak kini. Dalam laporan keuangan disajikan dengan nama utang PPh Badan. Utang ini
menurut ketentuan pajak harus dibayarkan paling lambat akhir bulan keempat setelah tanggal
laporan keuangan sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.
Perhitungan pajak terutang:
Penghasilan kena pajak Rp90.000.000.000 + Rp2.000.000.000 – Rp3.000.000.000 +
Rp5.000.000.000 -- 15.000.000.000 = Rp79.000.000.000.
Pajak terutang = 25% x Rp79.000.000.000 = Rp19.750.000.000
Beban Pajak Kini 19.750.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh 22 2.000.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh 23 1.000.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh 24 5.000.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh 25 10.000.000.000
Utang PPh Badan (29) 1750.000.000
Total beban pajak kini merupakan penjumlahan semua pajak yang dibayarkan yaitu pajak final
dan pajak tidak final, termasuk juga pajak LN yang tidak boleh dikreditkan.
Total beban pajak kini = pajak terutang tahunan Rp19.750.000.000 + final Rp1.500.000.000 +
Rp.1.000.000.000 LN = Rp22.500.000.000.
Beban Pajak Kini 2.500.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh Final 1.500.000.000
Pajak LN Dibayar di Muka PPh 24 1.000.000.000
Beda temporer net Rp5.000.000.000 – Rp3.000.000.000 = Rp2.000.000.000 positif. Pajak
tangguhan 25% x Rp2.000.000.000 = Rp500.000.000. Penghasilan kena pajak lebih besar
dibandingkan dengan laba menurut akuntansi, sehingga pengenaan pajak akan mendahului
pengakuan menurut akuntansi. Karena sebelumnya terdapat liabilitas pajak tangguhan, maka
pendapatan pajak tangguhan akan mengurangi liabilitas pajak tangguhan. Saldo liabilitas pajak
tangguhan sebesar Rp1.700.000.000 – Rp500.000.000 = Rp1.200.000.000.
Liabilitas Pajak Tangguhan 500.000.000
Pendapatan Pajak Tangguhan 500.000.000
Saldo total beban pajak perusahaan adalah beban pajak kini ditambah pajak tangguhan =
Rp22.250.000.000 – Rp500.000.000 = Rp21.750.000.000.
Utang PPh Badan yang muncul dalam laporan keuangan merupakan Pajak kurang bayar dalam
satu tahun fiskal atau sering dikenal sebagai pajak rampung atau PPh 29. Utang PPh Badan
merupakan utang yang terkait dengan beban pajak entitas. Utang pajak yang lain merupakan utang
pajak terkait dengan kewajiban entitas untuk memotong pajak pihak lain sehingga tidak akan
mempengaruhi nilai beban pajak. Entitas dapat menyajikan dalam laporan posisi keuangan hanya
satu baris utang pajak dan rincian jenis-jenis pajaknya di catatan atas laporan keuangan, atau
menampilkan rincian utang pajak dalam laporan posisi keuangan.
Contoh 2 : Perbedaan Temporer Penghasilan Kena Pajak dan Laba Sebelum Pajak
PT Kencana menurut akuntansi melaporkan pendapatan yang sama selama tahun 2015, 2016, dan
2017 sebesar Rp300.000.000 per tahun dan beban sebesar Rp200.000.000 per tahun. Untuk tujuan
pajak, terdapat perbedaan temporer terkait dengan pengakuan pendapatan sehingga penghasilan
untuk 2015, 2016, dan 2017 secara berturutan sebesar Rp240.000.000, Rp320.000.000, dan
Rp340.000.000.
Jelaskan bagaimana dampak dari perbedaan ini dalam laporan keuangan entitas.
Tabel : Laporan Keuangan Entitas
Laporan Keuangan 2015 2016 2017 Total
Pendapatan 300.000.000 300.000.000 300.000.000 900.000.000
Beban 200.000.000 200.000.000 200.000.000 600.000.000
Laba sebelum pajak 100.000.000 100.000.000 100.000.000 300.000.000
Beban pajak penghasilan 25% 25.000.000 25.000.000 25.000.000 75.000.000
Dalam kasus ini perbedaan yang muncul hanya perbedaan temporer sehingga beban pajak
menurut akuntansi dibagi laba sebelum pajak (tarif pajak efektif) sama dengan tarif pajak yang
berlaku yaitu 25%. Jika terdapat perbedaan permanen tarif pajak efektif tidak sama dengan tarif
pajak yang berlaku.
Perbedaan temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau liabilitas pada posisi
keuangan dengan dasar pengenaan pajaknya. Perbedaan temporer dapat berupa perbedaan
temporer kena pajak dan perbedaan temporer dapat dikurangkan. Perbedaan temporer terjadi
karena perbedaan waktu pengakuan namun secara total nilai penghasilan dan beban yang diakui
jumlahnya sama.
Misalnya beban terkait dengan aset tetap. Secara total nilai aset yang dibeli untuk kegiatan
operasional entitas dapat dibebankan sebagai beban operasional melalui proses depresiasi.
Perbedaan masa manfaat depresiasi antara akuntansi dan pajak menyebabkan perbedaan beban
depresiasi pada setiap periode, namun totalnya sama. Akuntansi sering menggunakan nilai sisa
sedangkan pajak tidak menggunakan nilai sisa dalam depresiasi. Penggunaan nilai sisa akan
menyebabkan beban depresiasi yang berbeda antara akuntansi dan pajak, namun perbedaan ini
akan hilang pada saat aset tersebut dijual atau dilepaskan. Perbedaan pengakuan keuntungan/
kerugian pelepasan aset antara akuntansi dan pajak menyebabkan perbedaan akibat nilai sisa
menjadi hilang.
Perbedaan temporer akan diakui sebagai pendapatain atau beban pajak tangguhan dan sebagai
konsekuensinya akan diakui sebagai aset dan liabilitas pajak tangguhan dalam laporan posisi
keuangan. Perbedaan temporer akan dipulihkan atau diselesaikan di masa mendatang, sehingga
konsekuensi perbedaan atas pengakuan aset/liabilitas tertentu akan hilang ketika perbedaan
tersebut tidak ada lagi.
Menurut akuntansi akan diakui beban garansi sebesar Rp16.000.000, sedangkan menurut
pajak akan diakui beban garansi sebesar yang telah dibayarkan Rp2.000.000. Dengan demikian
terdapat perbedaan laba Rp14.000.000. Laba menurut penghasilan kena pajak lebih besar
dibandingkan dengan laba menurut akuntansi. Perbedaan ini tercermin dengan perbedaan
pengakuan liabilitas garansi dalam laporan posisi keuangan sebesar Rp16.000.000 – Rp2.000.000
= Rp14.000.000.
Perbedaan tersebut akan terpulihkan di masa mendatang sehingga menimbulkan perbedaan
temporer yang dapat dikurangkan. Perbedaan tersebut akan diakui sebagai aset pajak tangguhan
sebesar perbedaan atas laba dikalikan dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut akan
terpulihkan. Misalkan tarif pajak yang berlaku 25% dan tidak akan berubah pada beberapa tahun
berikutnya.
Aset Pajak Tangguan 3.500.000
Pendapatan Pajak Tangguhan 3.500.000
Pendapatan pajak tangguhan akan mengurangi beban pajak kini entitas. Dengan demikian
dampak dari jurnal tersebut total beban pajak akan lebih kecil dibandingkan dengan pajak kini.
Laba menurut akuntansi lebih kecil dari laba menurut pajak maka total beban pajak lebih kecil
dibandingkan dengan pajak kini. Total beban pajak akan dipadankan (di-matching-kan) dengan
laba sebelum pajak, sehingga tepat karena pada 2015 laba menurut akuntansi lebih kecil.
Pada tahun 2016 dilakukan pembayaran garansi Rp8.000.000 sehingga liabilitas pajak
tangguhan akan berkurang sehingga bersaldo Rp6.000.000. Akibat transaksi ini aset pajak
tangguhan juga harus dikurangi karena liabilitasnya telah terselesaikan. Atas berkurangnya
perbedaan temporer yang dapat dikurangkan tersebut akan dibuat jurnal.
Liabilitas Garansi 8.000.000
Kas (Kredit yang Lain) 8.000.000
Beban Pajak Tangguhan 2.000.000
Aset Pajak Tangguhan 2.000.000
Saldo aset pajak tangguhan Rp1.500.000 pada akhir tahun 2016 akan terselesaikan pada tahun
2017 dengan pembayaran garansi sebesar Rp6.000.000.
Liabilitas Garansi 6.000.000
Kas (Kredit yang Lain) 6.000.000
Beban Pajak Tangguhan 1.500.000
Aset Pajak Tangguhan 1.500.000
Pada akhir tahun 2017 perbedaan tersebut akan terselesaikan semuanya, sehingga saldo
liabilitas garansi nol dan aset pajak tangguhan juga bersaldo nol.
Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan di masa mendatang harus dievaluasi setiap
periode untuk memastikan bahwa perbedaan tersebut dapat dikurangkan. Dalam beberapa kondisi
perbedaan temporer tersebut tidak dapat dikurangkan di masa mendatang. Jika perbedaan temporer
tersebut tidak dapat dikurangkan maka aset pajak tangguhan yang timbul dari perbedaan tersebut
tidak boleh diakui lagi. Untuk menjelaskan keadaan ini dapat dilihat dalam Contoh 4 yang
merupakan lanjutan Contoh 3.
Terkait dengan beban garansi yang telah diestimasi dan diakui Rp16.000.000 ternyata hanya
terealisasi Rp14.000.000, sehingga akan dilakukan koreksi atas estimasi yang telah dilakukan pada
2017. Perbedaan temporer yang tidak diselesaikan juga akan disesuaikan akibat koreksi atas
estimasi yang dilakukan.
Liabilitas Garansi 2.000.000
Kas (Kredit yang Lain) 2.000.000
Beban Pajak Tangguhan 500.000
Aset Pajak Tangguhan 500.000
Akibat jurnal penyesuaian tersebut saldo liabilitas garansi akan menjadi nol dan aset pajak
tangguhan menjadi nol. Beban garansi dicatat sebagai kredit akan digabungkan dengan pengakuan
beban garansi atas penjualan yang dilakukan pada 2017.
Menurut akuntansi beban depresiasi per tahun Rp40.000.000, sedangkan menurut pajak beban
depresiasi sebesar Rp50.000.000. Akibatnya laba sebelum pajak setiap tahun dari 2015-2018 lebih
besar Rp10.000.000 dibandingkan penghasilan kena pajak. Namun pada 2019, laba menurut
akuntansi lebih kecil Rp 40.000.000 karena pada tahun tersebut tidak ada depresiasi.
Akibat beban depresiasi tersebut akumulasi depresiasi menurut akuntansi lebih kecil, sehingga
aset net menjadi lebih besar. Perbedaan tersebut terakumulasi selama empat tahun sehingga saldo
perbedaan pada akhir 2018 sebesar Rp40.000.000. Perbedaan tersebut tidak ada lagi ketika diakui
beban depresiasi menurut akuntansi sedangkan menurut pajak tidak diakui lagi beban depresiasi.
Akibat laba sebelum pajak diakui lebih tinggi maka akan diakui beban pajak, namun
penyelesaiannya ditangguhkan pada saat penghasilan kena pajaknya diakui. Beban pajak
tangguhan diakui sebesar 25% x Rp10.000.000 = Rp2.500.000. Sebagai lawannya akan diakui
liabilitas pajak tangguhan. Jurnal yang dibuat selama empat tahun atas perbedaan laba akuntansi
dan penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:
Beban Pajak Tangguan 2.500.000
Liabilitas Pajak Tangguhan 2.500.000
Jurnal ini dibuat sama selama empat tahun 2015-2018, sehingga liabilitas pajak tangguhan
akan terakumulasi dan bersaldo Rp10.000.000 pada tahun 2019. Sebaliknya pada tahun 2019, laba
sebelum pajak lebih rendah Rp40.000.000 dibandingkan dengan penghasilan kena pajak. Atas
perbedaan tersebut akan diakui pendapatan pajak tangguhan dan lawannya liabilitas pajak
tangguhan. Pendapatan pajak tangguhan tersebut akan mengurangi beban pajak kini, sehingga
pada tahun 2019, total beban pajak akan lebih kecil dibandingkan dengan pajak kini.
Liabilitas Pajak Tangguan 10.000.000
Pendapatan Pajak Tangguhan 10.000.000
Untuk depresiasi aset tetap, perbedaan temporer juga dapat terjadi akibat nilai sisa. Menurut
regulasi pajak di Indonesia, depresiasi dilakukan atas nilai seluruh aset tanpa memperhitungkan
nilai sisa. Sementara menurut akuntansi, entitas dapat menetapkan nilai sisa. Akibat nilai sisa maka
beban depresiasi menurut pajak dan akuntansi berbeda. Perbedaan tersebut, pada masa manfaat
aset akan tetap ada dan akan diakui liabilitas pajak tangguhan karena beban depresiasi menurut
akuntansi secara total lebih kecil dibandingkan dengan beban depresiasi menurut pajak. Perbedaan
ini akan hilang pada saat aset dijual atau dilepas. Pada saat aset dijual atau dilepas, entitas akan
mengakui keuntungan/kerugian penjualan sebesar selisih nilai jual dengan nilai sisa. Sementara
menurut pajak, seluruh hasil penjualan akan diakui sebagai keuntungan karena nilai sisa aset nol.
Perbedaan keuntungan dan kerugian penjualan aset ini akan mencerminkan perbedaan akibat nilai
sisa. Liabilitas pajak tangguhan akan terpulihkan pada saat aset tersebut dijual atau dilepaskan.
Contoh 6 : Perbedaan Temporer dan Permanen serta Pajak Kini
PT Sindoro pada tahun 2015 melaporkan laba sebelum pajak sebesar Rp900.000.000. Dalam
rekonsiliasi fiskal terdapat perbedaan antara akuntansi dan pajak yang disebabkan oleh beberapa
hal berikut:
1. Beban depresiasi menurut akuntansi lebih kecil dibandingkan menurut pajak sebesar
Rp20.000.000.
2. Beban garansi menurut akuntansi lebih besar Rp80.000.000 dibandingkan menurut pajak.
3. Beban sumbangan sebesar Rp10.000.000 tidak diperkenankan menurut pajak.
4. Penghasilan sewa tanah dan bangunan sebesar Rp50.000.000 dikenakan pajak final sebesar
10%.
Tarif pajak yang berlaku sebesar 25%. Entitas belum memiliki saldo awal aset/liabilitas pajak
tangguhan. Pajak dibayar di muka terdiri atas angsuran pajak (PPh 25) Rp180.000.000, PPh 23
sebesar Rp20.000.000, dan pajak final atas sewa Rp5.000.000. Entitas menyusun laporan
keuangan tahunan, sehingga jurnal penyesuaian beban pajak dilakukan di akhir tahun.
Beban depresiasi menurut akuntansi terlalu kecil sehingga laba akuntansi lebih besar. Hal
tersebut memunculkan perbedaan kena pajak sebesar Rp20.000.000, liabilitas pajak tangguhan
yang diakui sebesar 5.000.000 (25% x 20.000.000).
Beban garansi menurut akuntansi terlalu besar sehingga laba akuntansi lebih kecil, atau
penghasilan kena pajak lebih besar sehingga memunculkan perbedaan dapat dikurangkan sebesar
Rp80.000.000, aset pajak tangguhan diakui sebesar Rp20.000.000.
Kedua perbedaan tersebut menghasilkan pendapatan pajak tangguhan Rp15.000.000. Beban
sumbangan tidak boleh diakui sehingga koreksi positif, menambah penghasilan kena pajak.
Penghasilan final tidak diperhitungkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak sehingga
dilakukan koreksi negatif.
Beban pajak kini entitas gabungan pajak terutang dalam satu tahun fiskal ditambah pajak atas
penghasilan yang dikenakan pajak final = 235.000.000 + 5.000.000 = 240.000.000.
Total beban pajak entitas merupakan penjumlahan beban pajak kini dan pajak tangguhan sebagai
berikut: Rp240.000.000 – Rp15.000.000 = Rp225.000.000.
Aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dalam penyajian akan disajikan neto
sehingga akan disajikan sebagai aset pajak tangguhan 15.000.000 (20.000.000 – 5.000.000).
Tarif efektif pajak entitas dihitung dari total beban pajak dibagi laba sebelum pajak sebesar
25% (225.000.000/900.000.000). Jika tarif pajak efektif dihitung dari beban pajak kini, sebesar
26,67% (240.000.000/900.000.000), sering disebut sebagai current effective tax rate. Perbedaan
tarif pajak efektif dengan tarif pajak pemerintah karena terdapat perbedaan permanen.
Jurnal yang akan dibuat untuk penyesuaian akhir tahun dan pengakuan pajak tangguhan adalah:
Beban Pajak Penghasilan (Kini) 235.000.000
Pajak Dibayar di Muka Angsuran PPh 25 180.000.000
Pajak Dibayar di Muka PPh 23 20.000.000
Utang PPh Badan 35.000.000
Beban Pajak Penghasilan (Kini) 5.000.000
Pajak Dibayar di Muka 5.000.000
Aset Pajak Tangguhan 20.000.000
Liabilitas Pajak Tangguhan 5.000.000
Pendapatan Pajak Tangguhan 15.000.000
Penyajian dalam laporan laba rugi
Laba sebelum pajak Rp900.000.000
Beban pajak penghasilan:
Pajak kini Rp240.000.000
Pajak tangguhan (Rp15.000.000)
Total beban pajak penghasilan Rp225.000.000
Laba bersih Rp675.000.000
Penyajian dalam Laporan posisi keuangan
Aset pajak tangguhan Rp15.000.000
Pada tahun 2015 atas kerugian sebesar Rp700.000.000 diakui aset pajak tangguhan dan
pendapatan pajak tangguhan. Sesuai dengan prinsip matching, manfaat kompensasi akan diakui
pada saat terjadinya kerugian. Aset pajak tangguhan diakui, karena kompensasi tersebut
memberikan manfaat di masa mendatang, karena entitas memperoleh laba tidak perlu membayar
pajak. Aset pajak tangguhan dan pendapatan pajak tangguhan diakui sebesar Rp700.000.000 x
25% = 175.000.000.
Pada tahun 2016, atas laba yang diperoleh dikenakan pajak sehingga pajak kini nol. Namun
kompensasi kerugian akan dimanfaatkan sebesar Rp100.000.000, sehingga aset pajak tangguhan
akan berkurang sebesar 25% x Rp100.000.000 = Rp25.000.000.
Pada tahun 2017 kompensasi yang dimanfaatkan Rp200.000.000 sehingga aset pajak
tangguhan akan berkurang dan diakui beban pajak tangguhan sebesar 25% x Rp200.000.000 =
Rp50.000.000. Pada tahun 2018, kompensasi yang masih dapat dimanfaatkan sebesar
Rp400.000.000 (Rp700.000.000 – Rp100.000.000 – Rp200.000.000). Dengan demikian entitas
tetap harus membayar pajak atas penghasilan yang tidak dapat lagi dikompensasi sebesar
Rp600.000.000 – Rp400.000.000 = Rp200.000.000. Pajak kini yang dibayarkan sebesar 25% x
Rp200.000.000 = Rp50.000.000. Total beban pajak adalah Rp100.000.000 + Rp50.000.000 =
Rp150.000.000.
Pengakuan pajak tangguhan atas kompensasi kerugian akan menyebabkan tarif pajak efektif
sama seperti tarif pajak yang berlaku 25%. Namun jika tarif efektif hanya dihitung dari pajak yang
dibayarkan atau pajak kini saja, maka terlihat CETR nol dan baru terlihat pada tahun 2018. Contoh
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan pajak tangguhan memberikan informasi
yang lebih bermanfaat bagi pembaca karena dapat menunjukkan potensi manfaat dalam laporan
posisi keuangan dan beban diakui pada waktu yang lebih tepat.
Pada tahun 2015 manfaat kompensasi sebesar Rp500.000.000, akan diakui sebagai pendapatan
dan aset pajak tangguhan sebesar Rp125.000.000. Pada tahun 2016 aset pajak tangguhan
berkurang sebesar 25% x Rp20.000.000 = Rp5.000.000. Pada tahun 2017 aset pajak tangguhan
berkurang sebesar 25% x Rp40.000.000 = Rp10.000.000.
Atas informasi bahwa kompensasi yang dapat dimanfaatkan hanya sebesar Rp240.000.000
dan sisanya Rp200.000.000 tidak dapat dimanfaatkan. Untuk itu dibuat penyesuaian atas aset pajak
tangguhan, sehingga saldo aset pajak tangguhan hanya mencerminkan potensi manfaat kompensasi
yang dapat dimanfaatkan sebesar 25% x Rp240.000.000 = Rp60.000.000.
2015 Aset Pajak Tangguhan 125.000.000
Pendapatan Pajak Tangguhan 125.000.000
2016 Beban Pajak Tangguhan 5.000.000
Aset Pajak Tangguhan 5.000.000
2017 Beban Pajak Penghasilan 10.000.000
Aset Pajak Tangguhan 10.000.000
Penyesuaian
2017 Beban Pajak Tangguhan 50.000.000
Beban Pajak Kini 50.000.000
Penyesuaian aset pajak tangguhan tidak hanya dilakukan akibat dari kompensasi kerugian
yang tidak dapat dimanfaatkan. Dalam beberapa kasus dapat saja terjadi perbedaan temporer yang
awalnya diprediksi dapat dikurangkan ternyata sesuai dengan ketentuan perpajakan tidak dapat
dikurangkan. Kondisi tersebut juga harus dibuatkan jurnal penyesuaiannya. Misalnya beban
penyisihan piutang menurut akuntansi sudah diakui dan atas pengakuan tersebut diharapkan beban
diakui oleh pajak. Namun dalam kenyataannya, beban penyisihan atau penghapusan piutang
tersebut tidak memenuhi syarat administrasi pajak sehingga tidak dapat dibebankan. Kondisi ini
mengharuskan entitas melakukan penyesuaian atas aset pajak tangguhan yang telah diakui.
PSAK 46 mengharuskan entitsas untuk mengakui liabilitas pajak tangguhan dan aset pajak
tangguhan sebagai konsekuensi perpajakan yang timbul dari pengakuan terhadap aset dan
liabilitas dalam laporan keuangan
Perbedaan
Tetap Beban Pajak
Penghasilan Kini
Perbedaan (PSAK 46)
Temporer
Selisihnya
PT Datu Ronggur memulai kegiatan usahanya dalam tahun 2014. Perusahaan terdaftar sebagai
Wajib Pajak tanggal 1 Maret 2014 dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tanggal 15
Maret 2014. Menurut laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan untuk tahun yang
berakhir 31 Desember 2014, laba persusahaan sebelum dikurangi PPh adalah Rp 950.400.500.
Data mengenai kegiatan perusahaan dalam tahun 2014 antara lain adalah sebagai berikut.
7. Setelah mesin bekerja 8.000 jam, harus dilakukan perawatan khusus. Jumlah beban
perawatan khusus diperkirakan Rp 600.000.000. Agar alokasi beban perawatan khusus
sebanding dengan jumlah jam kerja mesin, maka perusahaan membentuk penyisihan beban
perawatan berdasarkan jam kerja mesin. Selama tahun 2014 mesin bekerja 1.600 mesin.
8. Pada awal Mei 2014 perusahaan membeli 4 (empat) unit kendaraan, yaitu :
a. Mobil sedan merk Mercedes Benz seharga Rp 1.200.000.000. (termasuk PPN sebesar Rp
80.000.000.
b. Mobil sedan BMW seharga Rp 900.000.000 ( termasuk PPN sebesar Rp 60.000.000)
c. Satu unit mini bis seharga Rp 190.000.000 ( termasuk PPN Rp 10.000.000)
d. Satu unit truck seharga Rp 177.000.000 ( termasuk PPN Rp 9.000.000 )
Mini bis digunakan perusahaan untuk antar jemput karyawan, truck untuk mengangkut
barang kepada pelangggan, sedangkan mobil sedan digunakan oleh direksi sebagai fasilitas
yang bukan penghasilan yang dikenakan pajak .Mini bis dan sedan disusutkan oleh
perusahaan selama 5 tahun, truck selama 4 tahun, semuanya dengan metode garis lurus.
Untuk kepentingan fiskal, semua kendaraan disusutkan dengan metode saldo menurun.
9. Bahan bakar dan beban perawatan kendaraan selama tahun 2014 adalah sebagai berikut :
a. Mini bis ; Rp 45.000.000
b. Truck : Rp 65.000.000
c. Sedan : Rp 105.000.000
10. Pinjaman rata-rata per tahun dalam tahun 2014 dibebani bunga 12 % per tahun, sedangkan
deposito rata-rata mendapat imbalan bunga sebagai berikut :
a. BNI Cabang Singapura ; 4,5 % per tahun
b. Citibank Singapura : 4 % per tahun
c. Bank Mandiri Cabang Jakarta : 5 % per tahun
Beban bunga pinjaman selama tahun 2014 bejumlah Rp 378.000.000 sedangkan bunga
deposito adalah sebagai berikut :
BNI ; Rp 18.000.000 (neto setelah dipotong PPh)
Citibank : Rp 35.000.000 (neto setelah dipotong PPh)
Bank Mandiri : Rp 25.000.000 ( setelah dipotong PPh)
Atas bunga deposito di Citibank Singapura dikenakan PPh 30 %.
11. Pada tahun 2012, perusahaan mendapat pemberitahuan dari Kementerian Lingkungan
Hidup bahwa perusahaan akan digugat ke pengadilan akibat pencemaran lingkungan hidup.
Walaupun sampai dengan akhir tahun 2014 belum ada putusan dari pengadilan tentang
denda yang harus dibayar, namun perusahaan telah memperhitungkan kewajiban sebesar
Rp 150.000.000. Pengakuan atas denda pencemaran lingkungan hidup untuk kepentingan
fiskal adalah pada saat diperoleh kepastian jumlah denda yang harus dibayar.
12. Bangunan pabrik seharga Rp 750.000.000 selesai dibangun 1 April 2014 dan mulai digunakan
1 Mei 2014. Penyusutan komersial adalah 4 % setiap tahun dari harga perolehan.
13. Dalam tahun 2014 perusahaan menjual produk dengan dua cara yaitu penjualan kredit biasa
dan penjualan secaa angsuran sebagai berikut :
Penjualan kredit biasa : Rp 9.500.000.000
Penjualan secara cicilan : Rp 1.470.000.000
Pelunasan penjualan kredit biasa selama tahun 2014 berjumlah Rp 8.100.000.000 sedangkan
penjualan secara angsuran Rp 620.000.000. Pengakuan penghasilan atas penjualan secara
angsuran untuk kepentingan komersial dilakukan setelah pelunasan diterima, sedangkan
untuk kepentingan fiskal pengkuan penghasilan dilakukan pada saat penjualan. Harga pokok
penjualan atas penjualan secara angsuran adalah Rp 1.073.100.000. Pada akhir tahun 2014,
perusahaan membentuk penyisihan untuk kerugian piutang tak tertagih sebesar 2 % dari
saldo piutang akhir tahun.
14. Pajak yang dibayar atau dipotong selama tahun 2014 :
a. PPh Pasal 25 : Rp 300.000.000
b. PPh dipotong Bank Mandiri : Rp 6.250.000
c. PPh dipotong BNI : Rp 4.500.000
d. PPh dibayar di Singapura : Rp 9.000.000
15 Tarif pajak yang berlaku adalah tarif tunggal 25 %
Diminta :
a. Hitung laba komersial seharusnya.
b. Hitung beban pajak tahun 2014
c Hitung PPh terutang, PPh kurang (lebih) bayar untuk tahun 2014
d. hitung laba neto komersial setelah dikurangi beban pajak.
e. Buat jurnal yang diperlukan.
Kegiatan perusahaan berkelanjutan dalam tahun 2015.
1. Suatu analisis pada akhir tahun 2015 atas utang jaminan purna jual adalah sebagai berikut :
Saldo utang pada awal tahun 2015 Rp 75.000.000
Beban untuk perhitungan laba rugi tahun 2015 Rp 160.000.000
Jumlah yang dibayar untuk produk yang dijual tahun 2014 ( Rp 40.000.000 )
Jumlah yang dibayar untuk produk yang dijual tahun 2015 ( Rp 70.000.000 )
Saldo utang akhir tahun 2015 Rp 125.000.000
2. Dalam tahun 2015 perusahaan menghapusbukukan piutang yang tidak dapat ditagih sebesar
Rp 20.000.000 . Penghapusbukuan piutang ini sudah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut neraca per 31 Desember 2015 penyisihan
piutang tak tertagih berjumlah Rp 50.000.000
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, denda yang dikenakan kepada
perusahaan atas pencemaran lingkungan berjumlah Rp 175.000.000. Denda ini dibayar
perusahaan dalam tahun 2015.
4. Seluruh investasi sementara dijual perusahaan seharga Rp 66.750.000 ( neto)
5. Seluruh sisa penjualan secara angsuran tahun 2014 diteima tahun 2015. Tidak ada lagi
penjualan secara angsuran dilakukan dalam tahun 2015.
6. Dalam tahun 2015 mesin bekerja 2.000 jam.
7. Laba komersial tahun 2015 sebelum dikurangi Pajak Penghasilan berjumlah Rp 845.375.000
8. Bahan bakar dan perawatan kendaraan selama tahun 2015’
a. Mini bis Rp 75.000.000
b. Truck Rp 90.000.000
c. Sedan Rp 150.000.000
9. Tarif pajak yang berlaku adalah tarif tunggal 25 %
Diminta :
J A W A B A N
Beban amortisasi biaya pengembangan produk menurut Komersial adalah Rp 300.000.000 -/-
287.500.000: = 12.500.000
Beban amortisasi atas pengeluaran di Indonesia : 0,6 x 12.500.000 = Rp 7.500.000
Beban amortisasi atas pengeluaran di luar negeri : 0,4 x 12.500.000 = Rp 5.000.000
13. Penjualan
Penjualan secara cicilan : Rp 1.470.000.000 100 %
Harga Pokok penjualan : Rp 1.073.100.000 73 %
Laba bruto Rp 396.900.000 27 %
Laba bruto menurut komersial : 27 % x 620.000.000 = 167.400.000
Laba bruto menurut fiskal = 396.900.000
Koreksi Fiskal Positif--- Beda Sementara 229.500.000
Pengakuan penghasilan atas penjualan cicilan menurut fiskal adalah pada saat penjualan,
sedangkan menurut komersial pengakuan penghasilan adalah pada saat diterima
pelunasan.
Setelah dilakukan koreksi fiskal, maka perhitungan laba –rugi fiskal adalah sebagai berikut
:
Laba sebelum dikurangi PPh : Rp 950.400.500 +25.750.000 = Rp 976.150.500
Koreksi Fiskal:
1. Beda Tetap
a..Amortisasi biaya pendirian : Rp 1.800.000
b.Beban pengembangan produk Rp 5.000.000
c.Laba penjualan saham ( Rp 10.500.000 )
d.Penurunan harga saham : Rp 1.500.000
e.Beban penyusutan kendaraan : Rp 140.000.000
f.Bahan bakar dan perawatan : Rp 52.500.000
g.Bunga pinjaman : Rp 135.000.000
h.Penghasilan deposito ( Rp 53.750.000)
Koreksi Beda Tetap Rp 271.550.000
Rp 1.247.700.500
2. Beda Sementara:
a.Amortisasi biaya pendirian : ( Rp 66.300.000 )
b.Penyusutan bangunan : ( Rp 5.790.000 )
c.Pengembangan produk : ( Rp 172.500.000 )
d.Jaminan purna jual : 75.000.000
e.Penyusutan mesin : ( Rp 140.000.000 )
f.Perawatan khusus mesin Rp 120.000.000
g.Penyusutan kendaraan : ( Rp 41.000.000 )
h.Pencemaran lingkungan : Rp 150.000.000
i.Peny.bangunan pabrik :( Rp 8.125.000 )
j.Penjualan cicilan : Rp 229.500.000
k. Kerugian piutang tak tertagih : Rp 28.000.000
Rp 168.785.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 1.416. 485.500
Beban Pajak :
a. Beban Pajak Kini :
Beban PPh 354.121.250
PPh final 10.750.000
PPh Ps 24 yang tidak dapat dikreditkan 2.500.000
367.371.250
b. Beban Pajak Tangguhan :
Beban Pajak Rp 108.428.750
Pendapatan Pajak Rp 150.625.000
Beban (Pendapatan) Pajak ( 42.196.250 )
Beban Pajak 325.175.000
Penyajian aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dapat disajikan netonya
yaitu
Rp 150.625.000 -/- Rp 108.428.750 = Rp 42.196.250 sebagai Aset Pajak Tangguhan.
Tahun 2015.
2. Penyusutan Gedung .
a. Penyusutan gedung
Fiskal : 5 % x Rp 772.000.000................................................................ = Rp 38.600.000
Komersial : 4 % x Rp 772.000.000 ......................................................... = Rp 30.880.000
Koreksi Fiskal (Negatif) Beda Sementara =(Rp 7.720.000 )
b. Beda Sementara
Fiskal .................. ............................................................................................ n i h i l
Komersial 10 % x 180.000.000................................................................ Rp 18.000.000
Koreksi Fiskal Positif—Beda Sementara.................................................. Rp 18.000.000
8. Penyusutan Kendaraan
a. Beda Sementara
Fiskal
1. Mercedes Benz : ( 25 % x 1.000.000.000 ) x 50 % = Rp 125.000.000
2. BMW : ( 25 % x 750.000.000 ) x 50 % = Rp 93.750.000
3. Mini bis ; 25 % x ( 180.000.000 -/- 30.000.000 ) = Rp 37.500.000
4. Truck : 25 % x ( 168.000.000 -/- 28.000.000) = Rp 35..000.000
Rp 291.250.000
Komersial
1. Mercedes Benz : 20 % x 1.200.000.000 x 50 % = Rp 120.000.000
2. BMW : 20 % x 900.000.000 x 50 % = Rp 90.000.000
3. Mini bis : 20 % x 180.000.000 = Rp 36.000.000
4. Truck : 25 % x 168.000.000 = Rp 42.000.000
Rp 288.000.000
Koreksi Fiskal ( Negatif)—Beda Sementara ( Rp 3.250.000 )
b Beda Tetap
Fiskal :.................................................................................................... n i h i l
Komersial :
1. Mercedes Benz : 20 % x 1.200.000.000 x 50 % = Rp 120.000.000
2. BMW : 20 % x 900.000.000 x 50 % = Rp 90.000.000
Rp 210.000.000
Koreksi Fiskal Positif –Beda Tetap Rp 210.000.000
Setelah dilakukan koreksi fiskal, maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai
berikut :